Part #48 : Karina

Akibat amuk massa, sebuah rumah di daerah Simalungun habis ludes rata dengan tanah akibat diamuk si jago merah yang disulut warga yang marah main hakim sendiri. Insiden ini adalah buntut amuk warga yang menuduh keluarga ini mempraktekkan ilmu hitam Begu Ganjang yang dikenal dapat membunuh korban yang ditujunya. Satu korban jiwa, lelaki tua berumur sekitar 70 tahun meregang nyawa di dalam bangunan rumah karena tak sempat menyelamatkan diri dari amukan warga…

Pagi-pagi disuguhi berita horor kek gitu, gimana perasaanmu? Aku sih senang-senang aja satu tokoh jahat sudah tumbang. Pikirkan berapa banyak nyawa yang akan kami selamatkan dengan musnahnya si oppung Datu jahat itu. Siapapun dia, etnis apapun, apapun modusnya akan tetap kami sikat. Itu semua tentunya kami lakukan dengan diam-diam dan terorganisir rapi sehingga tak ketahuan siapa kami sebenarnya.

Berasa jadi superhero? Gak… Udah terlalu lama kami berkecimpung di dunia supranatural ini hingga rasa bangga memiliki kekuatan ini tak menjadi racun lagi bagi kami. Yang ada hanyalah rasa ingin berbuat sesuatu aja walo sekecil apa kontribusi kami. Dukun-dukun jahat dan kroni-kroninya, konco-konconya akan selalu dalam radar pantauan kami. Aku berani bilang kalo Iyon dan Kojek juga melakukan ini setiap saat bila memungkinkan. Aku gak menampik kalo ada keuntungan yang kami dapatkan seperti yang kualami.

Keuntungan yang berpihak padaku karena sejauh ini, yang bersinggungan perlu bantuanku adalah para perempuan binor yang khusus minta satu hal; positif hamil! Berbagai masalah, modus ato cerita telah kuhadapi dan sebagian besarnya ada keterkaitannya dengan aspek supranatural. Ada dukun jahat, jin jahat, siluman jahat dan sebagainya.

Sejauh ini semua binor itu sudah hamil kecuali yang teranyar Andini dan yang belum kusentuh lebih lanjut, Karina. Apa kabar binor seksi mantan pemilik ilmu Kuyang turunan itu, ya? Sudah seminggu lebih ia berlibur sendirian entah kemana. Aku sama sekali tak mendapat kabar apapun darinya.

“Apa ini, kak?”

“Lu baca dulu… Program studi manajemen bisnis untuk para pekerja kantoran… Itu yang paling cocok buat lu kuliah… Jam kuliahnya sangat-sangat fleksibel… Ada kelas malam… kelas weekend… Lu kuliah disitu tau-tau aja lu jadi sarjana Ekonomi…” kata kak Sandra. Ini adalah beberapa lembar brosur program studi yang tadi baru dipaparkannya. Di brosur ada foto kelas yang sedang berlangsung. Pesertanya memang berpenampilan berumur semua. Keknya memang pas untukku. Tapi sayangnya gak ada yang kinyis-kinyis gitu, mahasiswi muda…

“Jadi lu bisa aplikasikan apa yang lu pelajari langsung di kerjaan saat lu jadi Factory Manager nanti…” imbuhnya tentang kelas itu. “Kelas-kelasnya seperti yang wa bilang tadi fleksibel… karna lu tau sendiri orang kantoran kayak kita ini sibuk banget… Jadi tugas-tugas yang biasa diberikan pada mahasiswa reguler bisa dibilang sangat minim… Tapi ya itu… karna ini kelas khusus… uang kuliahnya jauh lebih mahal dari yang reguler… Nanti wa coba ajukan ke bos supaya lu dibiayain dari kantor untuk dua semester pertama…” katanya lagi.

“Gak usah-la, kak… Biar awak bayar sendiri aja…” tolakku.

“Bukan itu maksudnya… Tau wa lu sanggup bayar uang kuliah itu… Tau… Tapi ini agar lu serius belajarnya… karena dibiayain kantor… Gitu, Seng…” kak Sandra memberikan alasan utamanya.

“Ya serius-la awak, kak… Gini-gini dulu waktu sekolah awak termasuk pintar-loh, kak…” kataku gak bermaksud menyombongkan diri.

“Tau lu pinter… Makanya wa mati-matian ngedorong lu supaya maju kek gini…” ia menunjuk-nunjuk ke arahku seperti yang kerap dilakukannya. “Lagian wa juga gak mau bibit anak wa sembarangan juga… Orang Jawa bilang bibit-bebet-bobot… Lu orang Padang, ya? Nah… Bibit-bebet-bobot lu cukup-lah jadi bibit buat calon anak wa… karena menurut penelitian tingkat intelejensia anak itu tergantung dari ibunya… Tapi wa gak mau sembarangan juga, kan… Lu lumayan-lah…”

“Kok kayak gak iklas gitu bilang lumayan-nya, kak?” cemberutku. Ia tertawa tanpa suara.

“Iya-loh… Yang penting kontol lu enak… Dah… Puas?” katanya tersenyum lebar.

—————————————————————————-
“Papa mau kuliah?” tanya istriku heran malam itu saat kusampaikan rencanaku. Aku mengangguk mantap. “Jadi kerjanya gimana?”

“Kuliahnya malam, ma… Weekend juga…” jawabku.

“Apa gak capek?” tanyanya lagi tentu khawatir.

“Pastinya capek, maa… Tapi demi kemajuan kita… gak pa-pa… Harus ada pengorbanan tentunya…” jawabku.

“Tapi mama gak minta yang sebanyak ini, pa… Ini sudah lebih dari cukup… Papa juga harus jaga kesehatan… Terlalu banyak diporsir… nanti papa nge-drop… Anak kita masih kecil-kecil…” ungkapnya. “Di keadaan sekarang ini aja mama udah bersyukur kali… Yang penting papa sehat aja… Itu yang utama…”

“Iya, maa… Nantinya papa bertambah sibuk… Mama jangan mikir yang aneh-aneh, ya? Nanti papa gak selalu ada menemani mama…” terawangku mengingat berbagai kesulitan yang akan kami hadapi akibat putusan ini.

“Enggak, pa… Mama tau papa lagi sibuk… Eh tadi siang mamak (ibuku) nelpon…” ia tiba-tiba teringat ini.

“Ya… Ada apa? Apa dia mau pulang ke Medan?” tanyaku karena setelah pernikahan Selvi di kampung, ia belum pulang sama sekali kemari. Aku belum menunjukkan padanya rumah ini.

“Enggak… Cuma ngasih kabar aja kalo mamak mau ikut Selvi ke Surabaya… bareng tinggal di rumah kontrakan Dedi (adik iparku)… Nemanin Selvi karena Dedi bakalan pergi melaut lama…” jelasnya. Begitulah nasib jadi istri pelaut. Bakalan sering-sering ditinggal lama. Tugasnya bisa sebulan-dua bulan baru kembali ke Surabaya lagi. Karena itu ibuku menemani anak bungsunya di sana. Istriku sempat menyarankan mereka berdua ke Medan saja karena ada banyak kamar kosong di rumah ini. Tapi Selvi-nya yang gak mau, katanya mau jadi istri yang sholehah apa gitu. Ia maunya dia standby di Surabaya begitu suaminya berlabuh. Sempat juga disinggung apa sudah ‘isi’ mengingat ketiga istri ajo Mansur yang berbarengan waktunya dengannya udah duluan. Tapi katanya belum.

Tak lama Tiara datang laporan kalo Rio dan Salwa sudah tidur. Kami kembali mengajaknya ngobrol-ngobrol tapi ditolaknya karena udah ngantuk. Jadilah kami berdua saja yang ngobrol di tepi pelataran kolam dengan cemilan dan minuman sampai hampir tengah malam. Masih terbayang-bayang di ingatanku realita palsu yang ditanamkan Pangulubalang oppung Datu di kepalaku tentang masa depan kelamku dengan istriku tercinta. Begitu depresinya aku di realita alternatif itu hingga aku sampai memutuskan akan bunuh diri. Mengerikan…

Pangulubalang itu dapat menggali ketakutan terbesarku yang berkutat di seputar keluarga. Ia mengaduk-aduk emosiku dengan membuat gambaran negatif kedua anakku yang rusak. Anakku yang masih bayi manis ini jadi remaja yang liar. Rio yang menjelang dewasa jadi pemabuk dan pemadat. Ditambah lagi aku bercerai dengan istriku walo digantikan empat istri cantik. Aku tak tau bagaimana cara kerjanya, tetapi Pangulubalang itu mengamplifikasi ato menguatkan ketakutan korbannya berlipat ganda hingga menjadi semacam kenyataan semu yang mengerikan. Baik aku, Iyon dan Kojek hampir bunuh diri di dalam realita palsu itu.

Kami bertiga tidak bisa menjadi contoh yang cukup baik karena mengambil pilihan menyerahkan si oppung Datu pada masyarakat untuk diadili. Ini kami juga sudah menjadi korbannya. Masyarakat pastinya akan mengambil hukuman terberat yang berujung kematian akibat main hakim sendiri. Malam itu muncul penampakan Begu Ganjang di sekitar rumah si oppung Datu yang seakan baru pulang bertugas. Masyarakat yang sudah lama curiga akan tindak tanduknya langsung menggerebek rumah itu dan menemukan orang tua itu di depan bakaran kemenyan dan berbagai peralatan klenik-nya. Lengkap dengan boneka fisik Pangulubalang, foto-foto korban yang sudah diberi berbagai perlakuan sesuai permintaan kliennya dan lain sebagainya. Massa marah dan membakar tempat itu sampai rata dengan tanah. Ada dendam dan takut di sana.

Ujung-ujungnya berbuntut pada kasus hukum karena keluarga oppung Datu tentu tak terima perlakuan masyarakat pada kerabat mereka. Masyarakat kompak kalo mereka melakukan itu bersama-sama dan bersedia ditangkap semua. Gimana ceritanya mau menangkap satu kampung? Polisi tentu bingung saat itu dan kasus ini jadi menggantung tak jelas. Tapi masyarakat terlanjur merasa puas. Ini realitanya.

—————————————————————————-
Pendaftaran kuliahku udah selesai, pembayarannya juga udah. Perusahaan yang jadinya membiayai uang kuliahku berkat lobi yang dilakukan kak Sandra pada bos besar kami. Alasannya tetap agar aku rajin dan giat belajarnya dengan beban disubsidi perusahaan. Tentunya ini berimbas aku harus melaporkan nilai hasil ujian-ujianku kelak. Kuliah perdana akan dimulai di awal bulan. Tidak seperti mahasiswa baru umumnya, tentunya gak bakalan ada yang namanya ospek-ospek-an bagi kami. Lha orang isinya udah pada berumur semua. ABG= Angkatan Babe Gue semua isinya pasti.

Jadwal kuliah sudah kudapatkan dan berlangsung lumayan padat dari jam 7 sampe jam setengah 10 malam. Ada juga kuliah di malam Minggu dan Minggu pagi. Dengan prosentasi kehadiran kelas rata-rata 75%. Program ini tentu saja dipadatkan agar kami dapat setara dengan yang didapatkan bila kuliah reguler. Apalagi seperti yang dipaparkan kak Sandra kalo kelas ini akan jarang-jarang diberikan tugas perkuliahan. Lebih dominan ke pertemuan tatap muka saja. Waduuh… Berat, ya man-teman…. Tapi harus semangat!

Tinggal di kompleks begini, sedikit banyak kebiasaanku dengan Salwa agak berkurang tapi tidak hilang sama sekali. Sesekali aku masih menggendongnya berkeliling blok YY ini, menyapa para penghuninya sebagai tetangga baru yang ramah. Seperti pagi ini. Dari rumah aku berjalan perlahan saja karena sesekali menuntun Salwa yang mulai belajar jalan. Kala lelah kugendong lagi tubuhnya yang semakin berat aja tiap bulannya. Ia senang melihat anjing peliharaan warga yang sedang diajak keliling oleh tuannya. Ada yang gede kali seukuran Siberian Husky, sebrutal Pitbull atau malah yang imut sekecil Chihuahua. Kami singgah ke rumah Vivi dan Benget yang tak begitu jauh sebenarnya.

“Pagi Auntie Vivi… Dedek Nirmala… Auntie Bengeeeet…” sapaku pada mereka yang ada di depan teras pagi itu.

Cerah wajah-wajah mereka menyambut kami yang menyambangi mereka pagi-pagi begini. Apalagi mengingat bantuanku yang telah mengusir Kuyang yang mengincar Nirmala kala itu. Kudekatkan Salwa agar mengenal dedek bayi yang lucu dan imut itu. Ia terlihat senang melihat bayi yang lebih muda darinya.

“Apa sih, bang Aseng? Masak awak dipanggil auntie juga? Uncle Bens gitchu… Mala juga manggilnya uncle Bens… Halo cantik? Siapa namanya?” protes Benget rombongan dengan yang lain-lainnya. Vivi ketawa-ketiwi ngeliat tingkah teman akrabnya itu.

“Jangan pegang sembarangan, Benget! Ko kira anakku perempuan apaan? Nanti gumoh dia nengok bentuk kau itu…” aku lebih protes lagi kalo dia menjawil pipi chubby bayiku dengan gemes.

“Ish… bang Aseng gitu kali-laa… Awak udah disuntik rabies-loh… Steril awak… Roarr…” gesturnya mencakar. Jijik-jijik gimana gitu dengan tubuh kekar berisinya bisa gemulai.

“Vii… Gak eneg kau nengok mahluk kek gini tiap hari… Apalagi ada Nirmala disini… Nanti dikiranya laki-laki harus kek gini semua… Rusak nanti persepsi idealnya… gawat kau…” kataku bercandain si Benget terus. “Cak kau usirkan dia barang setahun-dua tahun ke Asam Kumbang (penangkaran buaya)… Biar agak balik dia ke habitat aslinya…”. Tambah ngakak Vivi mendengar candaanku.

Nongkrong di rumah Vivi sebentar aku harus pulang segera karena aku harus berangkat kerja. Sampe di depan rumah, aku melihat sebuah taksi berhenti di seberang rumahku. Tepatnya pada rumah Karina. Apakah itu dia? Sosok perempuan itu turun dari taksi dengan beberapa tas bawaannya. Ia sudah pulang dari liburannya. Dibukanya kaca mata hitamnya dan beralih memandang ke arah rumahku. Pandangannya tertumbuk padaku yang masih menggendong Salwa di depan pagar. Ia memberi kode telepon dengan jempol dan jari kelingking terbuka di dekatkan di mulut. Ia mengisyaratkan kami akan berteleponan dalam waktu dekat ini. Tak lama ia masuk ke rumahnya.

“Halo, bu Karina? Sudah cukup liburannya?” tanyaku dalam perjalanan menuju kantor. Aku memakai handsfree untuk aman dan nyaman berkendara. Safety first.

“Sudah bang Aseng… Ada oleh-oleh untuk bang Aseng yang saya siapkan…” jawabnya di seberang sana. Ia sepertinya masih dalam rumah, beristirahat sehabis perjalanan jauh. Kemungkinan besar sedang berendam di bathtub karena suaranya sedikit bergema.

“Ah ha ha hahaa… Gak usah repot-repot, bu Karina… Ibu sehat dan selamat aja sampe pulang aja itu udah bagus… Gak ada masalah selama liburan, kan?” tanyaku basa-basi aja sebenarnya. Aku lebih fokus menyetir.

“Saya sudah pergi liburan sendirian seperti yang bang Aseng sarankan… Satu minggu lebih… 11 hari tepatnya… Saya melancong ke Bahama… tempat yang indah dengan suasana pantai yang eksotis… Sudah lama saya kepengen kesana… Dan sepertinya ini waktu yang tepat…” jelasnya.

“Bagus kalo begitu… Gak ada masalah?” ulangku pada pertanyaan ini karena ia belum kunjung menjawabnya.

“Gak ada, bang Aseng… Cuma awalnya suamiku agak bingung karena saya cuma pergi sendiri… Ia ingin ikut awalnya tapi bentrok dengan pekerjaannya… Cuma basa-basi aja sepertinya… Jadi Karina punya waktu benar-benar sendiri untuk berfikir jernih… Ulang berulang… berulang-ulang terus dan kesimpulannya hanya ke jawaban itu… Satu jawaban itu…”

Ia terdiam dan kutunggu lanjutan kata-katanya. “… dan jawabannya adalah?”

“Tunggu sebentar… Selama liburan tak sekalipun suamiku mencoba menghubungiku… Kutahan-tahan juga untuk tidak memberinya kabar dan benar saja sampai liburan berakhir… tak ada sekalipun kudengar suaranya… Padahal dulu… Tiap satu jam sekali minimal ia akan mengirimkan pesan… lebih sering nelpon langsung… Perubahan yang drastis…” ia kembali terdiam. Aku harus sabar menunggu.

“Dan jawabannya adalah Karina akan mengundurkan diri… Dan yang terpenting… bang Aseng harus menutup lubang bekas itu dengan bibit bang Aseng…” ia mengutarakannya dengan lugas dan mantap tanpa ragu. Efek habis liburan menjernihkan pikirannya.

“Itu karena…?” tanyaku akan alasannya. Tentunya, untuk apa melakukan semua hal ini kalo ternyata rumah tangganya kini menjadi hambar. Untuk apa semua pengorbanannya ini di dalam mahligai yang tak lagi hangat. Kalo masalah pekerjaan, aku paham masalahnya.

“Awal yang baru… Saya gak begitu perduli kalau dia menjadi dingin… Saya juga gak begitu perduli kalau nantinya kami berpisah… Setidaknya nanti ada seseorang yang menjadi harapanku… masa depanku… Yang mulai dari awal, dari awal mengenalku… Tanpa ada embel-embel apapun… Yang lahir dari perutku sendiri… Tak mengapa semua berganti dan dimulai dengan awal yang baru ini…” paparnya akan hasil kontemplasi berliburnya hampir 2 minggu ini di kepulauan Bahama.

“Bayi sebagai awal yang baru, ya?” ulangku menyimpulkan. Semua yang sudah terpengaruh pengasihan Kuyang–yang sudah sangat baik padanya, memuja-muja dirinya, mengidolakannya, menjadikannya panutan—sekarang berbalik. Berubah drastis. Cuek dan tak diperdulikan lagi. Hanya dianggap sebagai biasa-biasa aja. Angin lalu. Berbahaya sekali hasil akhir hilangnya pengaruh Kuyang itu. Sampai sejauh ini implikasi psikologisnya. Mungkin Karina sudah berpikir untuk pindah jauh dari sini memulai lembaran baru begitu ia berhasil hamil. “Baiklah…”

“Makasih, bang Aseng… Secepatnya kita ketemuan, yah?” harapnya di sana. Di ruangan rumah yang berada tepat di depan kediamanku.

Kuparkir mobilku di antara mobil-mobil lain yang berjejer di pelataran parkir pabrik. Saat aku akan keluar, mobil kak Sandra juga melewati gerbang yang dibukakan security dan parkir di sampingku. Dia semakin montok aja di kehamilan mudanya ini. Karena usianya sudah tidak muda lagi dan juga beban pekerjaan, ia rentan cepat lelah. Toket dan bokongnya makin membesar aja, bikin gemes pengen ngeremes…

“Ngapain lu liatin kek gitu? Ngaceng lu pagi-pagi liatin wa?” sapa khas paginya saat membanting pintu mobilnya. Ia membawa sebuah tumbler besar berisi minuman kesehatannya, tas tangannya bergantung di siku dan menenteng HP.

“Pagi, kak… Sehat, kak?” sapaku tak menggubris ucapannya barusan. Kususul dia dan menjajari langkahnya.

“Sehat, Seng… Cibay… Wa jadi pengen ngentot pagi-pagi ketemu lu begini… Ngidam ya ini wa?” katanya random kali. Gak ada aku menggodanya dari tadi, udah mau ngentot aja bumil binor satu ini. “Buruan lu naik sana…”

“Kaak… O-kak… Masih pagi ini, kak… Gak ada awak gangguin kakak dari tadi… Baek-baeknya awak menunggu menejer awak… siapa tau ada yang bisa awak bantu… Kok jadi ngentot pulak ujungnya?” gerutuku.

“Bodo amat… Naik sana… Kalo ada Tiwi di situ lu usir sekalian…” katanya memasang muka jutek. Aku terpaksa naik ke lantai dua tempat kami bekerja dan langsung menuju ruangannya. Benar ada Tiwi, asistennya di sana dan benar-benar kuusir dia beli permen ke Zimbabwe.

—————————————————————————-
“Gak pa-pa di tempat begini?” aku larak-lirik ke penjuru tempat ini. Malam menggantung di langit gelap.

“Gak pa-pa…” jawabnya pendek aja. Tas miliknya dipangku dan HP-nya diletakkan di atas meja. Ada kedip-kedip lampu notifikasi yang tak diperdulikannya.

“Awak yang gak enak, bu…” sungkanku karena ini hanya sebuah warung sederhana pinggir jalan aja yang menggunakan plastik terpal sebagai atapnya, meja dan kursi plastik. Beberapa pengunjung lain cuek menikmati hidangan pesanan mereka.

“Kalo begini bisa dapat banyak kerang rebusnya…” Yap benar. Kami sedang kuliner-an lagi di daerah Simpang Limun. Ada banyak pedangang kerang rebus yang enak disini. Terakhir kami makan seafood sampe keblenger itu di restoran mahal, kali ini malah banting stir ke kelas pinggir jalan. “Karina suka sekali seafood-loh, bang Aseng… Jadi yang penting makanannya bukan tempatnya… Lagipula di sini enak-enak… Kerangnya asli dari Rantau Prapat…” paparnya ternyata benar-benar gak mengapa. Aku sudah gak asing dengan lokasi ini karena dulunya di sini tempat nongkrong Ribak Sude karena rumah Iyon tak jauh dari sini apalagi juga di daerah inilah letak warung kopi milik ayahku. Moga-moga aja gak ada yang mengenaliku nanti. Untung keberadaan kami agak tertutup dinding terpal.

Karina

Obrolan kami terhenti karena pesanan kami sudah datang. Kerang rebus dengan saus kacang-nenas yang sangat pas segar dan pedasnya. Tak puas hanya dengan satu porsi, Karina memesan lagi dan lagi dan aku mengimbanginya. Kami makan sepuas-puasnya dan senyum lebar.

“Enakan mana sama yang restoran waktu itu?” tanyaku sambil cuci tangan di kobokan pake potongan jeruk nipis.

“Sama-sama enak… Menangnya restoran itu mereka punya tempat bagus dan banyak pilihan menu… Menangnya tempat ini pilihan menunya spesifik, hanya kerang rebus… tempatnya oke-lah…” jawabnya setelah selesai membersihkan tangan dan mulutnya. “Tapi rasanya juara yang ini… Di Bahama kemarin itu makanannya aneh-aneh… Gak terlalu familiar walo sama-sama seafood juga…” sambungnya. Mengulang kuliner-an kami sebelumnya, aku menumpang mobil miliknya sementara Pajero-ku ditinggal di SPBU.

“Enak liburan sendirian gitu?” tanyaku membawanya kembali ke topik awal kami.

“Enaknya ada dan gak enaknya juga ada…” jawabnya.

“Enaknya apa dan gak enaknya apa?” tanyaku lagi.

“Enaknya… Kalo mau ngelakuin apa gak perlu nanya siapa-siapa… Kalo mau ke pantai tinggal pergi… Kalo spa tinggal pergi ke spa… Kalo mau tidur seharian gak usah keluar kamar… Enak… Nah gak enaknya… Sepi… Gak ada teman ngobrol… Kalo ngobrol paling SKSD sama turis lain ato warga lokal di sana… Terkendala bahasa juga… Logat mereka suka aneh Inggrisnya…” jelasnya.

“Ha ha hahaha… Untung awak belum pernah ke luar negri… Jadi gak pusing mikirin bahasa asing… he he hehe…” komentarku garing.

“Serius belum pernah ke luar negri, bang Aseng-nya? Liburan ato bisnis gitu?” herannya. Mungkin dipikirnya masa orang yang punya rumah segedong itu gak pernah ke luar negri. Becanda paling… Pernah sih ke luar negri itupun pake kemampuan teleportasi ajaib si Iyon. Tapi itu dulu. Duluuuu kali waktu awal-awal ia dapat menguasai dengan baik jurus B3 itu.

“Awak liburannya di sini-sini aja… Kemaren itu baru pulang dari kampung… Yaa sekalian liburan juga… Udah awak ceritain kemaren itu, kan?” kataku mengingatkannya. Ia manggut-manggut ingat pada pertemuan kami sebelumnya.

“Jadi gini, bang Aseng… Kita gak usah basa-basi trus, ya… Gini aja… Abang udah kasih saya waktu untuk berpikir… Saya udah ambil waktu itu dan mengambil keputusan untuk lanjut dengan… bisa kita katakan ini adalah pengobatan saya… Menutup lobang supranatural ini…” ia membuat lingkaran imajiner di depan perutnya. “Lubang yang sudah ditinggalkan Kuyang itu… Hanya abang Aseng yang dapat menutup lubang ini dengan bibit milik abang…” ia berusaha datar aja walo pasti dadanya bergemuruh dan jantung berdegub kencang mengutarakan ini semua.

“Awak mau mengingatkan sesuatu…” aku agak maju dengan meletakkan kedua sikuku di meja, lebih rapat padanya. Ia juga agak maju. “Bu Karina bisa hamil karenanya…” bisikku pelan lalu aku mundur. Karina terlihat meneguk ludah. Dari leher jenjangnya terlihat jelas gerakannya.

“Fine… Itu malah bagus… Side effect-nya malah menguntungkan…” ia mengatakan itu agak malu-malu. Ia menelisipkan juntaian rambutnya ke telinganya berusaha tidak gugup tapi malah gestur itu menunjukkan kegugupannya. Pandangan matanya tak menatapku saat mengatakan kalimat barusan. Lalu ia menjangkau HP-nya walo tak kunjung membuka kunci layarnya, hanya dipengangi dengan gerakan.

“Bu Karina bisa pakai kontrasepsi karena saya gak bisa… sebab syaratnya harus bibit saya, kan?” tawarku. Coba kita liat apa reaksinya. Kalo aku pake kondom, malah bibitku yang dimaksud si setan Kuyang waktu itu tidak akan bekerja optimal.

“Sekalian aja… Tidak apa-apa… Saya tidak keberatan, kok…” katanya masih mempermainkan HP-nya.

“Tidak keberatan punya anak dari saya?… Sebab gini, bu Karina… Ibu sudah pernah beberapa kali hamil, kan?… Tidak ada masalah medis ibu dan suami… Hanya saja si setan Kuyang waktu itu memakan semua janin-janin ibu… Ibu bisa mulai lagi dengan suami ibu… Sudah aman…” kataku lebih sedikit detail. “Awak sampaikan ini karena takutnya ibu nanti mikirnya saya ngambil kesempatan dalam kesempitan lagi…”

“Bukan… Bukan itu… Saya gak keberatan punya anak dari bang Aseng… Itu aja…” sebentar ia menatapku untuk menunjukkan kesungguhannya lalu ke HP-nya lagi.

“Alasannya? Sori kalo saya sedikit cerewet… Awak hanya mau yakin aja…”

“Keliatannya bang Aseng malah yang gak mau…” tantangnya.

“Kalo awak tentu mau… Laki-laki itu semuanya buaya, bu… Masak nolak se… secantik-bohay bu Karina ini… Buaya gak akan nolak bangke, bu… Cuma awak ingin tau alasan utamanya… Ya itu… Supaya awak yakin aja…” kutatap lekat wajah cantik malu-malunya. Ia mengumpulkan kata-katanya.

“Gak rugi kan… kalau saya punya anak dari ‘buaya’ sekuat bang Aseng… Yang telah mengusir setan itu dari tubuhku… Itu sangat ‘worth it’… Sangat tepat dan juga pantas… Selama bertahun-tahun ini gagal… Itu tadi… Awal yang baru… Moga-moga di awal yang baru ini… Dari ‘buaya’ yang baru ini… saya bisa sukses sembuh dan hamil sekaligus…” ia memakai jari quote-unquote di tiap kata buaya. “Apakah itu alasan yang cukup kuat?”

“Yaa… Bisalah…” kataku sambil sedikit memajukan bibir bawahku. Ia tersenyum melihat mimikku itu. “Dan peringatan lagi… kalo awak ini sangat subur… Sekali cusss… mungkin bu Karina langsung tekdung…” bualku.

“Wah kebetulan sekali… Saya juga lagi subur-suburnya, nih…”

—————————————————————————-
Mutar-mutar cari tempat lagi dan kami menjatuhkan pilihan pada satu hotel yang rasanya cukup representatif untuk acara buat enak dan anak ini. Gak canggung sama sekali dia jalan berdua memasuki hotel itu. Tapi aku memintanya duduk di lobi dulu sementara aku memesan kamar ke front office-nya. Selesai dan tak canggung lagi ia beriringan denganku menuju lift menuju kamar yang akan kami tuju.

Begitu sampai di depan kamar, ia yang masuk duluan dan aku menyusul dibelakangnya menutup pintu rapat-rapat. Diletakkannya tas miliknya di meja di samping ranjang lalu mengitari kamar untuk membiasakan diri. Aku hanya berdiri menunggu di dekat pintu, menunggu tanggapannya. “Ya… Cukup bagus…” katanya yang berdiri lagi di dekat tasnya tadi diletakkan. Ia sudah memeriksa sampai ke jendela kamar yang menghadap ke langit malam kota Medan. Di depan sana ada lapangan luas milik instansi militer yang kerap dijadikan pusat keramaian.

“Awak tau ini gak akan mudah untuk bu Karina… Kalo perlu ngobrol dulu… Kita ngobrol santai dulu…” kataku bergerak mendekati sofa yang ada di depan ranjang.

“Gak perlu, bang Aseng… Saya sudah gak sabar sebenarnya…” sahutnya malah mengalihkan tangannya ke lengan baju kaos santai miliknya. Ia meloloskan pakaian itu dari bagian lengannya dahulu. Begitu bagian itu terlepas lalu ia meloloskan bagian lehernya kemudian. Glek! Aku sudah menatap tubuhnya yang masih memakai bra ketat yang membungkus payudara montok seorang binor yang sudah bolak-balik hamil tapi selalu gagal. Dilipatnya kaos itu dengan menunduk. Kesan malu-malunya itu yang membuatku menjadi sangat terangsang sekali saat ini. Diletakkan kaos yang sudah terlipat itu di atas meja bersama tasnya. Aku harus mengimbanginya.

Mengetahui kalo aku juga melepas kemeja yang kukenakan ini, ia mendongakkan kepalanya untuk melihatku. Masih malu awalnya tapi semakin lebar ketika aku sudah bertelanjang dada dan mulutnya semakin membuka. “Bang Aseng badannya bagus… Sering olahraga, ya?” tanya Karina tapi memeluk bagian dadanya untuk menutupi. Entah malu ato kurang percaya diri.

“Karina juga… Pasti banyak yang ngelirik waktu di Bahama sendirian kemarin itu…” balasku memujinya aku mendekat dan menjaga jarak lima langkah darinya. Sebagai seseorang yang menguasai bela diri silat harimau, menjaga jarak adalah hal yang lazim kulakukan.

“Saya kan udah lumayan berumur, bang Aseng… Gak pernah olah raga lagi…” katanya merendah.

“Ha ha hahaha… Bu Karina merendah terus… Sori ya bu Karina… awak mau ngasih tau rahasia dikit… Waktu itu… di atas rumah ibu waktu itu… saat awak menangkap kepala Kuyang itu dengan kandang ayam… awak kan nyuruh badan bu Karina yang gak ada badannya untuk naik ke atas… Cukup lama awak nungguin badan ibu sampe ke atas… Awak udah liat tuh semua badan bagus ibu… Telanjang, kan?” kataku mengingatkannya. Abis itu ia menutup dirinya dengan sebuah kain sprei jemuran yang lupa diangkat ART-nya. Ia mengangguk membenarkan hal itu.

“Jangan tersinggung tapi yaa?… Waktu itu awak udah grepe-grepe tubuh bu Karina… Abisnya seksi kali…” kataku. “Mungkin bu Karina gak ngerasain itu karena masih terpengaruh setan Kuyang itu… Tapi beneran saya gak tahan… Sori ya, buu…” pipinya menjadi merah seperti tomat dan ia menunduk malu. Pelukan pada dadanya membuat gundukan itu semakin tertekan menggelembung. “Jadi gak perlu malu… lagi…” aku lebih mendekat dan kuelus kepalanya. Ia mendongak untuk menatapku.

“Tangan ini sudah menyentuh semua bu Karina waktu itu…” kuacungkan tanganku dengan lima jari terkembang. Lalu dikerucutkan hingga satu telunjuk saja. “Yang ini bahkan sudah memasuki tempat spesial di bawah sana…” aku ingat bahkan sudah mengobel kemaluannya yang herannya saat itu basah. Ditatapnya jari telunjuk itu. Dan kejadian mengejutkan kemudian terjadi karena ia meraih tanganku yang masih mengacungkan jari telunjuk dan mengemutnya. “Ahh…” mulutnya yang basah dan hangat menyelimuti jari telunjukku. Lidahnya bermain-main di permukaan jariku. Disedot-sedot perlahan dengan mata terpejam. Gimana kalo Aseng junior yang disedotnya. Memikirkan itu, ia menggeliat bangun.

Karina memegangi tanganku dengan kedua tangan sekaligus. Kubiarkan ia menikmatinya. Entah fantasi apa yang sedang dibayangkannya tapi aku menikmati pemandangan wajah cantiknya, mata terpejam dan mulut mengemut jariku. Kuelus kulit lengan halusnya perlahan. Sangat lembut… Kulitnya kenyal dan segar seperti bayi. Jariku melata naik ke lengannya, bahu hingga mencapai lehernya. Aku bisa merasakan degub aliran darahnya di urat nadi lehernya. Dug dug dug kencang.

Tinggi Karina hanya sebatas mataku hingga aku harus menaikkan kepalanya dengan dorongan di dagunya. Kukeluarkan jari telunjukku dari mulutnya dan kugantikan dengan mulutku. Matanya terbuka sebentar terbelalak lalu terpejam lagi kala kukulum bibirnya, kedua bibirnya. Kedua tangan berpindah mendarat di dadaku sementara aku, memeluk pinggangnya. Merapatkan pertemuan tubuh kami berdua. Dadaku dapat merasakan sedikit kulit dadanya yang tak tertutup bra. Deburan kencang jantungnya. Dug dug dug kencang.

Ia tetap memejamkan mata saat ia mulai membalas cumbuan mulutku. Berbalas mengulum bibir dan sedikit permainan lidah memulas ujungnya saja. Tangannya meremas liat otot dadaku sementara ku mengelus mulus halus punggungnya. Sesekali jariku menemukan strap bra miliknya. “Bukain…” bisiknya di antara cumbuan mulut kami. Tak perlu diminta dua kali, tanganku membuka kaitan itu dengan mudah. Kulonggarkan kedua strap di bahunya karena ucapan ‘Bukain’ tadi pertanda ia mau aku yang melakukan itu semua. Ia membiarkanku melepasnya dari tubuh rapat kami.

Kulonggarkan dekapanku agar dapat menyaksikan tubuh atas telanjangnya dari jarak sedekat ini. Ia menunduk malu lagi. Payudaranya seindah yang kuingat saat malam kumusnahkan Kuyang bangsat itu. Bulat menantang walo tak berkutang. “Malu, bang… Jangan diliatin begitu…” lirihnya dengan pipi memerah.

“Seindah ini kok malu… Mhhh…” kulumat lagi mulutnya dan tanganku kulancangkan menjamah kedua payudaranya. Karina menggeliat geli. Kenyal dan lembut. Dengan mudah tanganku menggenggam dan tenggelam lumer di dalam massa lemak kelenjar mammary-nya. Putingnya kemudian menjadi bulan-bulanan jariku juga. Kupilin-pilin seirama dengan permainan mulut kami berdua. Ujung-ujung lidah saling bersapuan. Keknya Karina belum pernah berciuman yang benar-benar basah sebelumnya. Kudorong perlahan tubuhnya, menurut kuarahkan ke ranjang yang tak jauh dari tempat kami berdiri. Kududukkan dirinya dan aku berlutut. Aku masuk di antara kakinya yang masih memakai celana panjang.

“Ahh…” desahnya karena sebelah puting payudara yang mengeras itu kusedot. Rakus mulutku memainkan payudara bulat montok itu. Payudara perempuan umumnya akan bertambah besar saat hamil. Karina sudah beberapa kali hamil walo tak sampe melahirkan, dari sini ia mendapatkan ukuran payudara sebesar ini, bulat menggoda. “Aahhhsss…” tangannya mengacak—menyisiri rambutku dengan jarinya. Lalu dijengutnya karena geli yang luar biasa yang kuberikan. “Uhh…” Yang sebelah tentu aja gak lepas dari remasan memerah gemas. Menyenangkan dapat merasakan kendi susu kenyal semacam ini dari beberapa binor yang sempat kutiduri. Bermacam tekstur dan tingkat kekenyalan dapat kunikmati dari mereka. Pindah ke yang sebelahnya dan mendapatkan kenikmatan yang sama. “Aahh… Baangghh… Enaak…”

“Enak?” tanyaku masih berjongkok di antara kakinya. Tanganku masih menguyel-uyel kedua susu kenyalnya berputar bersamaan. Pipinya makin merah saat menatapku di bawahnya. Ia menunduk malu tapi bisa memandangiku yang sedang mengerjai payudaranya. Dijawabnya hanya dengan senyuman lebar aja. Ia memeluk perutnya saat ini. Kunaikkan ke atas posisi tangannya hingga susu kenyalnya lebih mencuat ke atas. Kedua susu kenyal itu beradu rapat dan semakin seksi bentuknya.

“Ahh… Ahh… Ahh… Ahh…” erangnya karena dengan nakal kujilat panjang dari bawah ke atas puting susu kenyal bergantian kanan kiri. Kudesak tubuhnya selagi menyerang kedua payudaranya hingga ia kini rebah di ranjang hotel. Dapat kutindih tubuhnya yang pasrah menerima bobot tubuhku menindih tubuhnya yang tetap kujilati susu kenyalnya. Pelukan tangannya kusingkirkan hingga seluruh tubuh telanjangnya terpampang di depan mataku. Semakin liar aku menikmati sepasang payudara kenyal memabukkan itu. Kudesak dan kutekankan juga Aseng junior yang mengeras di dalam celanaku ke kakinya agar ia tau apa yang akan didapatkannya malam ini.

“Lubang ini…” desisku memandangi perutnya yang agak endut karena tubuhnya memang montok. Lubang supranatural yang telah ditinggalkan setan Kuyang bangsat itu. Lubang dimana ia telah berdiam selama ini. Lubang yang dapat menjadi incaran mahluk ghaib lainnya. Ada keinginan kuat agar aku melakukan ini. Menyembuhkannya. Kusentuh dari bagian Solar Plexus, berputar sampai di bawah pusar lalu kembali menuju atas. Ada kilasan sinar cepat yang terpancar dari bentuk imajiner lubang itu. Sinar terang berwarna putih. Aku reflex menutup mata karena khawatir silau.

“Bruuk!!” aku mendarat di dataran berpasir lembut. “Pasir?” langit biru terang, awan putih bergumpal-gumpal dan matahari terik bersinar. Dan terutamanya adalah pantai berlaut biru di hadapanku. Cepat-cepat aku bangkit tak memperdulikan pasir yang menempel. Jangan-jangan ini serangan baru! Aku sudah memasuki daerah kekuasaan lawan! Tenang jangan sampe panik. Aku memperhatikan sekelilingku. Tapi ini aneh… Daerah kekuasaan Menggala biasanya gak ada awan dan matahari seperti ini. Ini lumayan kerasa terik matahari yang bersinar terang di kulitku yang tak berpakaian. Ada orang!

Sepasang bule berjalan berpegangan tangan dengan mesranya. Yang cowo hanya memakai celana boxer sedang yang cewe santuy aja pake bikini seksi. Di sebelah sana ada juga tetapi dua orang cewe bule memakai bikini seksi juga. Dan sejauh mataku memandang aku menemukan orang-orang lain yang juga menikmati nuansa pantai yang indah ini. Ada yang berjemur, bermain air, bercengkrama dengan pasangan ato teman. Ini bukan daerah kekuasaan Menggala. Ini tempat asli di suatu tempat yang aku tidak ketahui. Dimana aku ini?

Bingung tentunya yang kini melanda kepalaku saat ini tentunya. Kenapa bisa aku tiba-tiba tiba di tempat ini? Ini ada dimana dan bagaimana aku bisa sampai di sini? Aku tadi sedang bersama Karina. Kenapa aku malah jadi disini? Dan ini adalah tubuh fisikku, bukan tubuh jiwaku kalo memasuki satu daerah kekuasaan ke-Menggala-an. Apa yang terjadi pada Karina sekarang ini?

“Have your coconut drink, sir…” (Silahkan diminum air kelapanya, pak) seorang penduduk lokal berkulit hitam berpakaian kemeja longgar dengan pola floral print menyuguhkan sebuah kelapa muda dengan hiasan bunga dan pernik etnik. Dengan kepala kosong kuterima minuman kelapa muda yang hanya tinggal batoknya aja dengan sebuah sedotan. “You seemed to be deluded, sir… May I give my assistance?” (Anda sepertinya bingung, pak. Boleh saya bantu?) katanya. Aku masih bingung mengartikannya tapi keknya ia mau menolongku walo dialeknya aneh kek orang Jamaika yang suka reggae.

“Where am I right now?… What’s this place?” (Dimana aku sekarang? Tempat apa ini?) tanyaku terdengar bodoh mungkin. Tapi untung aku sudah pernah ikut les bahasa Inggris dulu. Dikit-dikit bisalah speak-speak. Dulunya aku belajar Inggris ini agar lebih gampang belajar komputer juga.

Agak kaget pria itu mendengar pertanyaanku tapi ia berusaha tidak menampakkannya. Mungkin karena ia sudah berinteraksi dengan berbagai macam orang dengan berbagai tingkahnya. “You’re now at Winding Bay Beach on Eleuthera Island in Bahama, sir… Are you lost?” (Anda sekarang ada di Pantai Winding Bay di pulau Eleuthera Bahama, pak. Apakah anda tersesat) malah ditanyanya apakah aku hilang. Bukan, tersesat. Itu arti yang pas.

“Yes… I lost…” (Ya, saya tersesat) jawabku bingung. Apa tadi? Winding Bay Beach… Bahama?

“O-dear… Do please have your drink, sir… It’s compliment drink… It’ll soothe you a little…” (Sayang sekali. Silahkan diminum, pak. Ini minuman selamat datang. Ini akan menenangkanmu sedikit) ia sepertinya sudah paham situasiku dan mempersilahkanku meminum air kelapa muda ini.

Di kondisi normal, minum air kelapa muda di pantai yang… eh… pasirnya berwarna agak pink-pink gitu keknya… Pastinya akan sangat menyenangkan. Tapi situasiku saat ini sangat membingungkan. Kuteguk air kelapa muda yang disuguhkan pria berkulit eksotis itu. Segar… Setidaknya itu sedikit meredakan kalut di kepalaku. Ia menampakkan senyum lebar dengan gigi putih bersih. Senyuman yang terlatih untuk menyambut tamu. Ini pastinya tempat wisata terkenal di Bahama sini.

Tapi masalahnya… gimana caranya aku sampe di sini?

“You seemed to be puzzled, sir… May I know your travel agent? I might be able to help you find your companion…” (Anda sepertinya sangat bingung, pak. Bolehkah saya tahu agen perjalananmu? Saya mungkin bisa membantu menemukan mereka) tawarnya untuk membantuku lebih jauh. “You’re an Asian, right?” (Anda orang Asia, bukan?) tebaknya.

“Ya-ya… Asian… Indonesia…” (Ya-ya. Asia. Indonesia) kataku menjawab. Mungkin ia bisa menghubungkanku dengan seseorang yang bisa membantuku.

“May I know your name, sir?… I’m Paul at your service…” (Bolehkan saya tahu nama anda, pak? Saya Paul akan membantu anda) ia mengacungkan tangannya dengan ramah setelah memperkenalkan namanya sebagai Paul.

Kujabat tangannya dan, “My name is Nasrul…” (Nama saya Nasrul) disambutnya tanganku dengan senyum lebar bergigi putih besar-besarnya.

“Ah… Mister Nasrul from Indonesia… please follow me… Please… Come…” (Pak Nasrul dari Indonesia silahkan ikuti saya. Silahkan ikut) ajaknya untuk pergi mengikutinya. Ini mungkin pertolongan yang kuperlukan. Kuikuti dia. Ia menunjukkan beberapa spot bagus di pantai Winding Bay ini yang memang diramaikan banyak turis. “A few days ago there’s one beautiful woman from your country just left this island… I believe she had left for home… And now you come… What a coincidence…” (Beberapa hari lalu ada seorang wanita cantik dari negara anda baru saja meninggalkan pulau ini. Saya yakin dia sudah pulang. Dan sekarang anda yang datang. Kebetulan sekali) katanya bercerita sambil jalan.

“From Indonesia? Karina?” (Dari Indonesia? Karina?) tebakku iseng aja sebenarnya. Seingatku memang Karina baru pulang berlibur dari Bahama sini. Apa dari pulau ini juga?

“Yes… Miss Karina… You know her?” (Ya. Nona Karina. Anda kenal dia?) katanya agak takjub kalo sangat-sangat kebetulan. Aku hanya mengangguk dan berhenti. Ini terlalu kebetulan. Ada yang gak beres di sini. Ada sesuatu yang sangat salah telah terjadi. “What’s wrong? Come mister… Follow me…” (Ada apa, pak? Ayo pak. Ikuti saya)

“Tell me the truth… What’s happen here… It’s so confusing… Tell me… Don’t lie to me…” (Katakan yang sebenarnya. Ada apa ini. Ini sangat membingungkan. Beritahu aku. Jangan bohong) kataku terbata-bata dengan sebaik-baiknya kemampuanku.

“What now? Come on… Don’t tell me you want to do it now?” (Ada apa? Ayolah. Jangan bilang anda mau melakukannya sekarang?) ia merentangkan tangannya setelah berbalik seakan kesal dengan tingkahku.

“Don’t mess with me, man… I don’t know what kind of hocus pocus you did to me… but you did it on the wrong one…” (Jangan main-main denganku, bung. Aku tidak tau mantra apa yang kau berikan padaku tapi kau melakukannya pada orang yang salah) kataku tak mau beranjak mengikutinya lagi. Kami sudah agak jauh dari kawasan pantai. Ini jalan menuju suatu tempat yang dikelilingi pohon-pohon kelapa yang tumbuh jarang. Ia tersenyum lebar lagi memamerkan gigi putihnya. Aku jadi kesal dengan senyumannya. Terakhir yang tersenyum gila seperti ini adalah Inyiak Lelo dan aku sudah mematahkan lehernya.

“But you drank it, sir… And we shook hands… That’s all for you right now…” (Tapi anda sudah meminumnya, pak. Dan kita sudah berjabat tangan. Hanya itu saja untuk anda saat ini) katanya menjaga jarak dariku. “And above all… I know your name…” (Lagipula. Saya tahu nama anda) lagi-lagi ia merentangkan tangannya dan senyum lebar itu lagi. Fix aku akan mematahkan lehernya juga. Ia mundur-mundur lalu lari ke pepohonan kelapa di sebelah kirinya. Lari si Paul itu sangat cepat. Sebentar aku melihatnya melintasi satu pohon lalu pohon lainnya dan hilang di balik pohon berikutnya. Aku yakin kalo ia ikut latihan lomba lari akan menang di lomba Agustusan.

“Apa yang sedang menimpaku ini? Mau enak-enakan sama Karina malah jadi terdampar di Bahama… Naseb-naseb…” gerutuku sendiri. Sekarang apa yang bisa kulakukan? Tentu cara pulang yang paling mudah ada menghubungi Iyon. Tapi aku gak punya HP saat ini. Dompet dan HP-ku kutinggal di meja dekat tas milik Karina. Duh… Karina. Dia pasti sangat bingung karena aku tiba-tiba menghilang dari hadapannya. Andai kau tau Karina, aku lebih bingung lagi ini apa masalahnya.

“Guntur Setiono bin Ahmad Guntur bin Tjokro Guntur bin Krama Guntur… Aku memanggilmu ke hadapanku… Lewati petala ruang dan waktu… Guntur Setiono bin Ahmad Guntur bin Tjokro Guntur bin Krama Guntur…” kukerahkan secukupnya aliran Lini untuk memanggil sobat Ribak Sude-ku ini. Ini benar-benar emergensi sehingga ini jalan yang terbaik.

“Eh…” kagetnya karena dipanggil sedemikian rupa. Ia sepertinya baru akan menggosok gigi karena ia sedang mengoleskan odol ke sikat gigi miliknya. “Seng? Ah… Entah apa-apa aja-pun kau… Orang mau tidur-pun kau panggil-panggil…” gerutunya kesal. “Dimana nih… Kok terang? Mau berantem, ya?” setelah ia memperhatikan sekilas lokasi tempat ini. Tapi tak kunjung menemukan musuh.

“Ini bukan daerah musuh, Yon… Ini pulau di Bahama…” jelasku.

“Bahama? Kau lagi liburan?” tanyanya selagi celingak-celinguk pada puncak pohon kelapa yang tumbuh di tepian jalan pasir ini.

“Ada kasus baru pasien awak… Eh malah aku tersedot gitu kemari, Yon… Rasa-rasanya kek Bayangan Bunga Bujur punyamu itu… Tapi ini karena aku sedang berusaha mengobati lubang yang ditinggalkan mahluk ghaib… Kau pernah dengar yang kek gini?” tanyaku pada Iyon yang malah berkeliling mengitari tempat ini. Ditendang-tendangnya batang pohon kelapa, mungkin untuk meyakinkannya bahwa tempat ini nyata.

“Jadi kau memanggilku kemari karena gak bisa pulang, kan?” simpulnya selagi berjongkok memeriksa tanah berpasir di bawah batang kelapa. Kepalanya mendongak karena kami mendengar suara kendaraan mendekat. Sebuah sepeda motor yang dikendarai dua orang bule melintas. Keduanya menyapa kami yang kami jawab sekenanya.

“Tentu-lah… Gimana aku bisa pulang dari sini… Dompet-Hp-ku ketinggalan semua…” kataku.

“Jadi ada orang yang menarikmu kemari… Sudah ketemu orangnya?” ia mendekat. Aku tak perlu lagi meyakinkannya kalo ini beneran kepulauan Bahama dari melintasnya dua turis tadi.

“Udah… Orang lokal sini… Namanya Paul… Awalnya ada perempuan dengan ilmu Kuyang turunan ke tujuh… Kuyang-nya udah kulepaskan darinya… Tapi Kuyang itu meninggalkan satu lubang besar di perutnya… Perempuan itu liburan kemari… ke pulau Bahama ini… Pas awak mau neruskan pengobatannya… awak malah kesedot kemari, Yon…” jelasku akan kronologi kejadian yang menimpaku.

“Kau curiga kalo ada mahluk lain yang memasuki lubang itu, kan?” tebak Iyon.

“Kemungkinan besar kek gitu… Orang yang sudah pernah dimasuki mahluk ghaib pasti akan mengundang mahluk ghaib lainnya…” jelasku akan alasanku. Iyon mengangguk-angguk setuju. Itu pengetahuan yang sama-sama kami ketahui tentang masalah ini. “Aku belum sempat berantem sih sama si Paul-Paul itu karena dia udah lari duluan ke sana…” tunjukku ke arah larinya pria eksotis dengan senyum lebar dan gigi putih itu.

“Kita anggap aja dia dukun di Bahama sini… Apa yang dia mau dengan pasienmu itu? Kira-kira apa coba?” ajak Iyon berdiskusi.

“Memasukkan mahluk ghaib piaraannya… mungkin…” itu tebakan terbaikku.

“Di daerah sini yang terkenal ganas itu voodoo… Terkenal ya… Padahal voodoo itu bukan ilmu hitam ato ilmu putih… Bagi penganutnya voodoo itu gak lebih seperti agama tradisional masyarakat yang berasal dari Afrika dan dibawa para imigrannya ke seluruh dunia… Nah… Tentu aja ada yang menyalah gunakannya… Kek di tempat kita kan banyak kek gitu… Buat pelet dari ayat suci… Ilmu kebal baca ayat ini… Ilmu pesugihan putih-lah… Hantu blau-lah… Kita gak tau nih motif si Paul itu menarikmu dari Medan ke Bahama sini lewat perempuan itu? Kau tadi pasti kek mau ngajak berantem gitu, kan?” kata Iyon.

“Iya, Yon… Abis aku bingung sih… Mampos!” tiba-tiba aku teringat sesuatu yang sangat fatal dari apa yang sudah dikatakan si Paul tadi. “Aku tadi minum pemberian si Paul… Bersalaman dengannya dan dia tau namaku… Mampos!” panikku. Entah apa yang akan terjadi dari sana.

“Heh? Cak kau periksa dulu… Apa ada yang hilang?” usulnya. Tentu aja yang kuperiksa adalah jari-jari tanganku, jari-jari kakiku; lengkap semua. Kuping, hidung, mulut, rambutku, lenganku, perut, pahaku, kedua pantatku dan Aseng junior. “Kenapa?” Iyon mengernyit melihat ekspresi mukaku yang mungkin kek lagi sesak berak. Aku gak menjawabnya kecuali membuka celanaku dengan buru-buru untuk memastikan kalo ini cuma perasaanku aja. Cuma perasaan aja. Jangan…. Jangan.

“Yon… Kontolku ilang!”

Bersambung

belahan dada pembantu
Nikmatya Memek Sempit Pembantu Ku
Rahasia Yang Akan Terus Ku Simpan
tetangga hot
Ngentot dengan tetangga yang body nya oke banget
Foto Bugil Abg Jembut Lebat Lugu Pemalu
Foto Ai mizushima di entot rame rame
Ngewe Dengan Cewek Mabuk Di Club Malam
cerita sex istri selingkuh
Istriku ngentot dengan lelaki lain di depan mataku karena ingin balas dendam
Foto Bugil Abg Bule Toket Gede Jembut Lebat Ketek Berbulu
Booking Cewek Bispak Spg Rokok Yang Cantik
Tante Sange Sodok Memek Pake Guling
mbak kost
Perjalanan kisah sex ku dari pacar sampai tetangga kost
Cerita Dewasa Belajar Enak-Enak Dari Tante Lilis
pembantu polos
Menikmati orgasme dengan pembantu yang polos
pacar anak kampung
Cerita ML dengan pacar baru ku yang masih perawan waktu rumah nya sepi
stw hot
Liburan ke Eropa bersama ibu ibu sosialita bagian dua
Menikmati berkaraoke di bali yang tiada dua nya