Part #6 : TERLALU SINGKAT
Mustahil akan ada kemajuan tanpa perubahan.
Orang yang tak dapat mengubah pikirannya tak akan bisa mengubah apa-apa.
– George Bernard Shaw
Dua orang pemuda duduk santai di balkon lantai dua sebuah rumah yang terdapat di dekat porok jalan, amat dekat dari Jalan Manggar. Dari lokasi mereka yang juga terlindung beberapa pohon rambutan besar, keduanya bisa mengamati proses tawur yang terjadi tanpa terlalu terlihat.
Tawur rame yang terjadi dua kali. Pertarungan pertama antara Lima Jari dengan RKZ dan sekarang Lima Jari dengan Dinasti Baru.
Orang yang pertama berdiri bersandar tembok dengan tangan bersidekap, ia mengenakan jaket dengan hoodie tanpa lengan, menyembunyikan wajah di balik kerudung gelap, tapi mempertontonkan tangan yang besar dan kekar, bisa diduga kalau dia termasuk maniak gym. Tato tribal berkesinambungan menghias sepanjang lengan kirinya yang terpampang dipamerkan.
Orang yang kedua duduk di pagar tembok balkon. Rambutnya yang dicat perak berkibar ditiup angin pagi. Ia mengenakan jaket abu-abu, celana warna hitam, kaus abu tua, sarung tangan motor warna hitam, dan sepatu V@ns juga warna hitam dengan garis putih. Pakaian yang modis dan senada dari atas sampai bawah menandakan kalau dia bukanlah pemuda yang berkekurangan.
Kedua orang ini tentunya adalah X dan Jun, kapten muda harapan baru dari QZK. Punya kemampuan, banyak dukungan, penuh percaya diri, dan yakin dengan kekuatan kelompok sendiri membuat keduanya bebas melenggang kemanapun mereka mau. Saat ini keduanya tentu saja tidak ingin ikut campur dalam masalah Dinasti Baru, mereka hanya ingin menonton saja dengan tenang.
Jun yang lebih muda duduk dan ongkang-angking kaki sembari sesekali menusukkan tusuk gigi ke lopis dalam pincuk, mengangkat beberapa, dan menelannya dengan puas. Ia melakukannya sembari menyaksikan pertarungan di bawah – ibarat makan popcorn sembari menonton bioskop.
“Gimana? Tidak sia-sia kan kita pagi-pagi nyari lopis terus jalan pulangnya muter lewat sini? Kalau tidak lewat sini, kita tidak akan ketemu kejadian seru begini. Antuisiku memang dapat diandalkan.” Ujar Jun sembari tersenyum. “Sebenarnya sih agak lucu juga rasanya, karena kita lebih cepat menemukan adegan tawur begini dibandingkan polisi. Normalnya, kalau ada kejadian serangan di jalan umum seperti ini seharusnya sudah didatangi polisi sejak tadi.”
“Hhrh.” X mendengus, “Dinasti Baru pasti sudah memperkirakannya. Mereka mencegah polisi datang terlalu cepat. Sepertinya sudah disengaja agar yang berwajib terlambat datang – pos polisi kan ada di luar situ di Jalan Oslo. Tidak mungkin mereka tidak memahami ada perkelahian di sini. Mereka pasti sudah dibayar Dinasti Baru untuk tidak cepat-cepat datang – kelompok seperti mereka punya agenda tersendiri.”
“Luar biasa memang Dinasti Baru – jadi mereka justru sedang mencari konfrontasi. Untuk memancing keluarnya informasi. Semakin banyak tahu lawan, semakin banyak tahu medan. Mereka sedang melakukan scanning para lawan.”
“Utamanya memang melawan RKZ, tapi sekarang pemuda-pemuda dari Aliansi itu yang berhadapan dengan Dinasti Baru.”
Jun mengangguk, “Itu. Yang di sana itu, itu Nanto dan gengnya – aku kenal dia. Lama sekali tidak jumpa. Menarik sekali begitu tahu dia ternyata bergabung dengan Aliansi.” Jun tersenyum saat mengenali si Bengal, “akan ada saatnya nanti aku akan bertemu lagi dengannya dan membalas apa yang dulu dia lakukan ke teman-teman dan sekolahku.”
“Bagaimana menurutmu dia sekarang?”
“Aku tidak melihat ada apapun yang istimewa darinya. Entah apa yang ia lakukan selama ini, tapi dari pengamatanku, perkembangannya lambat. Dulu terlihat sangat hebat, sekarang jadi biasa saja. Mungkin karena dia tidak banyak berlatih, sementara aku sudah meningkat sepuluh kali lipat.” Jun meletakkan lopisnya di pinggir pagar. “Pada pertemuan berikutnya aku yakin akan dapat menandingi atau bahkan mengalahkannya.”
“Hrrrh, percaya diri sekali.” X mendengus. “Yakin?”
Jun hanya tersenyum, “kita lihat saja kelak seandainya kami akhirnya benar-benar berhadapan. Mau taruhan apa?”
“Aku pikirkan dulu.”
“Sate sapi lapangan Kurung?”
“Hrrrh.”
X bersidekap sementara Jun masih terus mengamati apa yang terjadi di bawah sana.
Entah bagaimana caranya mereka berdua bisa berada di tingkat dua rumah ini, mungkin karena rumahnya sendiri sedang kosong sehingga mereka bisa masuk dengan mudah tanpa perlu permisi, padahal pagar depan lumayan tinggi dan tebal. Lebih kebetulan lagi adalah bagaimana mereka bisa berada di tempat ini tepat saat terjadi perseteruan antara Amar dan Lima Jari melawan RKZ.
Kota ini memang kadang-kadang jadi terasa kecil dan sempit dengan banyaknya kebetulan yang kadang terlalu kebetulan. Mungkin juga kebetulan itu sebatas petikan jari Thanos.
Jun menggosok hidungnya yang gatal. Udara pagi yang dingin sering membuatnya bersin berulang. Meski matahari mulai tinggi, tapi dia masih juga tetap gatal ingin bersin.
X penasaran dan bertanya, “sebenarnya bagaimana sih kondisi Dinasti Baru itu sekarang? Seperti apa struktur kepemimpinan mereka akhir-akhir ini?”
“Jadi mau diceritain soal Dinasti Baru? Boleh saja. tapi ini bakal jadi cerita yang panjang. Jadi duduklah dengan santai sambil dengerin. Boleh disambi makan kacang rebus, jagung, atau kacang kedelai sambil menikmati juga wedang ronde.”
X mendengus, “yang benar saja.”
Jun tertawa, “Seperti yang sudah jadi pengetahuan umum bagi seluruh warga, kota terbagi menjadi dua wilayah, utara dan selatan. Sejak bertahun-tahun, wilayah utara menjadi kekuasaan QZK dan selatan menjadi wilayah kekuasaan JXG. Entah permusuhan antara utara dan selatan ini terjadi sejak kapan tahu, mungkin bahkan sejak jaman simbah-simbah kita dulu.
“Nah sebenarnya ada satu wilayah lagi di kota yang bukan milik utara dan juga bukan milik selatan, wilayah itu adalah wilayah perbatasan keduanya, kita sebut saja wilayah tengah.
“Wilayah tengah atau perbatasan antara kedua wilayah sempat menjadi bahan perseteruan dan menjadi perebutan antara QZK dan JXG, namun perebutan ini terhenti ketika keduanya dipaksa untuk melakukan gencatan senjata oleh pihak yang berwajib setelah terjadi pertarungan besar yang merenggut nyawa. Baik QZK maupun JXG dilarang beroperasi sementara waktu.
“Vakumnya kekuatan di kota membuat sempalan dari kedua kelompok berusaha mbalelo dan menjadikan kawasan perbatasan sebagai markas mereka. pecahan dari JXG dan QZK kemudian bergabung membentuk kelompok baru karena sering nongkrong di kawasan yang sama, lahirlah Dinasti Baru. Sementara pada saat yang bersamaan, di kawasan selatan PSG tumbuh dan berkembang menggantikan kiprah JXG, sedangkan di utara Patnem melakukan gerilya untuk menjaga wilayah Kalipenyu.
“Meski berawal dari kawan nongkrong dan geng motor, Dinasti Baru bukanlah kelompok kaleng-kaleng, kiprah sepak terjangnya mirip dengan PSG. Mereka melebarkan sayap dari ujung ke ujung perbatasan, dan dari hari ke hari jumlah anggota mereka semakin banyak. Tahu sendiri kan bagaimana ini kota dikelilingi oleh jalan melingkar atau ringroad? Nah Dinasti Baru adalah kelompok yang seakan-akan membuat garis tepat di tengah lingkaran itu dengan pusat pengembangan mereka terletak di kawasan toko Dinasti Baru.
“Dinasti Baru punya dua sayap, pengguna slayer biru yang disebut New World Order beroperasi di area sebelah tengah ke timur laut dari mabes Dinasti Baru dan unit slayer merah mengatur wilayah sebelah barat. Keduanya bersaing untuk mendapatkan pendapatan terbesar di wilayah tengah entah itu melalui pemerasan, perjudian, penjualan miras, ataupun prostitusi. Dinasti Baru memang bukan kelompok yang putih bersih. Mereka terlibat dalam banyak masalah, tapi punya backing yang cukup kuat sehingga bertahan lama.
“Amar Barok dan seorang rekan lain berada di tengah-tengah, menangani semua masalah seandainya terjadi masalah internal maupun eksternal, misalnya jika ada perseteruan antara unit slayer merah dan unit slayer biru, maka Amar dan rekannya yang akan turun tangan mencari solusi. Dari ketiganya, unit yang paling ngetop tentu saja adalah unit NWO di bawah pimpinan Martoyo Kimpling, sehingga wajar saja kalau orang-orang sering menyebut Dinasti Baru sebagai NWO atau sebaliknya. Padahal NWO hanyalah sayap dari Dinasti Baru.”
Jun mengakhiri ceritanya dan menenggak minuman kemasan yang sudah ia siapkan. “Huff… bentar minum dulu, aus.”
Swsh.
Satu angin berhembus.
“Di sini angin lumayan sejuk. Silir rasane.”
“Betul.” Ucap X.
“Iya benar.” Jawab Jun.
“Agak canggung juga setelah kita lama tidak ketemu, ya. Bagaimana kabar kalian? Ikhsan dan Junaedi – X dan Jun, dua kapten muda dari QZK?”
“Baik.” Ucap X.
“Kabar kami baik.” Jawab Jun.
“Syukurlah.”
“Eh?”
“Ehh?”
X dan Jun mengejapkan mata. Keduanya saling bertatapan. Hah!? Siapa yang barusan mengajak mereka berdua bicara?
Suara yang menyapa tiba-tiba membuat kedua orang dari QZK itu amat terkejut! Ada orang yang mampu mengetahui posisi dan siapa mereka? Siapa? Bagaimana bisa hadir tanpa terdeteksi? Kedua kapten muda dari QZK itu segera bersiaga dan memasang kuda-kuda di balkon yang sempit. Di kota tak banyak yang mengenal mereka, lebih tak banyak lagi yang mengetahui nama asli mereka berdua, jadi siapa orang yang baru datang?
Keduanya menengok ke samping dan di atas pagar balkon sudah berdiri seorang lelaki yang tengah nyengir lebar sembari mengangkat jari berbentuk V.
Bak daun yang lembut turun ke tanah setelah terhempas angin, bak kapas yang diombang-ambingkan hembusan udara hingga menepuk pelan landasan bumi. Sang pria yang baru saja menyapa melompat lembut ke halaman rumah di bawah.
Orang yang baru saja datang itu tak menunjukkan wajah takut sedikitpun, ia malah duduk dengan santai di atas batu taman sambil makan lopis yang rupanya ia ambil dari Jun yang sama sekali tak menyadari lopis-nya sudah pindah tangan. Pria itu duduk di batu besar dengan menampakkan wajah tak peduli pada X dan Jun.
X dan Jun segera turun ke bawah untuk menemuinya, tidak butuh waktu lama bagi mereka untuk mengenal siapa sebenarnya sosok orang yang baru datang.
Orang itu mengenakan pakaian seragam warna abu-abu dengan garis-garis oranye. Kulitnya gelap dan mengkilap karena terbakar matahari, rambut ijuknya sebagian sudah mulai beruban. Senyum lebar menghias wajahnya yang tidak istimewa. Jika bertemu di jalan – orang tidak akan menduga bahwa orang ini salah satu orang paling berbahaya di jajaran punggawa JXG.
“Salam sejahtera, Om Sunu Sudarwaji.” Ucap Jun saat ia mengenali siapa yang datang, “Ada kabar kalau si Jagal sudah kembali ke kota, begitu pula dengan si Hantu. Seharusnya saya sudah menduga kalau si Tukang Pos juga sudah hadir untuk melengkapi tiga dari empat andalan utama JXG.”
X tersenyum, dia senang karena akhirnya bertemu dengan salah satu legend dari kelompok sebelah. Salah seorang pemuka yang amat dihormati, tangannya sudah gatal saja untuk menjajal kemampuan yang telah ia latih selama ini. “Bapak Pos. Luar biasa sekali ketemu sampeyan di sini.”
Jun melirik ke arah X. Tangannya terkepal, menandakan dirinya sudah bersiap dan siaga.
Keempat mata panah dari JXG bukanlah jajaran pasukan yang bisa diremehkan, mereka adalah pasukan maut yang masing-masing punya kemampuan yang mumpuni dan amat disegani. QZK di sisi lain sebenarnya juga punya orang-orang yang setara kemampuannya dengan mereka berempat – dan sayangnya orang-orang itu untuk sementara ini bukanlah X maupun Jun, tapi seandainya mereka bisa membuktikan kemampuan mereka, barangkali saja hirarki kekuatan di kedua kubu akan berubah.
Tukang Pos, Pak Pos, Pengantar Pos, sang Pengantar Surat, adalah banyak julukan dari Sunu Sudarwaji yang memang bekerja sebagai pengantar pos. Sayangnya dia terkadang tidak mengantarkan surat biasa, tapi mengantarkan surat kematian. Jika suatu ketika dia mengetuk pintu rumahmu sembari menyeringai, lebih baik jangan dibukakan. Kaburlah sejauh mungkin, jangan pernah menerima surat apapun darinya.
“Kita baru saja bertemu setelah lama tak jumpa.” Sang Tukang Pos terkekeh, “kenapa malah pasang kuda-kuda? Kita ini bangsa yang ramah lho, kita ini warga kota yang Berhati Nyaman. Setelah lama tak berjumpa seharusnya kita ngobrol, nongkrong bareng, bersenda-gurau, ngomongke cerita lama, dan jajan Lotek Tatag deket flyover.”
“Kami tak akan pernah mempercayai apapun yang keluar dari mulut anggota JXG. Terlebih ucapan dari anggota empat mata panah,” ucap Jun – ia mulai menyalakan tenaga Ki yang selama ini ia simpan. “Kami memang muda, tapi kami tidak bodoh.”
Pak Pos tertawa, “bagaimana tidak bodoh. Kalau kalian menyalakan Ki, bisa-bisa orang Dinasti Baru akan menyadari kalau ada orang dengan Ki berlebih sedang berada di lokasi ini. Yang ada mereka bakal memburu kalian!”
“Kami sih tidak peduli, Dinasti Baru bukan lawan bagi QZK. Saya sih hanya tertarik dengan kemampuan sang Tukang Pos. Seperti makanan yang hanya dari katanya saja enak, belum benar-benar enak kalau belum dicicipi.” Jun sang ksatria baju putih tersenyum sinis, ia menekuk kesepuluh jarinya untuk melemaskan, lalu menekuk kepalanya ke kanan dan ke kiri, bibirnya mulai bergumam saat ia mulai merapal jurusnya. Jari Jun diarahan ke depan dengan tiga jari tertekuk ke dalam, jari telunjuk ke depan, jari jempol ke atas – semacam membentuk pistol dengan jari.
Jun menarik napas panjang dan menghelanya. “Si vis pacem, para bellum.”
Boom!
Satu sentakan energi besar menghentak keluar dari jari pistol Jun, gelombang ledakan energi Ki yang terfokus melesat menuju ke sang Tukang Pos.
Sunu Sudarwaji alias sang Tukang Pos tersenyum, tanpa menengok arah serangan ia mengayunkan tangan kiri. Lengannya bergerak memutar, membentuk lingkaran. Jari jemari menekuk seperti tengah mencengkeram sesuatu di udara. Sungguh ajaib! Ia merenggut angin yang sudah tercampur dengan tenaga Ki yang dilontarkan oleh Jun. Pak Pos memutarnya sembari membentuk pertahanan kokoh tak kasat mata. Tangan dibentangkan melebar, menerima ledakan energi Jun.
Serangan hebat dari Jun diterimanya bak pebasket menerima bola, hanya dengan satu tangan ia memutar dan memilin tenaga Ki yang ia terima bagai mengolah adonan donat – bahkan tanpa menyentuh. Sang Tukang Pos lalu menghempaskan lontaran Ki itu ke dalam tanah! Gerakannya gemulai seperti menari, tapi tangannya tegas menghentak seperti melesakkan pasak ke dalam bumi.
Bmmmmh!
Tanah bergetar pelan, debu berterbangan.
“Tenaga hebat yang terpusat, teknik luar biasa, Junaedi,” ujar Pak Pos. “tapi ada baiknya kamu redam sebelum banyak orang-orang Dinasti Baru datang. Kita tidak ingin ada keributan bukan?”
Pria yang dipanggil dengan sebutan Pak Pos atau Tukang Pos itu lantas duduk di samping Jun dengan santai, dari posisi yang sekarang mereka masih dapat mengamati kejadian di area Jalan Manggar tempat perseteruan Dinasti Baru dan Lima Jari tengah berlangsung.
“Aku datang karena hendak mengamati sepak terjang RKZ. Tidak kusangka mereka akan membuat kekacauan begini pagi-pagi,” kata Pak Pos, “kejadian ini sudah viral. Banyak yang rekam di media sosial. Tapi sewaktu aku datang, alih-alih RKZ, Dinasti Baru malah sudah berseteru dengan kelompok lain.”
Jun mendengus, akhirnya dia melepas Ki yang sudah dihimpunnya dan ikut duduk santai di batu besar tempat Pak Pos berada.
“Sudah viral tapi polisi belum datang, Dinasti Baru punya backing yang cukup lumayan, Pak.” Kata Jun. “Sebagaimana JXG punya backing yang cukup kuat, bukan?”
“Pastinya.” Pak Pos terkekeh, “sebagaimana QZK juga punya backing yang lumayan, kan?”
Perwakilan kedua kelompok itu saling sindir dan saling uji kesabaran masing-masing. Saat ini mereka memang tidak sedang berseteru, sehingga duduk santai pun tak apa. Meski tetap saja Jun dan X siaga, karena sang Tukang Pos bukanlah tokoh yang bisa ditebak apa kemauannya. Sementara Jun duduk di samping Pak Pos, X bersiaga di belakang mereka.
“Tontonan sudah digelar, makan snack sudah, masih kurang satu lagi.” lanjut Pak Pos.
“Ha?” Jun mengerutkan kening. “Kurang satu lagi?”
“Masih kurang BGM – background music. Kurang soundtrack. Pertandingan apapun kurang seru tanpa soundtrack.”
“Hadeh.”
“Loh, iya lho. Hidup ini akan sepi tanpa musik, musik itu menenangkan jiwa. Setiap kali bekerja, aku selalu mendengarkan musik. Musik dan lagu yang aku nikmati menunjukkan siapa jati diriku sebenarnya, intinya inti, core of the core. Selain menggemari musik keroncong, sejatinya aku adalah penggemar lagu-lagu mixed-core, contohnya lagu seperti Another Road, Water from the Sky, Showcasing Your Spouse, Poor man’s Bone, Back-up slowly, Kartonyono Breaking-Up Promises. Masih banyak lagi yang lain. Xixixi.”
“Wasyu. Ini sih dagelan bapack-bapack.” Jun menepuk jidatnya.
Pak Pos hanya terkekeh.
.::..::..::..::.
Tak jauh dari posisi Pak Pos dan dua kapten QZK, arena sedang digelar.
Nanto berhadapan dengan sang ketua Dinasti Baru.
Dengan berani si Bengal menghalangi jalan sang Ketua, mencegatnya.
Nanto bersiap. Ia memperhatikan wajah sang ketua Dinasti Baru yang baru saja melepas slayer, masker, dan helmnya. Sinar mentari pagi yang mulai terangkat tinggi di angkasa membantu menerangi wajahnya yang berkeringat setelah mengendarai kendaraan roda dua dari luar kota. Pria ini berkulit agak gelap, memiliki rahang yang tinggi dan gagah, serta kumis tebal yang seakan memamerkan kejantanan. Rambut gondrong berombaknya berkibar ditiup angin sepoi, sudah ada selipan uban di rambutnya – orangnya memang tak lagi muda, tapi tubuhnya masih kencang dan terbentuk kekar mengintimidasi. Badannya besar dan tinggi, mungkin bahkan lebih besar dari Amar Barok – dengan bahu teramat lebar, seakan menghalangi sinaran surya untuk jatuh langsung ke tubuh si Bengal.
Sang ketua Dinasti Baru, bagaikan sosok monster buatan dokter Frankenstein.
“Siapa kamu?” tanyanya dingin.
“Nanto. Jalak Harnanto” si bengal berdiri tepat di depan ketua Dinasti Baru. Tanpa takut, tanpa ragu, penuh keyakinan, percaya bahwa dia benar. “Perwakilan Lima Jari dan Aliansi.”
“Aliansi? Hehehe. Kelompok baru yang nggegirisi. Baru terbentuk tapi sudah berhasil menumbangkan kekuatan lama yang bertahta di utaranya utara. Hehehe. Hebat. Sepak terjang kalian lumayan juga, berkat kalian kami tidak perlu turun langsung untuk menghadapi ulah busuk KSN. Mungkin kamu tidak tahu kalau Darsono itu bekas anggota kami juga.” sang Ketua mendengus sambil tersenyum sinis, dia mendekat ke arah Nanto, mata bertaut ke mata. Dia agak menunduk karena badannya yang tubuhnya lebih tinggi dari si bengal. “Ini pertama kali kita bertemu ya, Mas Nanto? Namaku Bintoro Muji Wiguno, mau panggil Bintoro boleh, Pak Toro boleh, tapi anak-anak Dinasti Baru yang kurang ajar sering menyingkat namaku jadi BMW. Wedhus kabeh pancene. Tapi berhubung singkatan kuwi yo wes terlanjur ngetop ya sudah, kamu juga bisa memanggilku dengan singkatan itu. Rak yo ndagel to, Mas? BMW tapi numpake Vespa.”
Si bengal tersenyum, “salam kenal Om BMW. Keren namanya.”
Om BMW tertawa tapi sesaat kemudian terdiam sembari menatap Nanto dengan penasaran. Matanya bagai menyala-nyala. Nanto baru menyadari kalau sang Ketua tengah memindai kemampuannya.
“Kamu punya tenaga Ki mentah yang luar biasa, Mas. Boleh juga,” kata Om BMW.
Nanto menggeleng, “Masih belum apa-apa kok, Om.”
“Bagaimana kalau kita bikin apa-apa supaya matang?”
Tubuh si Bengal bagai membeku, ada hawa dingin yang ia rasakan keluar dari tubuh om BMW. Kekuatan macam apalagi ini? Dia tidak tahu ilmu kanuragan apa yang dikuasai oleh om BMW, yang jelas Nanto merasakan kekuatan dahsyat terpancar dari tubuh sang Ketua Dinasti Baru.
Dahsyat.
Si bengal mendengus dan menepuk hidungnya dengan punggung telunjuk.
Bahkan ketika sudah teramat besar sekalipun, kekuatan yang ia rasakan dari Om BMW ternyata terus mendaki melebihi perkiraan dan logikanya. Kekuatan hebat yang menanjak dari tubuh pria bertubuh kekar di depan si Bengal membuat pemuda itu berdecak kagum. Luar biasa, tokoh wangun macam apa yang sekarang ia hadapi? Jika dibandingkan apple to apple – apa yang saat ini dipancarkan Nanto terasa kerdil jika dibandingkan apa yang sedang menyala dalam tubuh Om BMW.
Ibarat Nokia 5510 berhadapan dengan iPhone terbaru yang harganya di atas 2 digit. Wuedyan. Wangun tenan. Sungguh menarik.
“Wes wedi durung? Sudah merasa takut belum?” Om BMW memancing sambil menyunggingkan senyum sinis. Dia sadar kalau Nanto sudah paham perbedaan kekuatan di antara mereka berdua sesama pengguna Ki.
Tapi ya dasarnya bengal, Nanto kok ditantang. Pemuda itu malah tersenyum sembari memasang kuda-kuda, kedua tangan diangkat sejajar di depan dada, tubuh membungkuk sedikit dengan kaki ditekuk separuh.
“Justru takut kalau aku ga bisa nyobain, Om.” ucap si Bengal tegas. “Maju!”
Amar Barok, Hageng, Deka, Roy, dan Bian sama-sama menatap ngeri pertemuan langsung antara Nanto dan BMW. Mereka yang menguasai dan bisa membaca Ki tahu perbedaan kekuatan antara Nanto dan Om BMW. Mereka jelas mengkhawatirkan si Bengal. Tapi yang dikhawatirin malah menunjukkan wajah sumringah. Biangane tenan ok. Tentu saja ini bukan tanpa alasan, Nanto memang selalu menantikan bertemu dengan orang-orang yang lebih kuat dan lebih tangguh, karena dengan begitulah ia bisa menempa diri.
Deka menggeleng kepala, “Nanto akan selalu menjadi Nanto.”
Bian menatapnya, “apa maksudmu?”
“Dia itu bajingan kalau soal bertarung. Sudah berapa kali dia memaksa berhadapan dengan yang lawan yang lebih kuat, lalu berusaha keras entah bagaimana caranya untuk melampaui kemampuan lawannya itu? Dia selalu menemukan jalan untuk menjebol batas atas kemampuannya sendiri. Itu yang dia lakukan sekarang, dia selalu tertantang berhadapan dengan lawan yang lebih kuat – terlepas dari sifatnya yang selalu pasang badan di depan kawan.”
Pemuda bandel itu mengangguk dan setuju dengan apa kata Deka. “Bajingan memang Nanto. Memanfaatkan situasi gawat, justru untuk mengasah kemampuan diri. Tapi ia melakukannya bukan tanpa alasan, ia melakukannya demi kawan-kawannya.”
Itulah kenapa mereka dari Lima Jari selalu berada di sisi si Bengal dengan setia. Karena dia tidak hanya sekali melindungi mereka, tapi sudah berkali-kali. Tak sekalipun Nanto pernah meninggalkan sahabat-sahabatnya di medan laga. Dia juga tidak hanya melindungi Lima Jari dan Aliansi, tapi siapapun juga yang dia anggap pantas dilindungi. Satu-satunya hal yang membuat mereka tegang – mungkin adalah ketika dia sudah ingin meningkatkan kemampuan, maka tidak ada apapun yang bisa menghalangi jalannya.
Sebagaimana manusia yang tak mudah puas dan ingin terus menerus meningkatkan diri, kita tidak akan berkembang jika kemampuan yang kita miliki hanya digunakan untuk menghadapi lawan atau ujian yang lebih mudah atau lebih lemah, kita juga tidak akan berkembang jika hanya selalu menjajal mereka yang sepadan dengan kita. Kita baru dapat meningkatkan kemampuan, menemukan gairah, dan meningkatkan batas diri saat menghadapi sesuatu atau seseorang yang memiliki kemampuan di atas jangkauan kita.
Memang di atas langit selalu ada langit, tapi langit yang lebih tinggi itu ada bagi kita untuk menjajal kemampuan maksimal dan menembus batasannya untuk berusaha menggapai tingkatan yang lebih tinggi itu dengan sekuat tenaga, mencoba melalui batasan diri tanpa bersikap jumawa, karena tantangan adalah ujian untuk mengembangkan diri.
Kali ini pun begitu – Nanto ingin menjajal kemampuan Om BMW bukan karena ia merasa yakin akan menang, justru sebaliknya. Ia yakin sekali ia akan kerepotan menghadapi sang pucuk pimpinan Dinasti Baru – tapi jika ia mampu mencari cara untuk mengatasinya, itu tandanya ia berhasil mencapai level yang lebih tinggi. Jadi harus dicoba!
Tapi mungkinkah kali ini dia menantang orang yang salah?
Amar Barok tidak bisa membiarkan ini terjadi, sang punggawa sayap kanan Dinasti Baru itu melompat ke tengah laga antara Nanto dan om BMW. Kakak Deka itu membungkuk hormat di hadapan sang pimpinan.
Nanto mundur selangkah. Om BMW menatap ke arah Amar dengan heran.
Amar tidak menunggu waktu lama untuk menjelaskan. “Mohon kebijaksanaan dan pertimbangannya, Bos. Dia dan kawan-kawannya baru saja membantu saya mengusir RKZ dari lokasi kita. Mungkin bisa dijadikan tolak ukur sebelum Bos menghadapi mereka. Saya yakin mereka bukan tandingan pemimpin tertinggi Dinasti Baru – bahkan jika mereka berlima maju bersamaan sekalipun.”
Om BMW menatap Amar dengan tegas. Ia melirik ke arah anak buahnya yang lain, ke Edi Jerangkong, lalu ke arah Nanto dan kawan-kawan.
“Tapi kita tidak bisa membiarkan nama kita tercoreng oleh anak-anak kelas piyik begini. Mereka juga bukan kelompok main-main rasanya – mereka tergabung ke Aliansi. Kamu tahu sendiri bagaimana mereka meluluhlantakkan KSN.” Kata Om BMW sambil menggeleng kepala, “tidak. Tidak bisa. Kita tidak boleh membiarkan masalah ini berlarut-larut. Harus ada penyelesaiannya.”
Amar kebingungan menatap Om BMW, lalu ia berbalik menatap Deka, Nanto, dan yang lain. Bagaimana… bagaimana cara menyelamatkan adiknya? Mungkin… hanya ada satu cara.
Amar mendesah panjang. “Saya ada satu usulan. Mohon dipertimbangkan.”
“Apa itu?” Om BMW menghela napas, Amar adalah salah satu punggawa setia Dinasti Baru, ia tidak bisa tidak mendengar kata-katanya. “Kamu salah satu orang terbaik Dinasti Baru, pasti akan aku pertimbangkan apapun usulanmu.”
“Tarung Antar Wakil. Lima Jari melawan Dinasti Baru, lokasi tuan rumah di lapangan markas Talatawon di Universitas Teknologi Digdaya, tanggal menyusul kemudian. Tiga lawan tiga.”
Nanto dan Lima Jari saling berpandangan. Tarung Antar Wakil? Melawan Dinasti Baru?
Om BMW bersidekap, “mereka tidak sepadan dengan kita. Mengapa kita harus melayani mereka dalam Tarung Antar Wakil? Bahkan kalau mereka turun sebagai Aliansi pun, kita masih belum sepadan. Cuma rombongan anak-anak yang sok jago. Apa maksudmu dengan Tarung Antar Wakil?”
“Supaya tidak berjatuhan korban yang tidak diperlukan hanya untuk membenahi opini dan pandangan masing-masing kelompok, Bos. Ini semua masalah kecil yang sebenarnya tidak perlu berlarut-larut. Aliansi punya wilayah sendiri di utara, sebagaimana Dinasti Baru punya wilayah lain di perbatasan utara selatan. Kita bisa menyelesaikan permasalahan ini di mimbar tersebut dengan lebih elegan.”
Om BMW menggeleng kepala, dia masih belum yakin masalah ini perlu diselesaikan di Tarung Antar Wakil. Dia sendiri pun sebenarnya sudah cukup menghabisi mereka berlima. Tapi karena masih memandang status Amar, Om BMW mengangkat bahu, “apa yang dipertaruhkan? Kalau kita menang atau kalah? Aku tidak mau mempertaruhkan nama besar Dinasti Baru di ajang busuk dengan lawan yang tidak sepadan dengan kita. Sebutkan apa yang dipertaruhkan, dan akan aku pertimbangkan.”
Amar menatap Nanto. Si Bengal mengangguk, dia paham.
“Baiklah. Sepertinya cara itu lebih baik, tidak perlu ada korban yang lebih banyak, dan kita tidak akan mempertaruhkan eksistensi kelompok di ajang pertarungan. Kalau ada yang kalah maka mereka tidak akan bubar atau dibubarkan.” Ucap Nanto, “kalau Dinasti Baru menang – kami akan mengaku kalah dan Lima Jari akan mengundurkan diri dari Aliansi. Kami dari Lima Jari juga tidak akan ikut campur seandainya ada pertikaian antara Aliansi atau Dinasti Baru.”
“Hmm… kalau kalian yang menang?”
“Maka semua permusuhan dan dendam di antara kita dianggap lunas dan Dinasti Baru wajib membantu Aliansi dalam pertikaian melawan kelompok besar seandainya suatu saat pecah, entah itu lawan QZK, PSG, ataupun JXG. Bagaimana?”
Om BMW mengelus-elus janggutnya dan mengangguk-angguk, lalu dia tertawa. “Hahahaha. Kurang! Bocah edan! Kamu pikir syaratmu itu sepadan? Tidak! Tidak imbang! Kalau kami menang, maka Aliansi harus melebur di bawah Dinasti Baru untuk menaklukkan semua wilayah utara dan harus mau turun di garda terdepan! Termasuk jika kami berperang melawan QZK sekalipun! Bagaimana? Hahahahahaha.”
Nanto menatap satu persatu kawan-kawannya. Wajah mereka tegang, mereka tahu keputusan harus segera diambil dan suara mereka dibutuhkan si Bengal, semuanya mengangguk. Tidak mungkin mengatakan tidak bukan? Meskipun banyak yang dipertaruhkan, intinya hanya satu – mereka harus menang, titik.
Melihat persetujuan kawan-kawannya, Nanto menatap tajam ke arah Om BMW. “Baik. Setuju.”
“Hahahaha. Mantap jiwa, cah edan!”
“Apakah ini artinya deal?” tanya Nanto lagi, “kita akan mengadakan Tarung Antar Wakil?”
“Hahahaha. Siapa bilang ini deal?” Om BMW tertawa terbahak-bahak saat mendengar pertanyaan Nanto, “itu kan tadi baru usulan dari Amar. Aku belum mengiyakan atau mengatakan tidak.”
Amar kaget mendengar ucapan sang pimpinan.
Nanto yang merasa tertipu lantas menggeram, “jadi bagaimana?”
“Bos, tidak lama lagi polisi pasti akan sampai di tempat ini.” ujar Amar. “Harap segera ambil keputusan yang bijaksana.”
Om BMW mengangguk. “Baiklah. Ini karena aku mempercayai apapun yang diusulkan oleh Amar maka aku akan menyetujuinya. Tapi… nah, ada tapinya, ada syaratnya! Aku hanya mau melakukan ini semua jika kamu bersedia menerima syarat dariku.”
Nanto mengangkat bahu. Dia tidak peduli. “Sebutkan saja, Om.”
“Aku hanya akan menyetujui diadakannya Tarung Antar Wakil antara kalian dan Dinasti Baru hanya jika kamu mau menerima tiga serangan dariku pagi ini. Jika menolak syarat yang aku berikan ini, maka hari ini juga Dinasti Baru akan bergerak untuk membumi-hanguskan Aliansi. Kami tidak peduli kalaupun kami harus masuk ke kampus-kampus untuk melakukannya.” kembali Om BMW bersidekap dengan jumawa. “Nah, bagaimana? Keputusan ada di tanganmu.”
Nanto menggemeretakkan gigi dengan geram. Itu artinya dia tidak punya pilihan bukan? Dia harus mau menerima tiga pukulan dari sang pemuka Dinasti Baru. “Saya tidak ingin tidak hormat, Om… tapi jika memang harus… saya terima syaratnya! Saya siap menerima tiga serangan pimpinan Dinasti Baru!”
Amar menggeleng kepala melihat kebebalan si Bengal. Ia mencoba maju sekali lagi, “Bos, mohon kebijaksanaannya. Mereka ini cuma anak-anak yang baru masuk kuliah, usia masih sangat muda dan sering membuat keputusan yang salah. Mungkin bisa dipertimbangkan kemba…”
Om BMW mengangkat tangan dan membentangkannya pada Amar. “Apakah tidak cukup satu usulanmu aku lakukan hari ini? Aku sebenarnya tidak peduli mereka siapa. Seperti yang kamu inginkan, urusan kita akan diselesaikan dengan Tarung Antar Wakil, jadi mereka harus pantas berdiri sejajar dengan kita. Untuk apa kita bertarung di ajang itu dengan lawan yang lebih lemah? Mau ditaruh di mana mukaku nanti dengan menyetujui pertarungan seperti itu? Kalau mereka memang ingin sejajar, maka mereka harus diperlakukan sejajar. Aku sudah mengambil keputusan.”
Amar terdiam. Dia sudah tak bisa apa-apa lagi kalau Om BMW sudah begitu. Dia menatap Deka dan menggelengkan kepala. Deka menarik napas panjang, nasib mereka akan ditentukan oleh kemampuan Nanto kali ini. Mampukah dia bertahan?
Om BMW melirik ke satu arah di balik rimbunnya pohon rambutan sambil tersenyum, “Aku tidak mau malu menyetujui ajang Tarung Antar Wakil dengan lawan yang lebih lemah, apalagi ada perwakilan dari QZK dan JXG yang sedang menonton kita pagi ini.”
Amar terkesiap, ia memandang ke arah yang sama. Perlahan-lahan ia juga merasakan energi Ki besar yang menyeruak dari arah tersebut. “I-ini… tenaga milik Pak Pos?”
Om BMW mengangguk sambil mencibir. “Dia sudah semakin meningkat kemampuannya. Salah satu dari pengguna terakhir ilmu kanuragan Inti Angin Sakti selain Pak Zein. Entah apa maunya sang Tukang Pos memperlihatkan hidungnya di tempat ini pagi ini. Sepertinya jadi penanda kalau JXG sudah mulai turun gelanggang. Mereka mengamati calon-calon lawan dengan mengutus keempat mata panah-nya kemana-mana.”
“Ada dua pengguna Ki lain yang bersama Pak Pos.”
“Mereka dari QZK. Mungkin dua kapten mudanya, aku belum pernah bertemu mereka.” Ujar Om BMW. “Pattern aliran tenaga Ki tidak bisa dibohongi.”
“Bagaimana ini? Jadi tidak? Aku sudah menunggu!” pancing Nanto yang dicuekin.
Om BMW kembali fokus pada si Bengal, ia maju tanpa banyak bicara. Sang pemuka Dinasti Baru menepuk kedua tangannya seperti gerakan membersihkan debu dari telapak tangan sembari menggumamkan sesuatu yang tak terdengar. Ia menarik mundur tangan kanan dan kiri bersamaan, lalu menyorongkan keduanya ke depan secara bersamaan.
Om BMW melakukannya sembari setengah berlari ke arah si Bengal. “Sambut yang ini!”
Nanto tak hendak melawan, karena memang ia hanya diperbolehkan menerima serangan saja. Si Bengal menundukkan kepala, berbisik lembut pada dirinya sendiri. Ia merapal gerbang ketiga Kidung Sandhyakala.
Si Bengal menggerakkan tangan ke depan, seakan menyiapkan kedua tangan untuk menyambut dua telapak dari sang pemuka Dinasti Baru. Tapi Om BMW tidak begitu saja menerimanya. Tangannya yang menyorong ke depan berkelit dengan mudah bak seekor ular berbisa yang melompat untuk menyerang lawan, lalu dengan cekatan tangan itu menyambar dadar Nanto dengan kuatnya! Patukan ular berbisa!
Bkkgh!
Sambaran itu datang begitu cepat sehingga menyentak si Bengal yang terkejut dan tak sempat menyelesaikan rapalannya! Tubuh Nanto terdesak ke belakang hingga ia jatuh terguling hingga beberapa kali! Nanto baru berhenti saat ia terganjal pot beton di pinggir trotoar.
Jbkgh!
“Nyuuuuk!” Deka dan kawan-kawan menghampiri Nanto.
Si Bengal menyorongkan telapak tangan ke arah mereka. menandakan bahwa ia tidak apa-apa. Meski begitu ia tersengal-sengal, keringatnya mengalir deras, tubuhnya gemetaran. Begini rasanya menerima hantaman tanpa dilindungi oleh Gerbang Pertahanan. Runyam rasanya luar dalam.
Nanto mencoba berdiri dengan menggunakan pot beton sebagai tumpuan tangan.
“Hakgh!”
Semburat darah keluar dari mulutnya. Ia kembali roboh.
Semua anggota Dinasti Baru bersorak-sorai, berteriak riuh dengan penuh rasa jumawa. Kalau sampai si Bengal gagal menahan tiga pukulan dari Om BMW, maka mulai hari ini Dinasti Baru akan merajalela di utara.
“Nyuk!” Deka kembali maju dengan khawatir.
Nanto menggelengkan kepala sembari melambaikan tangan, ia membuang ludah darah. Si Bengal menatap Deka dan kawan-kawan. “Jangan mendekat! Tidak perlu khawatir, aku tidak apa-apa. Yang seperti ini tidak akan membunuhku.”
Deka mendengus kesal karena tidak bisa berbuat apa-apa untuk membantu si Bengal, tapi dia tahu memang tidak ada gunanya mendekati Nanto saat sedang dalam fighting mode begini. Kalah? Mungkin saja, tapi menyerah? Tidak akan. Bocah gemblung itu tak akan pernah menyerah.
Nanto berdiri dengan kaki bergetar hebat dan tubuh gemetaran. Kembali ia menggunakan pot beton sebagai tumpuan tangan. Luar biasa sambaran yang barusan, hanya sekali tapi bisa membuatnya seperti ini. Padahal dia juga tidak merasakan aliran Ki yang berlebihan.
“Om BMW. Aku sudah menerima pukulan pertama… sisanya tinggal dua, kan?”
“Cah bagus, sebaiknya kamu menyerah dan mengaku kalah. Segera batalkan kedua pukulan sisa. Sekarang saja kamu sudah tidak kuat berdiri padahal baru menerima satu pukulan saja. Aku buka kartu, Patukan Kobra yang pertama tadi bahkan hanya sekitar dua puluh persen dari seluruh kekuatanku.” ucap OM BMW, “aku tidak tahu apa yang membuatmu begitu ngotot. Menakjubkan, tapi konyol. Ayolah, sudahi saja. Pukulanku yang berikutnya bisa lebih besar lagi tenaganya.”
“Maju, Om!”
Om BMW geleng-geleng kepala. “Kamu sendiri yang cari mati. Jangan salahkan aku.”
Pria berbadan besar itu melejit ke depan, gerakannya mirip seperti yang awal tadi. Nanto bersiap menerima serangan, tapi kali ini dia tidak menyorongkan tangan sama sekali, ia bahkan pasrah saja dengan tatapan mata menatap ke depan. Mulutnya bergumam mencoba mengucapkan rapalan Gerbang Pertahanan.
Tangan Nanto secara reflek diangkat ke depan untuk membentuk kuda-kuda.
Tapi sekali lagi, Om BMW lebih cepat dari gerakan bibirnya mengucap rapalan.
Pertahanan Nanto bisa dilewatkan dengan mudahnya. Om BMW menekuk siku tangannya sedikit dan memutar tangannya dengan gerakan yang tak terbayangkan – tangan Om BMW meliuk bak tanpa tulang untuk masuk ke dalam pertahanan si Bengal! Semua yang menyaksikan terpukau karena tangan Om BMW bisa bergerak dan menekuk secara mustahil. Lagi-lagi Patukan Kobra.
Bkgh!
Terjangan hantaman pertama mengenai dada Nanto, bahkan energi yang dikeluarkan dari kepalan tangan Om BMW sudah sanggup membuatnya terdesak! Untungnya pertahanannya berfungsi kali ini, tepat pada saat dibutuhkan! Nanto hanya berputar saja, tanpa terlempar jauh. Om BMW terkejut karena sodokan energi Ki yang ia keluarkan gagal menemui sasaran. Kali ini kepalan tangan Om BMW benar-benar masuk dan menyeruak ke tubuh sang pemuda.
Nanto tidak melawan dan tidak mengaktifkan Gerbang Kewaspadaan atau Gerbang Kecepatan karena dia tidak ingin menghindar. Tujuannya adalah menerima pukulan, dan itu yang ia lakukan. Tanpa perlindungan, tanpa tedeng, tanpa aling-aling.
Untuk keduakalinya, tubuh Nanto terbang ke belakang, dia terguling, terhentak di tanah, terbanting di aspal, dan tersentak-sentak beberapa kali.
Amar Barok, Deka, Hageng, Roy, dan Bian hanya dapat menyaksikan adegan itu dengan ngeri. Mereka tidak bisa mendekat karena Nanto sendiri yang meminta. Tapi kalau melihat keadaannya sekarang… bisa-bisa dia mati!
Akhirnya tubuh si Bengal berhenti terguling, dan ia pun roboh tanpa bergerak lagi.
Semua yang menyaksikan terhenyak sesaat.
Om BMW yang menyaksikan robohnya Nanto kemudian menghempaskan napas dari dalam mulutnya, dan menggeleng kepala. Amar menatap Om BMW dengan khawatir. Jangan-jangan sang ketua sudah membunuhnya? Patukan Kobra sang pimpinan bukan pukulan main-main.
“Anak ini alot sekali. Tapi pertahanannya luar biasa di luar dugaan. Sampai saat inipun aku masih merasakan tenaga Ki-nya menyala melindungi. Tanpa pertahanan yang luar biasa, dia pasti sudah tewas sejak tadi.” ucap Om BMW sembari mendengus menatap si Bengal. Tidak ada perlawanan lagi, Nanto sudah tamat. Sang ketua pun membalikkan badan, “Selesai sudah. Jadi mulai sekarang…”
“Hakgh. Serangan yang pertama dua puluh persen. Serangan yang kedua sekitar lima puluh persen. Yang ketiga mau berapa persen?”
Suara itu!? Om BMW terbelalak dan memutar badan. Tidak mungkin! Tidak mungkin! Impossible! Tempe gembus kapur barus obat murus-murus! Ajaib! Pemuda itu masih bisa bangun? Mulut sang pemuka Dinasti Baru terbuka lebar melihat demonstrasi kekuatan Nanto di depan matanya.
Perlahan-lahan Nanto bergerak, sesaat berikutnya ia mencoba duduk. Tapi karena kondisinya lemah, dia jatuh kembali. Terengah-engah Nanto menatap tajam sang pimpinan Dinasti Baru, ia mengelap bibirnya yang berdarah dengan punggung tangan, lalu menghentakkan lengan sebagai tumpuan, dan untuk kedua kalinya mencoba berdiri kembali.
“Nyuk! Sudah! Jangan bunuh diri! Kita sudah…” Deka mencoba menyadarkan Nanto, tapi si Bengal adalah si Bengal.
Nanto tersenyum menatap Deka dan menggelengkan kepala.
Si Gondes lemas melihat sahabatnya.
Setelah menolak usulan Deka, Ia kembali menatap ke depan ke arah Om BMW. Seandainya bisa – seandainya bisa, dia ingin rebah, rebah saja, istirahat sejenak, tidak ingin berdiri lagi. Tapi seorang laki-laki harus menepati janji, bukan? Dia masih harus menerima satu pukulan lagi.
Nanto menarik napas dalam-dalam, menghirup segarnya udara pagi. Ia bersila dan memejamkan mata, mencoba mengalirkan tenaga murni ke seluruh tubuh. Hawa panas terasa di tiap bagian penting tubuhnya. Ki sejati dialirkan dan berputar-putar, mengisi tiap ruang dan tiap sisi dalam tubuhnya.
Om BMW tak percaya menatap Nanto yang masih bertahan. Patukan Kobra yang ia sentakkan tadi ternyata tidak sanggup membuat Nanto pingsan. Baiklah, kalau begitu, dia harus meningkatkan kekuatan yang ia gunakan untuk menerjang si Bengal. Dari dua puluh persen naik ke lima puluh persen, sekarang siap digeber penuh! Sekarang… dia harus serius dan menuntaskan pemuda ini!
Nanto membuka mata, ia bangkit meski masih agak lemah. Si Bengal berjalan tertatih menemui sang Ketua Dinasti Baru.
Nanto dan Om BMW berdiri berhadapan, saling mengukur kekuatan – kali ini keduanya serius. Jarak antara mereka tidak jauh, mungkin hanya empat meter. Siapa yang akan terlebih dahulu? Amar menatap khawatir pada Deka dan kawan-kawannya. Mereka mungkin memang kuat, bisa dibuktikan dengan kemampuan saat berhadapan dengan RKZ tadi. Tapi ketua Dinasti Baru? Dia punya level yang berbeda. Ini bukan lagi ajang main-main.
“Ucapkan kata-kata terakhirmu.” Bisik Om BMW.
“Aku pengen makan sate.”
Om BMW tersenyum sinis sembari geleng-geleng kepala.
Nanto menatap tajam tanpa ekspresi.
Om BMW mengangkat kepalannya sampai ke depan wajah, senyum sinisnya makin mengembang, matanya tajam menatap si Bengal, bibirnya bergumam. “Tereptrep in awakku, gebyar-gebyar panuwunku. Watu item ing tanganku, katrajang remuk ilang tanpo banyu. Kasebut lathi mantra aji. Awak wesi, getih geni. Ajiku Prana Pasopati.”
Mata si Bengal perlahan-lahan membesar, ia terbelalak dan mulutnya menganga.
Ki dahsyat yang tadi ia rasakan dari tubuh Om BMW, kini meningkat berlipat ganda hingga batas yang tak sanggup ia bayangkan. Luar biasa kemampuan orang ini! Kekuatannya sangat mengerikan, jauh lebih besar dari Darsono – orang kuat terakhir yang bertarung dengannya.
Tapi bukannya ketakutan, si Bengal justru tersenyum lebar. Justru ini yang dia cari-cari – adu kekuatan dengan orang yang sudah pasti lebih kuat dan lebih hebat.
“Luar biasa Ki njenengan, Om BMW. Jujur saya kagum.” Kata si Bengal terus terang. Ia mengubah kuda-kudanya. Kini ia membuka kaki melebar, badan menunduk, tubuh menyamping, pandangan lurus ke depan, tangan dibentangkan. Terasa Ki dari Nanto juga mulai menanjak. Dia tidak mungkin menerima begitu saja serangan kali ini tanpa penahan, dia harus mengaktifkan gerbang keempat!
Kidung Sandhyakala ya? Om BMW mendengus dan tersenyum sinis, Ki segini mau melawannya? Mimpi!
Sang pemuka Dinasti Baru melangkah mendekat ke arah Nanto, ia menarik kepalan tangan kanannya ke belakang, menggenggam erat, merancakkan tenaga di seluruh tubuh untuk pertahanan, dan memusatkan Ki penyerang ke satu titik ledak dalam genggaman. Ia tidak akan menggunakan semua kekuatan – tapi ia pastikan untuk membuat si bocah terjengkang terkagum-kagum!
Kaki kiri dihentakkan, tubuh melecut, tangan dihempaskan ke depan, kepalan tangan melayang dengan kecepatan tinggi! Jurus pertama dari ilmu kanuragan Prana Pasopati! Pukulan Bulan Sabit!
Nanto bersiap, ia menyilangkan tangan di depan wajah. Ki diledakkan, mulutnya bergumam. Hanya ada satu jurus yang ia kuasai yang mungkin dapat menandingi kehebatan pukulan Om BMW. Gerbang Pertahanan Kidung Sandhyakala. Dicoba saja!
“Kalis ing rubeda, nir ing sambikala.”
Blaaaaaam!
Lecutan pukulan Om BMW membentuk setengah lingkaran bagaikan bulan sabit. Pukulan dahsyatnya bertemu dengan pertahanan Nanto yang menggila dengan curahan Ki penuh. Gerbang pertahanan dibuka sampai ke titik maksimal.
Meski gerbang ketiga dibuka, namun Nanto tetap terseret mundur oleh gebrakan dahsyat pukulan sang pemuka Dinasti Baru. Nanto terseret ke belakang hampir lima meter, sebelum akhirnya Ia terjerembab ke belakang, meski sempat terduduk satu kaki, namun Nanto bisa menguasai diri dan posisinya sendiri. Nanto menggapai keseimbangan tubuh sebisanya, dan ia bertahan tanpa jatuh ke aspal. Si Bengal sukses menahan Pukulan Bulan Sabit!
Banyak orang terhenyak menyaksikannya!
Siapa pemuda cabe rawit ini?
Bagaimana bisa dia menahan serangan dahsyat dari sang pimpinan Dinasti Baru?
Nanto terengah-engah, ia tersedak dan memuntahkan kembali darah. Dia bukannya menerima begitu saja pukulan yang baru saja menyerangnya. Dia juga menggunakan perhitungan dengan melepaskan pertahanan ekstra. Sayang memang, tiap kali gerbang ketiga dibuka, dia harus mengorbankan Ki yang cukup besar. Sama juga dengan saat ini – beruntung dia sudah dilatih Om Janu untuk membuka keran Ki hingga tahap maksimal meski masih berbatas di bawah segel. Nanto tahu dengan pasti, dia tidak akan mampu menerima pukulan keempat seandainya ada.
Om BMW melotot melihat tangannya bergetar. Dia bagaikan baru saja menghantam sebuah baja yang tergeser! Meski tubuh Nanto memang mencelat mundur, tapi dia sama sekali tidak menyangka ada seorang muda yang sudah sanggup menahan serangan pertama Prana Pasopati-nya! Siapa bocah ini? Dia sudah pernah melihat Kidung Sandhyakala, tapi tak menyangka bocah ini mampu mempraktekkan gerbang keempat dengan baik. Apakah dia benar-benar dipaksa harus menyalakan seluruh Ki demi berhadapan dengan bocah ini?
Om BMW menatap Nanto. Si Bengal menatap balik.
Keduanya terdiam.
Ki menyala, siap tarung ulang.
Om BMW mendengus, “Bocah… kamu membuatku penasaran. Jurus pertahananmu membuat aku ingin menghabisimu saat ini juga. Jadi sepertinya aku tidak ingin menunggu sampai…”
“Bubaaaaaaar! Bubaaaaaaaaarr! Hongip!!” teriak salah seorang penjaga jalan dari Dinasti Baru. “Hongip!!”
Suara sirene polisi terdengar, satu persatu anggota Dinasti Baru membubarkan diri sesuai perintah atasan yang mengambil jalan aman untuk tidak mencari masalah lebih jauh. Mereka sudah menahan pihak yang berwajib terlalu lama. Saatnya membubarkan diri.
Om BMW mendengus dan terkekeh, ia kembali menatap Nanto dengan anggukan kepala puas, dia sangat senang bisa berhadapan dengan orang muda yang kemampuannya mumpuni seperti si Bengal. Sayang sekali dia tidak sempat menuntaskannya. Pertarungan hari ini sudah dipastikan berakhir, tapi pertarungan berikutnya akan menjadi ajang yang sebenarnya.
“Kita cukupkan sekian saja perkenalan hari ini, sayang sekali terlalu singkat.” ucap Om BMW sambil membersihkan tangannya dengan tepukan, “sayang juga tenagamu masih berada dalam kuncian, disegel tak bisa dibuka. Aku ingin menjajalnya ketika ilmu-mu berada di puncak. Tidak lagi nanggung seperti sekarang. Aku yakin bisa menembus pertahananmu dengan seratus persen Prana Pasopati. Jadi capailah Ki tertinggi, jadilah kuat. Ketika saat itu tiba, kita bisa bandingkan mana yang lebih hebat. Prana Pasopati atau Kidung Sandhyakala.”
Nanto mendengus, tapi kemudian mengangguk sambil tersenyum, dia juga kagum dengan kekuatan Om BMW yang masih belum nampak jelas, dia menyimpan kekuatan yang lebih besar dan tidak ditunjukkannya pagi ini. “Hanya orang-orang berkemampuan linuwih yang memahami keberadaan segel kekuatan. Njenengan memang punya kanuragan papan atas, Om. Jadi mau tidak mau suka tidak suka saya harus mengakui kalau saat ini kemampuan kita tidak sepadan. Saya yang saat ini pasti akan sangat kerepotan untuk bisa mengatasi satu saja jurus dari ilmu kanuragan Prana Pasopati yang njenengan kuasai – sedikit banyak saya sudah merasakannya meskipun Om belum mengerahkan segenap kekuatan. Tapi saya ingin menjajalnya lagi kelak dengan kemampuan yang lebih sempurna, jadi saya harap – kita berdua bisa sehat untuk kembali bertemu di ajang Tarung Antar Wakil.”
Nanto mengulurkan tangan untuk bersalaman. Om BMW tertawa, ia membalas salam itu. Tangan keduanya saling menggenggam erat, berjanji untuk kelak bertemu menguji diri.
“Percaya diri, menyimpan banyak rahasia, yakin pada kemampuan untuk meningkatkan diri, dan tahu bagaimana harus bersikap. Kombinasi yang unik dari laki-laki semuda kamu. Sungguh mati aku jadi penasaran.” Om BMW kembali tertawa, ia melepaskan salamannya. “Kamu menarik, cah bagus. Kemampuanmu pasti akan meningkat! Aku yakin. Mudah-mudahan saat kita bertemu lagi, aku sudah bisa mencicipi ilmu kanuragan sempurna yang kamu kuasai. Aku akan menantikan saat bertemu kembali denganmu di medan laga!”
Om BMW membalik badan dan melangkah pergi sambil tersenyum.
“Siap.” Nanto menggenggam erat kepalan tangannya.
Ada yang membara dalam batinnya.
Saat Om BMW pergi, Nanto ambruk.
Deka dan kawan-kawan segera berlari menghampirinya.
Pertarungan hari ini usai.
.::..::..::..::.
Simon baru saja memarkirkan motornya di depan Indom@ret Jalan Kalipenyu kilometer sekian. Dia melepas helm dan mengaitkannya di kaca spion. Wajahnya yang tampan masih tersembunyi di balik masker yang ia kenakan. Pemuda bertubuh tinggi dan gagah itu lalu masuk ke dalam dan memilih kaleng minuman larutan penyegar rasa jambu, setelahnya ia ke bagian lain dari refrigerator, membuka pintunya dan menarik sebotol minuman teh kemasan.
Masih di lorong minuman, Simon beralih ke rak makanan kecil. Ia mengambil dua bungkus roti coklat keju, lalu beralih ke lorong berikutnya dan tersenyum saat melihat bungkus unik coklat yang berujung segitiga dan paling seru dipotek. Ia mengambil dua dan membawa apa yang ia beli ke kasir.
Sembari menunggu mbak-mbak kasir melakukan scanning barang yang ia beli, mata Simon menatap keluar. Di atas motornya, seorang gadis melambaikan tangan sembari tertawa manis. Gadis itu menunjuk jam tangannya. Simon pun mengangguk sambil menyunggingkan senyum lebar yang memamerkan lesung pipinya.
Maknyesss.
Mbak-mbak kasir Indom@ret menatap Simon dengan wajah memerah. Ini orang gantengnya gawat banget, damage-nya on point. Alhasil grogi-lah si Mbak-mbak kasir yang manis itu. Simon sendiri masih menatap gadis di atas motor dan menunjuk kursi dan meja yang ada di luar Indom@ret. Gadis itu mengangguk. Ia turun dari motor dan duduk di kursi yang baru saja ditunjuk oleh Simon.
Tak lama kemudian Simon pun keluar dari Indom@ret dan menyusul cewek yang tadi ia boncengkan. “Buat cewek perkasa yang sejak pagi sudah jogging dan bersedia menemaniku olahraga di Kalipenyu, aku persembahkan… es teh, roti, dan… coklat.”
Simon memberikan snack-nya pada Ara.
Ya, Ara.
Ara pagi tadi berbincang dengan Simon melalui WhatsApp dan ketika ia tahu Simon hendak jogging di Kalipenyu, gadis itu pun minta dijemput untuk ikut berolahraga. Kali ini mereka berdua sudah turun dari Kalipenyu dan mampir sebentar di Indom@ret untuk istirahat dan makan seadanya.
“Wow. Snack yang sangat lengkap.” Ara sumringah melihat makanan kecil yang dibeli oleh Simon. “Tidak lupa juga membeli coklat. Suka banget coklat ini, makasih yaaa.”
“Aku tahu kamu pasti suka. Tidak perlu dimakan sekarang. Aku hanya mau kasih saja sambil iseng-iseng, ucapan terima kasih karena pagi ini mau ikut nemenin jalan-jalan di Kalipenyu.”
“Suka sih suka. Tapi ini kan kontradiktif ya. Percuma dong pagi ini olahraga kalau ujung-ujungnya digempur coklat begini.”
“Tidak diet kan? Buat apa lah diet. Badan kamu sudah perfect. Tidak gemuk tidak kurus. Pas lah. Seksi dan menarik.”
“Ciyeee. Terus-terusin aja ngasih coklat, lama-lama juga bakalan gemuk.”
“Hehehe… kalau memang suka, pasti aku kasih terus. Mau kamu gemuk atau kurus, buat aku kamu tetap terlihat sempurna.” ujar Simon. Ia melihat Ara yang tiba-tiba saja memerah pipinya mengalihkan pandangan ke arah jauh, tidak ingin menatap wajahnya lekat-lekat. Simon berdehem, “Serius deh nanya, tunangan kamu apa tidak masalah kalau kamu pergi sama orang asing begini? Kalau aku jadi tunangan kamu, pasti bakal cemburu berat.”
“Kamu kan bukan orang asing. Dia sudah pernah ketemu kamu.”
“Bukan pertemuan yang baik sepertinya. Ada kesan dia tidak suka sama aku. Mungkin dia cemburu.”
“Tidak apa-apa.” Ara mencibir, “lama-lama juga dia pasti terbiasa. Kami baru tunangan, belum menikah. Kalau dari sekarang sudah dilarang-larang, mau seperti apa besok. Aku tidak ingin dikekang sebagaimana dia juga sepertinya juga tidak ingin dikekang.”
“Seperti ada nada permusuhan dan dendam, duka dan nestapa. Jangan-jangan kalian sedang berantem ya? Sudah mendapat solusi? Mungkin sebaiknya kalian bicarakan baik-baik dulu sebelum mengambil keputusan apapun yang akan kalian sesali. Mempertahankan memang lebih sulit daripada mencari. Aku tidak ingin menjadi masalah bagimu ke depan nanti.”
Ara terdiam, bukankah masalah antara dirinya dengan Deka semakin meruncing? Apakah tidak akan menjadi masalah jika dia pergi dengan Simon begini? Mungkin ya mungkin tidak, tapi dia hanya ingin merasakan ketenangan dalam hatinya. Dia resah dan gelisah, dia tidak bisa melupakan kenyataan bahwa si Bengal sudah punya kekasih yang baru – lho? Kok si Bengal? Apa hubungannya? Ya, dia masih tetap membayangkan Nanto. Dia masih sulit menerima kenyataan kalau pria yang pernah menjadi raja di hatinya kini menjadi raja di hati gadis lain.
Cinta pertama memang susah diusir dari sanubari. Melekat di hati, menjadi memori, sakit tapi terpatri, inginnya dilupakan tapi selalu teringat kembali. Setelah sekian lama, Ara mungkin baru menyadari – kalau Deka memang baik, tapi dia bukan Nanto. Bagaimanapun dia mencoba untuk meyakinkan diri sendiri kalau Deka lebih baik, lebih gentleman, lebih penyayang; tapi rasa aman itu tak kunjung tiba. Dia tidak merasa nyaman, dia selalu mencari sosok Nanto pada Deka, dan dia tidak menemukannya.
Mungkin ini saat yang tepat untuk jujur pada dirinya sendiri, apakah dia benar-benar tidak bisa hidup tanpa Deka dan bersedia bersanding dengannya sampai akhir hayat, ataukah kehidupan mereka berdua selama ini sebenarnya hanya impian di kertas buram.
“Ara?”
“Tidak ada. Tidak ada masalah kok. Kita berdua kan cuma berteman, ini juga sekedar jogging saja. Dia tidak bisa mendikteku siapa yang akan menjadi temanku seperti aku juga tidak ingin mendikte siapa saja yang akan menjadi temannya.”
Simon tersenyum, “kenapa bisa yakin begitu? Kita juga baru ketemu beberapa kali. Siapa tahu aku pembunuh berdarah dingin.”
“Lho, jangan salah! Siapa tahu justru aku yang pembunuh berdarah dingin. Lady Killer. Siapa tahu setelah ini aku bakal mutilasi dan giling kamu jadi daging cilok.” Seloroh Ara. “terus aku buka stand cilok tiap minggu pagi di Sunday Morning. Bahahaha.”
Simon terbahak, “guyonnya serem banget, Mbak. Jokes bapack-bapack.”
Ara mengangkat bahu dan tersenyum manis. “Aku banyak bergaul sama orang-orang serem.”
“Aku termasuk orang yang serem-kah?”
Ara mencibir, “orang serem kok bikin Mbak-mbak kasir lirik-lirik melulu ke sini.”
“Hah?” Simon jadi ikut memandang ke arah kasir. “Yang bener?”
“Ga usah dilihatin.”
Simon tertawa. “Jadi penasaran.”
“Lihat aku aja.”
“Boleh emang?”
“Lihat boleh pegang jangan.”
Simon tertawa sambil berdiri, kaleng minumannya sudah kosong. Ia pun melangkah menuju tempat sampah dan membuang kaleng minumannya di sana. Tapi sebelum sempat ia melangkah kembali ke arah Ara, ada seseorang yang memanggilnya dengan nada terkejut.
“Mas Simon?”
Pemuda tampan itu menengok dan kaget saat melihat wajah orang yang menyapanya.
“Nada?”
Bersambung