Part #49 : Yon… Kontolku ilang!

“Yon… Kontolku ilang!” teriakku kuat-kuat mendapati si Aseng junior tak ada lagi tempatnya biasa nongkrong, di antara dua kakiku. Bahkan dua bola pelernya juga hilang tak berbekas. Yang tertinggal hanya sebuah gundukan tipis berjembut yang kalo diteliti jelas akan terlihat seperti permukaan vagina seorang perempuan sekarang. Muka yang syok pasti merekat erat di wajahku. Kening Iyon juga berlipat-lipat melihat petaka yang menimpaku ini.

“Mampos aku!! Kontolku ilang!! Yoon!! Tolongin aku, Yoon?!” teriakku histeris memegangi selangkanganku, digosok-gosok kuat siapa tau ia mau muncul lagi kalo dakinya digosok sampe bersih. Aku bahkan gak bisa merasakan keberadaannya sama sekali. Padahal dalam keadaan ia tidurpun, aku bisa menggerakkannya.

“Diam! Diam dulu kao!! Aku gak bisa berpikir kalo kao tereak-tereak kayak orang pesong kek gitu!! Diam dulu!!” Iyon berusaha menenangkanku. Ia bahkan mengeplak kepalaku agar aku mau tenang sedikit aja untuk dikasih pengertian.

—————————————————————————-
Hilang sudah kejantananku. Aku udah kek jadi boneka manekin aja sekarang ini. Patung pamer pakaian di butik dan kios pakaian, bertubuh lengkap tangan, kaki, badan, kepala. Tapi waktu dilucuti semuanya ada yang kurang, tak ada kelamin yang bergantung menjuntai dari bagian selangkangannya. Itulah nasibku saat ini, tak berkelamin. Bahkan banci lebih beruntung nasibnya dari pada aku, yang masih punya banci junior yang tak mereka banggakan.

Muka Kojek-pun melongo prihatin akan nasibku yang sudah kehilangan benda berharga. Kami ada di rumah Kojek saat ini. Di Indonesia sini, waktu Indonesia bagian Porsea masih malam. Menjelang pagi bahkan. Iyon yang secara gak langsung menjadi pemimpin Ribak Sude kami, berpikir keras. Aku yang biasanya jadi pemikir di kelompok ini gak bisa diandalkan sekarang karena masalah ini menimpaku langsung. Reaksiku gak bisa diandalkan. Ini cobaan berat bagi kedua sobatku ini. Kojek apalagi, dia biasanya hanya bagian bar-barnya aja.

“Teknik ghaib ini sangat asing bagi kita bertiga… Ingat penjelasanku tentang voodoo yang lazim dipraktekkan di daerah itu? Aku bahkan gak tau apa ini bagian dari voodoo itu atau enggak…” kata Iyon mengusap mukanya. “Apa pendapatmu, Jek?”

“Kalo kataku… Pidong si Aseng itu sebenarnya masih ada di situ…” tunjuknya pada selangkanganku. “Cuma mata kita semua dikaburkan gak bisa melihatnya… Karena gini… Mengambil organ tubuh itu sangat kompleks akibatnya… Apalagi… Aseng sama sekali gak menunjukkan gangguan kesehatan apapun sekarang ini… Hanya saja ada gangguan Lini aja saat ini di sekitar pusat Lini-nya…” ia menunjuk pusarku sekarang.

“Trus gimana ini?” gusarku gak bisa berpikir jernih saat ini. Otakku blank gak bisa berpikir apapun.

“Kau-pun sukak kali nyari penyakit… Entah apa-apa aja yang kau buat sampe dapat lawan berat kek gini…” kata Kojek malah meledekku.

“Aku, kan cuma mau nolong orang Jek… Mana kutau kalo jadi kek gini ujungnya… Junior-ku…” kugosok-gosok lagi selangkanganku yang kosong.

“Tapi perempuan aja yang kau tolong, kan?” ledeknya lagi. Aku langsung terdiam gak mau meladeninya lebih jauh karena itu benar.

“Ya udah-udah… Karna kita bertiga-pun buntu soal ini… Kita tanya yang lebih senior aja…” Iyon mencari satu nomor di HP-nya dan langsung menghubungi orang tersebut. Ada jeda yang lumayan lama sampe ada jawaban. “Assalamualaikum… Halo, bah… Maaf, bah… Ganggu ya, bah? Ada sedikit masalah nih, bah… He hehe… Buntu kami, bah… Si Aseng, bah… Iyon jemput ya, bah? Baik-baik, bah… Tunggu bentar ya, bah… Assalamualaikum…” dan diakhirinya sambungan telepon itu.

“Abah Hasan, Yon?” tanya Kojek.

“Siapa lagi? Aku jemput dia dulu ke rumahnya… FLUP!” Iyon langsung menghilang dari hadapan kami dengan ilmu B3 (Bayangan Bunga Bujur) miliknya menuju rumah abah Hasan yang barusan dihubunginya. Mudah-mudahan dengan bantuan beliau masalah kami ini bisa dipecahkan. Tapi ada tapinya dengan salah satu individu yang kami panggil guru ini, tak ada rahasia yang bisa disimpan di hadapannya. Ia menguasai semacam ilmu kebathinan yang mampu membaca pikiran seseorang sampai sangat dalam. Bahkan ada yang percaya kalo ia serius menggunakannya, bahkan memori sejauh apa yang tersimpan di ingatan orang itu, bahkan yang sudah dilupakan sekalipun bisa digalinya.

“Jek… Takut aku, Jek…” kataku padanya yang mulai terkantuk-kantuk menunggu datangnya Iyon membawa abah Hasan.

“Hng? Takut kontolmu gak bisa balik…” jawabnya setelah mengelap iler. “Ato takut rahasiamu ngentoti binor ketauan sama abah?” matanya masih sayu.

“Glek… Takut aku diceramahinya…” aku langsung bungkam karena Iyon langsung muncul kembali membawa pria setengah baya itu bersamanya jauh-jauh dari rumahnya di sana. Aku dan Kojek langsung menunduk dan menyalaminya takzim mencium tangannya layaknya murid yang berbakti. Pria itu memakai gamis panjang berwarna putih dan kopiah Turki. Di tangannya menghitung tasbih. Saat ini dia sosok pengganti bapak bagi kami bertiga yang yatim. Wibawanya sangat sesuai menyandang predikat guru yang harus kami hormati. Ia dipersilahkan duduk sama sang tuan rumah, Kojek.

“Kojek… Apa kabar? Gimana bisnis antum?” sapanya pada sobat kurus kami itu. Ia tersenyum lebar walo masih bermata sayu.

“Sehat, abah… Maaf, bah… Maaf kalo tempatnya seperti ini… Juga Kojek gak pernah mengunjungi abah di sana…” katanya berbaik-baik. Diantara kami bertiga, Kojek yang paling diperhatikannya. Kami sering mengolok-oloknya kalo itu misi Islamisasi abah Hasan.

“Udah gak ada abah dengar suara… apa namanya? Hurje? Suara hurje antum udah gak ada kedengaran lagi…” tanyanya. Telinganya masih sangat awas.

“Udah Kojek jual semua, abah… Mau kami ganti ke lembu sekarang, abah… Aseng investor-nya, abah…” kata Kojek tentu harus jujur karena gak ada gunanya menyembunyikan apapun di depan abah Hasan.

“Lembu? Bagus itu… Nanti abah pesan dari ente kalau gitu untuk Idul Adha nanti, bisa?” ia malah dapat pelanggan pertamanya karena abah Hasan biasanya menyembelih lebih dari 10 ekor sapi tiap ber-qurban-nya. Kojek tentu aja senang mendapat langganan potensial di bisnisnya.

“Iyon? Udah berapa anak antum? Tadi abah belum sempat ngobrol…” ia beralih pada Iyon yang tadi barusan menjemputnya.

“Masih satu itu, bah…” jawab Iyon melirikku. Karena berikutnya pasti dia akan menanyaiku.

“Anak antum setahun lebih tua dari anak-anak kami, ya?” ingat abah Hasan. “Anak abah sekarang sudah hampir 5 loh… Gak nambah lagi antum?” tanyanya. Iyon hanya tersenyum simpul. Gini kalo dah lama gak ngumpul yang ditanya malah udah berapa anak. Abah Hasan walo sudah setua ini, anak pertamanya lahir paling belakangan di antara kami semua. Anak Iyon yang paling tua karena ia yang paling duluan menikah, menyusul aku dan Kojek kemudian beliau. Apakah ia terlambat menikah? Tidak. Istrinya ada banyak. Banyak yang sudah diceraikan juga. Dan di istri terakhirnya ia malah berhasil punya anak. Seorang perempuan cacat yang ditemukannya di daerah konflik Timur Tengah. (Detail tentang sekelumit abah Hasan dapat dibaca sedikit infonya di Side Quest: To All The Girls I’ve Loved Before di thread Quest) Bisa berhasil punya anak dari perempuan itu, seperti kelinci ia membuat anak sampe udah mau 5 anaknya. Setahun satu berarti…

“Seng… Apa kabar? Tambah makmur sepertinya…” sapanya padaku. Aku menunduk dan beringsut mendekat padanya. Duduk di sampingnya. “Udah… Gak usah malu-malu begitu… Abah udah tau semua… Gak usah dijelasin…” katanya menepuk-nepuk bahuku. “Coba liat burungnya…” mintanya untuk melihat keadaan Aseng junior yang telah raib secara ghaib. Aku menurunkan restleting celanaku dan menunjukkan keadaan nelangsaku ini.

Matanya sedikit menyipit melihat selangkanganku yang kosong melompong. Ia menyentuh pelipis kanannya untuk berkonsentrasi meneliti masalah yang yang kini menimpaku. Sekilas aku melihat bahwa kornea matanya yang tadinya coklat berubah menjadi biru langit lalu kehijauan, kuning lalu balik normal coklat kembali.

“Gimana, bah?” malah Iyon yang pertama menanyakannya.

“Enggak orang jauh ini… Masih orang dekat…” katanya. Membelalak mataku dan Iyon bersamaan mendengarnya. Kok itu? Abah Hasan tersenyum berhasil ngerjain kami. Kojek tertawa terkekeh-kekeh tertahan takut mengganggu keluarganya yang masih tidur di sejuknya dini hari daerah Porsea ini.

“Yaah… Abah… Abah masa pake guyonan itu juga? Gak lucu, ah…” kata Iyon yang ngerasa kena prank juga. Abah Hasan tertawa-tawa juga. Perut buncitnya berguncang-guncang.

“Ha ha hahaha… Kena kalian ya… Ha ha haha… Sori-sori… Ini cuma salah paham aja sebenarnya… Burungmu masih ada di situ, Seng… Gak kemana-mana dia… Cuma dihilangkan aja dari mata zahir dan bathin kita… Ngeliatnya harus pake mikroskop… Ha ha hahaha…” lagi-lagi ia bercanda atas musibahku. Atas stres yang kualami. “Antum berusaha mengobati perempuan itu, kan? Siapa namanya?” tanyanya.

“Karina, bah…”

“Nah… Antum sudah benar memusnahkan setan Kuyang sesat itu dari tubuhnya… Dan juga sudah benar mau menutup lubang bekas Kuyang itu… Tapi sudah keduluan sama orang ini…” Heh? Keduluan?

“Keduluan? Apa ada orang lain yang mencoba mengobati si Karina ini, bah?” tanyaku. Apa si Paul-Paul itu?

“Ya… Si Paul itu… Niatnya juga baik… Dia juga bermaksud mengobati si Karina ini sewaktu melihat lubang besar di perut perempuan cantik itu… Hanya saja proses pengobatannya masih berjalan… Tidak secepat kalau antum yang ngobatin, Seng… Tapi ia menambahkan proteksi ini pada perut si Karina kalau-kalau ada yang mencoba mengusik lubang itu dalam masa pengobatannya… Antum dikiranya adalah gangguan tapi proteksinya ini tidak cukup kuat untuk mengusir antum makanya antum malah disedot jauh sampai ke Bahama sana… Ini ada campur tangan orang lain untuk menyedot antum ke sana lalu bertemu si Paul ini… Sepertinya dia adalah guru atau atasannya…” sebanyak itu yang diketahui abah Hasan setelah melihat kasusku ini. Aku agak lega mendengarnya karena ini ternyata hanyalah masalah salah paham.

“Lalu si Paul ini memberimu ramuan di air kelapa itu… berjabat tangan dan menyegel namamu untuk ritual Koro ini…” lanjut abah Hasan menyebut nama teknik Koro yang sedang terkena padaku. Jenis apa ini?

“Bukan kacang koro, Jek… Ini bahasa daerah Makassar yang terkenal di dunia. Ini biasa dipakai dukun-dukun zaman dulu disana untuk menakut-nakuti musuh… Dipakai di Asia sampe Afrika bahkan… Menyebabkan penderita ketakutan setengah mati… Hilang kan semua semangat antum?” tanya abah Hasan beralih lagi padaku. Aku mengangguk. Benar juga. Kemaluan juga berarti kejantanan. Apa arti seorang laki-laki tanpa kejantanannya? Gak ada gunanya lagi. Itu korelasinya.

“Teknik Koro ini sangat kompleks dan rumit karena melibatkan banyak cabang ilmu… Ada psikologi-nya dan bumbu-bumbu kleniknya tentu… Koro ini dari bahasa Melayu yang artinya kura-kura… Kura-kura kan kepalanya bisa masuk ke dalam badannya… Persis seperti yang sedang antum alami ini… Burung antum masuk ke dalam perut sampai benar-benar hilang… Si Paul ini sudah mensugesti antum kalo burung antum hilang… Ditambah ramu-ramuan itu… Biasanya adalah kencur yang sudah dimantra-mantra-in sedemikian rupa… Wus… Burung antum hilang!” jelas abah Hasan secara gamblang.

“Jadi nyembuhinnya gimana, bah?” tanyaku penuh harap. Siapa-la yang mau menderita penyakit kek gini.

“Abah sebenarnya bisa aja nyembuhinnya sekarang… Tapi itu enggak menyelesaikan akar masalahnya… karena perempuan itu maunya hanya diobati oleh antum, kan?” cetusnya. Aku mengangguk. “Nah lebih baik kita silaturahmi ke Paul dan gurunya itu… Bagus untuk menjalin relasi dengan praktisi lain di tempat jauh…” lanjut abah Hasan. Silaturahmi? Berkunjung langsung ke Bahama sana?

“Abah akan memberi lokasinya padamu, Iyon… Bawa kami semua kesana…” ia beralih pada Iyon sebagai alat transport kami. Iyon menyanggupinya. Kami saling bersentuhan agar terikut dalam teleportasi Bayangan Bunga Bujur Iyon. FLUP!

Sudah menjelang sore di kepulauan Bahama. Kami tiba di depan sebuah rumah sederhana tetapi rapi dan bersih berpagar kayu ujung membulat berwarna putih. Ada beberapa anak kecil bermain tali di depannya. Kami menunggu sebentar dan pintu rumah terbuka tanpa ada yang memanggil. Itu si Paul tadi. Ia tersenyum lebar dan membukakan pagar kayu mempersilahkan kami masuk.

“How do you do? I’m Paul… Please come in… You’ve been expected by my master…” (Apa kabar? Saya Paul. Silahkan masuk. Anda telah dinantikan guru saya) ia tak keberatan kami berempat rombongan memasuki rumahnya. Ada master-nya di dalam? Sangat yakin dengan kekuatan yang mereka miliki.

“Thank you, Paul… It’s very kind of you…” (Makasih, Paul. Anda baik sekali) tak ragu abah Hasan menyambut jabat tangan Paul jadi kami berjabat tangan dengannya juga. Pas giliranku ia tetap tersenyum seperti gak ada kejadian apa-apa. Padahal dah mau kugesekkan aja kepalanya ke aspal jalan.

Ada seorang perempuan yang masih terhitung muda. Paling-paling ya sebaya-la dengan kami bertiga, awal 30-an gitu. Mungkin itu istrinya si Paul ini. Tapi kami dipersilahkan duduk bersama dengan perempuan itu di beberapa kursi kayu sederhana di ruang tamu. Kulitnya gak segelap Paul eksotisnya. Kalo di Indonesia itungannya mungkin masuk sawo matang.

“Meet my master… Miss Abigail…” (Perkenalkan guru saya, nona Abigail) Aku, Iyon dan Kojek jelas kaget karena kami mengira guru yang dimaksud Paul adalah seorang sudah tua, setidaknya seumuran dengan abah Hasan. Gak masalah laki-laki ato perempuan, tapi ini malah masih semuda ini. Gak nyangka semuda ini sudah jadi guru.

“Nice to meet you, miss Abigail… The name is Ahmad Hasan bin Hussain bin Ahsan bin Abdul Manaf bin Abdul Hasan… Forgive us for our rude manner… Especially my three aprentices here… He’s Guntur Setiono… Called him Iyon… Here’s Sutan Mandalo Nasrul, called him Aseng… And last but not least Pandapotan Samuel Hutagalung… Called him Kojek…” (Senang berkenalan dengan anda, nona Abigail. Nama saya Ahmad Hasan bin Hussain bin Ahsan bin Hijr Abdul Manaf bin Abdul Hasan. Maafkan kelancangan kami. Terutama ketiga murid saya ini. Ini Guntur Setiono. Panggil dia Iyon. Disini adalah Sutan Mandalo Nasrul, panggilannya Aseng. Dan yang terakhir adalah Pandapotan Samuel Hutagalung. Panggil dia Kojek) dengan sopan abah Hasan memperkenalkan nama kami semua lengkap dengan nama panggilannya. Abah Hasan hanya menyatukan tangannya tak boleh menyentuh perempuan itu. Nona Abigail paham batasan itu dan menunduk mengangguk saja.

“Please to meet you too, young men…” (Senang juga bertemu kalian, anak-anak muda) sambut Abigail. Tapi ia menganggap kami semua anak muda. Termasuk abah Hasan.

“Ah… Another stopper… Nice…” (Ah… Yang terhenti lainnya. Bagus) gumam abah Hasan paham apa maksud perkataannya barusan.

“Pardon my master here…. She’s stop aging since she’s 35 tens of years ago…” (Maafkan guru saya ini. Ia berhenti menua sejak umur 35 puluhan tahun lalu) jelas Paul akan keadaan fisik gurunya yang sangat ajaib. Selamanya di umur 35-an ini?

“No wonder you’re as pretty as an orchid…” (Tak heran anda secantik anggrek) puji abah Hasan gak habis akal. Malah dipuji karena memang perempuan ini masih cantik membeku di usia 35-an tahun. Mungkin aja umurnya udah seratus tahun lebih. “I believe that we’ve mistakenly took a crossing path on the same particular individual named… miss Karina… My aprentice here… Aseng had intended and promised to cure her of her current condition prior to certain supranatural phenomenon… Leaving a huge cavity in her tummy… We both sides took a certain interest in her… Your aprentice… also tried to help her, thus overlapping with the cure attempt performed by my apretice… There…” (Saya yakin bahwa kedua pihak kita sudah bersilangan jalan pada individu tertentu yang bernama nona Karina. Murid saya, Aseng sudah bermaksud dan berjanji menyembuhkan kondisinya akibat fenomena supranatural itu yang menyebabkan lubang besar di perutnya. Kedua pihak kita tertarik dengan kondisinya ini. Murid anda juga berusaha menyembuhkannya yang berakibat tumpang tindih penyembuhannya dengan murid saya. Demikian) abah Hasan memaparkan kondisi yang terjadi saat ini.

“Well… It’s too bad we’ve been through this misunderstanding and almost leading to a clash-unnecessary clash… It’s a shame… I’d like to offer you my apology on behalf of my aprentice…” (Baiklah. Sayang sekali kita harus saling salah paham dan hampir menjadi keributan-keributan yang tak perlu. Sayang sekali. Saya ingin menghaturkan ucapan maaf atas kesalahan murid saya ini) malah miss Abigail yang minta maaf duluan pada pihak kami. “Paul… Will you undo your spell to this boy…” (Paul, lepaskan mantramu pada anak lelaki ini) sambungnya. Ini yang kutunggu-tunggu dari tadi. Paul menunduk patuh pada gurunya. Ia masuk ke dalam dan balik lagi dengan cepat membawa batok kelapa muda segar seperti yang tadi siang diberikannya padaku.

“Please accept my apology and drink this immediately. It will undo your current situation at all… Please…” (Tolong terimalah permohonan maaf saya dan minumlah ini sesegera mungkin. Ini akan menyembuhkan situasimu saat ini. Silahkan) diserahkannya batok kelapa tanpa sedotan itu padaku. Abah Hasan mengangguk menjamin kalo itu yang terbaik yang harus kulakukan. Kuterima batok kelapa yang tanpa hiasan itu sekarang dan langsung menenggaknya sampe tandas. Baik nona Abigail dan muridnya Paul tersenyum melihatku menurut dan meminum ramuan itu sampe habis.

Iyon dan Kojek naik-naik alisnya kode menanyakan apakah ada reaksi perubahan pada Aseng junior-ku yang hampir satu harian ini hilang raib tak tau rimbanya. Aku mencoba menggerakkan otot Kegel dan terasa ada pergerakan. Buru-buru aku balik badan dari nona Abigail menghadap ke dua sobatku. Kusibak celanaku dan whalaaa… Aseng junior bertengger dengan imut di sana tak kurang apapun. Lega selega-leganya. Iyon dan Kojek langsung berpaling jijik harus ngeliatin belalai gajahku kek eksibis…

Berikutnya kami membicarakan masalah ini lebih jauh lagi dan mencapai kesepakatan. Paul akan menghentikan pengobatannya pada Karina karena aku yang paling berhak melakukan hal itu karena sudah kumulai dari menyingkirkan Kuyang itu. Sementara Paul melakukannya hanya dengan diam-diam, walopun niatnya sangatlah mulia. Selesai dengan masalah ini kami ngobrol-ngobrol lagi dengan lebih cair dan akrab melupakan pertikaian kami sebelumnya. Aman kalo bisa dikatakan kami menjadi sahabat sekarang.

—————————————————————————-
Aku diantar Iyon di SPBU milikku supaya aku bisa pulang dengan membawa mobil. Sampe depan rumah sudah jam 6 pagi yang sudah lumayan terang. Lelah dan ngantuk tentunya. Rencananya sebelum pergi kerja, aku akan tidur dulu sepuasnya di daerah kekuasaanku. Lumayan untuk mengistirahatkan jiwaku.

“Aku mau cerita dikit… Ada satu-dua yang sangat mengganjal di kepalaku… Kalian dengar ya?” kataku sebelum aku pulang tadi. Aku mengajak mereka ngobrol sebentar di dalam mobil sebelum Iyon mengantar Kojek pulang ke Porsea. Kedua sobatku itu mengangguk mengiyakan walopun pasti ngantuk juga. Aku belum siap menyampaikan ini pada abah Hasan juga.

“Ini tentang bagaimana aku bisa keluar dari realitas palsu oppung Datu itu… Ini sangat membingungkan tapi berkat itu pula aku bisa keluar dan kita selamat… Ada yang mengirim kode-kode penolong padaku… Kode tentang kuda yang berulang-ulang… Maksudnya agar aku sadar kalo realitas itu palsu… Mengingatkanku tentang kuda sembrani itu… Ini yang pertama… Siapa yang ngirim kode ini? Yang kedua… yang terakhir… Di dalam realitas palsu itu aku sudah bercerai dengan orang rumahku… Itu sangat mengerikan… Foto nikah kami sudah digantinya dengan foto nikah bareng suami barunya… Tau siapa suami barunya di foto itu? Putra…” paparku akan satu nama itu.

“Putra?” hampir bersamaan Iyon dan Kojek mengulang nama itu. Muka keduanya berkerut heran campur kaget nama itu muncul mengemuka.

“Bukannya dia udah lama mati? Kita bahkan hadir di pemakamannya…” cetus Iyon yang secara gak langsung pernah sangat akrab dengan individu ini. Ekspresinya gak terlalu jelas antara marah dan cemas.

“Makanya… Dari mana oppung Datu itu tau tentang Putra kalo memang dia yang menciptakan gambaran realitas palsu itu? Kenapa waktu aku membelah foto nikah itu adalah jalan keluarku dari sana? Kita semua tau kalo dulu Putra sempat suka dengan orang rumahku… Tapi orang rumah lebih memilih aku dari dia, kan? Tapi dia sudah lama mati… jadi ini kehendak siapa? Maunya siapa?” aku malah emosi entah ke siapa. Keduanya pasti paham emosiku.

“Trus gimana?” tanya Kojek.

“Aku terus menerus mendapat kasus yang berulang… Terus menerus berulang… Selalu berhubungan dengan binor yang pengen hamil dari bibitku… Ada variasi-variasinya tapi intinya tetap itu… Yang paling terbaru ya itu… si Karina ini… Ada yang diberi pesan lewat mimpi, ada yang dibisiki langsung, ditulisi pesan, lewat mempengaruhi siluman ato demit-demit gitu… Ada yang berusaha keras untuk memberikan ini semua padaku… Mencekoki aku dengan semua ini… Aku gak tau apa ini baik ato buruk dalam jangka panjang… Sementara ini ya enak-enak aja… Tapi keknya akhir-akhir ini semakin berbahaya… Aku makin sering minta bantuan pada kalian, kan?” kataku.

“Bentar-bentar… Binor-binor itu minta kau hamili? Minta dibuntingi?” simpul Iyon. Matanya menyipit, antara alisnya berlipat-lipat. Aku mengangguk. “Kenapa kau baru cerita ini sekarang?” tanya Iyon agak kesal mendengar ceritaku ini.

“Kenapa? Kau mau juga, Yon?” sela Kojek. “Kalo masalah subur… aku mungkin lebih subur dari si Aseng… Anakku udah empat… Anak dia aja baru dua…”

“Aku sudah menghamili sebelas binor itu, Jek…” potongku.

Amangoi (Alamak)… Sebelas kou bilang?!” kaget Kojek. Ya benar, sobat Ambyar. Sudah sebelas binor yang kuhamili. Aida, Yuli, Pipit, Iva, Dani, kak Sandra, Ratih, Mila, Suli, Miranda dan Vony. Mungkin nanti menyusul Andini dan Karina juga. Aku mengangguk berulang-ulang untuk meyakinkan mereka berdua. “Wiih… Sebelas, bah…”

“Ada beberapa kemungkinan… Si pembisik ini memang mengarahkan binor-binor ini murni untuk menolong mereka dengan perantara kau, Seng… Mungkin kau dianggapnya sudah jaminan mutu langsung bunting itu semua binor abis kau entup…” Iyon langsung menyambar mengutarakan kemungkinan pertama. “Kalo ini kejadiannya… bisa-bisa nantinya makin banyak yang datang ke kau, Seng… Makin banyak tempek binor yang kau rasain… Makin banyak binor yang kau buntingi… Teruuuus aja gitu sampe nanti kau gak sanggup ngentot lagi… Memang banyak perempuan di luar sana yang payah bunting…”

“Binikmu gak termasuk?” tanya Kojek lebih ke pertanyaan satir.

“Kimak! Diam kao dulu…” maki Iyon. Kami, aku dan Kojek tertawa karena tau kenapa-kenapanya. Kami tau alasan kenapa Iyon sampe sekarang hanya punya satu anak dari istrinya, belum nambah-nambah. Bahkan abah Hasan gak tau masalah ini.

“Kemungkinan lain… Sebagai pengalih perhatian… Ini yang berbahaya… Kau mau dibuat terlena dengan keadaan ini, Seng… Membuatmu gak awas lagi dan dilakukannya sesuatu di belakangmu… Membokongmu dari belakang… Entah apa itu… Jadi kau sibuk aja trus dengan kegiatan enak-enakmu ini dan tiba-tiba ada sesuatu yang terjadi… Misalnya kucingmu disantetnya sampe mati…” usung Iyon akan kemungkinan kedua. Masih bagus ia membuat contoh kucingku yang dikerjai, bukan anggota keluargaku. Karena aku gak melihara kucing.

“Ish… Amit-amit, Yon…” aku mengusap-usap dadaku membathin sekaligus berdoa agar bukan itu rencana individu yang belum jelas keberadaannya ini.

“Ada kemungkinan lain… Karena kau keenakan trus dapat binor-binor itu dan jadi gak persiapan matang… Ada satu dua yang berulah ato variasinya affair-mu terbongkar sampe ke kuping orang rumahmu… Berantakan, kan? Boom!” Iyon membuat gerakan seakan ada sesuatu yang meledak. Ini seperti yang ada di dalam realitas palsu itu. Kalo ada di dunia pararel, masa depan itu mungkin yang kejadian padaku dan keluargaku.

“Itu yang kejadian di realitas palsu buatan oppung itu, Yon… Kejadiannya di masa depan… Anak-anakku sudah pada besar dan rusak semua… Aku sudah cere dengan orang rumahku… Itu-itu mengerikan…” ungkapku. Iyon dan Kojek hampir bersamaan bersandar ke jok mobil yang mereka duduki. Muka keduanya juga ketat. “Kalian… kalian ngalamin kek gitu juga?” tanyaku menebak dari ekspresi mereka berdua.

Kojek meneguk ludah. Lehernya yang kurus terlihat jelas gerakan jakunnya turun naik. Pandangannya kosong. Gak kurang ekspresi yang mirip-mirip ditampilkan Iyon. Ia menatap jauh ke hadapan. “Abis itu aku gak selera lagi sama perempuan itu…” kata Kojek. Mungkin maksudnya si Sarah itu. Ia gak kunjung mau menceritakannya.

“Itu yang bisa kupikirkan apa yang mungkin kejadian… Entah kalo ada kemungkinan lain aku gak bisa memikirkannya…” tutup Iyon hanya memandang ke depan.

“Udah sebelas, Seng?… Anakmu nanti entah berapa…” kata Kojek.

—————————————————————————-
Setelah percakapan itu, Iyon mengantar Kojek balik ke rumahnya di Porsea dan mengakhiri petualangan kami. Mobilku masih parkir di depan rumah. Aku menunggu salah satu ART sadar kalo mobilku ada di depan. Lebih baik nanti pagar rumahku ini kupasangi pembuka otomatis aja jadi aku gak harus ngerepoti siapa-siapa kalo pulang terlambat kek gini. Bisa jadi nilai jual juga bagi yang nyewa nanti.

Gerbang rumah Karina di depan sana terbuka. Ia melambai-lambai padaku. Aku buka pintu mobil begitu ia meletakkan sesuatu di depan sana. Itu HP, baju dan dompetku dalam sebuah bungkusan plastik. Sebenarnya aku tak berpakaian saat tiba pertama kali di Bahama, bertelanjang dada. Aku dipinjami baju Kojek yang saat ini kupakai. Kuambil bungkusan plastik itu. Karina sudah masuk lagi ke rumahnya dari tadi.

“Halo?”

“Bang Aseng? Bang Aseng kemana tiba-tiba hilang gitu aja? Karina takut banget…” tanya perempuan itu begitu kuhubungi dia.

“Ada sedikit masalah, bu Karina… Tapi udah beres, kok… Ibu langsung pulang abis itu, kan?” tanyaku balik.

“Iya, bang… Saya bingung dan takut banget bang Aseng kenapa-napa… Saya gak tidur semalaman ini nungguin bang Aseng muncul… abis HP sama dompet sama pakaian bang Aseng ketinggalan semua di hotel… Saya gak tau harus nanya kemana… Gak mungkin saya ngubungin rumah abang, kan?” jawabnya masih ada nada panik di suaranya. Bagus dia tau cara main di game panas ini.

“Ada sedikit masalah ini, bu… Di Bahama kemaren… kenal sama yang namanya Paul ato Abigail?” tanyaku mencoba korelasinya.

“Paul? Abigail? Kenal, dong… Bang Aseng tau darimana nama itu? Ada apa, bang?” tanyanya mulai panik lagi. Aku lalu menjelaskan apa yang telah terjadi. Usaha penyembuhan yang dilakukan Paul pada dirinya secara diam-diam. Bentrok dengan usaha serupa yang akan kulakukan. Karena menganggap aku sebagai gangguan asing, aku ditarik ke Bahama untuk dikenakan Koro agar tak bisa mencelakai Karina. Karina lalu menceritakan kalo selama berlibur kesepiannya di Bahama, ia cukup akrab dengan keluarga Paul dan Abigail. Ia seperti menemukan keluarga baru di sana. Ternyata selama itu, ia menjalani pengobatan diam-diam juga.

“Mm… Begitu, yaa… Tapi semua sudah selesai, bu Karina… Sudah tidak ada salah paham lagi, kok… Sudah clear… Jangan singgung ini lagi kalo berhubungan dengan mereka…” kataku lega semuanya sudah berakhir dengan baik.

“Trus… gimana, bang Aseng?” ini mirip desakan karena urusan dengannya belum selesai. Apalagi kami berdua sama-sama kentang.

“Kita jadwal ulang lagi ya, bu… Gak boleh lama-lama… Nanti saya kasih tau waktunya…” kataku mengakhiri percakapan kami ini. Ini karena mataku sudah semakin pedas dan ngantuk berat juga. Misnan, tukang kebun dan water treatment kolam rumah membukakan pintu gerbang untukku. Ia baru saja tiba untuk mulai kerja.

Waktu setor muka ke istriku, ia merengut tapi tak bertanya. Ia mengikuti aku yang menuju kamar mandi. Aku tau apa yang dicarinya. Tapi dia tidak menemukan aroma alkohol atopun aroma mencurigakan lainnya karena bukan untuk alasan itu aku gak pulang semalaman. Aku mengatakan padanya untuk tidur sebentar sebelum pergi ke kantor nanti. Box tidur Salwa kosong yang berarti anakku sudah diurus baby sitter-nya. Aku bisa tidur di kamar ini tanpa gangguan. Aku gak perlu sarapan saat ini, hanya perlu tidur.

“Lecek kali muka lu, Seng?” lirik kak Sandra waktu kuserahkan beberapa laporanku padanya. “Kurang tidur lu?” tebaknya. Mungkin mataku merah. Aku tadi udah mencoba teknik deep sleep. Berhasil sih tanpa gangguan mimpi apapun tapi itu gak mengurangi gayutan banyak pikiran yang mengendap di kepala.

“Cuma banyak pikiran aja, kak…” jawabku mengambil kembali laporan itu. Menumpuknya dengan kerjaan baru yang dilegasikan padaku. Perhatianku teralih karena Tiwi datang menghampiri kami dan menyerahkan sebuah benda padaku. “Apa nih, Wi?” terimaku benda berbentuk undangan.

“Datang ya, bang… Undangan kawinan Tiwi itu, bang…” katanya kek biasa, agak kekanakan. Memang ini ada namanya tercetak di undangan pernikahan. Pratiwi Wulandari & Sebastian Pratama.

“Yakin kau mau kawin, Wi? Udah bisa masak belom kau?” tanyaku menggodanya.

“Ish… Sepele kali abang… Pande awak masak, ya…” katanya menarik bibir atas mencemooh guyon gitu.

“Masak aer…” sambung kak Sandra.

“Masak mie…” sambungku juga.

“Ish… Cici… Pande awak masak-loh… Besok awak bawak’in masakan awak… Tengok aja…” katanya sesumbar kalo ia bisa masak. Aku dan kak Sandra ragu omongannya mengingat gimana karakter anak gadis satu ini yang kadang masih kekanakan dan kolokan. Ia bergegas ke meja kerjanya, googling sana googling sini trus ngeprint satu resep masakan; nasi goreng. Aku dan kak Sandra tertawa tak bersuara.

“Apa sih? Sepele kali?” gerutunya kheki.

“Wi-Tiwi… Kawin itu bukan cuma masalah pesta nikahnya aja… Kau udah siap bangun pagi nyiapin sarapan untuk lakikmu? Nyuciin bajunya?… Nyetrikain bajunya?… Belom lagi kalo nanti kau hamil kek kak Sandra ini… Bentar-bentar muntah… Lemes… Gak keurus lakikmu… Jadi kalo sekarang masih gadis aja semua yang ngerjain itu tadi mamakmu… Wasalam-la ceritanya… Pulang lakikmu ke rumah mamaknya… Jamin abang…” kataku memberinya sedikit nasehat pedas tentang realita pernikahan.

Dinasehati begitu bukannya nerima malah merengut kekanakan khasnya, jalan menghentak keluar ruangan, merajuk ceritanya. “Itu nanti kakak resign… awak harus terus make dia jadi asisten ya, kak?”

“Terserah lu…” kata kak Sandra cuek hanya geleng-geleng kecil aja balik ke pekerjaannya. Kok tahan kak Sandra kerja dengan orang kek gitu? Padahal perfeksionis gini kak Sandra dihadapkan dengan seorang asisten yang kontra-produktif. Apa karena memang gak kerjaan kantor yang dikerjakan Tiwi, ya? Hanya bantu-bantu aja ngerjakan hal gak penting di luar kerjaan administrasi. Semua kerjaan itu dilakukan kak Sandra sendiri tanpa bantuan asistennya.

—————————————————————————-

Karina

“Sori ya, bu Karina… Jadi melar kemana-mana waktunya? Bu Karina belum mulai masuk kerja?” tanyaku.

“Belum… Saya ambil cuti 14 hari… Lusa baru masuk kerja kembali… dan itu langsung mengajukan surat pengunduran diri…” jawabnya lebih rileks malam ini. Ia santai aja membuka semua pakaiannya hingga hanya meninggalkan pakaian dalam berwarna peach senada bra-CD-nya hingga ia seperti sudah telanjang tak berpakaian lagi. Ini hotel yang berbeda dari yang kemarin malam agar tak mencurigakan. Tapi masih di seputaran lokasi yang sama hingga masih bisa terlihat lapangan milik instansi militer itu. “Biasanya ada jeda sebulan sebelum saya benar-benar berhenti untuk menyiapkan pengganti saya…” ia melepaskan bra-nya sendiri dengan menjangkau ke belakang punggung. Sepasang susu kenyal itu terpampang jelas lagi dihadapanku. Bulat indah dengan puting besar berlingkaran aerola besar juga sudah menegang.

“Pas lagi hot-hot-nya… bang Aseng hilang menghilang begitu aja kemarin malam… Gak ada masalah lagi harusnya kan, bang Aseng?” ucapnya lalu menggerai rambutnya yang dari tadi diikat. Hanya sebuah celana dalam mini berwarna peach yang masih merekat di tubuh indahnya.

“Harusnya gak ada, bu Karina… Kemarin itu ada salah paham aja sama Paul… Udah beres!?” kataku menangkap satu gerakan kecil di tepian geraian rambutnya. Seperti ada tangan yang bergerak di belakang sana, mengelus rambut panjangnya… Bergerak-gerak dengan pelan memainkan helai rambut Karina. Karina merasakannya juga dan ia tak berani bergerak dan bersuara.

Cepat-cepat aku menangkap sebelah kanan tangan Karina, menariknya tapi seperti ada sesuatu yang merangkul lehernya. Sesuatu yang tak terlihat. Dari betotan yang terjadi, aku beranggapan ada tangan yang mengalungi leher Karina dari belakang sebelah kiri melintangi dada ke kanan dan mencengkram bahu kanannya. Menahan tubuh perempuan itu agar tidak lepas dari cengkramannya.

Setan apa lagi ini?!

Kulayangkan sebuah pukulan memutar ke belakang kepala Karina yang pucat ketakutan. Tinju kiriku membentur sesuatu yang tak kasat mata di belakang sana. Seperti mengenai wajah seseorang. Kulit leher dan bahu Karina secara ghaib seperti sedang ditekan sesuatu. Kuraih apapun itu untuk melepas cengkraman mahluk apapun itu dari tubuh Karina. Bentuk tak terlihat itu seperti tangan yang kurengut untuk menjauh. Leher Karina kutepis menjauh dari tubuh tak terlihat itu. Cerdik ia berpindah ke belakangku untuk berlindung. Aku masih memegang, memelintir tangan kurus mahluk tak terlihat ini. Kutendang, ke arah yang kuprediksi adalah bagian rusuknya. Terdengar suara mengeluh.

Kutarik sprei ranjang hotel dan kujaring ia dengan kain itu. Bentuk mahluk itu terlihat dengan jelas sekarang. Tingginya lebih dariku sekitar 180-190 cm-an gitu. Lengkap dengan kepala, tangan kaki. Kutendang mahluk yang tak terlihat itu lagi di bagian kepalanya hingga ia terbanting ke dinding Timur kamar. Ia berusaha berdiri dengan suara terengah-engah. Kain sprei masih membungkus tubuhnya. Mahluk ini kurang pandai berkelahi hanya mengandalkan kemampuan tak terlihatnya untuk beroperasi. Panik ia berusaha melepaskan kain sprei yang membalut tubuhnya.

“SHRAK!!” dua sisi kain sprei terkoyak seperti ada sepasang sayap yang terkembang dari tubuhnya. Ia berhasil berdiri dan mengenyahkan pembungkus tubuhnya. Tapi masih ada cabikan kain sprei yang menempel hingga aku tau kemana ia bergerak, ke arah jendela! Dibukanya jendela sorong dengan cepat dan melompat keluar. Kukejar ke arah jendela. Karina mengikutiku lebih karena takut.

Di kegelapan malam ia menon-aktifkan kemampuan menghilangnya karena aku bisa melihat sosok tubuhnya yang bersayap. Sayapnya tidak dipakai untuk terbang, melainkan hanya untuk mengambang turun seperti parasut. Ia mengarah pada lapangan luas milik instansi militer itu. Hanya di tengah lapangan yang terang dan disekelilingnya gelap. Dia bisa menghilang disana. Cepat aku berbalik dan memeriksa Karina.

“Apa-apa itu tadi, bang?” tanya Karina masih syok akan pertarungan singkatku tadi. Aku memeriksa sekujur tubuh Karina yang hampir telanjang. Apakah ada tanda-tanda sesuatu yang telah dilakukannya pada perempuan ini. Gigitan misalnya…

“Siluman kelelawar…” bisikku masih memeriksa cermat tubuhnya. Aku gak boleh meninggalkan satupun bagian tubuhnya tak terperiksa. Aku menghadapinya hadap-hadapan setelah ia membiarkanku melakukan visual check barusan. Tak ada luka yang terjadi di fisik Karina yang putih mulus yang artinya mahluk itu belum sempat melakukan apapun padanya.

“Vampir, bu Karina…” kataku memperkirakan mahluk apa yang kami telah hadapi tadi. Aku harus berfikir cepat sebelum mahluk itu berhasil mendarat di lapangan. Aku harus segera membasminya segera. “Pakai baju sekarang… Turun ke lobi dan tunggu awak di sana…” aku sudah menghunus mandau Panglima Burung. Karina melotot melihat senjata tajam yang kupegang. “Sekarang!” aku langsung naik ke jendela.

Aku gak menunggu lagi Karina memakai lagi pakaiannya. Mampos! Ini lantai 7 hotel ini ketika aku mencondongkan badanku keluar dari jendela masih berpegangan pada tepian jendela. Tinggi kali ini, makjang! Tapi aku harus buru-buru. Dan gak mikir panjang aku asal lompat aja ke arah parkiran hotel. Tubuhku melayang jatuh. Vampir itu melayang turun hampir mendarat sekitar 5 meteran lagi. Biar dia aja yang mampus!

“Pedang Selatan Memupus Angin…” aku membelakangi arah jatuhku dan menghadap ke dinding hotel yang baru kutinggalkan. Tebasan jurus pedang Selatan ini menghantam dinding solid hotel meninggalkan sebuah luka menganga. Efek tebasan ini menyebabkan aku yang minus pijakan kuda-kuda terdorong cepat menyusul vampir yang melayang turun itu. Kurapatkan kedua tanganku agar lebih cepat meluncur. Arah proyeksiku sudah tepat. Aku akan mendarat di punggungnya yang bersayap lebar dengan bahan kulit tipis untuk menahan laju terbangnya.

“BRUGGH!!” keras aku menubruk tubuhnya. Lajuku berkurang dari yang meluncur 100 km/jam sampai berhenti sama sekali. Aku melenting menjauh karena ketinggian mendarat sudah aman. Lain halnya dengan mahluk pukimak satu itu, tubrukan barusan membuatnya langsung mencium tanah dengan telak. Tubuhnya terseret-seret di tanah dengan kepulan debu tebal. Sial baginya tanah lapangan sangat kering dan keras saat ini. Lapangan yang kerap dijadikan venue konser musik atau acara seremonial ini berlantai tanah berumput jarang.

Tubuh vampir itu menggeliat-geliat mengenaskan karena ada beberapa bagian tubuhnya yang patah. Tangan dan kakinya sangat kurus agar dapat terbang meluncur dengan mudah. Tapi vampir ini bentuknya sangat berbeda dari yang pernah kutemui sebelumnya, hanya sayapnya yang berwarna hitam berbulu halus seperti kelelawar. Tubuhnya yang lain masih seperti kulit manusia yang berwarna putih pucat. Mulutnya berdarah dengan nafas tersengal-sengal dari dada kurusnya.

Dengan ujung mandau-ku kutolehkan mukanya agar aku bisa melihat wajahnya. “Anak mana kau?” tanyaku tentu mengancamnya. Kalo ia gak mau jawab, jaminan kepalanya lepas dari badannya. Air mata mengalir dari bentuk mata hitam legamnya. “Anak mana kau?” ulangku lagi masih berbaik hati. Kalo gak dijawab juga, abis dia. Mukanya masih ada fitur manusianya, sepertinya orang asing. Bule.

“Pardonne-moi… Merci… Merci…” suaranya keluar tapi ngomong apa dia? Mearsi? Mersi? Mercy? Mau pamer mobil mercy dia? Gak tau dia kalo di Indonesia sini mercy cuma jadi bus pariwisata. Keknya ini bahasa Prancis ato apa gitu.

“Speak English! I don’t speak France…” (Ngomong Inggris! Aku gak bisa ngomong Prancis) kudorong pipinya dengan sisi mandau-ku agar menghadap padaku. “Or better speak bahasa…” (Atau lebih baik pake bahasa Indonesia aja)

“Ampyuun… Ampyunn…” ia bisa ngomong Indonesia rupanya. Bagus. “Chère soeur…”

“WHUFFT!” terasa angin kencang mengincar belakang leherku yang refleks kutangkis dengan mengayunkan sisi tajam mandauku membentur apapun serangan yang menyasarku. “PRAKK!!” Sekelebat aku melihat mahluk yang hampir identik dengan yang meringkuk di tanah, menyerangku dengan kakinya yang berkuku tajam lalu nge-blitz hilang. Ada sedikit perbedaan dengan yang sudah kulumpuhkan ini. Kutoleh ke belakang, vampir yang di tanah itu juga hilang. Hanya ada kepulan debu tipis bekas gerakan penyelamatannya.

“Kimak-la!… Ada dua vampirnya… Ada-ada aja-pon masalahnya!… Mau ngentoti binor aja sampe dua kali terganggu kek gini…” gerutuku menebas-nebas angin dengan senjata tajamku. Ah… Aku harus cepat-cepat kabur dari tempat ini. Ditangkap aparat pulak nanti aku bawa-bawa sajam kek mau tawuran. Pengendara kendaraan bermotor udah pada berhenti ngeliatin aku yang kek orang gila marah-marah sendiri.

Aku harus menyusul Karina yang menungguku di lobi hotel. Takutnya dia diculik mengingat gerakan vampir kedua itu sangat cepat. Selama aku mengejar vampir pertama, aku tidak tau bagaimana keadaan Karina yang kusuruh pergi ke lobi hotel. Lari kek kesetanan aku memasuki lobi hotel. Beberapa orang hampir kutabrak karena maunya buru-buru aja. Mataku jelalatan mencari bentuk binor cantik yang sudah dua kali gagal kugagahi. Aku panik tak menemukan dia dimanapun di lobi hotel ini. Di sudut dekat front office gak ada. Di kursi-kursi tempat tamu biasa menunggu tak ada. Kemana dia…?

Apa diculik vampir-vampir itu? Kimak! Kimak!

“Bang Aseng…” aku langsung menoleh dan itu dia. Langsung nyess… dadaku lega.

Gak pernah aku selega ini ngeliat binor bukan binikku di tempat umum begini. Hampir aja kupeluk dia kalo gak ingat-ingat pandangan banyak orang di lobi hotel ini. Kimak klen! Mau ngentot jugak-nya klen di hotel ini. Cuma dalam hati aja aku ngedumelnya. Kutarik Karina keluar dari hotel ini. Menjauh sejauh-jauhnya.

“Gimana ini, bang?” tanya Karina masih takut. Tentu aja dia takut dan patut takut. Vampir-vampir itu masih ada di luar sana. Entah ada berapa jumlahnya karena aku baru bertemu dua dan sepertinya keduanya saling bekerja sama. Mungkin keluarga ato kelompok gitu.

“Karina pulang dulu… Gak aman ada di luar sini…” kataku mengarahkannya ke parkiran mobil. Aku melirik ke atas hotel. Bekas tebasan jurus Pedang Selatan Memupus Angin membekas di dinding berupa koyakan lebar memanjang merompalkan lapisan semen hingga dalam. Kalo semua vampir itu punya kemampuan menghilang tak terlihat seperti vampir pertama itu, mereka bisa aja ada di sekitarku. Karina mengendarai mobilnya sendiri sementara aku mengawasi keadaan.

“Tadi saya ngeliat salah satu tetangga kita di blok YY… Makanya saya ngumpet takut ketauan dia…” ungkap Karina selagi nyetir. Makanya tadi aku kesulitan menemukannya di lobi. Bagus dia ngeliat orang itu duluan jadi bisa inisiatif ngumpet agar gak ketahuan ketemuan di hotel dengan lelaki lain. Bisa-bisa jadi gosip yang mengerikan kalo kesebar.

“Siapa?” aku masih jelalatan ngawasin keadaan. Aku jadi sangat parno saat ini. Kilasan lampu terang dari arah sebaliknya sering kukira serangan lawan. Apalagi lampu jalan yang berjejer rapi di tepian. Mataku jadi sensitif sekali.

“Rumahnya di belakang rumah bang Aseng… Bule Prancis…” jawabnya. Sontak aku berpaling padanya.

“Orang Prancis?” ulangku dengan muka ketat.

Bersambung

Tante sis, aku ketagihan memek kamu
Cerita Panas Menjadi Pemuas Nafsu Tante Girang
belahan dada pembantu
Nikmatya Memek Sempit Pembantu Ku
gadis suka ngentot sejak kecil
Kakak Kandungku Sendiri Yang Telah Mengajari Sex
500 foto chika bandung saat masih perawan pertama kali jalan sama pacar
mantan sexy
Perpisahan ternikmat dengan mantan pacar tercinta
tantehot
Perselingkuhan Ku Dengan Tante Yang Kesepian Bagian Satu
Foto Ngentot Abg Cantik di Hotel Melati
wanita sexy
Nikmatnya ngentot dengan wanita sexy yang punya tubuh menggoda
Ngewe dengan sepupu yang lagi hamil
sma sange minta di entot
Menikmati Keperkasaan Penis Guru Ganteng
Pembantu sange
Terpesona Dengan Pembantu Muda Yang Cantik Bagian Satu
500 foto chika bandung bugil di kamar sambil elus elus memek
Foto Tante Ngangkang Memek Masih Sempit
lesbi cantik
Naluri lesbiku mulai dari khayalan foto duo srigala
toge sma seragam
Menikmati meki kakak kelas yang bikin ketagihan