Part #52 : Setelah dua malam panas bersama Karina

Setelah dua malam panas bersama Karina dan masalah dengan Agnès, keknya aku butuh time-out sebentar. Adrenalinku terus berpacu beberapa hari ini. Jantungku konstan berdegub kencang karena berbagai masalah dan kejutan yang datang silih berganti kek gak abis-abis menyerangku. Apa ini bagian dari rencana dari entitas yang selalu ada di belakang semua ini? Entitas yang aku belum tau siapa dan apa maksudnya. Benar-benar hanya mau aku membantu para ‘pasien-pasienku’ ini. Ato membuatku sedemikian sibuk ato apa?

Kalo benar-benar mau menolong para binor itu, kenapa bukan dia sendiri yang melakukannya? Kenapa harus diserahkan padaku? Apakah dia tidak sanggup? Ato malah dia sendiri perempuan juga? Ya… Semua masalahku ini selalu berhubungan dengan perempuan binor yang sulit hamil. Kalo ‘dia’ perempuan tentunya gak bisa, kan. Tambah membingungkan…

Aku sama sekali gak bisa melacak entitas itu. Ia menutupi semua jejaknya dengan sangat rapi dan teliti. Langkah demi langkah dilakukannya secara bertahap dari Aida dulu sampe sekarang ke Andini yang terakhir kali… Entah apakah Agnès termasuk di dalamnya ato tidak karena bule Prancis itu gak minta dihamilin seperti binor-binor lain. Karina posisinya ada sebelum Andini muncul dan hanya proses penghamilannya aja yang terlambat walo sudah selesai dan dari keduanya aku tinggal menanti kabar baik saja, mudah-mudahan kebersamaan kami itu bisa membuahkan hasil, bayi yang mereka impikan.

“Ya… Halo, mbak Andini yang ayu?” jawabku sebenarnya agak malas-malasan karena sibuk kerja.

“Halo, bang Aseng jelek…”

“Apa cerita, Dinn?”

“Abang gak ada rencana ke Siantar lagi?”

“Awak kan kerja, Dinn… Mana mungkin ujug-ujug pigi ke Siantar… Bukan-nya dekat Siantar dari Mabar sini… 4 jam ke sana-loh…” tau aku apa maksudnya nelpon kek gini. Pastinya minta disayang-sayang lagi. “Lakikmu Heri, cemana?” aku mengalihkan pembicaraan ke topik lain.

“Gak kemana-mana dia, bang… Gak ada dia maen perempuan itu lagi… Awak aja yang dimaeninnya kok tiap hari…” jawabnya vulgar.

“Baguslah itu… Itu kan maunya Andini… Moga-moga cepat isi…” doaku.

“Maennya tapi gak enak… Gak kek abang… Awak gak sempat treak-treak dia udah nembak duluan… Lemes… Hu-uh… Maen lagi-gitu lagi… Gitu aja trus… Cuma dia aja yang enak terus… Andini kan pengen kek waktu sama bang Aseng itu… Awak sampe jerit-jerit keenakan gitu, kan?” terus aja dia curhat tentang hubungannya dengan suaminya. Terus aja dibandingkannya aku dengan suaminya yang katanya kurang bisa memuaskannya.

“Dinikmatin aja, Dinn… Cari variasi… Di sawah dekat rumahmu kan ada gubugnya… coba maen di situ… Sensasinya pasti paten kali…” usulku. Waktu itu aku udah kepikiran mau ngelakuin itu tapi terkendala waktu. Sekalian aja ide itu untuk mereka berdua.

“Ihh… Mana mau dia… Awak ajak maen di restoran lesehan kek kita waktu itu, gak mau dia…” gerutunya terus di seberang sana.

“Waktu itu kan hujan deras, Dinn… Cobain aja terus… Eh dia kemana nih? Gak kerja lakikmu?” tanyaku di sela waktu makan siangku masih memelototi layar kompie yang belum kelar-kelar dari pagi.

“Ini lagi keluar dia bang… Kerjaannya kan cuma liat-liat kebun sawit… Nongkrong di warung kopi sebentar trus pulang minta jatah… Paling entar lagi dia pulang tuh… Awak dah disuruh ngangkang aja telanjang… Dah paten kali rasanya dia…” trus curhat binor itu dengan vulgar lagi kek lagi ngobrol sama teman cewek aja ngomongin urusan ranjangnya. Pikiranku kemana-mana karena tadi hampir telat masuk kantor karena pas mau berangkat kerja, ternyata salah satu ban Pajero-ku kempes. Mungkin bocor. Karena gak mungkin nunggu sekian lama ganti ban, kusuruh Misnan yang mengerjakannya dan aku berangkat kerja naik SupraX 125 sahabat lamaku. Dari kompleks XXX ini lebih jauh ke pabrik karena biasanya kalo pake mobil aku lewat jalan tol yang pintu masuknya ada dekat kompleks perumahan ini sehingga lebih dekat. Naik motor jadi semakin jauh. Untung aja tepat waktu dan gak terlambat.

Apa masih sempat nanti pulang dulu ganti baju dan mobil karena kelas perdana kuliah Manajemen Bisnis dimulai malam ini. Takutnya kerjaan masih banyak dan waktu mepet hingga aku harus langsung berangkat kuliah langsung dari kantor. Waduh… Merepotkan sekali jadinya.

“Cayoo, Aseng! Semangat berangkat kuliahnya… Mencari ilmu ke Barat!” olok-olok kak Sandra saat aku akan berangkat abis beres-beres dokumen kerja. Dia mengusirku pergi karena ia sudah janji kalo sudah waktu masuk kuliah, ia akan mendahulukan kuliahku. Apalagi sebenarnya jam kerja sudah lama berakhir dan aku sering lembur mengerjakan bejibunnya kerjaan. Sering kami hanya berduaan saja di kantor ini, dan yang lainnya sudah pada pulang.

“Awak pigi kuliah ya, kak?” permisiku. Andilnya sangat besar karena ia yang mencarikan kelas ini, ngurus pendaftarannya, melobi bos besar untuk membiayai uang kuliah dan menyediakan waktunya agar kondusif. Aku mencoba salim tangannya kek lagi pamit sama ibuku.

“Baik-baik ya, Seng… Jangan lu perli (goda) kawan-kawan kelas lu… Mamak-mamak semua isinya, tuh…” katanya menyambut tanganku dan membiarkanku mencium punggung tangannya. “Yang bapak-bapaknya boleh-laa…”

“Kimak-la, kak… Kek hombreng awak kakak buat…” berikutnya ia mempelesetkan lirik lagu rap Kera Sakti jadi Aseng Sakti mengiringi langkahku pergi mencari ilmu ke Barat. *halah.

Ha ha… huuu…..
Sun Go Kong is in the house

Seekor kera
Terpuruk terpenjara dalam gua
Di gunung tinggi sunyi tempat hukuman para dewa

Bertindak sesuka hati
Loncat kesana kesini
Hiraukan semua masalah di muka bumi ini

Dengan sehelai bulu
Dan rambut dari tubuhnya
Dia merubah menerpa menerjang segala apa yang ada
Walau halangan rintangan
Semakin panjang membentang
Tak jadi masalah dan tak kan jadi beban pikiran

Berkelana setiap hari
Demi mendapat kitab suci
Dengan dukungan dari gurunya
Temukan jati diri
Semua kan dihadapi …
Dengan gagah berani
Walau aral rintangan
Setiap saat datang tuk menguji

(Kera Sakti…)
Tak pernah berhenti
Bertindak sesuka hati

(Kera Sakti…)
Menjadi pengawal
Mencari Kitab suci

(Kera Sakti…)
Liar nakal brutal
Membuat semua orang menjadi gempar

(Kera Sakti…)
Hanya hukuman yang dapat menghentikannya

Walau halangan rintangan membentang
Tak jadi masalah dan tak jadi beban pikiran

Sepanjang jalan mengendarai motor sahabat setiaku ini aku menggumamkan lagu soundtrack serial jadul 90-an yang sangat ngehit di masanya. Hanya saja karena pengaruh kak Sandra, setiap kata Kera Sakti kuubah menjadi Aseng Sakti. Kek orang paok aku nyanyi-nyanyi sendiri sambil mengarahkan motor ini ke kampus baruku.

Gedung kampus ini terlihat sangat mentereng malam-malam begini karena pengaruh lighting-nya. Di jam regulernya banyak mahasiswa-mahasiswi yang menuntut ilmu dari pagi sampe sore. Dan saatnya mahasiswa/i senior kek kami yang mengisi tempat ini sekarang. Tapi ada aja mereka yang seharusnya udah pulang dari tadi masih nongkrong menikmati wi-fi gratis ato sekedar ngumpul-ngumpul aja dengan teman ato malah pacaran.

Kuparkirkan motor SupraX 125-ku di parkiran motor dekat dengan gerbang masuk bareng beberapa motor yang masih tersisa. Aku memegangi kertas jadwal kelas sambil ngeliatin gedung itu. Gak tau dimana kelasnya. Aku nanya sama siapa, ya? Saat aku bermaksud nanya sama security di posnya beberapa mobil masuk melintas di depanku silih berganti. Ini keknya calon teman-teman sekelasku nanti ato malah kakak kelas. Ato malah para dosen karena ada beberapa yang sudah cukup berumur. Tapi niat awalku tak kuurungkan, aku tetap ke pos security.

“Permisi, pak? Saya mahasiswa baru mau nanya kelas ini dimana ya, pak?” tanyaku langsung aja nyerocos karena sepertinya dua security ini masih lebih muda dariku. Kutunjukkan nomor kelas yang kumaksud. Ternyata salah satu dari security muda itu cukup teliti melihat daftar kelasku dan menunjuk pada seorang bapak tua yang sedang berjalan menuju gedung kampus sebagai dosen kelas pertamaku yang akan berlangsung tepat jam 7 malam nanti.

Ia menuju ke lantai dua bangunan ini dan aku mengikutinya. Ketika aku melihat deretan kelas-kelas yang berjejer aku baru paham arti nomor-nomor yang tertera di jadwal yang kupegang ini sesuai dengan ada di pintu kelas. Malam ini ada dua kelas yang berakhir nanti jam setengah 10 malam. Ternyata pak dosen itu gak langsung masuk ke kelas melainkan ngobrol dengan salah satu dosen lain yang juga akan memulai tugasnya. Aku masuk ke dalam kelas… celingak-celinguk sebentar dan ternyata sudah ada beberapa orang di dalam. Karena udah belasan tahun lalu terakhir ada di bangku sekolahan, aku ngerasa gugup juga berada di lingkungan ini. Tapi ngeliat bahkan ada yang lebih tua dariku, aku sedikit lega berarti dia lebih lama lagi dariku. Kupilih duduk di barisan paling belakang sebelah kiri kelas, menyendiri. Teringat dulu waktu SMA posisi dudukku begini juga semeja bareng sama Kojek.

Dosen itu lumayan ramah membuka awal perkuliahan ini dan melakukan perkenalan yang lazim dilakukan di tiap kelas barunya. Ia juga meminta kami memperkenalkan diri. “Selamat malam… Nama saya Nasrul… Saya bekerja di sebuah perusahaan manufaktur di Kawasan Industri Medan sebagai staff administrasi… Terima kasih…” kataku mengakhiri sesi perkenalan bagianku. Karena aku yang duduk paling belakang, aku yang terakhir memperkenalkan diri.

“Pak Nasrul sudah pernah kuliah sebelumnya atau?…” tanya pak dosen menahanku dari cepat-cepat duduk.

“Belum pernah, pak… Saya sempat kerja serabutan sehabis SMA dulu… lalu mulai kerja di perusahaan sekarang dari bawah… Pejuang karier kerennya… He hehe…” kataku berusaha ramah dengannya. Aku yakin kalo banyak di sini yang senasib denganku, kalo enggak mana mungkin baru sekarang bisa kuliah.

“Bagus-bagus… Menuntut ilmu itu tidak terbatas… Mau masih muda… mau gak muda lagi… Sama aja… Saya pikir semangat semua yang ada di kelas ini rata-rata sama… Ingin perubahan… Bukan begitu, pak Nasrul?” ia meminta persetujuan dariku. Aku mengangguk membenarkan lalu aku duduk. Beberapa teman sekelas tadi sempat menoleh ke belakang untuk melihat jelas percakapan barusan.

“OK… Kuliah kelas kita akan saya mulai tapi…” ia menyelidik pada wajah-wajah pria yang ada di depan. “Ah… Kamu masih muda… Bisa minta tolong bantuin saya ngambil buku diktat di ruangan sebelah… Gak banyak, kok… Kamu pasti kuat…” ajaknya pada seorang pemuda yang duduk paling depan. Sigap ia bangkit dan ikut dengan sang dosen.

“Saya juga di KIM (Kawasan Industri Medan), pak Nasrul…” seorang bapak-bapak di depanku berputar dari duduknya untuk menyapaku. Aku lupa namanya karena aku gak menyimak semua perkenalan warga kelas yang jumlah totalnya 27 orang. Nanti pasti bakal kenal semua, kok.

“Saya di KIM 2, pak…?” aku mengangsurkan tangan untuk berkenalan aja dengannya. Dia bisa jadi teman pertamaku di kelas ini. Umurnya jauh di atasku. Rambutnya banyak ditumbuhi uban. Namanya pak Ferdi.

“Oh… Saya di KIM 1… PT. ****,” ia memberitau nama perusahaan tempat ia bekerja.

“Ya-ya… Pabrik furnitur dari Jepang itu, kan?” kenalku akan nama perusahaannya itu. Gak lama pak dosen sudah balik lagi bersama anak muda itu membawa setumpuk buku diktat kuliah yang kemudian dibagi-bagikan pada kami yang berjudulkan ‘Pengantar Bisnis’. Resmi sekarang aku mempunyai predikat baru sebagai seorang mahasiswa walo sudah sekian ini umurku. Rezeki gak ada yang tau.

Tidak ada yang terlalu istimewa di hari pertama kuliah ini sampai ke kelas kedua berakhir. Biasa-biasa aja apalagi memang peserta kuliah juga bukan remaja-remaja yang baru tamat SMA sederajat, semuanya bahkan sedang bekerja dan berusaha untuk meningkatkan pengetahuan dengan mengecap bangku kuliah. Ada juga yang menjadi persyaratan untuk kenaikan pangkat di instansinya ato ketentuan dari perusahaannya. Semua berlangsung dan berjalan tenang jauh dari kata heboh.

“Naik kereta (motor), pak?” tanya pak Ferdi ketika kami beramai-ramai menuju parkir kendaraan. Aku menuju deretan motor yang diparkir di dekat pagar. Ia sendiri harus berputar ke kanan untuk mengambil mobilnya.

“Iya, pak… Naik ini, pak…” tunjukku pada SupraX 125-ku yang setia menantiku walo hanya tinggal 3 motor yang tersisa di sana.

“Oo… Mau langsung pulang, pak?” tanya beliau. Aku mendekatinya. “Mau makan-makan dulu, gak?” tawarnya. “Itung-itung salam perkenalan dari saya, deh… Gak usah jauh-jauh… Di depan situ ada kafe bagus…” katanya.

“Boleh-lah… Refreshing dikit kita ya, pak?” kataku setuju.

“Yaa… Berangkat kita sekarang, ya?” ia lalu berlalu menuju mobilnya. Ia menyapa beberapa teman sekelas yang juga menuju kenderaan mereka. Kutunggu sampai mobil pak Ferdi benar-benar bergerak dan aku bermaksud membuntutinya. Beberapa mobil lain juga ikut keluar dari gedung kampus ini dan aku balas mengklakson beberapa dari mereka.

Mobil pak Ferdi tidak terlalu cepat melaju karena sepertinya ia memberiku jarak untuk mengikutinya dan tak lama ia berbelok tak jauh kemudian ke sebuah kafe yang dimaksudkannya tadi. Aku parkir di bagian belakang kafe karena untuk motor tempatnya agak dibedakan dengan mobil. Di depan, pak Ferdi sudah menungguku dan kami sama-sama masuk.

Di meja kafe aku melihat beberapa orang lain yang kukenali sebagai teman sekelasku. Ternyata bukan hanya aku yang diajaknya traktiran makan malam ini. Ada satu pria lagi dan tiga orang perempuan. Jadi ada total 6 orang yang kumpul-kumpul abis kuliah di tempat ini. “Hei… Udah kenal sama bapak satu ini, kan?” kata pak Ferdi pada mereka yang sedang ngobrol seru sambil memegangi buku menu. Sepertinya mereka sudah saling mengenal sebelumnya.

“Udah, pak… Namanya pak Nasrul…” jawab salah satu perempuan yang kalo ditilik wajahnya paling muda di antara teman-temannya yang lain.

“Keknya bapak bukan Cina, ya?” tebak yang lelaki yang kalo seingatku namanya Julio. Ia blak-blakan aja ngomong. Di kelas tadi dia juga sedikit vokal kalo ia ingin menanyakan sesuatu.

“Hush… Ho siaw er…” (Jangan becanda) kata mahluk paling cantik disitu, Cherni. Ia melirikku malu-malu. Dua orang itu sepertinya keturunan Tionghoa.

“Memang bukan Cina, pak… Awak orang Padang… Tapi panggilan awak memang Aseng…” terangku sekaligus memperkenalkan nama panggilanku yang terkenal sejagat raya dari ujung Mabar sampe ujung Simpang Limun. Aku mengambil tempat duduk di samping pak Ferdi dan tepat di depan Cherni. Mereka tertawa-tawa kompak tentang nama panggilanku itu. Gak kuanggap bermaksud mengejek sih rasanya.

“Pak Aseng ini kerja di KIM 2… Jabatannya apa, pak?” tanya pak Ferdi juga sedang memegang buku menu makanan.

“Wakil menejer awak, pak…” jawabku berusaha jujur karena kalo berteman dengan mereka-mereka ini keknya harus sedikit menyamakan strata pangkat. Karena pasti ujung-ujungnya mereka akan membangga-banggakan posisi mereka saat ini.

“Sama kayak lu, Julio…” kata Cherni dan mereka tertawa-tawa.

“Tau gak pak Aseng… kami semua ini di pabrik yang sama… Sama-sama dikasih tugas kuliah lagi dari perusahaan supaya bisa lebih meng-handle manajemen kedepannya… Si Julio itu sebenarnya udah sarjana tapi bukan manejemen tapi Teknik Industri… Nah si Cherni ini malah sarjana Sastra Inggris… Si Neneng… sarjana Akuntansi… Si ito-ito satu ini sarjana Pertanian… Saya dulu sarjana Hukum… Gak ada satupun yang nyambung kalo masalah manajemen… Makanya kami sama-sama kuliah kek gini…” jelas pak Ferdi. Mereka semua mesem-mesem karena itu kenyataannya.

“Kalo udah lulus baru jadi menejer ya, pak?” tebakku bercanda aja. Semuanya lalu menunjuk pada Julio yang jadinya ngakak keras.

“Wakakakak… Lima taun lagi wa baru bisa jadi menejer… Kimak kali Jepang-Jepang itu…” makinya lalu tiba-tiba tutup mulut celingukan sekitar mana tau ada Jepang beneran di sekitar kami. Lalu tertawa karena sadar gak ada yang dikhawatirkannya.

“Bang Aseng juga sama… abis lulus baru dinaikkan jadi manager?” tanya Neneng. Sepertinya ini juga cuma nama panggilannya.

“Mana mungkin awak jadi menejer, buk… Awak cuma tamatan SMA…” kataku merendah. Padahal…

“Abis tamat ini kan predikatnya sarjana, bang…” ingatnya. “Gak usah merendah gitu kali-lah… Kan udah wakil…” katanya. Aku cuma cengengesan aja dan meneguk air putih hangat yang sudah dihidangkan dahulu oleh pelayan kafe. Dan berbagai obrolan kami bicarakan selama makan malam itu. Sepertinya mereka berlima sering kumpul-kumpul nongkrong seperti ini di waktu luang padahal sepertinya semuanya sudah berkeluarga. Menghabiskan malam bersama-sama mereka memang mengasyikkan karena obrolannya gak melulu masalah pekerjaan. Ada aja yang dijadikan alat pembicaraan dan motornya tentu aja si Julio yang berisik dan konyol juga. Obrolan dewasa juga gak sungkan diladeni ketiga perempuan itu karena sudah sedemikian akrabnya mereka ini. Aku cukup larut dalam pertemanan mereka.

Satu per satu mereka membubarkan diri setelah mengucapkan terima kasih pada pak Ferdi karena dia yang mentraktir malam ini. Aku menunggu bentar karena beliau sedang asik menjawab pesan di HP-nya. Istriku tidak berharap aku pulang cepat karena ia sudah maklum dengan kegiatanku. Pulang kuliah mungkin akan singgah ke SPBU, pesanku tadi pagi sebelum berangkat.

“Pak Aseng… liat, nih…” pak Ferdi tiba-tiba mengulurkan layar HP-nya padaku. Disentuhnya gambar dari pesan BBM itu untuk memainkan videonya lebih jelas. Ada sebuah video pendek yang sedang diputar. Gambarnya kurang jelas karena agak gelap dengan sedikit noise di background-nya.

“Apa ini, pak? Gak jelas gitu…” dari gerakan di video itu sepertinya seorang perempuan. Apa maksudnya?

“Binikku… cuma pake kemeja aja dia…”

Astajim… Ngapain ditunjukkan ke aku biniknya?

“Katanya nungguin saya pulangnya kelamaan…” katanya lagi dengan mata berbinar-binar. “Gak bisa bobok makanya dia make baju saya…”

Sakit orang ini kurasa. Segala biniknya yang lagi kek gitu ditunjuk-tunjukkannya padaku. Perempuan itu memakai penutup mata bergambar mata besar anime Jepang. Walo gelap aku bisa menerka bagian bawah tubuhnya yang sesekali tersingkap, ada rambut-rambut lebat di pucuk-pucuk gelap siluet bentuk segitiga yang aku tau persis apa itu. Juga ada dada tak berbungkus bra di balik kemeja kedodoran itu, menyembul menggunung. Aku gak mau melihat video yang dipamerkan pak Ferdi lagi karena aku jadi gak enak hati dan untungnya itu hanya video pendek.

“Ke rumahku, yuk? Kita kejutkan dia…” katanya antusias. Untung hanya tinggal kami berdua di sini karena mereka semua sudah pulang tak lama lalu.

“Pak?” jelas aku keberatan masuk dalam kegilaannya. “Enggak-la, pak…”

“Gak pa-pa-loh, pak Aseng… Bapak sudah punya anak belom?” tanyanya santai aja kek ini bukan masalah berat.

“Udah, pak… Dua…” jawabku.

“Nah itu artinya bapak sehat… Bapak juga sepertinya orang baik-baik… Pasti bersih-lah untuk binikku…” katanya menepuk bahuku dengan akrab. DEFAK! Aku masuk ke dalam apa lagi nih? Masuk ke dalam kegilaan pasutri yang sangat asing. Aku diajak ikut memberi surprise pada istrinya yang sedang menunggunya di kamar dengan pakaian minim begitu. Kimak! Ia mengasumsikan kalo diriku bersih dan baik? Gak tau dia kalo aku ini sebenarnya bejat. Tapi sebejat-bejatnya diriku, gak kek gini pulak mainanku.

“… Well sebenarnya dia ini bukan istri sahku, pak Aseng… Panjang sekali ceritanya… Dia ini sebenarnya orang Jepang yang sama-sama bekerja dengan kami di perusahaan itu… Singkat ceritanya saya selingkuh dengannya dan dia mau-mau aja nikah siri denganku…” pak Ferdi malah curhat tentang kehidupan rumah tangganya. Istri sahnya masih ada dan tinggal di Medan ini juga. Ia menyembunyikan istri sirinya dari keluarganya selama ini. Hanya lingkar teman-teman akrabnya yang tau affair ini, keempat orang tadi. Fantasi seks pak Ferdi jadi agak menyimpang setelah menikahi perempuan Jepang ini dan cukup lama ia melobi istri keduanya ini untuk mengakomodir fantasinya untuk memasukkan lelaki lain di atas ranjang mereka. Dan pak Ferdi mengaku tiba-tiba sreg dan cocok denganku.

“Pernah saya terfikir dengan Julio… tapi dia terlalu liar… Dia juga sering make perempuan di luar sana…” tuntas kisah curhat pak Ferdi untuk membujukku mau ikut di dalam kegilaannya. “Gimana, pak? Mau, ya?”

“Bapak segitunya percaya sama awak?” tanyaku. Ia mengangguk yakin. “Kita baru ketemu malam ini-loh, pak… Kok segitunya bapak yakin?” tanyaku.

“Penilaian saya jarang meleset, pak Aseng… Pokoknya saya percaya sekali dengan intuisi saya ini… Mau, ya?” desaknya.

“Awak gak biasa pake kondom…” tembakku langsung. Moga-moga dia keberatan dengan preferensiku dalam bercinta.

“Fine… Itu fine aja… Mayu (Mayumi, biniknya) juga tidak suka kondom… Pokoknya pak Aseng mau aja…” rayunya mendesak terus. Kimak! Aku terjebak ini namanya. Kirain ia bakalan keberatan aku gak mau pake kondom. “Mayu ini… pokoknya…. ‘gini’ kali, pak Aseng!” ia mengacungkan dua jempolnya pas di kata ‘gini’, menekankan mantapnya perempuan Jepang itu.

“Paaak… Jangan gini-la, pak?” aku habis cara untuk menolaknya. Ada cara lain sebenarnya. Marah-marah. Tapi itu gak bagus bagi relasi pertemanan. Apalagi ini ada unsur binor-binornya gitu. Apa ada pengaruh pembisik misterius itu di kesempatan kali ini juga? Tapi tidak ada poin tentang kehamilan yang disampaikan pak Ferdi dari tadi. Ini hanya kegilaan sesaat kedua insan ini. Mabuk asmara yang berujung pada pernikahan ilegal yang cenderung kumpul kebo karena tak diikat resmi legalitas formal. Mayumi tinggal di satu rumah yang kerap dikunjungi pak Ferdi di sela-sela pernikahan resminya.

“Gak pa-pa-loh, pak Aseng… Aman… Kami berdua gak akan ember, deh…” katanya mendesak terus meyakinkanku. Ia bahkan menunjukkan foto-foto Mayumi dalam berbagai kesempatan dari koleksi miliknya di dalam HP. Makjang! Ini bentuk asli binor asal Jepang itu? Menggiurkan sekali.

Pak Ferdi hampir berhasil membujukku tapi aku harus tau lebih pasti lagi. “Jujur sama saya, pak? Kenapa bapak tega melakukan ini pada binik bapak sendiri? Walopun dia cuma istri siri… dia tetap istri bapak… Bapak gak sayang sama dia?” tanyaku. Ia tersenyum. Ia pasti menungguku menanyakan soal ini. Ia memperbaiki posisi duduknya.

“Untung pak Aseng menanyakan ini… Supaya bapak tau motif saya… Saya sudah sejak dulu ingin melakukan ini… Istri pertama saya itu orang biasa-biasa aja… Ibu rumah tangga biasa yang gak neko-neko dan yang lebih penting lagi kurang menarik… Fanatik juga dengan agama… Kalo saya menawarkan ini pada lelaki lain gak bakalan ada yang selera tentunya… Untung saya bisa mendapatkan Mayu… Ini pertama kalinya buat saya… Saya sangat excited saat ini… Jantung saya berdebar kencang… Apa mungkin pak Aseng tau rasanya?” jelasnya dengan menggebu-gebu.

“Tidak ada… semacam mimpi? Ato ada yang membisiki pak Ferdi ato semacamnya? Yang mempengaruhi bapak untuk memilih saya dibandingkan segitu banyaknya laki-laik lain di luar sana?” tanyaku kalo-kalo ini yang terjadi padanya. Si Suhendra paok kemaren itu mimpi berbarengan dengan istrinya tentang keberadaanku. Kasusnya hampir mirip-mirip dengan yang kali ini.

“Mimpi? Gak ada, pak… Ini murni fantasy saya… Saya hanya merasa cocok dengan bapak…” jawabnya tak berkurang antusiasnya. Lebih baik aku menguji kesabarannya. Seserius apa ia memilihku? “Saya sudah katakan tadi, kan kalo saya punya intuisi yang bagus sekali dalam menilai orang yang baru saya kenal…”

“Apa karena bapak nilai saya ini gak punya banyak duit, ya?” cobaku. Aku harap pertanyaan ini masih dalam taraf tegas walo sudah menghakimi. Ia kaget aku mengatakan hal itu. “Maaf… Bukan maksud saya menuduh…”

“Enggak, pak… Tidak ada sama sekali… Walo bapak wakil menejer dan ke kampus cuma naik kereta (motor)… Bukan itu yang jadi penilaian saya… Saya menilainya dari air muka bapak… Pembawaan bapak… Cara bapak berbicara…” paparnya akan caranya menilai karakter orang yang ditaksirnya.

“Rumah awak di kompleks XXX… Galon yang di jalan **** itu milik awak, pak… Kereta SupraX 125 itu awak pake karena tadi pagi buru-buru takut terlambat… Benar awak cuma wakil manager Factory Manager tapi beberapa bulan lagi jabatan itu akan jatuh ke awak… Tidak terlalu saya besar-besarkan sih… Tapi penilaian bapak banyak yang salah-loh, pak Ferdi…” kataku malah membuka beberapa rahasiaku karena aku merasa disepelekan. Sebenarnya aku sudah bertekad untuk tidak memberitau hal ini pada orang yang tak terlalu akrab padaku, tapi aku merasa pada pria ini aku harus membukanya.

Matanya terbelalak. “Yang di jalan **** itu punya bapak?… Jadi bos baru yang dimaksud Hendra itu pak Aseng?” ia malah tambah antusias.

“Kenal dengan Hendra?” tanyaku mendengar nama itu disebut. Apakah yang dimaksudnya Suhendra?

“Dia itu adik sepupuku, pak Aseng… Jadi maksudnya orang Padang yang panggilannya Aseng-Aseng itu bapak…” Dunia ini terlalu sempit ternyata. Pak Ferdi ini rupanya ada hubungan kerabat dengan si Hendra paok itu. Penyakit menular nih keknya di keluarganya. Aku gak bisa membayangkan kalo ia menawarkan padaku istri sahnya yang katanya sangat agamis dan biasa-biasa aja. Aku membayang emak-emak pengajian yang suka bergosip tentang makanan yang kurang ini-itu di satu giliran rumah. Untung aja ia menawariku barang bagus sekelas Mayumi yang asik punya.

“Apa yang diceritakan Hendra tentang awak?” aku jadi kepo apa saja yang dibualkannya diluar sana tentangku. Jangan sampe ia membocorkan perjanjian kami, perjanjian aku, Suhendra dan Miranda-istrinya. Aku sendiri yang akan menghajarnya kalo ada indikasi ke sana.

“Cuma kalo ada bos baru aja yang mengambil alih galon tempat ia bekerja… Hanya saja ia sedang bahagia aja istrinya akhirnya hamil… Tetapi sepertinya ia sangat menghormati dan mengagumi pak Aseng sebagai pimpinan barunya…” jawab pak Ferdi. Untung masih dalam taraf normal dan tak ada yang menyerempet-menyerempet skandal kami bertiga.

“Hmm?… OK… Jadi begitu… Kalo bapak menilainya awak ini lebih inferior dari bapak karena keliatan miskin… bapak salah…” simpulku.

“Sama sekali tidak, pak Aseng… Sama sekali tidak… Bapak ingat tidak… saya yang pertama kali menyapa bapak di kelas, kan? Itu karena saya dari awal sudah merasa cocok dengan bapak…” katanya lagi untuk meyakinkanku.

“Untuk apa pak Ferdi melakukan ini semua?… Kalo mau memacu adrenalin bapak bisa nyoba olah raga ekstrim… Ato ngintip kamar mandi pembantu bapak yang paling mudah… Itu jantung bapak saya jamin dag-dig-dug seer…” ia tertawa tanpa suara. “Bukan lewat rasa cemburu… Kalo bapak gak kuat bapak sendiri yang rusak… Bisa-bisa nanti malah menantang awak berkelahi dan awak pastikan pak Ferdi yang akan babak belur karena saya ahli bela diri…” tiba-tiba kuletakkan mandau Panglima Burung di atas meja kafe yang sudah sepi ini. Matanya terbelalak kaget. Lalu kuambil lagi, jauh dari pandangannya dan kusimpan. “Jadi tidak usah main-main dengan saya… Urusan saya sangat banyak…” sampai di sini muka pria itu menjadi sangat ketat berkat ancaman yang kuberikan tegas padanya.

“Bagaimana dengan fantasy saya ini, pak? Saya sudah lama menunggunya…” ia seperti putus asa. “Bahkan perempuan secantik itu-pun membuat pak Aseng ragu…” ia lemas dan tertunduk tak punya harapan.

“Awak gak bilang gak tertarik…” ia buru-buru mengangkat muka. “Benar saya ragu…” kataku. “Motif pak Ferdi gak jelas bagi awak… Awak cuma gak abis pikir gimana bapak bisa memberikan istri secantik itu pada laki-laki lain… Kalo awak… bagus mati aja!”

“Awalnya cuma iseng saat tau Mayu pernah video call dengan mantan pacarnya di Jepang sana… Saya tanya-tanya apa saja yang pernah ia lakukan dengannya dulu… Tentunya tidur bareng… Saya desak lagi ada dokumentasi tidak… Ternyata ada… Meliat rekaman video Mayu sedang bercinta dengan mantan pacarnya membuat saya sangat terangsang, pak… Kami bercinta sampe berkali-kali saat itu… Hayalan saya berkembang bagaimana kalo saya menyaksikan percintaan Mayu secara langsung… Pasti akan sangat luar biasa rasanya… Rasa cemburu dan senang memilikinya campur aduk menjadi satu… Apalagi orangnya seperti pak Aseng begini… Bapak ternyata sangat jauh dari jangkauan saya… Bapak bisa saja merebutnya dari tangan saya… Fantasy saya jadi sangat melambung tinggi jadinya… Ahh… Jantung saya berdebar kencang…”

“Awak gak akan merebut istrimu, pak Ferdi…”

“Huh?”

—————————————————————————-
“Mayu-chan… Abang pulang…” cumbu pak Ferdi pada bibir perempuan Jepang yang tidur dengan lelapnya masih dengan pakaian seperti di video yang dikirimnya terakhir, kemeja lengan panjang putih kedodoran baginya bergaris-garis tipis pudar tanpa apapun lagi disebaliknya.

“Myuu…” geliatnya sedikit terganggu dengan cumbuan pria yang telah menikahinya secara siri itu. Ia bermaksud hendak melepas penutup mata itu untuk menyambut suaminya yang telah pulang tapi dicegah. “Ferdi-kun… Ore wa…”

“Ush… ush… Jangan dibuka, Mayu-chan…” bisiknya terus menciumi sekitar mulut perempuan itu. Tangannya gerayangan meremas perlahan payudaranya yang menyembul menonjol besar bak dua gunung Fuji kembar. Gambar mata besar khas anime Jepang membuat perempuan itu begitu unik dan menggemaskan.

“Ferdi-kun… uhnn… Rama sekari purang-ne… Sudah seresai kuriah-ka?” balasnya saling mengecup di ruangan gelap ini. Aku harus membiasakan mataku di kondisi kekurangan cahaya ini. Cahaya yang pendar kebiruan adalah samar cahaya malam yang menyesap masuk dari jendela besar yang dibiarkan terbuka tanpa tertutup apapun. Bulan ada di sisi lain arah kaca ini jadi bantuan sinarnya tak dapat menerangi keindahan yang tersembunyi di dalam kamar ini. Aku hanya bisa mengandalkan memoriku akan bayangan bentuk Mayumi yang telah ditunjukkan pak Ferdi di kafe tadi. “Jam burapa ini?”

“Jam sebelas, Mayu-chan… Uhmm… Enak?” godanya dengan memilin puting payudaranya setelah membuka beberapa kancing atas baju kemeja miliknya itu.

“Ahhnn,,, Motto…” desahnya menjilat bibirnya yang kering padahal baru saja dicumbu. Kakinya otomatis mengangkang dan sialnya pemandangan indah itu terbentang luas di depan mataku walo gelap. Tetapi mataku sudah lumayan terbiasa. Pak Ferdi melirikku yang bisa melihat keindahan tersembunyi istri sirinya. “Ferdi-ku? Unn…” pria itu bahkan menyentuh kemaluan Mayumi, mengelus-elusnya lembut lalu melebarkan bibir tebal bergelambirnya terbuka.

Merekah dini kembang Nippon itu menjelang tengah malam ini. Jari pria itu dengan lancar mengulik kacang itil istri sirinya dengan jari tengah sementara jari telunjuk dan jari manis melebarkan dua sisi bibir kemaluan. Tak ayal lagi perlakuan itu membuat perempuan cantik itu menggelinjang. “Kyaaa… Ferdi-kun… Kimochi…”

Dua titik sensitif perempuan bernama Mayumi itu diserang sekaligus. Pak Ferdi menjilati satu puting payudara menyembul besar itu dan satunya adalah jarinya menggosok-gosok kemaluannya. Mayumi menggelinjang kegelian dan menarik-narik bed cover ranjangnya. Tangannya sibuk meremas apapun yang dapat diraihnya pada bagian atas kepalanya dengan submisif. Erangan-erangan seksinya memenuhi akustik kamar ini. Menjadi semacam serenade merdu dengan suara erangan yang biasa kudengar di tiap bokep Jepang. Mengapa mereka selalu bersuara seperti itu?

Bagai kerbau yang dicocok hidung, aku menurut patuh ketika pak Ferdi memintaku mendekat ke arah kaki Mayumi yang menggeliat-geliat terbuka lebar. Ia bangkit dan turun dari ranjang ini dan kugantikan. Aku merayap mendekat ke arah vaginanya yang mengundang-memanggilku, menggodaku untuk mencicipinya.

“Umm… Dame…” erangnya ketika sapuan lidahku menyusur permukaan basah gerinjal gelambir kemaluannya beserta apapun yang menjadi harta karun di dalamnya. Mulutku segera menjadi terpukau oleh rasa gurih umami yang menggelitik bagian tengah lidahku dan menyapa hidungku, merasuk. Memikat otakku seperti candu yang sangat kuat. Ini rasa vagina yang sangat lezat.

Mayumi menggerak-gerakkan perutnya menggerus-gerus mulutku agar lebih menjilat kemaluannya, lagi dan lagi. Erangannya sangat seksi memenuhi ruangan redup ini. Aku tak memperdulikan lagi keberadaan pak Ferdi lagi dan kujangkaukan tangan ke atas, menjamah dua buah gunung Fuji kembar. Lembut dan kenyal. Segera konsentrasi terpecah dua, menikmati kerang umami dan dua Fuji kembar.

“Ooh… Ferdi-kun… Motto… Motto… Kimochi! Akh…” berkejat tubuhnya beberapa kali dengan geliat indah bak gelombang air laut yang menerpa pantai. Mulutku diserbu rasa gurih berkali-kali dari gelimang kenikmatan yang sangat indah. Kuremas Fuji kembar itu bak memeras anggur untuk semakin mereguk kenikmatan darinya hingga ampas.

Perempuan cantik itu terbujur lemas dengan pakaian berantakan dan dada bergerak naik turun mencari asupan nutrisi oksigen. (“Masukkan…”) bisik pak Ferdi sekilas.

“Ferdi-kun…” sambutnya ketika dirasanya aku mendekati belahan kakinya yang terbentang. “Kyaa!” erangnya memalingkan muka takkala Aseng junior masuk membelah kerang umami-nya. Meluncur masuk dengan indah dan lancar. Bergelombang rasa nikmat kemudian menderaku tubuhku bersumber dari rasa geli menggelitik di sekujur batang dan kepala Aseng junior yang keluar masuk dengan teratur kupompa memasuki liang kawin perempuan cantik berkewarganegaraan Jepang ini. “Dame-dame… Kyaaa…” erangnya.

Kenapa mereka harus selalu bersuara seperti itu? Stereotype bokep Jepang yang kini menjadi sangat indah memanjakan bagi seluruh panca indraku, bekerja optimal. Indra perasaku yang kini sangat dominan mengirimkan sinyal-sinyal merangsang otakku untuk mengucurkan Dophamin, sang stimulus nikmat membanjiri tubuhku.

Rasa nikmat yang sangat kurang ajar sadis menyiksaku ini membuatku kosong saat melihat pria itu, di kegelapan malam dan kamar, naik lagi ke atas ranjang, membuat guncangan yang tak berarti. Apa maunya? Ia memasukkan jarinya ke mulut Mayumi yang tanpa banyak ragu disedotnya dengan liar. Dikulum-kulumnya jari pria itu bak sebuah penis lain yang sedang dinikmatinya. Bahkan dijilati dengan gaya fellatio yang mumpuni. “Ferdi-kun… Kimochi-nee…” erang perempuan itu menapaki ekstase tertinggi kala jari yang lebih besar memasuki mulutnya. Yaa… Lelaki itu menyodorkan penisnya ke mulut Mayumi! Dan tetap dinikmatinya dengan sepongan dan jilatan tanpa ada ragu sedikitpun. Membuatku semakin gila blingsatan menikmati persetubuhan aneh yang membuatku terjebak di dalam indah misteriusnya.

“Ikkeh… Umm… Umm…??” tiba-tiba pria yang sudah banyak beruban itu melepas blindfold penutup mata Mayumi masih dengan penisnya bercokol di dalam mulut dan kemaluannya juga dijejali penis lain-oleh pria lainnya.

“Surprise, Mayu-chan…” lirih pak Ferdi. Aku dengan bodohnya terus melesakkan, memompakan Aseng junior ke kerang Nippon-nya tak mau kehilangan momen kenikmatan sedikitpun. Tentu kaget ekspresi perempuan itu mendapati ada sosok tambahan asing yang sedang menggagahi dirinya. Sosok asing yang sedang menusuk-nusukkan kemaluan jantannya ke dalam liang kawinnya. Ia beralih menatap pak Ferdi yang ada disampingnya masih dengan mata sayu. Penis suaminya masih disedotnya walo tak seintens tadi.

“Ummm…” ia memejamkan mata seperti tak terganggu. Melihat reaksinya itu memberi lampu ijo buatku tancap gas. Makin kupercepat sodokanku karena sensasi kenikmatan ini tak terperi lagi dan tak tertahankan. Dua penis sedang memasuki dua lubangnya.

“Akh!” kubenamkan sedalam-dalamnya. Aku gak perlu permisi membuang muatan di dalam binor ini. Aku sudah kasih tau pemiliknya aku tidak suka pake kondom. Dan itu artinya aku suka ejakulasi di dalam liang kawin perempuan. Semprotan-semprotan deras dari Aseng junior ternyata memberi efek balik yang sama dari Mayumi. Tubuhnya juga berkejat-kejat menyambutku dengan orgasme juga, memeras semua sisa sperma yang mungkin ada di batang kemaluanku.

Mayu-chan memegangi batang penis pak Ferdi saat ia mengambil nafas menikmati puncak kenikmatannya disemprot cairan kental hangat dariku. Pria itu menarik miliknya dan aku juga. Mengucur deras spermaku dari dalam liang kawinnya yang segera ditahan oleh pak Ferdi dengan kepala penisnya. Ia tak ragu sedikitpun merasakan hangat sisaku dan masuk juga. Mayumi mengerang mendongak kala penis lain memasuki dirinya. Aku menepi dan mencari celanaku saat aku selesai mengenakannya kembali, pak Ferdi sudah selesai juga. Suara gerutu keenakannya menggema di sekitarku dan aku segera keluar kamar itu.

—————————————————————————-
“Panggil saya Aseng…” saat kujabat tangannya.

Mayumi

 

“Mayumi…” balasnya. Kami bertiga ada di dapur. “Pak Aseng-san ano… teman kuriah Ferdi-kun?” tanya perempuan itu. Ia sudah berganti memakai kimono tidur panjang yang menutupi seluruh tubuhnya. Kedua pasutri ini minum bir botol sedang aku bir kaleng yang baru kuteguk sedikit. Aku mengangguk, meneguk sedikit lagi bir kaleng itu–menyebarkan rasa pahitnya ke rongga mulutku lalu menelannya.

“Mayu-chan tidak apa-apa?” tanya pak Ferdi dengan suara pelan. Kami belum tau pasti apa reaksi resminya karena perempuan itu belum menyatakan apa-apa dari tadi.

“A… Daijobu…” jawabnya mengayunkan tangannya pertanda ia tidak apa-apa. “Tidak apa-apa… Saya tidak apa-apa… Ferdi-kun suka… saya juga suka…” lalu ia mengangguk-angguk. Pak Ferdi menyelidiki ekspresi yang tampak di wajah Mayumi. Tentunya ia lebih paham apa maksud semua ini. Rasanya sangat akward saat ini. Setelah tadi gelap-gelapan di kamar itu dan memacu syahwat, sekarang kami berkumpul di sini di tempat terang dan beramah tamah. Setidaknya aku merasakan momen-momen kikuk saat ini berada di antara pasutri ini.

“Maafkan saya, Mayu-chan… Saya tidak bilang-bilang dulu kalau saya sudah mendapatkan partner yang tepat untuk kita… Ini sesuai diskusi kita waktu itu… Mayu-chan sudah setuju, kan?” kata pak Ferdi. Ini pasti tentang masalah fantasy-nya itu.

“Pak Aseng-san parotuneru yang Ferdi-kun pirih?” tanya Mayumi hanya pada suami sirinya itu. Pak Ferdi mengangguk membenarkan. “Boreh saya bicara berdua saja dengan pak Aseng-san?” pintanya. Eh… Aneh juga dengerin orang Jepang ngomong masih medhok dengan logatnya yang pantang dengan huruf L itu. Aku baru nyadar karena sepertinya gak ada aksara L di bahasa mereka jadi huruf itu diganti R semua oleh Mayumi.

“Boleh… Pak Aseng… Saya ke sana dulu, ya? Santai aja…” katanya menepuk bahuku akrab dan menuju entah kemana membawa botol bir miliknya. Kini hanya ada kami berdua di dapur ini. Duduk berdua saja di stool tinggi yang lazim digunakan di bar.

“Boreh minta kontaku pak Aseng-san?” ujarnya mengeluarkan HP miliknya. Kukeluarkan milikku dan membiarkan ia men-scan barcode BB-ku hingga kami berdua terhubung. “Pirihan Ferdi-kun saya suka… Pak Aseng-san seperetinya raki-raki yang baik, ya?” katanya lalu meneguk bir botolannya sedikit untuk menghangatkan suasana dan melancarkan obrolan.

“Makasih, Mayu-chan… Arigato-arigato…” jawabku sok pake ngartiin ke Jepang segala nunduk-nunduk. Ia tersenyum dengan mulut ditutup tangan.

“Pak Aseng-san… maaf… sudah punya anaku?” tanyanya lagi. Ini masih kuanggap pertanyaan normal mirip seperti pertanyaan pak Ferdi sebelumnya. Pria berkeluarga pasti akan berusaha menjaga kebersihan dirinya. Common sense.

“Anak saya dua…” kataku mengacungkan dua jari V dengan agak jenaka agar ia tidak merasa depresi telah disetubuhi orang asing sepertiku. Yang telah memanfaatkan tubuhnya untuk kesenangan. Seharusnya kami sama-sama menikmatinya tadi. “Yang pertama laki-laki yang kedua perempuan…” kataku malah kek mengeja. Ia tersenyum lebar berkali-kali karena tingkahku.

“Ferdi-kun tidak bisa memberi saya anaku… karuna dia sudah di… vasektomi?” cetus Mayumi mengejutkan. Vasektomi? Pria itu sudah divasektomi dan menikahi perempuan Jepang ini? Bukannya itu berarti dia cuma hanya ingin mencari tempat penyaluran syahwat aja dengan Mayumi yang segini seksi. Perempuan ini masih perempuan normal yang tentu saja mau…. Tunggu-tunggu. Weit e minit… Sepertinya aku tau ini akan mengarah kemana…

“Kami sudah menikah siri satu tahun rebih dan ia birang karo dia divasektomi…” pelan-pelan ia berbicara hati-hati agar tidak salah artian. “Ferdi-kun tawarkan parotuneru daram seks kami… ee… ano… supaya saya bisa hamiru…” nah itu sudah diungkapkannya. “Saya tidak apa-apa tidak hamiru karuna saya sadar… kami tidaku akan bersama serama-ramanya… Ini hanya simbiosis mutuarisme…” ia selalu menatap lantai saat berbicara. Mungkin kurang merasa nyaman bicara dengan orang baru tetapi tetap harus menyampaikan ini semua. “Kami sama-sama membutuhkan… Ferdi-kun dengan fantasinya dan saya pereru parotuneru tidur…”

Glek! Hanya butuh teman tidur. Hubungan manusia modern jaman sekarang sudah segitu anehnya. Hanya karena satu butuh tempat penyaluran fantasi gilanya dan satu butuh teman tidur bisa terhubung menjalin simbiosis yang saling menguntungkan. Sama-sama enak. Pak Ferdi dapat enak bisa meniduri perempuan asing secantik dan sebohay Mayumi sesukanya tanpa tanggung jawab di masa depan kelak. Mayumi juga dapat enak bisa tersalurkan birahinya juga selama berada di Indonesia ini dari partner tidurnya tanpa akan mendapat beban bakalan hamil tanpa KB.

Tunggu… Tunggu… Aku sudah ngecrot sekali di Mayumi dan disambung oleh pak Ferdi. Punya pria itu tentu saja pelurunya kosong. Mayumi tentunya tak perlu memakai kontrasepsi apapun dan besar kemungkinan akan hamil bila ia dia dalam masa ovulasi. Apakah ini masa suburnya? Dari rasa dan kualitas lendir yang tadi dihasilkan perempuan Nippon ini, aku berani sesumbar kalo ia subur. “Mayu-chan? Apakah Mayu-chan sedang subur?” tanyaku memastikan saja.

“Haik…” jawabnya tegas.

“Saya sangat dan terlalu subur… Ada kemungkinan setelah ini Mayumi bakalan hamil…” kataku. Matanya yang cenderung sipit membelalak.

Aku lalu menceritakan kondisi kesuburanku padanya. Bagaimana cepatnya aku dan istriku dapat momongan di tengah-tengah keluarga kecil kami. Tentu tidak akan kubocorkan affairku dengan binor-binor lainnya karena akan melanggar perjanjianku dengan mereka. Tapi rata-rata orang akan kagum atas prestasiku dan istri. Apalagi kalo kuceritakan tentang 11 binor itu… Bisa pada melotot.

Contohnya ya si Mayumi-Mayumi ini. “So ka?” itu yang terus diulang-ulangnya yang kalo diartikan ke Indonesia kira-kira “Sumpe lo?” Ia sepertinya takjub akan mudahnya aku dan istri mendapat keturunan lalu mengusap-usap perutnya yang sudah sekali kuencrotin. “Apakah Mayu akan hamiru juga?”

—————————————————————————-
“Ahhnn… Kuuhh… Uhh…” erang Mayumi yang membelakangiku tetap duduk di stool tinggi ini. Bagian belahan kimononya tersingkap hingga bagian belakang tubuhnya terbuka sepenuhnya tanpa memakai pakaian dalam. Kutusuk kerang Nippon-nya yang sangat sempit di posisi ini. Ia menunggingkan bokongnya memberiku ruang untuk memasuki dirinya melewati bongkah pantatnya yang aduhai besar. Ia mengerang-ngerang dengan seksi dalam dialek Jepangnya lagi. Berasa lagi nonton bokep Jepang kurasa. Ini seperti mimpi yang jadi nyata bagiku.

Kakinya rapat duduk menungging di stool itu, kutusuk dari belakang hingga Aseng junior terjepit maksimal oleh posisi kakinya. Kuraba-raba payudaranya yang juga menyembul keluar dari kimono tidurnya. Erangan berisik Mayumi sangat intens di setiap sodokanku. Kujilati leher putihnya, telinganya dan sebagian rahangnya membuat perempuan itu menggelinjang terus menerus. “Ah ah ah ah kahh… Aieeh… Aseng-san… sugoi-ne…” Mayumi mengerang-ngerang seksi sambil menghadap pada kamera HP miliknya yang sedang merekam, diberdirikan di sebelah sana. Disandarkan pada meja makan agar dapat mengambil gambar keseluruhan persetubuhan kami ini.

Ketiadaan pak Ferdi di sini saat ini, membuat Mayumi harus melaporkan hubungan kami ini nantinya dan gilanya aku malah terlibat di dalamnya. Inilah salah satu bentuk cuckold, fantasy gila pak Ferdi yang mulai mendapat bentuknya berkat kehadiranku. Aku menjadi partner cuckold mereka berdua. Sensasi cemburu, penasaran, gregetan pada seseorang yang lebih dari dirinya adalah yang ingin dicapainya. Tujuan akhirnya adalah hubungan mereka menjadi lebih mesra dan intim karena sang lelaki takut kehilangan sang wanita. Sang wanita menjadi sebegitu diinginkannya oleh pria lain dan pria lainnya lagi yang mungkin saja hadir. Dengan begini pak Ferdi harus terus memupuk rasa sayangnya lagi-lagi agar tak kehilangan kekasih hatinya ini.

Mayumi memiringkan tubuhnya agar aku bisa menjangkau mulutnya. Aroma bir yang kami minum sudah menguar habis dari tadi berganti aroma nafsu kala kami berpagutan mulut. Lidahnya dengan lincah bermain-main dan menyedot-nyedot ludahku. Tak ada rasa jijik dan sungkan ia menikmati ludah kentalku di dalam mulutnya. Ditelannya seperti cairan madu yang manis. Aku makin blingsatan melihat pertunjukan lidah yang lain dari biasanya. Aku hanya pernah melihat ini di bokep Jepang ternyata mereka memang melakukan itu ato Mayumi sengaja melakukannya untuk menyenangkanku.

Tubuhnya kubalik hingga tak membelakangiku lagi—sekarang berhadapan. Kubuka kaitan tali kimononya hingga seluruh depan tubuhnya terekspos. Gunung Fuji kembarnya turun naik di masa pause ini tapi kakinya kulebarkan mengangkang. Kuarahkan Aseng junior kembali memasuki kemaluannya. Meluncur masuk dengan licin akibat permainan ronde sebelumnya juga cairan pelicinnya. “Slak slak slak slak!” Aseng junior menusuk 45° di posisi berdiriku ini. Menggesek maksimal semua permukaan kerang Nippon-nya yang merekah menebal. Juga gelambir bibir dalam kemaluannya yang kujuluki kerang Jepang. Tertarik-terdorong sedemikian rupa berkat gerakan memompaku.

“Motto-motto… Jyaaa… Uhh… Kuuhh… Ahh… Motto… Uh…” erangnya semakin membuatku semangat memompa kemaluannya yang sangat legit menggigit. Walo sering pak Ferdi buang tai macan di perempuan Jepang ini, kualitas jepitannya tetap top markotop. Sebanyak apapun ia menyemprotnya, ia tak akan pernah bisa mengisi rahimnya dengan kehadiran si sibiran tulang-tugasku yang akan berusaha menghamilinya. Memikirkan menghamili perempuan Jepang ini membuatku sangat bersemangat apalagi perempuan ini sangat entotable. Kuulangi lagi, sangat entotable. Entah itu kata yang benar…

Kami berciuman kemudian dengan Aseng junior yang masih diam bercokol di dalam kerang Nippon-nya. Selagi berpagutan mulut, gunung Fuji kembarnya juga kuremas-remas gemas. Mayumi sangat lihai bermain lidah dan ludah. Takjub aku dibuatnya saat memainkan ludahku seakan cairan yang sangat lezat. Membuatku ketularan dan meniru permainannya. Bayangin ludahku sengaja kuteteskan dari mulutku dan ditampungnya dengan rela bahkan meminta. Disambutnya dengan lidahnya sendiri lalu ditelannya dengan takzim. Lidah kami saling belit dan hisap setelahnya. “Auuh…” kugerakkan lagi Aseng junior dan kembali memompanya.

Aku tau, entah dari mana, pak Ferdi pasti sedang mengintip perbuatan kami ini. Ini adalah bagian dari fantasy-nya. Menyaksikan istrinya sedang berselingkuh dengan pria lain yang kualitasnya ada di atasnya. Baik dari kemampuan finansial, usia, atau vitalitas. Sepertinya ia mengintip dari sela engsel pintu dapur yang terbuka. Bagian gelap tempat itu pas untuk dijadikan tempat mengintip. Tadi pintu rapat terbuka ke dinding dan sekarang agak sedikit menutup yang berarti ada orang di baliknya.

“Enak, Mayu-chan?” tanyaku di sela-sela genjotanku. Aku memegangi bagian pinggangnya dan membenturkan perutku ke selangkangannya yang terbuka lebar masih duduk di stool ini. Gunung Fuji kembarnya membal-membal efek benturan yang kubuat.

“Kimochi-nee, Aseng-san…” erangnya keenakan merasakan gesekan intens kelamin kami yang licin. Aku meraba permukaan kemaluannya dan menemukan tonjolan kacang Jepang-nya. Kugesek-gesek kacang itilnya selagi ia mendesah-desah gelisah merasakan rangsangan dahsyat dari bagian kemaluannya yang juga kusodok cepat. Tubuh putih berpeluhnya sangat menggairahkan. Aku gak segan-segan menjilati keringat di leher dan gunung Fuji kembarnya. “Aahh ahh ahh ahh ahh…” erang Mayumi nyaring.

Kacang itilnya semakin keras dan membengkak apalagi liang kawinnya serasa lebih becek lagi. Vulva kemaluannya membengkak merekah ke tingkat maksimal terangsangnya. Ia benar-benar menikmati seks dengan selingkuhan yang dicarikan suaminya ini. Tangannya meremas bisepku dengan kuat, kuindahkan–kubiarkan ia mengekspresikan rasa nikmatnya itu. Ini pilihan suami sirimu, Mayumi-chan. Entah aku adalah pilihan tepat untuk memuaskan fantasy kalian. Aku punya fantasy sendiri untuk menyetubuhi binor cantik. Binor yang aman untuk digenjot dan diencrotin.

Aku dan Mayumi sama-sama mencapai puncak kenikmatan bersetubuh ini dengan aku ejakulasi untuk kedua kalinya dan ia orgasme. Aseng junior terasa dipijat-pijat di dalam liang kawin kerang Nippon bergerinjal itu. Kupeluk tubuhnya erat-erat dan sesekali kupagut bibirnya. Bibir kami mengecup-ngecup bergantian sebagai ucapan terima kasih atas seks yang nikmat barusan. “Boreh kita kutumu ragi, Aseng-san?” tanyanya. Semoga aja ia merasa cocok denganku.

“Tentu boleh, Mayu-chan… Kan Mayu-chan udah nyimpan kontak saya… Kita ngobrol lagi nanti…” ia tersenyum senang. Inilah yang kami lakukan, Mayumi juga jadi bersemangat mendapat kesempatan untuk hamil dariku atas persetujuan dan sepengetahuan suami sirinya. Dan inilah juga diinginkan pak Ferdi dari situasi ini. Ia mau ada orang ketiga di hubungan mereka. Setelah aku pulang dari rumah ini, pasti pria itu akan bermesra-mesraan dengan panasnya dengan perempuan Jepang yang sudah dinikahi siri-nya ini. Fantasy liarnya akan membuatnya puas sendiri dengan pikiran kotor yang sudah melibatkanku. Tak apa—aku juga menikmatinya. Aku juga untung.

Semenjak malam itu, kami jadi sangat sering berkomunikasi intens lewat chatting BBM. Pembicaraannya tentunya sangat bervariatif, dari masalah pekerjaan sampai hal yang pribadi dan sensitif. Rajin ia mengirim beberapa foto dirinya di berbagai kesempatan. Di rumah sebelum berangkat kerja, di kantor, istirahat makan siang dan menjelang pulang.

“Mau ketemuan dengan Mayu-chan, pak?” tanya pak Ferdi pelan di malam kedua kuliah berlangsung. Ia duduk di depanku seperti kemarin malam bersama dengan empat temannya, aku di barisan paling belakang lagi.

“Iya, pak… Ada kencan sebentar…” kataku sesantuy mungkin karena sang suamipun bertanyanya seperti itu—santuy juga. Tapi tak mengurangi rasa gugup yang dirasakannya. Mayumi pasti sudah mengirim skrinsyut percakapan kami yang menjurus-jurus selingkuh secara berkala. Apalagi mereka sekantor. Mungkin juga saat chatting janjian kencan malam ini sehabis kuliah, ia menyaksikan itu semua. Istrinya selingkuh atas sepengetahuan sang suami.

Ia menunduk memikirkan sesuatu lalu menerawang menatap langit-langit. Aku meliriknya yang kusamarkan dengan membaca-baca diktat kuliah yang baru saja dibagikan seorang asisten dosen. Jam kuliah pertama akan dimulai beberapa menit lagi. “Pak Ferdi gak keberatan, kan?” tanyaku berbisik memberinya teror yang diinginkannya. Ia berbalik, tersenyum seadanya dan menggeleng.

“Enggak pak Aseng…”

“Oh… Bagus… karena Mayu-chan sepertinya pengen hamiru…” kataku masih lirih yang kuyakin ia bisa dengar diantara berisik suara banyolan Julio yang ada di sampingnya yang sedang ngobrol bareng yang lain.

“Bapak ibu sekalian… Mohon perhatiannya sebentar… Pak Mochtar dosen yang seharusnya mengisi mata kuliah Akuntansi Keuangan Dasar I malam ini sedang berhalangan untuk beberapa kali pertemuan… saya sebagai asistennya akan menggantikannya untuk sementara…” keknya aku kenal dengan perempuan muda satu ini. “Bapak ibu bisa memanggil saya Vivi…” Benar, kan… Itu Vivi. Tetanggaku yang tinggal bersama temannya Benget dan anak adopsinya, Nirmala. Asisten dosen di sini ternyata.

“Yak? Kenapa, pak?” tanya Vivi yang memanjangkan lehernya demi melihat tangan yang teracung meminta izin bicara dari barisan belakang kelas.

“Bu Vivi… asisten dosen itu boleh yang masih mahasiswa, ya?” tanyaku pengen tau. Kutanyakan ini karena ia memberiku izin bicara.

“Ah… Bang Aseng, ya?” ia tersenyum lebar saat melihat wajahku yang segera dikenalinya. “Biasanya memang begitu, bang Aseng… Asisten dosen biasaya dipilih dari mahasiswa-mahasiswi tingkat akhir… Seperti saya yang sedang menyusun skripsi… Saya sudah jadi asisten pak Mochtar dari semester VII kemaren…” jawabnya menjelaskan. Aku benar-benar gak tau itu. Aku manggut-manggut. Pak Ferdi dan Julio berbalik untuk melihatku dengan heran kemudian mahfum begitu mereka ingat aku cuma lulusan SMA dibanding mereka yang sudah pernah kuliah sebelumnya.

“Berarti bu Vivi pande kali-la, ya… dipilih jadi asisten dosen…” kataku sekaligus memujinya. Ia hanya tersenyum lebar tapi tidak sampe salah tingkah dan melanjutkan perkuliahan Akuntansi Keuangan Dasar I kami. Habis mata kuliah ini adalah General English. Saat selesai kuliah dan jalan keluar, aku bertemu Vivi lagi. Nirmala ternyata di rumah dijaga Benget dan baby sitter-nya. Tapi karena aku ada janji dengan Mayumi, aku gak bisa lama-lama dengannya dan segera cabut ke tempat kencan kami.

Bersambung

Cerita ngentot gadis bertoket gede waktu magang
Perawan anak ibu kost
Anak Ibu Kost Yang Masih Perawan
Foto Tante Ngangkang Memek Masih Sempit
Foto tante telanjang colok memek putih bersih
Cerita dewasa ngentot di toilet
Foto Telanjang Siswi SMP Berseragam
pegawai bank bca cantik
Bercinta Dengan Pegawai Bank Yang Masih Perawan Bagian Satu
Foto bugil jepang JAV kana tsruta bugil jadi kucing
gurukubtante girang
Melayani Nafsu Seorang Guru Yang Masih Perawan
bispak cantik
Cerita ngentot dengan susi cewek bispak yang cantik
Foto bugil anje viral bugil sambil colmek sampai muncrat
Foto bugil Rin Hinami no sensor
stw hot
Wisata unik di jogja, makan di temani STW yang cantik
ngentot hot
Cerita hot pacar kakak ku yang tau cara memuaskan wanita
Foto Sex Cewek Mulus Memek Rapat
dukun cabul sexy
Cerita hot kisah si dukun cabul bagian tiga