Part #51 : Ngentot Bu Karina 5 Ronde

“Lima, deh…” ia malah minta lima ronde lagi.

“Sebisanya aja ya, bu…” aku lalu berjongkok di depan single sofa itu, ia melepas kocokannya pada Aseng junior. “Kita panaskan dulu, ya?” aku menyosor mulutnya lagi. Kedua bagian bibirnya masuk ke mulutku menjadi mangsa empuk. Kukulum-kulum bibirnya dengan gemas lalu bergantian dengannya memberi kesempatan membalasnya, ia melakukan hal yang sama. Sekali waktu kujulurkan lidahku sedikit dan kami beradu lidah sekilas. Tanganku tentu gak nganggur, dong. Meremas-remas dan memilin-milin susu kenyalnya. Kuusap-usap juga perutnya, seperti doa agar lubang laknat itu segera hilang. Bibit dari spermaku harusnya sudah bekerja saat ini kalo memang itu adalah fungsinya, menutup lubang yang ditinggalkan setan Kuyang keparat itu.

Karina

“Sudah hilang, bang?” ingat Karina akan gerakan mengusap-usapku di perutnya. Kukecup bibirnya. Kucolek permukaan lubang liang kawinnya yang masih becek bergelimang spermaku yang sejatinya untuk dibiarkan meresap di dalam rahimnya. Sejumlah cairan itu itu ada di ujung jariku, kuoleskan berputar di perutnya membentuk lingkaran dimulai dari titik Solar Plexus-nya ke bawah pusar balik lagi ke titik awal.

“Liat, yaa?” kataku. Posisi kepala Karina yang bersandar di pegangan sofa sebelah kiri tentu dengan mudah melihat bagian perutnya. Mulutnya terperangah melihat ada sinar kehitaman terpancar dari noda lembab bekas spermaku yang berbercak melingkar. Sekian waktu lalu sinar hitam itu berubah menjadi kemerahan lalu putih dan hilang sama sekali. “Sudah ilang, bu Karina… Sudah tidak ada lagi lubang itu… Sudah ilang…” sahutku lagi setelah sama-sama menyaksikan proses ajaib tadi.

Dirabanya perutnya sendiri dan tentu saja ia mendapati sisa sperma mengeringku alias keraknya saja. Aku membantunya membersihkan kerak-kerak putih itu dari perutnya. “Kalo diliat pake mata bathin memang sudah ilang bu lubang itu… Itu artinya jejak Kuyang itu sudah tidak ada… Di rumah ini juga sudah tidak ada lagi jejaknya…” kataku menjelaskan sesuai fungsi dan pengetahuanku.

“Karina gak ngerasain apa-apa…” ia menggeleng-geleng lucu. “Cuma sisa enak tadi aja yang kerasa…” sambungnya nakal menarik belakang leherku untuk melanjutkan adu mulut kami. Tanganku langsung mendarat lagi di susu kenyalnya. Lidahku mulai kukaryakan untuk lebih jauh mengeksplorasi mulutnya. Ia menyambut lidahku dan menyedotnya pelan-pelan mungkin gak tau apa yang harus dilakukan. Kubiarkan ia memasukkan lidahnya yang kubalas dengan membelitnya dengan lidahku. Kami bersilat lidah di dalam mulutku. Jariku lincah memilin-milin puting besar mengerasnya. Ia semakin ahli memainkan lidahnya, belajar dariku.

Jariku menelusup masuk lagi untuk mengetes liang kawinnya apakah sudah siap? Sudah berkurang banyak sperma yang menggenang. Semoga mereka bekerja optimal juga seperti pada binor-binor sebelum Karina yang sudah berhasil kuhamili dengan bibit-bibit suburku. “Hmm… Geli, bang… Jangan dimainin gitu, dong… Dicoblos aja pake ini…” katanya menggapai ke bawah dimana Aseng junior-ku menegang keras. Diremas-remasnya dengan gemas.

“Gantian yok? Awak yang duduk…” bimbingku agar Karina bangkit dari berbaring gak nyamannya di single sofa ini. Patuh ia mengikuti mauku dan berdiri. Aku yang sekarang duduk di single sofa ini. Aseng junior mengacung dengan sombongnya kek tiran. Tapi mata Karina sumringah melihat kesombongannya. Gantian ia yang berjongkok di antara kakiku. Dikocoknya Aseng junior tapi ada kerak-kerak sperma mengering di sekujur batangnya. Ia menggapai ke meja peralatan bayi, pada bagian laci dan mendapatkan sebuah botol baby oil. Dilumurinya Aseng junior dengan minyak harum lembut itu, dikocok lagi yang rasanya sangat aduhai nikmat. Tujuannya hanya untuk membersihkannya karena setelah itu Karina mengelapnya dengan tisu. Aseng junior sudah kepalang ngaceng berat kala ia mencoba menjilat-jilatnya bak es krim.

“Uohh… buuk… Anget lidahnya, bu… Isep, buuk…” lidah tebal Karina melilit-lilit Aseng junior seperti seekor siput dengan jejak cairan lengketnya. Lidah basahnya berdecap-decap menikmati batang kemaluanku yang sudah masuk perdana ke tubuhnya. Menggangguk-angguk kemudian kepalanya memasukkan Aseng junior ke dalam mulutnya. Mulutnya agak monyong menggelomoh kejantananku, naik-turun lincah. Lidahnya lalu dijulurkan dan melebarkan bukaan mulutnya yang lumayan lebar. “Buuk… Udahlah, buk… Gak tahan aku, buk… Langsung ajalah, buk…” rengekku minta langsung masuk aja.

Karina mengelap mulut dengan punggung tangannya dan berdiri. “Gimana?” Aku memandangi tubuh telanjangnya yang berdiri tegak di depanku. Aku masih terlalu terpesona dengan bentuk indah tubuhnya yang aduhai matang. Bahu lebarnya, susu kenyalnya, pinggangnya, bentuk segitiga di selangkangannya, paha mulusnya, dan wajah cantiknya. “Jangan diliatin gitu-ah, bang… Malu Karina-nya…” ia menunduk manyun manja.

“Buk Karina cantik kali jadinya… Aura matangnya…” aku memutar-mutar tanganku di pergelangan. “… keluar maksimal… Cantik kali… ck ck ck… Sini… Pangku aja di sini…” kataku menepuk pahaku lalu tersadar aku harus segera menyetubuhinya lagi. Karina langsung tanggap dan meletakkan lutut sebelah kanannya dahulu di samping pahaku. Lalu menyusul lutut kirinya hingga kini ia rapat di hadapanku. Tangannya menggapai ke belakang dan menemukan Aseng junior.

“Gini, kaan?” ia menurunkan tubuhnya, membimbing kepala Aseng junior untuk memasuki liang kawinnya lagi. “Aaahh…” mulutnya terbuka lebar merasakan Aseng junior membelah pelan tapi pasti kemaluannya. Ia yang sepenuhnya mengendalikan prosesi penetrasi ini. Ia angkat lagi tubuhnya yang bertumpu pada dua lututnya. Tanganku sebelah memeluk pinggangnya sementara yang satu meremas-remas satu susu kenyalnya untuk tambahan merangsang. Aku menatap semua ekspresinya yang merem melek dengan mulut menganga lebar. “Aahhss… Bang… Ini kegedean deh, bang Aseng… Tadi kok bisa masuk?” mulutnya seperti kepedasan makan sambel.

“A-aahh…” erangnya manja karena aku membantu menekan tubuhku ke atas hingga Aseng junior memaksa merangsek masuk. Tubuh Karina meliuk karena merasa ngilu kesempitan. Tapi kedua sisi pinggangnya kupegang jadi ia tak dapat menghindar. Kutekan pinggulnya ke bawah dan Aseng menelusup lebih jauh masuk membelah liang kawinnya. “Aaahhhsshhh…” erangnya kepedasan lagi masih menganga seksi.

Tetap kutahan tubuhnya di posisi rapat begitu duduk di pangkuanku dengan kelamin kami erat menyatu saling mengunci padu. Belum sempat ia membiasakan diri dengan ganjalan benda padat di dalam liang kawinnya, aku mulai menggerakkan Aseng junior keluar masuk walo dengan gerakan minimal. Pantatnya membal-membal kecil di pahaku menyebabkan kami memulai persetubuhan ini lagi dengan pompaan kecil. “AAauhhh…. Ahh!! Ah!” menjerit-jerit kecil ia tiap hentakan kecil yang membentur liang terdalamnya karena Aseng junior masuk sangat jauh menembus liang kawinnya.

Posisi Karina yang duduk di pangkuanku di atas single sofa sempit ini sangat intim bagiku. Mukaku tepat berhadapan dengan susu kenyalnya yang bergetar-getar indah saat Aseng junior mengacak-acak liang kawinnya. Wajahnya menengadah kesana kemari. Lidahku kujulurkan dan mengais-ngais pentil susu kenyal bulatnya. Tangannya bertumpu di bahuku setelah tadi sempat berbentuk aneh seperti posisi sayap burung yang mengepak-ngepak aneh karena gerakan menghentakku. Jeritannya kini berubah menjadi desahan karena gesekan kelamin kami menjadi lancar dan licin berkat spermaku yang rebound keluar mengucur lagi. Terasa meleleh sampai menetes di pelerku.

Kala kuhentikan gerakanku menusuk-nusuk dengan Aseng junior-ku, Karina tanpa sadar menggerakkan badannya sendiri naik turun. “Ehh?” sadarnya lalu beralih mencumbu mulutku dan menghentikan gerakannya. Aku meremas-remas pantatnya dan menggerakkan bokongnya naik turun sehingga ada sedikit gerakan yang terjadi karenanya berkat lumayan sempitnya liang kawin binor depan rumahku ini. “Bang Aseng nakal-ih…” ia lalu menggerakkan tubuhnya, kali ini dengan sadar. Ia sepenuhnya mengendalikan dalam dan kecepatan persetubuhan ini sekarang. Kadang dalam dan cepat, kadang pendek dan lambat, dan kadang ia memutar-mutar pantatnya-mengulek Aseng junior di dalam liang beceknya. Kala ia menegakkan tubuhnya, ia menyodorkan susu kenyalnya ke mulutku untuk dipermainkan. Dengan senang hati mulutku bekerja dan menyucup rakus susu kenyal bulat menggemaskan itu. “Aaahhhsss… Baaang… Enak banget, baang…”

Dibenamkannya mukaku belahan dadanya yang kenyal dan itu artinya ia berhenti. Kusiapkan posisi kakiku yang menapak lantai dan mulai gerakan memompa cepat. “Shlok-shlok-shlok!” gerakan cepat keluar masuk itu membuat Karina mengerang tanpa suara dengan mulut menganga sementara mukaku masih tenggelam di antara lumeran sepasang susu kenyalnya. Yang terasa bergerak-gerak adalah bagian bawah tubuhnya yang pasrah menerima sodokan cepatku juga karena pinggangnya kukunci dengan pelukan erat. Sesekali kulumat putingnya meningkahi gerakan cepatku dan suara erangannya yang membahana di kamar bayi ini.

“Bang! Aaahh! Ahh!” tubuh Karina berkejat menghentak hingga kelamin terpisah paksa, Aseng junior didudukinya hingga terjepit di antara kakiku. Beberapa kali getaran tubuhnya bergejolak dan kupeluk tubuhnya erat-erat. Ia membenamkan mukanya di rambutku. “Uuhh… Enak lagi, baang… Lemes Karina, bang… Hu-hu huhu…” keluhnya balas memeluk erat tubuhku.

“Memang harus enak, buuk… Kalo gak enak gak akan jadi anak…” jawabku ngasal aja. Kuremas-remas lagi bongkah buah pantatnya, merasakan kenyal padat benda indah itu. “Masih lemes?” tanyaku karena pasti lemes abis orgasme barusan. Untung aja Aseng junior tercerabut paksa, kalo enggak pasti udah dikremes-kremes liar di dalam liang kawinnya saat bergejolak tadi.

“He-em… Masih lemes, bang… Abis abang mainnya jago banget… Karina kalah terus…” jawabnya sambil mengecupi pipiku.

“Awak kan tadi udah nembak jugak, buk… Mana ada kalah terus… Gini deh… Balik kek gini…” kubimbing tubuhnya untuk berputar. Masih di pangkuanku, hanya saja kali ini tidak saling berhadapan. Ia memunggungi, hanya saja ia langsung bersandar di dadaku. Kakinya otomatis mengangkang di posisi ini dan kupeluk perutnya. Kuelus-elus sebagai bagian harapan agar ia secepatnya hamil. Terserah mau hamil dariku ato dari suaminya, mana saja boleh. Karina memalingkan wajahnya ke arahku dan mulut kami saling pagut lagi. Ia sekarang suka bermain lidah. Lidah kami saling mengulik, menggelitik. Susu kenyalnya tak luput dari remasan kedua tanganku. Lumer menyenangkan rasanya di antara jari-jariku. Apalagi saat putingnya kupilin-pilin.

Pantat Karina digoyang-goyangkannya nakal pada Aseng junior. Digodanya terus hingga terjepit di antara belahan bokongnya. Tunggang langgang tentunya batang kelaminku digeol-geol sedemikian rupa. Gak boleh dibiarkan begini terus. Aku mencondongkan tubuhku ke depan hingga Aseng junior lepas dari perangkap pantat Karina dan menyembul keluar, mencuat pada habitat aslinya, di depan liang kawin sarang barunya.

Dengan kedua tangan kukondisikan keadaannya; pantat Karina kuangkat dengan tangan kiri dan Aseng junior kuarahkan memasuki sarangnya pake tangan kanan. Melengkung, bersusah payah ia menemukan lubang targetnya dan langsung kusorongkannya. Alhasil Karina meraung dan meremas rambutku. Licin liang kawinnya mempermudah perjalanan nikmat Aseng junior menembusi hingga batas maksimal yang dapat dijangkaunya. “Ahhsss…. baaang… Dalam banget, bang… ahhsss…. uhh!”

Dengan pelan-pelan aku menggerakkan perutku naik turun untuk memompa liang kawin Karina. Jariku menggelitik kacang itilnya, mudah-mudahan ini akan menjadi tombol darurat. Sudah cukup lama aku tak mengeksploitasi tombol darurat yang lazim dimiliki perempuan ini. Lancar sodokanku ditambah kulikan kacang itil membuat Karina blingsatan gak karuan. Tubuhnya meliuk-liuk terbatas di atas pangkuanku ini. Kutarik lengannya ke kiri dan kusedot susu kenyal kanannya. Lidahku menyentil-nyentil membuat Karina makin mengerang-ngerang seksi.

Lama kelamaan gerakanku semakin cepat saja. Sodokanku tambah panjang dan bertenaga. Tepukan benturan tubuh kami ‘teplok-teplok’ suaranya becek karena walo ruangan ini sejuk tapi tetap membuat kami berkeringat. Erangan Karina semakin intens dan lenguhannya makin berisik dan tubuhnya semakin menegang. Ia mengangkangkan kakinya lebar-lebar agar Aseng junior-ku lebih leluasa mengacak-acak kelaminnya yang terbentang lebar disodoki terbelah batang kejantananku yang keras mengkilap oleh licinnya panas hubungan kelamin kami. Sesekali kusumpal mulutnya untuk membungkam berisik mulutnya yang mulai terungkap. Dari awal ia tidak seberisik ini. Mungkin terlalu menikmati.

Kulikan pada kacang itil Karina semakin cepat seirama sodokan cepatku dan suara erangan manja-manja binalnya. Karina bahkan menekan tanganku berkali-kali agar lebih mengobok-obok kelaminnya. Sesekali ia juga menyentuh Aseng junior yang keluar masuk lancar dengan licin. “Baang…. Mau lagiii… IIhhh… Ahh! Ah!” pantat Karina geol-geol dalam keadan Aseng junior terbenam dalam. Pijatan kuat meremas-remas kelaminku hampir membuatku mabuk. Kuremas kedua susu kenyalnya dan kami salim kulum bibir bergantian. Kelamin kami masih bersatu erat. Terasa kuyup lebih basah.

Pelukan erat kuketatkan pada tubuh seksinya yang sudah berkali-kali mengalami orgasme. Aku sengaja tak melepas kesatuan kelamin kami karena aku masih menikmati kedutan-kedutan samar paska orgasmenya yang memijat Aseng junior dengan syahdunya. Kami masih bertukar ludah saling mengulum bibir. Semua jenis rangsangan kulakukan padanya, baik meremas susu kenyalnya dan mengulik kacang itilnya silih berganti. “Bentar lagi awak mau keluar lagi nih, buk…” kataku menggesek-gesek hampir seluruh permukaan vaginanya yang merekah dibelah Aseng junior. “Kita ganti posisi, yaa…?”

“Eh? Ahh…” kagetnya karena dekapanku yang tak berkurang, kudorong tubuhnya berdiri bareng denganku masih dengan kelamin yang melekat erat. Aseng junior masih terbenam dalam di liang kawinnya. Terasa diperas-peras oleh gerakannya yang kudorong menuju box bayi masa depannya. “Doggie berdiri, bang?” pahamnya akan mauku. Mungkin ia hanya kaget aku tak melepas penisku terlebih dahulu. Aku mengangguk. Ia memegangi pagar kayu box bayi itu lalu menunduk rendah. Pantatnya yang lebih mencuat tinggi sementara tubuhnya rendah sejajar.

Aku berpegangan pada kedua pinggulnya dan mencengkam erat karena aku sudah merasakan rasa ingin nikmat itu di ujung-ujung, mulai kubergerak. “Ahh! Ah ah ah ah…” erang Karina merasakan sodokan yang awalnya masih pelan dan berangsur cepat dan semakin cepat. Gesekan keras batang Aseng junior pada dinding liang kawin Karina terasa sangat ketat dan licin bersamaan. Aku juga ikut mengeram merasakan kenikmatan itu. Aku tahan-tahan sebentar agar ada efek ledakan yang dahsyat nantinya saat mencapai puncaknya.

“Bang! Bang mau keluar lagi, bang! Ahh! Ahh!” teriak Karina juga mendongakkan kepalanya dengan gelisah. Ia meremas-remas pagar box bayi. Sesekali tubuhnya naik turun dan jepitan liang kawinnya mengetat drastis dan mengendur tak teratur.

“Tahan! Tahan! Bareng kita!!” teriakku terus memompakan Aseng junior lebih cepat dengan RPM tinggi. “Plak plak plak!” suara hantaman perutku menepuk bokongnya. “Plak plak plak!”

“Aahhh… ah ahh ahhh ah ahh! Bang! Baaang!!”

“Hegghh… Karr… Karr… Ini… Ayooo!! Ughh…!”

“Ah! Ah!”

“Crooot croott croott!!”

Kubenamkan sedalam-dalamnya Aseng junior ke kedalaman maksimal liang kawin Karina. Tubuh perempuan cantik itu bergetar-getar hebat tanpa suara lebih jauh tetapi tangannya keras mencengkram tanganku yang memegangi pinggulnya. Sejumlah besar spermaku membanjiri liang kawinnya, memasuki rahimnya untuk kedua kalinya malam ini dalam posisi berdiri dan ia menungging.

“Lemes Karina, bang Aseng…” bisiknya saat bersandar lagi di dadaku yang duduk kembali memangkunya di single sofa. Aseng junior masih bercokol menusuk masuk menyumpal mulut rahimnya agar sperma berhargaku gak keluar mengucur dulu. Biar bibit-bibit berukuran mikroskopis itu bekerja menyerbu sel telur target mereka, membuahinya. Hanya cukup satu saja yang berhasil menembusnya, membawakan kode genetis dan membuahinya.

“Mudah-mudahan bisa berhasil jadi anak ya, buk…” bisikku di telinganya setelah tadi mengecupinya yang membuatnya bergidik geli. “Jadi anak yang bisa menggenapi mimpi mamanya yang cantik ini… Agar mamanya jadi lebih percaya diri lagi menghadapi dunia ini…”

“Amin,,,”

—————————————————————————-
Ini ronde ketiga aku menggenjot Karina. Ia memilih untuk tetap berada di atas single sofa ini. Duduk setengah berbaring di sofa yang sewajarnya hanya dipakai satu orang saja walo ukurannya lebih besar dari biasanya karena memang ditujukan untuk duduk nyaman saat menyusui.

Kugenjot kemaluannya yang mengangkang lebar dengan sodokan 2-1 lagi. Karina mendesah-desah keenakan menikmati semua kenikmatan persetubuhan yang kutawarkan lewat pertemuan kedua kelamin kami. Gesekan-gesekan enak memercikkan rasa nikmat itu kesekujur tubuh kami berdua. Keindahan visual yang kunikmati setelah tubuh indah berkulit putih mulus berpeluhnya, tentu saja adalah guncangan saling beradu sepasang susu kenyalnya. Membal berbenturan kedua susu kenyal itu seolah sedang berkelahi saling tabrak menabrakkan diri siapa yang paling mumpuni. Belum lagi ekspresi di paras cantiknya yang menikmati sungguh-sungguh buncahan kenikmatan yang menguasai sekujur tubuhnya.

Menjerit lirih ia awalnya lalu terdiam bungkam kala orgasme menyetrum tubuhnya berkejat-kejat nikmat. Aseng junior-ku dipulas-pulas di dalam liang kawinnya. Kusisihkan beberapa helai rambut yang melintang di depan wajahnya yang bertitik peluh. Aseng junior kulepas. “Ganti posisi ato mau ganti tempat?” tawarku.

Matanya berkerjab-kerjab gak tau mau harus jawab apa. “Ganti posisi aja, ya… Karina masih bingung… Ayo?” tarikku agar ia bergerak. Ia bingung harus bagaimana dan kuarahkan tubuhnya berputar masih di atas single sofa ini. Kaki di atas sofa, tepatnya lututnya bertumpu, mukanya menghadap ke sandaran sofa dan pantatnya menungging ke arah depan. Aku menikmati pemandangan indah pantat bulat lebar putih dengan belahan nikmat yang basah di lepitan cantik itu. Kugesek-gesekkan kepala Aseng junior ke belahan vaginanya yang dengan mudah dibelah dan menemukan liang kawinnya yang licin. “Kita mulai lagi ya, buk…” dan Aseng junior meluncur masuk tergelincir masuk dengan mudah.

“Aahh… ahh… ah ah ah…” erangnya begitu aku sudah memompanya lagi dengan kecepatan sedang dan teratur. Posisi menunggingnya kali ini sangat pas dengan ketinggian posisi Aseng junior hingga aku lebih menikmatinya dengan maksimal ditambah aku bisa meremas-remas, menikmati bokong padat tebalnya. Tiap diremas, belahan pantatnya membuka menampakkan proses keluar masuk Aseng junior menusuk liang kawinnya. “Ah ah ah ah ah ah…” Karina menyandarkan tangannya pada sandaran sofa berkali-kali menoleh ke belakang minta perhatian lagi.

“Kenapa, buk?” tanyaku disela sodokanku. Ia menjulurkan lidahnya minta cium ternyata. Berhenti dan kutarik kedua kakinya turun dari sofa. Ia kebingungan lagi apa yang akan kulakukan. Kami berdiri berhadapan. Tinggi Karina tidak setara denganku hingga Aseng junior tepat di perutnya, mengacung keras rapat. Aku menekuk lututku dan mengangkat sebelah kaki Karina dan melebarkan yang sebelahnya juga. Otomatis ia mengalungkan tangannya di leherku.

“Aaahh…” erangnya saat kutusukkan Aseng junior di posisi ‘martole jonjong’ (ngentot berdiri) ini. Jepitannya sangat sempit karena ia kurang bisa mengangkang. “Sempit, bang… Ahh…” keluhnya berusaha semakin melebarkan kakinya.

“Pegang kuat, ya…” dan kuangkat kakinya yang menapak lantai hingga kini kedua kakinya kuangkat. Kukalungkan kedua kakinya di pinggangku seperti kedua tangannya yang mengalung di leherku. Ia kebingungan tetapi Aseng junior menancap dalam terbenam keseluruhannya di dalam liang kawinnya yang berdenyut enak. “Kita jalan-jalan…”

“Eh?” kagetnya karena aku membawanya berjalan keluar kamar ini. “Gak berat, bang?” Aku menggeleng dan mengecup ringan bibirnya yang protes. “Ah.. ah ah ah ah…” tiap langkah yang kulakukan, Aseng junior terpompa di dalam liang kawinnya. “Abang Aseng kuat banget… Karina kan berat… ah ah…” Yang pertama kukunjungi adalah ruang luas yang merupakan ruang TV. Ada sofa panjang yang terlihat sangat empuk di tempat ini. Percaya kalo sesuai ucapan Karina kalo para ART-nya hanya akan muncul kalo mereka dipanggil, aku berniat menggasak Karina di tempat ini. Kubaringkan tubuhnya di atas sofa panjang itu. Benar empuk.

Karina memperbaiki rambutnya bertanya-tanya kala kukoreksi posisiku, kumiringkan tubuhnya. Aseng junior masih tertanam sempurna di lubang kemaluan binor ini. Posisi ngeseks begini selalu membuat lututku gemetaran kala ngecrot. Kita coba pada Karina apakah masih sama? “Aahh… Ahh… Banng… Ini kok enak banget? Ahh… ahh… Auhh…” erang Karina saat aku mulai memompanya lagi. Perutku bertumbukan dengan sebagian bokongnya yang miring menghadap atas. Lepitan kemaluan Karina menelan Aseng junior yang terbenam dalam. Himpitan maksimal sangat terasa menambah nikmat lebih padaku dan gesekan yang menggaruk isi dalam kemaluan Karina.

“Hess-ahh… ahhhss… aahh…” desahku juga tak kurang terpengaruh akan kenikmatan luar biasa di posisi miring ini. Kuremas sebelah susu kenyalnya yang terlihat di posisi ini selagi kupompa semakin cepat liang kawin Karina. Binor itu hanya bisa mangap-mangap aja menikmati ini semua. Kedut-kedut isi dalam kelaminnya memeras Aseng junior-ku. Aku tau gak lama lagi aku bakalan ngecrot untuk ketiga kalinya.

“Bang! BANG! Ah! Ah…” erangnya lalu kejang-kejang. Aku juga menekan sedalam-dalamnya dan menyemprotkan isi muatan pelerku masuk ke dalam rahimnya lagi. Jepitan dahsyat ketika ia orgasme memicuku juga ejakulasi berbarengan dengannya. Kutindih tubuhnya kala sisa-sisa semprotan spermaku masih menyembur-nyembur beberapa kali. Ia pasti merasakan semua cairan kental yang mengisi rahimnya mengisi tubuhnya membuat tubuhnya menjadi hangat. “Ahh… Bang Aseng… Enak banget, baang… Kok bisa enak gini, bang?” racaunya.

Aku gak menjawab apa-apa. Hanya melepas Aseng junior dari lubang kemaluan beceknya, menaikkan kakinya ke sandaran sofa agar semua usaha kami tidak sia-sia, tidak keluar dahulu. Memaksimalkan peluang hamil Karina dengan menyetorkan sperma suburku sebanyak-banyaknya ke dalam rahimnya. Walo jauh di dalam hatiku aku pernah yakin kalo sperma pertamaku yang memasuki wanita manapun yang dalam keadaan subur, tak memakai alat pencegah kehamilan, tidak dalam masalah kesehatan reproduksi apapun akan membuahi sel telurnya-hamil.

“Enak, ya?” kataku mengecup keninganya. Karina berbaring lemas di sofa panjang ini dengan kaki terangkat di bagian sandarannya, sedikit serong posisinya. Karina tersenyum dikulum karena aku mempermainkan susu kenyalnya.

“Yang berikutnya di kamar Karina, ya?” pintanya. Aku melongok ke arah pintu kamar yang dimaksudkannya. “Abang yang memanaskannya malam ini menggantikan suamiku yang lagi pergi itu…” katanya. Aku hampir tertawa mendengar ia mengatakan itu.

“Muahh… Ayo… Kita panaskan kamar Karina…” tanganku menyelusup ke belakang punggungnya dan bawah lututnya. “Hup!” dengan mudah aku mengangkat tubuhnya ke gendonganku. Beratnya setidaknya 50-an kilo kurang lebih. Gak masalah hanya masalah kecil. Karina menutup mulutnya dengan ekspresi kagum karena lagi-lagi aku dapat menggendongnya dengan mudah berjalan menuju kamarnya. Ia membantuku memutar kenob pintu dan membuka jalan masuk ke dalam kamar luasnya.

Aseng junior berjuntai berayun-ayun saat aku menaiki ranjangnya dan meletakkan tubuh bugil pemilik ranjang ini di tempatnya. Sebuah bantal kuposisikan di bawah bokongnya karena spermaku belum selesai meresap sehabis ronde sebelumnya. Kami berbaring bersisian dan saling beradu mulut lagi. Lidah kami saling berbelit dengan tangan rajin menjelajah. Tanganku meremas-remas susu kenyalnya sementara tangan Karina mengocok Aseng junior. “Umm… umm… umm…” Aseng junior-ku jadi tegang maksimal kembali mendapat perhatian tangan Karina dan waktunya mengecek keadaan vaginanya kembali. Jariku mengobel vaginanya dan tidak banyak sperma yang tersisa di liang kawinnya. Kutusukkan masuk dan mengocok liang kawinnya untuk semakin memanaskan suasana.

Karina melepas mulutku dan mengerang-ngerang pelan menikmati kocokan jariku yang cepat berpacu. Kepalanya berayun kanan-kiri gelisah. Dadanya terangkat berkali-kali dan kakinya mengangkang lebar. Aseng junior hanya diremas-remasnya gemas sekedarnya. Aku beralih cepat dan memposisikan diriku di antara kakinya. “Aaahhh… Baang…” Aseng junior menelusup masuk dengan mudah berkat licin kondisi liang kawinnya. Kupompa dengan kecepatan sedang sekarang. Susu kenyalnya berayun-ayun menggoda. Kedua tangannya kupelukkan di bawah dadanya, membentuk gundukan susu kenyal itu lebih bulat teratur bergoyang di tempatnya. “Ah ah ahahah…”

Karina mengerang-ngerang tak terlalu berisik tapi cukup seksi untuk menyemangatiku untuk terus menggenjot dirinya. Sosok indah tubuhnya menjadi faktor daya tarik aku gak jemu-jemu menyetubuhi binor ini. Jepitan kemaluannya juga sangat memabukkan walo tak sesempit perempuan muda tentunya. Ada nilai plus dalam tiap aspek dirinya yang pastinya akan didapatkan tiap pria yang menghadapinya. Semoga di masa depan, ia akan dapat menemukan kembali dirinya yang sudah direnggut Kuyang itu saat kepergian eksistensinya.

Berkali-kali aku menyetubuhinya malam itu. Kami bersenang-senang bersama menikmati malam yang sudah kami nanti-nantikan bahkan lebih dari seminggu lalu kala aku selesai menyingkirkan setan Kuyang itu dari tubuhnya. Berulang-ulang aku menyemprotkan spermaku ke dalam liang kawinnya, memenuhi rahimnya. Bersenang-senang sekaligus menghamilinya di masa suburnya ini. Sudah cukup dua kali digantung kentang dan ini pembalasan yang sangat manis. Kami sama-sama puas.

“Ah ah ah ah…” Karina hanya duduk berpangku di atas selangkanganku saat Aseng junior-ku yang terbenam dalam kemaluannya keluar masuk berkat gerakan yang kulakukan menghentak-hentak. Kakinya berlipat di samping tubuhku, rapat di atas kasur ranjang. Ia memegangi pahanya sendiri sementara aku berpegangan pada dua susu kenyalnya yang berguncang-guncang ngangenin. Aku menghentak-hentak ke atas untuk gerakan keluar masuk pendek saja merojoki liang kawin mantan pemilik ilmu Kuyang ini. Desahan “ah ah ah ah…”-nya mengisi kamar luas ini tidak terlampau kuat. Hanya cukup untuk memacu nafsuku dan aktualisasi rasa nikmat yang tengah dirasakannya. “Baang Aseeeng… Lagi, baang…” sepertinya ia akan mendapatkan orgasmenya kembali. Aku makin bersemangat memompanya dan ia mendapatkannya. “Akh!” Karina menggerus-geruskan permukaan kelaminnya pada selangkanganku. Kacang itilnya yang paling terasa bergesekan memberinya rasa nikmat tambahan.

Karina rubuh miring dari tubuhku dan persatuan kelamin kami terpisah. Aseng junior yang tercerabut dari sarang barunya masih tegang meradang keras. Ada rasa iba dan kasihan juga melihat tubuhnya yang lemas sudah beberapa kali orgasme. Kemaluannya aja becek oleh sisa spermaku dan cairan cintanya sendiri. Sampai berapa kali lagi aku menyetorkan bibitku malam ini? Ia sesumbar minta 5 kali. Aku bisa-bisa aja mengabulkan itu tapi entah apa Karina bisa menerimanya. Tubuh letihnya berbaring seperti tak berdaya. Matanya terpejam dan nafas ngos-ngosan lelah. Pinggulnya mencuat indah di berbaring miringnya. “Masih bisa, buk?” tanyaku.

“Bisahh… Bisaah, bang Aseenghh…” jawabnya lemas tapi bahkan tak dapat menggerakkan tubuhnya lebih jauh. Tapi di posisi menggairahkannya ini aku paling suka. Bisa serasa lemes dengkulku abis ngecrot di posisi menyamping ini. Kutekuk kakinya yang atas sementara yang bawah cukup lurus. Aku memposisikan diri diantara kakinya yang lurus dan mengarahkan Aseng junior membidik sasaran. Aku harus menyingkap bagian bawah bokongnya untuk menemukan belahan kemaluannya untuk menyelipkan penisku. Kugesek-gesekkan dan sasaran tembakku terasa bisa ditusuk.

“Bloossh!” Aseng junior meluncur masuk dengan mudah. Rasa terjepit batang kemaluanku sangat terasa di posisi ini karena pengaruh bobot tubuhnya yang menyamping. Ini posisi favoritku yang malah jarang kupraktekkan pada istriku sendiri. Dia sukanya berkuasa di posisi WOT. Walo kugerakkan pelan-pelan tapi nikmatnya sangat berasa sampe membuncah ke ubun-ubun. Alamak… Sedaap nian… “Blesh blesh blesh…” rasa nikmat gesekannya juga membuat Karina mengerang dengan suara pelan dan parau. Satu tanganku mencengkram pinggulnya dan satunya mencari puting susunya lalu diremas-remas selagi pinggulku bergerak ritmis maju mundur.

“Buu… Enak kan, buuk?” erangku dan menengadah ke atas. Sebenarnya aku udah gak mau nahan-nahan apapun lagi. Kalo udah mau ngecrot, ya udah ngecrot aja. Hanya saja harus ditahan sebentar agar ada efek menyembur yang menambah rasa nikmat itu. “Bareng kita yok, buuk? Mau keluar nih, buuk…” erangku tambah gak teratur karena nikmat dan geli bercampur jadi satu di perutku dan batang Aseng junior yang meradang berkedut-kedut.

“Yaah… yaaa… yaaahh… Akh!” jawab Karina juga tak menahan-nahan apapun. Ia terlebih dahulu yang menapaki rasa nikmat orgasme itu dan aku menyusul di belakangnya yang menyemprotkan benih-benih suburku sesuai permintaannya, 5 kali. Lima kali ejakulasi yang dahsyat, yang sampe membuat dengkul mau copot sangkin sedapnya. Membuat kepala terasa ringan dan perut terasa plong. Kupepetkan tubuhku ke dirinya dan mencumbu mulutnya. Ia menyambutku dengan pasrah dan membiarkanku memperlakukan mulutnya sesuka hatiku. Ia hanya mengerang-ngerang merasakan kedut-kedut susulan Aseng junior yang memompakan sisa bongkar muatanku.

Kupeluk tubuhnya yang berkeringat wangi segar. Wangi binor yang beraroma wangi segar. Wangi yang bahagia habis berkopulasi. Sehabis dibuahi. Semoga saja ini sesuai perkiraanku kalo semua sesuai prediksi, semua binor yang pernah kubibiti perdana akan mendapat kabar bahagia, hamil di pemeriksaan awalnya 1-2 minggu kemudian. Rata-rata itu yang telah terjadi. Kupuja-puji kenikmatan yang telah diberikannya padaku. Kuciumi tengkuk dan lehernya, membuat binor tetangga depan rumahku ini bergidik berterimakasih. Ia juga memujiku balik…

Bersih-bersih sekenanya di kamar Karina lalu aku keluar dari rumah ini dari jalan aku masuk. Karina minta maaf karena tak bisa mengantarkan kepulanganku karena masih lemes. Ia memintaku untuk menutup rapat saja pintu atas, nanti kalo ia sudah lebih pulih akan dikuncinya. Depan rumahku lewat tengah malam begini sudah sangat sepi. Di tengah jalan aku berhenti dan memandangi lampu kamar Karina yang masih menyala. Teringat aku lesakan kepala terbang beserta isi perut tanpa badan yang waktu itu menyerbu rumahku demi popok bekas anakku yang sengaja kugantung di pagar. Kutangkap kepala itu yang merupakan bentuk siluman Kuyang yang pernah menguasai diri Karina, kubebaskan dan terjadi serangkaian kejadian yang berujung aku bisa menunaikan tugasku, menyembuhkan dan membuahinya.

Lalu pandanganku beralih ke rumahku sendiri. Bangunan luas bertingkat dua bergaya Mediterania yang sudah kutempati beberapa minggu ini. Baru beberapa hari aku menempati rumah itu, sudah ada beberapa kasus yang menimpaku. Dibelakang rumahku, sedang menunggu satu kasus lainnya. Vampir perempuan, bule Prancis bernama Agnès.

—————————————————————————-

Agnes

“Kenapa, Agnès? Kenapa ngeliatin awak kek gitu?”

Pernah ngeliat bule cantik manyun? Itu yang keliatan jelas di mukanya. Bibirnya yang tebal maju lebih dari biasanya. Segitu lamanya dia di dalam daerah kekuasaanku ini dan sudah banyak yang dilakukannya. Ia mengumpulkan bebatuan yang agak besar dan menyusunnya membentuk tepian jalan ke arah sungai kecil lalu membuat sebuah jembatan padahal cukup dilompati saja bisa. Jembatan itu dibuatnya dari kayu yang dikumpulkannya dari pohon-pohon yang ada. Ada juga sebuah rumah pohon sederhana yang belum beratap dan berdinding. Masih lantai dan tiang-tiang utamanya saja yang berdiri. Entah pakai apa dia memotong kayu-kayu besar ini? Wadaw!

Tangan halus dan mulus Agnès dengan cepat memotong kayu yang diinginkannya seperti menggunakan sebuah golok. Dibacoknya kayu itu berulang-ulang dengan sisi bawah tangannya hingga putus sambil ngeliatin aku dan bibir manyun itu. Ternyata tangannya bisa difungsikan seperti itu. Untung waktu berkelahi denganku waktu itu, ia belum sempat menggunakannya padaku. Untung aja… Tapi entah apa salahku sampe diprengutin kek gini.

Dipotongnya beberapa batang kayu lurus lalu dibawanya ke rumah pohon buatannya yang nangkring di pohon terbesar di hutan kecil ini, Beringin. Semua itu dikerjakannya tanpa suara, hanya ada suara kayu terbacok. Disusunnya kayu-kayu itu hingga membentuk lantai baru. Aku hanya bisa ngeliatin dia melakukan semua ini dari jauh. Bahkan dia gak permisi membuat berbagai perubahan ini. Padahal ini kan daerah kekuasaanku. Kok seenak udel bule-nya aja memodifikasi tempat ini? Membangun rumah pohon lagi…

“Agnès? Ada apa ini? Bicara dong, neng?” sapaku lagi karena ia terus bungkam dengan pandangan sengit. Ia terus mengerjakan kerjaannya itu. “Kalo gak bicara kek mana awak tau Agnès mau apa?” memang laki-laki itu mahluk yang gak peka. Contohnya aku ini. Aku gak tau maunya apa. “Mangecek-la, upiak?… Dok ma, ito? Ngomong toh, nduk?” karena kesel gak ditanggapi padahal dah pake berbagai bahasa kupake, kutinggal pergi perempuan itu dan terdengar kepakan sayap Panglima Burung hendak mendarat, bertengger di tanganku.

“Kenapa dia, Panglima Burung?” tanyaku padanya karena dia pasti tau apa yang telah terjadi selama Agnès ada di tempat ini. Entitas burung sakral masyarakat Dayak Kalimantan ini sepertinya sudah menjadi teman diskusi Agnès selama di sini.

“Cemburu, anak?” jawab burung Enggang itu.

“Cemburu? Cemburu kenapa? Emangnya dia siapanya aku?” kagetku.

“Anak gak tau kan… kalau anak keluar dari sini… aku dan anak itu bisa melihat apa saja yang anak lakukan di luar sana… Anak perempuan itu menyebutnya telepisi… Ada gambaran penampakan di langit itu seperti cermin apapun yang anak lihat di luar sana…” jelas Panglima Burung mengejutkan.

“Heh??” kagetku setengah mati. Baru tau ini aku… Mataku mendelik ke arah Agnès. Pasti dia sudah melihat apa saja yang sudah kulakukan pada Karina di luar sana. Pandangan sadis Agnès melirik padaku lagi masih dengan mulut manyun maju satu level. Kimbek-la… Ketauan.

Pakaian gaun longgar tanpa lengan dengan rok panjang itu udah gak karu-karuan bentuknya. Bagian rok panjangnya sudah koyak-koyak pendek karena diambil kainnya untuk menjadi tali pengikat. Rok itu sekarang jadi rok super mini yang kurasa tak punya fungsi utuh lagi karena aku dengan mudah melihat pantat dan kemaluannya yang hanya tertutup minimal oleh G-String-nya. Yang utuh adalah bagian atas gaun yang aslinya berwarna putih itu. Sekarang warnanya agak berubah kusam, kekuningan kotor akibat aktifitas penuhnya di sini.

“Wek-cewek… Pi-wiiitt!!” panggilku dengan suitan ngasal. Apa ngerti dia cat-call kek gini? Paok kali… Itu cewek bule masa digodain pake gaya kek gitu. Agnès masih bekerja di atas sana di antara dahan pohon Beringin yang sudah dipangkasnya untuk bangunan rumah pohonnya. Pemandangan pantatnya yang geal-geol kemana-mana adalah pemandangan segar di atas pohon. Apalagi saat ia membungkuk waktu melakukan sesuatu, mencuat bagus dengan gundukan kemaluan yang masih terbungkus G-String. Dengan mudah aku memanjat pohon itu dan nangkring di salah satu dahan, dekat dengannya.

“What? Just shut up and leave me alone, monsieur… Go… I don’t want to talk to you right now… I’am-I’m just furious right now… Don’t start it with me now…” (Apa? Diam dan tinggalkan aku sendiri, tuan. Pergi. Saya gak mau bicara denganmu saat ini. Aku-aku hanya sangat marah saat ini. Jangan mulai sekarang) repetnya entah hapa-hapa. Udah kek binikku pulak dia kalo lagi marahan. Padahal baru satu hari aja ketemu.

“Sori Agnès… Soooori kali-la pokoknya… Agnès udah liat semuanya, ya? Sori-la pokoknya…” kataku mohon-mohon maaf padanya pake menyatukan tapak tangan padahal fokus pandanganku adalah memelototi bentuk bagus pinggul dan pantatnya yang hanya berbungkus G-String. Apalagi paha mulusnya yang berkali-kali terbuka kala membungkuk membelakangiku.

“Kamu bilang metode penyembuhan kami harus digantung terbalik di gua kelelawar… Tapi dia? Kenapa Karina itu beda… Kamu menidurinya untuk menyembuhkannya… Kenapa tidak bilang saja kenyataannya… Kamu tidak jujur pada saya, bang Aseng…” ia menunjuk-nunjukku dengan sebuah batang kayu yang ujungnya runcing bekas dipotong.

“Beda-loh metodenya, Agnès… Dia sembuhnya harus pake metode ini… Lubang di perutnya itu harus ditutup dengan bibitku… Itu yang disyaratkan Kuyang yang dulu tinggal di perutnya… Lagipula ia juga minta hamil karena semua bayi yang pernah ada di perutnya… semua dimakan Kuyang sialan itu…” abis mengungkapkan itu semua, aku langsung diam karena fakta berikutnya akan terhambat oleh perjanjianku dengan Karina.

“Bibit? Bibit apa? Your seeds?” tanya Agnès hanya fakta tentang bibit itu. Pastinya dia bingung kenapa ada kata bibit di sana. Emangnya aku sejenis tanaman harus berkembang biak pake bibit yang disemai di tanah subur.

“Dengan bibitku…” aku menunjuk selangkanganku, “… untuk menutup lubang yang ada di perutnya… karena hanya dengan ini yang bisa menyembuhkannya… You understand?” jelasku campur-campur sok bilingual. Dan entah kenapa Agnès tiba-tiba refleks menutupi bagian depan celana dalamnya yang keliatan jelas di hadapanku dari sela roknya yang compang-camping. Wajahnya ketat. “Huh? Kenapa? Baru nyadar kalo awak ini cowok normal? Kenapa baru ditutup sekarang?” tanyaku menyindir kecuekan sebelumnya.

“Kamu memanfaatkannya?” tuduhnya tak berdasar. Ia menunjuk-nunjukku lagi dengan kayu itu penuh emosi.

“Kalo aku memanfaatkannya… kenapa awak gak memanfaatkan Agnès juga? Kenapa?” jawabku membalik logikanya. “Bisa kan awak memanfaatkan Agnès juga?… Awak bilang aja metodenya sama… Awak enak… Agnès enak… Tapi gak sembuh… Kan?” Aku memegangi batang pohon beringin yang menjadi tempatku bertengger. “Di Indonesia sini ada istilah gotong royong… Pernah dengar?” Agnès mengangguk. “Artinya saling tolong-menolong… Ini sudah jadi kewajibanku untuk menolong sebisa semampuku… Gak salah, kan?” kataku lagi.

“Tapi kamu tetap memanfaatkannya… Mengambil keuntungan darinya… Kamu menikmatinya, kan?” ia tetap keukeuh menuduhku memanfaatkan Karina.

“Tentu aja awak menikmatinya… Awak ini laki-laki normal… Selagi menikmatinya… sekalian awak menolongnya… Impas, kan?” jawabku ngasal aja.

“Jadi itu fungsi perjanjian yang kamu buat dengan Karina itu?” ia terus mencecarku dengan pertanyaan yang menjurus. Ia sekarang menurunkan kayu yang dari tadi terus diacung-acungkannya menunjukku. Tangannya yang satu tetap menutupi selangkangannya. Tapi pahanya tetap aja kemana-mana.

“Yaa… Ya… Untuk menegaskan saja… Agnès dengar semua poin-poinnya, kan? Itu untuk melindungi kami berdua dari hal-hal yang tak diinginkan… Mungkin bagimu itu semua kurang kuat… Tapi di dunia yang awak geluti ini… janji tidak boleh diingkari… Ada ganjaran yang bisa dibilang berbahaya kalo gak mau dibilang fatal kalo melanggar janji ini… Cobalah pahami itu…” Agnès terdiam mencerna semua kata-kataku untuk beberapa lama. Ia berputar dan berjalan meniti kayu-kayu lantai rumah pohon yang sudah disusunnya rapat. Aku bisa menikmati lenggak-lenggok bokongnya yang tak berusaha ditutupinya di antara cabikan rok pendeknya. Mungkin ia terlalu fokus berpikir.

“Kenapa dengan saya tidak bisa?” tanya Agnès di kejauhan sana. Aku gak gak terlalu jelas apa yang dikatakannya. Ia kembali ke posisinya semula di tempat tadi. Ia terpaksa harus memegangi dahan-dahan terdekat sehingga gak bisa menutupi selangkangannya yang mengintip. Ulahnya sendiri sih. “Kenapa pada saya metode itu tidak bisa disamakan saja?” katanya setelah sampai.

“Pake bibit juga?” tunjukku lagi ke arah selangkanganku. “Boleh-boleh aja… Tapi gak jamin sembuh, yaa?” kataku santuy aja karena memang kejauhan jangkauannya.

“Kenapa?” tanyanya kepo kali.

“Ini berdasarkan kata-kata Kuyang sialan itu tadi… Kuyang itu memberikan syarat hanya dengan menggunakan bibitku lubang di perut Karina bisa disembuhkan… Dan awak dengan senang hati melakukannya… Itu tadi gotong royong… Saling menolong… Kalo Agnès kan harus mati’in vampir berdarah murni itu… ”

Agnès keknya gak puas dengan semua jawabanku dan ia turun dari pohon Beringin ini. Ternyata ada sebuah tangga kayu di sebelah sana. Pasti itu yang pertama sekali dibangunnya untuk memudahkan turun naik pohon. Ia berjalan ke arah jembatan sungai kecil dimana Panglima Burung turun dari tempatnya biasa bertengger di puncak pohon pinus jarum dan mendarat di tangannya. Panglima Burung ternyata melakukan itu juga pada Agnès. Aku baru tau. Mungkin burung itu hanya mau bertengger pada orang-orang dikehendakinya saja.

Kususun batang-batang kayu yang belum diselesaikan Agnès karena aku gak merasa perlu menguping pembicaraan mereka berdua. Dari sela-sela daun dan ranting Beringin, aku bisa melihat percakapan mereka, mm… lebih pada obrolan monolog Agnès karena Panglima Burung berkomunikasi langsung seperti telepati. Satu-satunya jalan lain adalah aku dalam keadaan memegang mandau pemberiannya yang persis sama efeknya dengan dihinggapi. Gak terasa kalo aku sudah menyusun semua batang kayu yang sudah persiapkan Agnès dan menutup semua permukaan lantai. Kucoba berjalan-jalan di lantai kayu itu, cukup kuat dan kokoh. Tinggal bagian dinding dan atap saja.

“Nanti itu dinding sama atapnya mau pake kayu juga, Nès?” tunjukku ke arah rumah pohon saat kuhampiri mereka berdua yang masih ngobrol seru. Agnès menatapku dengan sengit. Keknya masih belum terima dengan keterbatasan-keterbasan yang tak bisa kami terobos dalam beberapa kali diskusi kami.

“Kita bicara lagi nanti, Panglima Burung…” ucapnya lalu burung itu terbang lagi dan mendarat di tempat kesukaannya. “Saya sudah diskusi dengan Panglima Burung panjang lebar… Dia mau membantu kalau saya mau memburu vampir berdarah murni itu di Paris… Tapi tentu saja kamu harus ikut karena dia ikut dengan kamu… Tidak ada cara yang lain…” tiba-tiba ia memberikan pernyataan ini.

“Heh? Memburu vampir itu di Paris?” kagetku. Kenapa harus aku? Kenapa melibatkanku? “Sebentar, upiak dalang… Maaf kalo awak menyebutmu upiak dalang (dalang= gila)… Apa urusannya denganku? Agnès datang dari Paris ke Medan ini untuk menghindari mereka, kan?… Agnès kena vampir ini karena maen kokain, maen sendiri-ha?… Trus mau memburu vampir yang menularimu itu harus melibatkanku? Waduh… Gini-loh Agnès, yaa… Agnès awak biarkan di daerah kekuasaanku ini hanya sebagai hiburan untukmu dari seseorang yang sok baik hati… Biar Agnès bisa merasakan enaknya berada di tengah terangnya hari… Tidak lebih… Tapi maaf Agnès, ya… Awak harus menolaknya…”

“Kamu boleh meniduriku sesuka hatimu, sur plait…”

“Hah?” kaget dong ya anak mudanya mendengar ucapan barusan. Menidurinya?

“Ya… Kamu sepertinya suka tidur dengan perempuan yang bukan istrimu… Kamu boleh meniduri saya dan sebagai gantinya… bantu saya memburu vampir berdarah murni itu di Paris…” ia menjelaskannya lebih rinci. Ia rela ditiduri olehku untuk bantuan yang menurutku sangat berbahaya ini. Gilak aja disuruh nyerbu sarang vampir yang dijaga ketat di Paris. Nehi-nehi acha…

“Awak tetap bilang tidak… Sori… Pembicaraan kita berakhir…” aku balik badan dan meninggalkannya karena lumayan kesal. Gak segitunya harus menyerahkan tubuh indahnya untuk sesuatu yang sangat berbahaya. Memang benar kalo bertekat kuat dan emosi, mungkin-mungkin aja setuju melakukan kegilaan itu. Tapi tidak ada keharusan buatku untuk menerima penawarannya itu. Walopun sangat menggoda, tapi aku pass dulu-la untuk kasus ini. “Ehh?” Agnès menggunakan kecepatan tingginya dan bergerak berputar dan memotong arah jalanku.

“Please… Tolong, bang Aseng… S’il vous plaît… Tolong saya…” ia langsung menunduk, bersujud memegangi kakiku kek pilem-pilem India itu.

“Agnès… Gini ya… Apa pernah memikirkan tentang keselamatan orang lain, gak? Ada berapa banyak vampir di dalam sarang mereka itu? Bisa ada ratusan, kan? Ratusan vampir yang pastinya lebih kuat dari Agnès… Pastinya juga ada vampir elit yang dilindungi vampir petarung-petarung terkuatnya… Agnès memintaku menghadapi kegilaan seperti itu… Di Paris lagi… Itu tidak mungkin, Nès…” aku berjongkok di depannya dan meraih dagunya, menaikkannya hingga wajah cantiknya setara denganku. Untuk membuatnya lebih paham kondisiku.

“Awak ada tim yang bernama Ribak Sude… Anggotanya cuma tiga orang… Panglima Burung mungkin sudah memberitau Agnès tentang mereka… Di masa muda dulu kami sering melakukan banyak kegilaan… Itu masa yang sangat gila kalo diingat-ingat lagi… Masa penuh emosi meledak-ledak dan bodoh juga… Tanpa perhitungan… Ada yang nyenggol langsung kami hajar! Mau berapapun orangnya… Tapi itu dulu… waktu kami muda dan gak ada tanggungan keluarga… Gak punya anak istri yang menunggu di rumah… Hanya ada sabar orang tua yang doa-doanya gak pernah putus meminta keselamatan anaknya…” Agnès mendengarkan penjelasanku dengan seksama. “Sekarang kami berusaha lebih hati-hati… Mengurangi kegiatan gila seperti waktu muda dulu… Menolong sebisanya dan semampunya… Seperti yang awak lakukan pada Karina itu… Begitu-loh, Agnès…”

Agnès menarik nafas dalam-dalam, memejamkan mata lalu menghembuskannya panjang. Berusaha untuk membuang kegundahan hatinya lalu membuka matanya lagi. “Tidak ada jalan yang lain, ya?” ucapnya seperti putus asa. Aku menggeleng meyakinkannya. Dengan segala kehebatan yang kami rasa kami punya, kemampuan ajaib yang kami kuasai, pengalaman tempur panjang yang pernah kami lakoni, aku masih tidak percaya diri untuk melakukan hal gila berupa menyerbu sarang vampir di daerah asing seperti Paris misalnya. Tidak… Aku juga tidak sampe hati membahayakan teman-temanku untuk misi berbahaya seperti itu.

“Sori, Agnès… Kami tidak setangguh dan sekuat itu… Awak segan mengatakan ini… tapi harus pulak… Mungkin di masa depan nanti akan ada orang ato sekelompok orang yang bisa membantu Agnès melakukan itu semua… Agnès dan Josue immortal… Tentunya bisa menunggu sampai saat itu tiba…” kataku entah dapat ide dari mana. Di bayanganku harus ada tim yang beranggotakan banyak personil untuk melakukan hal itu semua. Personil yang berkekuatan seimbang ato kalo bisa lebih dari kami saat ini.

“Kasihan mama… Di masa tuanya… ia masih harus mengurus kami yang tak berguna ini… Aku dan Josue hanya memberi masalah demi masalah padanya… Saya harus keluar dan meminta maaf padanya…” katanya mendongak dan bangkit dari posisi bersujudnya tadi. Aku mengikutinya. “Bang Aseng bisa meneruskan proyek rumah pohonnya tanpa saya… Bisa tak berdinding dan tak beratap karena di sini tak ada angin dan hujan… Menyenangkan bisa berada di ketinggian pohon yang sejuk…” ia tersenyum manis menungguku. Menungguku membawanya balik ke tubuh fisiknya.

Aku keluar dari daerah kekuasaan Menggala-ku bersamaan dengan Agnès karena aku duduk di tepian ranjang dinginnya. Aku mengunjunginya lagi malam ini. Tanganku sudah lepas dari keningnya. Matanya terbuka dan masih tersenyum. Josue dan ibunya juga ada disini. Ia langsung memeluk ibunya dan ngobrol dalam bahasa Prancis yang tak kupaham. Josue benar-benar sudah sembuh tangan kakinya, hanya saja masih diperban. “Terimakasih, bang Aseng… sudah memberi saya kesempatan langka itu… Kesempatan untuk menikmati liburan saya di daerah tropis kekuasaan abang… Sampaikan salam saya untuk Panglima Burung juga… Ia teman yang menyenangkan untuk berdiskusi… Terima kasih sekali lagi… Semoga orang-orang itu akan benar-benar ada di masa depan…” ungkapnya. Aku hanya mengangguk-angguk menepuk punggung tangannya yang dingin.

“Rumah bang Aseng dimana? Mungkin saya bisa berkunjung kapan-kapan…” tanyanya. Loh? Selama ini dia gak tau, ya?

Aku menunjuk ke arah belakang rumah ini. “Rumah awak di belakang rumahmu ini, Nès… Klen gak tau, ya?” aku yang lupa ngasih tau ato gimana…

Bersambung

Foto Telanjang Gadis Bilyard Diatas Meja
Cerita Dewasa Enak-Enak Dengan Dosen Di Kampus
cewe pantai parangtritis
Cerita sex di pantai parangtritis yang tak terlupakan
tetangga cantik
Nikmatya Memperkosa Gadis Lugu Tetanggaku
di ajakin ngentot pembantu
Di ajakin ngentot pembantu waktu aku tidur di kamar
Cerita sex di ajarin ngentot oleh tante
Foto Bugil Cewek Korea Cantik Toge
dukun cabul
Cerita sex menikmati cumbuan dukun yang menyembuhkan penyakitku
Foto Ngentot Abg Cantik di Hotel Melati
500 foto chika bandung memek sempit pecah perawan di foto pacar
Melayani Nafsu Birahi Ibu Kost Yang Binal
Hanya Demi Nilai Aku Rela Digoyang Dosenku
Pengalaman sex Anggi
Foto Memek Mulus Tembem Masih Perawan Asli
tante hot
Tante Sexy Yang Merenggut Keperjakaan Ku
teman cantik
Teman wanita ku yang seorang hyper sexs