Part #8 : UNTUK PEREMPUAN

Kematian bukanlah kebalikan dari hidup, tapi bagian darinya.
– Haruki Murakami

Nanto bersimpuh di hadapan sebuah makam. Matanya terpejam, bibirnya berbisik mengucap doa. Tangan menyentuh nisan, batin melayang ke sosok yang telah lama pergi meninggalkan. Sebuah makam sederhana, dikelilingi batas semen mengitari berbentuk kotak, dengan pohon kamboja rindang di sisi kanan memberikan naungan perlindungan dari erat ikat cahaya mentari. Rerumputan liar yang tumbuh acak dicabuti, dibersihkan, dan ditaburi bunga mewangi.

Kinan merapikan hamparan bunga yang ditebarkan. Bunga mekar terindah dan terbesar diletakkan di ujung atas. Posisi kembang nan rapi membuat makam terlihat indah dalam keheningannya. Ada sebuah cerita, tentang dahulu kala.

Nanto tersenyum dan menggenggam jemari tangan sang kekasih. Keduanya jongkok berdua di samping makam. Tangan saling berpegangan erat, jemari tersimpul bertali, penanda hati telah jadi satu dan saling mengasihi.

Nanto berdehem, seakan hendak memulai sebuah presentasi, “Ibu, aku mau memperkenalkan seseorang. Kenalkan, Bu. Ini Kinan.”

“Salam kenal, Ibu. Saya Kinan. Maaf baru bisa datang.” ucap gadis manis itu sembari mengelus pinggir makam.

“Mudah-mudahan Ibu memberi restu hubungan kami. Kinan ini pacar yang paling baik, paling sayang, dan paling sabar yang pernah aku kenalkan ke Ibu.”

“Dih, bisa aja – tau aja kalau Kinan lagi ngambek. Mas Nanto sedang carmuk nih, Bu.”

“Eh, siapa bilang? Beneran kok.” Nanto tersenyum sambil menatap kekasihnya yang jelita, ia merapikan kerudung Kinan yang agak nyelip. “Kadang suka ngambek kalau lagi cemburu, tapi sebenarnya dia gadis yang baik banget dan luar biasa sabar. Aku beruntung mendapatkan hatinya, Bu. Rasa-rasanya tidak ada kekasih yang lebih baik lagi.”

“Sabar ada batasnya juga kali, Mas. Salah sendiri dulu ga jelasin kalau Bu Asty itu guru BK. Mana main telpon pakai zeyeng-zeyeng. Huh! Kan jadi bete ya, Bu. Sekarang udah ketahuan kalau dasarnya Mas Nanto itu buaya, ceweknya banyak, di setiap tempat ada. Kinan jadi suka salah sangka kalau ada cewek yang deket sama dia. Jangan-jangan begini tapi sebenarnya beginu, menyebalkan, Bu. Meski kalau Kinan sudah ketemu sama tersangkanya langsung sebenarnya jadi lebih jelas ini siapa dan itu siapa.”

“Memangnya siapa?”

“Bilang kek dari dulu kalau kamu itu deket sama guru BK kayak kakak adik.” Kinan merajuk sembari cemberut. “Capek kalau begini terus. Dikurang-kuranginlah jadi buayanya.”

“Buset, dibilang buaya pula. Habisnya dulu mau jelasin, eh kamu terlanjur ngambek. Gimana bisa jelasin coba kalau kamu udah kabur duluan?” Nanto memegang erat jemari Kinan, “Percayalah, aku sayangnya cuma sama kamu aja. Buktinya hari ini kamu yang aku kenalin ke Ibu.”

“Yakin sayangnya cuma sama aku aja? Bu Asty cakep banget lho. Masa sih kamu ga sayang sama dia juga? Kalau aku jadi Mas Nanto, aku pasti naksir. Apalagi seksi gitu, dadanya gede, kalau dibandingin akunya kebanting banget.”

“Lha kan udah nikah. Meski cantik mana ada kesempatan aku deketin dia. Kalau misalnya dia masih sendiri barulah…”

“Ooooh! Jadi kalau belum nikah mau deketin? Kalau ada kesempatan mau deketin? Begitu ya?” Kinan mencibir sambil mencubit lengan Nanto yang mengaduh-aduh, “tuh kan, Bu. Bener kan yang Kinan bilang? Emang dasarnya Mas Nanto itu buaya. Nyebelin banget ya, Bu? Pasti dulu Ibu juga sering marah-marah kalau Mas Nanto bandel banget, dibilangin ngelawan, dikasih tahu malah jawab, bengalnya kelewatan. Bisa dipahami kok kalau Ibu sering marah-marah sama Mas Nanto. Kinan paham banget. Ya ya. Sekarang Kinan juga mengalami hal yang sama. Ya ya.”

“Dih, malah ngadu sama Ibu. Jangan cemburu dong. Kami tidak ada apa-apa kok, sayang. Tadi aku cuma bercanda aja. Godain kamu. Kamu manis banget kalau lagi cemburu begini.”

“Ya kan normal to, Mas. Siapa yang tidak cemburu? Begitu tahu nama si kakak cantik itu Asty aku langsung umop, hati rasanya kemropok panas kayak ketel uap – keinget nama si pengganggu perusak suasana saat kita jadian tempo hari, tapi aku mencoba berpikir positif, padahal benernya pengen ngepruk pake nampan. Tapi ya aku masih mikir pakai akal sehat. Aku lihat-lihat tempat lah. Masa iya aku emosi sama cewek lain di cafe orang. Udah gitu lebih tua, udah gitu istri orang, udah gitu guru BK kamu. Bayangin gimana rasanya deh.” Kinan cemberut, “mana dia minta waktu khusus lagi sama kamu… kayak apaan aja duduk berduaan sementara aku harus nonton dari jauh. Kalau aja ga ada Kak Lady, aku udah pulang duluan!”

“Kan aku sudah cerita, sayang. Dia butuh bantuan karena ada masalah yang harus diselesaikan, dan untuk itu dia butuh bantuanku. Kami sekarang sudah seperti kakak adik, jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Wajar kan kakak adik panggilnya sedikit mesra? Yang penting kan aku pulangnya sama kamu, setiap saat sama kamu, dan sampai saat ini aku masih tetap sayang sama kamu.”

“Kan kemarin sudah aku sudah bilang jangan deket-deket sama Asty lagi.” Kinan cemberut sambil mengelus nisan sang calon mertua. “Satu lagi jeleknya Mas Nanto, Bu. Dia kadang ga bisa dipercaya kalau masalah cewek. Ngakunya ga mau dekat-dekat tapi ternyata masih lekat. Bilangnya ga mau lagi kenal, ternyata hubungannya masih kental. Huh. Dasar cowok. Ibu, boleh kan ya aku marahin dia? Habisnya Mas Nanto hobi banget bikin Kinan sebel.”

“Kan sudah aku jelasin berkali-kali kemarin? Ada masalah yang harus aku selesaikan, tapi karena aku sudah tidak pernah mengangkat telpon dari dia lagi makanya Bu Asty yang berinisiatif datang ke cafe nyari aku, ya karena itu tadi – karena aku tidak pernah lagi menghubungi dia. Jadinya dia nekat datang karena dia benar-benar butuh bantuan. Terus… karena masalahnya pribadi banget, dia tidak bisa cerita ke siapa-siapa – termasuk kamu, meski kamu pacarku.”

“Ya ga gitu juga kali caranya, Mas. Coba deh kamu jadi aku. Bayangin aku diajak ngobrol sama siapa gitu cowok ganteng – misalnya Nam Do San atau Han Ji Pyeong, sementara kamu ga boleh deket-deket. Gimana perasaanmu? Sebel ga? Sebel kan? Sampai sekarang aja masih kerasa nih sebelnya.” Kinan mencabuti rumput di makam dengan emosi yang tertahan. “Kenapa ga bisa sih sedikit aja kamu mikirin aku, Mas? Kalau memang sayang kan harusnya kamu lebih mentingin aku daripada dia.”

“Iya, kamu lebih penting. Makanya sekarang kamu yang aku kenalin ke Ibu, makanya sekarang kamu yang aku ajak pergi ke kampung, makanya sekarang kamu mau yang aku kenalin ke Kakek, mudah-mudahan kita juga dapat ketemu Sagu.” ujar Nanto sambil merangkul sang kekasih. “Aku berjanji, sayang. Aku berjanji di depan makam Ibu-ku, kalau aku tidak akan membuat kamu menangis lagi.”

Kinan masih penasaran, “Lagian aneh, punya suami kok malah kamu yang dimintain tolong, Mas.”

“Karena untuk hal yang satu ini suaminya lebih baik kalau tidak tahu.”

“Awas aja kalau kamu sampai harus berurusan dengan bu guru BK yang cantiknya bikin kamu ngeces-ngeces itu terlalu lama. Aku ga mau tahu lagi, pokoknya ini yang terakhir kali kamu bantu dia. Setelah ini tidak boleh lagi. Selanjutnya kamu hanya boleh pilih satu, aku atau dia.”

Nanto mendesah panjang, dia tersenyum. “Ya ampun, Kinan sayang. Jawabannya sudah pasti kan? Tanpa perlu ditanyakan ulang, aku sudah pasti pilih kamu. Sudah titik, periodendgame. Tidak ada remedial.”

“Awas aja kalau sampai ketahuan kalian berdua ketemuan lagi diam-diam di belakangku,”

“Pasti sayang. Tidak akan terjadi lagi.” ucap si Bengal yakin.

“Lagi? Hah!? LAGI? Ooooh! Jadi sudah pernah terjadi ya? Jadi beneran ya kalian ada hubungan? Oh, gituuuu yaaa!?”

Hwarakadah. Ga adaaaaa.” Nanto geleng-geleng kepala. “Haduh, jadi serba salah. Percaya sedikit dong sama aku. Ga ada.”

“Ya udah.” Kinan menghela napas panjang. “Aku bakal berusaha sabar lagi.”

“Kamu percaya kan sama aku?”

“Ga tau, Mas. Fifty-fifty.” Kinan tersenyum kecut sambil menatap sang kekasih dengan pandangan mata yang dalam, “Masa pertemuan pertama kita berdua dengan Ibu diwarnai dengan acara berantem sih, Mas. Maaf ya Ibu, ini karena Mas Nanto-nya jahat sama Kinan jadi kita berantem deh. Benernya Kinan orangnya sabar kok.”

Nanto tersenyum, dia membayangkan Ibu-nya bertemu dengan Kinan. Pasti bahagia banget dia jika keduanya dapat bertemu. Mereka sebenarnya cocok dan mirip, sama-sama penyayang dan protektif – mungkin sedikit posesif tapi wajar karena memang berhak. “Kamu memang luar biasa, sayang. Aku tidak salah memilihmu.”

“Jangan-jangan aku yang salah milih Mas Nanto?”

“Jangan dong,” Nanto tertawa. “Aku akan membuktikan seiring berjalannya waktu. Kalau aku pantas mendapatkanmu.”

Kinan tersenyum manis, “jangan jahatin aku ya.”

Samber gledek, potong leher, banting Monas. Ga pernah ada niat sedikitpun menyakiti orang yang paling aku sayang di dunia.”

“Ya udah iya…” Kinan bergelayut manja di pundak sang kekasih. Terdengar suara gemuruh di kejauhan. Ia memandang langit, “Eh, kayaknya sudah tambah gelap awannya, Mas. Mungkin kita udahan dulu. Sebentar lagi hujan. Om Janu sama Hanna juga sudah nungguin di depan pemakaman.”

Nanto mengangguk. “Kamu duluan ke sana, sayang. Aku masih ada beberapa hal yang ingin aku ceritakan ke Ibu.”

Kinan tersenyum dan mengangguk. “Ibu, Kinan pamit dulu yaa. Kapan-kapan kami akan berkunjung ke sini lagi, mengunjungi Ibu. Semoga Ibu tenang di sana. Kinan janji Kinan akan jagain Mas Nanto dengan baik…”

Nanto tersenyum.

“… kecuali pas dia sedang berduaan sama Asty. Kinan males.”

“Woy!”

Kinan menjulurkan lidah dengan becanda. “Aku tunggu di parkiran mobil ya, Mas.”

Nanto mengangguk. “Makasih, sayang.”

Kinan pun berlalu.

Memang hari ini rencananya Nanto, Kinan, Hanna, dan Om Janu akan melakukan perjalanan ziarah ke desa untuk berkunjung ke makam Kakek si Bengal dan gua yang konon menjadi asal mula keberadaan Kidung Sandhyakala. Sebuah perjalanan napak tilas dan melihat kemungkinan Nanto melakukan tapa brata untuk meningkatkan kualitas diri demi membuka segel kekuatan, memperoleh sisa tiga gerbang yang menjadi rahasia kidung, dan pada akhirnya menguasai 18 Serat Naga.

Mereka akan menginap di sana selama tiga hari, di sebuah rumah peristirahatan. Supaya Kinan ada teman, maka om Janu usul untuk mengajak Hanna juga. Tiga hari semoga suasana adem ayem dan apa yang diinginkan tercapai.

Kalau semuanya lancar.

“Ibu…”

Suara si Bengal tercekat.

Ia meneguk ludah dan melanjutkan lagi, “Ibu. Aku tahu apa yang dulu aku perbuat adalah kesalahan tak termaafkan karena telah meresahkan dan membuat Ibu kecewa dan jatuh sakit karena ulahku yang tak bertanggung jawab. Tidak ada hari yang aku lalui tanpa menyesal telah mengecewakan Ibu. Yang telah berlalu, aku jadikan pelajaran.

“Jadi… hari ini… Ibu, izinkan aku memulai perjalanan untuk memperbaiki semua kesalahanku. Aku tidak bergabung dengan kelompok geng untuk tujuan menjajah, sok hebat, atau menguasai wilayah manapun, aku bergabung dengan Aliansi dengan tujuan untuk memberikan kedamaian dan keamanan yang dibutuhkan. Aku tahu Ibu tak akan percaya jika aku tidak melakukannya dengan memberikan pembuktian, maka izinkan pula aku membuktikannya bahwa hasil akhir yang aku inginkan adalah perdamaian.

“Tapi bergabung dengan Aliansi berarti akan bersinggungan dengan banyak lawan yang lebih kuat, lawan-lawan yang akan aku hadapi bukanlah lawan yang mudah, aku akan sangat membutuhkan maksimalnya kekuatanku saat menghadapi lawan. Aku butuh membuka segel tenaga dalamku. Aku tahu Ibu yang melakukannya demi kebaikanku sendiri. Jadi aku mohon Ibu mengizinkan segelku ini dibuka agar aku dapat mencapai titik potensialku yang sesungguhnya.”

Nanto mengelus nisan sang bunda sekali lagi.

Tentu saja tidak ada jawaban seperti yang sudah diduga. Hanya angin sore yang bersemilir mengumandangkan pertanda awan akan membawa hujan. Angin sore yang mengelus lembut rambut si Bengal, seperti dulu sering dilakukan sang Ibu.

“Aku pamit dulu, Ibu.”

Nanto tersenyum dan berniat kembali ke halaman parkir mobil di mana Om Janu, Hanna, dan Kinan telah menunggu. Setelah mencuci tangan dan kaki di tempat yang telah disediakan di luar area pemakaman, si Bengal balik ke mobil.

Begitu si Bengal masuk ke mobil, perjalanan pun segera dilanjutkan ke kampung Kakek yang berada di luar kota! Hari ini Om Janu duduk di kursi depan bersama dengan sang sopir – Pak Mangku, sementara Hanna dan Kinan duduk di tengah, dan si Bengal duduk sendirian di kursi belakang.

“Perjalanan kali ini agak jauh, jadi kalian bertiga bisa beristirahat selama perjalanan kalau mau. Di sana nanti kita juga dipastikan tidak akan langsung pulang. Mungkin butuh dua tiga hari tinggal di desa. Apakah kalian siap? Bagaimana dengan pekerjaan dan tugas kuliah?” tanya Om Janu memastikan kesiapan Nanto, Kinan, dan Hanna.

“Aku sedang tidak ada pekerjaan dan kuliah. Jadi sewaktu Om Janu menawarkanku untuk ikut, aku mau saja tanpa banyak protes. Hihihi.” Ucap Hanna memastikan waktu luangnya. “Apalagi aku juga belum ingin balik ke rumah.”

“Aku juga sama seperti Hanna, untuk pekerjaan – kami dari K3S untuk sementara waktu tidak mengajar anak-anak jalanan karena lokasi sedang dalam pemantauan petugas yang berwajib sejak adanya penyerangan tempo hari. Kuliah juga sedang awal-awal jadi masih banyak basa-basi dosen atau perkenalan.” Lanjut Kinan. “Untuk sementara aman sih, Om.”

“Aku juga sudah siap, Om. Aku sudah gantian shift untuk beberapa hari ke depan. Jadi minggu depan aku bakal rapel kerjaan. Pemilik cafe juga sudah tahu,” jawab Nanto.

“Bagaimana dengan kuliahmu?”

“Aman juga, seperti Kinan bilang ini masih awal-awal. Kalaupun butuh, nanti bisa bikin surat tugas dari cafe, jadi ada keterangan kenapa tidak masuk kelas untuk tiga hari,” Nanto memberikan jawaban. “perjalanan ini sudah kita rencanakan sejak beberapa hari yang lalu, jadi mudah-mudahan semua berjalan dengan baik-baik saja.”

“Bagus kalau begitu. Semua benar-benar sudah siap,” Om Janu mengangguk dan memastikan mereka berangkat dan pergi tanpa beban. “Sesampainya di sana nanti kita tidak akan bisa menginap di rumah Kakekmu karena rumah itu sudah dijual. Tapi untuk tiga hari ke depan kita akan menginap di sebuah rumah peristirahatan yang sudah aku sewa secara khusus. Jaraknya tidak terlampau jauh dari rumah Kakek, hanya beberapa menit jalan kaki, rumahnya ada di ujung gang desa, bangunannya cukup bagus dan sudah dirombak jadi rumah modern.”

“Mantap Om.” Nanto mengacungkan jempol. “Aku kayaknya tahu tuh rumahnya yang mana. Agak gede ya? Rumah mantan lurah sebelum dia pindah ke kota lain. Bagus, gede, halaman luas, dan memang agak berbeda dengan rumah lain karena kesan modernnya.”

“Bahkan kalau Om memang cocok dengan rumahnya, bisa Om pertimbangkan untuk membelinya.”

“Wadidaw. Beli rumah peristirahatan di desa? Mantap banget, Om. Emang dasar sultan Om Janu ini.” Nanto berdecak kagum.

Om Janu tertawa kecil, “biasa aja kok. Daerah sini kebetulan harga tanahnya masih lumayan terjangkau, jadi setelah ditawarin rumahnya melalui WhatsApp, aku jadi tertarik. Bisa kita lihat nanti aslinya. Kalau ternyata kita tinggali selama tiga hari ini suasananya nyaman, ya tidak ada salahnya mempertimbangkan untuk membelinya. Apalagi kalau kita jadi sering-sering ke desa. Tidak perlu lagi menyewa atau mencari penginapan.”

Nanto geleng-geleng kepala, kalau punya duit sepertinya gampang banget mengambil keputusan seperti itu ya.

“Berhubung ini perjalanan yang jauh dan akan memakan waktu beberapa jam, bagaimana kalau kita ngobrol-ngobrol sedikit? Oh iya, kalian mau bakpia? Silakan dicicip. Ini bakpia yang diproduksi salah satu toko oleh-olehku di kawasan Pothok.” Setelah membuka kotak bakpia, Om Janu menyerahkannya ke belakang untuk dibagi-bagi.

Nanto, Hanna, dan Kinan memakan cemilan khas kota itu.

Om Janu menengok ke belakang dan menatap Nanto. “Perjalanan kita masih cukup lama karena jaraknya cukup lumayan. Jadi ada baiknya kita langsung saja mulai belajar mengenai teori dan bicara tentang apa itu tapa brata – laku yang akan segera kamu jalankan. Teori ini sejatinya aku peruntukkan pada Nanto, tapi kalau Hanna sama Kinan berniat mempelajari juga tidak ada salahnya. Nanti kalian juga akan aku berikan sedikit pengetahuan.”

Hanna dan Kinan saling berpandangan dan sama-sama mengangguk.

“Siap, Om.”

“Kami juga mendengarkan, Om.”

“Baiklah – penjelasan ini bakal jadi agak panjang. Mari kita mulai: Tapa bisa diartikan sebagai kegiatan mengekang diri, dan brata bisa diartikan sebagai aturan atau disiplin. Jika digabungkan, tapa brata bisa diartikan sebagai pengekangan diri menggunakan suatu aturan tertentu. Aturan tertentu yang dimaksud di sini adalah pantangan atau laku puasa. Kalau kita melihat dari kacamata pandangan yang sudah umum dikenal orang, maka pelaku tapa brata bisa dikatakan akan menjalankan aktivitas berpantang dan berpuasa supaya dapat mencapai tujuan tertentu.

“Nah, tujuan utama dari pelaksanaan kegiatan tapa brata sesungguhnya adalah kemampuan untuk mengekang dan mengendalikan diri – jadi bukan karena kamu mau mendapatkan ilmu atau kesaktian, lantas kamu melakukan tapa brata ini. Memang pelaksanaan tapa brata secara benar dan tertata akan menjanjikan pelakunya memperoleh peningkatan spiritual dan Ki yang signifikan, tapi hasil sesungguhnya yang lebih penting adalah memperoleh pengendalian diri secara sempurna.

“Secara spriritual, tapa brata dapat diartikan sebagai tindakan untuk mem-fana-kan keinginan diri demi mencapai ketenangan jiwa yang paling dalam. Tindakan ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas kita sebagai manusia untuk menapak ke jenjang roso eling yang lebih tinggi. Itulah sebabnya seorang pelaku tapa brata akan mendapatkan hasil maksimal berupa penyucian diri dan pencerahan batin – seandainya lakunya dilandasi oleh niat yang tulus dan rasa percaya yang kuat. Jadi pastikanlah alasanmu melakukan tapa brata ini adalah untuk niat-niat terdalam untuk laku suci, berbuat baik, dan demi menolong orang lain. Bukan untuk mendapatkan kesaktian dan bukan untuk mendapatkan kekuatan. Jikalau nanti mendapatkannya maka itu adalah bonus, dan bukan tujuan utama.

“Melalui tapa brata, seseorang akan memperoleh penjernihan batin dan bisa mengasah pikiran positif, meningkatkan rasa empati, dan mampu mengendalikan emosi agar lebih tenang dalam bertindak dan berlaku. Singkatnya seseorang akan memperoleh ketenangan batin yang sebenar-benarnya, dengan bonus berupa peningkatan jasmani dan rohani yang lebih kuat.

“Syarat agar semua ini berhasil adalah dengan menahan diri dan mengekang nafsu, dikombinasikan dengan sikap introspeksi diri, sikap selalu mawas diri, tiap saat melakukan refleksi diri, dan membuang kekangan duniawi untuk membebaskan diri. Pada tahapan ini kita tak lagi menggunakan panca indera, melainkan rasa. Melalui cara menutup hasrat jasmani dan duniawi, jiwa menjadi terlatih untuk lebih kuat dan rasa menjadi pekat. Jangan lupa untuk terus bersyukur dan berserah atas semua karunia yang didapatkan.

“Sebenarnya semakin lama dan semakin tekun tapa brata dilakukan, maka tahapan peningkatan diri akan semakin terasa dan tujuan yang dicari akan dapat tercapai dengan lebih cepat. Tapi untuk saat ini marilah kita melakukannya selama tiga hari saja. Kita coba dulu pelan-pelan tanpa terburu-buru. Di sini kita semua belajar, tidak didorong oleh keinginan duniawi apapun. Sampai di sini paham ya?

“Nah, kalau tapa brata dilakukan dengan laku puasa dari segala hawa nafsu, kenapa aku memintamu mengajak Kinan juga Hanna? Karena di sana nanti mereka akan menjadi pendorong semangat sekaligus menjadi pusat godaan lahir batin. Kinan-lah yang akan menjadi penguji sejatimu dan Hanna menyokong Kinan.

“Di saat yang bersamaan, sambil menyelam minum air aku juga akan mengajarkan ilmu kanuragan dasar dan pembukaan Ki pada keduanya.” kata Om Janu, “kita sama-sama tahu kalau di hari-hari mendatang kita semua akan mendapatkan lawan yang makin kuat dan makin hebat. Tidak ada salahnya membekali Kinan juga Hanna dengan kemampuan mempertahankan diri yang lebih mumpuni karena kamu tidak akan bisa menjaga mereka berdua selama dua puluh empat jam setiap harinya.”

Kinan tersenyum tanda setuju, “terima kasih banyak, Om. Mudah-mudahan berhasil dan semua berjalan sesuai dengan rencana.”

Hanna juga makin cerah wajahnya, dia sangat bahagia jika akhirnya bisa memperoleh kemampuan untuk mempertahankan diri. Terutama menghadapi ancaman yang masih dia hadapi. “saya juga berterima kasih, Om. Saya sangat membutuhkan ini.”

Om Janu mengangkat jempolnya pada Kinan dan Hanna, “Oh ya, satu lagi. Selama perjalanan ini, matikan ponsel kalian. Kita akan benar-benar kembali pada kehidupan di desa yang tenang, sunyi, dan tak boleh ada gangguan apapun.”

Kinan, Hanna, dan Nanto saling berpandangan lalu sama-sama mengangguk. Untuk beberapa saat lamanya, mereka sepertinya akan menghilang dari muka bumi, tak akan terlacak.

Kinan

Hanna

Rania

“Jadi begitulah suka dukanya menjadi asisten perawat.”

“Bagaimana hari ini? Ada pasien yang membuat kamu sedih?”

Rania menatap Roy yang terbaring di samping, Mereka berdua sedang berada di pembaringan di kamar Roy, beristirahat setelah sepanjang hari bekerja sebelum pulang ke rumah. Rencananya sih tadi mereka cuma bakal makan dan istirahat saja setelah Roy menjemput Rania.

Tapi kok eman kalau cuma begitu saja, ye kan?

“Hari ini? Sedih sih tidak ada, tapi ya… ada yang cukup seru.”

“Coba ceritakan.”

Rania pun mulai bercerita.

Sembari mendengarkan cerita Rania, Roy mendekatkan diri dengan tubuh sang kekasih. Tangan saling terkait, jari-jemari menggenggam. Ketika tangan yang satu sudah punya aksi, tangan yang satu lagi tidak mau kalah dan naik ke atas, membelai rambut indah sang bidadari. Rania tidak bereaksi, dia terus saja bercerita. Roy mengangguk-angguk sembari mendengarkan. Dari rambut pindah ke pipi, ia membelai pipi Rania. Dari pipi dilanjut pindah ke bibir, barulah si jelita itu terdiam.

Rania menatap Roy dalam diam.

“Jangan nakal to, Mas…”

“Shh.” Roy mengelus bibir mungil Rania. Pemuda itu mengecup pipi sang kekasih, Rania menunduk. Ketika Roy mencoba mendekatkan bibirnya ke bibir si cantik itu, Rania mengelak dan mengeluh.

“Ma-… mau apa sih? Tadi katanya cuma mau dengerin cerita.”

Roy tersenyum tanpa menjawab, dengan lembut ia membaringkan Rania di sampingnya. Lalu menempatkan kepalanya di atas kepala si manis bergigi gingsul itu. Rania memejamkan matanya karena tahu apa yang diinginkan. Pemuda itu mengecup pipi Rania sekali lagi, kali ini sebelah kanan, lalu keningnya. Setelah itu ia beralih untuk mencium bibir sang kekasih. Keduanya berpagutan untuk beberapa saat lamanya, saling mengeluskan bibir dengan penuh rasa kasih dan sayang. Menuntaskan rindu dalam hati yang ingin segera dilunasi.

Roy menggigit kecil bibir Rania yang menggemaskan.

“Ngh!”

Si cantik itupun terbelalak dan protes. Roy tertawa kecil dan melanjutkan niatnya tanpa menghiraukan protes Rania. Tangan Roy menjelajah ke dada Rania, menyentuh payudaranya yang masih tertutup baju. Entah kenapa Roy jadi semakin bernafsu saat melihat Rania mengenakan kaus bergaris hitam putih horizontal seperti yang sekarang ia kenakan. Ia meremas-remas buah dada sang kekasih, sembari bibirnya terus saja beraksi memagut.

Rania mengerang dan merajuk manja.

“Mmh. Apaan sih, Mas… ini kita sudah mau pulang… Lena dan Mama pasti…”

“Shh.”

Roy mengangkat kaus yang dikenakan Rania. Si cantik itu memegang tangan Roy karena tidak ingin pemuda itu melanjutkan apa yang baru saja dimulai. Roy tersenyum dan mengangguk. Disabar-sabarin sebentar tidak ada salahnya. Tangan nakal Roy kemudian menjelajah ke bawah ke arah bagian selangkangan sang kekasih yang masih terbungkus celana kain. Mengelus, membelai, melenakan, melemparkan bayang sang dara ke puncak kenikmatan.

“Mmmhhhh.” Rintihan manja pun terdengar bagai alunan lagu merdu.

“Buka ya?” bisik Roy.

“Mmhh… jangan ah, nanti kalau keterusan gimana? Lena sama Mama sudah nungguin aku pulang…”

“Sebentar aja.” Roy mencoba mengambil hati sang kekasih. Rania menatapnya sendu, penuh harap dan penuh rindu. Si manis pun mengangguk dan memejamkan mata, tangannya dikalungkan di leher Roy sementara bibir mereka kembali berpagut.

Roy tak ingin menunggu lebih lama lagi. Ia membuka celana sang kekasih, menarik, dan meloloskannya melalui kaki yang halus, putih, dan mulus. Tak perlu menunggu lama untuk melihat celana dalam apik berwarna krem yang halus dan terlihat nyaman. Di tengah-tengah selangkangan terdapat mahkota kewanitaan yang memukau Roy, gundukan mahkota yang mulai basah.

Roy menurunkan kepala dan mengecup gundukan itu.

“Haeeeeghhkkkh!” Rania menahan jeritan sembari menjambak rambut sang kekasih yang terus menerus mengecup dan menjilat gundukan kewanitaan yang masih tertangkup celana dalam berbahan lembut.

“Mas… mhhmmmhh… jangan curang…” pinta Rania.

Roy tersenyum, ia membuka celananya sendiri dan melemparkannya ke samping pembaringan, begitu juga dengan pakaian yang ia kenakan pun segera ia lepas. Tak butuh waktu lama bagi Roy untuk bertelanjang bulat di hadapan Rania.

Sang kekasih hanya bisa geleng-geleng kepala melihat batang kejantanan pemuda itu sudah menegang, kencang, dan siap menyerang. Sambil menghela napas panjang dan tersenyum, Rania membuka pahanya lebih lebar, memancing hasrat. Sekali lagi Roy menurunkan kepala untuk menjumpai bibir Rania, kembali keduanya berpagutan. Saling mengecup saling berbalas. Rania tak lagi malu-malu.

“Aku pengen…” bisik Roy di sela-sela ciuman.

Si cantik itu pun segera membuka celana dalamnya dengan satu tangan sementara tangan yang lain memegang bagian belakang kepala Roy saat keduanya saling menukar kecupan, ia juga sudah tidak mampu menahan birahi. Kini bagian bawah tubuhnya tak lagi terlindungi, siap menerima serangan dari sang kekasih.

Ketika semua jalan sudah dibentangkan, seakan tidak ada lagi penghalang. Batang kejantanan Roy dibawa menuju sela-sela bingkai lingkar kewanitaan sang kekasih. Ujung gundul penis Roy menjelajah bibir kemaluan Rania.

“Aku masukin ya, sayang…?” pinta Roy.

“Mmhh… tapi pelan-pelan aja ya…”

Bibir kewanitaan Rania sudah mulai basah, berlendir, dan meminta asupan kejantanan. Sepertinya sudah saatnya, mereka berdua sama-sama menginginkannya. Roy memajukan pantatnya perlahan-lahan.

“Hnngkh! Ooooooh! Eeenngkhhh…” Rania melenguh tak kuasa menahan rasa.

Melihat sang kekasih melenguh sakit, Roy hendak menarik batangnya keluar. Tapi saat itu juga tangan Rania menahannya.

Pemuda itu menatap mata Rania yang indah. Wanita jelita itu menggelengkan kepala.

Roy tersenyum.

Dia mengangguk dan menurunkan kepala, mencium rapat-rapat bibir indah sang wanita idaman. Ia memeluk erat Rania sementara di bawah, batang kejantanannya mendesak kembali.

Batang kejantanan Roy mulai berkuasa, menerobos masuk ke dalam liang utama, menjadikan lengkap hubungan antara pria dan wanita. Semakin ditusuk, semakin masuk, kian takluk, tambah tunduk. Ke dalam lagi penis itu menguasai, birahi direngkuh dan dinikmati, keduanya terperangkap nafsu, sempat terbelalak, tersentak, tapi terpejam kembali untuk bersatu.

“Haaaaaahh… eeeessst… ooooh…” Rania melingkarkan kaki ke pinggang Roy.

Sodokan dan sorongan batang kejantanan kian melesak dan kian mendesak. Tidak hanya sekali dua kali, tidak hanya empat kali lima kali, tidak hanya tujuh kali delapan kali, entah sudah lebih dari berbelas-belas kali sodokan gencar dilakukan, leram untuk sesaat terhenti sebelum dipacu kembali belasan kali.

“Aaaaahhhh… esssst… ooooh…”

“Haakkkghhh… mmmhh….”

Keduanya melenguh bergantian, merintih bersamaan, saling mengecup berpagutan, menikmati kehadiran sang pasangan.

Roy tak berhenti. Terus menyodok, melesakkan penisnya dalam-dalam ke liang vagina sang kekasih. Tidak hanya semenit dua menit, lima menit, sepuluh menit, tapi lebih dari dua puluh – ia melakukannya bahkan tanpa merubah posisi. Bukan karena tidak ingin variasi tapi karena ia ingin melakukannya sambil menghayati wajah cantik sang bidadari, memudahkannya mengecup bibir indah yang membuatnya terpukau dan terbawa mimpi.

Sudah cukup lama keduanya berpacu dengan nafsu, yang awalnya ditahan kian tak tertahan di ujung mampu. Rania sudah mulai menggapai tingkat tertinggi. Desahnya kian menggerus bak gergaji, yang selalu memohon lagi dan lagi dan lagi. Pantat Roy makin kencang memacu, ritme makin sadis di tiap tarikan tenaga. Makin semangat, makin meluap, makin berkuasa. Mengungkapkan perasaan, menceritakan kisah penis dan vagina.

Lalu laju, dan laju, dan laju, dan laju. Hingga akhirnya Rania bergetar hebat saat mencapai klimaks.

“Haaaaaakgh! Aaaaaahhh!!” Rania menjerit.

Saat sadar apa yang baru saja ia lakukan, si cantik itu lantas menutup mulut dengan tangannya sendiri.

Roy memeluk erat kekasihnya dengan perasaan tertumpah ruah. Si cantik pun surut dalam pelukan. Giliran Roy yang terus menggerus puncak kenikmatan.

Rania berbisik, “jangan… di… dalam ya…”

Roy tidak menjawab karena dia tidak bisa berjanji, ia mulai merasakan deras aliran nafsu kian tajam menusuk kalbu. Setiap saat bisa saja terjadi, setiap saat. Mungkin saat ini. Belum. Mungkin sekarang? Masih belum. Mungkin yang sekarang…? Mungkin. Mung-… ahhh yaaa…. yaaaaaaa….! Sekaraaang!

Sekarang!

Batang kejantanan Roy melepas muntahan cairan cinta yang ditunggu-tunggu.

Aahh. Akhirnya terbebas.

Ledakan demi ledakan terjadi di dalam liang cinta sang kekasih. Penurunan kekuatan membuat gerakan Roy kian tak menentu, hingga akhirnya hanya sekali, lalu dua kali, lalu selesai.

“Haaaahhh…” lenguh Roy sambil terengah.

Pemuda itu menatap kekasihnya yang menatapnya balik dengan mata berkaca-kaca dan berlinang. Roy sedikit terkejut, “Kenapa? Sakit ya yang barusan?”

Rania menggeleng lembut. Si manis itu hanya berbisik, “aku sayang kamu.”

Roy tersenyum, “Aku juga.”

Keduanya tersenyum, lalu saling berciuman.

Rania merasakan semburan cairan cinta memenuhi ruang-ruang terdalam pada rongga kemaluannya hingga masuk sampai ke rahim. Ketika Roy menarik keluar batang kejantanannya, tetesan cairan putih yang kental ikut keluar dari sisi dan sela bibir liang cinta sang ibu muda yang jelita. Menetes hingga ke paha dan pantatnya.

“Berjanjilah.” Bisik Rania sembari memeluk kepala Roy. Bibir mereka sangat berdekatan sehingga saat Rania berucap, bibirnya akan menyentuh bibir Roy.

“Janji apa?”

“Janji kamu ga akan ninggalin aku. Aku butuh kamu.”

“Aku ga akan ninggalin kamu.”

“Janji?”

“Janji.”

“Kamu beneran mau nikahin aku?”

“Banget.” Roy tersenyum sembari merapikan rambut di sisi wajah Rania, mengaitkannya ke daun telinga, memperlihatkan dengan jelas wajah jelitanya. Roy mengecup dahi sang bidadari pujaan. “Aku tahu kalau selama ini kamu sudah mengalami banyak hal yang tidak menyenangkan, berat bahkan… dalam hidup kamu. Mudah-mudahan kehadiranku bisa memberikanmu rasa tenang dan rasa aman. Aku tidak akan membiarkanmu menangis lagi.”

Rania tersenyum, ia menatap lembut wajah Roy. Ia bertanya sekali lagi. “Janji?”

“Janji.”

Rania memejamkan mata. Roy mendekatkan wajah. Bibir mereka kembali beradu. Entah sudah yang keberapakali. Saling terkait, saling memuja, saling berhasrat ingin memberi rasa cinta. Tangan mereka saling menyentuh, Rania merasakan tiap jengkal dada bidang Roy sementara tangan sang pengendara angin bermain di tepian keindahan tiap lekukan sisi tubuh sang pujaan hati.

Bunyi bel di ponsel membangkitkan mereka berdua pada kenyataan.

Rania melepas pelukannya.

“I-itu alarm. Aku harus cepat-cepat pulang, Mas.”

“Oke, aku anterin.”

Keduanya pun melepas pelukan dan bergegas berpakaian, setelah semuanya siap, Roy pun mengantar Rania meliuk-liuk melewati jalanan kota untuk sampai di rumah yang sedikit di ujung barat kota. Saling berpelukan, tak ingin lepas, tak ingin berpisah, ingin segera menikah.

“Kapan mau ngelamar aku, Mas?” tanya Rania saat sudah hampir sampai di depan rumah.

“Aku harus memastikan dulu rencana keluarga. Mudah-mudahan si Bian mau.”

“Hihihi. Maksain banget.”

“Ga apa-apa. Memang sudah tugas dia. Aku juga akan melakukan hal yang sama kalau dia menikah. Itu sudah janji kita berdua.”

“Hihih… eh?”

Mereka berdua masuk ke halaman depan rumah Rania.

Saat itu pula jantung Rania seperti dicabut dari dadanya!

Itu anaknya! Si Lena!

Dia sedang duduk di pangkuan ayah kandungnya.

Reynaldi sang durjana.

.::..::..::..::.

Rao menguap. Hari sudah siang ya?

Memulai hari di tengah hari adalah kebiasaan buruk sang hyena gila. Dia memang tidak mengenal pagi hari, mungkin bahkan tidak mengenal embun pagi. Ketika matahari mulai merekah di ufuk memancarkan sinar yang mekar menerangi langit di cakrawala, maka orang-orang mulai bangun dari tidur dan mulai beraktivitas. Tapi bagi sang hyena gila, justru itulah saat yang tepat untuk mulai meringkuk di pembaringan dengan nyamannya.

“Baru bangun ya. Hari sudah siang.”

Suara lembut Nuke yang membangunkan Rao membuat sang hyena merasa tidak nyaman. Dia harus menggunakan ingatannya dengan sungguh-sungguh untuk mengingat kenapa ada seorang gadis di kamarnya siang ini. Setelah beberapa lama barulah ia ingat kejadian saat ia menyelamatkan Nuke dari gerombolan PSG. Karena tidak ada tempat lain yang bisa dituju, Rao untuk sementara setuju menampung Nuke – asalkan gadis itu segera mencari lokasi lain secepatnya.

“Hmm.” Rao mendesah malas. Ia mengejapkan mata saat sinar mentari masuk ke ruangan, menyambar kegelapan, dan menjadikannya terang. Sosok Nuke yang bermandikan sinar matahari menjadi poster indah di siang kali ini.

Tapi…

Rao meneguh ludah, matanya melotot, lidahnya kelu, dan jakunnya naik turun saat melihat Nuke membuka gorden jendela di kamarnya. “Apa yang kamu lakukan?”

“Maksudnya?”

“Jangan main-main. Apa yang kamu lakukan?”

“Ha? Apaan? Aku benar-benar tidak tahu apa maksudmu, main-main apa dah?” Nuke memasang wajah innocent karena dia memang tidak tahu apa yang dimaksud oleh Rao. Wajah manisnya semakin membuat Rao bagai diserang diabetes.

“Pa-pakaian yang kamu kenakan itu! Kenapa kamu pakai kemejaku?”

Nuke melirik ke bawah. Ya, dia memang sedang mengenakan kemeja flanel merah hitam milik Rao sebagai pelindung tubuh bagian luar – dan hanya itu saja selain dalaman, pakaian itu cukup besar sehingga menutup hampir sebagian besar tubuh mungilnya dari atas sampai paha. Dia tidak mengenakan celana panjang atau pendek, sehingga paha mulusnya terpampang jelas di hadapan sang hyena gila yang untuk pertama kalinya tidak tahu harus mengucapkan apa.

Postur tubuh semampai Nuke memang bagaikan dewi Venus yang turun dari khayangan, kaki jenjang itu mulus tanpa bercak. Hot Wheels aja bakal keselip kalau jalan di situ saking mulus dan licinnya.

“Ah! Iya, maaf.” Nuke menurunkan kemeja dan memegang ujung bawah baju yang ia kenakan agar tertutup lebih rapat, ia benar-benar tidak bermaksud membuat Rao menjadi tidak nyaman. “Bajuku sejak kemarin basah karena keringat dan itu satu-satunya yang aku bawa kemari, jadi aku pikir untuk sementara bisa meminjam bajumu dulu, sementara baju yang itu mau aku cuci. Mohon maaf banget ya.”

“Ya tapi kenapa tidak pakai celana?” Rao buru-buru melompat untuk menutup gorden kembali, takut ada orang di luar sana yang melihat keseksian Nuke siang ini.

“Kan celananya kotor juga. Mau pinjam celana… tapi…”

Rao menggeleng kepala dan menepuk jidat. Sebisa mungkin pimpinan DoP itu tidak melirik ke arah Nuke karena merasa tidak nyaman. Tinggal serumah begini sudah tidak nyaman, apalagi ditambah si cantik itu mengenakan pakaian yang minim. “Ya ga begitu juga kali. Jangan sampai kamu keluar dari sini, takutnya ada yang salah paham.”

Sang hyena segera membuka lemari plastik berwarna biru muda bergambar gajah Dumbo di samping tempat tidurnya, ia mencari-cari sesuatu. Setelah menemukannya, ia melemparkan sebuah plastik berisi kain ke arah Nuke. “Pakai itu. Aku belum pernah pakai. Dulu ada yang ngasih.”

Nuke menerima plastik kain yang diberikan oleh Rao dan membukanya. “kain sarung?”

“Pakai aja ga usah ribut. Pusing!” Rao mendengus kesal dan buru-buru pergi ke kamar mandi sambil geleng-geleng kepala. Bangun tidur bukannya dapat paha ayam, malah disuguhi paha Nuke. Duh, perut udah keroncongan ditambah jantung juga degdegan. Tobat tobaaat.

Pintu kamar mandi pun ditutup setelah Rao menyambar handuk.

Nuke tersenyum sambil memegang kain sarung yang lembut itu.

“Terima kasih.” Bisiknya pelan.

Meski kasar, Rao baik.

Nuke

Roy menggeram. Bedebah bangsat itu!

Jadi dia!?

Diakah yang dulu pernah melecehkan Rania!? Bajingaaaan!! Dia juga yang tempo hari mengganggu Bu Asty! Memang dasar durjana pemetik bunga kelas kampret! Yang begini ini yang seharusnya dibumihanguskan dari muka bumi!

Roy mencoba menghalangi Rania mendekati Reynaldi karena situasinya lumayan gawat dan mereka tidak pegang kendali. Dia takut Rey akan berlaku fatal pada Lena karena laki-laki brengsek itu punya watak yang tidak bisa diduga.

“A-apa yang kamu lakukan di sini!? Apa yang kamu lakukan sama anakku? Mana Mama? Mamaaaa!? Mamaaaaaaaaaa!?” Rania panik melihat Reynaldi tengah memeluk buah hati dan bermain-main berdua saja di depan rumah. Kenapa sang Mama sampai mengijinkan Reynaldi memegang Lena begini? Apa yang terjadi pada beliau? Panik mendera Rania. “A-apa yang terjadi sama Mama!? Apa yang terjadi?”

Rey tersenyum sinis, “kamu pikir apa yang terjadi? Tidak ada apa-apa yang terjadi. Jangan sok heboh begitu lah, aku tidak melakukan apa-apa. Beliau sedang tertidur di dalam.”

“Lena! Sini nak! Sini sama Mama!” panggil Rania pada Lena, buah hati Rania itu menyadari kehadiran mama-nya, namun Rey menahannya agar tidak menjauh darinya. Ia memeluk putrinya. Rania memerah karena marah. “Bajingan kamu! Jangan sentuh anakku! Tidak mungkin Mama-ku tidur! ini masih jam buka warung! Apa yang kamu lakukan sama Mama!?”

“Ibumu itu orang baik. Dia ingin cucunya mengenal ayah kandungnya, itu sebabnya dia mencariku dan saat menghubungiku, dia berharap aku bisa membantumu membesarkannya dengan memikirkan biaya sekolah, dan lain-lain. Sungguh pemikiran yang polos dan naif.” Reynaldi tertawa, “tenang saja, aku tidak menyakitinya. Nanti juga bangun, kan sudah aku bilang Mama-mu itu sedang tidur. Nyenyak banget. Hanya sekedar mengkonsumsi obat tidur yang berlebihan saja. Hahahah.”

“Kuraaang ajaaaaaaaaar!! Bedebah kamu!! Kenapa kamu setega itu sama Mamakuuuuu!!” Rania berteriak-teriak dengan panik, tapi tidak ada tetangga yang datang. Mereka enggan ikut campur masalah keluarga. “Lepaskan Lenaaaa! Lepaskaaaaaaaaaan!!”

“Kenapa harus aku lepaskan? Aku sedang menimang-nimang anakku sayang. Rasa-rasanya dia lucu juga, bagaimana kalau aku bawa saja dia? Hahahaha.”

“Jangaaaaan! Jangan kamu bawa anakku pergi! Jangaaaaan!”

Lena kebingungan melihat kejadian yang berlangsung, ia mulai merasa tidak nyaman saat melihat mama-nya menangis. Wajahnya berubah dan tangisannya pecah.

Roy menatap wajah Reynaldi dengan geram. “Lepaskan dia. Anak itu sudah tidak nyaman denganmu.”

Rey menyunggingkan senyumnya pada Roy – dia akhirnya juga menyadari kalau Roy adalah orang yang menggagalkannya memperkosa Bu Asty tempo hari, “kamu lagi, kamu lagi. Kenapa sih selalu ikut campur urusan orang lain? Dia ini anakku. Kenapa harus kulepaskan? Justru kamu yang seharusnya pergi dari sini! Ini masalah keluarga! Bukan urusan kamu!”

“LEPASKAAAAN!!” jerit Rania histeris, dia benar-benar khawatir dengan nasib buah hatinya. Air matanya tidak bisa dibendung. Wanita yang biasanya selalu tenang dan penuh perhitungan itu tiba-tiba saja runtuh pertahanannya saat melihat bagian terpenting dalam hidupnya berada dalam ancaman laki-laki yang sangat ia benci sepanjang usia. “LEPASKAAAAN!!”

Roy mendorong Rania ke belakangnya, pemuda itu berdiri tepat di antara Rania dan Reynaldi. Di satu sisi melindungi Rania, di sisi lain berusaha mencegahnya melakukan hal-hal yang bisa merugikan mereka semua.

Roy mencoba mengancam, “Ini peringatan yang terakhir kalinya. Lepaskan dia… atau…”

“Atau apa? Hahahahaha. Kocak! Kamu pikir aku takut? Kamu tidak kenal siapa aku! Kamu bahkan tidak tahu siapa wanita sundal itu! Kalian sudah pernah ngentot kan? Hahahaha! Bodoh! Kamu pikir kamu satu-satunya laki-laki yang sekarang dia layani!? Dia itu pelacur!”

“Diaaaaam!” Rania makin tak tertahankan marahnya. Roy mencoba memegangi Rania sekuat tenaga, dia mengkhawatirkan keselamatan mereka semua. Si bedebah itu terlihat sedang memancing emosi kekasihnya dengan melemparkan semua tuduhan semaunya.

“Kamu pasti tidak tahu, dia sering membuka paha lebar-lebar untuk setiap laki-laki yang aku datangkan! Kamu mau videonya? Semua bukti masih aku simpan!” kata Rey sambil menggoyang ponsel dan tertawa, “Sudah bagus aku berikan kamu seorang anak yang lucu dan bisa kamu banggakan. Untung kan kamu hamilnya sama aku? Bukan sama laki-laki sembarang yang sudah menikmati memekmu? Mau panggil yang berwajib? Silakan saja! Silakan, aku tidak akan menghalangi. Silakan kalian panggil polisi! Bahkan kalau perlu kita maju ke pengadilan! Kita lihat siapa yang lebih berhak atas anak ini! Kita bandingkan pemasukan dan harta kepemilikan kita!”

Rania meremas kain baju yang dikenakan oleh Roy dengan gemas. Ia benci sekali! Roy geram mendengar Rania dihina sebegitu kejinya. Tapi dia mencoba berpikiran tenang, kalau ia terpancing, maka dia akan masuk ke dalam jebakan emosi. Dia harus mengatur siasat di depan laki-laki yang sepertinya punya jutaan strategi di otaknya itu.

Tangan Roy mengelus lembut punggung tangan Rania. “Tenang saja. Aku yang akan menghadapinya. Kamu mundurlah ke sana. Semua akan baik-baik saja.”

Reynaldi tertawa, “jadi kamu mau menyelesaikan ini dengan pertarungan tangan kosong? Boleh! Maju! Aku layani! Memangnya kamu pikir aku takut?”

“Ya. Kita selesaikan secara jantan, tapi lepaskan bocah itu, aku akan melayanimu satu lawan satu.” Roy mendengus dan bersiap. Ia mulai memainkan taktik, dia tidak boleh lengah sedikitpun karena orang ini sangat berbahaya. Dia harus dapat mengalahkannya dengan cepat karena salah gerak sedikit saja akan membuat Reynaldi dapat melancarkan serangan balasan yang mematikan. Saat yang tepat untuk melepaskan jurus-jurus baru yang ia pelajari dari Pak Uya.

Lena menangis kencang di pelukan sang ayah karena bundanya menangis dan memanggil-manggil namanya. Bocah itu bingung akan apa yang terjadi, meskipun tadinya ia tenang-tenang saja, tapi sekarang dia tentu ingin bersama sang bunda. Rey tersenyum menanggapi ajakan Roy dan melepas Lena yang segera berlari ke arah Rania.

Reynaldi menekuk jari-jemarinya. “Aku tidak akan main-main, aku akan menghajarmu sampai hancur berkeping-keping. Akan sangat menyenangkan menghancurkanmu di depan wanita sundal itu.”

“Bacot.”

Swsh.

Dengan sekali lompat, si pengendara angin sudah berada di atas Reynaldi. Roy sepertinya benar-benar menggunakan kekuatan lompatannya secara maksimal. Ia memutar badan dan melepaskan tendangan berputar yang dilakukan sekuat tenaga.

Bkgh!

Tangan Reynaldi bersilang di atas kepala, menahan gempuran pertama Roy dengan mudah. Nyeri terasa di punggung tangan. Dia masih duduk di bagian tangga yang ada di depan rumah Rania. Kokohnya tangga membantunya menahan serangan.

“Heaaaaaa!” Reynaldi menghentak kedua tangannya ke atas, melemparkan kaki Roy agar tidak terus menerus mendesaknya ke bawah. Roy mundur ke belakang dengan sebuah gerakan salto ke belakang yang indah dengan mudah dan ringan.

“Tukang pamer.” Desis Reynaldi sengit. Dia bangkit dari posisinya dan mulai mengejar Roy. Tangannya membentuk benteng di depan wajah dengan tinju tergenggam. Reynaldi maju mendesak ke depan dengan penuh semangat, siap membuktikan diri sebagai yang lebih hebat.

Melihat pertarungan antara Reynaldi dan Roy mulai berlangsung – Rania langsung membawa Lena ke tempat yang aman. Sebisa mungkin ia menghindar dari mereka. Hari ini gang rumahnya sepi sehingga pertarungan kedua pria itu tidak disaksikan oleh orang lain.

Reynaldi kini menyerang Roy dengan sambaran pukulan berulang yang ganas, mengincar kepala Roy yang ringan bergerak menghindar ke kanan dan kiri dengan mudahnya. Tanpa disadari oleh Reynaldi, Roy menyamakan langkah kakinya dengan sang durjana, memudahkannya menghindar dengan mengikuti arus serangan sebelum serangan dilakukan.

Swwsh. Swwwsh. Swssh!

Tiga pukulan beruntun gagal menemui sasaran, hanya menyambar udara dan kekosongan semata. Kesal Rey dibuatnya. Sudah jelas dari segi kecepatan alami, dirinya kalah jauh dibandingkan Roy. Apakah sejak dini dia harus mengeluarkan semua kemampuan? Apakah tidak ada kesempatan dengan tenaganya yang sekarang? Bangsat satu ini benar-benar…

Sang durjana terdiam sesaat dan mundur beberapa langkah. Jari telunjuk dan jempol kedua tangan saling menyentuh melebar membentuk kotak, mulutnya bergumam, “Kawulo namung saderma, mobah-mosik kersaning Hyang Sukmo.”

Boom!

Reynaldi menggempur Roy sekali lagi. Kali ini dengan kecepatan yang meningkat teramat dahsyat berkat dorongan Ki yang berada dalam tubuhnya. “Heaaaaaaaaaaa!”

Jbooooogkhhhh!

Masuk!

Rania memekik kaget di kejauhan.

Untungnya sang kekasih tidak apa-apa.

Roy tak mengira Reynaldi bisa bergerak secepat itu! Ia gagal mengantisipasi serangan dan rahangnya terpapar kepalan tangan kanan sang durjana. Tubuh sang pengendara angin mundur ke belakang beberapa langkah dengan rahang nyeri. Kampret.

Tak sempat berpikir panjang! Pukulan kedua menyeruak menyerang Roy, tapi dengan sigap ia melecutkan tubuhnya ke belakang bak busur dan menggunakan kaki untuk menahan pukulan yang datang. Ia mengeksekusi teknik pertahanan yang diajarkan oleh Pak Uya dengan sempurna!

Saat mundur ke belakang, Roy mencari celah dan melayangkan kakinya ke depan, menyambar dagu sang durjana dengan kelebat kakinya yang ringan melayang. Reynaldi yang kurang biasa bertarung dalam kecepatan tinggi tidak mengira ia akan diserang oleh tendangan Roy saat masih berada di posisi menyerang. Kepalanya terhentak ke belakang, nyeri terasa, berkunang-kunang pandangannya.

Reynaldi gagal menyerang dan tertatih ke belakang.

Roy sendiri harus menahan tubuh agar tidak jatuh terlentang. Ia menggunakan kakinya yang bertahan sebagai tumpuan untuk melontarkan tubuh ke depan kembali. Serangan keduanya dimulai! Sekali lagi Roy melayang ke depan, kali ini dia memanfaatkan daya pegas yang ia dapatkan untuk memutar badan dengan kecepatan tinggi.

Swsh.

Serangan Roy yang secepat kilat menyerang dengan menerjang ternyata tak cukup cepat karena pada saat itu Reynaldi sudah menggeser diri ke posisi lain, menghindar dan merencanakan strategi. Begitu Roy menapakkan satu kaki ke tanah dan sudah bersiap untuk memutar badan demi melontarkan satu tendangan susulan, Reynaldi langsung melejit kencang ke depan untuk mengambil momentum yang ada.

Reynaldi memanfaatkan gerbang kedua yang masih terbuka, ia melesat ke depan untuk menubruk tubuh Roy dengan kecepatan tinggi sebelum tendangan mendarat di badannya – menghancurkan kesempatan sang lawan!

Tapi Roy tak kalah akal, dia memang dengan sengaja memancing Reynaldi untuk menyerang. Begitu sang lawan benar-benar maju menyerang, Roy menurunkan badan serendah mungkin dan memutar kaki bak roda yang menggiling kaki-kaki.

Reynaldi terkesiap! Dia sama sekali tidak mengira Roy akan menyerang dari bawah.

Bdkgh! Bdkgh!

“Hngkh!”

Kakinya yang tak siaga tersepak gerakan memutar Roy, ia jatuh terbanting ke tanah! Reynaldi mengernyit kesakitan namun belum menyerah, ia pun berguling ke samping, bersiap untuk bangkit kembali. Dengan memanfaatkan tangan kanan yang kokoh, Reynaldi melontarkan badan ke atas untuk dapat kembali berdiri.

Roy tak memberikan kesempatan bebas terlalu lama bagi sang durjana. Ia berlari ke depan, melompat sebelum jarak di antara keduanya mencapai dua meter, dan meluncurkan tendangan berputar andalannya. Tempo hari, tendangan inilah yang berhasil ditahan oleh Pak Uya, bagaimana sekarang dengan Reynaldi? Mampukah dia bertahan dari badai serangan Roy?

Jbkgh! Jbkgh! Jbkgh! Jbkgh!

Empat sepakan beruntun menghajar sisi kiri wajah Reynaldi, menerbangkannya ke samping dan menjungkalkannya ke tanah. Pria durjana itu terhantam berulang di tanah tanpa sempat mempertahankan diri. Ia terhentak dan tersentak berulang, terbanting dan terpelanting dengan kesakitan.

“Hrghhhh!” wajahnya mengernyit kesakitan, sementara wajahnya makin lebam.

Ajur dapurmu!

Roy menjejak dan menyepak, mencoba menggunakan kepala Reynaldi sebagai sasaran serangan. Reynaldi ketakutan, dia tak mengira kaki Roy dapat bergerak teramat cepat. Ia berguling ke kanan dan ke kiri. Pada kesempatan terakhir, Reynaldi kembali mengaktifkan gerbang kecepatan untuk melesat jauh.

Boom!

Sepakan Roy menjumpai tanah kosong sementara Reynaldi sudah loncat menjauh sekitar tiga meter di sebelah kiri Roy. Sang pengendara angin mendesis geram, ulet juga ni si kutu kambing! Tapi dia salah jika mengira posisinya sekarang sudah aman! Roy kembali melesat mengejar Reynaldi.

Kali ini tidak ada maaf.

Gerakan kaki Roy begitu cepatnya hingga tak terlihat oleh Rey.

Jbookgh! Jbookgh! Jbookgh!

Tiga tendangan beruntun masuk dan membuat kepala Reynaldi terlempar berulang ke arah kanan. Darah segar mengucur dari bibirnya yang pecah. Kepalanya berkunang-kunang dan beberapa saat lamanya, ia hanya dapat melihat gelap.

“Bangsaaaaaaaaaat!” dengan kemarahan berlipat ganda, Reynaldi mencoba meluncurkan serangan dengan kepalan tangan kanannya. Tapi percuma, kecepatan Roy masih berada di atas pengalaman Reynaldi meski menggunakan gerbang dari Kidung Sandhayakala sekalipun.

Jbookgh! Jbookgh! Jbookgh!

Belum sempat sang durjana mengirimkan balasan, Roy sudah berhasil melesakkan tiga tendangan tambahan. Semua masuk tanpa sempat ditahan sekalipun oleh Reynaldi. Pria durjana itu terjatuh ke tanah dengan suara berdebam!

Napas kembang kempis, wajah lebam membiru, darah mengucur, dan pandangan mulai tak jelas. Reynaldi memaki-maki dirinya sendiri yang gagal mengeksekusi kemampuan dengan sempurna karena miskin pengalaman. Dia mencoba berdiri meski terhuyung-huyung.

Roy yang di atas angin meloncat-loncat kecil mengelilingi Reynaldi dengan melakukan Ali’s Shuffle, salah satu gerakan kaki dinamis patah-patah yang dipopulerkan oleh sang petinju legendaris. Tangannya bergerak lincah kanan dan ke kiri, mencoba mendikte ritme.

Reynaldi kembali bersiap dengan kuda-kuda. Dia memasang kedua tangan di depan wajah, pertanda siap melindungi diri dari serangan seperti apapun. Masa sih dia tidak bisa menang melawan kroco seperti ini? Memalukan! Rey mendengus kesal. Perbedaan di antara mereka nyatanya hanya karena pengalaman bertarung, meski punya kemampuan dan bekal ilmu kanuragan yang seharusnya lebih mumpuni, Rey kalah karena tidak sigap dalam menyerang.

Kini saatnya beraksi. Kini saatnya…

Bletaaaaakghhhh!

Sang durjana terpelanting ke kiri tanpa sempat melawan atau merapal. Ia jatuh berdebam ke tanah

Tendangan Roy yang tidak disangka-sangka hadir cepat secepat hembusan angin. Tendangan itu didapatkan dengan memantulkan diri ke belakang dan menyerang dengan satu lompatan penuh, membentuk busur – jurus yang diajarkan oleh Pak Uya.

Reynaldi terkapar tak berdaya di tanah. Kepalanya pusing sekali.

“Heaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!”

Kaki Roy bergerak teramat cepat, tumit dihempaskan ke bawah ke arah kepala Reynaldi. Rey menatap ngeri kaki sang pengendara angin yang melaju kencang ke arahnya, ia memejamkan mata. Sepertinya tamat sampai di sini saja.

Kepalanya akan pecah dan garis hidupnya berakhir.

Satu lagi durjana dihapus dari muka bumi.

Brakkghhh!

.::..::..::..::.

“Si Jagal sudah muncul, si Hantu sudah muncul, sekarang giliran Pak Pos juga sudah menunjukkan batang hidungnya. JXG benar-benar sedang bersiap untuk melakukan comeback. Kekekek, apa yang sekarang kamu persiapkan?” Lek Suman tiduran di sebuah lincak yang ditempatkan di depan gubuk yang menjadi rumah penjaga tambak dan kolam ikan air tawar milik Joko Gunar. “Masa iya kamu mau diam saja melihat mereka semua merongrong posisi PSG?”

Tambak milik Joko Gunar ini berada di sebelah barat kota, menjelang ringroad arah ke kawasan perempatan Demak Jambon. Belok ke kanan ke Jalan Kadipaten, lurus terus ke utara. Meski cukup jauh dari pusat kota, kawasan ini masih berada di bawah lindungan PSG.

Joko terdiam dan manggut-manggut mendengar keluh kesah Lek Suman, ia hanya tersenyum sembari menyaksikan gerombolan ikan lari kesana kemari berkejar-kejaran. Warna keperakan berlarian seakan-akan bermain petak umpet. Suasana siang yang mendung membuat kedua orang itu sudah bersiap di bawah payung besar. Bersiap-siap akan turunnya hujan.

“Aku sudah punya rencana, Lek. Tenang saja. PSG menjadi besar bukan karena prestasi satu dua orang saja. JXG memang besar, tapi PSG seharusnya mampu mengimbangi.”

“Oh ya?”

“Kedatangan si Jagal kemarin membuatku sadar kalau kita tidak bisa terus menerus diam dan ditekan sampai penyet. PSG harus bertindak lebih cepat dari yang mereka duga. Kita harus mempersiapkan pasukan lebih cepat dari seharusnya. PSG bukan kelompok kelas teri yang bisa dibubarkan begitu saja. Kalau mereka punya empat anak panah yang mengerikan, maka kita persiapkan tandingannya.” Joko Gunar melirik ke arah Lek Suman, “aku dengar kemarin bocah-bocah bekas KSN diserang RKZ?”

Iyo. KSN baru saja diserang oleh RKZ, Oppa dan Amon jadi korban, keduanya masuk ke rumah sakit, kondisi parah – mungkin sudah tamat. Tedi Ganesha, Roni, dan sisa-sisa KSN yang lain menyebar untuk memecah perhatian RKZ yang selalu datang bergerombol. Tadinya mereka hendak merekrut orang-orang KSN, sebagian memang ada yang bergabung ke sana, tapi tidak dengan Oppa dan Amon yang sudah bersiap masuk PSG. Hasilnya mereka-mereka yang mau masuk PSG dihajar satu-satu. Mungkin sekali waktu kita perlu kasih pelajaran untuk bocah-bocah tengik RKZ itu, gembus anyaran tapi sok-sokan wani perih.”

“Lain kali saja. Aku masih menyimpan tenaga pasukan utama kalau-kalau ada serangan mendadak dari JXG.” Joko Gunar melirik ke arah Lek Suman, “kalau JXG punya empat anak panah, kita punya Tiga Gentho dari Bondomanan yang siap membakar kota. Tapi mereka tidak aku persiapkan untuk konfrontasi langsung dengan JXG, mereka aku persiapkan untuk tugas lain.”

“Oh?”

“Hehehe. Bukan hanya JXG saja yang bisa melakukan tindakan gerilya. Aku juga bisa. Selama ini mereka bergerak diam-diam untuk memantau lawan-lawan di lapangan, mengintimidasi lawan, hingga menghancurkan KSN. Giliran PSG sekarang yang akan mengguncang kota sampai ke akar-akarnya.”

Tetes-tetes air turun dari langit.

Suasana penampungan ikan menjadi syahdu siang itu.

Saat hujan mulai membasahi bumi, saat itu pula Joko Gunar berdiri dan menekuk lengan bajunya hingga ke siku. Wajahnya tersenyum sambil bersiaga penuh. Dia menarik napas dalam-dalam, sejuknya suasana siang ini. Sang pimpinan PSG menengok ke arah Lek Suman, “Ada baiknya sampeyan masuk ke dalam dulu, Lek. Akan ada sesuatu yang rame di sini.”

Lek Suman terkejut karena tiba-tiba saja Joko Gunar berubah sikap dan mengucapkan kalimat yang tidak jelas. Tapi dia tahu pasti kalau sang pimpinan PSG pasti punya maksud tertentu. Pria tua itu berjalan tertatih masuk ke dalam gubuk di belakang mereka. Saat pria tua itu telah masuk, Joko Gunar menekuk jari-jemarinya dan mulai bersikedap menghadap ke kolam-kolam dan jajaran pepohonan rindang.

“Aku tahu kalian ada di sini. Keluarlah, mari kita bercakap-cakap di bawah rintik hujan yang segar ini.” ujar sang pimpinan PSG. Matanya menatap tajam ke beberapa sudut kolam ikannya. “Kalian mau dijamu pakai ikan apa? Dibakar atau digoreng? Berapa ikan yang harus aku siapkan? Satu, dua, tiga, dan empat. Ah, keempatnya telah hadir.”

Dari sudut-sudut semak dan pepohonan lebat yang mengelilingi kolam, empat sosok pria menunjukkan diri, menampilkan wajah mereka yang beraneka ragam. Sebagian dari mereka mengenakan pakaian hitam dan gelap.

Dimulai dari yang paling kiri, berpakaian serba gelap dengan jaket ber-hoodie yang menangkup topi dikenakan untuk menutup wajah. Tak ada senyum terbias di wajah, hanya kesunyian yang dalam dan sendu di balik kacamata hitam yang menyembunyikan pandangan mata tajam. Dia seakan tidak peduli ketika hujan gerimis mengguyurnya.

“Selamat bertemu kembali, Jagal.”sapa Joko Gunar.

Berikutnya, tiga meter dari Sulaiman Seno, adalah sosok laki-laki tua yang tertawa-tawa dan langsung jongkok sembari memegang payung warna-warni. Pakaiannya berwarna oranye, seperti halnya celana dan topi yang ia kenakan. Wajahnya yang keriput, kulit kecoklatan terbakar matahari, dan dandanan seadanya yang ia kenakan menyembunyikan kemampuan yang sesungguhnya dari sang pria tua. “Halo Mas Joko.”

“Halo juga Om Sunu, sang Tukang Pos. Mudah-mudahan hari ini tidak mengirimkan surat beramplop hitam kepadaku.”

“Hehehhe. Tergantung perkembangan. Hehehehe.”

Disebelahnya lagi, berdiri santai dengan bergoyang-goyang tak tenang, adalah sosok yang memiliki wajah yang mengerikan. Dia sebenarnya tidak tersenyum namun seakan-akan sedang tersenyum karena ada luka jahitan di samping bibir, luka memanjang yang membentuk senyuman – luka yang biasa disebut Glasgow Smile. Rambutnya yang hitam kelam menyeruak ke atas, posturnya yang kurus membuat sang pemuda terlihat ringkih dengan dandanan ala goth, lengkap dengan maskara, baju dan celana jeans warna hitam. Meski yang paling kurus di antara semua yang datang tapi sesungguhnya dia adalah sosok yang mengerikan dan tak segan-segan melakukan kekerasan tanpa berpikir dua kali.

Lek Suman yang mengintip dari dalam terkesiap saat melihat sosok itu, dia… dialah yang dulu menghabisi Darsono! Sang Hantu!

Joko Gunar tidak mengucap apapun pada pria aneh yang memegang payung berwarna hitam itu, dia hanya menganggukkan kepala. Sang Hantu tidak peduli, dia tetap menggoyang-goyangkan badan dengan gerakan yang unik dan tidak enak dipandang sembari menatap tajam pimpinan PSG itu dengan kepala miring ke bahu. Pandangan yang sangat mengintimidasi.

Lalu yang terakhir, sang anak panah keempat. Seorang pria dengan perawakan kekar yang hanya mengenakan kaus kutung warna hitam untuk memamerkan besarnya otot-otot bisep berbukit-bukit. Ia gundul, memiliki alis tebal, dan berkacamata. Kalau ada satu fiturnya yang unik adalah rahang bawahnya yang sangat besar – salah satu fitur tubuh yang membuatnya dijuluki Barakuda.

“Sudah lama sekali kita tidak bertemu, Rogo.” Sapa Joko Gunar.

Pria yang dipanggil Rogo tidak menjawab. Ia hanya mendengus sambil memainkan hidung. Dia memang tidak pernah berbicara, banyak yang menduga ia bisu, tapi kata sebagian jajaran atas JXG yang mengenalnya, konon Rogo sang Barakuda pernah berbicara sepatah dua patah kata, meskipun memang sangat-sangat jarang. Katanya Rogo hanya akan mengajak berbicara orang yang lebih kuat darinya. Saat ini Rogo memegang payung berwarna putih yang besar untuk melindunginya dari hujan yang makin deras.

Elok tenan bisa ngumpul semua. Sungguh kehormatan besar bagiku dapat menjamu kalian berempat anak panah dari JXG. Apa yang bisa aku bantu? Apakah kalian berkenan dengan hidangan ikan bakar? Tapi harus menunggu sebentar karena hujan cukup lumayan.” ujar Joko Gunar berbasa-basi. Ia melangkah mendekati gubuk, mengambil payung yang terletak di dekat pintu dan membukanya. Ia menemui kembali keempat anak panah JXG.

“Apa tujuan kalian datang kemari?”

“Sudah menuntaskan anaknya, saatnya menuntaskan bapaknya.” Kata Jagal dengan ekspresi dinginnya.

“Hehehehehe. Meski kedengarannya kejam, tapi dia ada benarnya, Mas Joko. Ulah dari KSN membuat kesal pimpinan kami. Jadi ada pesan langsung dari atasan, Mas. Setelah KSN hancur jadi debu, saatnya menuntaskan pengendali keledai-keledai dungu itu, begitu pesan pimpinan.” ucap Pak Pos sambil nyengir lebar. “Itu artinya, kami mesti meminta pertanggungjawaban dari PSG.”

“Hahahahhaahha! Tae kocheng digoreng dadakan! Kalian berempat datang secara khusus untukku ya? Luar biasa! Tidak menyangka Pak Zein akan memberikan penghormatan besar untukku dengan mengirim kalian berempat sekaligus!” Joko Gunar tertawa.

Pak Pos melemparkan sesuatu pada Joko Gunar.

Benda itu melayang kencang bagaikan shuriken yang berkecepatan tinggi!

Spht!

Joko menangkapnya dengan menggunakan dua jari. Meski seharusnya bisa dengan mudah menghindari benda yang dikirim oleh sang Tukang Pos, tapi Joko memilih menangkapnya. Pria berperut tambun itu tertawa kembali. Ia baru saja menerima sebuah amplop hitam.

“Tak perlu kami berempat yang maju, satu saja sudah cukup. Yang tiga hanya jadi saksi saja. Hehehe.” kata Pak Pos.

“Baiklah kalau begitu. Ayo maju.” Joko Gunar memasang kuda-kuda.

Di dalam gubuk, Lek Suman menyaksikan kejadian di luar dengan pandangan yang tak nyaman. Apa yang akan terjadi? Apakah bakal ada pertarungan? Apakah Joko Gunar bakal mampu menghadapi keempat andalan JXG sekaligus? Lek Suman melirik ke arah Joko Gunar dan melihat dia memegang payung dengan cara yang aneh, tangan kanan memegang payung, tangan kiri di belakang badan.

Tiga jari tangan kiri Joko Gunar dibentangkan lurus sementara jempol dan jari kelingkingnya bertemu. Tiga!? Itukah kode buatnya? Itu kode!

Lek Suman buru-buru mencari ponselnya.

Hanya ada satu tiga yang ia tahu dari Joko Gunar.

Tiga gentho dari Bondomanan.

Dia harus memanggil mereka dengan segera.

.::..::..::..::.

Beberapa saat berlalu. Reynaldi terkejut karena tak menyangka dia masih hidup dan tak terluka. Sang durjana itu pun membuka mata. Dia… selamat?

Dia selamat dari kaki Roy!

Kaki Roy tepat berada di samping kepala Reynaldi.

Roy terengah-engah, ia menarik kakinya, dan memalingkan muka dari Reynaldi, ia membalikkan badan dan berucap sengit. “Pergi dari sini. Kamu sudah kalah. Tidak ada gunanya bertarung lagi. Jangan pernah ganggu kami lagi!”

Reynaldi buru-buru menyingkir dari ruang gerak Roy. Dia tidak habis pikir kenapa Roy tidak menggunakan kesempatan itu untuk menghabisinya? Bukankah dia teramat dendam dengan semua yang sudah ia laukan pada Rania? Rey menghapus darah pada bibirnya dengan punggung tangan, ia menatap Roy dengan sengit. Ia memang diselamatkan – tapi itu rasanya sama saja dengan penghinaan. Dia telah dipermalukan!

“Kenapa?” tanya Reynaldi.

“Aku tidak sepertimu. Aku tidak akan menurunkan harga diriku hingga sederajat dengan bajingan busuk semacam kamu,” ucap Roy geram, “jadi sekarang sebaiknya kamu pergi dari sini sebelum aku berubah pikiran! Pergi dan jangan kembali lagi! PERGI!”

Reynaldi mendengus dan menggemeretakkan gigi dengan geram, kesal dia karena kalah, diperlakukan bak pecundang, dan disepelekan seperti itu. “kamu akan menyesal telah melepaskanku, bedebah kecil. Kamu akan menerima hukuman karena telah menyepelekan aku. Jangan harap aku akan mengampunimu meski kamu telah melepaskanku.”

“Mungkin aku akan menyesal, tapi saat ini aku tidak peduli.”

Reynaldi mengangguk, “baiklah. Kamu sendiri yang menginginkan hal ini terjadi. Lain kali, aku tidak akan memberikan ampunan yang sama padamu. Salahkan dirimu sendiri.”

“Tidak masalah, karena aku sudah kuduga kamu memang punya hati yang busuk. PERGI! Harus berapa kali lagi aku bilang? PERGI DARI SINI!”

Roy mendatangi Rania dan Lena yang berlari ke arahnya sambil membentangkan tangan. Mereka berpelukan dengan erat.

Huff. Seharusnya kamu tidak lengah.” Reynaldi tersenyum. “Kawulo namung saderma, mobah-mosik kersaning Hyang Sukmo.”

Swsh. Boooom!

“Hngkhk!” Roy tersentak dan terbelalak, di punggungnya kini Rey telah menancapkan cakar yang menembus kulit. Cengkraman kencang yang mengalirkan hawa jahat dan beracun! Inilah jurus sesat dan jahat ajaran Ki Demang Undur-undur, Jurus Cakar Tangan Hitam!

Buru-buru Roy mendorong Rania dan Lena menjauh sementara ia bergulat dengan rasa sakit di punggung. Ia menggunakan kelincahan kakinya dengan gerakan tendangan ke belakang yang cepat menyeruak ke arah pinggang sang durjana!

Sbooookgh!

Kena! Cengkraman Rey terlepas. Tapi tak semudah itu Roy bisa lolos! Saat dia memutar badan dan hendak mengangkat kaki kembali, Reynaldi sudah sigap bergerak. Gerbang kecepatan membuatnya lebih unggul dari Roy yang mulai terjilat racun. Cakarnya menyambar lutut Roy dan menepisnya. Berhasil mengatasi kaki, Rey kembali beraksi dengan cepat untuk memberikan badai pukulan beruntun! Ia meloloskan rentetan pukulan cepat dan dahsyat menghujani ulu hati Roy!

Bkkgh! Bkkgh! Bkkgh! Bkkgh!

Tengah! Tengah! Tengah! Tengah! Semuanya bersarang tanpa terhalang!

Roy mundur dengan tersengal-sengal bak terhampar peluru dari senapan mesin, Ia terhentak berulang karena serangan yang teramat cepat itu. Tidak ada kesempatan baginya mengelak. Melihat lawan tak lagi berdaya, Reynaldi mengubah serangan, kepalan tangan kiri yang tadi membentuk kepalan, kini mekar seperti cengkraman dengan tangan yang berubah menghitam.

Roy tahu apa yang akan mendatanginya.

Sesaat sebelum menerima serangan yang tak mungkin ia elakkan, Roy mengalihkan pandangan ke samping, menatap Rania dengan senyuman yang sejuk dan membisikkan kalimat dari jarak jauh. Entah wanita jelita itu mendengarnya atau tidak.

“Aku akan selamanya bersamamu.”

Jantung Rania seakan terhenti, matanya terbelalak saat melihat sang kekasih. Ada desir lembut yang seakan menyentak seluruh sanubarinya. Desir lembut yang membuat ia merasa tidak nyaman. Ia menyadari apa yang akan segera terjadi. Suaranya tercekat, “Mas Roy?”

Pukulan Cakar Tangan Hitam bergerak sempurna, menghantam ulu hati Roy, menancap, dan memutar. Bagai tancapan kuku baja yang melesak masuk ke dalam badan.

“Haaaaaaaaaaaaaaaaarrrghhh!”

Rasa sakit luar biasa terasa di dada, Roy meraung kencang, ia mencoba menggeliat dan meronta tapi Rey lebih sigap, lebih cepat, dan lebih kuat. Begitu tangan kiri berhasil mengeksekusi jurus cakarnya dengan baik, giliran tangan kanan Rey berulah.

Bibirnya bergumam pelan. “Angkara gung ing angga anggung gumulung.”

Kepalan tangan kanan Rey melesat ke wajah Roy. Tak bisa ditahan, tak bisa dihadang. Kecepatannya mengagumkan – efek dibukanya gerbang keempat Kidung Sandhyakala.

Jbooooookghhhhh!

Satu pukulan masuk. Disusul yang kedua, ketiga, keempat, dan kelima.

Jbkghhhhh! Jbkghhhhh! Jbkghhhhh! Jbkghhhhh!

Roy tak bisa meronta, dadanya terkunci dan cengkraman tangan Reynaldi makin terasa panas di dadanya. Racun yang ditebarkan makin melemahkan. Entah bagaimana cengkraman itu terasa semakin menyesakkan dan membuat pikirannya lenyap ditelan kabut yang menyamarkan kesadaran. Ia bahkan tak bisa mengangkat tangan untuk bertahan. Ia benar-benar menjadi bulan-bulanan.

“Heaaaaaaaaaaaaaaaaa!!”

Jbooooookkkkkkkghhhhh!

Satu pukulan sangat kencang diluncurkan Reynaldi ke wajah Roy yang makin tak berbentuk karena darah dan lebam.

Roy terlempar ke belakang dan terjatuh, roboh tanpa daya. Hanya dengan sekali pukul dari sentakan tangan Reynaldi, tubuh Roy melayang jauh dan terhempas ke tanah berulang. Hentakan terakhir begitu kerasnya. Bagian hitam matanya terangkat ke atas sehingga hampir semuanya berubah menjadi putih. Napasnya tersengal-sengal sebelum akhirnya terhenti, dan dia ambruk tanpa bisa mengangkat badannya lagi. Darah mengucur dari bagian dada dan punggungnya, terlihat dari pakaiannya yang terkoyak.

“Mas Roy!?” Rania terbelalak. “MAS ROY!!”

Reynaldi yang telah menuntaskan percobaannya menggunakan jurus sesat Cakar Tangan Hitam hanya mendengus sambil terhuyung, Ia lantas berjalan mendekat ke arah korban dengan wajah bengisnya yang jumawa. Ia sempat berhenti sejenak di samping tubuh Roy yang tak lagi bergerak.

“Sudah tahu kita tidak selevel, malah menantang. Salahmu sendiri – aku sejak tadi hanya mencoba mempertahankan diri, tapi kamu malah mencari mati. Jadi terima kasih telah menjadi tumbal untukku. Semoga menemukan tempat yang nyaman di alam baka, pecundang.” Rey melangkah dengan santai keluar dari pekarangan rumah Rania, tapi ia sempat menunjuk ke arah wanita jelita itu dengan pandangan mata mengancam, “kalau kamu sampai lapor polisi maka aku akan datang untuk membunuh ibumu dan anak haram itu! Awas kamu sundal!”

“PERGI DARI SINI!” teriak Rania histeris. “PERGI!!”

Ketika Rey pergi, Rania buru-buru menghampiri Roy dengan wajah teramat khawatir. Tangisannya tak dapat dibendung, putri tunggalnya yang berlari mendekat ia peluk dengan erat sementara ia mencoba melihat kondisi Roy.

“Mas Roy!? Mas Roy! Mas Roy!”

Darah dan keringat bercampur di dada Roy.

Tapi Roy tak bangun bagaimanapun Rania memanggil dan mengguncang tubuhnya. Tangan sang dara meraba pergelangan tangan pria yang sudah ia pilih sebagai calon suaminya itu. Jari-jemarinya bergetar saat mencoba merasakan urat nadi sang kekasih..

Tidak.

Tidak mungkin.

Tidak ada detak jantung.

Tidak boleh!

Rania segera melakukan CPR – bantuan pernapasan dari mulut ke mulut.

Ia menghentak dada Roy berulang-ulang kali. “Mas Roy! Bangun mas! Bangun! Katamu kamu tidak akan meninggalkan aku! Katamu kamu tidak akan membiarkan aku bersedih lagi! Mas…! Bangun! Bangun, Mas! Jangan main-main, Mas! Aku mau nikah sama kamu! Aku sayang sama kamu, Mas! Bangun, Mas! Kita mau nikah, Mas!! Maaaaass!!”

Rania berusaha dan berusaha dan berusaha, tapi Roy tak bangun.

Rania terus berusaha dan berusaha dan berusaha.

Lalu berusaha dan berusaha dan berusaha lagi.

Tapi tidak ada hasil.

Usahanya sia-sia.

Roy tetap tidak bangun.

Tubuh Rania bergetar, banjir air mata tak bisa dibendung lagi. Rania luruh dengan lemas. Ia menangis sejadi-jadinya sembari memeluk sang putri tercinta yang juga ikut menangis.

Guruh di langit memekakkan telinga.

Air hujan mulai turun tetes-menetes. Rintik-rintik kecil yang lama-lama menjadi gerimis. Gerimis yang lama-lama menjadi deras. Deras yang menyembunyikan tangisan tak berbalas.

Rania memeluk dan melindungi putrinya sembari sesunggukan di tengah hujan. Tangannya erat menggenggam tangan sang kekasih yang tak lagi berdetak, tak sejenak pun ia ingin melepaskannya. Ia hanya bisa berteriak di tengah derasnya hujan.

Ketika Roy terbaring dalam damai.

Bersambung

Pembantu Tetangga Minta Di Ajarin ML Bagian Kedua
One by One
ttm hot
Hubungan sexs meskipun tanpa status
Foto telanjang mahasiswi cantik ayam kampus yang pemalu
pembantu masturbasi
Kisah pembantu lugu kesepian akhirnya melakukan masturbasi
ngentot mama
Aku menikmati setiap kali bersetubuh dengan mama dan tante kandung ku sendiri
mama tiri
Mama tiri ku yang sangat dahsyat di ranjang
Cerita ngentot gadis bertoket gede waktu magang
Polwan mesum
Bercinta Dengan Polwan Cantik Dan Sexy
anak pembantu sange
Anak Pembantu Ku Yang Penurut
sepupu sexy
Tak bisa menahan nafsu birahi gara-gara tidur sekamar dengan sepupu ku
Foto ABG masih lugu tubuh putih mulus genit di ranjang
Guru Privateku Sekaligus Pemuas Nafsuku
ngentot tante
Ngentot dengan tante tersayang ketika om keluar rumah
Abg Berenang Bugil di Kolam Renang Umum
Jadi pemuas nafsu pembantu ku