Part #50 : Untuk bu Karina apa yang enggak
Kimak memang ini para siluman dan demit dan setan-setan semuanya! KIMAK KLEN SEMUAA!! Rutukku sangat kesal kali…
Dua kali… Dua kali aku dibuat kentang kek gini. Yang pertama okelah salah paham… Tapi yang kedua ini jelas siluman! Segala macam vampir dan teman-temannya di luar negeri sana. Kalo di sini itu kriterianya masuk ke siluman karena ada campur tangan mahluk ghaib yang mempengaruhi tubuh dan kesadaran mereka hingga berubah menjadi mahluk kegelapan bernama siluman kelelawar ini. Di Indonesia sini juga ada banyak jenis siluman kelelawar kek vampir ini. Macam-macam lelaku dan tujuan mereka dalam berubah menjadi siluman ini. Tapi tetap sejenis, siluman kelelawar.
Siluman kelelawar ato vampir ini suka menandai korbannya untuk dihisap darahnya. Untungnya Karina belum sempat digigit dan dihisap darahnya. Hanya saja ia sudah ditandai dan ditarget oleh vampir itu. Vampir terkenal sangat ulet untuk menguber mangsanya. Kalo gagal hari ini, akan dicoba lagi besok dan besoknya lagi. Kuanggap rata-lah prilaku vampir yang berasal dari Prancis ini. Gagal malam ini akan dicoba lagi besok.
Aku sudah melukai satu dari vampir itu dan setidaknya ada tiga vampir yang kini kuhadapi kalo benar bahwa tetangga belakang rumahku, bule Prancis yang tinggal di sana adalah benar-benar vampir. Dari keterangan Karina yang sudah lama tinggal di sini, keluarga bule Prancis itu sudah setidaknya tiga tahun ini menetap di rumah itu. Mereka jarang keluar di siang hari dan hanya kelihatan ba’da Maghrib. Ada tiga orang penghuni rumah itu dan tanpa pembantu. Ada satu perempuan tua, satu perempuan muda dan satu pria muda.
Perempuan tua? Perempuan tua itu yang pernah kulihat berjemur matahari di belakang rumahnya hanya memakai sempak. Ia bisa berjemur matahari dengan aman, itu berarti dia bukan vampir. Vampir tidak bisa terkena sinar ultraviolet matahari karena ia bisa terbakar sebab kulitnya sangat sensitif. Berarti hanya ada dua vampir. Dua vampir bersaudara…
Trus ngapain dua vampir bule tinggal di negara tropis kek Medan, Indonesia tercinta ini. Apa mereka ngira bisa mendapatkan mangsa mudah di sini? Gak tau mereka kalo di sini udah terlalu banyak urban legend yang lebih serem daripada vampir-vampiran? Serem mana pocong daripada vampir? Tunggu dulu… Gak pernah pulak aku dengar ada kasus kematian karena kehabisan darah tiga tahun belakangan ini. Vampir kan makanan utamanya darah? Apa mangsanya gak disedot sampe abis darahnya? Dilepas lagi sempoyongan kek orang mabuk gitu? Berarti selama ini mereka memanfaatkan para gembel dan gelandangan yang ada di kota ini untuk dipanen darahnya secara periodik. Dengan tipu daya uang dan makanan akan sangat mudah menjerat mereka.
Aku mengikuti mobil Karina yang menuju pulang ke rumahnya. Aku tepat ada di belakangnya mengekor lekat. Sepanjang perjalanan, aku konsentrasi penuh pada keadaan sekitarku. Spion tengah, kanan-kiri bolak-balik kupelototi sampe bosan. Kepalaku juga kukeluarkan beberapa kali untuk memeriksa bagian atas. Jantungku berdegup kencang terus dari awal hingga akhir. Aku parno separno-parno-nya karena lawan bisa sewaktu-waktu menyerang dengan keuntungan bisa terbang melayang turun dengan sayap tak sempurna mereka.
Sayap siluman kelelawar biasanya berbentuk sempurna hingga bisa digunakan terbang dengan baik. Tapi itu untuk variasi jenis siluman kelelawar tertentu karena aku pernah juga bertemu jenis kelelawar yang gak bisa terbang sempurna seperti vampir barusan. Yang bisa terbang biasanya sayapnya tumbuh melekat di sepanjang tangannya. Jari-jarinya memanjang memperkuat bentuk sayap itu seperti bentuk kelelawar sejati. Siluman kelelawar/vampir yang kuhadapi kali ini sayapnya terpisah ato otonom sendiri makanya kurang kuat untuk dikepakkan mengangkat tubuhnya agar bisa airborne. Hanya cukup menahan laju jatuhnya seperti tupai sugar glider itu.
Akhirnya sampe juga di depan rumah Karina dan kutunggu sampe betul-betul masuk ke dalam. Aku gak membekali Karina apa-apa seperti menyiapkan bawang putih ato pisau perak karena semua itu bullshit alias taik lincung. Akan kupenggal dua vampir itu untuk membasminya. Itu cara yang paling efektif.
Aseng: masuk kamar kunci semua tutup jendela gorden
Karina: baik bg
“Diing doong! Diing doong!” aku memencet bel rumah tetangga belakang rumahku itu. Lampunya memang sengaja dibuat redup berbeda dengan rumah-rumah lain yang terang benderang kek pohon Natal. Kupencet berulang-ulang tapi tak ada yang kunjung keluar. Seperti tak ada kehidupan di dalam rumah ini. Apa dua vampir bersaudara itu belum pulang ke rumah ini? Apa dia masih melakukan pengobatan pada vampir yang terluka itu? Seharusnya masih ada perempuan tua yang pernah kulihat berjemur itu.
Saat akan kupencet bel itu lagi, pintu itu terbuka. Wajah perempuan tua itu nongol di sana berteriak “Calmez-vous! Je ne suis plus jeune… Les enfants de nos jours…” ia merepet-repet ntah hapa-hapa yang dibilangnya. Gelap-gelap kondisi malam gini si pe’a bangkotan itu malah pake kaca mata hitam bundar model The Beatles gitu. Memang sinting keluarga bule satu ini. Padahal waktu berjemur itu tahan dia gak pake kacamata hitam. Ia berjalan dengan normal walo ia sudah terlihat uzur di 60-an tahun. Tak bungkuk ato jalan kaki melebar khas orang tua. “Qui êtes vous?”
Blas aku gak ngerti ngomong apa nenek ini. Pake bahasa Inggris dialek aneh dikit aja aku bisa nyengir, ini dia pake bahasa Prancis. “Where’s your son?” (Dimana anak laki-lakimu?) lupakan tata krama dan aku langsung nanya dimana anak laki-lakinya. Mungkin itu malah cucunya.
“Mon fils? My son?” mata birunya menyipit menyelidik. “C’est toi qui l’as blessé… Mon Josue… Agnès! Quelqu’un vous attend! Agnès!!” teriaknya. Kalo dia berteriak-teriak begitu, itu artinya dua orang itu ada di dalam. Aku bersiap-siap menghadapi serangan tapi nenek tua itu malah membuka gerbang untuk membiarkanku masuk. Ini gawat! Berbahaya masuk ke dalam sarang vampir sendirian di waktu malam. Aku tadi sangat emosi sehingga langsung aja menyatroni tempat ini tanpa pikir panjang. “Entre…”
Nenek tua itu memberi kode agar aku masuk. Ragu dong. Di-gangbang pulak aku nanti di dalam sana. Walo sejago apa jurus Mandalo Rajo ditambah mandau Panglima Burung plus bakiak Bulan Pencak, aku masih tiba-tiba gak pede untuk masuk. Mentalku masih harus diasah lagi keknya agar sekuat baja dan seteguh batu karang. Tapi instingku mengatakan ini bunuh diri namanya. Aku harus membawa bantuan setidaknya. Aku harus bawa teman ke dalam sana. Gak boleh sendirian. “Come in you, lad… You’ve been expected, pour l’amour de Dieu!” cerocos nenek itu lagi.
Sebuah kepala nongol lagi dari balik pintu itu. Seorang wanita muda. Apakah itu yang bernama Agnès? Satu dari dua vampir yang sudah sempat clash singkat denganku di lapangan militer tadi. Ini vampir yang kedua. Perbedaan yang kudapat dari kedua vampir itu, yang berkelamin cewek ada gundukan lebih besar di dadanya yang kurus, yang satunya rata. Ia terlihat ragu untuk beberapa saat, matanya berputar-putar berpikir dan menimbang. Ia lalu melebarkan pintu utama rumah yang redup itu untuk mempersilahkanku masuk.
Aku sebenarnya masih ragu-ragu untuk masuk tapi kedua orang itu sudah membukakan kedua pintu ini. Instingku lalu berkata ‘Let’s go! Tapi hati-hati, Seng!’ Aku melangkah masuk dengan muka ketat dan otot mengeras penuh vitalitas jikalau sewaktu-waktu diperlukan. Keawasanku kutingkatkan ke tingkat maksimal dan semua senjata andalanku kusiapkan begitu dibutuhkan. Rumah ini benar-benar gelap. Gorden yang menutupi jendela juga dipilih dari bahan yang berwarna hitam untuk menapis semua cahaya terang yang mungkin masuk di siang hari. Bentuk rumah ini persis sama seperti rumah yang ditinggali Vivi dan Benget tanpa ada renovasi ruang apapun sehingga aku lebih familiar dengan tata bentuknya.
“Anda yang telah melukai adikku tadi…” ada suara yang muncul dari belakangku, berputar secara tidak wajar dan sekarang ada di depanku. Itu wanita tadi. Berwajah khas Eropa, kulit pucat dan rambut pirang dan bermata biru. Ia memakai gaun putih longgar tanpa lengan dan rok panjang sampai mata kaki. Perempuan ini bisa berbahasa Indonesia dengan baik dan benar. Pasti sudah lebih dari sekedar tinggal di Indonesia saja kegiatannya.
“Aku tidak akan minta maaf karenanya…” jawabku tak gentar. Tak ada tambahan siapa-siapa lagi di tempat ini selain mereka bertiga.
“Adikku hanya mau mencicipinya sedikit!” berangnya marah dan bergerak maju dengan mudah. Mulutnya terbuka memamerkan taring yang mencuat di sudut mulutnya.
“Silahkan… Ini bukan dari perak. Tapi pasti bisa memenggal kepalamu dengan mudah…” aku sudah mengacungkan mandau Panglima Burung menghentikan laju gerakannya. Ia berhenti tepat di depan hunusan senjata tajamku. Matanya membelalak bingung dari mana senjata ini muncul karena sedari tadi aku bertangan kosong. Kilau bersih bahan logam mandau Panglima Burung seperti punya sumber cahaya sendiri yang membuatnya berkilau di tempat redup minim cahaya ini. Nenek-nenek itu terkesiap kaget tapi tak berani bersuara ato bergerak sedikitpun. Sedikit banyak ia tentunya tau apa yang terjadi di tempat ini.
“Fais attention, soeur…” dari sebuah kursi yang berputar muncul seorang pria muda yang duduk tak berdaya dengan tangan dilibat perban dan digantung dilehernya. Ini pasti yang telah mencoba menggigit Karina di dalam kamar hotel tadi. Dia yang punya kemampuan untuk menghilang itu.
“Anda mematahkan tangannya dan meretakkan tulang keringnya juga…” kata sang kakak tak urung membuatnya mengendur. Kaki pria muda itu juga diperban ternyata. Ini pasti diobati sendiri karena semua bebatan perbannya sangat kasar.
“Sukak ati klen kalo mau nyari makan di sini… Tapi kalo udah menyinggung teman-temanku… Abis leher klen kubuat!” kuacungkan mandau itu pada pria itu juga lalu kembali ke vampir perempuan itu.
“Saya hanya mau mencicipinya sedikit… Dia sangat menggoda…” kata sang vampir pria.
“Josue! Diam!” sergah si perempuan yang tadi disebut Agnès.
“Chère soeur… C’est un homme dangereux…” kata si Josue. Kimak memang orang-orang ini make bahasa yang aku gak ngerti.
“E-eh… Klen kalo ngomong pake bahasa yang kumengerti…” songongku make kekerasan agar keinginan dan kebutuhanku sedikit terpenuhi.
“Mon frère… Adik laki-lakiku… gak bisa menahan dirinya dari wanita itu… Aku sudah melarangnya… Perempuan itu memang sangat menarik bagi kami… Ada sesuatu yang mengundang dari dirinya yang kami tidak paham… Saya sendiri sebenarnya juga mau mencicipi tapi saya berhasil menahannya… Adik saya tidak…” jelas si Agnès.
“Mengundang?” pikirku. “Apa klen gak tau ada lubang besar di perutnya?” tanyaku mencoba pengetahuan mereka tentang Karina. Apa yang mengundang mereka berdua pada Karina? Apakah karena lubang besar laknat sisa si setan Kuyang itu? Walo ngobrol begini, mandau Panglima Burung tetap kuacungkan siap menebas kapan saja.
“Lubang besar?” ulang Agnès dan Josue.
—————————————————————————-
Mereka berdua terheran-heran mendengar penjelasanku tentang lubang besar di bagian perut Karina yang mampu membuat mereka terutama sang adik lelaki, tak sanggup menahan diri. Mereka berdua ngakunya sudah lama tidak meminum darah manusia, bahkan sewaktu masih berada di Eropa dahulu. Saat ini mereka hanya meminum darah hewan yang sudah disembelih dan ditampung darahnya. Ada supplier yang rutin menyuplai makanan pokok mereka ini per minggunya. Mereka pindah ke Indonesia karena melarikan diri dari banyaknya pemburu vampir di daerah asal mereka dan apalagi keengganan mereka untuk berafilisiasi dengan kelompok-kelompok tertentu di sana. Mereka berusaha hidup normal di negara Indonesia dengan berbisnis secara online.
“Jadi maksud anda… kami tertarik pada perempuan itu karena sudah pernah ada mahluk supranatural yang menguasai tubuhnya… sehingga meninggalkan lubang besar itu?” simpul Agnès ragu-ragu seperti tak percaya ada hal seperti itu.
“Hei… Kalian itu vampir… Kenapa gak ngerti masalah kek gini? Vampir kemaren sore, ya?” tanyaku. Heran juga kalo mereka yang termasuk mahluk supranatural tak menyadari hal ini.
“Kami bukan vampir murni dari lahir… Kami hanya tertular… Dulu saya pernah coba-coba pakai kokain… Ternyata saya pernah berbagi jarum suntik dengan satu vampir yang menulariku dengan penyakit ini… Adikku tertular karena transfusi darah dariku…”
“Penyakit?” potongku. “Klen menganggap ini sebagai penyakit?” tanyaku. Referensiku tentang vampir agak beda. Bukan… beda sekali dengan pengetahuan mereka. “Karena di sini… vampir semacam klen juga ada dan mereka sengaja melakukan ritual khusus untuk menjadi vampir untuk tujuan tertentu… Kalo klen bilang ini penyakit… tentu bisa disembuhkan, bukan? Ada obatnya…”
“Ya… Membunuh vampir yang menulariku pertama kali… Dia pasti vampir berdarah murni karena hanya dengan sedikit saja darahnya bisa menulariku… Berbeda dengan adikku ini yang menerima darahku dalam jumlah banyak… Ada dua kantung darah saat itu… Karena dia saat itu sering sakit-sakitan…” jelas Agnès. Keknya memang benar, Josue memang terlalu kurus cenderung ceking untuk ukuran seorang pemuda. Apa karena itu dia gak bisa terbang? Hanya mengambang turun saja dengan sayapnya.
“Dan kalian sudah pernah mencobanya?” tanyaku. Agnès sepertinya lumayan jago berkelahi apalagi kecepatannya luar biasa juga.
“Rencananya memang demikian… Saya sudah lama berlatih… Tapi vampir berdarah murni terlindungi kelompok yang sangat kuat di Paris… Saya bahkan tak dapat melacaknya lagi…” jelasnya.
“Walo dengan kemampuan adikmu yang bisa menghilang dan kecepatan tinggimu itu?” menyusunnya sedemikian rupa hingga menjadi satu gambaran besar dari kepingan-kepingan puzzle tadi. Dunia vampir di sana cukup ribet ternyata. Terorganisir kek di film-film itu.
“Walau dengan semua kemampuan kami…” ulang Agnès mengangguk. “Dan bagaimana cara anda menyembuhkan perempuan dengan perut berlubang supranatural itu? Apakah anda perlu membunuh mahluk penyebabnya dahulu…” ia bertanya balik lebih kepada penasaran apa metodeku. Bingung tentunya cara menjelaskannya secara gamblang karena mereka ini itungannya masih tetangga dekat denganku dan Karina. Apakah budaya mereka kira-kira toleran gak, ya?
“Aku udah menyingkirkan Kuyang itu…”
“Kuyang? C’est quoi?” ulang Josue mungkin belum pernah mendengar nama itu.
“Kepala terbang dengan semua isi perutnya yang pernah kita lihat malam-malam itu…” kata Agnès pada adiknya. Josue mengangguk-angguk. Oo… Pernah liat ternyata mereka berdua saat Kuyang itu beraksi. “Tidak bisakan anda menyembuhkan kami? Seperti anda akan menyembuhkan perempuan itu… Karina… Seperti anda akan menyembuhkan Karina…” pintanya tiba-tiba. “Apakah bisa?”
“Dengan metodeku?” kaget tentunya aku ditodong begitu. Bukannya mereka sendiri tau cara menyembuhkan penyakit vampir ini. Kenapa malah balik minta tolong ke aku? Cari aja vampir berdarah murni itu dan bunuh! “Aa-aku gak mau ikut campur dengan kelompok vampir di Paris klen itu… No-no… Tidak…” jawabku tegas.
“Bukan… Dengan cara Indonesia?” ulangnya lagi.
“Klen gak bisa disembuhkan dengan cara Indonesia karena klen gak mendapatkan status vampir ini di Indonesia… Lagipula cara yang kutau sangatlah berbahaya… Klen pasti gak akan mau mendengarnya…” bualku agar Agnès mengurungkan niat minta pertolongan padaku untuk sembuh.
“De quoi parlez-vous?” nenek-nenek itu mulai kepo apa yang kami bicarakan dari tadi.
“S’il te plait, mama… S’il vous plaît… Kami mau mendengarnya… Apapun itu…” ia menenangkan ibunya dan mendesakku. Si Josue bahkan ikut mengangguk-angguk mendukung kakaknya.
“Kalian harus digantung terbalik di dalam gua yang banyak ditinggali kelelawar selama seminggu penuh dalam keadaan tanpa pakaian… Tanpa makan dan minum… Orang sini bilang namanya puasa kalong… Eh bukan… Puasa kalong itu hanya makan buah-buahan aja… Yaa… puasa aja seminggu…” paparku. Semoga itu membuat mereka takut dan berubah pikiran.
“Allons-nous essayer?” tanya Josue pada kakak cantiknya. Kedua berpandangan seperti ada bahasa rahasia sesama vampir yang mereka gunakan. Pasti mereka mempertimbangkan mencoba cara itu.
“Tapi aku gak jamin kalo itu berlaku buat kalian… karena cara ini untuk orang yang sengaja melakukan ritual pesugihan kelelawar hingga ia menjadi siluman… Beda kasusnya dengan klen berdua…”
“Kenapa harus digantung terbalik?” Agnès gak perduli dan terus bertanya.
“Teorinya begini… Kelelawar itu tidurnya terbalik tapi gak pernah ada makanan yang keluar lagi dari perutnya… Tetapi karena siluman kelelawar bukanlah kelelawar murni… isi perutnya pasti keluar… Keluar berikut semua iblis dan setan yang mengikatkan kutukan menjadi vampir… Begituuu…” kataku sebenarnya malas-malasan menjelaskan ini karena sebenarnya gak relevan dengan masalah mereka.
“Apakah mengganti darah kami yang tercemar ini dengan darah baru yang betul-betul bersih bisa err… membuat kami sembuh juga?” tanya Josue bersemangat padahal tadi kami sempat bertarung yang mengakibatkan tangan dan kakinya patah.
“Gak mungkin… Klen sudah bertahun-tahun menjadi vampir… Sumsum tulang belakang, pankreas, jantung, hati, dan ginjal semuanya sudah terinfeksi darah vampir itu… Kalo awal-awal terkena mungkin masih mungkin… Lupakan cara ini… Buru aja terus vampir berdarah murni itu ato jadi vampir selamanya…” tandasku. “Bukannya klen jadi immortal gitu kan, ya? Gak mati-mati secara normal…”
“Kami tak mau begini selamanya… Harus sembuh…” ungkap Agnès. Josue membenarkan kakaknya. Aku mengangguk-angguk. “Apa tidak ada cara lain?” tanya Agnès kembali. Ia terus mendesak menganggapku sangat ahli di bidang supranatural ini. Aku hanya berbaik hati lebih pada karena mereka belum melukai Karina sedikitpun. Kalo nggak… Gak ada ampun bagi mereka berdua.
“Bain de soleil… They just want to sunbath along with me…” (Mereka hanya ingin berjemur bersamaku) ujar si nenek berkaca mata hitam itu. Hanya ingin berjemur? “They’ll do anything… Toute…” (Mereka akan melakukan apapun) Si nenek jalan mendekat padaku dan mengelus pipiku. “La vérité est… You’re a kind man… You’ll help them, bien?” (Anda orang baik. Anda akan menolong mereka, kan?)
“Mon soeur Agnès sangat suka daerah tropis ini… Dia selalu err… bilang akan datang kemari kalau sudah besar nanti…” kata Josue.
“Sampe kemari malah gak bisa berjemur matahari kek ikan asin…” aku menebak dengan benar lanjutannya. Eneng-eneng ae para bule ini, cita-citanya malah pengen jadi ikan asin di Indonesia. Pengen menggelapkan kulitnya padahal cewe Indonesia sini malah pada berlomba-lomba memutihkan kulit. Agnès tersenyum dikulum. Josue mengernyit, mungkin gak ngerti apa itu ikan asin ato cara membuatnya. Ia minta petunjuk pada Agnès apa artinya ikan asin.
“Please, monsieur…” (tolong, tuan) mohon nenek itu lagi memegangi tanganku dan mengguncang-guncangnya. Kimak-nya nenek-nenek ini yang soor kali mendesak aku. Si Agnès-nya malah jaim.
“Aku bisa membawamu berjemur di tempat yang aman kalo mau… Mataharinya tidak ada… Tidak terik dan kujamin kau tidak akan terbakar…” tawarku pada Agnès. Mukanya berseri-seri mendengar tawaranku itu. “Mau?” tanyaku. Ia mengangguk cepat tanda yakin.
“Saya harus bersiap-siap?” tanyanya mungkin dikiranya harus bawa pakaian apa gitu ato stok darah sebagai makanannya.
“Cari tempat duduk aja yang enak… Di sana…” tunjukku pada kursi yang identik dengan yang dari tadi diduduki adiknya, Josue. Ringan ia melangkah riang dan duduk menyamankan diri di kursi itu, bersandar. “Sudah nyaman? Permisi ya… Awak mau pegang kepalamu sebentar aja…” kataku menjangkaukan tanganku. “Jangan digigit…”
“WHOAA!!” kaget Agnès karena ia tiba-tiba ada di tempat luas yang terang benderang. Refleks ia menutupi mukanya karena takut terbakar oleh panas ultraviolet tapi tak kunjung ada sensasi terbakar yang dirasakannya. Pelan-pelan ia mengintip lewat sela jarinya apa yang terjadi. “Je vais bien! Je vais bien! Ha ha hahaha…” ia membentangkan tangannya dan berlari-lari mengitari tanah lapang berumput halus di dekat rimbunan pepohonan yang tumbuh subur. Burung Enggang si Panglima Burung, melongokkan kepalanya melihat pengunjung daerah kekuasaanku ini dari puncak pohon pinus jarum.
Aku langsung melepas kepalanya begitu aku membawanya kemari. Kulit pucatnya sangat kontras dengan terangnya daerah kekuasaanku yang terang walo tak ada sinar matahari yang menjadi sumber cahayanya. Rambut pirangnya berkibar-kibar saat ia berlarian dengan riang gembira merayakan kebebasannya. Walo dia belum tau kalo ini hanya kebebasan semu. Tapi biarkan dulu ia menikmati semua ini. Walo sedewasa itu Agnès, ia berubah menjadi sangat kekanakan berhasil mewujudkan impiannya sedari kecil ini. Menikmati terang hangat daerah tropis impiannya. Aku menepi menuju hammock dadakanku dan menonton Agnès sambil berayun-ayun. Ia berlari-lari ke sana-kemari dan menyentuh apapun yang dapat disentuhnya. Tertawa-tawa riang meluapkan kegembiraannya.
Agnès bahkan melompat masuk ke dalam aliran sungai kecil berdasar batu-batu kerikil kecil. Menyipratkan air jernihnya kemana-mana. Ia menyiram-nyiramkan ke udara yang tentu saja mengenai dirinya sendiri. Mataku agak melotot karena air itu membekaskan bagian dadanya yang membentuk dua bulatan gelap, ngecap dengan indahnya. Kimak! Agnès gak pake BH untuk menampung payudaranya yang memang gak besar di tubuh langsingnya. Perempuan yang terbiasa di budaya bebas itu seperti tak perduli dan bermain air dengan riangnya. Sebentar saja sekujur tubuh dan pakaiannya basah kuyup. Ia memanggil-manggilku agar bergabung dengannya. Jelas aku menolak karena malu ketauan, si junior ngaceng… Apalagi kala ia mengangkat roknya dan menampung beberapa buah markisa hutan yang tumbuh rimbun menjuntai-juntai dengan liar. Manampakkan sebagian besar pahanya. Waduh!
“Agnès! Agnès stop!” teriakku mencegahnya dari memakan buah-buahan itu. Bahaya cuy!
“Kenapa, bang Aseng? Apakah ini milik orang? Ada yang punya… Tapi tidak ada orang lain di sini…” tanyanya dengan heran. Mungkin ia menganggap ini daerah hutan karena memang keadaannya mirip hutan kecil yang menghadap lapangan luas.
“He he hehe… Nanti awak jelaskan, yaa… Main aja sepuas-puasnya… Tapi jangan dimakan buahnya… Kalo mau petik… petik aja tapi jangan dimakan… Jangan dicoba juga… Bahaya… Beracun… Ya-ya beracun…” kataku mengingatkannya berkali-kali. Buah-buahan itu memang terlihat menggiurkan karena rata-rata dalam keadaan matang di pohon yang biasanya merupakan tingkat kematangan paling prima buah. Agnès mengernyit tapi mengerti dan mengiyakannya. Dijatuhkannya buah-buah markisa yang sempat dipetiknya dari tangkupan rok yang diangkatnya, jatuh ke aliran sungai kecil ini dan mengalir mengikuti arus.
“Ini tempat apa, bang Aseng?… Tidak ada matahari tetapi terang benderang… Tidak ada awan dan angin… Tapi ini saaaangat menyenangkan… Airnya jernih dan segar… Udaranya hangat…” Agnès membentangkan tangannya. Padahal tadi aku udah mau balik ke hammock tadi aku malah terpaku melihat lingkaran gelap membayang di pakaiannya.
“Mmm… Nanti aja awak jelasinnya… Nikmati aja dulu puas-puas… Awak nunggu di sana, ya? Mau istirahat…” kataku bolak-balik menghadap ke hammock dan dirinya—bulatan gelap, kek orang paok. “Pokoknya jangan dimakan buahnya, ya? Beracun…” peringatku lagi dan memaksakan diri ke hammock. Merebahkan badan jiwaku yang lelah dan dengan cepat tertidur.
Bangun-bangun entah beberapa lama kemudian, setara 2-3 jam kemudian—otakku langsung loading cepat karena Agnès berjemur kek ikan asin beneran dengan punggung di atas. Ia juga tiduran di atas rumput halus dengan nyaman. Pakaian basahnya disampirkannya di rumpun ilalang. Ia hanya memakai celana dalam mungil model G-String hingga bokong putihnya mencuat indah. Tubuh berkulit pucat hampir telanjangnya seperti berkilauan di pelataran luas daerah kekuasaanku ini. Ia seperti dewi yang beristirahat sehabis kelelahan bermain air di tamanku. Tak perduli ia kalo ada orang dan cuek ia berjemur seperti nenek-nenek itu. Cepat-cepat kuhapus memori nenek itu lagi berjemur di halaman rumahnya. Menggantinya dengan pemandangan indah, Agnès yang berjemur. Ngeliat punggungnya aja aku dah ngaceng kek gini. Belum lagi kalo bagian depannya. Akankah aku melihat jelas bentuk dua bulatan gelap di dadanya itu?
Ia bergerak. Aku pura-pura tidur lagi ke posisi awal. Ternyata Agnès membalik posisi tubuhnya. Merasa sudah garing di sisi belakang, balik ke sisi depan. Aaah… Dua bulatan gelap yang indah… Gundukan yang tak terlalu besar itu terasa sangat pas di tubuhnya yang langsing. Rasa terjemur matahari semu itu… Ia menggosok-gosok tangannya yang berkulit pucat. Selama apapun ia berjemur disini gak akan membuatnya lebih gelap. Tapi sejauh ini ia puas-puas aja menjalani mimpinya. Berjemur di surga tropis impiannya. Menonton tubuh indah hampir telanjangnya membuatku ngantuk lagi dan terbuai…
“Bang Aseng?”
“Yaa…” jawabku asal jawab aja. Garuk-garuk.
“Hi hi hihihi…” Agnès tertawa sambil menutup mulutnya. Ia ada di dekat hammock-ku. Ia tak kunjung memakai pakaiannya, masih hanya secarik G-String mini itu yang menutupi bagian bawah tubuhnya. Agnès agak membungkuk saat membangunkanku. Tadi tubuhku agak terguncang-guncang karena hammock ini digoyangnya.
“Nyam… nyam…” merasakan mulutku yang lengket karena liur mengering. “Eh… He he hehehe…” baru aku sadar kalo tanganku menyusup masuk ke dalam celana dan mengelus-elus junior yang sempat hilang kemaren digondol ke Bahama. “Udahan jemur ikan asinnya, Nès?” cepat-cepat kukeluarkan tangan suroto-ku dari dalam celana dan kuumpetin di antara kakiku, untuk menekan Aseng junior yang ngaceng juga. Sesekali aku melirik pada payudaranya yang sedikit menggantung.
“Disini kenapa gak kunjung gelap, bang Aseng… Sudah lebih 6 jam saya berjemur… Terang terus…” herannya. Tapi gak heran dengan kondisi tubuhnya yang tak berpakaian. Bulat payudara bertubuh langsingnya mengambil semua fokus pandanganku. Apalagi dua bulatan gelap aerolanya…
“Tempat ini akan selamanya terang begini, Agnès… Mau di luar sana hujan badai… Mau gelap dar der dor tahun baru… Mau terang bulan… Tempat ini akan selalu begini… Terang dan nyaman dengan banyak pohon-pohon yang buahnya gak boleh dimakan… Tau kenapa?” tanyaku masih duduk di hammock. Ia berdiri mendengarkan dengan seksama tak berpakaian. “Karena ini bukan dunia nyata… Bukan alam fisik seperti yang selama ini Agnès tau… Lebih lengkapnya… ini daerah kekuasaan Menggala-ku…”
“Menggala?”
Kemudian kujelaskan padanya konsep tentang Menggala dan aspeknya dalam garis besar aja tentunya. Aku menunjukkan mandau Panglima Burung yang dengan ajaib bisa muncul di tanganku juga beberapa pedang daun yang kumaterialkan dari daun-daun biasa. Kujelaskan juga fungsi utama yang sering kumanfaatkan dari tempat ini sebagai tempat istirahat dan berlatih silat. Lebih banyak kuberi penjelasan tentang tempat ini karena ia sepertinya sangat suka dengan tempat ini yang mampu mewujudkan impiannya sejak kecil di tengah keterbatasan keadaannya yang alergi sinar matahari.
Terheran-heran ia tentunya tentang bagaimana asal-usul semua pohon-pohon yang tumbuh besar di sini yang merupakan hasil dari daun yang pernah kupakai sebagai senjata pedang daun. Kalo ada pedang daun baru yang kugunakan dan luruh menghilang, pohonnya akan segera tumbuh di sini seperti pohon asalnya di luar sana. Lebih heran lagi ia tentang konsep terang dan gelap keadaan keseluruhan tempat ini. Aku tegaskan padanya kalo aku di sisi terang ato kebaikan sehingga langit daerah kekuasaanku bisa terang benderang begini. Ia manggut-manggut paham lalu tersenyum lebar.
Ia kemudian duduk di sampingku. “You don’t mind, do you?” (Anda gak keberatan, kan?) duduk di hammock bareng, bergoyang-goyang pelan. “Ini mimpiku yang jadi kenyataan… Rasanya aku pengen selamanya ada di sini… Bebas… tak terbatas apapun… Tak terkekang waktu dan rasa lapar… Seperti burung itu… Apakah dia penghuni tetap tempat ini?” tunjuknya pada burung Enggang si Panglima Burung.
“Dia hanya sebentar disini… sementara menunggu wadah barunya muncul… Dia yang memberiku pedang itu…” jelasku.
“Bolehkah aku sementara ini di sini juga… Aku masih sangat betah di sini… Ini seperti surga nyata yang tak pernah berakhir… Ini tempat ideal Agnès…” pintanya mengejutkan.
“Ng… Agnès?… Bagaimana dengan ibumu? Adikmu, Josue? Kau mau meninggalkan mereka?” kataku agak keberatan. Aku belum pernah pulak dalam keadaan begini. Perempuan ini walo seksi begini tetap vampir, kan ya? Apa yang akan kejadian kalo kukabulkan permintaannya dan membiarkannya di sini seperti maunya? Menikmati terangnya dunia walopun semu. Tak ada matahari sejati.
“Tapi tadi abang jelaskan kalo tidak ada batasan waktu di sini… Berhari-hari di sini mungkin hanya beberapa detik saja di luar sana… Setidaknya biarkan aku liburan di sini… Boleh ya, bang? Please…” rayunya malah mendekap tanganku. Aku udah beberapa kali diginiin perempuan dan aku selalu kalah dan ngalah. Lembut payudara telanjangnya menekan lenganku dengan sempurna. Kubiarkan ia berlama-lama melakukannya dan mengiyakannya.
“Awak gak tanggung jawab ya kalo ada apa-apa yang terjadi selama Agnès di dalam sini… Apa perlu kita ambil perlengkapanmu di dunia luar?” tawarku. Berdekatan dengannya begini rasanya deg-degan. Aku sudah banyak dekat dengan perempuan yang cantik-cantik. Tapi dengan bule sedekat ini belum pernah.
“Gak perlu… Semua yang kubutuhkan ada di sini… Aku gak butuh apa-apa lagi…” putusnya tersenyum lebar. “Tolong beritahu keluargaku di luar sana untuk menjaga tubuhku selama beberapa waktu ini…Oui?” katanya mengerling. Gak tahan aku diperli (goda) cewek kek gini. Langsung aja kuiyakan. “Sebelum saya… apa ada orang lain yang pernah tinggal lama?” tanyanya.
“Belum pernah ada… Banyak yang hanya sebentar aja… Itupun karena alasan pertarungan dan kebanyakan adalah teman-teman sekelompokku…” jelasku lagi. Aku lalu teringat Vony yang juga sempat terdampar disini saat disandra oleh dukun dengan kemenyan gaharu Malokkop itu. Tapi aku tak akan mengungkapnya. “Kalo gitu… Awak keluar duluan-la ya… Tadi awak dah cukup lama tidur di sini… Cukuplah istirahatnya…” kataku turun dari hammock itu, tinggal Agnès sendirian berayun-ayun…
“Je vais bien… Saya akan baik-baik saja disini, bang Aseng… No worry… Saya ini vampir… Ingat?” katanya mengingatkanku tentang kondisi tubuhnya yang tidak bisa disamakan dengan keadaan manusia biasa. Ia sangat tau kalo aku khawatir dengan apa yang akan terjadi padanya kalo terlalu lama di alam itu dan meninggalkan tubuh fisiknya di dunia nyata tanpa jiwa.
Aku keluar dari daerah kekuasaanku dan melepas tangan fisikku dari kepala Agnès. Perempuan itu terkulai duduk bersandar seperti tidur yang sangat pulas. Aku menoleh pada Josue dan nenek berkaca mata hitam itu. “Biarkan dia tidur begitu… Agnès sedang menjalani mimpi indahnya di tempat impiannya…” tidak akan mudah menjelaskan ini pada mereka berdua. “Jadi bisakah kita memindahkannya ke tempat yang lebih nyaman?” Berkerut kening Josue butuh waktu agak lama memproses informasi itu. Tapi ia ngomong dalam bahasa Prancis ke ibunya untuk menunjukkan dimana kamar Agnès karena aku akan menggendongnya kesana. Aku tak dapat mengandalkan Josue untuk melakukan itu.
Kamar Agnès ada di lantai dua. Tetap gelap seperti ruangan-ruangan lain di rumah ini. Jendelanya ditutup gorden tebal berwarna hitam untuk menghalangi sinar matahari masuk. Ranjangnya besar dan dingin ketika kuletakkan tubuhnya di atasnya. Kami keluar dari sana, meninggalkannya sendirian. Nenek eksentrik itu tak banyak tanya dan ikut aku turun kembali ke lantai bawah. Pelan-pelan kujelaskan pada Josue saja tentang apa yang terjadi pada Agnès agar ia nanti yang menerangkan pada ibunya dengan bahasa yang paling dimengertinya. Sebenarnya aku khawatir juga meninggalkan tubuh jiwa Agnès berada di dalam daerah kekuasaanku untuk waktu lama. Tetapi karena tubuhnya juga bukan tubuh manusia biasa, kategorinya di sini sudah masuk siluman. Seperti burung Enggang itu juga yang merupakan mahluk supranatural yang baik-baik aja tinggal di dalam sana selama ini. Ini mungkin lebih pada tampilannya yang sangat manusia yang membuatku ragu padahal seharusnya sama aja.
“Bagaimana tangan dan kakimu?” tanyaku pada Josue agak segan-segan karena akulah penyebab semua luka-luka itu.
“Tidak apa-apa… err… Kami cepat sembuh… Besok sembuh…” kata pria muda itu yakin. Mungkin ini keuntungan punya atribut sebagai vampir disamping kemampuan bisa menghilangnya itu, proses regenerasinya sangat cepat dalam menyembuhkan luka hingga mereka tidak pernah berurusan dengan rumah sakit. Aku mengangguk-angguk paham.
—————————————————————————-
“Halo, bu Karina… Sudah aman…” aku menelepon di halaman rumahku sendiri.
“Aman, bang?… Beneran mereka vampirnya?” tanya balik perempuan mantan penyandang Kuyang itu.
“Sudah awak amankan… Mereka memang vampir tapi aman, kok… Mereka hanya tertarik pada lubang di perut bu Karina aja seperti yang sudah awak kasih tau dulu itu-loh…” jelasku atas situasi terbaru ini. “Tapi ini memang tidak bisa dibiarkan lama-lama, bu… Besok-besok entah apa lagi yang mendatangi bu Karina…” kataku jelas gusar. Dua kali kami kentang gara-gara berbagai gangguan.
“Gimana kalo di rumah saya aja… Suami saya lagi gak ada di rumah nih… Dia lagi keluar kota… Gimana, bang?” tawarnya. Waduh… Jadi enak, nih.
“Asisten rumah tangga ibu gimana? Nanti ibu ketauan memasukkan laki-laki lain ke rumah… Bisa berabe… Tetangga pulak…” khawatirku. Walo khawatirku masih kalah besar sama rasa penasaranku karena dua kali gagal exe.
“Mereka adanya cuma di lantai bawah… Gak akan naik kalo gak saya panggil, kok… Bang Aseng masuk dari atas aja… Seperti waktu itu… Nanti saya bukain pintu lantai atas…” desak Karina. Sepertinya ia mengalami apa yang juga aku alami. Kentang parah. Sampe nekat memasukkanku bahkan dari atas lantai 2 setengah dimana kami pernah berdiskusi saat itu. “Bisa kan, bang?” desaknya lagi.
“OK-la… Sekalian ada yang mau awak cek di rumah bu Karina… Sekarang bukain pintu atas itu… Saya segera naik… Bye…” kataku langsung memutuskan hubungan telepon. Kutenteng sepatuku keluar rumah lagi dan kuganti dengan bakiak Bulan Pencak sebagai alat lompatku. Teplok-teplok-teplok suara nyaring kayu mengetuk jalanan saat aku berjalan ke depan rumah bu Karina yang lengang. Jalanan juga lengang.
Dari sudut yang gelap kupilih sebagai lokasiku melompat agar tak terlihat juga dari orang iseng yang mengintip diam-diam dari balik tirai jendela. Mudah aku sampai di ketinggian ini berkat tenaga sontekan bakiak Bulan Pencak yang memperkuat tenaga lompatanku. Kupakai lagi sepatuku. Lantai dak tempat menjemur pakaian ini masih seperti dulu waktu kubawa kepala Kuyang itu dengan kandang ayam bekas. Benda itu pasti sudah dibuang ART rumah ini karena aku tak melihatnya dimana-mana. Pintu penghubung itu terbuka dan Karina memanggilku mendekat. Ia masih pakai baju yang sama, belum salin ternyata dari tadi.
Segera ditutupnya lagi pintu itu begitu aku melewati ambang pintunya. “Umphh…” Karina langsung mencaplok bibirku dengan cepat. Bibirku langsung dikulumnya atas bawah dengan ganas. Ia benar-benar penasaran seperti juga aku. Kupanaskan cumbuan ini dengan meremas-remas beberapa bagian tubuhnya yang dapat kujangkau, lengan dan buah pantatnya karena susu kenyalnya sedang tergencet rapat di dadaku. Permainan semakin panas karena Karina menekan-nekankan selangkangannya yang mungkin udah gatal ke pahaku. Pastinya ia juga sudah merasakan Aseng junior-ku yang mengeras. Lidahnya menelusup masuk dan kuhisap-hisap. Ini baru…
“Bu Karina… Ada yang harus awak cek di rumah ibu ini… Kita berhenti dulu, ya?” kataku memegangi kedua sisi pipinya untuk melepas pertemuan mulut kami yang semakin panas. Matanya berkerjab-kerjab beberapa kali. “Waktu bu Karina jadi Kuyang dulu… ada ruangan khusus yang biasa ibu pakai saat melepas kepala secara gak sadar… Awak mau melihat ruangan itu…” jelasku. Ini mungkin bisa memperjelas penyebab kenapa masalah ini gak selesai-selesai sampe sekarang.
“Ruangan?” ia mengingat-ingat kira-kira ruangan apa itu. “Ada… Yuk…” ia langsung menarik tanganku menuruni tangga dan kami sampai di lantai dua rumah ini. Ia menunjukkan kamar tidurnya yang ada di bagian paling depan, kamar dimana ia tidur dengan suaminya selama ini. Hanya ada tiga kamar di lantai dua ini dan satu ruangan luas yang multi fungsi sebagai ruangan santai dan ruang TV. “Ini dia… Pasti yang ini…” katanya membuka pintu kamar ini.
“Ini kamar bayi…” sadarku.
“Ya… Bayi yang tak kunjung ada… Pasti di sini tempatnya karena Karina sering bangun tidur tiba-tiba ada di dalam sini… Suamiku bilang katanya karena aku sleep walk dan masuk kemari… Kupikir benar juga… karena terlalu lama merindukan anak…” katanya mendekat pada box bayi kosong yang lengkap dengan kelambu dan mainan berputar itu. Ia mengelus-elus kayu box itu. Dipalingkannya pandangannya pada sekitar, hiasan pernik khas bayi, boneka-boneka, lemari pakaian dan mainan. Semuanya ada lengkap kecuali sang bayi sendiri.
Aura sisa Kuyang itu masih sangat kuat di ruangan ini dan pusatnya ada di sini. Dibawah karpet tebal lembut yang dibentangkan di tengah-tengah ruangan. Kusibak. Karina tertarik pada apa yang kulakukan. Di sini ritual Kuyang itu dilakukan. Prosesi melepas kepala dari tubuh Karina, terbang bersama isi perutnya untuk mencari mangsa pada malam-malam tertentu. Masih ada bekas sapuan merah seperti darah berbentuk lingkaran tempat ia duduk melakukan prosesi itu. Lingkaran inilah manifestasi asli lubang yang ada di perut Karina. Ukurannya juga identik. Pas untuk duduk bersila.
“Liat ya, bu… Aku akan menghapus tanda lingkaran tempat Kuyang ini… Agak sedikit rusak nanti… Harap maklum…” kaget Karina melihatku sudah memegang mandau Panglima Burung. “Kuyang itu sudah sangat kuat melekat jadi ia menempatkan banyak penanda dirinya… dan ini tempat utamanya… CLAP!” ujung tajam mandau itu menusuk masuk pada garis samar lingkaran merah di atas lantai keramik bertekstur kayu ini. Kukerahkan tenagaku beserta lambaran Lini untuk merusak lingkaran setan ini. Berputar dengan perlahan mengitari bentuk lingkaran itu. Bertemu menjadi satu lingkaran utuh, kucongkel dan benda itu melenting berputar seperti koin.
“SHLAK!!” kutebas benda itu dan ia terbelah dua, jatuh berdenting-denting lalu berderak patah berkeping-keping menjadi serpihan kecil. Ada asap tipis berbau busuk seperti bangkai. Cepat menghilang di udara berkat pendingin udara di ruangan ini. “Liat kan, bu…” tunjukku pada kejadian barusan. Pasti ia bisa melihat semua itu dengan jelas. Bau busuk tadipun pasti tercium olehnya karena ia sempat menutup hidung. Ia menunjukkan mimik jijik melihat lubang yang tersisa di lantai.
“Lubang di perut saya sudah hilang?” tanyanya memegangi perutnya, mengelus-elusnya juga.
“Masih ada… Hanya saja lingkaran ini dengan lubang di perut bu Karina tidak lagi berhubungan… Kita tinggal mengobati lubang itu saja…” kataku menyembunyikan kembali mandau Panglima Burung balik ke tempatnya. “Cuma… ini jadi rusak berlubang gitu, bu… He he hehehe… Sori ya, buk…” kataku tentang lubang melingkar yang kupotong dari ubin lantai.
“Tinggal diperbaiki aja…” dengan kaki ia memasukkan sisa-sisa serpihan kecil yang sudah hancur itu ke dalam lubang lingkaran lalu menutupnya dengan karpet lagi. “Tinggal mengobati lubang ini aja ya, bang… Kita lakukan di sini… supaya bayi itu tau tempatnya kelak… Dia akan tidur di sini…” ujarnya kembali membuka kaos yang dikenakannya seperti di hotel tadi. Menelanjangi dirinya sendiri di hadapanku. “Gak usah khawatir tentang suamiku… Dia keluar kota selama dua hari… Saya baru aja tau abis baca pesannya… Katanya mendadak… Tau sendiri, kan?” katanya genit bitchy-bitchy gitu. Kedua tangannya tersampir di pundakku.
“Mmpphh… Mmmbbhh…” kembali kami bergumul bibir. Ia membukakan kemeja lengan panjangku, mempreteli semua kancingnya, menarik bagian lengannya lepas, melepas sabuk, menurunkan restleting, memelorotkan celanaku beserta sempakku hingga pertengahan paha. Kuteruskan sampai kami sama-sama telanjang di dalam kamar bayi kosong ini. “Ahh… Gede…” erangnya merasakan Aseng junior yang digenggamnya, diurut-urutnya perlahan. “Muat gak, ya?”
Kukecup bibir nakalnya. “Harus muat…” kudorong tubuhnya ke satu-satunya single sofa yang ada di ruangan ini yang pastinya untuk menyusui bayinya kelak. Kududukkan tubuh telanjangnya di sana. Aku kemudian menyusu pada sepasang susu kenyalnya bergantian. Lalu turun ke bawah mengecup-ngecup pelan sepanjang jalan. “Awak dah penasaran aja dengan yang ini…” kubenamkan mukaku di bukaan kakinya.
“Ahhh… Baaang? Gak jorok, bang?” erang Karina merasakan lidahku menari-nari menyapu isi belahan kemaluannya. Aku hanya menggeleng, menyeruput gemas. Aromanya segar. Ia pasti merawat kemaluannya dengan baik dan bersih walo seharian sudah ia beraktifitas. “Aahhhsss…. Uuhhh… Uuhhnnn…” kala kusedot kacang itilnya. Aku bermaksud membasahkan lahan coblosanku sebelum sesi utama dimulai. Dan juga agar gak penasaran karena sudah dicicipin duluan sebelum nanti dinodai spermaku berulang-ulang.
Karina membanting-banting kepalanya saat jari tengah kiriku mengorek-ngorek isi liang kawinnya. Tangannya meremas-remas pegangan sofa. Ujung jariku mengais-ngais dinding dalam kemaluannya, gerinjal-gerinjal berdenyut itu. Sesekali lidahku menyapu cairan bening yang keluar dari sela-sela jariku yang menusuk masuk. Cairan bening beraroma segar ini pertanda masa ovulasi sedang berlangsung; pertanda subur. “Aauuhh… Auhh… Ahhh… Ahh…” Tanganku yang satu meremas susu kenyalnya yang bergoyang-goyang akibat gerakannya. “Bang! Bang! AHH!! AH!!”
Indah sekali menyaksikan seorang wanita cantik yang sedang menikmati masa-masa indah kenikmatan orgasme dengan ekspresinya tersendiri. Mulutnya rapat dan bagian bawah tubuhnya bergetar-getar seperti mode silent HP bergetar. Dreett dreett dreett… Telapak tanganku menampung sejumlah cairan yang mengalir deras melewati satu jariku yang sedang diperas-peras di liang kawinnya yang meremas ritmis. Ia bersuara minimal. Benar-benar menikmatinya untuk dirinya sendiri. Beda sekali dengan Andini, binor Siantar yang harus menjerit-jerit histeris itu.
Sisa cairan di tanganku itu kugosok-gosokkan di sekujur Aseng junior yang sudah menegang gak sabar dari tadi. Berkilat-kilat batang kemaluanku berlumuran cairan cinta Karina. Ada sedikit rasa lengket yang makin membuatku terangsang. Karina masih memejamkan mata menikmati orgasmenya berkat fingering dan oralku saat kubuka kakinya lebih lebar. Lemas masih tubuhnya akibat kenikmatan tadi. “Enak?”
“He-em…” jawabnya pendek tersenyum dan membuka matanya merasakan gesekan sebuah benda gilig panjang di belahan kemaluannya. Menggesek kacang itilnya dan melebarkan bukaan bibir kemaluannya yang basah kuyup. “Enak banget… Bang Aseng bener-bener pinter…”
“Tapi sebelum ini masuk… salaman dulu, yah?” ujarku mengulurkan tangan kananku untuk bersalaman. Tentunya dia heran kenapa harus salaman. Ini perjanjian yang belum kubuat padanya. Perjanjian tiga pasal-ku. “Awak mau mengajukan tiga poin perjanjian yang harus sama-sama kita sepakati… Ini sebuah keharusan, bu Karina…”
“Perjanjian?”
“Yaa… Kita lanjut kalo bu Karina setuju dengan tiga syarat perjanjian yang awak ajukan ini… Dengar satu-satu, ya?” kataku sebenarnya merasakan enak-enak geli gesekan Aseng junior dan belahan basah kemaluan Karina. Udah mau kucucukkan aja rasanya. Karina ntah terpaksa ntah apa…
“Pertama… tentang hubungan… Hubungan kita berdua hanya sebatas ini saja… Tidak akan lebih dari ini… Walo sudah susah payah usaha awak menolong bu Karina… gak akan awak minta yang lebih… Begitu juga bu Karina gak akan mengharapkan yang lebih-lebih… yang lain-lain… Murni saling tolong menolong… Paham, ya?” jelasku akan poin pertama perjanjian kami. Karina mengangguk tetapi belum menyambut tanganku. Mungkin menunggu semua poin dibabarkan.
“Kedua… tentang rahasia… Hubungan kita hanya kita berdua saja yang tau dan itu artinya tidak boleh ada pihak lain yang tau… Sesimpel itu saja…” jelasku singkat akan poin kedua. Ia mengangguk mengerti.
“Ketiga… tentang masa depan… Andai saja karena hubungan kita ini bu Karina benar-benar hamil, anak ini akan menjadi anak bu Karina dan suami… Saya sarankan untuk berdamailah dengan suamimu karena sebenarnya masalah kalian sudah selesai… Ini semua demi masa depan anak ini dan anak-anak lain yang mungkin menyusul setelahnya… Itu saja… Sampai sini mengerti, ya?” selesaiku pada tiga poin perjanjian yang kutawarkan padanya. Ia mengangguk setuju dan menangkap tanganku.
“Kedengarannya perjanjian itu sangat cocok… Saya setuju semua poinnya… Deal…” diguncangnya tanganku tanda deal. Kami berdua tersenyum lebar. Aseng junior apalagi, karena tanpa bisa ditahan lagi ia menggelincirkan kepalanya menyelinap masuk ke dalam liang kawin Karina yang basah dan hangat. “Uuuhh… Ahh!!”
“Sudah dimulai… Mmm… Ah… Anget…” nikmat juga liang binor satu ini. Apalagi udah digantung kentang sampe dua kali, akhirnya Aseng junior bisa menjelajah masuk ke sanubari liang kawinnya. Bermaksud untuk menghamilinya jika diperkenankan juga oleh yang Maha Kuasa.
“Aahh… Ahhh… Bisa masuk semua, baang? Ahh… Ahh… Gede tapi…” erang Karina menikmati bersama denganku gesekan yang terjadi antara keras Aseng junior-ku dan dinding liang kawinnya yang terasa mencengkram erat batang kemaluanku. “Ahh, baang… Baang? Baang? Enaak, bang…. Aaahh…” erangnya mulai berisik sekarang ketika Aseng junior mulai keluar masuk walo masih pelan-pelan. Gesekan kelamin kami membuat tubuhnya menggelinjang kegelian. Licin dinding liang kawinnya yang terlubrikasi cairan cintanya tak dapat menolak garukan kasar permukaan kasar kulit penisku yang menonjolkan urat-uratnya. Apalagi bentuk leher Aseng junior yang bertindak seperti cangkul menggaruk gerinjal permukaan liang kawinnya juga.
Karina semakin menggila gelinjang tubuhnya saat aku mempercepat gerakan keluar masuk memompaku. Karena memang ternyata sangat enak menyetubuhi binor satu ini. Aseng junior keluar masuk dengan lancar di dalam liang yang masih cukup menggigitnya. Tidak sangat peret tapi cukup nge-grip karena ia sudah beberapa kali keguguran. Tapi-uhh… Enak kali. “Buu… Enaak, buu?” genjotku lebih cepat dengan gerakan andalanku 2-1. Dua kali sodokan pendek dan satu sodokan panjang.
“Ah ah ahh ahh… Baang… Baang? Karinaa gak tahaan… Ahh… Maaau pipiiiss… Uuuhhmm… Ahh!” erangnya sibuk sendiri dengan gelinjang tubuh yang menyergap tubuhnya. Padahal baru aja mulai udah mau dapat dia. Eh… benaran! Aseng junior-ku diremas kuat di dalam liang kawinnya. Terasa lebih basah dan licin karena ada tambahan sejumlah cairan baru yang disiramkan, mengocor bahkan merembes keluar. Kucabutlah si Aseng junior untuk membiarkan ia menikmati itu semua sebentar.
“Hah-hah-hah-hah…” ia bernafas berat. Susu kenyalnya naik turun dan mata terpejam. Menggemaskan melihat ekspresinya dan kukecup keningnya. “He he hehehe…” malah tertawa pelan ia merasakan kecupanku. “Lagi, bang… Enak ternyata…” tangannya menggapai hendak menangkap Aseng junior, mengembalikannya ke tempatnya yang sebenarnya. Kuberikan padanya. Diarahkannya kepala Aseng junior memasuki liang kawinnya yang kuyup oleh cairan cintanya.
“Heeessshh… Aahh… Ahh, baangg… Enak banget, sih? Uuhh…” begitu masuk langsung kugasak lagi ia dengan sodokan andalan 2-1-ku. Karina duduk bersandar hampir rebah di single sofa sementara aku menggenjot liang kawinnya dalam keadaan berdiri menyebabkan semua otot-ototku bekerja optimal mengeras. Termasuk Aseng junior yang sedang kupompakan ritmis tak begitu cepat. Kelimpungan Karina menerima sodokan-sodokan keras batang kemaluanku.
“Enak banget, baangg… Karina bisa… bisa-bisa keluaarrhhh laghii… Ooohh…” tangannya meremas kuat pegangan kursi dan bangkit dari bersandar di sofa. Kakinya makin lebar terbentang, yang dari tadi terus kuhentak beradu dengan sebagian besar perut dan pangkal pahaku. Ia memelototi proses keluar masuk memompa Aseng junior ke belahan kemaluannya yang dipaksa membuka lebar untuk mengakomodasi besar diameter kemaluanku. “Ngentooottt enaak bangeett!!” erangnya dengan mulut terbuka lebar. Ia takjub karena liang kawinnya dapat menampung penis sebesar ini. “Gede bangeet kontolmu, baang? Ahhh…” ia membanting tubuhnya ke sandaran sofa lagi.
Ia menautkan kakinya ke pegangan kaki hingga semakin lebar terbentang karena ia semakin rebah sudah seperti berbaring. Aku semakin menggila menyodok kemaluan legitnya. Masih dengan tak bising, ia kembali mendapat pipis enak itu. Sejumlah cairan pelumas kembali mengalir menetes membuat persetubuhan kami ini. Kucabut Aseng junior haribaan liang kawinnya untuk pause sebentar karena aku tau gak lama lagi aku akan ngecrot. Jari-jari Karina memanggil dan dipaksakannya tubuhnya untuk bangkit. Ia meminta Aseng junior, kusodorkan.
“Uhhmm…” dengan nakal ia menyedot Aseng junior yang masih bercampur cairan cintanya sendiri. Nafasku sendiri sebenarnya kuatur agar tidak ngos-ngosan seperti sedang berlatih silat. Apa gunanya mahir pernapasan kalo ngentot aja kelabakan karena gak mampu mengatur nafas. Keahlian ini banyak gunanya di kehidupan sehari-hari. Karina mengisap Aseng junior tidak sepenuh hati karena ia hanya melakukannya untuk istirahat dan diarahkannya kembali ke selangkangannya. Memintaku untuk masuk kembali.
Posisi rebahnya ini membuatku lebih leluasa melesakkan Aseng junior walopun harus menekuk lutut di kombinasi andalan tusukan 2-1-ku. Karina tak henti-henti mengeluh walo tidak bising sekali, tapi cukup menggairahkan dan memberi semangat aku terus menggasaknya. Kini hanya bagian kepalanya yang bersandar di sandaran single sofa sementara seluruh badannya rebah di dudukan sofa, kakinya terbentang lebar menyangkut di pegangan sofa, sebagian besar bokongnya menggantung yang membuatnya menahan sehingga ada tekanan besar pada Aseng junior-ku, dijepit erat.
“Buu Karina… enaak kali, buukk… Uhh…” keluhku memperhatikan guncangan yang terjadi pada susu kenyalnya bergoyang beradu. Berputar-putar bagus susu kenyal saling beradu yang memancingku menikmatinya. “Sruupp…” ini cukup membuat perhatianku teralih dari rasa nikmat yang mendera Aseng junior ke menikmati susu kenyal dan gemuk pentilnya yang rajin kusedot.
“Aahh, bang… Kenyot yang ini juga, bang…” tunjuknya pada mulutnya yang dimajukan minta dicumbu juga. Aku beralih ke mulutnya dan mengadu bibir. Susu kenyalnya kini jadi mainan kedua tanganku sementara Aseng junior menggenjot tipis-tipis aja, pendek-pendek. Kaki Karina berpindah bersandar mengangkang di pegangan sofa ke memeluk punggungku. Dua tumitnya mengait ke pinggangku.
“Emmhh…” suara percumbuan mulut kami berdua. Tangan Karina mengalung di leherku, mencegahku pergi kemana-mana. Ia masih rajin menikmati mulutku. “Bang Aseng pinter ciumannya… Udah pro…” komentarnya di antara pergelutan mulutku.
“Gocekannya gimana?”
“Lebih pro lagi… Gede banget ini, bang… Punya suamiku gak ada segini… Ahh!” katanya membandingkanku dengan suaminya. Aseng junior tetap kugoyangkan pelan-pelan, pendek-pendek aja walo terbenam dalam. Terasa cengkraman kuat dari dalam liang kawinnya yang menghisap-hisap karena rangsangan intens. “Aahhsss… Ya gitu, bang… Aahh… aahh…” kening kami bertemu melepas adu mulut karena kupercepat sedikit walo masih pendek-pendek. Susu kenyalnya membal-membal. Karina menganga kala kukecup-kecup hidungnya.
Bukannya kenapa-kenapa, posisi seperti ini gesekanku pada kacang itilnya pasti sangat kerasa. Karina jadi sangat gelisah. Diremasnya lenganku yang mengetat kuat karena makin kupercepat gocekan cepatku, aku bertumpu pada kedua tanganku sekarang.
“Karrr… Karrr… Karinaaa… Mau keluaarr… Mau-mau…”
“Bareng, baang…” Karina semakin gelisah. Kepalanya banting kanan-kiri. Mulutnya meracau tanpa suara. Aku konsentrasi untuk membuktikan bacot si setan Kuyang itu. Apakah wasiatnya benar-benar akan jadi kenyataan bahwa hanya bibit dariku yang saat itu menghunus mandau Panglima Burung yang dapat menutup lubang yang ditinggalkannya di perut Karina.
Kutekan sekuat-sedalamnya Aseng junior ke vagina Karina saat menyemburkan spermaku, bibit yang kumaksud di atas. Bersamaan denganku Karina juga mendapatkan huruf O kapitalnya yang tak bersuara. Hanya getar-getar tubuh kami bersamaan menjadi melodi indah yang sinkron melabuhkan sebuah kenikmatan bersama-sama. Kubenamkan wajahku ke lehernya, menghirup udara sesak dari rambutnya saat terasa semburan-semburan kencang yang sudah dua kali terhambat. Nikmat sekali setelah sekian hari tergantung sedemikian rupa oleh beberapa sebab.
Dada kami yang lekat rapat sama-sama naik-turun memproses respirasi yang sesak sebab kegiatan menguras kalori barusan. Karina bernafas cepat. Udara keluar masuk hanya dari mulutnya. Sedang aku lebih teratur berkat keahlianku olah nafas di berbagai bela diri apalagi silat harimau yang kukuasai. Karina pasti bisa merasakan banjir dalam rahimnya yang kuisi penuh dengan sperma panasku. Perutnya pasti terasa hangat saat ini. Untuk beberapa saat kami berpandangan lalu tersenyum di ujungnya.
“Enak banget, bang Aseng… Jadi dua kali kentang lunas semua… hi hihihi…” ucapnya lirih diakhiri terkikik masih mengalungi punggungku dengan kakinya. Selangkangan kami masih terpaut erat dengan persatuan kelamin. Tangannya bertengger di bahuku.
“Luar biasa… Lunas semua kentangnya… Betol… Lunas semua… Nikmat kali, bu Karina… Huhh…” kataku bersungguh-sungguh menunjukkan kalo aku betul-betul puas dibuatnya. Kusodok-sodok pelan Aseng junior-ku. “Cabut dulu, yaa…” pelan-pelan kulepaskan dan pasti akan meluber deras karenanya bagian belakang bokongnya agak kuangkat lebih tinggi, kuputar tubuhnya hingga kedua kakinya saling rapat ke kanan single sofa. Kakinya di kanan pegangan sofa kepala di kiri. “Ditinggiin gini dulu ya, buu… Biar agak nyerap bibit awak di dalam…” kataku lalu mengecup pelan bibirnya.
“Enak banget tadi, bang…” ujarnya menggapai pada Aseng junior yang menjuntai agak layu karena abis ngecrot, kan. Dikocok-kocoknya gak perduli walo masih berlumuran spermaku dan cairan cinta lengketnya. “Kayaknya masih bisa lagi ini, ya?” tanyanya melihat gelagat Aseng junior yang perlahan menegang lagi.
“Untuk bu Karina apa yang enggak… Ibu mau berapa kali lagi?”
“Mm… Berapa kali, yaaa?” katanya menerawang dengan imut sambil mengetuk-ngetuk dagu lancipnya dengan ujung telunjuknya. “Satu…” satu jari diacungkannya, “… dua…” matanya berbinar-binar. “Tiga?” senyumnya lebar dan manis sekali. Kami sama-sama tertawa.
“Ato empat?”
“Lima, deh…” malah tambah ngelunjak dan tersenyum lebar memamerkan gigi putih rapi bergusi sehat.
Bersambung