Part #9 : BERTAHAN DI SANA

Biarlah langkahmu lambat dan mantap,
agar engkau tidak tersandung.
– Tokugawa Ieyasu

Bian terkejut saat ia membuka pintu depan rumah kontrakannya.

Satu bingkai foto tergeletak tengkurap di atas lantai.

Kacanya yang pecah berserakan berantakan kemana-mana.

Hadeh kok ya ada-ada saja. Nambahin kerjaan. Padahal baru saja ia selesai membenahi kebun dan rasanya lelah sekali. Begitu masuk rumah ternyata masih ada pekerjaan tambahan.

Bian melangkah mendekat ke arah benda yang jatuh itu.

Tunggu dulu…

Bian tertegun menatap bingkai foto yang jatuh dari meja. Sebentar sebentar… sepertinya ada yang salah. Bingkai foto itu tidak terletak di pinggir meja kan? Dia selalu menaruhnya di tengah, bahkan dekat dengan tembok. Jauh dari kemungkinan tersenggol siapapun – terlebih dia sendirian saja di rumah kontrakan ini.

Kok bisa jatuh?

Sang pemuda bandel tidak habis pikir bagaimana mungkin sebuah bingkai foto bisa terjatuh karena tadinya berada di posisi yang aman, disenggol pun tidak. Apa yang bisa membuatnya jatuh? Gempa? Memangnya ada gempa ya? Kok sepertinya tidak terasa ada goncangan – tahu-tahu ada saja yang terjatuh. Apa ada gempa tadi saat dia sedang ngurusin kebun milik tetangga di depan rumah? Kalaupun itu penyebabnya bisa dipahami. Gempa memang sering terjadi di kota ini.

Ya sudah anggap saja ada gempa.

Dengan hati-hati pemuda bandel itu memungut bingkai foto dari lantai, meletakkannya di atas meja sementara ia membersihkan sepai bekas-bekas kaca.

Uff.

Satu kaca sempat melukai tangannya yang langsung membentuk goresan merah. Ia menghisap darah yang keluar dari jemarinya. Pedih sedikit. Munyuk. Bian membalik bingkai foto yang tadinya tertelungkup ke depan.

Foto masa kecilnya dan Roy.

Foto itu diambil saat mereka berdua sedang berjalan-jalan ke ibukota, lebih tepatnya lagi saat orangtua mereka masih rukun, akrab, dan hampir tidak pernah bertengkar. Mereka sedang duduk di sebuah kursi santai berbentuk potongan kayu yang terdapat di sebuah taman bermain berukuran raksasa yang populer dengan aneka permainan roller coaster, rumah miring, dan berbagai wahana menarik lain. Baik Bian maupun Roy sama-sama mengenakan baju koboi, lengkap dengan topi dan sepatu boots.

Heheh. Kenangan yang menyenangkan.

Bian meletakkan foto itu kembali di meja sementara ia hendak mengambil sapu untuk membersihkan sisa-sisa kaca yang tadi berserakan. Akhir-akhir ini dia memang lebih rajin membersihkan rumah setelah berulang kali diomelin oleh Roy. Setelah mendapatkan sapu, pemuda bandel itu pun membersihkan kaca yang berserakan sembari melongok ke arah bingkai foto yang baru saja ia letakkan di atas meja.

Ada perasaan berdesir saat ia melihat ke arah foto Roy.

Perasaan yang tidak menyenangkan, terus menerus merisak, dan membuat hatinya gelisah.

Aneh.

Kenapa ya?

Apakah…

Ah, sudahlah. Tidak boleh berpikiran negatif. Hari sudah menjelang sore dan hujan mulai turun, tidak baik berpikiran yang tidak-tidak.

Mendingan ia kembali mempelajari buku yang diberikan oleh Beni Gundul daripada mikirin urusan yang tidak jelas. Bian mengambil buku tulis yang diberikan oleh Beni. Kebetulan buku itu berada di meja yang sama dengan bingkai foto yang tadi terjatuh. Buku berisi pelajaran kanuragan dari sosok tak dikenal ini unik karena selain menjelaskan mengenai teknik pukulan tangan kosong, juga memberikan dasar petunjuk penguasaan Ki dan pelatihan stamina.

Selama ini dia sering menggunakan teknik pukulan satu dua yang mengandalkan rangkaian serangan kencang bergantian. Tapi karena kecepatan pukulan itu, dia sering mudah kelelahan karena lontaran pukulan yang menguras tenaga tidak dibarengi dengan stamina yang seimbang. Ditambah tidak adanya kekuatan Ki yang menopang kecepatan pukulan dan tenaga luar.

Pemuda bandel itu berjalan santai ke arah beranda di samping rumah sambil terus membaca kalimat-kalimat dalam buku tulis. Di beranda rumah yang sempit itu kebetulan ada satu sandsack dengan kearifan lokal yang biasa ia gunakan untuk berlatih.

Untuk melatih peningkatan kekuatan pukulan, maka tahap pertama kita harus mengkondisikan dan membiasakan kepalan, semakin terlatih kepalan kita dalam melakukan pukulan dengan intensitas power yang tinggi, maka pukulan itu lebih mudah dilepaskan tanpa harus berlebihan meluapkan tenaga. Jadi simpelnya dia harus sering-sering berlatih. Hanya saja harus dipastikan tujuannya berlatih, mau pukulannya cepat – atau mau pukulannya kuat.

Tahap kedua adalah kemampuan menyertakan tubuh di setiap pukulan yang dilakukan, jadi memukul itu tidak hanya sekedar melontarkan kepalan dan melepaskan lengan ke depan. Untuk bisa meningkatan kekuatan pukulan, tubuh juga harus digerakkan seiring gerakan lengan. Meski terkadang hal ini ditakutkan bisa menimbulkan telegraphic movements, tapi jika dilakukan dengan cerdik akan menghasilkan tambahan kekuatan pada setiap pukulan yang dilepaskan.

Gerakan menyertakan tubuh yang pertama harus dilakukan adalah merunduk, menurunkan posisi tubuh, dan menyelam masuk dalam gelombang serangan dengan halus. Tapi tidak hanya merunduk saja, kita juga harus melengkungkan badan dengan fleksibel sesuai dengan posisi yang akan diserang.

Gerakan berikutnya yang harus diperhatikan adalah peningkatan kekuatan pukulan dilakukan dengan memukul, bukan mendorong. Ada perbedaan di antara kedua gerakan tersebut. Pada saat memukul akan terjadi kontak antara penyerang dan lawan yang membuat sang lawan terkejut dan tersengat. Kalaupun lawan terdesak mundur, ia mundur karena terpukul, bukan terdorong. Perbedaannya akan terlihat dengan jelas dan terjadi pada saat kita menarik tangan usai memukul. Dengan posisi tubuh penyerang stabil, maka dia dapat dengan mudah bersiap untuk melakukan serangan berikutnya alih-alih harus memulihkan posisi yang maju ke depan karena mendorong.

Lalu tahap yang terakhir adalah pelatihan kontrol diri. Pukulan yang cepat tidak sama dengan pukulan yang kuat. Keduanya adalah hal yang berbeda. Pukulan cepat mengurangi daya gebrak karena mementingkan intensitas, sementara pukulan keras mengutamakan kualitas. Meski pukulan cepat juga dapat disertai dengan pukulan keras, tapi kualitasnya tidak akan sama dengan pukulan keras yang seratus persen dilepaskan.

Oke.

Berbekal apa yang dibacanya, Bian mulai melontarkan pukulan satu dua ke arah sand sack. Kendalikan diri, sertakan gerakan badan yang mendukung, pastikan melakukan kontak tapi tidak dengan mendorong. Bedakan intensitas dan kualitas.

Pukulan yang dilepaskan tidaklah cepat, tapi stabil dan kuat.

Tangan kanan, kiri, kanan, kiri, pukul, pukul, satu, dua, tiga, empat, lima, kanan, kiri, bergantian.

Bkk! Bkk! Bkk! Bkk!

Tubuh Bian tegap tak berubah, hanya menunduk ketika pukulan dikirimkan. Kalaupun ada yang digerakkan secara beraturan, itu lengannya yang terlontar, meski tidak cepat tapi tiap gerakannya tegas. Setiap hentakan disertai tenaga yang makin meningkat. Bian menyelaraskan tiap lontaran dengan napas yang ia hirup dan hempaskan.

Berlatih dan berlatih dan berlatih lagi.

Bian sadar betul di antara kelima sahabat, hanya dia yang ketinggalan dalam penguasaan Ki. Semacam ada candala rasa yang membuatnya ingin lebih baik lagi. Jadi sekarang saatnya untuk membenahi dan melengkapi diri dengan kemampuan yang lebih mumpuni, karena lawan makin berani dan makin menjadi. Salah langkah sedikit bisa-bisa mereka mati, jadi mesti serius dan berhati-hati.

Hujan makin deras turun menemani Bian berlatih. Angin berhembus kian kencang menyajikan alunan lembut belaian sejuk dersik yang datang. Perasaan aneh tak pernah benar-benar meninggalkannya seperti saat dia pertama kali memasuki rumah.

MunyukMbalah ra fokus.

Bian mendengus, Ia enyahkan semua pembeda pikiran seiring konsentrasi yang makin terarah.

Berlatih. Itu fokusnya sekarang.

Berlatih.

Sayang sekali.

Belum terlalu lama Bian berlatih, terdengar bunyi ponsel menyalak. Ada panggilan masuk. Huff. Bian berlari kecil menghampiri ponsel yang ia letakkan agak jauh. Saat melihat nama di layar ponsel, pemuda bandel itu pun mengerutkan kening.

Rania?

Rania-nya Roy?

Kok tumben?

Ia memencet tombol terima. “Halo?”

Suara panik langsung terdengar, “Mas Bian! Tolong, Mas! Mas Roy, Mas! Mas Roy!”

Bian bagai tersengat listrik ribuan volt saat mendengar suara Rania yang gemetar dan ketakutan. Yang dia ketahui ketika kenal dengan Rania di rumah sakit dulu adalah cewek itu sangat tenang dan tertata, bukan tipe yang mudah panik. Jadi kalau sekarang Rania seperti sedang kebingungan luar biasa, maka itu pasti karena sudah terjadi hal yang teramat serius.

“Rania? Kenapa Roy?”

Terdengar isak tangis menjadi-jadi.

“Rania?” Bian merasa jantungnya berdegup lebih kencang dari biasanya, semakin lama semakin kencang, tanpa bisa ia kendalikan. Detakan yang ibarat hendak melompat keluar dari dalam dada.

“Rania!? Kenapa Roy?! KENAPA ROY!!!?”

“Mas… Mas Roy…”

Bian mendengarkan dengan kebingungan, terutama karena Rania terus terisak dan tidak jelas menggumamkan kata apa. Apa yang sedang terjadi? Dia tahu telah terjadi kejadian yang tidak menyenangkan, karena Rania tidak mungkin akan sepanik ini kalau tidak terjadi apa-apa. Pantas saja sejak tadi dia merasa tidak tenang.

Suara Rania berubah.

“Eh! Siapa kalian!? Lepaskan! Jangan sentuh dia! Jang…”

Terdengar suara jeritan.

Kk.

Klkk.

Sambungan panggilan dengan Rania terputus.

Bian terbelalak kaget, ia menatap ponselnya tak percaya. What the f…

Apa yang terjadi?

Tangan Bian dengan cekatan segera membuka grup Lima Jari. Hanya merekalah yang bisa membantunya mencari jawaban akan apa yang terjadi pada Roy!

Segera!

.::..::..::..::.

Wajah Hageng berubah menjadi tegang, keringatnya menetes deras sementara jantung berdegup dengan kencang. Tangannya sedikit bergetar. Dia tidak percaya apa yang sedang terjadi. I-ini tidak mungkin! Ini tidak mungkin terjadi! Tidak! Tidaaaaaak!

Kenapa martabak yang tinggal satu-satunya di piring ketika mau diambil malah jatuh ke tempat sampah? Ini tidak mungkin terjadi! Martabak bersalut bumbu bawang yang segar bikin segrak, padat dengan paduan tiga telur bebek, sayuran, dan daging yang berlimpah. Kenapa kenikmatan duniawi itu terbuang sia-sia tanpa sempat mampir ke mulutnya yang telah menanti dengan harapan yang membumbung tinggi? Kenapa justru ending membagongkan ini yang terjadi? Kenapa?

Kenapaaa?

Hageng berlutut, dua tangannya menengadah.

Tidaaaaaaaaak!!

Ini mengerikan! Ini horor! C’est si terrible!

Sungguh sebuah drama kehidupan yang tragis! Seluruh negara seharusnya mengibarkan bendera setengah tiang karena kejadian ini! Tidak boleh terulang dan tidak boleh ada yang merasakan tragedi yang sama dengannya! Sangat menyayat hati! Pedih tapi tak berdarah! Huhuhu… kenapa…? Kenapa dunia begitu kejam? Sementara korupsi merajalela, sementara masih banyak orang yang menderita, sementara masih banyak rakyat hidup di bawah garis kemiskinan, sementara kehidupan buruh masih belum mencapai garis kesejahteraan, kenapa justru peristiwa ini menimpanya?

Oh sedihnya. Semua sedu sedan itu, kemana lagi dia harus mengadu?

Hiks. Oh dunia nan kejam. Tidak siang tidak juga malam, sekali kejam tetaplah kejam.

Hageng menunduk dengan nafas tersengal melihat gugurnya sang prajurit martabak asin populair yang dibelinya di perempatan Jalan Oslo deket Rumah Sakit Mathilda kemarin malam. Martabak super spesial yang ia gadang-gadang akan menjadi prajurit terakhir yang akan tersisa di penghujung perjuangan dan ia simpan dengan penuh rasa sayang di kulkas.

Hati Hageng bagai teriris ketika kenangan menghampiri.

Masih teringat bagaimana prajurit itu dibentuk di minyak mendirih, masih teringat saat ia ngeces melihat sang prajurit dibolak dan dibalik, ditekuk dan dilempar melebar. Ia melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana sang martabak yang dibesarkan sejak kecil, diajarkan cara menjadi gemuk, diberi berbagai macam asupan supaya tumbuh dan berkembang agar berguna bagi nusa dan bangsa. Kenapa harus berakhir begini jika awalnya begitu apik?

Oalah. Donya ki pancen og.

Kejaaaaaaam!

“Err… Mas Hageng sedang ngapain?”

Suara lembut seorang wanita mengagetkan Hageng yang tengah menatap ke dalam tempat sampah di dalam kamarnya dengan pikiran ngalor ngidul ngulon ngetan masih dalam posisi jongkok dan tangan menengadah.

Pintu kamar kos Hageng kebetulan memang terbuka, sehingga sang tamu bisa melongok ke dalam kamar yang legendaris itu. Konon kamar ini adalah kawah candradimuka, tempat orang-orang dilatih, digodok, dan menjadi sukses. Sebut saja nama-nama seperti John Lennon, Michael Jackson, Eminem, Justin Bieber, Tukang jual odading Iron Men, dan tukang goreng Bebek Pak Slamet – semua tidak ada hubungannya dengan kamar Hageng.

Seorang bidadari seakan-akan baru saja turun dari khayangan untuk hadir di depan kamar Hageng, kontras bumi langit dengan kamarnya yang ra umumbluthuk dan berantakan. Gadis yang mengenakan kerudung itu tampil cantik, bersih, rapi, dan mengenakan pakaian yang sopan. Cantik dan segar.

Namanya? Hasna. Lengkapnya Hasna Novita. Muda, cantik, alim, dan berstatus mahasiswi semester satu dari Universitas Negeri. Berbeda dengan Hageng – gadis ini adalah harapan masa depan bangsa.

Hasna

Lalu bagaimana mungkin makhluk semulia Hasna bisa sampai di depan kamar Hageng yang kotor dan nista? Hasna adalah putri bungsu dari pemilik kos-kosan Hageng. Jelas kedatangannya membawa maksud dan tujuan yang sepesiyal.

Hageng sendiri sedikit terkenyot dengan kehadiran Hasna di depan pintu kosan yang memang sengaja dibuka supaya tidak pengap dan ada pergantian hawa di dalam ruangan. Selain untuk mengeluarkan hawa busuk di dalam kamar yang kira-kira sebelas dua belas dengan kaus kaki yang tidak dicuci dua bulan, siapa tahu juga ada ayam tetangga masuk dan terjebak di dalam, lumayan kan buat bahan sate. Tapi hwarakadah kok yang datang bukannya ayam tetangga tapi malah Hasna.

Tapi yo malahane. Malang tak dapat diraih, untung tak ditolak. Jos kotos-kotos.

Hageng segera bangkit dan menemui sang putri pemilik kosan yang berdiri di depan pintu. “Ah. Awan terbang tergenggam kelam, lalui langit di ujung menggantung. Mimpi apa daku zemalam, ada Dek Na datang berkunjung.” Hageng tersenyum lebar, “Lempar tangan zembunyi batu, jadi apa yang biza Hageng bantu?”

“Hahaha. Bisa aja Mas Hageng bikin pantunnya.” Hasna terhibur. Perasaan bahagia gadis itu saat mendengar pantun Hageng mirip ketika ia melihat atraksi topeng monyet. Awalnya lucu lama-lama pengen muntah dan lebih baik tidak dilanjutkan.

Hageng jadi berasa ganteng dipuji oleh cewek semanis Hasna. Dia menyender di tepian pintu sambil memamerkan jajaran gigi berjajar membentuk senyuman tulus. Di sela-sela gigi sebenarnya ada sisa daun bawang dari martabak. Tapi Hasna tidak enak kalau memberitahu Hageng – antara segan dan malu sendiri.

Gadis cantik itu melanjutkan tujuannya datang kemari sembari melongok ke arah ponselnya. “Ini lho… Mas. Mau menanyakan tagihan kosan untuk dua bulan ini, kok belum dibayar ya? Biasanya Mas Hageng rajin. Tumben amat, Mas?”

Badalah. Hageng jadi berasa malu. Wajahnya memerah seperti ubi jalar. Perlahan-lahan sang pria bongsor sembunyi ke belakang pintu. “Ze-zebenarnya uangnya zudah diziapkan kok, Dek Na. Tapi kartu ATM daku ketelen karena zalah pencet nomor PIN. Di hape juga belum pazang aplikazi perbankannya jadi haruz nguruz dulu ke Bank. Apakah biza pembayarannya menyuzul? Pazti dibayar. Daku mana pernah zih tidak membayar uang koz zama Dek Na. Hahaha. Ha ha ha… huff.” Tawa Hageng garing. “Paling lambat luza daku bayar, Dek Na. Tak enak razanya kalau zampai haruz ditagih begini.”

“Iya, Mas. Makasih ya. Makanya Na juga jadi penasaran, soalnya Mas Hageng biasanya paling rajin bayar. Belum diminta pun sudah bayar. Ya sudah, kalau begitu, nanti Na sampaikan ke ibu.” Hasna sudah hendak berbalik, ketika kemudian ia menatap Hageng sambil menahan tawa. “Mawar melati, kencana ungu. Mau sekarang atau nanti, kami tetap sabar menunggu. Hihihi.”

Uwoooh. Berbalas pantunkah ini? Malam minggu moco cerita saru, apakah ini yang namanya ketiban ndaru? Hageng sumringah. Kapan lagi bisa berbalas pantun dengan cewek seperti Hasna? Hal seperti ini harus ditindaklanjuti, dipahami, dan disepakati!

“Buah semangka buah duku, buah duren…”

“Eh iya – ngomong-ngomong soal buah, Mas Hageng sudah makan belum? Kebetulan Na tadi bikin gorengan tapi ga abis. Ada tahu, pisang, tempe. Kayaknya kalo dikasih ke Mas Hageng pasti ludes deh. Bapak, Ibu, Adik sudah kenyang semua.”

Hageng langsung mengurungkan niatnya untuk melanjutkan pantun buahnya saat mendengar kata makan dan gorengan. Dia menggeleng dengan jujur dengan wajah memelas. Jujur karena dia memang belum makan… untuk yang keenam kalinya hari ini. Setidaknya setelah menghabiskan hampir satu dus martabak sendirian, perutnya masih keroncongan karena bagaimanapun dia masih ada di masa pertumbuhan. Jadi yah, bisa dibilang dia belum makan… lagi.

Melihat Hageng menggeleng kepala, Hasna tertawa. “Hahaha, oke deh. Sebentar aku ambilin ya, Mas.”

Hageng mengangguk dengan kencang. Yes. Tidak ada yang lebih indah dari santai di sore hari sembari makan gorengan. Pria bongsor berambut kribo itu menyaksikan sang gadis jelita lenyap di antara koridor. Hasna berjalan dengan tertatih, sedikit pincang. Hal itu bukan karena dibuat-buat melainkan karena Hasna memang pincang sejak masih kecil, kakinya terluka parah setelah dilindas truk saat ia masih balita, dan itu membuatnya memiliki cacat hingga kini. Tapi itu tak pernah menyurutkan keceriaannya.

A few moments later.

Tak lama kemudian, Hasna muncul kembali sembari membawa nampan berisi piring gorengan dan dua gelas kopi. Hageng kembali terkenyot saat menyaksikan gadis itu rupanya melengkapi nampan dengan kopi. Eleh-eleh, kok ya ngerti banget si Hasna ini.

Hageng buru-buru berdiri untuk membantu Hasna dengan nampannya dan meletakkannya di meja di samping kursi santai yang ada di depan kamar Hageng.

“Dek Na! Kok ada kopi zegala zih? Kan jadi enak.”

“Hahaha. Iya nih. Sekalian diicip kopinya ya, Mas. Ini kopi Aceh Gayo titipan temen. Jadi ceritanya Na bantuin dia jualan kopi paketan online, Mas. Kalau Mas Hageng cocok kan bisa beli sama Na atau kalau bisa ditawarin juga ke temen-temennya Mas Hageng.”

“Ada buaya berenang di rawa-rawa, hla ini yang namanya mantap jiwa.” Hageng sumringah. Gimana tidak sumringah, ada gorengan, ada kopi, ada cewek cakep. Paket lengkap yang sangat lengkap.

Mereka pun duduk di kursi santai yang ada di depan kamar sang T-Rex. Tempat ini memang asyik buat nongkrong karena di depan kamar Hageng kebetulan ada taman indah yang biasanya dirawat sendiri oleh Hasna kalau pas sempat. Suasana hujan membuat gorengan hangat dan kopi menjadi obat yang tepat, sementara wajah jelita menjadi peneduh jiwa.

Ah, indahnya dunia.

Tadi katanya kejam?

Ga jadi. Dunia ini indah kok.

Sembari makan dan minum, Hageng dan Hasna bercakap-cakap.

“Na sering lihat lho, Mas Hageng latihan beladiri di taman depan situ akhir-akhir ini. Itu latihan apa sih, Mas? Kayaknya seru banget. Taichi atau waitangkung ato apa? Sepertinya bukan ya? Pukulannya tegas tapi gerakannya lembut, kayak… hmm… apa ya istilahnya? Kayak… kayak apa ya… kayak ada alunan irama lembut dalam ketegasan gerakan. Hahaha, asal banget Na jelasinnya.”

Hageng tidak segera menjawab karena mulutnya penuh pisang goreng. Setelah selesai mengunyah barulah ia menjawab, “itu belajar olah kanuragan biaza zaja kok, Dek Na. Zemacam pelatihan badan, napaz, dan ketahanan. Kalau Na mau biza daku ajarin. Cuma yang verzi daku agak berat zih kalau untuk cewek. Mungkin biza daku ajarin yang verzi lite-nya sekedar untuk mengolah napaz dan kebugaran badan.”

“Serius Mas Hageng mau ngajarin Na?”

“Lho, zeriuz dong. Dua riuz malah kalau muridnya zeperti Dek Na. Bagai pelangi berpelita aku terpana. Karena zepertinya tidak ada wanita zeindah Dek Na. Uhuhuy.”

“Ahahay. Anjaya pantunnya. Tapi nanya dulu nih, ngajarinnya mahal nggak? Na kan lagi bokek gara-gara Mas Hageng belum bayar kos.”

“Boleh dibayar dengan gorengan.”

“Haeh. Sudah kuduga.” Hasna tertawa. “Jadi mau mulai kapan nih ngajarinnya?”

“Mungkin biza kita mulai zetelah…”

Sayang keakraban dua insan itu terganggu ketika ponsel Hageng menyalak menandakan ada pesan masuk. Meski awalnya Sang T-Rex menatap dan membuka layar ponselnya dengan setengah hati, perlahan-lahan wajahnya berubah menjadi serius.

Ia menggemeretakkan giginya dengan geram. Matanya terbelalak.

Hageng berdiri sambil menatap layar ponselnya. “Ti-tidak mungkin!”

Hasna hanya menatapnya dengan bingung.

Apa yang terjadi? Baru kali ini Hasna melihat Hageng memiliki wajah yang amat kebingungan.

“Kenapa, Mas?”

“Roy!”

Tiara

Motor Simon berhenti di depan rumah Ara.

Gadis itu pun turun sembari tersenyum dan menyerahkan helm kembali pada sang pemuncak gunung menjulang. Perjalanan mereka sudah berakhir.

“Hari yang menyenangkan, Bos. Terima kasih sudah mengajakku lari pagi di Kalipenyu, makan siang di Pekam, dan minum kopi di Warung Telulas. Kapan-kapan boleh lah kita ulang lagi, demen banget kalo dibayari.” ucap gadis itu sembari mengacungkan jempol dan tertawa.

“Aku juga senang bisa mengajakmu pergi hari ini. Suasananya jadi berbeda dibandingkan kemana-mana sendiri, bikin hidup lebih hidup. Hahaha.” Simon ikut tertawa, “Oh iya, ini… oleh-oleh untuk Mama Papa kamu.”

Simon menarik tas plastik berisikan jadah tempe Mbah Lurah yang tadi sempat mereka beli sebelum turun ke kota dari wilayah atas Kalipenyu. Ara terkejut, karena tadi saat membelinya Simon bilang jadah tempe itu ia beli untuk neneknya sendiri, bukan orang tua Ara.

“Lho, gimana sih. Itu kan kamu beli buat…”

“Kalau aku bilang itu oleh-oleh buat papa mama kamu, apa ya kamu mau?”

“Ya nggak sih.”

“Makanya.” Simon tersenyum lebar. “Ya udah ini buat Mama Papa. Sedari awal memang niat mau beliin buat mereka.”

Ara mendengus dan tersenyum, ia pun menerima tas plastik jadah tempe dari Simon. “pesan simbah-simbah dulu rejeki ga boleh ditolak. Makasih ya.”

Simon tertawa dan mengedipkan mata kiri, “Sip lah. Oke. See you kapan-kapan lagi.”

“Iya.”

Meski sudah mengucapkan salam perpisahan tapi sang pemuncak gunung menjulang tak beranjak. Pemuda itu hanya terdiam dan menatap Ara dengan pandangan yang dalam, seakan nayanika Ara membuatnya tenggelam. Bagai ada kata yang ingin disampaikan tapi tak kunjung diucapkan. Hanya ada barisan kata terserap dalam benak yang tak sanggup ia ungkap.

Wajah Ara memerah dipandang begitu lekat oleh Simon yang tampan.

“Apaan sih?”

“Ah, nggak.” Simon tersenyum dan menggeleng. “Tahu tidak, kamu mengingatkan aku pada seseorang.”

“Siapa? Pevita Pearce? Hihihi.”

“Waduh kok agak jauh ya. Hahaha.”

“Ya kan siapa tahu kamu ternyata rabun.”

Simon tergelak.

Tetes air turun dari langit, dersik merundung sepasang pemuda dan pemudi yang belum berpasangan itu. Menandakan hujan segera hadir dan menyapa. Saatnya Simon beranjak pergi dari mimpinya. “Kalau sekarang beneran pamit, sudah mau hujan. Sampai kapan-kapan.”

“Sampai kapan-kapan.”

Motor Simon meraung dan pemuda itu beranjak pergi dengan motornya. Ara tersenyum menatap kepergian Simon dan berdiri di depan rumah sampai pemuda itu benar-benar menghilang dari pandangan, ia pun berbalik ke rumah, membuka pagar dan bersenandung.

“Sudah jalan-jalannya? Kamu kelihatannya bahagia banget.”

Ara terhenyak dan mundur dua langkah karena kaget mendengar suara yang sama sekali tidak ia duga-duga. “M-Mas Deka?”

Deka tersenyum jumawa, ia duduk di teras rumah Ara. Dengan kaki disilangkan, mata menatap lekat, dan jemari saling menaut menyangga lutut. Bibirnya menyunggingkan senyum yang tak terlihat ikhlas, lebih ke senyum tipis nan sinis.

Ara mendengus. Ia melirik ke kanan dan kiri, tak nampak motor Deka – mungkin dia naik ojek online atau diantar teman kemari. Pantas saja Ara jadi tak curiga karena tak melihat motornya diparkir di depan rumah atau di depan garasi rumah.

Gadis itu melesakkan tubuh di kursi rotan santai di samping Deka. Di antara mereka ada sebuah meja bulat, Ara pun meletakkan makanan yang dibeli oleh Simon di atas meja.

“Sudah lama?” tanya Ara kemudian tanpa melirik sekalipun ke arah tunangannya.

Deka tersenyum dan menggeleng, “belum.”

“Hmm.”

“Belum dua hari, aku ada di sini sejak pagi tadi.”

Ara menarik napas panjang dan menelan ludah, ternyata Deka sudah sangat lama berada di sini. Tapi entah kenapa itu tak membuatnya merasa bersalah, justru membuatnya jengah. “Mau ngapain datang pagi-pagi ga ngabarin? Kalau Mas ngabarin aku kan ga bakalan keluar.”

“Mau kasih kejutan. Tapi ternyata aku yang dapat kejutan.”

“Hrrh.” Ara memutar matanya ke atas, pasti Deka bakal salah paham karena tadi melihat dia pulang bersama Simon. Tapi ya sudah lah ya, biarin aja. Toh Simon tidak ngapa-ngapain dan Ara sendiri merasa tidak ada apa-apa yang terjadi. Kalaupun Deka marah, penjelasannya bakal panjang – dia sedang sangat malas berdebat.

“Kamu suka sama dia?” tanya Deka pelan.

“Jangan ngawur, Mas.”

“Ga apa-apa kok kalau beneran. Aku hanya mau tahu kebenarannya saja. Lebih cepat kita sama-sama tahu apa yang sebenarnya terjadi lebih baik.”

Ara menarik napas panjang, dia hendak berdiri dan meninggalkan Deka. “aku sudah tahu masalah ini bakal panjang. Jadi daripada aku menjelaskan panjang lebar tanpa kamu berkenan, lebih baik menunggu saat kita sama-sama sudah tenang. Aku capek, ga pengen berantem sore ini. Kalau kamu sudah ga percaya sama aku ya sudah.”

Deka menahan tangan Ara. “Duduk dulu.”

Ara meronta karena genggaman tangan Deka membuatnya sakit. “Apaan sih!”

“Maaf.” Deka melepaskan tangannya.

Ara pun duduk sembari bersungut-sungut. Ia memalingkan muka dengan sebal.

“Maaf.” Deka mengulang kata.

“Tidak ada apa-apa yang terjadi.” Nada suara Ara ketus. “Puas?”

Deka tersenyum.

Kedua insan yang pernah saling mencinta dan berbagi asa itu bagai menemui tembok tinggi yang tidak bersedia mereka lompati. Andai saja ada yang mengalah dan meruntuhkan ego untuk mengucapkan kata maaf mungkin tidak jadi begini. Kecocokan dan keselarasan itu sesungguhnya tidak secara tiba-tiba saja ada, tapi diciptakan, dipupuk, dan dirawat oleh dua ego yang dilebur jadi satu dengan ikhlas saling mengalah demi mendapat hasil terbaik bagi kebahagiaan bersama.

“Aku tahu tidak ada apa-apa yang terjadi. Aku percaya kok sama kamu.” Deka berkata.

“Ya sudah. Lalu kenapa wajahnya seperti itu?” Ara masih memalingkan wajah, tapi ia sempat melirik sedikit ke arah Deka.

“Tidak apa-apa.” Deka tersenyum, “kamu tahu tidak kenapa aku tahu dan yakin kalau tidak akan ada apa-apa yang terjadi antara kamu dan dia?”

“Kenapa?”

“Karena aku tahu, kamu juga tidak akan mendapatkan ketenangan bersamanya. Simon ganteng, kaya, dan perkasa – tapi dia bukan sosok yang kamu inginkan. Aku tahu kok apa dan siapa yang sebenarnya kamu cari.” Deka mendesah panjang, seakan-akan tidak ingin mengatakan satu hal yang selama ini tercekat di tenggorokannya. “Aku juga tahu kenapa aku tidak akan pernah bisa membahagiakan kamu jika kamu masih mengharapkan aku menjadi pengganti atau pelampiasan.”

Ara menunduk sembari memainkan ujung baju.

Deka melanjutkan. “Aku sudah berusaha menjadi apa yang kamu butuhkan, meski selamanya aku tak akan pernah bisa menjadi apa yang kamu inginkan. Aku tak akan pernah bisa lepas dari bayang-bayangnya.”

“Mas… maksud kamu itu apa sih? Aku-”

“Bertahun-tahun aku mencoba memberikanmu berbagai macam sisi dari kepribadianku yang mungkin bisa membuatmu senang, tenang, dan nyaman. Tapi kita berdua sama-sama tahu, aku tidak akan pernah bisa menjadi sosok yang kamu inginkan bagaimanapun aku mencoba. Tidak akan pernah bisa. Kenapa? Karena kamu punya standard yang tidak bisa aku capai. Aku tahu kamu kecewa, karena aku pun kecewa.”

Deka melirik ke arah Ara yang hanya menunduk dan terdiam.

“Pada akhirnya kita hanya akan sama-sama saling menyakiti dan ini tak sehat. Tahukah kamu betapa menyiksanya ini semua? Kamu tak akan pernah menemukan apa yang kamu cari dan aku tidak akan pernah nyaman dengan keadaan ini. Kita membuang-buang waktu untuk sesuatu yang sia-sia.”

Setelah berbicara banyak, Deka berhenti lagi untuk menghela napas.

Ara juga terdiam. Tapi tak beberapa lama kemudian si cantik itu membuka mulut.

“Kita sepertinya memang ada masalah yang perlu diselesaikan, Mas.” Ujar Ara sembari menatap Deka dengan tajam. “Setelah semua yang kamu bilang itu, terus sekarang mau kamu bawa kemana hubungan kita? Apakah kamu masih yakin dengan pertunangan ini? Karena kalau kamu ragu, aku juga jadi ragu.”

Deka terdiam sembari menatap Ara. Dia tidak boleh jahat dan menahan Ara demi ego semata, kalau memang mereka tidak berjodoh, maka sebaiknya tidak dilanjutkan. Lebih baik memutuskan semuanya sedari awal sebelum semua terlambat.

Tapi apa benar dia tidak menghendaki Ara setelah apa yang mereka lalui bersama?

Apakah dia yakin dengan perasaannya sendiri dengan Ara? Apakah dia yakin dengan perasaannya sendiri pada Dinda? Ataukah sebenarnya dia hanya merasa sayang kehilangan Dinda karena ego semata, dan bukan berdasar pada rasa cinta yang sebenar-benarnya? Bagaimana kalau rasa cinta itu tetap hinggap pada Ara?

Khayal Deka membawanya jauh ke sebuah masa. Saat itu hanya Roy yang mengetahui kalau Deka mulai mendekati Ara – setelah sang dara putus dengan si Bengal. Saat itu mereka berdua sedang duduk-duduk di sebuah angkringan di Jalan Kalipenyu kilometer bawah, masuk ke jalan Dandega.

“Kamu yakin, Ndes? Yakin sama Ara? Yakin sama perasaan kamu? Yakin dia suka sama kamu? Yakin kamu tidak dijadikan sebagai pelampiasan saja?”

“Yakin, yakin, dan yakinlah, Nyuk. Lagipula aku harus gimana lagi? Ara itu cewek yang cantik, pintar, dan mandiri. Dia tahu apa yang dia inginkan dan yang lebih penting – dia juga bilang kalau dia punya perasaan yang sama denganku sewaktu aku bilang aku naksir dia. Bayangin, cewek paling cantik di SMA CB bilang kalau dia suka sama aku, Nyuk. Masa iya aku sia-siakan begitu saja?”

“Ara memang cantik. Tapi secepat ini nge-bounce setelah lepas dari si Bengal? Aku takut kalian hanya akan saling menyakiti nantinya. Kita semua sedang sama-sama sedih karena kepergian Nanto ke desa. Tanpa dia, semua tujuan hidup kita rasanya sudah tak ada artinya.”

“Betul, itu sampai aku menjalin janji dengan Ara.”

“Tapi jangan hanya gara-gara kalian berdua kehilangan sosok Nanto maka mencari jawaban di tempat yang salah,” ucap Roy mencoba memberikan alasan kenapa dia ragu-ragu mendukung hubungan Deka dan Ara, “aku sayang sama kalian berdua – itu sebabnya aku berharap kalian benar-benar serius. Kalau memang kamu orang yang tepat baginya, maka jangan sakiti dia. Ara itu bagaikan jari keenam kita, dia sudah ada sejak awal kita berlima berkumpul. Nanto sengaja melepasnya karena tahu hubungan mereka tidak akan berjalan dengan baik setelah dia harus pindah ke kampung. Dia membebaskan Ara karena tahu gadis itu masih bisa terbang lebih tinggi tanpa dirinya. Sekarang pertanyaan itu diajukan ke kamu, Nyuk. Yakin kamu yang akan membawanya terbang?”

Saat itu Deka mengangguk dengan yakin.

Bagaimana sekarang?

“Mas?”

Panggilan Ara membangunkan Deka dari lamunannya. Pemuda itu mendesah dan memandang ke arah Ara. “Aku tidak tahu, jujur aku bingung harus bagaimana. Bagaimana menurutmu?”

Hujan akhirnya turun, makin lama makin deras.

Ara menunduk, badannya bergetar, dia tahu sesaat lagi dia akan mengucapkan kalimat paling tidak nyaman yang akan ia ucapkan pada sang tunangan, tapi dia harus mengucapkannya sekarang, “bagaimana kalau kita break dulu sejenak untuk mengartikan apa artinya hidup kita dengan atau tanpa pasangan? Mungkin kita berdua butuh waktu untuk mencerna apa sebenarnya yang membuat hidup kita nyaman dan bahagia. Setelah itu baru kita putuskan apakah pertunangan ini sebaiknya dilanjutkan atau tidak.”

Deka menatap Ara dengan pandangan sendu. Dia sedih sekaligus paham.

Tapi ia tak sempat bereaksi karena tak lama kemudian smartphone-nya berbunyi nyaring. Deka melirik ke arah gawai-nya dan matanya terbelalak.

Ia berdiri dengan wajah tak percaya. “Ti-tidak mungkin.”

Ara mengerutkan kening. “Ada apa?”

Deka menggelengkan kepala. “Ini tidak mungkin terjadi!”

“Ada apa?”

“Roy!”

.::..::..::..::.

Rao membuka pintu kamarnya. Hari ini dia sengaja tidak berlama-lama di Kandang Walet dan memutuskan untuk pulang lebih cepat dari biasanya. Dia juga menyempatkan diri untuk membeli makanan dan minuman dari Indom@ret terdekat. Suatu hal yang sangat-sangat jarang ia lakukan.

Jingan su. Kok ya mau-maunya dia melakukan hal seperti ini demi seseorang yang baru ia kenal. Asuw og. Kenapa Rao berubah jadi cowok perhatian begini? Trembelane.

Semua gara-gara cewek itu.

Cewek yang datang dari antah berantah itu membuatnya khawatir akan bermacam-macam hal.

Ketakutan pertama adalah khawatir kalau-kalau ada orang yang masuk ke kamarnya tanpa permisi dan menjumpai seorang cewek sedang tidur di tempat tidurnya. Hal seperti itu bakal jadi masalah panjang yang malas dia jelaskan pada siapapun.

Ketakutan kedua adalah khawatir gadis itu bosan atau galau karena seharian terus menerus berada di dalam kamar. Paling-paling hanya menonton TV saja – bosen abis. Jadi dia berniat menyenangkan hati sang dara yang manis dengan sedikit jajanan.

Bangsat.

Manis? Manis opone seh? Kok dia jadi peduli? Mau manis kek, mau nggak kek – sebodo.

Persetan apakah dia manis atau pahit!

Kenapa dia jadi punya pikiran yang macam-macam gini soal anak orang? Dasar bodoh! Pengalaman bertarung banyak, pengalaman njotos ndas seabreg, tapi pengalaman bagaimana memperlakukan cewek nol besar. Apa ya dia harus banyak-banyak belajar dari Simon dan Nanto? Asuw og.

“Aku pulang.” Rao menutup pintu setelah masuk ke dalam.

Mata sang hyena gila langsung terbelalak saat melihat kamarnya. Rao tinggal di sebuah kontrakan susun yang mirip dengan apartemen ukuran single bedroom – itu artinya ada satu kamar, satu kamar mandi, dan satu ruang tamu dengan dapur yang menyatu. Meski kamarnya cukup luas, Rao tidak perlu membayar mahal untuk kamar ini karena keluarganya sendiri yang mengelola seluruh kontrakan susun, jadi dia menempatinya secara gratis.

Tapi tentu saja Rao sangat jarang pulang ke kontrakannya ini, dia malah lebih sering tidur di Kandang Walet. Baru setelah kedatangan Nuke di kamarnya, Rao jadi lebih sering pulang dan terlelap di kursi di ruang tamu. Kadang paginya sudah ada selimut melindunginya dari udara dingin.

Nah.

Yang membuatnya terkejut hari ini adalah betapa rapi tempat tinggalnya. Botol-botol minuman keras yang tadinya berserakan di atas dapur kini sudah masuk ke plastik sampah yang tinggal dibuang. Makanan kecil dan gorengan terhidang di meja. Kursi rusak tak lagi berada di depan TV, digantikan oleh karpet bersih yang sebelumnya tidak pernah ia pasang dan teronggok di ujung ruangan. Lantai yang kotor sudah bersih setelah dipel dan kamar mandi juga sudah dibersihkan.

“O-oh… Mas sudah pulang rupanya.” Nuke yang masih mengenakan sarung dan kaus Rao keluar dari kamar untuk menyambut sang hyena. Wajahnya bahagia karena ia akhirnya bisa mempersembahkan hasil kerja kerasnya seharian.

“A-apa-apaan ini? Kenapa rumahku jadi berbeda?!”

Suara ketus Rao membuat wajah senang Nuke berubah menjadi wajah ketakutan, apakah dia sudah melakukan kesalahan? “Aduh, aku berbuat salah ya? Maaf ya, Mas. Tadinya aku berpikir karena aku hanya diam saja tanpa ada kegiatan apapun di rumah, makanya aku mengambil inisiatif untuk berbenah dan merapikan ruangan sekedar sebagai ucapan terima kasih buat Mas. Maaf banget kalau ternyata Mas tidak berkenan dengan hal itu.”

Rao mendengus-dengus seperti ada badaknya. Pandangannya berkeliling dengan nyalang. Terlihat sekali kalau dia tidak suka.

Nuke semakin khawatir melihat wajah Rao yang berubah menyeramkan dengan cepat. Sepertinya sang hyena gila jadi emosi sekali. Gadis itu pun buru-buru memperbaiki kesalahannya. “Maaf aku sudah nekat dan lancang ya, Mas. Sungguh aku sebenarnya hanya berniat untuk merapikan…”

“Aku benci ini.” Rao mendengus kesal. Ia meletakkan barang-barang yang ia bawa di atas meja. “Sumpah, aku benci.”

Nuke adalah gadis yang kuat dan sudah banyak makan asam garam ketika berhadapan dengan preman PSG di lapangan dulu. Tapi kali ini dia menunduk ketakutan, karena wajah Rao yang keras terlihat mengerikan, jauh lebih mengerikan dari preman manapun yang pernah ia temui – padahal wajah Rao sendiri sebenarnya tidak buruk, bahkan cenderung lumayan kalau saja lebih sering mandi, tidak mabuk, dan mengenakan pakaian yang bersih. Seperti pemiliknya, ruangan yang sudah di-make-over ini juga sebenarnya jadi lebih rapi dan indah. Tapi ketika marah, ia sungguh terlihat menyeramkan.

Hasilnya gadis itu terbata-bata saat berhadapan dengan sang hyena yang sudah menyelamatkan nyawanya dari sergapan orang-orang PSG tempo hari. Tentu saja dia tidak ingin membuat pria yang sudah berbaik hati itu menjadi tidak nyaman. “Maaf, aku tidak tahu, Mas. Aku sudah lancang banget ya? Maaf, aku… sungguh… maksudku… sebenarnya niat awalku hanya ingin membalas budi dengan membersihkan ruangan-ruangan yang ada di rumah ini karena…”

“Aku benci ini semua.”

“Iya, Mas. Aku tahu. Lain kali aku tidak akan…”

“Aku benci karena ruangan ini jadi apik. Aku benci karena aku harus berterima kasih sama kamu, aku benci karena aku nantinya pasti bakal peduli sama kebersihan ruangan yang jika sudah kamu tinggalkan maka kelak akan kembali ke bentuknya yang lama dan kotor. Aku benci ketika menyukai apa yang sudah kamu lakukan.”

“Eh?” Nuke tidak paham. Jadi… mana yang benar? Benci atau suka?

Rao menghela napas panjang. Dia menunjuk ke arah sarung dan baju yang dikenakan oleh Nuke. “Bajumu yang asli sudah bisa dipakai? Aku tidak mau kamu kemana-mana pakai sarung.”

“Err… sudah?”

“Ya sudah, sekarang bersiap-siap. Kenakan bajumu yang sudah kering, ambil masker dari box yang ada di atas meja, dan kenakan topi yang ada di gantungan baju, wajahmu masih harus ditutupi sebisanya. Kamu boleh pakai sweater-ku yang baru saja datang dari laundry.” Rao bicara nyerocos tanpa henti. Selama itu dia tidak melirik ke arah Nuke sekalipun.

Apalagi saat kaus yang dikenakan sang dara berulang kali melorot karena bagian bahunya lebar dan baju itu kebesaran, jadi saat melorot sering memperlihatkan sebagian dari pundak mulusnya atau belahan atas buah dadanya yang terlihat ranum. GlegJinguuuuk.

Pengen cari yang seger-seger langsung dikasih kesegaran sejati yang ada pucuknya. WadidawCocoteeee, nyuk! Marai salah fokus!!

“Hah? Pergi? Jangan-jangan Mas mau ngusir aku?” Nuke langsung lemes. “Mas beneran mau ngusir…”

“Tidak. Makanya dengerin dulu.”

“Ha?”

“Aku ngajakin kamu makan malam di warung bakmi godog dekat sini. Tidak baik seharian terkungkung di kamar seperti dipenjara. Kamu harus dapet udara segar.”

“HAH!?”

Rao tidak menatap sama sekali ke arah Nuke meski sejak tadi terus menerus mengajaknya ngobrol. Berani menatap preman, tapi ga berani menatap mata Nuke yang indah. Dasar.

Rao meneguk ludah untuk merubah fokus. “Suka bakmi godog kan? Atau kalau mau makan yang lain ada juga menu nasi goreng, capcay kuah atau goreng. Warungnya tidak jauh, jadi kita jalan kaki saja kesana.”

“Su-suka kok.” Nuke meneguk ludah, “tapi aman kan, Mas? Aku tidak mau menambah kacau suasana dengan merepotkan Mas Rao demi untuk melindungiku seandainya ada yang mengenaliku dan akan melaporkannya ke Bang Gunar karena…”

“Selama bersamaku, aku jamin tidak akan ada orang yang berani mengganggumu. Lagipula ini di wilayah utara, bukan wilayah PSG. Mereka tidak akan berani macam-macam di tempat ini.”

Jantung Nuke berdegup lebih kencang dari seharusnya saat mendengarkan Rao mengucapkan kalimat demi kalimatnya. Mau tak mau Nuke pun mengangguk dan tersenyum, “baiklah kalau begitu. Aku siap-siap dulu ya, Mas.”

Rao mengangguk.

Keduanya saling berpandangan.

Wajah mereka memerah hampir berbarengan saat menyadari mereka berdua saling menatap selama beberapa detik lamanya. Nuke dan Rao salah tingkah dengan hampir bersamaan dan membalikkan badan untuk mengerjakan urusan mereka masing-masing. Nuke buru-buru masuk ke kamar untuk mengganti pakaian sementara Rao mengumpat karena dia tenggelam dalam pesona sang dara.

Mungkin Rao tak paham, jika sudah waktunya, kita tak akan pernah bisa lolos dari perangkap gelora asmara.

Nuke

“Bagaimana?”

Seorang pria berdiri dengan gamang di bawah payung yang melindungi karena hujan yang mulai deras. Hati nuraninya berkecamuk melihat pemandangan menyedihkan di depannya. Meski terlambat datang, ia bisa menyaksikan akhir tragedi dari kejauhan. Pria yang mengenakan trucker hat dan memiliki rambut yang dicat warna coklat tua itu berdiri bersama dengan dua orang laki-laki lain yang juga baru saja menyaksikan apa yang telah terjadi. “Sepertinya kita datang benar-benar di saat yang tepat. Si brengsek itu pasti baru saja pergi. Sayang kita tidak bisa ikut campur untuk mencegah dia melakukan hal bodoh seperti ini.”

Pria kedua menatap dengan iba sosok wanita cantik dan anaknya yang mungil yang tengah menangis penuh nestapa di bawah hujan yang seakan tak mau reda. Mereka bisa sakit kalau terus menerus terpapar hujan deras. Si rambut coklat menggeleng kepala. “Si bangsat itu kembali berbuat seenaknya dan sekali lagi kita kejatuhan duren beresin masalah dia. Apa ya dia itu tidak kepikir kalau polisi bakal tahu apa yang terjadi dan bakal memburu dia.”

“Sepertinya sudah benar-benar tewas.” Seorang pria yang usianya paling tua di antara bertiga menghela napas, rambut pria itu sudah sepenuhnya keperakan, termasuk kumis dan jenggot panjangnya. “Yah, mau bagaimana lagi, memang ini pekerjaan kita, pekerjaan klandestin. Kita dibayar mahal untuk mengikuti secara diam-diam kemana Mas Rey pergi tanpa mencampuri urusannya dan membersihkan sampahnya kalau dia bikin masalah. Ayolah, kita tidak bisa berlama-lama di sini, harus melakukan semuanya dengan cepat dan segera mengejar kemana dia pergi.”

“Baru hari ini kita mengikuti dia dan sudah bikin ulah saja. Apa ya dia itu tidak kepikir kalau masalah yang dia timbulkan bakal bikin Bos terkena kasus? Bocah kok Koplak! Oh iya. Bagaimana dengan cewek itu dan anaknya?”

“Lihat kunci yang dibawa-bawa cewek itu? Itu pasti kunci rumah. Jadi sekap saja mereka di dalam rumah dan kunci dari luar. Pastikan untuk tidak menggunakan kekerasan karena aku tidak ingin kita menimbulkan masalah baru. Yang penting kita harus bawa mayat itu pergi dari sini. Kita harus buang semua bukti kelakuan Mas Rey demi melindungi Bos dari segala macam urusan hukum.” Pria yang lebih tua memberikan arahan. “Setelah kamu sekap cewek itu dan anaknya di dalam rumah, segera susul kami.”

“Lagi-lagi Mas Rey kena masalah yang berat.” Pria yang satu lagi geleng-geleng kepala dan ikut bergabung untuk menambahkan komentar – seorang pria berusia sekitar dua puluhan yang mengenakan topi berbentuk flat hat, “Sudah beberapa kali Bos meminta kita membuntuti Mas Rey karena adik Bos itu benar-benar sering bikin pusing. Belum selesai masalah satu, ini malah nambah lagi masalah lain. Untunglah sejak menginap di rumah Bos kemarin, Bos sudah ancang-ancang kalau Mas Rey bikin masalah baru dengan meminta kita menguntitnya.”

Pria yang paling tua menganggukkan kepala ke depan. “Sudahlah, yang penting kita kerjakan saja tanpa banyak mengeluh, ini sudah permintaan Bos. Bisa dibilang kita beruntung dapat membereskan masalah yang kali ini sebelum bola salju berubah menjadi longsor besar. Sebelumya dia selalu bikin masalah dan tidak semuanya bisa kita bereskan, jadi kita benar-benar beruntung. Baru sekali ini kita berada di tempat yang tepat pada saat yang tepat. Coba ingat korban-korban lain – kita bahkan kadang gagal mendeteksi lokasi keberadaan Mas Rey berada meski sudah dipasang pelacak di ponsel dan mobilnya.”

Si rambut coklat dan topi flat hat mengangguk. Apa pun yang diucapkan oleh pria berambut perak akan mereka turuti sebagai murid. Di jajaran QZK, pria ini punya jabatan yang setara dengan Syamsul Bahar – satu di antara empat perisai QZK.

Setelah tahu tugas masing-masing, mereka bertiga pun berpencar. Sang pemuda berambut coklat mencoba mendekati posisi di mana Rania masih memeluk Lena dan menangisi Roy. Si cantik itu menarik tubuh Roy sekuat tenaga ke pinggir rumah dan mencoba mencari ponselnya dengan panik. Dia tak menyadari ada tiga sosok pria yang memasuki pekarangan rumahnya dengan diam-diam di bawah hujan yang deras.

Rania yang sampai di teras rumah segera mengeluarkan ponsel dan buru-buru mencari nomor Bian.

Terdengar nada panggil, tak lama kemudian panggilan itu diangkat dari sisi sana.

Halo?

“Mas Bian?! Tolong, Mas! Mas Roy, Mas! Mas Roy!”

Rania? Kenapa Roy?

Isak tangis Rania makin menjadi-jadi.

Raniaa? Kenapa Roy?! KENAPA ROY!!!?

Rania

“Mas… Mas Roy…” Belum sempat Rania menjelaskan kejadian yang menimpa Roy, ketika tiba-tiba ia menyadari kalau entah sejak kapan ada beberapa orang yang datang dan mengangkat tubuh Roy untuk dibawa pergi. Orang-orang ini apakah warga…? Bukan! Mereka siapa? Jantung Rania berdegup dengan kencang melihat orang-orang asing itu datang untuk membawa Roy pergi. “Eh! Siapa kalian!? Lepaskan! Jangan sentuh dia! Jang…”

Sambungan telpon dengan Bian langsung terputus saat seorang pemuda mendorong Rania dan Lena secara terburu-buru. Lena masuk ke rumah tapi Rania meronta dan melawan.

Gagal, pemuda itu jelas lebih kuat.

Kunci rumah direbut oleh orang yang baru saja mendorongnya. Seorang pemuda dengan topi trucker hat dan rambut berwarna coklat tua. Rania sempat tertegun sejenak karena saat menatap wajahnya ia menyadari pemuda itu punya warna mata yang berbeda di kiri dan kanan – pertanda heterochromia. Satunya berwarna hitam dan satu lagi kebiruan.

Karena sesaat terheran, Rania hilang fokus dan tanpa sadar sudah didorong masuk ke rumah.

Pemuda itu mendorong Rania dan putrinya dengan perlahan dan menarik pintu supaya segera menutup. Rania akhirnya tersadar dan mencoba membukanya sembari menjerit panik. Keduanya beradu kuat – yang satu menutup yang satu lagi ingin membuka. Sesaat, sang pemuda berambut coklat dapat melihat pandangan pedih di raut wajah sang ibu muda. Pemuda itu menatap Rania dengan pandangan mata iba. Sungguh dia tak ingin melakukan ini.

Sang pemuda berambut coklat mengerahkan sedikit tenaga dan Rania tak lagi bisa menghalanginya menutup pintu. Rania sudah berusaha keras untuk membukanya, namun pegangan si rambut coklat pada handle pintu sangat kokoh.

“Tolong jangan berteriak-teriak, percayalah padaku kami akan memberlakukan mayatnya dengan hormat. Kami tidak akan melakukan hal yang aneh-aneh jadi tidak ada gunanya berteriak-teriak.”

“Si-siapa kalian? Apa yang akan kalian lakukan?” Rania menatap ngeri ketika dua orang lain mengangkat tubuh Roy. “Apa yang kalian inginkan sama Mas Roy! Kalian siapa!? APA YANG KALIAN LAKUKAN!?”

“Ssst. Percayalah padaku. Aku tahu keadaan ini membingungkan. Tapi aku janji semua akan baik-baik saja asalkan kamu tetap tenang. Kami akan membawa jenazah itu ke tempat yang lebih baik,” ucap si pemuda berambut coklat dari balik pintu yang tertutup. “Tolong jangan hubungi polisi. Jika kamu diam-diam saja maka kami suatu saat kelak akan memberitahukan lokasi pemakaman pemuda itu. Bahkan aku sendiri yang akan mengantarkanmu ke sana. Tapi kalau kamu lapor ke yang berwajib, maka kamu tidak akan pernah tahu dimana dia dimakamkan. Paham?”

Lena masih menangis di pelukan Rania.

Ibu muda yang sedang shock itu memukul-mukul pintu. Ia jatuh terduduk tanpa bisa membuka pintu yang ditutup dari luar. Air matanya mengalir deras. “Kenapa? Kenapa kalian melakukan ini padaku? Kenapa?”

Tidak ada jawaban. Hanya ada hening.

Tak lama kemudian pemuda itu memutar kunci untuk menyekap Rania, Lena, dan ibunya di dalam rumah sendiri.

“A-apa yang kamu lakukan? Buka pintunya! Bukaaa!”

“Aku tinggalkan kunci di luar pintu. Jangan khawatir, aku akan kembali dalam beberapa jam untuk melihat keadaan kalian. Aku harap kalian sudah bisa keluar. Kalau memang kalian belum bisa keluar, aku yang akan membukakan pintu untuk kalian.” Si pemuda berambut coklat menunduk, “Maaf. Ini semua di luar kuasa kami. Tapi aku berjanji akan memperbaiki semuanya, karena aku juga pernah mengalami hal yang sama. Sekali lagi aku minta maaf.”

Jendela rumah Rania berteralis, sehingga dia tidak bisa keluar melalui jendela. Sedangkan tembok di halaman belakang terlalu tinggi untuk ia panjat. Satu-satunya akses untuk menuju keluar adalah melalui pintu depan – dan melalui dapur yang tutup rapat..

Rania mendengar suara langkah-langkah kaki mulai meninggalkan halaman rumahnya. Buru-buru ibu muda itu melongok melalui jendela dan melihat sang pemuda berambut coklat sedang berdiri menatap rumahnya. Ia memakai payung untuk berlindung dari hujan deras yang makin tak bersahabat. Tubuh Roy sudah tak lagi nampak. Rania membuka jendela yang tertutup. Ia berteriak dari sela-sela teralis besi.

“Bukaaaaaaaa!!”

Si rambut coklat menunduk, berbalik, dan melangkah pergi.

Dia tak tega mendengarkan suara tangisan Rania. Mengingatkannya pada sebuah masa yang telah lalu, yang sampai sekarang dia juga masih belum dapat membalaskannya.

Orang-orang seperti Reynaldi membuat dunia ini tak nyaman ditinggali. Sayang dia masih belum cukup kuat untuk melawan semua durjana yang masih tersisa di bawah kolong langit. Pemuda berambut coklat itu menatap tangan yang ia kepalkan, pada lima jari yang ia genggam erat. Sekarang memang masih belum bisa melakukan apapun, tapi lambat laun dia pasti akan mewujudkan mimpinya… dan membalas dendam pada orang yang telah menghancurkan hidupnya, terutama pada sang Jagal.

Itulah dendam dan janji sang pemuda yang bernama Pasat Bayuputra.

Ini juga bukan terakhir kalinya ia akan berjumpa dengan Rania.

.::..::..::..::.

Kolam ikan milik Joko Gunar mulai bergejolak, seakan-akan ribuan ikan mulai merasakan hal yang tidak beres sedang terjadi di atas mereka. Seperti merasakan adanya gejolak tenaga berbenturan di jalur-jalur pematang yang sempit tapi kokoh. Ketika suasana tidak seharusnya di atas kolam, para penghuninya pun seakan merasakan nuansa aura yang berbeda, apalagi jika memang ada beberapa hal yang tidak beres yang tengah terjadi.

Hal tidak beres yang pertama adalah hujan yang makin lama makin deras dentum-mendentum menciptakan riak-riak air bulat-membulat di permukaan kolam. Hujan sepertinya akan lebat. Harapan pertama tentunya adalah kolam tidak banjir, tanggul tidak jebol, dan semua baik-baik saja. Karena kalau banjir – maka akan banyak ikan kabur ke sungai terdekat dibawa oleh arus air yang deras. Kerugian tentu sudah terbayang bagi sang pemilik.

Hal tidak beres yang kedua adalah kedatangan keempat anak panah JXG – Sulaiman Seno sang Jagal, Sunu Sudarwaji sang Tukang Pos, pria berjuluk Hantu, dan Rogo sang Barakuda. Satu dari mereka saja sudah sangat merepotkan, apalagi datang berbarengan seperti ini.

Kedatangan empat laki-laki yang meresahkan.

Khususnya bagi Joko Gunar.

Sang pimpinan PSG menghunjuk kedua lengannya ke depan. Dia tersenyum sinis sembari terkekeh dan memamerkan kedua kepalan tangan sejajar bersebelahan menghadap ke atas seperti orang minta diborgol, “Mau yang mana dulu? Yang kiri atau kanan? Perawan atau janda? Xixixi.”

Joko Gunar menebar lelucon, dia sendiri tidak tahu apakah leluconnya beneran lucu atau garing. Fokusnya hanya satu saat ini, dia sedang memperkirakan yang mana di antara empat punggawa JXG yang akan melawannya terlebih dahulu. Atau jangan-jangan dua yang maju? Atau tiga? Atau keempatnya bersamaan? Semua opsi mengerikan.

Sang Tukang Pos tertawa, “yang mana saja boleh. Guedi-guedi nemen tanganmu, dab. Itu tangan atau muntu je? Gede mantap seperti tahu kupat tumpuk papat.”

JingukMuntu og piye. Hahaha. Saya memang cabidut, Om Sunu.” Joko Gunar mulai merubah posenya. Kaki kanan dan kiri direnggangkan, tangan disiapkan di samping badan. Kepala menunduk dalam, bibirnya berkomat-kamit memulai rapalan. Setiap anggota anak panah JXG punya ilmu mumpuni yang tak bisa diremehkan, itu sebabnya dia berniat menunjukkan bahwa kemampuannya juga tak bisa dipandang remeh.

Mereka pasti tak bakal bisa mengira apa saja yang sudah dia kuasai sekarang. Heheh. Dasar cecunguk kelas kecoak semua. Rasakan saja ledakan kekuatannya! Mata Joko Gunar mulai mengamati keempat orang yang berdiri sejajar di depannya. Mana yang akan maju duluan? Atau dia saja yang lebih dulu menyerang?

Tubuh Joko Gunar menggeliat dengan gerakan yang mustahil.

Sang Tukang Pos terkekeh. Ini dia. Dia mau lihat sudah sehebat apa sang pimpinan PSG itu sekarang.

Bersamaan dengan gerakan aneh Joko Gunar yan tiba-tiba saja menggeliat, Lek Suman yang berada di dalam gubuk mulai mengamati satu-persatu anggota anak panah JXG. Sepemahamannya, setiap dari mereka masing-masing punya dua kemampuan, jurus luar untuk pertarungan tangan kosong, dan jurus tenaga dalam untuk mengelola Ki baik itu sebagai pertahanan maupun teknik untuk serangan. Tapi bisa saja mereka meningkatkan level kemampuan dengan menguasai lebih banyak jurus tenaga dalam, atau lebih dari satu jurus luar – seperti misalnya sang Jagal yang dia ketahui punya banyak kemampuan yang belum ia keluarkan.

Pria tua itu menatap ponselnya dan berharap ada jawaban dari salah seorang kapten PSG yang ia hubungi tapi sampai saat ini tidak ada jawaban, entah apakah tiga gentho dari Bondomanan dapat datang tepat waktu atau tidak. Hanya ada satu cara yang bisa ia lakukan daripada sekedar duduk menunggu di dalam gubuk ini seperti seorang pengecut. Lek Suman mulai mengatur siasat.

Di luar gubuk, Joko Gunar menggelar energi Ki-nya hingga batas kekuatan bawah yang ia miliki. Kekuatannya yang sebenar-benarnya tentu jauh lebih besar, tentu saja dia tidak akan menunjukkan kemampuan aslinya di awal-awal pertarungan, dia bukan orang bodoh. Dia juga masih belum tahu yang mana dari keempat orang JXG yang akan maju terlebih dahulu.

“Tu-tunggu dulu! Tunggu dulu! Jangan ada pertumpahan darah yang tidak perlu!”

Keempat orang JXG terdiam dan menatap ke arah pintu yang ada di belakang Joko Gunar dengan pandangan aneh. Sang pimpinan PSG ikut membalikkan badan dan melihat Lek Suman yang baru saja berteriak. Pandangan mata mereka berdua saling menyapa, mengabarkan sebuah kabar rahasia yang hanya mereka berdua ketahui.

Lek Suman… Lek Suman… oalah. Joko Gunar tersenyum, dia tahu apa maksud si kakek tua busuk itu. Ya sudahlah, ikuti saja action-nya.

Lek Suman sudah mencoba menghubungi anak buah Joko Gunar dan meminta agar mereka segera mengirim tiga gentho dari Bondomanan ke tempat ini seperti permintaan sang pimpinan. Tapi tentu saja hal seperti itu butuh waktu karena akan ada jeda waktu dari lokasi tempat para punggawa PSG sekarang berada ke tempat ini. Itu sebabnya Lek Suman tahu dia harus melakukan hal yang paling penting ia lakukan pada saat ini, yaitu mengulur waktu!

Joko Gunar menatap ke arah Lek Suman yang tiba-tiba saja keluar dari dalam gubuk dan mengangguk, dia paham apa yang akan dilakukan si bedebah tua busuk itu. Senyuman sinisnya mengembang, sandiwara kelas rempeyek apalagi yang kali ini akan dimainkan oleh Lek Suman?

Lek Suman melangkah dengan tertatih sembari menggunakan tongkat di tangan kiri. Dia berdiri di samping Joko Gunar – menatap keempat punggawa JXG dengan gagah perkasa.. “Tunggu semuanya! Kalian tidak bisa menyerang Joko Gunar begitu saja! Kalian mau terjadi perang besar lagi?”

“Ckckck… Lek Suman. Lek Suman… Kehadiranmu membuat kami semakin yakin kalau bedebah ini punya banyak nyawa seperti kucing. Apalagi yang mau njenengan sampaikan?” kata sang Tukang Pos sembari diakhiri dengan tawa. Dia sudah tahu kalau orang tua yang satu ini punya banyak akal, jadi bisa saja dia hanya mengeluarkan jurus andalannya yaitu pengalihan fokus. “Kami menghormati orang yang lebih tua, jadi kami akan mengijinkanmu mengeluarkan kata-kata sambutan.”

“Kalian ini! Kenapa kalian tidak menghormati tamu pernikahan dari putra Pak Z? Beliau mengundang langsung Mas Joko ini untuk menghadiri pesta pernikahan putranya. Apa ya masuk akal kalau sekarang hendak membungkamnya begitu saja? Aku rasa tidak. Aku rasa ini hanya akal-akalan kalian saja.” Lek Suman meski bertubuh ringkih, tapi tidak pernah takut menghadapi permasalahan macam apapun juga. Pria tua itu terkekeh, “kehadiran kalian berempat juga membuktikan kalau kelompok sebesar JXG ketakutan setengah mati pada keberadaan PSG sehingga keempat punggawa utamanya hadir bersamaan untuk menghadapi seorang Joko Gunar. Kekekekek. Pengecut! Inikah yang tersisa dari nama besar JXG?”

Sang Tukang Pos tertegun, dia menatap Jagal yang mendengus. Pria yang sedang jongkok sembari membawa payung itu lantas kembali menatap Lek Suman sembari ikut tertawa, “Bahahaha. Ada-ada saja, kami datang karena memang harus datang. Perintah Pak Zein sudah jelas – siapapun yang bertanggung jawab akan kematian Abi harus menerima akibatnya, dari bawah sampai pucuk pimpinannya harus dibumihanguskan. Titik.”

“Apa urusannya kematian Abi dengan Joko Gunar?” Lek Suman geleng-geleng kepala, “Alasan yang diada-adakan! Tae kocheng! Abi mati karena pertikaian antara Aliansi dan KSN. Itu KSN! Komando Samber Nyowo! Bukan PSG! Tragedi Abi tidak ada hubungannya dengan PSG! Apalagi kini KSN sudah hancur! Terus apa lagi mau kalian? Jangan sok kuasa! Kalau hanya sekedar ingin menjatuhkan Joko Gunar, bukan begini caranya! Beraninya main keroyok! Kalian benar-benar pengecut! Memalukan! Padahal JXG punya nama besar!”

“Cuh.” Jagal meludah ke kolam.

“Dia.” Lek Suman menunjuk ke arah Hantu. “Dia telah membunuh Darsono, jadi persoalan kita berhenti sampai di situ. KSN sudah selesai. Tapi aku tahu sebenarnya masalah kalian dengan PSG dan Joko Gunar bukan masalah Abi, tapi masalah kepemilikan wilayah. Kalian tahu tanpa menyingkirkan Joko Gunar dan PSG, kalian tidak akan dapat menempatkan JXG kembali ke posisi semula. Begitu bukan? Kekekeke. Sudah bisa aku tebak dengan mudah. Menunggang tragedi Abi untuk menggebuk PSG? Tidak akan terjadi!”

Joko Gunar tersenyum, “Ah, begitu rupanya. Ternyata kelompok sebesar JXG pun hijau matanya kalau sudah ngomongin soal wilayah dan duit. Hahaha! Sama saja! Baiklah! Katamu kemarin ingin menagih pajak, wahai Jagal! Kalau begitu sekarang juga aku siapkan pembayarannya asal kalian mampu menundukkanku!”

“Yang seperti ini baru jantan!” Lek Suman memuji Joko Gunar.

“Hehehehe, Lek Suman… Lek Suman… cocotmu pancen kok, Mbah.” Sang Tukang Pos geleng-geleng kepala, pria tua yang suka mencari kambing hitam sekaligus mengadu domba itu memang lihai. “Padahal kami benar-benar datang untuk mengurus dendam keluarga Pak Zein, tapi ya kalau kita mau menyeberang untuk sekalian membahas soal kepemilikan wilayah dan pajak ya ayo-ayo saja.”

Lek Suman memperhatikan sang Tukang Pos.

Sang Tukang Pos melanjutkan, “Sejujurnya JXG akan kembali dengan kekuatan penuh dalam waktu dekat – dan itu artinya PSG harus menyingkir dari wilayah selatan, kalau tidak mau minggir maka harus bayar pajak ke JXG. Kami tidak peduli siapa anggota dan pimpinannya. JXG hanya ada satu semboyan: nggir ra minggir tabrak. Hehehe. Jadi, kalau kami ditantang, pasti akan kami layani, PSG yang memanfaatkan kekosongan kepemilikan wilayah harus diberantas sampai tuntas. Kamu jual, kami beli. Untuk menagih pajak harus mengalahkanmu? Ashiap!

“Halah, sebenarnya sama saja. Kekekeke. Pak Pos juga tidak kalah pandai bersilat lidah, tidak ada asap kalau tidak ada api. Kami kan hanya mengikuti dan melayani ancaman dari kalian. PSG tidak pernah takut pada ancaman apapun.”

“Kalau begitu kami akan…”

Rogo sang Barakuda mendatangi dan menepuk pundak Pak Pos yang terkejut karena pria itu tiba-tiba saja sudah berada di sebelahnya.

“Kenapa kamu…” Pak Pos bertanya-tanya kenapa Rogo menghentikan kalimatnya.

Rogo menunjuk ke sosok Joko Gunar yang ternyata memanfaatkan percakapan antara Pak Pos dan Lek Suman untuk mempersiapkan kuda-kuda dan menyiapkan tenaga.

“Si bangsat itu. Hehehe.” Pak Pos tertawa tertahan. Dia melirik ke arah salah satu anak panah JXG yang juga sudah bersiap. “Nah ini sepertinya menarik. Joko Gunar! Majulah! Kita tuntaskan!”

Tidak perlu diminta, Joko menundukkan badan ke bawah, lutut turun dengan posisi kaki menekuk ke arah yang susah dijabarkan. Tangan juga ikut menapak dan menyangga di atas tanah. Kuda-kuda ini mirip seperti orang sedang push-up, hanya saja bentuk kakinya mirip seperti laba-laba atau kepiting, tekukannya agak mustahil dilakukan jika tubuh tidak lentur.

Lek Suman tersenyum, inilah salah satu jurus andalan Joko Gunar.

Sang pimpinan PSG menatap ke depan dengan melotot, matanya membulat seperti hendak lompat dari tempatnya. Itu bukan karena untuk menakut-nakuti, melainkan karena memang seperti itulah efek jurus yang tengah ia gunakan.

Keempat anak panah JXG menatap sang pimpinan PSG tanpa berkedip. Joko Gunar membuka mulutnya. Terdengar bunyi asing seperti bukan suara manusia.

Krooooooook.”

Suara seekor kodok.

Bersambung

anak kost
Kost bareng dengan mbak santi, saudara ku yang montok
gadis hyper
Aku Ketagihan Dengan Penis Besar Pak Polisi
di pijat sex
Ngocok penis gede adik sepupu ku yang terangsang setelah memijit tubuhku
Foto Bugil Jilbab Telanjang Bulat Dalam Mobil
Foto Lesbian Jepang Sange Memek Muncrat Berlendir
cewek cantik pembantu
Main Dengan Pembantu Sebagai Balas Budi Bagian Satu
Kamu Dia Dan Mereka Sesion Pertama
pelacur cantik
Pelacur yang telah mengambil keperjakaan ku
anak magang
Main Dengan Anak Magang Berjilbab
model hot
Menikmati tubuh istri teman sendiri yang luar biasa
Pembantu baru
Menikmati Pijitan Pembantu Baru Yang Membuat Ku Sangat Terangsang
Foto bugil jepang JAV kana tsruta bugil jadi kucing
Melayani Janda Muda Sange Berat
gadis perawan
Gejolak Birahi Gadis Yang Baruu Beranjak Dewasa
Foto Hot Sex Kilat Mahasiswi di Kost
tante sange
Antara kegelisahan dan kenikmatan yang telah di berikan tante april