Part #7 : TUNJUKKAN PADAKU
Sebuah kapal akan aman jika selalu berada di pelabuhan,
tapi bukan itu tujuan kapal dibuat.
– John Augustus Shedd
“Nada?”
“Mas Simon?”
Simon menghampiri gadis cantik yang hendak masuk ke dalam Indom@ret. Mereka pun bersalaman dan saling senyum sapa dengan wajah cerah sumringah.
Ara mengamati dari kejauhan dengan pandangan mata menelisik. Hm, ada cewek bening nan manis kinyis-kinyis kayak kue pukis deketin Simon. Alarm tanda bahaya berngiang di benaknya, Red alert. Eh, tapi kenapa juga dia harus red alert? Simon kan bukan siapa-siapanya. Gimana sih Ara?
Hmm, tapi menarik juga kalau Simon di-prank, gimana reaksinya ya? Hihihi. Senyum jahil terkembang di bibir Ara.
“Hai. Gimana kabarnya, hime?” tanya Simon ramah.
“Idih… masa manggilnya hime. Kabar saya baik, Mas Simon. Ogenki desuka? Mas Simon bagaimana kabarnya? Terakhir kita ketemu sewaktu pemakaman ya?”
“Iya.” Nada suara Simon tiba-tiba tercekat ketika kenyataan menyambarnya, ah ya… pemakaman Abi.
Dia masih tak percaya wakilnya di Sonoz yang setia itu kini telah tiada. Hidup jadi terasa lebih kosong kala sosok orang yang sering ceriwis padanya sudah tak lagi menyapa. Kadang kangen pada sosok yang selama ini di sampingnya. Ketika sudah pergi, barulah Simon sadar betapa berartinya Abi bagi Sonoz, baginya.
Kita kadang menyepelekan sesuatu yang kita miliki sampai kita kehilangan. Syukuri apa yang ada dan pastikan kita tidak menyianyiakan apa yang sudah menjadi milik kita sebelum rasa sesal hadir mengisi relung dan hanya sanggup membalasnya dalam kenangan.
“Masih belum bisa sepenuhnya nyadar kalau Abi ternyata sudah tidak ada lagi ya, Mas.” Sambung Nada dengan nada gamang. Dia juga sangat kehilangan sosok Abi.
Simon mengangguk dan tersenyum.
Simon memang mengenal Nada karena dulu sesekali mereka jalan bareng dengan Abi, sepupu Nada. Meski status mereka hanya sepupu tapi Abi selalu melindungi Nada bak adik kandung sendiri – hal itu yang membuat Simon juga menganggap Nada adalah sosok lembut yang harus selalu dilindungi.
Terlebih lagi… ada aura berbeda dari sang gadis cantik yang hingga saat ini tidak bisa dijelaskan oleh Simon. Setiap kali bertemu Nada selalu ada perasaan ingin melindungi. Hari ini dia merasakannya lagi. Ini bukan Ki – karena gadis ini sudah pasti tidak menguasai Ki. Tapi entah aura apa itu hingga saat ini Simon masih bertanya-tanya, terlebih lagi susah dijelaskan dengan kata-kata.
“Kok bisa ada di utara?” tanya Simon.
“Aku kan sekarang kuliah di Universitas Amora Lamat, Mas. Ambil kelas malam sambil iseng-iseng usaha sampingan. Berhubung ngekos, jadi sering main kesana kemari di utara.”
“Ambil di UAL? Kenapa tidak di Unzakha saja?”
“Hahaha. Lebih suka yang angker dan banyak tantangan, Mas. Hahaha.”
Renyah sekali tawa Nada. Gigi putih bersih terawat rapi membuat setiap orang yang melihat terpatri, terpaku, dan menghayati. Ternyata ada gadis seindah ini di dunia, perwujudan dari seorang Disney’s princess di kehidupan nyata.
“Ehem.”
Simon melirik ke sampingnya dan ternyata sudah ada gadis cantik lain di sisi kiri, tak kalah jelita dengan body goals mempesona.
“Hai, aku Ara.”
“Halo! Aku Nada.”
Sembari bersalaman dengan Nada, Ara menyelipkan tangan kirinya ke lengan Simon, menggandengnya. Tanpa ada kata, tanpa ada pandangan mata, semua dilakukan tiba-tiba. Simon mengerutkan kening dan tersenyum melihat aksi gadis disampingnya. Hmm?
“Kalian…?” Nada memiringkan kepala sambil tersenyum.
“Iya. Dia cewekku. Kami baru aja jadian.” Simon mengangguk sambil menepuk lembut jari jemari Ara yang menggandengnya. Sekarang giliran Ara yang wajahnya memerah. Prank-nya berbalik.
Nada tersenyum lagi dengan manisnya, “Selamat yaaaa, Mas. Cakep banget ih Mbak Ara-nya.”
“Siap.” Simon menahan ketawa saat melihat wajah Ara makin tak karuan. Salah sendiri iseng. Kena kan sekarang? Kadal kok dikadalin.
“Tadi kamu bilang kamu juga kuliah di UAL ya?” Ara mencoba mengubah arah pembicaraan sembari menarik tangannya dari lengan Simon. “Aku juga kuliah di sana lho, tapi aku kelas reguler angkatan tahun kemarin.”
“Oh yaa? Waaaah. Seniorku ini, Mas!” Wajah Nada kembali ceria sembari mengelus lengan Ara hangat, gadis ceria ini memang selalu membuat orang-orang yang berdekatan dengannya bahagia.
Entah kenapa. Simon jadi teringat ke masa lalu, saat dia jalan-jalan keliling tempat wisata dan kebun binatang bersama dengan Abi dan Nada. Saat itu dia terheran-heran dengan pesona Nada, bukan untuk memacari – sama sekali bukan, malah justru aura proteksi yang muncul, seperti seorang kakak pada adiknya, seperti seorang ksatria pada putrinya, seperti seorang ninja pada junjungannya. Kali ini pun sama, sekali lagi, ada aura yang berbeda yang muncul dari Nada. Gadis ini seperti punya kharisma aneh yang tidak bisa ia jelaskan. Kharisma itu membuat Simon merasa ingin selalu melindunginya.
Nada melanjutkan percakapan, “Jurusan apa, Kak?”
Ara menyebutkan salah satu jurusan, Nada menimpali dengan jurusan yang ia ambil – IT.
Ara mengernyit. Jurusan IT, kelas malam, angkatan tahun ini? Sama dengan si Bengal dong? Jangan-jangan dia juga kenal dengan pria yang masih belum bisa ia lupakan sosoknya itu?
Ara meneguk ludah, “Kamu kenal… Nanto?”
“Nanto? Nanto… Jalak Harnanto ya? Yang kerja di The Donut’s Pub? Hahaha, kenal sekali, Kak.”
Hati Ara bergejolak bagai botol soda habis digoyang, mau meletup-letup. Gadis itu mengangguk, dia sampai tahu tempat Si Bengal kerja? Berarti bocah itu masih saja brengsek ya kalau sama cewek? Asal mulus dikit jidatnya langsung disamperin. Dasar keong racun.
Ara mengangguk, “Iya, Nanto yang itu.”
“Hahaha. Waaah, dunia memang kecil ya. Kenal banget, Kak. Kalau sama Mas Nanto sering chat juga – kebetulan satu grup di WhatsApp.” Nada tertawa, “di grup itu kami sering bantu tugas-tugas dia karena dia kan kuliah sambil kerja terus banyak kegiatan di luar gitu. Hahaha, jangan bilang-bilang ke dosen ya, Kak.”
Ara hanya tersenyum kecut. Dia merasa genggamannya pada sosok Nanto yang sudah jauh menjadi makin kabur. Memang sudah tidak ada kesempatan lagi ya? Berapa banyak lagi cewek yang kini dekat dengannya? Kini dia sudah bersama Kinan, tanpa adanya Kinan, masih berbaris gadis-gadis di sisi si Bengal yang entah kenapa bisa mengundang mereka ibarat magnet. Ara tahu memang sudah saatnya dia melepas semua asa pada sang mantan, tapi kenapa susah sekali diwujudkan?
Percakapan kedua cewek cantik di dekatnya tentang Nanto membuat Simon geleng-geleng kepala. Nanto sang ketua Aliansi memang sosok yang menarik. Hampir mirip dengan Nada, si Bengal juga punya kharisma aneh yang tidak bisa ia jelaskan. Aura aneh apa sebenarnya yang ia rasakan ini? Tidak mungkin cuma dia sendiri yang bisa merasakannya.
Nada melirik ke arah mobil yang diparkir di halaman Indom@ret. Beberapa teman yang ada di dalam mobil memberinya kode.
“Eh, iya sudah ya, Kakak kakak. Aku ditunggu temen-temen tuh, mau beli jajan buat cemilan bikin tugas bareng. Maaf jadi ganggu kalian.” Nada pun pemit buru-buru hendak masuk ke Indom@ret karena dikejar waktu. “Senang ketemu kalian, kapan-kapan kita ngobrol lagi.”
“Oke. Sampai kapan-kapan, Nada.”
“Dah Nada.”
Nada melambaikan tangan, tersenyum hangat, dan melangkah masuk ke dalam.
Saat Nada masuk, Ara dan Simon saling berpandangan, tersenyum menahan geli, dan melangkah ke arah motor yang diparkir. Keduanya berjalan beriringan. Simon melirik ke arah Ara dan berdehem.
“Tidak digandeng lagi?” goda Simon.
“Lihat boleh. Pegang jangan.”
“Kan tadi udah pegang?”
“Tadi sedang latihan akting. Siapa tahu ada PH lewat cari talent.”
Simon tertawa. “Akting ya? Makasih aktingnya. Bikin jantung jadi dagdigdug.”
Ara memukul pelan pundak Simon, “jangan jadi kebiasaan. Nanti jadi penyakit.”
“Andai saja yang tadi bukan akting.”
Ara mendengus sembari memasang helm, “Sudahlah. Jangan bikin yang sudah runyam jadi tambah runyam. Jangan mencari kapal yang sudah tertambat, cari kapal yang masih berlabuh saja.”
Simon kembali tertawa.
Apakah… tidak ada kesempatan?
Ia naik ke motornya dan menyalakan starter tangan.
Motor Deka meraung lembut.
Bengkel Amar sudah tenang saat ini, motor berlalu lalang di jalan depan bengkel tanpa halangan lagi. Di beberapa bagian memang masih ada bekas tawur tadi pagi, tapi tidak terlampau menyolok karena sudah rapi dan dibersihkan anggota Dinasti Baru. Tidak akan ada yang menduga kalau pagi tadi tempat ini menjadi ajang tarung antar tiga kelompok sekaligus. Polisi yang datang juga hanya sekedar datang, tidak melakukan penyisiran karena sekedar formalitas sekaligus nampang.
Deka sudah mengenakan helm dan memanaskan motornya, Dinda sedang mengenakan helm dan bersiap membonceng Deka. Mereka berada di tepian trotoar di depan bengkel Amar, bersiap kembali ke kota sebelah.
Amar mengantarkan keduanya sebelum pergi.
“Jaga dia baik-baik, Kun. Antarkan sampai rumah.” pesan Amar Barok pada Deka.
“Pasti, paling kami mampir makan siang saja.”
Amar mengangguk.
Di belakang Deka, Dinda menatap wajah Amar tanpa berkedip. Ada jutaan kata yang belum sempat ia sampaikan pada Amar, ada jutaan kalimat yang tak sempat ia utarakan. Tapi pandangan mata keduanya sudah berbicara bagai ucapan dari dalam hati masing-masing. Dinda menundukkan wajah, menyembunyikannya dalam bayangan.
“Maaf aku masih belum bisa memutuskan,” kata Dinda lirih. Untuk mengucapkan kalimat itu dia harus mengumpulkan banyak keberanian. Ia tak dapat menatap mata Amar saat mengatakannya. “Tadinya aku pikir aku sudah dapat menentukan siapa yang akan aku pilih, tapi melihat kalian berdua – aku tidak bisa… aku butuh waktu.”
“Tidak apa-apa. Pikirkan nanti saja soal itu, sekarang yang penting kalian berdua selamat sampai tujuan. Kita sudah melalui pengalaman pagi yang buruk, jadi sekarang saatnya menenangkan diri. Lain kali jangan lagi melakukan hal mendadak seperti ini. Aku tahu apa yang harus aku lakukan demi menghormati waktumu. Aku akan membekukan semua pembicaraan tentang rencana pernikahan dengan EO, pihak ketiga, dan keluarga sampai kamu memperoleh kepastian dan mengambil keputusan. Kalau memang pernikahan kita tidak jadi dilanjutkan, tidak akan jadi masalah. Sampaikan saja padaku,” ujar Amar.
Dinda hanya menunduk, tak kuasa menjawab.
“Kami pergi dulu, Mas.” Deka sudah bersiap.
“Permisi, Mas.” Dinda di belakangnya.
“Ya. Hati-hati.”
Motor Deka melaju pelan meninggalkan bengkel Amar. Sebelum benar-benar menghilang dari pandangan, Dinda sempat melirik ke arah Amar dan pria gagah itu ternyata juga sedang mengamatinya. Sama-sama saling menatap, banyak kata tak terucap tapi kini sudah harus berpisah. Keduanya saling bertukar pandangan.
Akhirnya Deka dan Dinda meninggalkan Amar.
Amar menghela napas panjang, menekuk kepalanya yang pegal dan sedikit memijat bahunya. Pagi yang kisruh. Terlalu kisruh malah. Mulai dari masalah pribadi sampai masalah kelompok menderanya tanpa jeda dan bertubi-tubi. Pertanda apakah ini?
Pertanda kerjaan belum beres yang pasti.
Amar melirik ke arah beberapa motor berjajar di dalam bengkel yang masih harus ia kerjakan, ia mendengus dan tersenyum. Setidaknya hari ini semua berjalan lancar, masalah Dinda dengan Deka bisa ditunda, RKZ berhasil diusir, dan kesalahpahaman antara Dinasti Baru dan Lima Jari diselesaikan sementara. Setidaknya tidak ada korban yang jatuh dari pihak mereka.
Jadi hari ini seharusnya baik-baik saja.
Seharusnya.
Saat itu ada bayangan berkelebat di belakang tubuhnya.
Suara serak lantas menyapanya tiba-tiba, “Amar Barok. Kamu memang mengagumkan. Pagi yang kisruh ternyata bisa diselesaikan dengan baik-baik saja. Aku sungguh-sungguh kagum, kamu memang patut diacungi jempol.”
Amar menghela napas sangat panjang. Baru saja hendak santai dan bekerja, sudah ada gangguan dari orang busuk ini. Tanpa menengok ke belakang pun, Amar sudah tahu siapa sang pengganggu bersuara serak. Pria gagah itu tetap berjalan masuk ke bengkel, menarik handuk kecil dari meja, dan membersihkan badannya yang berkeringat. Ia membungkuk untuk memeriksa blok mesin motor CB 100 yang ada di dekatnya, ia lalu mengetuk dan memeriksa beberapa bagiannya.
Orang yang mengganggunya? Tidak perlu menengok ke belakang untuk mengenalinya. Tapi kehadirannya tetap saja bikin risih. Amar berdehem dan bertanya, “Arep ngopo, Pak? Apa maumu? Kalau cuma mau mengganggu cari lain waktu saja, aku sedang sibuk.”
Sosok yang datang mengganggu adalah sang pengantar surat dari JXG, Sunu Sudarwaji.
Sang Tukang Pos duduk di dingklik – kursi kayu kecil di depan bengkel Amar. Sambil menyandarkan kepala di tembok, pria berumur itu menikmati lalu-lalang motor yang tak berhenti. Tempat ini memang sering hanya dilalui, jarang disinggahi.
“Ora sah ngegas. Jangan emosi begitulah. Hehehe, aku ke sini hanya sekedar mampir saja. Tujuan utamanya mau mengantarkan surat undangan pernikahan anaknya Pak Zein ke Om BMW. Masa yang begini dianggap mengganggu?”
“Sudah datang dari tadi, kenapa tidak diserahkan langsung?”
“Supaya aku bisa ngobrol sama kamu.”
Amar mendengus, “aku banyak kerjaan. Taruh saja surat undangannya di meja dan segera pergi dari sini. Sudah cukup pagi ini aku diganggu urusan yang aneh-aneh. Tidak perlu diganggu urusan lain. Kepalaku baru puyeng.”
“Biar aku tebak, masalah cewek ya? Oalah, rok… Barok. Ga nyangka kamu akan takluk di hadapan wanita juga pada akhirnya.” Pak Pos meletakkan surat undangan di meja dan balik lagi ke depan untuk duduk di dingklik.
“Apa tidak ada urusan yang lebih penting pagi ini daripada ngrecokin orang? Apa surat yang diantar sudah habis?”
Pak Pos tertawa terkekeh, “Mana ada anak sekarang kirim surat, adanya kirim email. Surat yang paling sering dikirim cuma tinggal surat lamaran kerja. Tugas seorang tukang pos jadi banyak berkurang, gaji sedikit, nasib ga jelas, masa depan embuh. Mungkin aku harus belajar buka bengkel sama kamu.”
Amar mendengus. “Ya sudah bikin saja.”
Pak Pos tidak menjawab. Ia memejamkan mata dengan bersandar di dinding, menikmati hari yang beranjak siang dengan sejenak beristirahat.
Mereka berdua hening untuk beberapa saat lamanya, saling mengerjakan urusan masing-masing. Amar asyik membenahi motor dan mencari kerusakan yang mungkin terlihat dan lolos dari pengamatannya, sementara Pak Pos memejamkan mata dan beristirahat.
Hampir sepuluh menit kemudian barulah Pak Pos berucap, “Tahukah kamu, ada halaman kosong di rumah depan situ. Tadi aku menonton kejadian di sini dari sana.”
“Terus?”
“Satu lawan satu. Sekarang juga. Test drive.”
“Heleh. Sudah aku bilang aku sibuk.”
“Cewek tadi cantik juga – yang diboncengin adikmu.” Pak Pos tersenyum.
Amar mendengus, mencoba tak terpancing.
Pak Pos terkekeh, “aku tadi mendengarkan percakapan kalian. Gadis itu tinggal di kota sebelah, namanya Dinda dan dia adalah calon mantenmu. Tidak sulit mencari calon istri Amar Barok. Mungkin saja kalau aku ada kesempatan ke sana aku akan berkenalan dengannya dan…”
“Bajingan! Jangan ganggu dia! Apa maumu!?”
Amar mendengus kesal. Ia membuang handuknya ke arah motor. Untuk pertama kalinya sejak mereka berdua saling sapa, Amar menatap tajam ke arah Pak Pos. Mata balas mata. Ancam berbalas ancaman.
Pak Pos tersenyum dingin. “Kamu sudah tahu apa mauku, Barok. Tanah kosong. Satu lawan satu. Dua serangan berbalas dua serangan. Sekarang.”
Amar menggemeretakkan giginya.
Dia bergegas berjalan ke depan, tanpa melirik sedikitpun ke arah Pak Pos yang duduk di samping pintu, Amar menarik rolling door bengkelnya dan menutupnya. Amar lantas berjalan menuju tanah kosong yang dimaksud oleh sang lawan.
“Ayo.”
Pak Pos terkekeh.
.::..::..::..::.
Siang ini cafe The Donut’s Pub tidak ramai.
Tidak ramai mungkin karena weekdays, belum mendekati akhir pekan, dan masih di jajaran tanggal tua. Sebagian besar penduduk kota pasti belum gajian atau belum dikirim transferan. Jadi wajar saja kalau cafe juga sepi.
Berhubung sepi, Nanto dan Lady yang dapat shift pagi berdua duduk-duduk saja sambil ngobrol dengan Kinan yang kebetulan juga datang untuk membawakan makan siang bagi sang kekasih. Kinan sejak tadi menggerutu melihat kekasihnya luka-luka di beberapa bagian tubuh.
Ia membubuhkan bet@dine ke siku lengan Nanto yang luka terseret aspal sedikit.
“Terus-terusin aja begini,” keluh Kinan. “Kamu itu lho, Mas. Hobi kok berantem. Ga bisa apa sehari aja ga cari masalah? Aku harus gimana coba? Apa ya harus terus-terusan khawatir kalau kamu kenapa-kenapa? Kalau ada waktu luang itu istirahat di kontrakan, nonton film, main game, bikin rujak, yang normal-normal aja gitu. Lha ini tiap kali ada waktu kosong malah berantem mulu kerjaannya. Angel wes… angel…”
“Dengerin tuh.” Sahut Lady ikutan mencecar si Bengal, “udah tau pagi kerja malam kuliah, masih aja sembrono. Jaga kesehatan napa sih. Apa ga kasihan sama Kinan yang khawatirin kamu terus? Dasar bungkus terigu.”
“Bener itu, Kak. Dikiranya ga ada yang khawatir kali ya.”
“Nah iya. Jangan kasih kendor – hajar aja kalau kamu sebel, Kinan. Kalau dibiarin terus lama-lama dia ngelunjak. Orang seperti dia ini harus digecek kayak ayam geprek.”
“Woy! Dasar kompor!” Nanto ngamuk
Kinan dan Lady cekikikan.
“Ini apa-apaan ya kalian? Kok malah aku dikeroyok begini.” Nanto tertawa, dengan berani ia merangkul sang kekasih di depan Lady. “Iya Kinan-ku sayang. Kalau memang ga ada yang macem-macem ngajak berantem, aku juga ga bakalan aneh-aneh, kok. Begini-begini aku itu orangnya introvert. Buktinya kalau ada tukang tagih cicilan kredit aku selalu sembunyi, hehehe, introvert banget kan? Aku juga jarang lho ngobrol sama orang yang tidak dikenal.”
“Sekalinya ngobrol maen pukul, kan?” Kinan masih lanjut. “Kalau cowok maen pukul, kalau cewek tanyain nomer hape. Begitu ya?”
“Pepet terus aja, Kinan. Jangan dikasih celah. Semongko, sis.”
“Woy! Lady! Apa-apaan ya!?” Nanto setengah menggerutu setengah tertawa, “jangan dikomporin dong! Kinan ini orangnya manis, baik hati, dan tidak barbar. Ga kayak kamu yang masih satu server sama rombongan chihuahua nyari makan. Berisik banget.”
Kinan tertawa.
“Sembarangan.” Giliran Lady yang mencibir. Gadis bertubuh semlohay itu kembali menikmati hidangan yang ada di depannya. Hidangan itu sesungguhnya makan siang Nanto yang dibawakan dan dibuat oleh Kinan. Tapi karena Lady tidak membawa bekal, Kinan membagi dua bekal untuk sang kekasih dan separuhnya diberikan pada Lady.
“Mana dihabisin pula jatahku.” Nanto mendesah sambil bergelayut manja pada Kinan. “Padahal itu semua kamu yang bikin ya, sayang?”
“Ya… ga semua juga sih…”
“Asli. Kalau sampai dia jahat sama kamu, dia ga berhak dapatin makan siang se-semlidut ini,” ujar Lady sambil mengunyah sosis dan kentang berselimut mayonnaise. “Ini enak banget sumpah. Masa sih Kinan bikin sendiri mayo-nya?”
“Hahaha… ya enggak lah, Kak. Itu mayo sachetan. Percaya aja omongannya Mas Nanto.” Kinan tertawa manis, “enggak asin kan kentangnya? Mestinya nggak aku bikinin fish and chips ya buat makan siang, udah tau kerja di cafe malah maksi-nya dibawain makanan begini. Huhuhu… habis aku bingung mau bikin apa.”
“Ah, enak ini. Sekali-sekali ga apa-apa dibawain beginian. Biar dia ga ndeso-ndeso amat. Kemarin kan udah makanan jawa terus maksinya. Kemarin gado-gado, kemarin lusa nasi lauk ayam goreng sama jangan bening, terus kapan itu sego brongkos.”
Nanto mendengus, “kok jadi malah kamu yang hapal maksi-ku apa aja. itu jangan dihabisin, woy! Itu makan siangku!”
Lady mencibir, “sudahlah. Anggap saja ini bayaran kalian mesra-mesraan di depanku begini. Bikin hati miris, terasa diiris, aku pun menangis, pilu sepi sendiri di tepian gerimis.”
“Hahahaha. Weeeek.” Kinan menjulurkan lidah sambil bergurau.
“Asli, kamu ini memang berbakat Kinan. Mestinya ikut audisi mesescef.” Kembali Lady memuji kekasih Nanto, tentunya sambil terus ngemil.
“Mesescef?” Kinan mengerutkan kening sebelum akhirnya paham apa yang dimaksud Lady sambil tertawa lepas, “oalah, MasterChef. Hahaha, gila apa? Ga pantes banget aku masuk ke situ. Kemarin aja pas bikin telur dadar asin banget kata Mas Nanto.”
“Asin itu kode.” Lady dengan sengaja menyenggol Nanto menggunakan siku tangannya, “makanan asin pertanda yang masak kebelet pengen nikah. Begitu konon kata simbah-simbah. Gih buruan dilamar, nunggu apalagi sih? Keburu dipepet orang.”
Gleg.
Nanto meneguk ludah.
Melihat Nanto panas dingin, Kinan pun tertawa, “Hahaha, belum lah, Kak. Belum saatnya ngomong begituan. Masih jauh perjalanan. Doain kami ya, Kak.”
“Amin. Pasti… pasti… kalian pasangan serasi kok. Mirip seperti Cinderella dan kuda penarik kereta.”
“Weeeek. Sirik aja nih, Lady.” Nanto mencibir lagi. “Dasar kotak kanebo.”
“Dasar daster bekas yang dijadiin lap pel.”
“Dasar baterai jam dinding.”
“Kutu kocheng.”
“Timun lembek.”
“Acar pempek.”
Kinan tertawa.
“Eh, kok kamu ikutan ketawa? Mulai bandel ya?” Nanto memeluk dan menggelitik pinggang ramping sang kekasih.
Kinan pun memberontak sambil mendorong-dorong si Bengal, dia paling tidak tahan digelitikin. “Maaaas! Ih geli, Maaaas!!”
Klinting.
Lonceng pintu terdengar. Nanto melepaskan pelukannya pada sang kekasih dengan buru-buru. Lady dan si Bengal lantas sama-sama bersiap. Saat tamu duduk di kursi, Nanto segera menyiapkan menu dan menghampirinya sementara Lady menunggu pesanan di belakang bar.
“Selamat datang di The Donut’s Pub. Apa yang bisa kami…”
Bademdes.
Nanto terbelalak saat menatap sang tamu.
Jika di luar matahari mulai menyengat, maka di dalam ruangan cafe hari ini semilir angin air conditioner yang menyala kencang seharusnya dapat mendinginkan, tapi Nanto tiba-tiba saja saja justru keringetan. Jantungnya berdegup kencang, lidahnya kelu, dan dia bingung mau bilang apa.
Nanto meneguk ludah, keringatnya mengalir deras. Gawat… gawat… gawat. Bagaimana ini? Apa yang harus dia lakukan?
“Ma-maaf, mau pesan apa?” tanya Nanto sambil berusaha sopan sesuai aturan.
“Hati ada?”
“Hati? Ti-tidak ada. Kami tidak jual…”
“Tidak jual hati? Hati yang terluka? Hati yang terluka karena dicurangi oleh pengkhianat cinta yang pingsan ditimbun sarung goni?”
“Lho kok kayak judul sinetron religi? Nganu…”
“Kalo hati yang lara? Sang pengkhianat cinta penyebab hati yang lara akhirnya ditolak bumi dan tubuhnya berasap?”
“Ayolah…”
“Hati yang kau campakkan? Pria pendusta tukang mencampakkan hati kena hukum alam tersedot lumpur hidup-hidup?”
Nanto menghela napas panjang, “Bu Asty.”
“Hati yang kau celupkan dalam bubur sumsum…?”
“Lho? Yang terakhir kok jadi wagu?”
Asty tertawa kecil, ia memiringkan kepala sembari menatap Nanto dengan pandangan manja. “Bisa kita ngobrol?”
Nanto mengangguk. “Bisa. Tapi…”
Asty paham, dia melirik ke arah menu. “Aku pesan Mango Float with Cola, sama cronuts coklat dua. Ga pakai lama.”
Nanto mengangguk. Ia setengah berlari ke arah Lady, memberikan pesanan Asty, dan berlari kecil untuk kembali pada sang mantan guru BK. Kinan melirik dari kejauhan. Siapa wanita cantik itu? Kenapa Mas Nanto sepertinya kenal?
Nanto berdiri di hadapan Asty dengan diam sejuta wicara. Wajahnya nampak merindu, tapi juga takut berbuat salah di hadapan sosok wanita yang ia agung-agungkan. Bagaimana ini? Bagaimana dia harus bersikap? Di depannya Asty, di belakang sana Kinan. Salah bersikap dan semuanya bubar ambyar sakmodare.
“Tenang saja, aku tidak akan marah kok.” Asty menghela napas panjang, “Aku tidak akan marah setelah tahu kamu sudah punya pacar sekarang. Aku tidak marah karena saat masuk ke cafe ini aku melihat kamu dan pacarmu sedang asyik masyuk berduaan di pojokan. Tidak aku tidak marah, aku tidak cemburu.”
Nanto pernah baca entah di mana, kalau cewek bilang dia tidak marah, itu artinya dia sedang marah besar. Kalau bilang dia tidak cemburu, itu artinya harus siap-siap ditombak pakai garpu Aquaman. Si Bengal meneguk ludah. Jadi kalau Asty bilang dia tidak marah, itu artinya dia murka.
“Yang membuat aku kecewa adalah… kamu akhir-akhir menjauh dan tak pernah lagi menghubungi aku. Apakah sejijik itu kamu sama aku sekarang? Setelah merayu dan tidur bersamaku, semudah itu kamu pergi?” bisik Asty sembari menautkan jemari dan menyandarkan siku tangan pada meja. Tatapannya tajam ke arah sang pemuda yang sedang belingsatan tak berdaya. Ibarat main catur, Asty meletakkan Ratu Putih dua kotak di depan Raja Hitam yang sudah tersudut. Ke kanan ada Benteng Putih, ke kiri dihadang Menteri. Kemanapun dia pergi, Raja Hitam siap disantap.
Checkmate.
“Aku…” Si Bengal mati kutu. “Aku tidak bermaksud untuk…”
“Apakah kamu sebenarnya sama saja seperti cowok-cowok brengsek lain yang kabur setelah mencicipi tubuh seorang wanita? Aku pikir kamu lebih baik daripada itu.” tegas Asty mencecar Nanto, membuat pria yang garang di arena itu ternyata lembek di depan wanita. “Kamu mempermainkan perasaanku, sayang.”
“Bisa diberi waktu untuk menjawab? Aku bisa jelaskan.” Nanto mencoba tegas. Ini tidak boleh berlarut-larut panjang kali lebar. Dia hendak duduk di depan Asty, tapi tentunya itu akan memancing kecurigaan Kinan dan Lady. Aduh duh gimana ini.
“Silakan jelaskan. Aku punya banyak waktu hari ini.” Asty tersenyum dan menunjuk ke kursi di hadapannya, memancing Nanto untuk duduk dan bercakap-cakap dengannya. “Aku tidak akan pergi kemana-mana.”
“Pesanannya, Kak.”
Tangan lembut dengan gemulai meletakkan minuman dan dua cronuts yang dipesan.
Eh?
Lho kok Kinan?
Kagetnya Nanto karena yang mengantarkan pesanan Asty bukannya Lady melainkan Kinan! Kok jadi Kinan? Modar wes! Modaaar! Modar!! Kidung Sandhyakala tingkat 88 juga tidak akan bisa melindunginya dari serangan dua cewek cantik ini! Haduuuuh.
Kok jadi Kinan yang nganterin pesanan Asty?
Sesungguhnya sejak tadi Kinan mengawasi Asty dan Nanto dan merasa aneh dengan sikap kedua orang ini. Kenapa kekasihnya jadi kikuk dan canggung di hadapan sang wanita jelita? Apakah mereka kenal? Apakah mereka sebelumnya pernah bertemu? Saudara? Teman? Atau lebih? Karena penasaran, saat makanan dan minuman sudah disiapkan Lady, Kinan-lah yang membawakannya ke depan. Untungnya suasana sepi jadi Lady tidak keberatan. Mudah-mudahan Mbak Linda sang pemilik cafe tidak tahu.
“Saya Kinan.” Kinan tersenyum manis sambil mengulurkan tangan untuk bersalaman, ada perasaan tidak nyaman pada gadis itu ketika bertatap muka dengan Asty.
“Oh ini ya pacarnya Nanto?”
Kinan mengangguk ramah.
Asty berdiri dan membalas salam dari Kinan, “Aku Asty. Mantannya Nanto.”
“Hah!? Ma-mantan!?” Kinan terbelalak karena kaget.
Gadis manis itu lantas memandang Asty, lalu ke Nanto, lalu ke Asty lagi, lalu ke Nanto, begitu berulang-ulang. Meski cantik dan seksi, tapi Bu Asty ini usianya pasti beberapa tahun di atas Nanto dan dirinya. Cincin kawin indah juga tersemat dijarinya. Yang benar saja! Masa Mas Nanto pernah pacaran dengan…
“Bu Asty!” Nanto juga terkejut.
Ibu muda jelita itu tertawa sambil duduk kembali. Sekali lagi Asty menggunakan tangannya untuk memangku dagu, pandangan matanya tajam ke arah Kinan. “masa iya sih aku pacaran sama dia. Kamu percaya?”
“Ya… ya… ya gimana ya, kan saya juga tidak tahu. Tapi kakak cantik banget sih, jadi ya… saya tidak akan heran kalau kalian berdua pernah… maksud saya, anu… saya tidak akan menyalahkan Mas Nanto kalau… tapi kok…”
“Bu Asty!” Nanto mencoba menengahi dan membenahi suasana. Gawat gawat… wes tenan tobat soto babat campur engine pesawat.
“Aku memang mantan… mantan Guru BK-nya.” Asty mendengus sambil tersenyum ketus pada si Bengal. Takut ketahuan amat sih si Nanto? Asty juga tidak akan membuka skandal mereka berdua di depan umum begini kali. Dia masih punya harga diri dan nama baik yang harus dijaga. “Hahaha, masa iya mantan beneran, Mbak. Aku umurnya sudah tuek. Sudah menikah punya anak satu. Yang seperti Nanto begini cocoknya sama kamu, bukan sama aku.”
“Ooooh… maaf, Kak. Sudah salah sangka. Eh, boleh kan ya panggil Kak saja, soalnya kalo panggil Bu agak kurang nyaman. Kakak cantik banget, kelihatan muda.” Kinan menghela napas dengan lega.
“Tidak apa-apa. Duh kamu memang adem banget, pantesan si Bengal naksir mati-matian sama kamu. Sampai rela meninggalkan Guru BK-nya sendirian.”
Kinan tertawa menganggap kalimat Asty cuma candaan. Untunglah ketakutannya tidak beralasan. Ternyata ibu muda cantik ini hanya Guru BK-nya saja. Eh, tapi kenapa juga sang Guru BK nyariin Mas Nanto? Bukankah itu pertanda kalau mereka sangat dekat?
“Lalu kalau boleh tahu, kedatangan hari ini ada keperluan apa ya, Kak?”
“Aku ada urusan kecil dengan Mas Nanto-mu ini. Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan, agak penting sih. Boleh pinjam sebentar?”
“Boleh dong, terima kasih ya, Kak.” Kinan mengangguk dengan ceria lalu berbalik ke belakang untuk ngobrol berdua dengan Lady. Sementara Nanto masih berdiri kaku di depan Bu Asty.
“Huuu, jadi cowok kok kayak keripik. Kemarin dulu saja tetiba nge-sun aku pas di ruang BK. Giliran sekarang kebingungan mau jawab apa sama ceweknya.” Ledek Bu Asty, “makanya jadi cowok jangan buaya. Asal ada yang bening dikit langsung gilas. Bingung kan sekarang?”
Nanto menghela napas panjang, ia membuka mulut dan mulai bercakap pelan, supaya Lady dan Kinan tidak mendengar percakapannya. “Ya udah iya. Aku minta maaf tidak bisa menepati janji sebagai kekasih, tapi Bu Asty kan tahu sendiri kita berdua tidak bisa melangkah terlalu jauh. Ada batasan besar dan penghalang di depan mata. Aku hanya bisa menawarkan apa yang aku miliki saat ini pada orang yang bisa aku temui setiap saat tanpa ada penghalang, bukan yang kebingungan mencari jadwal.”
Bu Asty mencibir dan mengangguk-angguk. Ia menggeleng kepala, “bisa aja jawaban ngelesnya dasar pot kaktus.”
Nanto menghela napas lagi, “maaf, Bu. Aku tak bisa menjaga janji.”
“Shh. Sudah. Aku sedang tidak mood membicarakan masalah itu hari ini, melihat kamu sama dia bikin hatiku hancur tau ga sih?” Asty menggeleng kepala, ia berusaha keras meredam emosi. Sesaat kemudian wajahnya menatap Nanto dengan khawatir, “Aku kesini untuk masalah yang lebih serius. Aku butuh bantuanmu.”
“Bantuan?” Nanto akhirnya duduk di depan Asty, belum pernah ia menghadapi Asty yang seperti ini. Wajahnya sangat berbeda dari biasanya.
“Ada orang yang mengancam dan menerorku. Orang ini orang yang sama yang tempo hari hendak memperkosa aku di sekolah, orang yang sama yang membuatku resign dari SMA CB, dan orang yang akhir-akhir ini membuat tidurku tidak tenang. Jadi begini awalnya…” Asty pun melanjutkan runut cerita dari awal masuknya Rey ke SMA CB sampai peristiwa percobaan pemerkosaan yang membuatnya resign. Ia menambahkan juga perihal ancaman-ancaman yang dikirimkan oleh Rey ke hape-nya.
“Siapa namanya?” tanya Nanto.
“Rey. Reynaldi. Reynaldi yang brengsek, bukan Tukul.”
“Penampilannya?”
“Ganteng, badan six pack, tinggi, gagah.” Asty menghela napas lagi, “tapi hatinya busuk. Dia punya sederet hobi menjijikkan termasuk memperkosa dan mempermainkan wanita. Yang aku tahu, salah satu rekan guru di SMA CB sudah ada yang jatuh dalam pelukannya. Gilanya lagi, dia tidak peduli apakah wanita incarannya itu sudah menikah atau belum. Dia akan meniduri, mempermalukan, dan entah apa lagi yang akan dia lakukan untuk menghancurkan hidup wanita yang dia incar. Dia lebih parah daripada kamu.”
Nanto menahan geram mendengar cerita Bu Asty. Laki-laki yang ia ceritakan sepertinya merupakan sosok durjana pemetik bunga yang patut dihajar. Dia memang mulai menjauh dari Asty sejak kehadiran Kinan dan adanya penolakan dari gerbang kewaspadaan yang entah kenapa selalu aktif saat ia berada di sekitar Asty, tapi kabar bahwa ada orang yang mengancam keselamatan wanita yang sangat berarti di hatinya ini membuat Nanto bergejolak. Si Bengal menggemeretakkan gigi, “di mana aku bisa menemukannya?”
“Aku tidak tahu rumahnya – tapi bisa aku tanyakan ke HRD SMA CB, mudah-mudahan mereka bisa kasih info di mana rumah si Reynaldi ini. Masalahnya adalah dia punya backing di kantor polisi dan sering lolos dari jeratan hukum. Dia ulet dan licin sekali. Tak tersentuh, licik, dan punya banyak akal.”
Nanto mengangguk, “jangan khawatir. Aku pasti akan mendapatkan orang ini.”
Saat serius begini, wajah si Bengal jadi terlihat lebih ganteng dari biasanya. Wajah Asty pun memerah saat ia terlalu lama memandang wajah Nanto. Bu Asty berdehem dan melanjutkan, “A ku tahu. Hanya kamu yang bisa menolongku.”
“Aku pernah berjanji kalau aku tak akan membiarkan seorang pun menyakitimu. Itu masih berlaku. Kalau ada apa-apa hubungi aku secepatnya, termasuk kalau dia mulai mengancam lagi, aku akan membereskannya.” kata Nanto. “Jangan khawatir. Aku akan tetap selalu ada di sisi Ibu.”
“Ibu…” Asty tersenyum kecut, “kenapa kamu tidak lagi memanggilku dengan sebutan sayang?”
“Karena…” Nanto melirik ke arah Kinan yang sedang bercerita dan bercanda dengan Lady. “Karena aku sudah bersama yang lain. Aku minta maaf kalau kenyataan pahit ini harus kita hadapi lebih cepat dari yang aku perkirakan, tapi aku sudah mengambil keputusan untuk membahagiakan Kinan. Dia masa depanku.”
“Aku tahu. Aku juga bahagia dengan suamiku… sampai kemudian kamu datang kembali ke kota ini dan membuat aku jatuh cinta denganmu.” Tangan kanan Asty meremas tangan kiri Nanto di atas meja, untung saja adegan ini terhalang oleh papan menu yang berdiri tegak sehingga tidak terlihat oleh Kinan dari kejauhan. “sampai sekarang pun aku masih menyayangimu, anak bandel. Jadi kamu mau bilang apapun percuma, karena aku akan terus sayang sama kamu. Apakah ada masalah dengan itu?”
“Bu…”
“Jangan panggil, Bu. Aneh rasanya.” Asty menatap tajam mata Nanto, “coba katakan dengan jujur padaku. Bilang di depanku kalau kamu tidak rindu padaku. Aku menahan jutaan rasa ingin memelukmu siang ini, jadi setidaknya aku berhak mendapatkan jawaban kenapa kamu tak lagi menghubungiku.”
“Aku…” Nanto melirik ke arah Kinan sebentar, tangannya masih dipegang erat oleh Asty. Nanto menundukkan kepala, mencoba melawan hasratnya yang menggelegak kuat saat menatap wanita pujaannya. “…aku tidak rindu padamu.”
“Bener tidak rindu?”
Nanto melirik ke arah Kinan lagi.
Dia masih merindukan Asty. Tapi tahu kalau jawaban yang tepat untuk Asty adalah tidak – karena kini dia sudah bersama Kinan. Nanto meyakinkan dirinya sendiri untuk menjawab meski rasanya sulit mengucapkan. “Aku tidak…”
Kalimat Nanto terhenti saat melihat mata Asty berkaca-kaca, siap untuk melelehkan air mata.
“Bu…”
Nanto hendak maju untuk menghapus air mata yang menetes, tapi dia takut Kinan akan melihatnya. Akhirnya si Bengal menarik tissue dari dalam kotak di samping mereka dan memberikannya pada Asty.
“Terima kasih.” Asty tersenyum, menerima tissue itu, dan menggeleng, “ternyata aku belum siap mendengarnya.”
Nanto ikut tersenyum, ia mengelus lembut punggung tangan Asty.
“Boleh aku mendengarkan jawaban itu lain kali saja? Sampai suatu saat nanti aku siap.”
Nanto kembali mengangguk.
Si Bengal mencoba mengalihkan perhatian Asty dengan hal yang lebih serius, “Saat ini yang paling penting adalah keselamatan dari ancaman. Aku tidak ingin si brengsek itu datang dan meneror lagi. Jadi pastikan kalau dia datang, aku tahu bagaimana dan di mana dia berada. Aku akan selalu menjagamu, aku janji.”
Asty memandang dalam-dalam bola mata si Bengal.
“Aku tahu. Itu sebabnya aku sayang sama kamu. Kamu selalu ada saat aku benar-benar membutuhkan, entah itu karena kamu benar-benar hadir atau hanya bayanganmu saja yang ada.” Asty berbisik pelan, “Jadi aku juga mau bilang, kalau kamu butuh seseorang… aku juga akan selalu hadir untuk kamu. Kapanpun itu, bilang saja. Aku akan datang demi kamu.”
SI Bengal menunduk.
“Aku…”
“Omong-omong cronut di sini enak juga. Bisa jadi langganan nih.”
Si Bengal tersenyum lebar dan mengangkat kepalanya. Di depannya, kini Asty sudah tersenyum cerah. Seperti mentari yang kembali bersinar di balik awan kala hujan telah reda. Perasaan yang kalut dipaksa minggir meski sejenak untuk memberikan senyawa rasa bahagia yang meski sekilas tapi ada.
“Silakan datang kemari setiap waktu. Aku akan selalu menunggu.” Nanto tersenyum.
Asty mengangguk, “pasti. Hanya ke tempat ini sepertinya aku bisa mengobati rindu.”
“Aku tadi bohong.”
“Tentang?”
“Tak lagi rindu.”
“Aku tahu.” Asty mengangguk, “aku juga tahu apa yang bisa dan tidak bisa. Yang penting aku tahu kamu baik-baik saja, dan aku tahu di mana aku bisa menemuimu.”
“Maafkan aku.”
“Tidak apa-apa. Kamu sudah melakukan apa yang seharusnya, kok. Kamu benar juga tadi. Sebaiknya kita hadapi dulu saja apa yang ada di depan kita. Masalah si brengsek Reynaldi.”
Nanto mengangguk.
Asty menghela napas panjang, “boleh aku minta satu permintaan?”
“Pasti. Apa itu?”
“Nambah cronuts-nya satu lagi.”
Nanto tertawa..
Tanah kosong di dekat Jalan Manggar.
Pagi tadi ada serangan kecil di sini. Pertarungan singkat antara Pak Pos dari JXG dan Jun dari QZK. Tapi itu tadi pagi, siang ini Amar Barok dari Dinasti Baru berhadapan dengan Pak Pos di lokasi yang sama. Dua laki-laki yang berada di posisi seimbang dan diandalkan oleh kelompok masing-masing.
“Matahari mulai tinggi, siang ini pasti panas. Sebaiknya kita mulai sa…”
Roaaaaaaaaaaaaaaaaaar!
Bledaaaam! Bledddaaaaaaam! Bledaaaaaam!
Amar Barok tidak lagi bisa menahan kesabarannya. Sejak pagi dia sudah disudutkan oleh Deka, setelah itu diombang-ambingkan oleh RKZ yang hendak merekrutnya, lalu setengah mati berusaha menahan bos-nya yang sudah hendak menghancurkan Lima Jari. Semua masalah membuatnya pusing, tapi ia berusaha sebaik mungkin menyelesaikannya.
Tapi saat ini Pak Pos menantangnya dan dia tidak ingin bersabar lagi. Bajingan dari JXG ini perlu dihajar dan dia tidak ingin menahan kekuatannya.
Pak Pos yang terkejut karena serangan mendadak dari Amar mundur tiga langkah ke belakang, duduk bertongkat lutut sembari menyilangkan tangan di depan wajah. Ia memejamkan mata dan berusaha sekuat tenaga menahan serangan dari Raungan Singa Emas yang tidak main-main. Serangan ini bagai hendak menerbangkan tubuhnya ke udara karena kuat menghentak.
“Hrrrghhh!” Pak Pos menggemeretakkan gigi karena berusaha sekuat mungkin menahan gelombang serangan kencang yang tiba-tiba menderanya. Bagai berada di tengah mata angin tornado! Semakin lama semakin kencang ia terdesak!
Saat ia benar-benar sudah kewalahan, satu kakinya terangkat.
Gawat.
Dia bisa tersambar dan terlempar ke belakang kalau tidak mampu bertahan!
Pak Pos mencengkeram tanah dan mengerahkan Ki untuk menahan tubuhnya agar tidak terlempar. Kalau sampai ia terlempar hanya dari serangan ini saja, maka nama JXG akan tercoreng karena ulahnya. Agak menyesal juga kenapa tadi dia menantang sang pria gagah yang berhasil membuatnya kalangkabut hanya dengan satu serangan saja. Bajingan memang si Amar.
“Gyaaaaaaaaaaaaaaaagkkkhhh!”
Cengkraman Pak Pos pada tanah kian lama kian tergerus. Tidak mengherankan karena permukaan tanah jelas bukan beton kuat atau baja besi yang mampu menahan serbuan serangan angin kencang yang bagaikan badai.
Pak Pos menggeleng kepala. Sial. Dia sejatinya tidak mau menurunkan Angin Sakti dalam sekali duduk, tapi mau tidak mau dia harus mengerahkannya di awal. Amar sudah memaksanya mengeluarkan jurus andalan hanya dalam serangan pertama.
Baiklah.
Pria setengah baya itu memejamkan mata, merapal jurusnya, dan melepaskan cengkramannya pada tanah. Tubuhnya segera terbang ke belakang terbawa angin kencang, terhenyak, dan seharusnya terlempar ke arah tembok di belakang.
Seharusnya.
Pak Pos mengerahkan jurus andalannya, Inti Angin Sakti. Alih-alih terlempar dan menghentak tembok, dia membiarkan tubuhnya mengendarai angin, bagai bulu yang diterbangkan mengikuti arah sang bayu. Kesana kemari tanpa arah tapi tak dihentak dengan parah, saat serangan mereda, Pak Pos turun dengan ringan menjejak tanah.
Serangan Amar gagal.
Pria gagah itu tersenyum sinis melihat Pak Pos, demikian juga sebaliknya.
“Raungan Singa Emas tak pernah mengecewakan. Tapi tak akan memberi efek mujarab pada pengendara angin pengguna Inti Angin Sakti, kamu membuang kesempatan pertama.” ucap Pak Pos sembari menggosok hidung. “Giliranku.”
Pak Pos melompat tinggi ke udara, hanya dengan sekali loncat ia memangkas jarak empat meter ke depan untuk berada di atas Amar. Ia menarik tangan kanan ke samping hingga sejajar kepala. Lalu melecutkannya dengan kencang ke bawah.
Amar mendengus, dia tahu pukulan ini. Pukulan Gada Angin, salah satu jurus pukulan luar andalan dari Inti Angin Sakti. Amar menyilangkan tangan dan bersiap dengan Perisai Genta Emas.
Booooooom!
Gelombang pertemuan antara pukulan Pak Pos dengan pertahanan Amar menghentak arena hingga debu-debu bertebaran. Pak Pos terbang kembali ke belakang dengan perlahan. Ia mendarat ringan di tanah bak sehelai bulu yang ringan.
Amar masih berdiri kokoh tanpa cela.
Pak Pos geleng kepala, kekuatan pertahanan Perisai Genta Emas memang sudah jadi legenda. Sulit sekali menembusnya kecuali punya jurus yang teramat mumpuni dan lebih tinggi levelnya dari level Perisai Genta Emas yang dikuasai lawan, atau mengetahui titik kematian sang penguasa Perisai Genta Emas.
Cara yang kedua mustahil ia lakukan. Harus pakai cara yang pertama.
Meski baru saja menyerang, Pak Pos sudah berinisiatif mengambil kesempatan berikutnya untuk melancarkan serangan kedua. Dia mengangkat tangannya, menekuk semua jari ke dalam kecuali jari tengah dan jari telunjuk. Dengan kedua jari yang berdiri sejajar, Pak Pos seperti menulis di udara, membuat aksara jawa. Tulisan ba dan yu.
Amar mendengus, dia juga tahu jurus ini. Dia pernah menghadapinya dulu. Ki milik Amar memancar lebih kuat. ia meningkatkan level Perisai Genta Emas dari tujuh ke delapan. Jurus ini cukup unik dan ajaib. Sekuat apa Pak Pos sekarang?
Pak Pos mulai menggerakkan tangannya dan bersamaan dengan itu, ia berhasil mengangkat beberapa batu berukuran sekepalan tangan bersamaan. Ia mengangkatnya ibarat mempunyai tenaga telekinesis – tapi sesungguhnya sedang menyalurkan Ki ke bebatuan dengan jurus anginnya. Ilmu kanuragan Inti Angin Sakti memang membutuhkan Ki yang sangat mumpuni sehingga tidak diturun-temurunkan secara asal.
Saat menggerakkan jemarinya ke depan, bebatuan itu terbang dengan kecepatan tinggi ke arah Amar Barok! Beruntung dia sudah meningkatkan level Perisai Genta Emas-nya. Bebatuan itu terhantam ke dinding tubuh kuat laksana perisai tak kasat mata yang digeber oleh Amar.
Pak Pos mundur selangkah saat serangan keduanya gagal. Dia tahu Amar pasti akan menyerang dengan tiba-tiba. Benar saja, begitu bebatuan penyerangnya ambyar, Amar dengan sekali lompat sudah berada di hadapan Pak Pos!
Tangan kanan Amar berhenti dengan gerakan seperti akan mencengkeram jakun sang lawan, tepat hanya beberapa sentimeter sebelum mencapai sasaran. Pak Pos tahu jika Amar melanjutkan serangannya, maka dia bisa merobek jakun itu dengan kekuatan jurus mautnya Cakar Singa Emas. Tapi Amar sengaja menghentikan serangan itu dengan tangan kiri menahan tangan kanan Pak Pos yang juga sudah bersiap mencengkeram bagian selangkangan Amar.
Dengan kecepatan dan kecermatan yang sama, keduanya bisa saling menghancurkan dalam sekejap mata. Sama-sama setanding. Saling pandang, saling hadang, salin kuat menghadapi lawan.
Pak Pos dan Amar sama-sama terengah-engah. Keduanya mengeluarkan tenaga, kecepatan, dan seluruh daya upaya pada serangan terakhir mereka.
“Inti Angin Sakti memang luar biasa.” bisik Amar sambil menatap tajam ke arah sang lawan.
“Bagaimana kalau kita anggap hasil hari ini imbang?” Pak Pos tersenyum.
Amar menarik tangannya dan mundur.
Begitu juga dengan Pak Pos.
Amar mendengus. “Jangan ganggu aku lagi. Sedang banyak kerjaan.”
Pria gagah itu berbalik arah dan meninggalkan Pak Pos yang bersidekap. Amar melangkah gagah menyeberang jalan untuk kembali ke bengkelnya. Pak Pos geleng-geleng kepala. Sungguh kekuatan pertahanan yang luar biasa yang dipamerkan oleh Amar Barok. Pada pertemuan selanjutnya, dia pasti bisa menembus Perisai Genta Emas!
Pasti!
Pak Pos mendengus sengit.
.::..::..::..::.
Malam yang larut menggelayut tidak membuat hari lantas tertutup kabut. Saat sekian juta manusia menaikkan selimut, sesosok pria duduk tenang di sebuah sudut, memainkan rokok di bibir tanpa resah tanpa kalut. Pria itu mengenakan pakaian hitam yang lusuh dan dekil, dengan wajah sangar mirip buto cakil, sosoknya sekilas lihat mirip percampuran antara Candil, Kiwil, dan kuda nil. Susah dijelaskan karena ganjil, apalagi bertatapan mata langsung dari depan akan membuat badan menggigil.
Tokoh ganjil itu bernama Ki Demang Undur-undur, sosok yang bagaikan mayat bangkit dari kubur. Jenggot dan rambut tak beraturan jarang dicukur, penasaran tidak penasaran jangan pernah menanyakan umur. Wajahnya putih pucat bak tertumpah kapur, dengan bingkai mata hitam terkombinasi ala kotak catur. Kalaupun ditelusur secara kabar kabur, ternyata namanya telah mahsyur sebagai dukun ngawur.
Ki Demang Undur-undur adalah salah satu tokoh dunia hitam yang aneh dan diselimuti banyak misteri. Tidak banyak yang tahu asal muasal dia dipanggil undur-undur, sebagian besar karena tidak berani bertanya, sebagian lagi tidak peduli. Ada spekulasi yang mengatakan kalau nama itu muncul karena dia suka menyuguhkan satu toples peyek undur-undur.
Ki Demang tinggal di kawasan pantai selatan, di sebuah rumah mungil di samping makam yang konon angker dengan nisan batu raksasa bertatahkan nama dalam aksara jawa. Konon di bawah nisan itu dimakamkan sosok sakti yang pernah menjadi legenda pada suatu ketika di sebuah masa.
Ki Demang Undur-undur atau biasa dipanggil Ki Demang sebenarnya tidak tergabung dalam kelompok manapun. Dia dihormati oleh orang-orang di kota dan kawasan pantai selatan sebagai salah seorang tetua dunia hitam dan orang pinter. Tetapi kepinterannya banyak yang menyangsikan karena penampilannya yang kurang meyakinkan.
Selalu berpakaian hitam-hitam, kemana-mana membawa tongkat berpahatkan kepala ular di ujung atas di bagian pegangan, blangkon warna gelap yang tak pernah meninggalkan kepala, kumis lebat tak beraturan, rokok yang silih berganti mengisi mulut – satu habis langsung hisap yang berikutnya, dan alis tebal yang menyatu tepat di pertengahan dahi.
Ganjil adalah padanan kata yang tepat menggambarkan sosoknya, Ki Demang adalah sosok manusia yang ganjil dan menyeramkan. Sosok inilah yang malam ini ditemui oleh Reynaldi.
“Maaf mengganggu hari ini, Guru. Saya butuh petunjuk.” Rey menjura dan duduk bersila di depan Ki Demang. Asap rokok yang tidak benar-benar meninggalkan ruangan membuat suasana menjadi sesak. sekali dua kali Rey terbatuk. Sebenarnya ruangan itu sangat terbuka, namun entah kenapa angin membawa asap berulangkali menemui Reynaldi – pria itu batuk berulang.
Menyadari Rey batuk, Ki Demang mengayunkan tangan, menyuruh Rey membuka pintu, agar asap lebih cepat keluar. Rey mengangguk dan membuka pintu seperti diminta. Dinginnya angin malam membuatnya sedikit menggigil.
Ruangan tempat Ki Demang berada bukanlah ruangan yang seperti dibayangkan ruangan dukun pada umumnya. Ruangan ini sejatinya hanyalah pawon yang dialih fungsi sebagai ruang menemui tamu. Sebuah tungku kayu tengah menyala memanaskan panci berisi sayur lodeh, sementara di piring sudah tersedia nasi, paha ayam goreng dan tempe bacem.
“Wes mangan?” suara serak Ki Demang membuat Rey segan.
“Sudah, Guru. Saya sudah makan.”
“Mangan opo? Rasah ngapusi. Ayo mangan meneh.”
“Saya tidak bohong, Guru. Sebelum berangkat ke sini tadi saya sudah makan malam di rumah.” Rey meneguk ludah, “saya benar-benar sudah kenyang sekali ini. Jadi maaf, malam ini tidak bisa membantu guru menghabiskan makanan.”
“Hmm… yo wes.”
“Siap, Guru.”
Menyadari Ki Demang hendak makan malam, buru-buru Rey menyiapkan makanannya, ia mengambil sendok sayur dan mengambil sayur lodeh untuk kemudian dituangkan di piring nasi Ki Demang. Perlakuan istimewa Rey pada gurunya ini lebih ke rasa hormat, bukan karena Ki Demang membutuhkan dirinya dilayani.
Ki Demang mengangguk-angguk, mengapresiasi niatan sang murid.
Piring makanan disajikan di depan Ki Demang, berikut teh yang nasgitel – panas, legi, tur kentel. Nyamleng. Dukun kok minumnya teh? Kenapa bukan kopi? Jadi kurang serem dong. Nah, akhir-akhir Ki Demang menghindari kopi karena lehernya sering kenceng gara-gara tensi tinggi. Sewaktu bertandang ke puskesmas disarankan oleh dokter untuk minum obat selama sisa hidup. Kan tidak lucu kalau dukun malah langganan obat puskesmas, jadi mending menghindari kopi dan iwak wedhus, lalu membiasakan diri makan belimbing, timun, dan semongko. Tarik sis.
“Ono opo kowe gage-gage maring nggonaku?” tanya Ki Demang sambil mengunyah paha ayam. Dia menanyakan kenapa Rey datang dengan tergopoh-gopoh ke tempatnya. Orang seperti Rey pasti ada maunya.
“Nganu, Guru… saya penasaran dengan jurus yang sudah guru ajarkan. Saya sudah menghapalkan teori dan gerakan luarnya. Tapi ada bagian yang saya masih belum paham. Kira-kira, bagaimana saya bisa menyempurnakan jurusnya?”
“Jurus seng endi?” Ngomong sambil makan membuat Ki Demang keseleg, ia pun mencoba meminum teh, tapi langsung mangap-mangap karena keslomot. Dia mengumpat karena Rey mengambilkan tehnya pakai jarang panas, bukan dicampur dengan air dingin sedikit. Murid damput.
“Saya penasaran dengan jurus Cakar Tangan Hitam, Guru.”
Ki Demang melotot.
Rey agak mundur sedikit. Ngeri asli kalau bertatapan mata dengan Ki Demang yang melotot dan urat-uratnya keluar semua, mirip Limbad lagi narik tank pakai gigi.
“Cakar Tangan Hitam!!” saat mengucapkan kalimat itu, rangkaian nasi putih melayang dari mulut Ki Demang dan menyebar kemana-mana.
Rey sedikit menjauh karena jijay. “Iya, Guru. Cakar Tangan Hitam.”
“Apa iya itu jurusku?”
“Lho lha iya. Kan Guru yang ngajarin.”
“Wo ya ya…” Ki Demang manggut-manggut sambil mengunyah paha ayam lagi. “Aku punya banyak jurus, jadi kadang-kadang lupa sendiri.”
“Dulu katanya ini yang paling ampuh, Guru?”
“Iya, jurusku yang ampuh ada banyak. Jadi tidak hapal yang mana saja, namanya juga orang sakti mandraguna. Begini-begini aku pernah pulang ke masa lampau untuk membantu Bandung Bandawasa membangun candi ke 54 dan 78. Percoyo karepmu, ora karepmu. Hahahaha.”
“Tapi dulu katanya jurus ini yang paling sakti yang pernah Guru kuasai.”
“Wes to rasah crigis! Aku tak mangan sek!”
“I-iya, Guru. Silakan.” Rey menahan diri untuk tidak mengganggu sang Guru.
Suara binatang malam terdengar hingga ke ujung malam. Rey sudah terbiasa menginap di tempat ini, berdua saja mengobrol dengan Ki Demang, atau ikut dengannya bersemedi di tepian karang pantai selatan. Jurus demi jurus diajarkan pada Reynaldi – dan meski tidak meyakinkan, tapi jurus-jurus itu benar-benar membuatnya mampu meningkatkan Ki tanpa harus serepot saat menggunakan jurus yang diajarkan oleh aliran putih.
Ia yakin sekali, menggabungkan Cakar Tangan Hitam dan Kidung Sandhyakala akan membuatnya sakti mandraguna tanpa tanding di muka bumi. Dia bisa membantu kakaknya mengalahkan JXG, Dinasti Baru, dan PSG – serta mengancam gadis-gadis untuk membuka paha menerima sodokannya. Rey tersenyum sadis dengan semua rencana di otaknya.
“Jangan senyum-senyum begitu. Awas di sini banyak yang suka nyamber.” Ki Demang mengingatkan.
“I-Iya, Guru.”
“Tapi yang lebih penting, aku juga jadi takut lihatnya. Ketawa-ketawa sendiri nggilani.”
“Iya, Guru.”
“Aku sudah ingat sekarang – Cakar Tangan Hitam. Jurus yang mengerikan. Untuk dapat menguasainya kamu butuh tumbal. Butuh korban. Jurus ini haus darah, kalau memang tidak kuat jangan dijalankan. Kalau memang tidak sanggup lebih baik ditinggalkan. Ini bukan sekedar ucapan ngalor ngidul ngulon ngetan.” ucap Ki Demang dengan wajah serius, meski tetap sambil makan, “Kenapa aku bilang bukan hanya sekedar ucapan waswisweswos welgeduwelbleh? Karena jurus ini akan berbalik memangsamu jika kamu tidak memberinya tumbal. Ada kontrak yang harus kamu lakukan dengan dunia sebelah untuk menguasainya.”
“Siap, Guru. Apapun akan saya jalani.”
Ki Demang berdehem, menarik napas panjang melalui hidung, dan menghelanya melalui mulut. Pria ganjil itu lalu mengayunkan tangannya dengan anggun ke arah depan.
Rey mengangguk dan mengikuti gerakannya. Ia menarik tangan ke dada, menghirup udara dengan hidung, dan menghembuskannya melalui mulut. Sekali, dua kali, tiga kali, lalu ia pun mengayunkan tangannya ke depan dengan gerakan anggun dan lembut menirukan gerakan sang guru.
“Kamu ngapain?” tanya Ki Demang.
“Mengikuti gerakan yang baru saja Guru ajarkan.”
“Ajaran apa? Aku barusan minta tolong diambilkan piring isi tempe bacem di meja. Bukan ngajarin apa-apa. itu yang di sana itu.” Ki Demang kembali mengayunkan tangannya ke depan dengan anggun.
Rey melongo.
Tiwas sudah serius ternyata cuma suruh ngambilin lauk. Ia pun buru-buru berdiri untuk mengambilkan makanan yang sudah diminta oleh sang guru. Saat meletakkan piring di depan Ki Demang, tangan laki-laki tua itu mencengkeram lengan Rey erat.
“Apa lagi, Guru? Apa perlu saya ambilkan piring ayamnya juga?”
“Tanganmu. Kenapa tanganmu hitam begitu?” Ki Demang menatap Rey tajam. Matanya membulat besar, “apakah… apakah kamu sudah berlatih Cakar Tangan Hitam?”
“Sudah. Kan Guru yang ngajarin.”
“Dengan siapa kamu membuat kontrak?”
“Tidak tahu.”
“Apa maksudmu tidak tahu?”
“Ya tidak tahu, Guru. Tahu-tahu begini saja tangannya.”
Cengkraman tangan Ki Demang makin kencang. Wajahnya sangat serius, keringatnya mengalir deras, dan napasnya terengah-engah, berbeda dengan tadi saat makan paha ayam. “Dengan siapa kamu membuat kontrak maut Cakar Tangan Hitam? Siapa yang datang ke mimpimu? Siapa yang mengajakmu bersalaman di malam kamu belajar jurus ini?”
“Mana saya ingat, Guru. Saya sering lupa mimpi saya sendiri.”
Ki Demang menatap dalam-dalam ke mata Rey.
Dia menatapnya tanpa berkedip.
Ki Demang mendesah kecewa.
“Begitu.” Pria ganjil itu melepas Rey dengan kecewa. Dia berdiri dan mengambil gelas berisi air putih di pojokan meja, dia meminumnya dengan terburu-buru. “Sudah bertahun-tahun aku bermimpi bertemu dengannya, junjunganku yang perkasa, yang pernah memporak-porandakan dunia persilatan. Dia yang namanya tak lagi disebutkan, dia yang dibaringkan di makam di bawah nisan batu!”
“Saya tidak pernah mimpi mengenai kontrak atau apapun. Kalaupun ada, sudah tidak ingat. Jangankan mimpi, kemarin makan apa saja sudah lupa.”
“Tenan? Ora ngapusi?”
“Sungguh.” Rey mengangguk. Wajahnya menunjukkan kejujuran, dia tidak tahu. “Guru, kedatangan saya kemari untuk menanyakan mengenai kelanjutan kawruh kanuragan Cakar Tangan Hitam. Apakah yang harus saya lakukan demi meningkatkan kemampuan dan menguasai secara sempurna jurus ini?”
Ki Demang mengamati tangan Rey, ia menekuk-nekuk tangan muridnya itu, dan mengangguk. “melihat tanganmu yang sudah menghitam, kamu sudah berada di tingkat 8 dari Cakar Tangan Hitam. Coba kamu perbaiki cengkramanmu dengan mencobanya pada batok kelapa.”
“Jadi sudah bisa langsung dicoba ya Guru?”
“Betul.”
“Bagaimana dengan tumbalnya, Guru? Sepengetahuan saya jurus ini memerlukan tumbal untuk tanda jadi kontrak.”
“Pelan-pelan… kita akan mencari mangsa, tapi pelan-pelan.” Ki Demang terkekeh. “Wes kono! Aku mangan ndhisik!”
“Baik, Guru! Terima kasih masukannya!” Rey tersenyum. Dia meletakkan segepok uang ratusan yang masih terikat rapi di depan sang guru. “Saya pamit dulu.”
“Hmm.”
Rey pun keluar dari rumah Ki Demang Undur-undur sambil memasang wajah bahagia. Ia berulang kali melontarkan tangannya ke depan, seakan-akan hendak mencakar udara malam. Pria itu melirik ke arah batu nisan besar di atas makam.
Rey mendekatinya, melirik ke kanan, melirik ke kiri, melirik ke arah rumah, lalu membungkuk. Sang pria tampan itu tersenyum sambil menepuk batu nisan raksasa di atas makam angker. “Seperti yang kita perbincangkan dalam mimpi, saya akan melakukan semua yang njenengan inginkan, Ki Suro. Asalkan mampu menciptakan jurus baru hasil padu-padan Cakar Tangan Hitam dan Kidung Sandhyakala dengan selaras, maka akan kita koyak langit kota.”
Ia menepuk batu nisan itu tiga kali, menarik ingus dalam hidung, dan tersenyum aneh. Tak lama kemudian, Rey berdiri dan berjalan ringan ke arah mobilnya.
Ki Demang menatap kepergian Rey dari kejauhan di sela-sela gorden jendela. Ada perasaan tidak nyaman yang ia pendam saat melihat Rey menepuk pusara di samping rumahnya. Aura gelap yang berada di tempat itu makin terasa berat dan membebani sang dukun tua. Sesungguhnya ia telah didapuk sebagai kuncen oleh leluhur, tapi dengan niat busuk ia menjerumuskan anak muridnya demi langit gelap yang siap mendera. Ia menggenggam erat pucuk tongkatnya yang berbentuk ular, meremasnya dengan antisipasi akan datangnya hari yang dinanti-nanti.
Junjungannya akan sekali lagi menggoncang dunia melalui sosok anak muda ambisius yang akan membantunya memanen jagad.
Sembari senyum, bibirnya berbisik dalam keheningan malam.
“Ontran-ontran jagad diwiwiti kanthi lahire Batara Kala.”
.::..::..::..::.
Rokok di bibir ditempatkan, bermain dari sisi kiri ke kanan dengan lincah, batang belum dinyalakan, masih terkecap rasa manis di ujung lidah. Tiga orang pemuda tengah duduk-duduk santai sambil mencicipi hidangan yang disediakan oleh sang penjual angkringan yang ramai kala malam di jalan di dekat stadion baru.
Jalan ini cukup sepi saat malam, kosong dan gelap dengan lampu jalan redup tak membantu pengguna jalan. Sering dibuat trek-trekan dan merupakan lokasi favorit tukang begal. Ada seorang penjual angkringan di dekat stadion, meski lauk yang disajikan tidak lengkap, tapi cukup nyaman bagi penggemar gelap-gelapan.
Adalah Jo, Surya, dan Bondan – tiga serangkai dari kelompok Remon DoP yang sedang nongkrong-nongkrong cantik di samping warung angkringan di tepi jalan utama menuju ke stadion baru. Surya masih makan dengan lahapnya dan menambah bungkus nasi kucing keempat, sementara Jo dan Bondan yang masing-masing sudah menghabiskan tiga bungkus dan segelas susu jahe mulai menyalakan dan mengebulkan rokok yang sejak tadi terselip di bibir.
“Belum juga ada setahun, tapi sudah banyak sekali perubahan di tempat ini.” Ucap Bondan sembari menyaksikan motor berlalu-lalang di jalan utama yang cukup besar dan dikenal sebagai jalan tembus alternatif dari jalan Kalipenyu ke arah jalan menuju bandara lama. “akhir-akhir ini Kandang Walet jadi agak sepi setelah para jendral dan kapten tak lagi ada.”
Jo mengangguk. “Dulu Oppa dan Amon sering mentraktir kita-kita semua makanan di sini. Pantas saja kalau banyak yang berpaling ke KSN saat keduanya membelot, karena sebenarnya mereka berdua termasuk orang baik pada bawahan kalau saja tidak berkhianat. Tidak semua dari kita menaruh hormat mati pada Rao seperti Remon.”
“Tapi pengkhianat tetaplah pengkhianat. Lihat nasib mereka sekarang. KSN bubar dan nasib mereka tidak jelas.” sahut Surya, “kita bertiga malah naik tingkat menjadi penjaga utara menggantikan Patnem dan KSN dengan berada di Aliansi.”
Bondan mengangguk, “betul – dan apesnya, bocah yang pernah kita bully malah jadi ketua Aliansi. Mau ditaruh mana mukaku ini.”
Jo mendengus, “bocah itu memang selalu mengejutkan kiprahnya. Tidak dulu tidak sekarang, selalu saja ada yang mengejutkan darinya. Belum ada satu tahun masuk ke UAL dan dia sudah berada di atas Rao dan Simon sekaligus. Bangsat kan?”
Bondan menggeleng kepala, “awalnya aku kira dia cuma menguasai wing chun, tapi ternyata lebih dari itu. si tembelek lencung itu punya simpanan yang jauh lebih besar lagi.”
Jo dan Surya mengangguk bersamaan.
Bondan melanjutkan, “Menurut kalian, dari keempat pimpinan di Aliansi – Beni Gundul, Rao, Simon, dan Nanto… mana yang paling mumpuni kemampuannya?”
“Simon sih. Pukulan Geledek-nya dahsyat,” ujar Jo sambil menatap bintang di langit. Seakan-akan benda langit itu akan memberinya jawaban akan masalah-masalah kehidupan. Padahal bintang akan selamanya menjadi bintang, selalu berada di atas sana berkerlap-kerlip dan bercanda dengan pantulan cahaya.
“Rao punya Lontaran Ki yang seimbang dengan Simon.” timpal Surya. “Secara kemampuan tempur dia juga tidak kalah kalau pakai jurus luar. Meski memang pukulannya belum ada yang sebanding dengan Pukulan Geledek.”
“Susahlah menyamai Pukulan Ge…”
Tiba-tiba saja pawai motor melalui jalanan. Hanya lewat saja tanpa mampir. Suara kencang, tawa cekakakan, yang bonceng lompat-lompat sambil geleng kepala. Menganggap diri mereka terhebat di dunia. Kemungkinan baru saja menang trek-trekan di kawasan lain. Bajingan-bajingan bangsat itu pergi secepat mereka datang. Datang tak diundang, pulang tak diantar.
Setelah rombongan itu berlalu, Jo, Surya, dan Bondan memilih lokasi yang lebih gelap untuk minum susu jahe mereka sembari ngebul. Jalan di depan mereka dibagi menjadi dua lajur ke kanan dan ke kiri yang dipisahkan oleh pembatas jalan di tengah, sementara mereka nongkrong di pinggiran trotoar jalan.
Di sebuah sudut gelap, ketiganya mantap mengistirahatkan pantat. Senda gurau dilanjutkan di lokasi yang kini tak lagi dijamah sinar lampu jalan yang redup. Mereka mengira mereka bertiga seharusnya bisa santai malam ini.
Seharusnya.
Yang selanjutnya terjadi di luar bayangan mereka.
Sebuah mobil berwarna gelap berhenti di tengah jalan. Suara tawa terdengar bagaikan cekikikan hantu malam. Beberapa orang turun ke pinggir jalan.
Tiba-tiba terdengar dua kali suara berdebam.
Orang-orang yang tadi keluar dari mobil kini masuk kembali sembari tetap cekakakan. Mobil berwarna gelap itu melaju dengan kencang meninggalkan jalan gelap menuju stadion baru.
Jo, Surya, dan Bondan saling berpandangan.
Dua kali debaman tadi, ternyata adalah dua tubuh yang dilemparkan begitu saja di tepian jalan. Siapa orang-orang ini? Mengapa dua orang itu dibuang begitu saja di antah berantah?
Jo tersentak ketika melihat salah satu dari dua tubuh yang dibuang mencoba berdiri dengan susah payah. Surya dan Bondan segera berlari mendekat. Mereka memang geng kampus, tapi tidak mau juga meninggalkan orang-orang yang membutuhkan. Lampu ponsel mereka menyala menjadi penerang dari wajah ke wajah.
Jo, Surya, dan Bondan terkejut saat mengenali sosok itu!
Orang yang sedang terluka parah dan mencoba berdiri itu orang yang sangat mereka kenal!
“Ka-kalian bertiga dari DoP… aku masih ingat wajah kalian…” terengah-engah orang itu mencoba mengambil napas. Tapi ia kembali terbatuk dan sentakannya membuat ia memuntahkan darah. Wajahnya sudah tidak karuan, lebam membiru, sedikit kulitnya bahkan sampai terkelupas mengucurkan darah segar. Darah mengucur dari mana-mana. Siapa yang bisa membuatnya luka parah seperti ini?
Bondan tergagap saat menatap wajah orang yang baru saja muntah darah dan rekannya yang terkapar di jalan dengan satu lengan patah hingga tulangnya keluar dari siku. “I-ini kan… itu kan…”
Orang yang sedang terluka parah itu melangkah dengan susah payah, tubuhnya terhuyung karena tulang kakinya yang bengkak besar sudah menekuk ke arah yang salah. Ia mengernyit kesakitan tiap kali berjalan. Ia patah tulang, terluka parah, dan berdarah-darah. Dia tidak akan bisa bertahan tanpa pertolongan.
Pria itu tetap memaksakan diri melangkah ke depan. Ke arah tiga serangkai DoP.
Ketika sampai, Pria itu menggenggam kerah baju Jo dengan kedua tangannya.
“Pe-peringatkan Ra-Rao. Jangan berurusan dengan RKZ. Mereka berbahaya. Sangat berbahay… hkgh! Peringatkan Ra-Ra…Rao! RKZ sebenarnya adalah… hkgghhhh!!”
Ia sudah tidak kuat lagi, untuk kedua kalinya ia muntah darah sampai akhirnya ambruk ke bawah, tanpa tenaga dan tanpa daya. Ia terkapar lemas.
Jo berkeringat dingin, wajahnya pucat pasi. Dia tidak mengira akan bertemu lagi dengan orang ini dalam kondisi yang sangat mengkhawatirkan. Tulang-tulang patah dan sepertinya luka dalam. Kalau tidak ditolong, nyawa kedua orang ini pasti melayang.
“Jo!”
Jo tergagap ketika Surya memanggilnya. “I-ini kan…”
Surya mengangguk dengan wajah khawatir.
Apa yang harus mereka lakukan?
Jo, Surya, dan Bondan berdiri kebingungan di tengah jalan. Mereka saling berpandangan dengan wajah pucat. Di dekat mereka, dua sosok pria terkapar tanpa daya meregang nyawa.
Dua orang itu adalah mantan kapten mereka, Oppa dan Amon.
Bersambung