Part #10 : HUJAN TURUN

Di dunia yang gila, hanya orang gila yang waras.
– Akira Kurosawa

Nuke terlihat khawatir dan takut, sesekali ia melihat ke arah jalan. Gadis itu mengenakan hoodie-nya dengan rapat, sehingga wajahnya hanya terlihat segaris dalam lingkaran gelap. Dari kejauhan, sosoknya mirip sekali dengan karakter di game online yang mengajarkan pemainnya untuk saling tuding dan saling fitnah.

Saking inginnya bersembunyi, Nuke memepetkan tubuhnya ke badan sang Hyena Gila.

Begitu rapatnya posisi badan Nuke sampai-sampai Rao bisa merasakan tonjolan buah dada sang bidadari mendesak lengannya yang kekar. Grinjel-grinjel nggriseni tapi nyenengkeEmpuk-empuk piye ngunu lhoDabWasu og. Rasanya seperti dioles-oles bantal yang empuk, tebal, kenyal, dan hangat. Meski ukuran tonjolan dada sang dewi tidaklah masif, tapi cukup membuat seekor hyena blingsatan tak tau ujung pangkal dan bijinya.

Ditambah tangan Nuke pun mellingkar di lengan Rao karena ingin bersembunyi di sebalik tubuh sang mahasiswa angkatan embuh UAL itu. Alasannya sudah pasti, dia tidak ingin terlihat dari jalan raya. Persis seperti anak kucing berlindung pada sang induk. Sang hyena gila tidak bisa nolak, maunya arep nolak tapi kok enak. Wasu.

Rao mendengus. Wajahnya memerah, sehingga ia segan menatap ke arah Nuke. Tanpa memandang langsung ke sang dewi, Rao pun bertanya. “Ngapain kamu?”

“A-apa Mas?”

“Kamu itu lho… ngapain mepet-mepet?”

“Aku takut kalau duduk di meja sini aku bisa kelihatan dari jalan, Mas. Tahu sendiri orang-orang PSG itu seperti apa buasnya. Kalau sudah punya incaran, mereka tidak akan dengan mudah melepaskan. Aku hanya cari aman, Mas. Maaf ya.”

“Hilih. Masa ya mereka patroli 24 jam sehari cuma buat nyariin kamu. Parno banget. Jangan khawatir lah, lagian kan ada aku. Aku pasti bakal ngelindungin kamu.” Ujar Rao pelan tanpa berpikir apa yang baru saja ia ucapkan.

“Ha? Apa!? Sori, Mas. Barusan bising banget banyak mobil motor lewat. Aku ga denger.” Nuke tidak mendengarnya karena ucapan Rao terlampau pelan. Ketika suasana menjadi lebih tenang, Nuke bertanya. “Mas bilang apa tadi?”

Rao menarik napas panjang. Kampret. Mengucapkan kalimat yang sama dengan perhatian penuh dari Nuke pasti akan membuat wajahnya makin merah merona seperti pedasnya mie samyang dibubuki boncabe. Gadis ini bener-bener membuatnya bug-death amsyong.

Rao mendengus, “Tidak. Aku tidak bilang apa-apa.”

“Kayaknya tadi Mas bilang…”

“Kamu salah dengar. Sudah lupakan.”

“Iya deh.”

“Mau pesan apa?”

“Nasi goreng biasa aja, Mas. Pedes, telurnya di dadar utuh.”

Rao mengangguk, ia melepaskan diri dari Nuke dan melangkah menuju ruang penjual.

Mase! Pesen sego gorenge loro, ya. Nasgor biasa siji pedes, nasgor paru siji sedeng. Kabeh dinehi ndog dadarOh yo, ngombene es jeruk loro.” Kata Rao memesan makanan. Ia memesan dua nasi goreng, satunya original, satu lagi nasi goreng paru dengan tingkat kepedasan sedang. Dua-duanya pakai topping tambahan telur dadar utuh.

Nggih, Mas. Ashiyaaap.” Mas-mas penjual nasi goreng mengiyakan pesanan Rao. Meskipun mengutarakan jargon khas sang Youtuber, tapi jelas dia bukan Atta, beda kisaran harta, dan sama sekali tidak dekat dengan chef Renatta.

Untung bagi Rao dan Nuke, karena kebetulan warung sedang sepi, maka pesanan kedua orang itu pun segera dibuatkan. Rejeki anak rajin nongkrong.

Warung nasi goreng ini berada di wilayah kota bagian utara. Dari Jalan Pelukis Ahmadi lurus ke utara, dan dari perempatan ke utara lagi untuk sampai di terminal yang kalau malam dipakai sebagai lokasi jajan warga sekitar. Banyak sekali warung-warung tenda di sini, sebagian besar menjajakan makanan dengan lesehan. Nah, untuk sampai di warung yang saat ini dimasuki oleh Rao dan Nuke harus menjelajah sedikit ke utara lagi. Warung Nasi Goreng Nak Nan, ga akan salah ketemu warung ini karena ada nuansa merah mendominasi warungnya.

Rao dan Nuke duduk di posisi dekat pintu dan dekat jendela. Itu sebabnya Nuke mepet-mepet mendekat ke arah sang hyena gila.

Tak lama kemudian, es jeruk pesanan mereka hadir di atas meja. Setelah menyeruput es jeruk yang sudah dihidangkan, kedua insan itu sama-sama diam. Rao memainkan smartphone-nya untuk memeriksa pesan-pesan yang masuk sementara Nuke yang tidak ingin mengaktifkan ponsel hanya memainkan sendok dalam gelas – seakan-akan mengaduk gula adalah masalah penting bumi dan langit.

Saat melirik sang dewi yang ternyata tengah merasa bosan, Rao pun menutup ponsel dan meletakkannya di meja. Kalaupun untuk terpaksa dia harus bersama dengan gadis asing ini selama beberapa waktu ke depan, setidaknya dia harus tahu asal-usulnya kan.

“Jadi… aku masih belum paham kenapa orang-orang PSG mengincarmu. Mungkin kamu mau menceritakannya? Paling tidak supaya aku mengerti duduk permasalahannya.”

Wajah Nuke memerah mendengar pertanyaan Rao. Dia agak malu mengakui kalau alasannya hanya simpel – karena Joko Gunar sange dengannya. “Ehm, jawabannya agak personal sih, Mas. Yakin mau dengar ceritanya?”

“Kita tidak ada pekerjaan lain lagi. Sembari menunggu nasi gorengnya datang, tidak ada salahnya mendengar alasan kenapa kelompok preman tengah kota mengincar gadis seperti kamu. Tidak bermaksud meledek, tapi kamu sama sekali bukan target yang seharusnya dijadikan incaran oleh kelompok sebesar PSG. Pasti ada yang khusus atau spesial dari kamu.”

“Jujur Mas, aku juga bingung. Joko Gunar itu entah kenapa ngebet banget pengen nikahin aku – bikin takut, asli. Dulu dia pernah ikut sama Papa aku, yang kebetulan juga preman di daerah selatan. Tapi sejak Papa-ku bertobat, Joko Gunar memilih berpisah dari Papa. Ia membelot dan membentuk geng preman baru di Pasargede yang akhirnya menjadi PSG. Nah, setelah itu aku dan mantanku bikin semacam usaha kecil-kecilan di lokasi alun-alun kota, di lapangan. Lokasi ini ternyata jadi wilayah kekuasaan Bang Gunar.

“Awalnya sih tidak ada masalah berarti, tapi lama kelamaan baru terkuak kalau ternyata PSG itu sangat sewenang-wenang dan selalu menindas kami pedagang kecil. Itu sebabnya saat ada pemuda yang berani melakukan perlawanan, kami para pedagang kecil juga ikut menjadi berani dan melawan balik pada PSG. Tapi ya tahu sendiri, Mas… PSG itu sangat kuat, pemuda itu hanya akan membantu sekali dan sesudah itu pergi, kami yang akan setiap hari berhadapan dengan preman-premannya PSG. Karena takut Bang Gunar akan mencelakai para pedagang, aku terpaksa harus mengorbankan pemuda pemberani itu, dan melaporkan lokasi kuliahnya pada Bang Gunar.

“Sialnya aku tidak berhasil menggiring sang pemuda, justru jadinya berbalik aku yang menjadi incaran Bang Gunar. Sejak saat itu aku selalu diburu dan berpindah-pindah tempat. Aku bingung sekali, Mas. Tidak bisa pulang, tidak bisa kuliah, tidak bisa kerja… mau berapa lama hidup seperti ini?”

Rao mendengus.

Klasik.

Dari yang Nuke jelaskan barusan, Rao menangkap beberapa hal. Satu, Joko Gunar menginginkan gadis ini dan saat ia mendapatkan kesempatan, ia menghalalkan segala cara untuk mendesak dan menggunakan kekuasaannya untuk menekan Nuke sampai ujung batas kewarasan. Ia tahu pasti karena DoP juga beberapa kali menggunakan cara yang sama untuk mendesak beberapa lawan mereka di kampus UAL khususnya dari pihak BEM yang sering merongrong hegemoni DoP di kampus. Metode pepet terus, tarik sis, semongko.

“Lalu apa rencanamu sekarang?”

“Aku belum tahu, Mas. Masih bingung. Untuk sementara ini ya harus sembunyi dari waktu ke waktu karena PSG sering tahu-tahu muncul tanpa diduga-duga seperti kemarin.” Nuke menundukkan wajah, menenggelamkan kecantikannya di balik gelap bayangan hoodie yang dikenakan.

Rao melirik ke arahnya.

Dia melirik ke arah Nuke cukup lama.

Seorang pelayan cowok yang lenggokannya lebih gemulai dari iwak koyor mendekat ke arah Nuke dan Rao. Nasi goreng dihidangkan di depan mereka. “Nasi gorengnya ya, Mas. Ini yang paru. Ini yang original. Kalau ada yang kurang atau mau nambah, silakan panggil kami. Ada udang di balik bantal, ini kecap ini sambal. Kalau enak beritahu teman, kalau tidak enak, ya disimpan saja di hati. Jangan beritahu kami karena kami baperan setengah mati. Hihihi. Selamat menikmati.”

“Makasih ya, Mas.” Ucap Nuke ramah.

“Sama-sama mbak cantik.”

Setelah sang pelayan berlalu, Rao dan Nuke pun menikmati makan malam mereka. Makan malam tenang yang entah sudah berapa lama tidak dirasakan oleh sang dara jelita. Bersama dengan Rao, gadis itu merasa aman dan tenang. Perasaan yang mirip saat ia bersama dengan Nanto.

“Aku tidak selamanya bisa menolongmu dan kamu juga tidak bisa terus menerus tinggal di tempatku. Tapi untuk sementara waktu, aku akan melakukan apa yang aku bisa untuk mencari tahu, apa yang menyebabkan Joko Gunar begitu menginginkanmu. Seperti kamu bilang, kamu tidak bisa hidup seperti ini terus.”

“Iya Mas. Aku tahu kok, aku usahakan mencari alternatif lain untuk mencari keselamatan diri. Aku tahu ini bukan kehidupan yang normal. Aku pasti akan mencari tempat tinggal baru dan pekerjaan baru. Tidak ingin merepotkan siapa-siapa lagi. Aku hanya takut kalau orang-orang PSG itu…”

“Jangan takut kalau soal PSG. Tinggal di tempatku ataupun tidak, akan aku pastikan orang-orang PSG itu tidak akan dapat menyentuhmu bahkan sehelai rambutpun. Aku akan selalu melindungimu.” Eh? Kok ngomong begitu? Jinguk! Rao kaget sendiri dia bisa mengucapkan kalimat yang terlontar tanpa berpikir itu, tapi ya sudah terlanjur. Munyuk! Wasu!

Wajah Nuke memerah mendengarkan kalimat Rao. Dia menunduk malu tanpa menjawab.

Wajah Rao juga bersemu merah. Asem. Salah ngomong dia. Pria yang biasanya kasar itu sudah siap meralat kalimatnya, “Ma-maksudku… jangan khawatir.”

Bisik Nuke kemudian membuat Rao lebih adem.

“Terima kasih, Mas.”

“Ya.”

Hanya denting sendok bertemu piring yang beberapa saat kemudian terdengar dari meja mereka. Dua wajah tertunduk dan mata yang saling curi pandang tapi takut untuk bertatapan.

Sebuah cerita tentang rasa dan asa.

Di sudut kota bagian utara.

Nuke

Krooooook.

Suara kodok yang berbunyi nyaring terdengar di seluruh penjuru kolam, menembus tirai hujan yang kian deras mengisi bumi dengan basah di tiap jengkal sudut dan lekuknya. Lek Suman berlari kecil untuk bersembunyi di balik pintu gubuk, sementara Joko Gunar sang pimpinan PSG mengambil ancang-ancang dan mulai mengincar satu persatu lawannya.

Bentuk dan pose kuda-kuda Joko Gunar yang merunduk membuatnya benar-benar mirip seekor kodok besar, lengkap dengan bunyi suara kodok berteriak nyaring. Suara penuh ancaman dari jurus yang menakutkan.

Krooooook!

Bssshhhhhh!

Angin berhembus kencang dari tubuh sang Kodok Besar yang sedang mengumpulkan energi Ki. Tanah becek dan rumput basah di sekitar sang pimpinan PSG bergetar bagai hendak tercerabut terkena semburan energi yang keluar dari tubuhnya. Saat tenaga dilepas, rerumputan dan air hujan ikut terhempas.

Energi Ki menghentak hebat terasa hingga posisi di mana Jagal berada. Pria itu hanya terdiam dan mengamati dengan jeli di tengah guyuran hujan deras, dia mengamati area untuk memastikan lokasi yang akan jadi ajang pertarungan. Beberapa kolam yang dibagi-bagi oleh jalur tanah sebagai pematang yang hanya bisa digunakan berdiri satu orang di setiap lariknya. Bukan area ideal untuk bertempur bagi mereka, tapi area ideal untuk habitat seekor kodok besar.

Krooooook!

Sekali lagi Joko Gunar mengeluarkan suara. Suaranya terdengar berbeda, lebih nyaring dan lebih memekakkan telinga. Ki-nya sudah terkumpul. Ia sudah siap melesat ke depan! Tubuh gempalnya memutar, memastikan posisi, dan mengincar.

Bnnng! Booooom!

Tubuh Joko Gunar melesat ke depan!

Bagaikan letusan meriam yang kencang membuka tabir hujan deras, Joko Gunar melakukan loncatan katak dengan kecepatan dan kekuatan tinggi menuju ke arah Pak Pos! Semburat energi keluar dari tubuh yang lepas landas ibarat cannonball yang dahsyat. Terjangannya ibarat membentuk tabung yang tak tersentuh oleh air hujan, meluncur kencang ke depan.

Tapi belum sampai beberapa meter dia melesat, tiba-tiba saja…

Jbooooookghhhhhh!

Tak perlu menunggu waktu lama setelah Joko Gunar beraksi dengan jurus kodoknya, Jagal sudah melesat ke depan untuk menghempaskan tubuh bongsor sang Kodok Besar ke tanah yang becek. Pukulan kencangnya ke arah unyeng-unyeng merobohkan tubuh Joko. Membuat si tubuh gempal terjerembab ke bawah dengan dagu terhampar tanah.

Jbkkgh!

Tapi tentu tak semudah itu Joko Gunar menyerah. Meski kesakitan, dia justru berguling cepat menuju sang penyerang yang dengan anggun turun ke tanah tak jauh dari posisinya berada. Dengan berguling teramat cepat, Joko sampai di posisi di mana Jagal turun. Kedua tangan gempal Joko erat mencengkeram kaki Jagal yang tak menyangka lawannya akan menyerang secepat itu!

“Heaaaaaaaaaaaa!!” sang Kodok Besar berteriak kencang.

Kedua tangan Joko memegang pergelangan kaki Jagal, lalu menariknya ke depan untuk menjungkirkan tubuh sang lawan! Dari proporsi badan yang besar, Joko memang seharusnya mampu melempar badan Jagal hanya dalam sekali coba.

Serangan mengagetkan yang dilepaskan Joko ternyata berhasil dilakukan! Dia mengangkat dan melemparkan tubuh Jagal ke atas sekuat tenaga sehingga tubuh sang punggawa JXG itu terlontar ke belakang. Kekuatan alami Joko memang mengagumkan.

Hanya saja sama seperti Joko Gunar, tak semudah itu membuat sang Jagal terjatuh. Hanya dengan satu tangan menjejak tanah, Jagal berhasil melompat ke belakang dengan satu salto yang lembut dan anggun. Dia turun ke pematang yang ada di belakangnya tanpa terluka sedikitpun.

Tahu lawannya sangat berbahaya, Joko yang tadi hendak menyeberang kolam untuk menyerang Pak Pos kini mengalihkan serangan seutuhnya pada Jagal. Sang Kodok Besar kembali luruh ke bawah, tangannya mencengkeram tanah, dan mulai mempersiapkan lompatan katak yang kedua setelah tadi gagal.

Krooooook!

Bnnng! Booooom!

Joko Gunar melesat, Jagal bersiap. Sulaiman Seno memutar kaki kanannya ke belakang, memastikan tubuhnya menyamping untuk memanfaatkan lebar pematang yang sempit, sedikit menunduk, dan mengangkat dua kepalan – satu di depan dada, satu di samping. Area perlindungan ia buka dengan Kidung Sandhyakala.

Joko melesat bak anak panah lepas dari busur. Targetnya sudah jelas: sang Jagal.

Sulaiman Seno yang sedang berdiri di tengah pematang yang membelah dua kolam ikan sudah mempersiapkan perlindungan untuk mempertahankan diri. Mampukah pertahanannya bertahan dari serangan sang Kodok Besar?

Tubuh gempal Joko Gunar melesat bak lepasan kanon yang lepas dari meriam, energi dan kecepatannya seperti sanggup menghancurkan Jagal dengan sekali sentak.

Bisakah ia melakukannya?

Saat tubuhnya melesat ke depan dengan sebuah lontaran super, tanpa diduga tiba-tiba satu bayangan menyeruak di antara sang punggawa JXG dan pimpinan PSG itu. Dari belakang Sulaiman Seno, dia meluncur di area bawah, memutari tubuh si Jagal dan tanpa dapat diduga-duga oleh Joko, melepaskan hantaman dari bawah!

Uppercut!

Jbuaaakkghhhhhh!

Tak bisa menghindar, tubuh Joko terpelanting ke belakang, kembali ke tanah lapang di ujung pematang! Energi besar dari lontaran yang ia lakukan berhasil dipadamkan dengan mudah hanya menggunakan satu pukulan!

Joko terhempas berulang ke tanah, ia terguling, terpelanting, dan terbanting. Sekali, dua kali, tiga kali. Meski tak seberapa jauh terlontar, tak urung Joko harus menerima kenyataan pahit karena dua kali ditundukkan oleh orang-orang bawahan Pak Zein yang memiliki kemampuan mengejutkan ini.

Usai terguling-guling di tanah becek, Joko Gunar melakukan salto seakan rasa sakit yang baru ia rasakan tak terasa. Sang Kodok Besar kembali pada posisi jongkok, sambil bersungut-sungut ia menghapus darah yang keluar dari bibirnya. Hentakan pukulan yang kencang tadi membuat gusinya berdarah. Bangsat. Bisa-bisanya menyerang dari bawah.

Memangnya siapa yang barusaja bisa melakukannya? Joko mendengus saat melihat ke arah depan. Seorang pria bertubuh raksasa berdiri di antara Joko Gunar dan Jagal, dialah Rogo sang Barakuda. Joko mengangguk-angguk dan terkekeh. “Luar biasa. Jurus pukulanmu semakin membaik saja, Mas Rogo. Dengan tubuh sebesar itu dan bisa melesat bagai ular di tanah, kemampuan ajaib. Tak salah Pak Zein memilih kamu sekarang menjadi salah satu dari empat anak panah menggantikan tetua lama yang sudah pensiun.”

Lek Suman mengamati dari dalam gubuk. Joko sepertinya tersudut. Hendak menyerang Pak Pos, ditutup Jagal, mau menyerang Jagal, ditutup Rogo. Apakah keempat anak panah JXG benar-benar akan mengeroyok Joko Gunar? Bisa gawat juga kalau keempatnya maju bersamaan. Jurus kodok sepertinya tidak akan efektif menghadapi orang-orang ini karena mereka punya kekuatan hebat dan kecepatan tinggi. Meski daya ledak jurus kodok sebenarnya cukup ampuh, tapi tak mampu digunakan jika lawannya sekuat dan secepat keempat orang ini. Jurus kodok harus bisa digunakan secara cerdik. Apalagi akal Joko Gunar sekarang?

Lek Suman menarik napas panjang. Saat melihat wajah Joko Gunar sepertinya ia tidak perlu khawatir. Meski sekarang terlihat lemah, tapi pimpinan PSG itu masih terlihat tenang dan menantang. Lek Suman tahu bukan jurus kodok yang membuat Joko Gunar menjadi sosok yang mengerikan dan ditakuti di kawasan selatan – tapi sampai saat ini bahkan Lek Suman sendiri belum pernah melihat secara langsung Joko bertarung menggunakan kemampuannya yang sesungguhnya itu.

Mungkin hari ini adalah saat tersebut. Hari di mana Joko Gunar disergap empat punggawa JXG.

Lek Suman beralih mengamati lawan. Di antara pematang dan kolam-kolam ada Jagal dan Rogo. Di Keduanya jelas mumpuni. Jagal dengan kemampuan Kidung Sandhyakala adalah mantan murid langsung dari pimpinan QZK, dan Rogo dengan jurus tinju dahsyat yang disebut Genderang Dewa Perang – jurus yang baru saja melontarkan tubuh sang pimpinan PSG sampai kontal ke belakang. Belum lagi di seberang sana masih ada dua lawan lain.

Apa yang akan terjadi selanjutnya?

Di seberang posisi Joko Gunar berada, ada Pak Pos yang tengah jongkok di depan kolam, sementara sang Hantu hanya berdiri dan terdiam mengerikan dengan membawa payung.

“Hmm… aneh.” Pak Pos mengelus janggutnya.

“Hmm?”

“Aku bilang ini aneh. Jurus kodok milik Joko Gunar ini rasa-rasanya kok agak lemah ya? Tidak ada istimewanya. Maksudku jurus ini mungkin cukup kuat, tapi eksekusi Joko Gunar sedikit kendor. Tidak semantap yang pernah aku saksikan langsung dari Darsono di masa jayanya. Masa iya Darsono lebih kuat dari Joko Gunar?” Pak Pos menggelengkan kepala, ia sungguh tak habis pikir. “Jujur aku belum pernah menyaksikan secara langsung Joko Gunar bertarung, jadi masih abu-abu soal kemampuannya. Tapi kalau memang lemah begini… masa iya bisa jadi pimpinan PSG dan ditakuti banyak orang? Ini jelas ada yang aneh. Joko Gunar tidak mungkin hanya mengandalkan jurus kodok. Sepertinya ada yang dia sembunyikan. Sudah jelas dia belum menggunakan seratus persen kekuatannya.”

“Heheh.” Sang Hantu tersenyum menyeramkan, ia menggoyangkan-goyangkan kepalanya dan terkekeh-kekeh. “Joko Gunar tidak mungkin hanya mengandalkan jurus kodok. Sepertinya ada yang dia sembunyikan. Sudah jelas dia belum menggunakan seratus persen kekuatannya. Kekekekek. Joko Gunar tidak mungkin hanya mengandalkan jurus kodok.”

Pak Pos manggut-manggut. Sang Hantu memang sering mengulang perkataan orang. Dia sudah tidak heran lagi dengan keganjilan rekannya itu.

Perhatian mereka kembali beralih ke medan tempur di depan sana.

Rogo yang tadi berhasil menghalangi laju lontaran katak Joko Gunar, kini mempersiapkan kedua lengannya yang besar untuk melakukan serangan. Jika digambarkan secara umum, jurus unik milik Rogo bisa diibaratkan mirip gerakan seorang penabuh drum atau penabuh genderang yang menggebuk drumnya dengan pukulan bertubi-tubi. Tapi tidak hanya memukul dengan kekuatan tenaga mentah atau raw, karena setiap kali Rogo melontarkan tabuhannya, ia akan menyertainya dengan tenaga Ki yang makin menguatkan kekuatan hantaman.

Joko Gunar mendengus saat mengamati Rogo mempersiapkan pukulannya, selain Pukulan Geledek yang populer karena ampuhnya, Genderang Dewa Perang juga menjadi salah satu jurus hantaman yang menarik. Terlihat seperti pukulan yang mentah tapi sebenarnya bertenaga penghancur tinggi karena disertai oleh selimut Ki.

Joko Gunar tersenyum saat ia selesai merancang strategi, sang Kodok Besar segera memancing lawan yang bertubuh besar, “Mantap pukulanmu, Rogo. Ayo maju lagi! Hajar aku sampai mampus! Itu kan maumu? Itu kan mau kalian? Aku masih segar bugar seperti ini! Ternyata empat anak panah JXG tidak ada apa-apanya! Kalian tidak lebih dari cecurut di mata PSG! Bahkan keroco kelas teri di PSG sudah sanggup untuk mengalahkan Pak Zein sekalipun!”

Rogo mendengus bak seekor banteng melihat kain merah di ladang strawberry. Ia menggoyangkan kepalan dan melenturkan lengan. Langkah kakinya berderap mantap maju ke depan menyusuri pematang.

Melihat Rogo mulai bersiap dengan menggoyang kepalan seakan hendak menyambar kepalanya kembali, Joko Gunar segera mengambil posisi kuda-kuda seperti awal, tangan dan kaki membentuk posisi push up dengan tekukan yang sulit dijelaskan – mirip seekor kodok. Pandangan matanya nyalang menatap ke depan, menantang dan meradang.

Kroooooooook.

“Hmpf!” Rogo melompat tinggi dan dengan sekali usaha saja dia sudah sampai di atas Joko. Kedua tangan Rogo terjalin dengan jari membentuk ikatan terkait, tangan itu dia ayunkan ke atas kepala – seperti seakan-akan hendak menghunjamkan sebuah palu raksasa ke bawah, tepat ke ubun-ubun Joko Gunar.

Lek Suman yang mengamati dari jarak jauh tersenyum, ia berbisik dalam hati, “Rogo salah langkah. Jangan harap bisa berhasil dua kali memukul Joko Gunar berturut-turut.”

Kroooooooook.

Swooooosh! Bwooooooogkkkkkh!!

Saat Rogo sudah hampir sampai, tubuh Joko Gunar melesat dengan kecepatan tinggi ke udara!

Sang Kodok Besar menjemput badan Rogo yang masih melayang. Bak seorang pegulat yang mampu melakukan spear dengan sempurna, pundak sang Kodok Besar menghentak bagian tengah badan Rogo yang terbuka karena kedua tangannya diangkat ke atas. Sentakan dari lompatan katak itu berhasil menyeruak masuk! Bagai menghajar tulang rusuk Rogo hingga remuk!

Tubuh sang Barakuda terlempar ke belakang sementara Joko turun dengan sempurna dengan tangan dan kaki menapak tanah, kembali pada posisi kuda-kuda.

Rogo sang Barakuda terbanting di tanah, terhentak, terlempar, dan terlontar di tanah beberapa kali sebelum akhirnya berhenti ketika tangan Rogo mencengkeram tanah bagai pengait. Wajahnya menatap ke depan ke arah Joko Gunar dengan marah.

Dia pasti akan menghancurkan Joko Gunar! Pasti akan meremukkan tulang-tulang dan… Di depan Rogo kosong, tidak ada siapa-siapa.

Di mana…?

“Belakaaaaaaaaaang!” teriakan Pak Pos terlambat.

“Hkkkkkghhh!”

Dada Rogo terasa sesak ketika tiba-tiba saja ada satu tangan menyeruak masuk ke dadanya dari belakang, melalui lingkar badannya. Tangan kanan Joko Gunar mencengkeram erat bagian ulu hati Rogo, sementara tangan kiri juga menusuk mencengkeram punggung bagian bawah untuk mengunci sang Barakuda.

Rogo meronta karena rasa sakit mulai terasa. Ada sengatan yang makin lama makin panas. Seakan-akan jiwanya disedot keluar oleh rasa sakit yang ditimbulkan oleh cengkraman Joko Gunar! Anehnya ia sama sekali tak mampu menggerakkan lengan dan kaki untuk melawan maupun menyerang Joko Gunar! Tubuhnya lemas dan lunglai!

Swooooooooosh.

Melihat rekannya diserang, Jagal buru-buru melesat untuk menyelamatkan Rogo. Dengan kecepatan tinggi ia melompat ke pertemuan antara lokasi gubuk dan pematang tempat Joko Gunar mengunci tubuh Rogo.

Angin kencang terasa menerpa wajah Joko Gunar. Saat itulah dia tahu ada bahaya datang. Si Kodok Besar bergegas. Dengan cekatan dia melepas cengkraman di dada dan punggung Rogo, lalu melompat tinggi ke udara, berpilin memutar untuk sampai di satu pematang yang kosong di sebelah.

Rogo ambruk dengan duduk bertongkat lutut sembari memegang dadanya yang sakit. Jagal yang sampai di posisi Rogo gagal menyerang Joko Gunar. Sulaiman Seno pun memutar badan dengan mempersiapkan kuda-kuda untuk menyerang kembali.

Joko Gunar mendarat di pematang sembari tersenyum puas. Tapi tak seharusnya ia merasa lega.

Karena di posisi itu pun dia belum aman.

Joko Gunar dikejutkan oleh serangan berikutnya.

Bledaaaaaaaaaam!

Pematang tempat Joko Gunar semula berdiri ambrol dan longsor oleh serangan pelontar Ki yang dilepaskan dari jarak cukup jauh. Meski sempat goyah, Joko Gunar menghindar sekuat tenaga. Ia bahkan harus berguling masuk ke dalam kolam dan menjejak pinggiran pematang yang masih utuh dengan satu kaki untuk melompat ke posisi dekat dari Pak Pos!

Joko Gunar dengan napas memburu dan tubuh basah berdiri di hadapan Pak Pos dan Hantu. Kecipak air, hujan deras, guntur menggelegar, dan kolam yang bergejolak menjadi pemandangan di belakang mereka.

Sang Kodok Besar bersungut-sungut. Si tua brengsek yang kini tersenyum bak iblis itu baru saja melepas pelontar tenaga dalam Pukulan Inti Angin Sakti. Dengan terengah-engah, Joko mengatur tenaga dan napas. sungguh jurus pelontar Ki yang menyeramkan. Untung dia sempat menghindar dari dua serangan beruntun yang dilakukan Jagal dan Pak Pos! Untung juga dia sempat berguling ke kolam karena kini pematang tempatnya semula berdiri sudah hancur dan longsor.

Menghadapi Pak Pos dan Hantu, kembali Joko merunduk sedikit dan tersenyum, ia membuka mulutnya sekali lagi.

Kroooooook!

Dengan kuda-kuda yang berbeda dari sebelum-sebelumnya, karena hanya merunduk sedikit tanpa membuat pose seperti kodok, Joko Gunar melesat ke atas dan melompat ke arah Pak Pos. Joko mampu memangkas jarak dengan serangan sekali lompat yang membuat jalur setengah lingkaran. Jari jemari kedua tangan Joko dianyam saling terkait dan diayunkan sampai jauh melalui kepala.

Gerakan itu kan… Pak Pos terbelalak. Itu pukulan Genderang Dewa Perang yang tadi digunakan oleh Rogo sang Barakuda!

Tak sempat mengelak karena terkejut dengan lompatan Joko Gunar, Pak Pos membuka kanuragan pertahanan anginnya. Tapi terlambat, tangan Joko sudah menghentak kencang ke bawah! Pak Pos mau tak mau menyilangkan tangan di atas kepala!

Bdooooom!

Bak rudal membentur lantai beton, keduanya bertemu. Kepalan dua tangan terkait menghentak dua lengan bersilang. Ada angin kencang menyebar dari bawah kaki Pak Pos yang menggambarkan kuatnya pukulan dari sang Kodok Besar!

Pak Pos jatuh dengan posisi duduk bertongkat lutut. Pria tua yang selalu cengengesan itu kali ini mengumpat, kekuatan ini beda sekali dengan yang ditunjukkan oleh Joko Gunar di awal pertarungan. Kali ini Ki-nya seperti meningkat beberapa level, ditambah dengan kemampuan mengejutkannya mengeksekusi Genderang Dewa Perang!

“Seharusnya tidak melamun. Om Sunu kan sedang bertarung.”

Sang Tukang Pos terbelalak.

Joko Gunar mengubah serangan, kepalan tangannya dibuka lebar. Yang pertama masuk ke dada, dan mencengkeram daerah di mana ulu hati sang pria tua berada, sementara tangan kedua mencengkeram lengan dan menguncinya. Kecepatan mengagumkan sang Kodok Besar berlipat ganda dibandingkan sebelumnya!

Ini jurus yang sama saat ia tadi menyerang Rogo!

“Hkghhh!” Cengkraman tangan Joko Gunar mendesak ke dalam dada Pak Pos. Tangan pria tua itu mencoba lepas dan menghentak lengan sang Kodok Besar, tapi tiba-tiba saja…

Tubuh Pak Pos bergetar hebat, ia berguncang tanpa bisa melawan, dan menggerakkan badan. Lemas sekali rasanya! Ada semacam aliran yang tersedot dari dalam tubuhnya dan ditarik ke arah Joko Gunar! Apa-apaan ini!? Pak Pos meronta tapi gagal karena tubuhnya kian lemah dan lemas. Cengkraman itu juga begitu kencangnya seperti pasak menembus dinding.

“Huuuaaaaaaaaaaaaaaaarghhh!”

Pak Pos berteriak kesakitan. Ia sudah tak tahan lagi. Terlebih dari sakit yang ia rasakan, ada satu hal lagi yang membuat Sunu Sudarwaji terbelalak. Tangan Joko Gunar tidak hanya sekedar mencengkeram dadanya saja! Ada sesuatu yang dilakukan sang Kodok Besar yang seakan-akan membuat jiwanya bagai ditarik keluar melalui cengkraman itu!

Ini tidak mungkin! Ini kan… ini kan tenaga Ki-nya sedang disedot!? Tangan Joko Gunar ibarat vakum yang tengah menarik semua kekuatan dari sang Tukang Pos!

Lek Suman terbelalak mengamati kejadian itu dari balik jendela gubuk, jurus apalagi yang dipertontonkan oleh Joko Gunar ini? Apakah ini jurus rahasia yang selama ini dia simpan!? Keringat membasahi dahi sang pria tua penghasut. Rencana-rencana yang dia susun sepertinya harus dikalkulasi ulang. Dia tidak mengira Joko Gunar mampu mengeksekusi jurus larangan Hikmat Penyesap Prana!

Tapi kejadian itu tidak berlangsung lama.

Jbkkhggghhkk!

Saat Pak Pos menjerit kesakitan, tangan Joko Gunar dipentalkan ke belakang oleh tendangan dari bawah. Gerakan sepak mengait itu dilakukan oleh Hantu yang datang untuk membantu sang Tukang Pos. Cengkramannya lepas, sepakan kaki Hantu membungkam wajah sang Kodok Besar.

Jbkkhggghhkk! Jbkkhggghhkk! Jbkkhggghhkk! Jbkkhggghhkk! Jbkkhggghhkk!

Satu, dua, tiga, empat, lima sepakan ke dada Joko Gunar yang dilakukan Hantu mampu menghentak tubuh gempal sang Kodok Besar ke belakang.

Meski terdesak, dengan mudah Joko melakukan salto ke belakang untuk kembali berdiri dengan tegap.

Ketika terlepas, tubuh tua Pak Pos terlempar ke samping dan tercebur ke dalam kolam. Buru-buru Rogo dan Jagal datang dan mengangkat tubuh sang pria tua yang basah kuyup. Keduanya benar-benar terkejut dengan peningkatan Joko Gunar yang tiba-tiba saja lebih cepat dan lebih kuat. Mereka merasakan lompatan Ki yang besar dari sang Kodok Besar. Apa yang baru saja dilakukannya?

Joko Gunar sendiri lantas mundur jauh hampir delapan meter dan menyeberang melalui pematang ke tempatnya semula di dekat gubuk. Ia tertawa-tawa. “Huf… segar sekali. Selalu suka menyantap tenaga, apalagi yang sebesar punya Om Sunu. Hahahaha.”

Pak Pos memegangi dadanya dengan tubuh bergetar hebat. Sepertinya ini hal yang sama seperti yang dilakukan bedebah itu pada Rogo tadi. Barulah sekarang dia tahu apa yang terjadi. Pantas saja secara tiba-tiba Ki dari Joko Gunar bisa melesat setelah berhadapan dengan Rogo!

Pak Pos terengah-engah. “Bangsat, dia menelan semua tenagaku…”

Jagal mengerutkan kening, ia terheran-heran karena baru pertama kali ini melihat ada orang melakukan hal seperti itu. Sulaiman Seno menunduk untuk bertanya pada Pak Pos yang lemas tak berdaya, “Apa yang terjadi? Kenapa Ki-nya bisa meningkat pesat dengan tiba-tiba? Apa yang dia lakukan?”

Pak Pos mendengus dan menggemeretakkan gigi dengan geram, “Bajingan itu… dia bisa menyedot tenaga Ki! Ini Hikmat Penyesap Prana! Bajingan tengik itu menguasainya!”

Rogo dan Jagal saling berpandangan. Hikmat Penyesap Prana? Menyedot Ki? Memangnya bisa? Memangnya ada jurus untuk melakukan itu? Pantas saja dia juga tadi tiba-tiba saja lemas! Rogo baru tersadar apa yang terjadi tadi pada dirinya. Untung dia masih bisa lepas dari cengkraman Joko Gunar!

Pak Pos bersungut-sungut. “Si bangsat kodok itu kemampuannya meningkat pesat setelah menyedot tenagaku dan sedikit tenaga Rogo. Entah apalagi yang bisa dia lakukan, sepertinya bukan hanya ini saja yang dia sembunyikan. Kalian bisa merasakan sendiri lonjakan tenaga Ki-nya, akan berbahaya kalau dia juga menyedot tenaga kalian sampai habis sepertiku. Dia tadi juga bisa melakukan Genderang Dewa Perang!”

Rogo mendengus kesal – tenaga Ki-nya juga sudah terhisap sedikit dan kekuatannya jauh berkurang. Butuh waktu untuk memulihkan diri. Si Kodok Besar yang tadi mereka anggap hanya angin lalu dalam waktu cepat bisa membuat mereka khawatir.

Jagal paham, situasi dan kondisi saat ini tidak memungkinkan untuk melanjutkan pertarungan. Bukan karena mereka takut, tapi karena saat ini bukan saat yang tepat untuk bertarung mati-matian. Mereka harus datang lagi lain waktu dengan strategi yang lebih ampuh untuk mengatasi kejutan-kejutan Joko Gunar.

Jagal memalingkan wajah pada si Kodok Besar. Selain menyedot tenaga, apalagi yang bisa ia lakukan? Sepertinya ia masih menyimpan banyak rahasia. Orang ini tidak hanya menguasai satu ilmu kanuragan! Pantas saja dia ditakuti.

Joko Gunar yang di awal sempat kewalahan, saat ini seperti bugar kembali usai menyantap tenaga dari Pak Pos dan sebagian dari Rogo. Dia berdiri dengan tegap dan tersenyum menyeringai. “Aah, seperti ini rasanya Ki penguasa Inti Angin Sakti dan Genderang Dewa Perang. Hahaha! Memang luar biasa sekali jurus ini ya, bahkan dengan tenaga yang tidak begitu besar bisa menghasilkan serangan yang mengerikan. Apalagi seperti namanya – tenaga angin. Tenaga Ki berbasis Inti Angin Sakti memang segar sekali rasanya ya? Sejuk, hangat di dalam, adem di luar. Hahahaha.”

Pak Pos menatap sengit pada Joko Gunar, wajahnya yang biasa tersenyum kini menampilkan raut muka marah sekaligus menyimpan dendam. “Bajingan itu… dia ternyata menyimpan kemampuan yang tidak main-main. Bangsat! Tenagaku sudah habis dia makan, aku tidak akan bisa banyak bergerak. Salahku sendiri yang meremehkannya. Aku pergi dulu dari sini, aku hanya akan merepotkan kalian.”

“Ngomong apa sampeyan ini. Sudahlah diam saja. Aku dan Rogo yang akan membawa sampeyan pergi, biar Hantu yang menghadapinya terlebih dahulu untuk mengalihkan perhatian.” Ujar Jagal. “Kita tidak perlu mati-matian sekarang. Setidaknya kita tahu dia lebih mampu dari yang terlihat.”

Sang Hantu melesat menyeberangi kolam untuk berhadapan langsung dengan Joko Gunar. Satu lawan satu. Pertarungan keduanya tak bisa dihindari. Dengan kecepatan tinggi, Hantu menyerbu Joko Gunar dari segala arah.

Kepalan dan tendangan Hantu menyeruak bak senapan mesin. Kanan, kiri, kanan lagi, kiri lagi, kanan lagi, atas sekarang, lalu bawah, kanan lagi, bawah.

Bkkh! Bkkh! Bkkh! Bkkh! Bkkh! Bkkh! Bkkh! Bkkh!

Semuanya dimentahkan Joko Gunar. Tapi badai serangan sang Hantu tak berhenti, Joko Gunar pun berusaha mengimbangi.

Rogo yang kehilangan tenaga mencoba menopang tubuh Pak Pos yang lemas, sementara di sebelah mereka, Jagal mengawasi pertarungan antara Joko dan Hantu. Mereka bersiap membawa pria tua itu meninggalkan tempat ini sesegera mungkin. Saat adu tendang dan pukul mereda, Jagal memasukkan jemarinya ke mulut, dan bersiul dengan kencang – tanda bagi sang Hantu untuk segera menyudahi pertarungan.

Di depan gubuk, sang Hantu yang mendengar siulan Jagal terus melontarkan pukulan dan tendangan pada Joko Gunar demi memberi waktu pada ketiga rekannya mundur dari arena. Mereka sama sekali tidak menyangka kejadiannya akan berbalik, siapa yang menyangka kalau pentolan PSG itu mampu melakukan hal mengejutkan seperti ini? Sejak kapan dia menguasai jurus-jurus baru? Atau mungkin JXG yang terlalu lama vakum?

Tidak perlu mati-matian sekarang, amati lagi, pelajari, lalu hadapi kembali di lain hari.

Hantu melompat-lompat dari kanan ke kiri, dari kiri ke kanan, menjejak tanah, menghentak pematang, dan melontarkan tendangan demi tendangan yang diluncurkan langsung ke tubuh Joko Gunar. Sembari melakukan gerakan yang teramat cepat itu, sang Hantu mendendangkan lagu anak-anak. Kebiasaan aneh lain dari si Petarung Ganjil yang tidak dapat diterima akal sehat.

“Tik… tik… tik… bunyi hujan di atas genting.”

Bkkgh! Bkkgh! Bkkgh! Bkkgh!

Adu pukulan antara Joko dan si Hantu terjadi tanpa bisa ditunda, tangan lawan kaki, kaki berantuk dengan tangan, kecepatan diadu dengan kecepatan, serangan berhadapan dengan pertahanan. Di awal pertarungan tadi Joko bahkan tidak bisa mengimbangi kecepatan Jagal dan Rogo, tapi kini dia sudah satu level di atas mereka semua! Ajaib! Bagaimana mungkin dalam waktu singkat Joko Gunar mampu melakukannya? Sang Hantu memiringkan kepalanya ke pundak dan menatap Joko dengan pandangan yang aneh.

Joko Gunar mundur teratur. Mau apa lagi si Petarung Ganjil itu sekarang?

Bibir Hantu yang seakan tersenyum itu terbuka sedikit dan terdengar dendangan pelan melanjutkan apa yang sebelumnya ia nyanyikan saat melakukan serangan. “Airnya turun tidak terkira…”

Joko Gunar mendengus.

Meski Ki-nya sudah meningkat pesat, bahkan sekarang pun sang Kodok Besar harus merasa heran karena setiap tendangannya selalu berhasil dimentahkan oleh si Petarung Ganjil. Dari atas, samping, bawah, kanan, kiri, samping – semua tidak ada yang berhasil menemui sasaran. Setiap serangan Joko Gunar seperti mampu dibaca oleh sang Hantu bahkan sebelum dilontarkan.

Diserang dari kanan, ditahan. Didesak dari kiri, ditahan. Dari atas dan bawah, sama saja.

Begitu pula sang Hantu yang merasa serangan-serangannya dapat diatasi oleh Joko Gunar. Ia merasa heran tapi tidak ingin berhenti. Lompatan pria ganjil itu makin tak menentu arahnya, apalagi karena gerakan kakinya juga unik dan lentur. Jika berhadapan dengan orang lain, pasti tendangan-tendangan itu sudah masuk. Tapi Joko Gunar jelas bukan orang biasa.

Baru kali ini sang Hantu berhadapan dengan lawan yang mampu menandinginya!

“Cobalah tengok, dahan dan ranting.”

Bkkgh! Bkkgh! Bkkgh! Bkkgh! Bkkgh! Bkkgh! Bkkgh! Bkkgh!

Kiri. Kanan. Tengah. Atas. Depan. Bawah. Atas. Kanan.

Meski sudah menggila, tapi semua tendangan sang Hantu tidak ada yang berhasil masuk. Sang Kodok Besar berhasil bertahan. Untungnya tujuan sang Hantu melawan Joko memang bukan untuk mengalahkannya. Ia hanya ingin mengalihkan perhatian saat kawan-kawannya membawa Tukang Pos pergi. Oleh karena itu dia harus memastikan badai serangan tendangannya tak terhenti dan membuat sang Kodok Besar kerepotan. Apalagi jika semua serangan yang dilepaskan ternyata berhasil ditepis Joko Gunar yang mampu mengimbangi kecepatan sang Hantu.

Lagi! Lagi! Lagi! Badai serangan kembali dilakukan oleh Hantu!

Bkkgh! Bkkgh! Bkkgh! Bkkgh! Bkkgh! Bkkgh! Bkkgh! Bkkgh!

Depan. Bawah. Atas. Kanan. Kanan. Atas. Tengah. Semua mentah.

Bkkgh! Bkkgh! Bkkgh! Bkkgh! Bkkgh! Bkkgh! Bkkgh! Bkkgh!

Kiri. Kanan. Atas. Kanan. Tengah. Atas. Depan. Bawah. Kembali payah.

“Pohon dan kebun basah semua…”

Bkghhh! Bkghhh! Bkkkkkhhhhhhhhhg!

Sekali lagi lengan dengan kaki beradu. Baik Joko maupun Hantu terlontar beberapa meter ke belakang!

Joko sempat terseret tenaga Ki yang terlontar hingga empat meter ke belakang, meski tetap berdiri dan tak terjatuh. Pimpinan PSG itu mendengus dan menggunakan punggung tangan untuk mengelap dagunya yang berdarah. Entah kapan tendangan si Hantu akhirnya beberapa kali masuk dan membuat bibirnya pecah.

Lawan Joko Gunar yang berwatak ganjil itu kini sedang bergoyang-goyang aneh seperti meliuk-liuk ke kanan kiri bak boneka angin di depan toko cat. Dia gembira karena tendangannya ternyata ada yang masuk. Itu artinya pertahanan Joko Gunar masih belum prima seratus persen. Ada celah.

Sang Kodok Besar hanya menyeringai menatap Hantu yang menatapnya balik.

“Kenapa?” Joko Gunar cengengesan menghadapi pria ganjil itu, “Kalian pikir aku tidak tahu kalian sedang bersiap membawa pergi Pak Pos? Hehehe. Meski kami pendatang baru dan tidak punya sejarah seperti JXG, tapi jangan pernah anggap remeh kemampuan orang-orang PSG! Aku tahu kalian membawanya pergi, hanya saja aku diamkan. Aku tidak peduli. Heheh!”

Hantu masih diam dan bergoyang-goyang.

Meski Joko Gunar merasa jumawa, tapi ekspresi kaget tidak nampak sama sekali di wajah lawannya. Sang Hantu malah menyeringai lebar, gigi yang tajam dan mulut yang terbuka tidak normal membuat wajahnya seperti sedang tersenyum mengerikan.

Joko Gunar mendengus kesal, dia tidak paham lagi dengan munyuk yang satu ini. Sosoknya aneh, ganjil, sekaligus menakutkan. Tidak pernah nyaman melihat wajahnya. Mungkin itu sebabnya ia cocok dipanggil dengan sebutan Hantu, si Petarung Ganjil.

“Aku tahu kalian membawanya pergi, hanya saja aku diamkan. Aku tidak peduli. Hahahahaha…” Hantu tertawa terbahak-bahak sembari mengulangi kata-kata yang tadi dilontarkan Joko. Ketawanya juga aneh, seakan-akan kalimat itu teramat konyol, padahal sama sekali tidak ada hal yang lucu dari kalimat itu.

Joko muak. Cukup sudah. Si Kodok Besar harus menyudahi pertarungan ini.

Krooooook!

Tiba-tiba saja Joko Gunar melompat ke depan dengan menekuk dan merentangkan badan, persis seperti lompatan seekor katak, tapi kali ini tidak dengan kuda-kuda. Dengan cara itu dia dengan mudah mencapai posisi di mana sang Hantu berada dan hanya perlu dua kali menjejak tanah.

Tapi bukan Hantu namanya kalau dia tidak dapat menghindari serangan Joko Gunar. Dia hanya perlu beringsut ke samping untuk menghindar dari lompatan sang Kodok Besar.

Huf!

Sang Kodok Besar mencapai posisi awal Hantu yang tentu saja sudah tidak ada di posisi semula, dia hanya menjejakkan satu tangan ke tanah sekejap, dan tubuhnya sudah melayang ke samping untuk mencapai sang Hantu. Tapi Joko Gunar lagi-lagi kecewa karena serangannya tersebut kembali menemui ruang kosong!

Selain karena wajahnya yang menyeramkan, Hantu juga punya kecepatan dan gerakan meringankan tubuh mumpuni, salah satu jurusnya disebut Jurus Bayangan. Kemampuan gerak cepat berpindah posisi yang seakan-akan melakukan teleportasi. Konon dari sekian banyak murid di tempatnya menimba kawruh dulu, hanya sang Hantu-lah yang berhasil mengeksekusi jurus ini dengan sempurna. Dengan jurus ini pula, sang Hantu lolos dari sergapan berulang sang Kodok Besar.

Joko Gunar melirik ke kiri. Tidak ada.

Melirik ke kanan. Tidak ada.

Di mana bedebah busuk itu…?

“Naik kereta api, tut… tut… tut…”

Sebuah senandung dari suara parau terdengar ke telinga Joko Gunar. Tapi dia tidak dapat melihat di mana posisi Hantu berada. Suara itu sudah pasti suara si senyum seram.

Joko geram sekali. “Di mana kau, bedebaaaaah!?”

“Siapa hendak turut? Ke Bandung, Surabaya…”

Dari sana! Joko yang sedari tadi mengumpulkan energi Ki lalu melepaskannya dengan sebuah lontaran kencang. Tembakan tenaga dalam jarak jauhnya menggempur pematang antara kolam!

Blmmmmm!

Pematang itu hancur dan air kolam pun bercampur kiri dan kanan.

“Bolehlah naik dengan percuma.”

Sebelah sana! Sekali lagi! Energi terlontar dari tangan Joko Gunar! “Heaaaaaa!”

Blmmmmm!

Satu dinding kolam hancur diterpa energi Ki dari Joko Gunar. Tanah yang diterpa tenaga dalamnya longsor. Air kolam berkecipak tanda ikan-ikan yang panik karena kolam mereka hancur. Hujan deras sama sekali tidak membantu.

Joko Gunar makin geram, dia sama sekali tidak dapat menyentuh sang Hantu. Di mana bedebah sialan itu!? Di mana diaaaa!?

“Ayo kawanku lekas naik.”

Joko Gunar terbelalak. Dia berbalik ke belakang dan melihat sosok sang Hantu berdiri tegap di bawah hujan deras, tepat di atas atap gubuk tempat persembunyian Lek Suman.

Keduanya saling bertatapan. Joko memandang ke atas dengan geram, sementara sang Hantu hanya menyeringai seperti biasanya. Wajahnya yang ganjil makin menyeramkan dalam suasana gelap remang cahaya dan deras hujan yang mengguyur. Sang Hantu membuka mulutnya dan berbicara pelan. Entah apakah Joko Gunar mampu mendengarnya atau tidak.

“Keretaku tak berhenti lama.”

Joko buru-buru mencari jalan untuk naik ke atas gubuk, tapi ketika ia melirik kembali ke atas, sang Hantu sudah lenyap tak berbekas, lenyap ditelan hujan deras.

Kalau julukannya Hantu, rasanya memang pantas.

Sang Hantu sudah tak nampak lagi.

Setelah semua lawan pergi, Joko Gunar ambruk ke tanah dengan napas kembang kempis. Meski tak terlihat, tapi sesungguhnya ia mengerahkan banyak tenaga saat berhadapan dengan keempat anak panah JXG. Lompatan katak sangat menguras tenaga, tenaga Ki yang ia sedot juga tak bisa bertahan lama.

Sembari masih terengah-engah, Joko Gunar melirik ke arah Lek Suman yang keluar dan menemui sang bos besar PSG itu. Melihat Lek Suman terheran-heran menatapnya, sang pimpinan PSG tersenyum penuh misteri.

“Kenapa? Gumun, Lek? Heran?”

“A-apa yang tadi sampeyan lakukan pada Sunu – pada Tukang Pos?” keringat dingin turun di kening keriput Lek Suman. Sungguh ia tak menyangka bajingan bertubuh buncit di depannya sanggup mengusir empat punggawa legendaris dari JXG dengan kemampuan yang selama ini disembunyikan. Ilmu apa saja yang sudah dipelajari oleh bajingan busuk ini?

Joko Gunar tertawa, “njenengan tidak perlu tahu, Lek. Yang jelas dengan apa yang aku lakukan tadi, Pak Zein pasti akan turun gunung dan menemuiku langsung. Heheheh. Bagus kalau begitu! Cukup sudah selama ini PSG diremehkan oleh JXG, QZK, bahkan Dinasti Baru. Sudah saatnya semua orang di kota paham siapa kita sebenarnya dan besarnya kekuatan yang kita miliki.”

“A-apa maksudnya?”

“Maksudnya hari ini adalah hari yang menjadi katalis pintu pembuka wawasan. Keempat punggawa JXG akan membawa kabar tentang kemampuanku pada sang pimpinan dan berita tentang kemampuanku akan terdengar di seluruh penjuru kota. Saat itu terjadi, orang-orang tak akan lagi meremehkan Joko Gunar dan PSG!” hujan deras mendera wajah sang pimpinan PSG, wajahnya terlihat menyeramkan di bawah guyuran air yang membasahi seluruh tubuh. Lek Suman bergidik, benar-benar seperti seekor kodok raksasa yang dingin dan tanpa aturan, “Lek… apakah tadi njenengan sempat menghubungi tiga gentho?”

Lek Suman buru-buru mengangguk.

“Telpon mereka dan segera batalkan. Aku tidak butuh bantuan mereka lagi. Tadinya aku pikir aku tidak akan membuka rahasia kemampuanku secepat ini, tapi si Jagal dan kawan-kawannya yang brengsek memaksaku sampai batas.” Joko Gunar tertawa di bawah hujan, suaranya tak nyaman didengarkan, “Hahaha… tak ada gunanya lagi menahan diri dan bermain rahasia. Kalau memang sudah saatnya perang, ya sudah saatnya perang.”

“Jadi… maksudnya…” Lek Suman meneguk ludah.

Joko Gunar melanjutkan, dia tersenyum. Darah yang menetes ke bibirnya ia jilat. “Mulai hari ini pasukan PSG akan menyebar di seluruh penjuru kota dan mulai menebarkan jaring, kita akan memulai pergerakan, baik itu menggunakan taktik gerilya, ataupun serangan langsung yang terang-terangan. Hubungi backing kita di kepolisian dan bilang bahwa kita tak lagi bisa menahan diri. Sejak lama kita sudah diremehkan oleh JXG di selatan, ditahan Dinasti Baru di tengah, dan bahkan dipermalukan Aliansi yang isinya bocah-bocah tengik di utara. Mau ditaruh mana mukaku ini?” Joko Gunar mendengus kesal, “akan aku pastikan kalau di minggu-minggu ke depan PSG akan melakukan operasi penaklukan kota. Kalau ada yang melawan, kita hajar. Kalau ada yang menyerang, kita hadang. Kalau gagal, kita bakar semuanya. Hehehe.”

Lek Suman menggemeretakkan giginya. “Gila. Yakin akan melakukan itu semua?”

“Yakin. Ini semua masih bisa dilakukan dengan gerilya dan penuh perhitungan. Terutama mengenai kelompok mana yang akan kita hancurkan pertama kali…”

“Kelompok yang mana memang?”

“Yang mana lagi? Sudah pasti kita harus menghancurkan Aliansi terlebih dahulu. Aliansi itu hanyalah kelinci-kelinci kecil yang bodoh yang akan kita giring pada sang serigala. Mereka yang paling lemah, tapi dengan menghancurkan mereka, kita akan memegang wilayah utara sebelum kebangkitan QZK. Bukankah itu untung besar?” Joko Gunar tertawa terbahak-bahak. “Tapi yang jauh lebih penting lagi, dengan menaklukan Aliansi, kita akan membalas apa yang telah mereka lakukan pada KSN dan Darsono!”

Lek Suman mengangguk, ia menyeringai, dan tak lama kemudian ia terkekeh. Hari-hari Aliansi sudah terbilang. Salah sendiri berani-beraninya melawan PSG dan KSN.

Sopo nandur bakal ngunduh.

.::..::..::..::.

Di sudut lain kota, seorang wanita akan menemui nasib terburuknya.

Dengan mata berbinar nyala bak hewan buas menemukan mangsa, Reynaldi mendekati tubuh seorang wanita jelita yang ketakutan. Berulangkali wanita itu mengibaskan tangannya, mencoba menghalangi Rey mendekatinya. Terlebih lagi sang pemuda yang sudah gelap mata itu hanya mengenakan celana dalam saja.

Tidak perlu belajar di perguruan tinggi untuk menebak apa kemauannya. Sudah jelas apa maksud dan tujuannya.

Rey tersenyum menyeringai, “jangan jual mahal. Nantinya kamu juga akan menikmati.”

“Jangan mendekat! Pergi! Jangan mendekat! Toloooong! Tolooooong!” si cantik mencoba berteriak, tapi tentu saja tidak akan ada yang bisa mendengarnya. Reynaldi sudah memilih lokasi yang paling tepat untuk menikmati sang perempuan jelita ini. Kamar hotel di sini kedap suara, mau teriak sampai uratnya pecah juga tidak akan terdengar dari manapun.

“Kamu itu sok banget. Sewaktu di cafe-nya suamimu sering nawarin aku minum, di IG sengaja pakai baju-baju seksi nonjolin toket. Eh sekarang giliran ditawarin kenikmatan kenapa malah nolak? Gimana sih? Ga pengen ngentot sama aku? Ayolah… selebgram yang hobi obral badan seperti kamu kan biasanya malah pasang tarif buat dientot. Dedy suamimu itu juga pasti pernah ngicipin selebgram selain kamu.”

“Bedebah! Aku tidak sudi! Aku bukan orang semacam itu!” si cantik bertubuh seksi itu mencoba beringsut menghindar dari posisi semula, dia tak ingin terlalu mudah diserang oleh sang durjana. “Jangan dekati aku! Kurang ajar! Keterlaluan kamu! Tolooooong! Toloooong!”

Rey dengan mudah mencolek dagu sang wanita jelita, “Ayolah, Beb. Apa susahnya kita bercinta sejenak dan menikmati hari ini dengan lebih tenang dan senang? Hari ini aku butuh menyalurkan rasa bahagiaku.”

“Tolooooooooong.” Sang selebgram kembali berteriak ketakutan.

“Putih, mulus, montok, toket gede. Bener-bener bidadari seksi pemersatu bangsa. Beruntung banget si Dedy dapetin kamu. Gimana honeymoon kalian di Bali? Enak dientotin siang malem?” Rey menyentuh dan mengelus paha sang perempuan cantik.

Buru-buru wanita jelita itu menarik kakinya. “Kurang ajar kamu! Jangan pegang-pegang!! Toloooooong! Toloooooong!!”

Sekali lagi tidak ada yang mendengarkan.

Di kamar hotel itu hanya ada Reynaldi dan sang korban yang bernama Gina. Dinding kedap suara membatasi jarak tempuh suara jeritan Gina hingga tak bisa menembus keluar. Dia tidak akan bisa melakukan apapun untuk mencegah peristiwa paling keji yang akan menimpanya. Dia hanya berharap dan berharap dan berharap.

Tapi tentu saja hari itu nasibnya memang tidak begitu baik.

Rey membuka paksa kemeja yang dikenakan Gina, dua kancing terlepas tanpa bisa bertahan. Begitu terbuka, tersembul gumpalan dada montok, putih, dan berukuran sentosa. Rey terkekeh melihat gundukan tertutup BH yang membuat nafsunya makin meraja itu. Gina tentu berusaha keras menyilangkan tangan untuk menutup dada, meski mustahil menutupi buah dada semontok itu dengan hanya menggunakan lengannya saja.

Tak bisa beranjak, Gina luruh dalam pelukan Rey.

Mau bagaimana lagi? Melawan pun rasanya percuma. Rey jauh lebih kuat dan sedang buas-buasnya. Gina hanya bisa pasrah menghadapi nasib buruk yang siap menaunginya. Mana pernah ia membayangkan kalau sahabat sang suami akan bertindak sekeji ini padanya. Sahabat suaminya sendiri! Sungguh menyesal ia sering membuatkan makan dan kopi untuk Rey saat dia datang ke rumah mereka.

Reynaldi mendorong tubuh Gina dan dengan sekali sentakan kencang, tubuh si jelita itu ambruk ke atas pembaringan. Rey langsung beraksi, bibirnya menjelajah bagian dada montok, leher, pipi, dan bibir sang bidadari. Tanpa luput satu sentimeterpun ia jajah tubuh Gina dengan lidahnya. Setiap celah setiap sudut, ia jilat tanpa ampun. Jejak-jejak merah mulai terbentuk di tubuh mulus Gina.

Pada saat yang bersamaan, tangan nakal Rey beraksi untuk melepas kait beha yang masih terpasang di tempatnya. Pelindung terakhir payudara Gina terlepas tanpa perlawanan berarti dan buah dadanya menjadi sajian khas berselera bagi sang durjana.

Tangan kiri Rey memutar-mutar puting susu sang dewi, sementara buah dada yang kanan disosor dengan bibirnya yang tak lagi bisa menahan gejolak birahi. Gina hanya sanggup menutup mata, membiarkan Reynaldi melakukan apapun yang dia kehendaki. Ia hanya bisa menggelinjang, melenguh, dan terkulai lemas dirangsang sedemikian rupa.

“Haeeeekghhhhh! Ssu-sudaaaaah! Haaaakkkghhh!”

Rey membuka paha Gina lebar-lebar dan rok mini yang dikenakan si cantik itu tidak bisa membantu menghalangi penjajahan yang dilakukan oleh sang durjana pada bagian paling rahasia dari sang pemilik. Demikian juga celana dalamnya yang manis, mungil, berwarna lembut, dan memiliki sedikit ornamen renda.

Reynaldi tertawa, “pahamu mulus banget, Beb. Ga nahan. Sayang banget kalau cuma si Dedy yang menikmati tubuh kamu yang semolek ini. Heheh. Penganten baru biasanya paling demen mencoba-coba berbagai macam posisi ngentot dengan pasangan. Bagaimana variasi si Dedy ngentotin kamu? Membosankan pasti ya. Sini aku ajarin satu cara. Hahaha.”

Rey menarik kaki sang wanita jelita. Tentu saja bidadari dalam petaka itu meronta-ronta dengan penuh tenaga. Dengan menjilat bibirnya sendiri karena gemas, Rey mulai beraksi. Ia melucuti celana dalam yang dikenakan Gina. Salah sendiri dia mengenakan rok yang tinggi di atas lutut. Selebgram yang hobi umbar pesona seperti Gina memang harus diperlakukan seperti ini – begitu pemikiran bejat dari sang durjana.

Tanpa celana dalam membuat Gina semakin tak bisa bertahan, jari-jari tangan Rey mengobrak-abrik bibir liang cinta wanita yang baru saja dinikahi kekasihnya itu sebulan yang lalu. Gina menjerit-jerit dan meronta. Semua hanya ibarat musik di telinga sang durjana. Tak puas tentu hanya bermain di bibir kewanitaan Gina, jemari Rey menusuk-nusuk ke dalam dengan kecepatan tinggi, membuat tubuh molek sang bidadari menggeliat tak terperi hingga kepayahan.

Kaki Gina yang terbentang lebar terkuak menyajikan liang kewanitaan yang bersih dan wangi dengan rambut halus yang melindungi. Gerbang cinta Gina dengan sang suami itu kini menjadi sasaran tangan nakal Rey yang mengobel tanpa kasihan. Gina sendiri tak mampu melawan, karena di saat yang bersamaan bibir Reynaldi terus menerus mencium dan mengecup puting susu mungilnya yang makin lama makin terangsang. Atas bawah diserang, liang cinta Gina pun akhirnya mulai banjir oleh cairan pelumas.

Rey pun tersenyum puas.

Segera sang durjana melepas celana dalamnya sendiri dan memposisikan batang kejantanannya tepat di gerbang cinta sang bidadari. Liang kewanitaan yang seharusnya hanya menjadi milik sang suami kini hendak dijajah oleh penis ganas pria lain. Gina menangis sembari meremas seprei pembaringan. Kejahatan apa yang sudah pernah ia lakukan pada orang lain? Kesalahan apa yang pernah ia lakukan sampai-sampai ia mendapati kenyataan pahit ini? Kenapa hal terkutuk ini terjadi padanya?

“Ja… jangaaan… aku mohon, aku mohoooon!!”

Tangan mungil Gina mencoba mendorong tubuh Rey menjauh, usaha terakhir untuk menyelamatkan diri dari nasib buruk yang akan menimpanya. Tapi tentu saja tak ada hasilnya. Birahi sudah mewujud dan meraja. Wajah Rey buas, lebih buas lagi nafsu hewani yang diledakkan oleh sang durjana.

Blesk.

Reynaldi tak peduli, seluruh batang kemaluannya lenyap masuk ke dalam liang cinta Gina. Ia melolong penuh nikmat.

“Hakghhhh!” Gina menggeliat tak nyaman, baru kali ini dia merasakan batang kemaluan sebesar milik Rey masuk ke liang cintanya. Sebelum Dedy sang suami, Gina tak pernah menyerahkan hartanya yang paling berharga ke pacarnya yang manapun, tapi kini dengan mudahnya Rey bisa menyetubuhinya tanpa penghalang, merombak total tatanan kerekatan liang cinta Gina.

Blesk. Blesk blesk bleskBlesk.

Gejolak ranjang yang bergoyang mulai terasa, desakan batang keras bak kayu di liang cintanya membuat Gina merem melek tak berdaya. Dia tak sanggup bertahan kalau seperti ini terus. “Sudah… sudaaaaah! Jangaaaaan…! Jangaaaaaaaaaan!!”

Rey tidak peduli.

Ia terus menggenjot tubuh indah Gina yang memang molek. Wajah cantik bidadari itu entah kenapa membuat dirinya sange luar dalam. Gerakan kasar dan buas Rey membuat tubuh Gina terguncang-guncang bagai sedang dilanda gempa lokal yang teramat kencang.

“Haaaakghhh! Haaaaagkh!” Gina makin tak tahan.

Bahkan suaminya sendiri tidak pernah berlaku sekasar dan separah ini padanya sepanjang honeymoon mereka di Bali. Air mata Gina mengalir deras.

Batang kejantanan Reynaldi lurus, keras, kencang menghunjam dalam-dalam di liang kewanitaan Gina, pinggulnya maju mundur mengaduk-aduk liang cinta yang teramat sempit. Ia tak bisa membayangkan sekecil apa penis sang suami.

“Huaaaaaaaaaaaaaaa…!”

Gina menjerit. Rasa sesak dari penis Rey sekaligus liangnya yang sebenarnya belum siap menerima sodokan benda apapun membuat jejak-jejak nyeri dinding kemaluan Gina. Ia sangat kesakitan dan air matanya membanjir, ingin rasanya berteriak tapi ia tak mampu karena bibir Rey mengatup erat mencium bibirnya tanpa ampun.

Tangan sang durjana juga menjebak tangan dan badan Gina sehingga tidak dapat bergerak bebas. Satu tangannya bahkan meremas pantat istri Dedy yang molek itu supaya tak terlepas selama Reynaldi bergerak. Ia tidak ingin wanita jelita itu memaksa penisnya keluar karena kesakitan, ia terus saja memaksa bibir bawah Gina menelan batang kejantanannya yang terlampau besar untuk liangnya yang mungil. Tak dapat berbuat banyak, Gina hanya bisa mencakar pundak dan bahu Rey hingga berdarah saat ia kesakitan karena sodokan berulang. Gina yang tersengal-sengal dengan napas satu dua akhirnya pingsan karena diperkosa habis-habisan.

Habis. Dia sudah habis.

Gina terbangun dari pingsannya sekitar sepuluh menit kemudian, bagaimana keadaannya? Apakah Reynaldi sudah usai dan…?

Tidak, tak disangka, Rey masih terus menggoyang memeknya. Bedanya sekarang, batang kemaluan Rey lebih lancar keluar masuk liang cinta karena cairan pelumas Gina sudah benar-benar melindungi keseluruhan dinding vagina sang wanita jelita.

“Huff… enaaakkghh… banget… memek kamu… sayaaaaaaang.” Roy mulai meracau.

Cairan hangat meledak di dalam liang cinta Gina saat wanita itu mulai sadar. Mata indahnya terbelalak. Gawat! Dikeluarin di dalam? Huaaaaaaa! Tidak! Dia sedang subur-suburnya!

“Tidaaaaaaaaak!!”

Teriakan Gina bagai musik bagi Rey. Ia segera membenamkan cairan kepuasannya dalam-dalam di liang cinta Gina, sebanyak yang ia bisa – sampai penisnya benar-benar tuntas. Ia tak mempedulikan jeritan dan tangisan si cantik yang kembali mencoba meronta hingga titik perjuangan terakhir – ngeri bagi Gina yang sedang mengalami masa subur. Tentu saja dia tidak ingin hamil oleh sang durjana.

Sebaliknya Rey gembira sekali karena akhirnya ia bisa memuaskan dirinya pada tubuh indah wanita jelita yang baru saja menikahi salah seorang sahabatnya itu.

Ia menarik penisnya dari dalam memek Gina dengan kasar.

Si jelita itu hanya bisa meringkuk dan mencoba melindungi tubuh telanjangnya yang baru saja dinodai oleh sang durjana. Ia tersengal-sengal, tangis membasahi seluruh wajah. Tubuhnya yang indah penuh berkas cupang merah.

“Kamu jahat sekali… jahat…” Gina bergetar dan menangis sesunggukan. “A-aku akan melaporkanmu ke polisi! Aku akan mengatakan semuanya pada suamiku! Dia akan membunuhmu!”

Rey mendengus dan tersenyum sinis. Penderitaan wanita cantik itu rupanya belum selesai. Sang durjana mengeluarkan ponsel dari dalam celana panjangnya yang tadinya ada di lantai. Tak lama kemudian ia pun memotret Gina dari berbagai macam posisi dengan menggunakan smartphone-nya.

“A-apa yang kamu lakukan?”

“Ini jaminanku. Kalau memang kamu mau lapor polisi, atau bacotin apa yang terjadi pada Dedy, maka foto-foto ini akan menyebar di seluruh penjuru kota atau bahkan seluruh negeri. Namamu sebagai selebgram pasti akan hancur. Ingat saja di negeri ini orang-orang tidak pernah lupa sekalinya seorang wanita ketahuan melakukan hal nista, tapi lebih mudah memaafkan pria yang melakukannya tindakan yang sama. Jadi kalau sudah siap dengan konsekuensinya, silakan lakukan. Heheh.”

Gina menatap sang durjana tak percaya, orang ini sudah sangat dibutakan oleh nafsu. Apapun yang ia lakukan, ia tahu ia tidak akan bisa melawan Rey. Bangsat ini benar-benar sudah menghancurkan hidupnya.

Tak seberapa lama kemudian, sekali lagi Rey mengejutkannya.

Si durjana itu membungkuk ke bawah dan memungut salah satu pakaian Gina dan melesakkannya ke kantong celana. “Aku bawa celana dalam kamu untuk kenang-kenangan. Pasti asyik pulang ke rumah nanti tanpa pakai celana dalam. Hahhahahaaha.”

“Kurang ajaaaaaaaaarrr!! Bajingan kamuuuu!” Gina berteriak histeris.

Tapi pintu kamar hotel sudah ditutup.

Gina menangis, ia membenamkan kepalanya ke dalam bantal.

Kesetiaannya sebagai seorang istri sudah ternodai dan itu terjadi hanya dua pekan setelah bulan madunya dengan sang suami.

Hidupnya telah hancur.

.::..::..::..::.

Pasat menyaksikan Rey meninggalkan lift hotel sembari tersenyum dan bersiul bahagia.

Si bangsat itu! Pasti dia sudah melakukan hal tidak senonoh pada wanita cantik yang ia bawa kemari. Wanita jelita yang ia jebak dengan mengatakan suaminya berada di dalam kamar hotel yang disewa oleh Rey selama seminggu sebagai hadiah pernikahan mereka – tapi alih-alih ada sang suami, Rey malah menyekap dan memperkosanya.

Si bajingan itu, tega memperkosa istri sahabatnya sendiri. Biadab! Suatu saat nanti petir harus menyambar sang bedebah terkutuk ini.

Melewati lobi hotel Rey tersenyum dan mengangguk pada petugas hotel.

Pasat membenamkan wajahnya di balik topi dan penampang ponsel yang tak seberapa besar. Ia tak mau terlalu terlihat sebagai petugas kebersihan yang akan menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan kotor yang telah dilakukan si durjana. Ia tak ingin Reynaldi mengenalinya.

Pasat memicingkan mata. Ada kain menyembul dari balik saku celana si pemuda brengsek itu. A-apakah itu kain berenda?

Pasat mendengus. Itu pasti milik si wanita jelita.

Edan. Apa tidak cukup si bedebah sialan itu membuat ulah minggu ini? Tidak puas sudah membunuh orang, sekarang dia juga memperkosa istri sahabatnya sendiri dan hendak mempermalukannya?

Apa yang sebenarnya ada di otak manusia biadab itu?

Tak sanggup menahan kesabaran, Pasat sudah ancang-ancang untuk berdiri. Dia benci sekali melihat Reynaldi lagi-lagi berlaku gila. Tangannya terkepal, rahangnya mengeras, dan urat-uratnya menegang. Ingin sekali rasanya ia membenamkan kepalan tangannya ke wajah sang durjana itu berulang-ulang. Andai saja ia tidak berhutang budi pada QZK dan terpaksa menerima pekerjaan ini!

Melihat Pasat emosi, sang guru pun bereaksi. Ia memegang bahu pemuda itu dengan kencang. Ia menyalurkan Ki untuk menurunkan peningkatan prana dalam tubuh sang pemuda berambut coklat itu. Ini bukanlah saat untuk tenggelam ke dalam emosi pribadi. Tidak akan ada untungnya bagi Reynaldi, tidak ada untungnya bagi Bos Janu, dan jelas tidak ada untungnya bagi mereka bertiga. Mereka bertugas membersihkan sisa-sisa kelakuan Rey, bukan untuk mencampuri urusannya.

Pria dengan rambut dan jenggot berwarna perak itu berbisik perlahan, “atur napasmu, tarik dalam-dalam, dan lepaskan pada hitungan keempat. Untuk kali ini, jangan ikuti kata hati tapi coba melihat apa yang telah terjadi dengan menggunakan logika. Pertimbangan utamanya adalah siapa kamu dan apa pekerjaanmu, bukan apakah suatu hal itu benar atau salah. Apa yang terlihat salah, sebenarnya hanyalah satu sisi di balik mata koin – sebagaimana kejahatan adalah penyeimbang kebaikan. Tidak ada salahnya memang melihat dunia dengan pandangan yang benar dan lurus, tapi di balik itu harus ada keseimbangan.”

“Tapi guru…”

“Kamu juga tidak akan sanggup menghentikan apa yang terjadi. Jabatanmu tidak memungkinkan untuk melawan atau bertindak bodoh. Kamu adalah anggota QZK dan ini adalah tugas yang diberikan langsung padamu oleh Bos Besar, tugas kita bertiga. Tidak ada salahnya menahan diri dan menahan emosi. Kecuali kamu memang berniat cari mati dengan melawan perintah pimpinan.” Ucap sang guru mencoba menahan emosi Pasat.

Sang tetua akhirnya melepaskan tangan di pundak muridnya, Ki sudah disalurkan untuk menetralisir tenaga liar yang bergejolak dalam diri sang pemuda. Pasat menunduk, tangannya masih terkepal – tapi tenaganya sudah dijinakkan oleh Ki yang disalurkan oleh sang tetua rambut perak. Emosinya pun perlahan-lahan mengendur.

Pria yang rambut dan jenggot panjangnya berwarna perak itu sebenarnya bernama Kadarusman tapi Pasat memanggilnya dengan sebutan Guru Rambut Perak. Jika JXQ punya empat anak panah dari empat penjuru angin, maka QZK punya empat perisai sebagai penanding. Punggawa pertama di QZK di bawah Om Janu tentu adalah Syamsul Bahar sang panglima, nah yang kedua adalah sang guru rambut perak ini, Kadarusman atau biasa disingkat Ki Kadar oleh orang-orang QZK.

“Bocah, dengarkan nasihat dari guru. Aku tahu kamu masih muda dan darah pemberontakanmu selalu bergejolak. Tapi kamu anggota QZK dan setiap anggota QZK harus menuruti apa perintah Bos Janu. Tidak boleh menolak apalagi menghindar. Yang sudah dititahkan harus dijalankan, mengingkari artinya cari mati.” Kali ini murid Ki Kadar yang pertama yang bicara, seorang laki-laki yang selalu mengenakan topi gepeng atau flat hat. “Anggap saja kita ini prajurit, apa perintah komandan akan kita jalankan tanpa banyak bertanya. Yang utama adalah menyelesaikan pekerjaan sebaik mungkin. Semua beres, semua tenang, semua senang.”

Handoko, pria yang mengenakan flat hat itu sebenarnya masih muda – baru dua puluhan tahun, tapi wajahnya yang boros berasa seakan-akan membuatnya sepuluh tahun lebih tua. Tak banyak yang tahu, kalau penuaan wajah itu ia dapatkan karena kesalahan belajar ilmu kebal, beruntung Ki Kadar menyadarkannya dari jalan ilmu yang salah hingga nyawa sang pria bisa diselamatkan.

“Sudah saatnya kita ikuti lagi kemana perginya Mas Rey.” Ujar Ki Kadar mengomando.

Pasat mendengus, malas rasanya ia mengikuti kepergian sang durjana itu.

“Jangan khawatir, ia baru saja menghabiskan oli di atas sana, pasti setelah ini dia tidak akan macam-macam dan pulang ke rumah. Sebejat-bejatnya bajingan itu, dia pasti butuh tidur.” Handoko menepuk pundak Pasat.

“Kamu tinggal di belakang dan pastikan perempuan itu tidak melakukan tindakan aneh-aneh. Jika memang perlu, gunakan obat penenang padanya. Kalau dia melapor ke polisi, pastikan kita tahu siapa orangnya dan dari unit mana. Kalau dia melapor ke suaminya, bungkam dia dengan apapun kelemahannya. Lakukan seperti biasa.” kata Ki Kadar pada sang topi flat hat. “setelah semua beres, pulang dulu ke rumah sampai nanti kita pastikan Mas Rey melakukan perjalanan ora nggenah lagi..”

“Siap, guru.”

Ki Kadar berdiri dan melangkah ke arah teras di depan lobi hotel. Ia dibarengi oleh Pasat yang mengikuti di belakangnya. Pasat sempat melirik ke belakang, ia melihat Handoko masuk ke lift menuju ke atas untuk mengawasi kamar sang perempuan.

Entah apa yang akan dia lakukan. Handoko selalu handal.

Tanpa perlu menengok ke belakang, sang guru rambut perak tahu apa yang dilakukan oleh muridnya. “Kenapa?”

“Maaf guru. Saya hanya merasa kasihan pada cewek yang dibawa ke atas oleh Mas Rey, nasibnya pasti akan berubah setelah peristiwa ini, dia pasti akan mengalami trauma seumur hidup. Seperti halnya saya juga kasihan pada wanita yang direnggut kebahagiaannya karena kekasihnya dibunuh oleh Mas Rey. Sejujurnya saya tidak tega melihat mereka. Maaf kalau saya terlihat lemah dalam tugas yang diberikan oleh Bos Besar ini.” jawab Pasat. Sungguh dia tidak menyukai pekerjaannya ini. Kalau bisa ia ingin ditempatkan di unit lain yang tak perlu menyaksikan angkara murka merajalela.

“Kenapa harus minta maaf? Yang kamu rasakan itu normal. Itu artinya kamu masih manusia biasa.” ujar Ki Kadar. “Tapi QZK tidak butuh manusia biasa. Kelompok kita tidak akan menjadi kuat kalau kita hanya menjadi manusia biasa. Manusia biasa akan ditindas oleh mereka yang lebih superior, baik secara kemampuan ataupun penguasaan emosi. Semuanya dikembalikan padamu, apakah kamu mau jadi anggota QZK atau tetap menjadi manusia biasa yang lemah.”

Pasat mengangguk. Ia paham.

“Cewek yang dibawa ke atas oleh Mas Rey pasti sudah habis di-rudapaksa. Memang kasihan, tapi kewajiban kita adalah untuk menyelamatkan Mas Rey, bukan cewek itu. Dia hanya satu dari sekian banyak korban Mas Rey. Kamu tentu tahu tahun ini saja sudah berapa cewek yang dia perkosa?”

Pasat menghela napas. Reynaldi memang bagai iblis biadab yang tak henti-hentinya berbuat nista. Kelakuan bejatnya tak termaafkan. Borok di atas kemegahan QZK.

Pasat tahu dia tidak akan bisa menyelamatkan para wanita yang telah terimbas kejahatan Reynaldi, tapi mungkin ia bisa membantu mereka dengan hal yang lain.

Misalnya dengan membantu Rania.

.::..::..::..::.

“Apa kamu yakin seratus persen dia sudah mati?”

Suara itu terdengar bergetar dan tercekat di tenggorokan. Ada emosi bergejolak di sana. Antara menahan kesedihan, menahan kenetralan diri, sekaligus badai kekhawatiran yang kian meningkat. Sang pemilik suara jelas tidak sedang menyembunyikan perasaannya, dia pasti sedang terguncang hebat – suara itu adalah suara Deka yang sedang bertanya pada Rania.

“Yakin? Zeratus perzen? Yakin zeyakin-yakinnya? Yakin zeyakin-yakinnya dengan yakin zeratus perzen? Yakin?” kali ini giliran Hageng yang bertanya. Keringatnya mengalir deras meski ruang tamu rumah Rania sudah menggunakan kipas angin yang berputar sekuat yang ia mampu.

Rania gugup berhadapan dengan Deka dan Hageng yang menatapnya dengan pandangan serius. Ya, mereka butuh jawaban yang pasti – dan satu-satunya jawaban yang ia ketahui jelas tidak ingin mereka dengar.

Rania kembali meneteskan air matanya, goresan luka yang terkuak makin dibuka lebar, terlebih ia harus mengingat kejadian yang menyakitkan itu dalam benaknya. “A-aku tahu jantungnya sudah tidak berdetak, nadinya tidak bisa terbaca. Aku mencoba pernapasan buatan dan mencoba mengejutkan jantungnya secara manual tapi tidak ada reaksi apapun. Aku sudah mencoba, Mas. Maafkan aku… maafkan aku… maafkan aku…”

Hageng menghela napas panjang. Ia menepuk pundak Rania. Wanita itu pasti sudah melalui hari yang sangat berat. Kalau ini berat bagi mereka, apalagi bagi Rania calon istri Roy. “Bukan zalahmu. Ini zemua bukan zalah kamu. Tenanglah.”

Deka mengerutkan kening. Ia mencoba melihat sekeliling TKP tempat pertarungan antara Roy dan Reynaldi berlangsung dari balik jendela berteralis. Kalaupun ada bukti, pasti sudah habis dikikis hujan yang deras mendera sejak tadi. Si Gondes menggelengkan kepala, sial memang situasinya. Roy tewas dibunuh – dan mayatnya diambil orang tak dikenal.

Tapi itulah masalah utama dari kasus ini. Bajingan mana yang lantas mengambil mayat orang yang sudah dibunuh?

Aneh.

“Mana si Bian?” tanya Deka.

Hageng menunjuk ke luar ruangan. “Di luar sama Ara.”

Deka mengangguk dan memahami, sahabatnya itu pasti butuh waktu untuk sendiri. Semua kabar yang datang mengagetkan ini memang masih susah ditelaah dan dimengerti apa yang sesungguhnya terjadi. Butuh waktu lebih untuk mencoba ikhlas dan menabahkan diri, semua hanya bisa dilakukan dalam kesunyian dan solitary – satu-satunya yang bisa menenangkan Bian saat ini mungkin hanya Ara.

Di mata Deka, Bian dan Ara sudah seperti kakak adik yang teramat dekat.

Hageng mendekat ke arah Deka dan berkata, “Kita tidak biza mengharapkan kedatangan Nanto zaat ini, dia zedang melakukan perjalanan yang tidak biza diganggu. Menghubunginya juga tidak mungkin. Semua ponsel sedang dimatikan seperti yang terakhir ia bilang di grup WA.”

Deka mengangguk, “untuk sementara hanya kita bertiga saja. Tidak apa-apa, kita akan mencoba sekuat tenaga sampai Nanto pulang nanti.”

Hageng menggeleng kepala, matanya memerah. “bagaimana jika zatu jari kita benar-benar zudah patah? Kita tidak akan biza lagi menggenggam dengan zempurna.”

“Itu kenyataan pahit yang harus kita hadapi seandainya memang kejadiannya seperti itu. Tapi aku berharap ada kejelasan dan keajaiban. Masa iya cuma begini saja?” Deka menunduk. “Sebenarnya ada banyak hal yang tidak aku mengerti dari peristiwa ini, tapi di sisi lain juga sangat aku mengerti. Misalnya kenapa ini begitu dan kenapa ini begini.”

Deka menghela napas, dia harus mencoba berpikir dengan jernih meski bayangan wajah Roy yang tersenyum dan tertawa terus menghampiri benaknya. Seluruh tubuhnya merinding dan membayangkan jika sosok sang sahabat sejak SMA itu benar-benar sudah tiada. Mana mungkin dia rela. Hageng, Bian, Ara, dan Nanto pasti juga akan merasakan hal yang sama dengannya – perasaan tiba-tiba kosong dan sangat merindukan sosok Roy. Kalau di mereka saja sudah sangat berat begini terlebih lagi pasti perasaan Bian. Dia tidak berani membayangkan apa yang tengah dirasakan oleh Bian si bandel.

Di saat yang bersamaan akal sehat si Gondes bekerja ekstra cepat, berputar dan menelaah. Deka tahu mereka harus bergerak sesegera mungkin agar bisa mengejar siapapun yang bertanggung jawab, mereka berkejar-kejaran dengan waktu yang tidak bersahabat. Jadi sekarang saatnya berpikir dengan logika untuk menemukan apa yang tersirat dari yang sudah tersurat.

“Apa zaja hal-hal yang kamu pahami?” tanya Hageng.

Si Gondes mendengus, mengelus hidung dengan jempol, dan melanjutkan lagi, Ia berdiri di depan jendela, menatap pekarangan rumah Rania tempat Roy pernah meregang nyawa. “Pertama – hal yang paling aneh adalah kenapa tiba-tiba saja ada sosok-sosok asing yang kemudian dengan sigap mengambil dan menculik mayat Roy – jika dia benar-benar sudah mati. Siapa sebenarnya mereka? Untuk apa mereka melakukannya? Apa untungnya buat mereka? Kenapa mereka sudah sangat siap? Banyak pertanyaan tanpa ada jawaban. Satu-satunya yang bisa kebayang di otakku adalah mereka melakukannya untuk menyembunyikan jejak. Pembunuh Roy sepertinya bukan orang biasa. Dia punya pengaruh, punya backup, dan punya sejarah kriminal. Sehingga begitu dia melakukan kejahatan macam apapun, akan ada mereka-mereka yang dengan segera menghilangkan jejak supaya kejahatannya tidak terendus siapapun. Dengan kata lain, dia seorang bajingan yang sudah sering melakukan kejahatan.”

Hageng mengangguk-angguk, “Bukan orang biaza? Biza jadi dia orang bezar. Apa mungkin pimpinan politik? Atau dia ternyata anggota dari kelompok bezar?’

“Itu yang kita belum tahu, tapi entah kenapa rasanya yang terakhir itu yang ada dalam pikiranku. Dia salah satu anggota penting dari empat kelompok besar. Metode pengambilan mayat ini tidak akan terpikirkan oleh pemula. Seorang pemula akan menguburkannya sendiri, atau malah meninggalkan mayat korbannya begitu saja. Sedangkan mereka yang menculik mayat Roy sudah biasa melakukannya dan yang biasa melakukannya sudah pasti salah satu dari kelompok-kelompok besar di kota. Entah itu PSG, JXG, QZK, atau bahkan mungkin Dinasti Baru.”

“RKZ?”

“Kita sudah pernah berhadapan dengan mereka, kalau melihat metode serang mereka yang terang-terangan, rasanya bukan. Ini jauh lebih rapi. RKZ akan meninggalkan tubuh korban mereka di pinggir jalan. Kebiasaan tindakan begal mereka.”

“Aku akan menghubungi Hamdani – salah satu informan andalan Roy.” Bian tiba-tiba saja sudah berada di antara Rania, Deka, dan Hageng. Ara berdiri di samping Bian, wajah gadis itu pucat. Dia pasti juga sangat sedih karena kabar tentang Roy. Ara dan Deka berpandangan, sama-sama merasa kehilangan dan menyimpan berkecamuk perasaan yang tak bisa dijelaskan.

Ara menunduk dan memalingkan pandangan ke arah lain, Deka menghela napas panjang. Ia tak lagi melihat cincin pertunangan mereka di jari Ara.

Bian melanjutkan, “Aku memang tidak mengenal Hamdani, tidak pernah bertemu, dan hanya punya nomornya saja. Tapi akan aku coba menghubunginya. Mungkin Hamdani bisa memberikan info siapa dan dari kelompok mana bajingan bangsat ini berasal. Aku tidak peduli apakah mereka dari kelompok terbesar di kota ataukah maling kelas teri. Aku bakal satroni satu persatu kandang busuk mereka dan akan kubakar semua orang didalamnya sampai habis.”

Wajah Bian kencang berurat penuh emosi, matanya sembab, dan merah. Mungkin ia baru saja bermandikan air mata ketika berada di luar ruangan. Jelas si bandel tidak akan menunjukkannya di depan kedua kawannya dan Rania. Dia hanya bisa menunjukkannya di depan Ara.

“Itu boleh juga. Kita butuh informasi lebih banyak lagi, termasuk dari Hamdani.” Deka mengangguk, ia lalu duduk di depan Rania, “tapi kami berempat butuh info lebih banyak. Apakah kamu tahu siapa saja yang terlibat? Adakah yang kamu ingat dari mereka supaya kami ada cara untuk mencari tahu siapa-siapa saja yang harus bertanggung jawab?”

Rania menghela napas panjang, dia sebenarnya tidak ingin mengingat kejadian yang membuat nyawa kekasihnya direnggut oleh seorang durjana, tapi kalau diam saja dia tidak akan dapat membantu sahabat-sahabat Roy. Jadi dia harus kuat dan memberikan mereka informasi yang dibutuhkan. “Kalau orang itu… orang yang telah menyakiti Mas Roy… namanya Reynaldi. Dulu dia menjadi guru di sekolah keperawatan tempatku belajar, kalau sekarang aku tidak tahu dia di mana. Dia sebenarnya tidak sebanding kemampuannya dengan Mas Roy dan melakukan hal yang licik untuk mengalahkannya.”

“Apa ciri-cirinya?” tanya Deka.

“Reynaldi namanya? Bangsat! Bajingaaaan! Akan aku cari kemanapun kamu pergi, bangsaaaat!” Bian menggebrak meja dengan emosi. Lena yang berada di dekat mereka menangis dan bersembunyi ke belakang untuk menemui neneknya. Napas Bian menggerus seperti seekor banteng yang sudah tak sabar ingin menusuk seorang matador.

“Tenang. Sabar sebentar, kita akan cari siapa yang bertanggung jawab.” Dengan menahan isak tangis, Ara mencoba menenangkan Bian. Ia mengelus berulang punggung pemuda yang tengah terguncang itu. “Tenang dulu ya… tenang…”

Rania meneguhkan diri, dia harus bicara. Dia pun melanjutkan keterangannya. “Reynaldi berwajah tampan dan terkesan pemuda baik-baik, tapi sesungguhnya hatinya busuk. Dia juga sangat mata keranjang. Kalau sudah mengincar seorang wanita, akan dia kejar sampai dapat. Kalau tidak berhasil ia rayu, akan ia paksa sampai puas. Penjahat kelamin berkedok pemuda baik hati.”

“Hmm. Seorang durjana pemetik bunga. Salah satu dari rombongan bangsat-bangsat yang mesti dikebiri.” Deka kembali bertanya. “Kalau orang-orang yang mengambil tubuh Roy? Seperti apa mereka? Kami akan mencoba mencari orang-orang itu.”

“Ada tiga orang yang mengambil tubuh Mas Roy. Sayangnya aku tidak melihat jelas dua yang lain, karena saat itu pikiranku kalut, dan suasana hujan deras. Aku hanya berhasil mengamati satu yang dekat denganku. Ada satu hal yang unik dari orang itu. Dia punya mata yang berbeda warna. Satunya berwarna biru.”

Heterochromia. Semacam cacat unik yang membuat seseorang memiliki dua warna iris yang berbeda. Tapi cacat unik seperti ini cukup umum, jadi tidak bisa kita jadikan patokan untuk mencari siapa dia – apalagi jika orang itu sering mengenakan kacamata hitam di jalanan.” Kata Ara membantu penjelasan dari Rania.

Deka mengangguk, “baiklah – kita tidak bisa diam begitu saja dan menunggu kabar apapun, karena tidak akan ada orang yang memberikan kabar pada kita. Kitalah yang harus aktif mencari tahu. Bian akan menghubungi Hamdani, aku akan mencari tahu dari informanku, dan Hageng…”

Hageng menatap Deka.

“Kita semua tahu saat ini kamu yang paling resourceful karena punya Sonoz di bawah kendalimu.”

“Kira-kira begitu,” Hageng mengangguk, “mezkipun untuk zegala macam uruzan aku mazih haruz berkonzultazi dengan Zimon. Apa yang biza aku kerjakan?”

“Tebar anak-anak Sonoz untuk mencari info tentang keberadaan Roy, orang bernama Reynaldi, atau si mata separuh biru itu. Lebih banyak yang mencari lebih baik. Kalau memang ada kendala dengan Simon, biar aku yang bicara. Karena untuk urusan seperti ini, aku yakin Nanto juga akan melakukan hal yang sama.”

Hageng mengangguk. “Zetelah ini aku hubungi Zimon.”

Deka menepuk lutut, “Baiklah. Sepertinya untuk hari ini, itu yang bisa kita kerjakan. Mari kita berpacu dengan waktu dan berusaha sekuat tenaga mencari ke seluruh kota. Harapannya memang kecil, ibarat mencari sebatang jarum di gunung jerami. Tapi mudah-mudahan apa yang kita lakukan dengan tulus tidaklah sia-sia.” Tangan Deka disorongkan ke depan. “Demi Roy.”

“Demi Roy.” Hageng menumpuk tangannya di atas Deka.

“Demi Roy.” Bian menyusul, tangannya ada di atas Hageng.

“Demi Roy.” Ara menumpuk tangannya di atas Bian.

Terakhir Rania juga melakukan hal yang sama. “Demi Mas Roy.”

Usai pertemuan sesaat itu, Hageng, Deka, Bian, dan Ara pamit pada Rania untuk segera melakukan pencarian. Meski tahu harapan mereka tipis, tapi mereka menyimpan asa untuk mencari kecerahan dan cahaya yang akan membantu di tengah kegelapan.

Hujan mulai menyingsing, meninggalkan gerimis-gerimis kecil yang masih turun tanpa aturan. Kadang di sana kadang di sini, semaunya turun di menghunjam bumi.

Deka, Bian, dan Ara melangkah menuju gerbang depan pintu rumah Rania tempat deretan motor mereka diparkir. Ketika sampai di lokasi motor, barulah mereka menyadari Hageng tidak ikut berjalan bersama mereka. Ketiganya menengok ke arah yang tadi mereka lalui dan melihat Hageng berdiri di di tengah jalan dengan kepala menunduk.

Tubuhnya bergetar, tangannya tergenggam erat terkepal.

“Roy…” bisik sang T-Rex dengan suara gemetar.

Ara buru-buru berjalan dengan cepat ke arah Hageng.

Sang raksasa itu sudah berusaha kuat saat berada di dalam tadi bersama dengan Rania, berusaha menjadi laki-laki sejati. Tapi begitu keluar rumah, kenyataan menerpanya. Ia disadarkan bahwa mereka tidak akan dapat lagi menyaksikan tawa Roy, bagaimana positifnya ia menghadapi hidup, bagaimana sederhana pandangannya, bagaimana kuatnya menghadapi nasib. Terus mendukung Bian yang sempat terjerumus kehidupan gelap, berada di sebelah Deka saat Nanto pulang ke desa, dan menjadi orang yang paling murah hati memasakkan sesuatu untuk Hageng.

Mereka tak akan pernah menyaksikannya lagi terbang di udara dengan kelebat ringan tubuhnya yang hebat. Di setiap pertarungan Roy selalu menjadi yang pertama kali maju menghadang lawan, ia selalu melesat terlebih dahulu bahkan ketika mereka melaju bersamaan. Jika ada lawan menyerang, maka dia yang akan pasang badan terdepan.

Roy adalah sahabat mereka dari Lima Jari.

Sahabat yang mungkin tak akan lagi mereka jumpai.

Sahabat yang akan selalu ada di hati.

“Roy…” genggaman kepalan tangan Hageng makin kencang. Mulutnya bergemeretak dengan gemas menahan seluruh campur aduk emosi yang ia rasakan.

Ia ternyata tak sekuat yang ia duga jika itu menyangkut seorang sahabat sejati. Tubuhnya bergetar begitu hebat sementara matanya terus dipejamkan, seakan tak ingin melihat suasana pekarangan rumah Rania tempat Roy pernah meregang nyawa. Matanya berkaca-kaca.

“Aku tidak biza… tidak biza.” suara sang T-Rex bergetar. “Roy…”

Ara yang sudah sampai di posisi Hageng berada segera mengelus lengan besar sang sahabat. Mata gadis itu ikut berkaca-kaca, tak terasa air matanya meleleh. “Kita semua harus bisa. Memang tidak bisa seketika, tapi harus bisa. Demi Roy. Jangan lupa kita juga harus membantu Rania, wanita yang paling Roy cintai – untuk mencari kejelasan. Kita pasti bisa.”

Deka hanya terdiam dan menunduk saat melihat Hageng. Mulutnya juga bergemeretak gemas.

Bian menengadah ke atas, melihat awan yang mulai bergerak memberikan jalan bagi kecerahan usai mengguyur bumi dengan hujan deras. Ia memejamkan mata. Sekali lagi segaris air mengalir tanpa bisa ia cegah di pipinya, ia tidak ingin menunjukkannya pada siapapun.

“Kalau kamu memang sudah benar-benar terbang, kamu tenang saja di atas sana, Nyuk.” Lirih Bian berbisik sembari membayangkan wajah sang saudara kembarnya tersenyum di langit. Ia menggenggam erat jemarinya.

“Aku akan menyelesaikan semuanya. Akan kubayar lunas semuanya.”

Tiara

Rania

Gina yang telah diperkosa habis-habisan oleh Reynaldi meninggalkan hotel beberapa jam setelah sang durjana. Ia terlihat tertatih dan acak-acakan dengan wajah sembab. Jalannya juga awkward, kagok, dan tidak tenang. Mungkin karena ia tidak mengenakan celana dalam sementara ia mengenakan rok yang agak tinggi di atas lutut. Hal itu membuat ia merasa malu meskipun banyak orang tentu tidak akan menyadari. Justru tingkahnya yang kaku itu yang membuat beberapa orang pegawai hotel menatap Gina dengan pandangan yang tak nyaman.

Handoko mengawasi Gina dari belakang.

Seperti yang sudah diperintahkan oleh Ki Kadar, tugasnya hari ini adalah mengawasi si cantik ini dan apa-apa saja yang akan dilakukannya. Jika dia pergi dengan menyewa taksi online, maka Handoko harus mengikutinya dari belakang tanpa ketahuan.

Tiba-tiba saja salah satu ponsel Handoko berbunyi. Ya, ia memang punya lebih dari satu smartphone. Tanpa melepas pandangan dari Gina yang tengah berdiri di depan teras hotel, Handoko berjalan menuju mobil sembari membuka ponselnya.

Ada pesan Whatsapp masuk.

Pesan ini dari… ah. Orang itu.

Mas Hamdani. Ini Bian, saudaranya Roy. Saya butuh informasi. Apakah ada waktu?

Handoko Hamdani menarik napas panjang. Pasti Bian juga terkejut saat tahu Roy menjadi korban, bahkan Handoko sendiri pun terkejut karena Reynaldi tiba-tiba saja bermasalah dengan pemuda yang sudah ia kenal sejak lama. Tapi kapasitasnya sebagai prajurit membuatnya tak bisa melakukan apapun. Ia hanya bisa mengambil tubuh Roy tanpa bisa menyelamatkannya.

Dia tahu kasus Roy akan menjadi bola salju yang bergulir makin lama makin besar, tapi sekarang bukan saatnya untuk menjawab pertanyaan Bian. Kontraknya dulu adalah dengan Roy, bukan dengan orang lain lagi. Jadi pria itu pun menutup ponsel tanpa membalas.

Sepertinya dia tidak akan pernah membalasnya sampai kapanpun.

Menjadi informan bagi Roy adalah satu hal, tapi menjadi informan tentang kasus kematian Roy adalah hal yang lain lagi dan lebih berbahaya.

Saat ini tugasnya adalah mengawasi perempuan yang baru saja diperkosa Rey.

Jalankan tugas sebagai prajurit. Titik.

.::..::..::..::.

Sebuah monumen yang konon dibentuk untuk menyerupai bentuk tumpeng atau gunung menjulang tegap tanpa goyah bermandikan cahaya di depan Deka. Sang monumen terlihat besar dan unik, di sana, di seberang jalan, dipisahkan oleh ruas jalan enam lajur yang disebut ringroad utara. Monumen itu tidak terlampau tinggi, megah tanpa angkuh dan tidak mengintimidasi, tampilannya sederhana dibentuk dengan gemati, bermandikan lembut warna-warni pelangi, yang terpancar dari lampu terang saling imbang-mengimbangi.

Brr.

Jaket tebal yang dikenakan Deka melindungi tubuhnya dari dinginnya malam yang sejuk karena hujan mendera sepanjang hari. Kini hujan memang hanya menyisakan gerimis kecil yang bermain-main menghujani bumi. Saling kejar mengejar bagai anak kecil yang berlarian di jalanan lengang. Bertubi-tubi menghunjam. Menyegarkan tanpa mengganggu, memberikan dingin berbalut nuansa sendu.

Pukul sepuluh malam sudah lebih, mobil dan motor masih berlalu lalang tanpa letih. Ketika gerimis telah rapih, seorang pemulung tua bangkit dan berjalan tertatih. Pria tua berwajah kuyu yang telah bergulat siang malam tanpa jerih, menggendong karung putih demi kebutuhan tumpang tindih, demi lembaran uang dan kepingan pipih, masalah memang silih berganti tapi tak mengapa asalkan hari selalu beralih.

Deka duduk di sebuah halte biru di seberang jalan sang monumen yang juga populer dengan Taman Pelita-nya. Di sebelah halte yang diduduki Deka terdapat box station pemberhentian TransKota – tempat yang kini juga sudah sepi. Si Gondes menarik napas panjang sembari mengangkat lengan untuk melihat ke jam tangannya. Sudah cukup lama si brengsek itu terlambat. Jinguk. Dia tak sabar lagi. Apa sebaiknya dia angkat kaki dari sini? Yang ditunggu-tunggu tak kunjung datang.

Dasar panjang umur, tak lama kemudian sebuah motor berhenti tak jauh dari posisi halte biru di mana Deka berada. Dua orang berboncengan, tapi hanya yang duduk di belakang yang turun. ia meletakkan helm di atas motor sementara orang yang satu lagi diam tanpa banyak bicara. Saat membuka helm, wajah seorang pria berambut gondrong muncul – wajah yang sudah Deka kenal.

Wajah Kori.

“Maaf bro, tadi ada sedikit kesibukan yang harus aku selesaikan jadi terlambat.” Kori melenggang dengan santai ke posisi di mana Deka berada. Ia menatap jijik ke arah dudukan di halte – karena memang pada dasarnya Kori sedikit clean-freak.

“Padahal aku sudah mau pergi.” Deka mendengus.

“Heheh. Aku yakin kamu pasti akan menunggu lebih lama.”

“Sok yakin.”

“Karena kali ini kamu yang memanggilku datang, berarti kamu yang butuh. Heheheh.” Kori bersidekap, “sudah malam jadi sebaiknya kita cut to the chase saja. Apa maumu?”

“Aku butuh informasi.”

Kori menatap Deka dengan mendelik, tapi tak lama kemudian pria aneh itu pun tertawa, “Tumben. Hahaha. Informasi dariku? Apakah informasi yang kau butuhkan membutuhkan riset khusus di pangkalan data yang kami punya? Hahaha.”

“Kampret.”

Kori yang tadinya tertawa berubah serius, “tentu saja aku akan membantu. Tapi tidak ada yang gratis di dunia ini.”

“Sebutkan saja bagaimana harus membayarnya.”

“Tergantung tingkat kesulitanku mendapatkan informasi yang kamu butuhkan. Kalau sangat sulit, aku tentunya harus menembus beberapa atasan untuk bisa masuk ke pangkalan data yang lebih lengkap di kantor pusat. Kamu tahu sendiri, data adalah segalanya di jaman ini. Aku tidak bisa membagi data untukmu secara gratis.” Kori tersenyum, “Tapi anggap saja aku baik hati hari ini, informasi apa yang kamu butuhkan?”

“Nama, biodata, dan lokasi dari seorang laki-laki bernama Reynaldi. Dia pernah bekerja di sekolah perawatan beberapa tahun yang lalu. Terlibat kasus pelecehan seksual di sana lalu keluar. Sepertinya punya backing kuat. Mungkin dari kelompok tertentu atau dari dinas, aku tidak tahu. Yang aku tahu – setiap kali dia melakukan hal busuk, akan ada orang-orang yang membersihkan jejaknya.”

Kori manggut-manggut, “Reynaldi ya… hmm… sounds familiar.”

“Salah satu orang yang ikut membersihkan ulahnya adalah seorang pria muda dengan rambut yang akhir-akhir ini dicat coklat.”

“Banyak yang seperti itu lah. Ada yang lebih spesifik?”

“Dia pengidap heterochromia. Warna matanya berbeda. Satunya normal orang kita, satu lagi warnanya biru. Sepertinya itu sudah cukup spesifik.”

“Heheheh. Menarik. Apa tujuanmu mencari orang-orang ini?”

“Bukan urusanmu.”

“Heheheh. Sebentar lagi pasti akan menjadi urusanku.” Kori menyeringai. “Baiklah kalau begitu. Aku pergi dulu. Nanti aku berikan kabar kalau sudah menemukan data yang kamu inginkan.”

“Begitu saja?”

“Begitu saja.”

“Tunggu dulu… bagaimana aku harus membayar…”

Kori terkekeh, “kamu hutang satu padaku. Aku akan menagihnya kelak.”

Deka menunduk dan menatap Kori dengan sengit. Orang ini memang penuh perhitungan. Tapi tidak ada orang lain yang lebih tepat untuk mendapatkan info selain Kori pada saat ini – walaupun kelak dia akan menyesal telah melakukan perjanjian dengan si gila kebersihan itu.

“Aku masih penasaran, kenapa kamu membutuhkan info ini. Aku hanya akan pergi jika kamu menceritakan apa yang terjadi.”

Deka menghela napas, mau tidak mau ia pun menceritakan kisah yang menimpa Roy meski tidak menceritakan secara detail. Dia hanya menceritakan garis besarnya saja – setidaknya peristiwa kriminal itu membuat sang gila kebersihan tertarik mendengarkan.

Hingga pada akhirnya Kori tersenyum.

“Kenapa senyum-senyum begitu? Jinguk su! jangan bikin aku emosi!” Deka mendengus sengit, “aku tidak akan berhenti sampai aku menemukan temanku dan orang yang bertanggung jawab telah menyakitinya. Dua-duanya harus aku temukan, hidup atau mati! Kalau kamu berani mentertawakan, aku akan…”

“Kekekek. Tenang. Sabar. Jangan keburu ngamuk dulu. Aku tidak mentertawakan apa pun yang kamu ceritakan itu.”

“Lalu?”

“Aku tertawa karena kamu sebenarnya tidak tahu apa-apa. Aku hanya berharap kamu tahu saat ini juga tengah ada pergolakan yang terjadi di kota, yang mungkin akan mempercepat kebangkitan QZK dan JXG. Jika hal itu benar-benar terjadi maka kalian semua berada dalam bahaya. Heheheh.” Kori berjalan dengan ringan meninggalkan Deka yang kebingungan. “Kalau memang temanmu sudah mati, mungkin dia justru menjadi yang paling beruntung karena selamat dari perang yang akan terjadi. Itu sebabnya aku sekali lagi menawarkan padamu untuk bergabung dengan kami. Bagaimana?”

Deka mendengus lagi, “Aku sudah bersama dengan teman-teman terbaik. tidak berminat bergabung dengan kalian. Aku tidak peduli dengan perang apapun.”

“Pastinya. Aku juga tidak peduli dengan perang apapun. Kalau ada pelanggaran, maka kami akan turun tangan. Titik. Sesimpel itu.” Kori mengedipkan mata pada Deka, “aku beri sedikit informasi gratis demi persahabatan kita – Joko Gunar dan PSG sudah mulai bergerak, dan itu artinya kiamat untuk Aliansi dan Dinasti Baru. Mereka pasti berniat melebarkan wilayah secepatnya sebelum JXG dan QZK bangun dari tidur panjang. Aliansi pasti akan menjadi target pertama. Kalian sebaiknya berhati-hati.”

“Biarkan saja mereka datang, kami tidak peduli.”

“Shyombong amat. Kekekeke. Pokoknya aku sudah kasih bocoran lho ya.”

Deka memandang ke arah jauh. Ia memandang dengan gamang ke arah monumen yang berada di seberang jalan, terlihat dari posisinya yang duduk di halte sementara Kori berjalan menjauh ke pengendara motor yang menunggunya. Orang itu sebenarnya Rikson, salah satu punggawa DoP yang sudah bergabung dengan Kori.

“Omong-omong, mumpung kita ketemu… sebenarnya ada satu bocoran lagi. Kamu mau?” tanya Kori.

“Aku khawatir bayarannya mahal.”

“Memang. Apalagi informasi ini sebenarnya tidak ada kaitannya denganmu atau kelompokmu. Meski cukup penting juga.” Kori terkekeh lagi, “masih tertarik?”

“Tidak.”

“Ini berkaitan dengan Amar Barok.”

Deka membuka matanya sedikit lebih lebar, informasi apa yang dimiliki bedebah ini tentang kakaknya? Deka berdiri dan menepuk tangannya yang berdebu, dia mendengus kesal pada Kori karena telah membuatnya penasaran. Tapi Amar sudah punya kelompok besar yang tak bisa mereka sentuh dan sebentar lagi akan bertarung dengan Lima Jari di ajang Tarung Antar Wakil. Lebih baik tak mendekati Amar.

Meski begitu berita apapun tentang Amar tentu membuat pikirannya melanglang buana. Ada apa lagi dengan sang kakak? Bedebah yang satu ini punya rahasia apalagi? Jinguk. Ia jadi khawatir. “Kenapa dengan Amar?”

Kori tertawa melihat perubahan wajah Deka.

“Sebenarnya aku tidak tega memberi informasi ini karena kamu baru saja kehilangan teman – tapi sebaiknya bersiaplah juga untuk kehilangan seorang kakak juga jika tidak segera bertindak. Hahaha.” Kori melambaikan tangan. Dia sudah mulai mengenakan helmnya. “Yah sayangnya aku jadi benar-benar tidak tega. Ya sudah, informasinya aku simpan dulu kalau begitu. Hahaha.”

“Bajingan! Jangan setengah-setengah kalau kasih info! Apa yang akan terjadi pada Amar?!” Deka buru-buru menghampiri Kori.

Namun pemuda itu sudah naik ke atas motor yang tak lama kemudian menyala. Ia hanya tersenyum dan menggeleng. “Tunggu saja kabar dariku. Pertemuan berikutnya aku akan berikan kabar yang lebih lengkap tentang Amar, tentang Reynaldi, dan tentang hal yang harus kamu lakukan untuk membayar satu persatu informasi yang aku berikan. Pertukaran info ini hal yang indah bukan? Bagaimana menurutmu?”

Kori dan Rikson tidak menunggu jawaban dari Deka. Mereka segera berlalu dan meninggalkan sang pemuda di pinggir ringroad. Deka menggenggam erat tangannya yang terkepal. Para bedebah busuk itu! Apa yang mereka rencanakan? Hal apa yang harus ia lakukan untuk mereka kelak?

Jika Deka mengetahuinya sekarang, mungkin ia akan menyesal.

Tapi itu cerita di lain waktu.

Hujan yang tadinya sudah berhenti kembali menetes.

Satu demi satu, lompat melompat di aspal.

Hujan pun turun kembali.

Bersambung

gadis lihat bokep
Ngentot dua gadis manis yang terangsang karena melihat bokep
tetangga hot
Cerita dewasa terkagum kagum dengan tubuh mulus tetanggaku
Cerita Dewasa Menginap Di Rumah Tante Lia
Tante sexy
Tante Ku Yang Telah Mengajari Jadi Haus Sex
Burung Jalak
gadis suka ngentot sejak kecil
Kakak Kandungku Sendiri Yang Telah Mengajari Sex
Cewek horny
Menikmati cumbuan cowok yang baru ku kenal waktu lembur
ngentot teman
Kenikmatan ketika aku sedang DIJARAH dua teman lelakiku bagian 2
dukun cantik
Ceritaku waktu ritual dengan dukun sakti yang cantik dan montok
bokep teller bca
Bercinta Dengan Pegawai Bank Yang Masih Perawan Bagian Dua
mama hot
Gara-gara Tidur Sekamar Hotel Dengan Ibu Kandungku
tante hot
Lama tak pulang di suguhi kenikmatan tubuh tante ku yang cantik
gadis manja
Cerita cewek manja yang punya nafsu gede
Foto Bugil Jilbab Calon Ustazah Korek Memek
ABG montok sange colmek di kamar
ibu guru mandi
Gairah Sex Bu Firdha, Guru Biologi Berjilbab Yang Alim