Part #47 : Cyntia
POV narator.
Kojek yang sudah mengeluarkan kekuatan Babiat Balemun yang kalau diartikan ke bahasa Indonesia berarti harimau besar dan ganas, menerjang gagah ke arah mahluk mistik perubahan wujud dari tongkat Tunggal Panaluan sang oppung Datu yang dinamakan Naga Parabas. Kojek meradang berusaha menghabisi lawannya dengan cepat menggunakan jurus-jurus brutal cakaran berkekuatan harimau itu.
“Heaa!! Heaa!! Hyaa!!!” berkali-kali cakaran kuku tangannya yang mengeras menggaruk tubuh naga hybrid itu. Tetapi sepertinya naga itu juga mempunyai kulit yang keras lagi liat. Dengan bentuk ganjilnya yang hanya punya sepasang kaki untuk bergerak, ia mengandalkan gigi dan ekor tebalnya untuk bertarung. Ia melompat menghindar dan balas menggigit dengan mulutnya yang ganjil. Gigi-geliginya tak bertaring runcing, hanya susunan gigi geraham melulu tumbuh di sepanjang gusi di dalam mulutnya. Tapi mendengar suara katupan beradu gigi itu, nyaring dan padat. Kojek menyadari itu tentu gak ingin bagian tubuhnya remuk terkena katup gigitan kuat naga aneh ini. Naga Parabas balik meradang mengincar bagian vital tubuh Kojek untuk menjadi sasaran gigitan mengatup kuatnya. “CTAK! CTAK! CTAK!”
“NABIRONG!” Kojek berusaha memperkuat pertahanannya dengan cara mengeraskan seluruh tubuhnya dengan teknik jurus aneh ini. Kulitnya yang memang sudah hitam dari sananya bertambah hitam pekat mengkilap seperti baja. “CLANG! CLANG! CLANG!” suara percobaan ketahanan dan kekerasan tubuh diperagakan Kojek dengan membiarkan tangannya digigit Naga Parabas. Cukup kuat karena gigi naga itu seperti mencoba mengunyah batang besi. Suara bising benda keras beradu membuat gigi ngilu yang mendengarnya.
Naga Parabas menggeleng-gelengkan kepala aneh berbentuk manusia lonjong dengan mata melotot itu. Mungkin merasa sakit harus melaga giginya dengan benda keras bagai baja itu. Tak kala ia masih menunduk, Kojek yang merasa di atas angin, menerjang akan menyabetkan cakaran gabungan Babiat Balemun dan kerasnya teknik Nabirong. Tak disangka-sangka, Naga Parabas tak patah arang. Mulutnya terbuka lebar bermaksud menghadang dengan susunan gigi besarnya. “WRRAAARRHHHH!!”
Ternyata itu adalah semburan cairan kental berwarna hitam kehijauan. Tembakan cairan kental sebesar telur ayam kampung itu telak mengenai dada Kojek, membentuk pola cipratan melingkar. Kojek terpental mundur beberapa langkah. Ia tak mau sesumbar untuk menahannya, digulingkannya badannya ke belakang untuk mengurangi efek tumbukan kuat yang telah menghantam dadanya. Ragu ia hendak menyentuh bekas cairan kental yang membekas berbentuk pola melingkar di dadanya itu.
“Ini ilmu Gadam!” sadar Kojek. Gadam adalah racun yang efeknya sama persis dengan luka penyakit kusta. Luka membusuk yang sampai bisa membuat cacat bagian tubuh penderitanya. Sebagai pertolongan pertama, apalagi kulitnya sekarang begitu keras bagai baja, ia mengambil segenggam tanah, meludahinya dan menggosokkannya ke bekas cairan kental di dadanya itu. Naga Parabas tak tinggal diam tentu melihat lawannya kehilangan fokus karena sibuk menghapus racun. Mahluk mistis itu menyapukan ekornya yang tebal dan menghantam muka Kojek dengan telak.
Walaupun kulitnya keras, tak ayal lelaki itu terbanting juga terkena sapuan ekor naga hybrid itu. Membentur sebuah batang pohon pinus dan menumbangkannya. Tubuhnya berguling dan terjatuh ke tanah dari patahan pohon pinus yang ditabraknya barusan. Ternyata kibasan ekor itu begitu dahsyatnya hingga ada tetesan darah dari mulut Kojek bekas serangan barusan. Naga Parabas merangsek terus, melompat dan bermaksud menginjak dengan sepasang kaki besarnya.
Ia berhasil menginjak kepala Kojek sekali dan lelaki itu mengerang kesakitan dan berusaha lolos dengan menendang kaki yang menghimpit kepalanya. Naga Parabas membuka mulutnya lebar-lebar seakan akan menyemburkan ilmu Gadam beracun itu lagi.
“HORTUK!” Kojek mengganti taktik. Ia sekarang memakai jurus babi hutan. Tangannya melengkung seperti taring babi hutan lalu ditusukkannya sekaligus ke paha Naga Parabas yang menginjak kepalanya, menguncinya di tanah. “JLEB! JLEB!” dua ujung tangan Kojek menembus dua sisi paha mahluk itu. Membuatnya meraung kesakitan. Suaranya parau seperti seekor kerbau yang hendak disembelih. Kakinya mengendur dan Kojek bisa melepaskan diri. Kedua tangannya terbentang lagi seperti akan menggaruk tanah. “REEAAARRRHHHH!!!” Kojek meradang marah.
Terjadi benturan hebat, seperti suara sebuah kereta api yang menubruk sebuah truk yang melintas di atas relnya. “PRAAKK!!!” Kojek membenturkan kepalanya sementara kedua tangannya ditusuk-tusukkan berulang pada tubuh tambun naga hybrid itu. Naga itu meradang juga merasakan kesakitan yang amat sangat tapi gak mau kalah dan balas mendorong. Adu dorong dua mahluk berbeda ukuran itu seperti pertarungan sumo yang tak seimbang. Anehnya, kekuatan Kojek yang bertubuh kerempeng tetapi liat berwarna hitam mengkilap itu mampu berkompetisi melawan mahluk sebesar Naga Parabas.
“BRUUOOOHHH!!!” jerit Naga Parabas tak mau kalah. Ia meradang dan berusaha terus mendorong dalam pertandingan mirip dorong-dorongan sumo. Kojek terus menusukkan jari tangannya yang dilambari teknik Hortuk yang berarti taring babi hutan. Kerusakan maksimal yang terjadi di kaki Naga Parabas. Sepertinya Kojek sengaja berulang-ulang melukai bagian yang sama di paha lawannya. Ia hanya bisa bergerak dengan sepasang kakinya. Apa jadinya kalo organ tubuh penggeraknya itu cedera parah?
Kojek terdorong cukup jauh, menyebabkan gerusan dalam di tanah yang terbongkar oleh gesekan kakinya. Tetapi luka menganga berdarah-darah ada di kedua paha Naga Parabas. Dan menggenapi itu semua, Kojek berhasil menyobek potongan besar daging paha, kulminasi berulang-ulang tusukan tangannya. Mengoyak tendon utama otot penggerak kakinya untuk melumpuhkan lawan sebesar ini. “BBRRUUUOOOOHHH!!!” Naga Parabas meraung kesakitan dan menembakkan kembali ilmu Gadam itu ke arah kepala Kojek sebagai usaha terakhirnya membalas lawan. Tau kalau lawannya pasti akan melakukan perlawanan sengit, Kojek mengelak dengan gerakan menghentak lalu berguling menjauh masih dengan kelincahan liat seekor harimau.
Naga Parabas jatuh berdebum ke tanah seolah tak punya tenaga lagi untuk berdiri tegak. Seakan tulang belulangnya dilolosi dari kakinya. Kojek tersenyum penuh kemenangan dengan memegang sesuatu di masing-masing tangannya. Batang panjang berwarna putih susu berlumuran darah dengan bonggol ujung penuh serat tebal seperti cabikan otot. Ternyata memang tulang paha Naga Parabas benar-benar dilolosi oleh Kojek. Itu sebenarnya rencananya dari awal. Melumpuhkan lawan hingga sulit bergerak.
Kojek bangkit dan memutar-mutar kedua tulang paha naga itu seolah nunchaku. “Aku kepengen makan naga aneh kek kau ini… Tapi keknya kau ini sangat beracun…” ia membentangkan kedua tangannya seperti akan menyerang dengan teknik Hortuk kembali. Tapi kemudian jarinya mengembang lebar. “HABONG NI SIGAK!” (Sayap Gagak). Kedua batang tulang paha itu dibuangnya begitu saja. Tangan kurus dan kasar berlumuran darahnya mendadak sangat lentur dan gemulai bak kepakan sayap. Tubuhnya mengambang. Di pangkal lengan kirinya, sebuah tato timbul sedang aktif bergambar seekor burung gagak.
Tanpa bisa diikuti mata, Kojek sudah berpindah tempat di belakang Naga Parabas. “CRAASS!!” ada beberapa cabikan menganga di punggung naga yang sudah lumpuh itu. Hanya ekor dan mulutnya saja yang bergerak-gerak tak mau menyerah. Ternyata Kojek mencabik lawan menggunakan kakinya saat terbang cepat melintasinya. “Sigak Habang tu Huta…” (Gagak Terbang ke Desa). Mendarat masih dengan tangan terbentang, jari mengembang dan kaki berasap tipis. Ini jurus yang sangat cepat.
—————————————————————————-
Aseng harus menghadapi tiga Begu Ganjang sekaligus. Wah… Handicap-nya terlalu tinggi untuk dihadapi walaupun ia pernah berhasil menghadapi satu dari ketiga dari mahluk peliharaan oppung Datu itu. Ternyata eh ternyata oppung Datu itu tak hanya memelihara satu Begu Ganjang saja melainkan tiga sekaligus. Entah apa lagi kejutan yang dimiliki dukun tua itu yang belum dikeluarkannya.
Dia gak lagi memakai mandau Panglima Burung yang belakangan ini kerap dipakainya kala bertarung. Begitu juga dengan bakiak Bulan Pencak. Sepertinya ia menyimpan dua senjatanya itu setelah tadi sempat dikeluarkannya, hanya murni memakai ilmu silat harimau Mandalo Rajo dan cakar yang muncul dari buku jari tangan-kakinya. Lincah ia bergerak memukul-menendang sana dan sini meladeni ketiga mahluk berukuran besar dengan gagah berani. Ia dengan percaya diri melawan ketiganya sekaligus berbekal pengalamannya yang pernah mengalahkan salah satu dari mereka walau memakai cara bertarung yang berbeda.
Gerakan kedua Begu Ganjang lain sama unik dengan gerakan zig zag aneh yang dipakai Begu Ganjang pertama. Yang satu hanya bergerak lurus-lurus saja dan yang satunya selalu bergerak berputar. Ketiga Begu Ganjang ini seperti bidak catur yang saling melengkapi dalam menyerang lawannya secara keroyokan. Aseng merasa hanya perlu mengikuti ritme cepat dan ganjil gerakan mahluk mistis dari tanah Batak ini. Selebihnya tetap sama saja karena di alam supranatural ini, semuanya setara.
Cepat ketiga Begu Ganjang itu menyerang bahu membahu untuk segera mengalahkan lawan mereka. Apalagi Begu Ganjang yang bergerak zig zag itu. Ia seperti mempunyai dendam tersendiri setelah pernah habis-habisan dihajar di pertarungan sebelumnya. Ia bisa tiba-tiba muncul dari balik tubuh rekannya yang baru saja menyapukan tangan panjang berkuku kotor itu, melesakkan serangan baru yang dengan lugas dielakkan Aseng dengan liat tubuh terlatihnya. Tapi itu tak bisa terus menerus dilakukan Aseng karena staminanya bisa terkuras karena lawan punya tenaga yang berlipat ganda karena keuntungan jumlah mereka. Apalagi keuntungan besar tubuh ketiga Begu Ganjang ini seakan sulit untuk ditaklukkan.
“KIIKK KIKKK KIIKK… KENAPA KAU TAK MENYERAH SAJA… KAU GAK AKAN BISA MENGALAHKAN KAMI BERTIGA… KIKK KIKK…” ejek Begu Ganjang zig zag menakut-nakuti Aseng dengan kemenangan jumlah mereka. Ketiga Begu Ganjang mengepung Aseng dengan liciknya seperti sedang mengompas (memalak) duit anak kecil.
“Apa kalian tau betapa keras kepalanya aku ini?” balas Aseng mengetok kepalanya sendiri menunjukkan betapa keras kepalanya. Lebih bebal dari kalian, mungkin itu maksudnya.
“KAU DARI TADI KIIIKK… TIDAK BISA MENYENTUH KAMI KIIKKK KIKK…” imbuh si Begu Ganjang putar. Lidahnya berjuntai-juntai menjilati kuku jarinya yang kotor. Mungkin menjilati sisa darah mengering dari korban sebelumnya.
“Ahh… Itu hanya masalah persepsi aja… Kalian bisa bermain curang dengan main keroyokan begini… Aku juga bisa main curang…” ujarnya mengeluarkan beberapa helai daun dari balik punggung bajunya, tepatnya tiga lembar. “Aku bisa menghabisi kalian dengan cara apapun… Tidak perlu main bersih tentunya karena kalian tidak bisa dipercaya bisa begitu… Ini adalah daun mangga Golek… Daunnya lebar dan lebih panjang dari daun jenis mangga lainnya…” pria itu menunjukkan daun-daun itu.
“Daun-daun ini akan kuoleskan sedikit minyak untuk melancarkan jalannya… Ini akan menyodomi kalian bertiga sebentar lagi…” lanjutnya mengoles ujung ketiga daun mangga Golek itu dengan sedikit minyak yang ditampung pada sebuah pada botol kaca kecil bekas minyak wangi air mata duyung. Ia melirik sebentar untuk melihat reaksi ketiga Begu Ganjang mendengar ucapan gak senonoh barusan. Dioles-olesnya sedikit minyak itu dengan rata pada bagian ujungnya. “Harus ada minyak ini biar lancar masuknya… Pantat kalian masih perawan, kan? Katanya enak disodomi… Kalian harus coba…” ia terus memprovokasi ketiga Begu Ganjang sedemikian rupa sembari terus membubuhkan minyak itu itu di ujung ketiga daun.
“KAU TIDAK BISA MENIPU KAMI… KIKIIK KIKIIK-KIKK… ITU BUKAN BUKAN MINYAK AIR MATA DUYUNG!! KIKIIK KIKIIK-KIKK… APA ITU RACUN? YAA… ITU PASTI RACUN…” sadar si Begu Ganjang lurus. Sepertinya sesuai dengan caranya bergerak, pikirannya ternyata juga lurus. Ia curiga itu adalah racun yang disamarkan Aseng di dalam botol kecil minyak wangi untuk mengelabui mereka. Minyak wangi air mata duyung kerap dipakai berbagai praktisi supranatural untuk berbagai keperluan. Biasanya untuk menyeleraskan energi seseorang dengan mahluk ghaib yang hendak dihubunginya. Banyak jenis mahluk ghaib yang suka dengan aroma wangi minyak wangi ini dan menjadikannya makanan kegemaran mereka. Makanan mewah yang membuat mereka rela disuruh berbuat apa saja.
“Racun? Apa ada racun beraroma wangi seperti ini? Ini seperti cendana ato gambir awak rasa… Mm… Kamu salah Ganjang… Cobain dulu aja, ya?” katanya seperti tak gusar belangnya ketahuan. Ia menaruh ketiga daun itu di sela-sela jarinya dan berkonsentrasi sebentar untuk mengubah ketiga lembar daun itu menjadi pedang.
Aseng dikenal sebagai pendekar Menggala dengan pedang daun empat penjuru angin. Akhir-akhir ini ia mempermanenkan sebuah mandau khas Kalimantan menempati posisi pedang daun Selatan. Hingga tiga posisi mata angin lainnya masih dapat diisi pedang-pedang daun lain. Penggunaan pedang daun yang dipraktekkan Aseng dengan cara merubah selembar daun pilihannya menjadi sebuah pedang yang mengeras seperti logam sesuai karakteristik daun itu. Makin bagus dan berkualitas daun tersebut makin kuat pedang yang dihasilkannya. Setelah selesai penggunaan pedang daun itu akan hancur dengan sendirinya.
“Naah… Ini dia sudah selesai… Gak usah malu-malu… Ayo nungging semua… biar tak coblos pantat kalian bertiga pake pedang daun ini… Ayo-ayo…” guyon Aseng seakan membujuk anak-anak agar mau disuntik imunisasi di posyandu. Ketiga daun itu sudah berubah menjadi tiga bilah pedang daun. Ketiga pedang daun itu mempunyai ciri daun mangga Golek asalnya, berbilah lebar dan panjang tetapi cukup tipis untuk terbang melayang-layang seperti mengapung di udara. “Swaaashh!!!” berdesing cepat ketiga bilah pedang daun itu beterbangan mencari mangsa. Ketiga Begu Ganjang itu tentunya berhamburan untuk menghindari terkena serangan pedang daun yang melesat cepat berkelebat seperti punya pikiran sendiri.
Aseng mengejar si Begu Ganjang zig zag dahulu karena pergerakannya yang paling random susah diprediksi. Aseng cenderung untuk mengerjakan hal yang paling sulit dahulu dan menyisakan yang mudah kemudian. Rute pelarian si Begu Ganjang zig zag dihadangnya dari dua arah berbeda, ia di kiri dan sebuah pedang daun di kanan. Si Begu Ganjang tak berani menggunakan fitur memanjang tubuhnya karena itu akan sangat rentan terkena serangan pedang beracun yang dipakai lawan.
Jadilah Begu Ganjang itu menghindari tiap sabetan pedang daun jelmaan dari sehelai daun mangga Golek itu. Bila ada kesempatan, ia akan berusaha menyerang Aseng dengan cakaran tangan berkuku kotornya lalu menghindari sabetan terbang pedang daun itu. Ia bergerak zig zag berkali-kali memanfaatkan pola geraknya yang membingungkan lawan, tapi sepertinya Aseng sudah sangat paham pola gerakan mahluk ghaib itu dan bisa menghadangnya berkali-kali pula.
Dengan kelincahan Aseng dan kekuatan jurus Mandalo Rajo, ia berhasil memerangkap sebelah tangan Begu Ganjang zig zag dan memelintirnya ke belakang punggungnya. Mahluk ghaib itu berusaha membalik keadaan dengan berputar ke arah tangannya yang dipelintir tetapi ternyata itu gerak tipuan karena Aseng menyarangkan sebuah daya gedor pukulan telak di bagian dadanya lalu memiringkan tubuhnya untuk menyarangkan sebuah tendangan mengarah ke leher tebalnya. Dua kali serangan ini masuk berturut-turut hingga kepala Begu Ganjang itu mencium tanah. Panik mahluk itu dan berusaha mundur menjauhi Aseng. Tetapi lupakah dia?
“CROOBBS!! SRROO~~~~OOK!” pedang daun itu menunaikan tugasnya dengan sangat baik. Masuk dari bagian bokong Begu Ganjang itu, menembus jauh ke depan dan keluar dari bagian mulutnya seperti kambing guling terpancang. Posisinya yang rebah di tanah lalu mundur dengan panik sangat ideal untuk sesumbar kekalahannya di tangan Aseng. Tak jauh setelah keluar dari mulut Begu Ganjang zig zag, pedang daun itu luruh dan hancur menjadi abu.
“Udah kusuruh dari tadi nungging… Bye-bye…” Aseng langsung pergi menjauh dari sang Begu Ganjang zig zag dan berburu Begu Ganjang lainnya. Menggelupur kesakitan Begu Ganjang zig zag yang bagian tubuhnya sudah ditembusi pedang daun Aseng itu. Ia menjerit-jerit histeris merasakan sakit bagian dalam tubuhnya yang rusak. Ia mungkin mengharapkan rasa sakit berlebih dari racun yang mereka percaya sudah dioleskan lawan pada ujung pedang tadi…
Begu Ganjang lurus sedang memanjat sebuah pohon pinus berbatang besar, menghindari kejaran sebuah pedang daun yang terus-menerus menerornya. Sampai di puncak pohon gelap di langit gelap ia melompat ke pohon terdekat, mendekatkan dirinya ke habitat rumahnya. Begu Ganjang terkenal karena mendiami puncak-puncak pohon tinggi sebagai tempat tinggalnya. Menyesuaikan diri dengan kondisi tubuhnya yang memanjang. Tetapi ia kelabakan sendiri menghindari kejaran pedang daun beracun itu, yang mereka anggap beracun itu. Dari pohon ke pohon ia terus berlompatan menghindar. Sesekali ia berusaha menghalau pedang daun yang persisten mengejarnya dengan sapuan dahan-dahan kayu yang berhasil diraihnya. Hanya untuk terpotong mudah berkat tajam bilang pedang itu.
Karena ia sudah mendapat tugas untuk bertarung dari majikannya, ia berusaha sebaik mungkin melaksanakan tugas bertarungnya ini. Dicabutnya dengan gagah berani sebuah pohon beserta akarnya, diangkatnya dan bermaksud menghantamkan batang besar pohon pinus itu pada pedang daun yang mengejarnya, seperti martil. “WRRUUUHHH!!” desir angin kencang tercipta saat ayunan batang pohon itu mengarah ke pedang daun. “SRAATTSS!!” melambung jauh batang pohon pinus yang masih lengkap cabang, daun serta akarnya terlepas dari ayunan Begu Ganjang lurus.
“AKKHH!!” keluh Begu Ganjang lurus karena kehilangan satu tangan kanannya yang dipakai untuk mengayunkan batang pohon pinus barusan. “KIKIIK KIKK… KAU!!” sadarnya baru tahu kalau di belakangnya Aseng dengan senyum lebar baru saja menebas tangan kanannya hingga ikut terbang bersama batang pohon yang dilemparkannya. Lawannya itu juga ikut nangkring di puncak pohon menunggu kesempatan membopong tubuhnya dari belakang menggunakan mandau andalannya. “KAU!!! AKKHH!!” ia lagi-lagi menjerit pilu merasakan sesuatu menusuk bagian bawah tubuhnya.
“CRABB!! SLLUU~~~UURRK!!!” pedang daun yang dari tadi mengejarnya, melakukan tugasnya dengan baik. Menembus bagian anus Begu Ganjang itu, melesat vertikal dan keluar dari mulutnya yang menengadah masih kesakitan kehilangan anggota tubuhnya. Terbang mengambang untuk beberapa lama pedang daun itu lalu luruh dan menghilang.
“Kau itu Begu Ganjang… bukan bodat (monyet)… Maennya di pohon… Bye!” santai aja pria itu melompat turun dari puncak pohon pinus tempatnya nangkring selesai perburuan keduanya. Melanjutkan berburu mangsa terakhirnya. Begu Ganjang itu juga jatuh limbung dari puncak gelap pohon pinus yang banyak tumbuh di daerah kekuasaan oppung Datu pemeliharanya. Pasrah ia berharap segera ia merasakan rasa sakit racun di samping rasa sakit ditembusi sebuah pedang dari bawah ke atas isi perutnya.
Begu Ganjang putar lumayan mau meladeni serangan pedang daun bagiannya. Ia melagakan kuku tajam kotornya yang ternyata cukup bisa menahan serangan lawannya. Mahluk itu memberi perlawanan sengit dan tak sungkan memakai fitur memanjangnya untuk menangkap bagian belakang pedang daun yang berfungsi layaknya gagang agar dapat menahannya. Tentu saja pedang daun itu tak mau disentuh selain pemiliknya; Aseng. Meronta-ronta pedang daun itu memaksa melepaskan dirinya dari genggaman lawan. Begu Ganjang putar menahannya sekuat tenaga.
Akibatnya beberapa batang pohon tertebas tajamnya senjata tajam yang bermanifestasi dari sehelai daun mangga Golek itu. Tumbang dan memberi ruang luas di tengah hutan pinus yang gelap. Begu Ganjang putar meliuk-liukkan tubuhnya memegang pedang daun itu dengan kedua tangan besarnya. Ia merasa percaya diri akan bisa mengatasi lawannya sebentar lagi. Ia sepertinya merencanakan sesuatu yang keji, terlihat dari mimik muka seramnya. Tak kurang pedang daun itu berusaha melepaskan diri hendak lepas menjauh dari lawannya. Beberapa batang pohon pinus lainnya tumbang.
“Hei… Itu pedangku… Kau apakan dia?” sapa Aseng yang berjongkok di depan Begu Ganjang putar. Sekuat tenaga ia mengayunkan pedang daun itu mengarah ke leher lawannya yang tanpa sebab sudah ada di hadapannya. Kiranya inilah taktik kejinya, memakai senjata lawan untuk melukai pemiliknya. Ayunan tangannya menerpa ruang kosong. Padahal Aseng sama sekali tidak beranjak dari tempatnya, tetap berjongkok seperti sedang BAB. “Mana mungkin dia mau melukaiku…” Pedang daun sudah tidak ada lagi di tangannya. Terlepas!
Karena dari awal gerakan usaha melepaskan diri pedang daun dari tangan Begu Ganjang putar adalah dengan menjauh, ia menipu lawannya dan lepas dengan mudah dengan bergerak sebaliknya, mundur. Bahkan kedua telapak tangan Begu Ganjang putar tersayat tajam pedang daun itu mengakibatkan luka menganga. “K-KAAU!! KIIKK!!” matanya melotot kemudian dengan tiba-tiba seperti akan keluar dari kantongnya merasakan kesakitan yang teramat pedih dari bawah tubuhnya. “UUKKHH…”
“CRRUUBB!! SLLRRUU~~~~UUKK!!” memilih jalan berputar juga pedang daun itu menerjang bagian buritan Begu Ganjang putar, menyodok kencang ke atas, menembus melewati isi perutnya, melewati organ pernafasannya, menerjang leher dan keluar dari mulutnya yang menganga. Lidahnya menjuntai lemah memanjang. Beberapa gigi taringnya rompal patah. Darah mengalir dari mulutnya saat ia terpana tak bisa berkata apa-apa. Ia hanya bisa memandang bagaimana pedang daun yang telah mengoyak tubuhnya dari dalam, hancur dan luruh menghilang. Tak jauh darinya ia bisa menyaksikan teman sesama peliharaan oppung Datu, si Begu Ganjang zig zag menggelepar di tanah. Lalu dari ketinggian pepohonan pinus jatuh juga Begu Ganjang lurus, berdebum seperti nangka busuk. Mereka meregang nyawa bersamaan.
“Racun apa yang kalian maksud?” tanya Aseng.
—————————————————————————-
“Saya pernah dengar lagu pantun dari temanku itu… Si Kojek itu… Pake bahasa Batak… Gini nyanyinya… ‘Adong motor Chevrolet marbeka sapuluh dua. Adong inang terpeleset lepetnya terbelah dua… (ada mobil Chevrolet ber-plat BK 102. Ada ibu-ibu terpeleset memeknya terbelah dua) Oom mariam tomong dainang sinapan masin’… Gitu, pung?” Laah… Malah ngobrol Iyon dengan si oppung Datu. Pakai dipersembahkannya pula sebuah lagu jenaka yang diplesetkan dari lagu perjuangan Mariam Tomong. Kepalanya sampai miring kanan kiri kekanakan mengikut irama lagu itu.
Merah padam muka si oppung Datu mendengar lagu jorok gak pantas itu. “Reputasi kalian akan berakhir sampai di sini saja, Ribak Sude…” ia merogoh bagian dalam pakaian hitamnya, meraih sebuah benda yang langsung diacungkannya pada Iyon. “Pamodil! DHAAR!!”
“Wadaw! Apa itu? Oppung punya pistol? Keren…” malah memuji-muji peralatan lawan. Oppung Datu mengacungkan sebuah pistol kuno dari kayu dan laras beserta pelatuknya dari besi hitam. Masih ada sisa pembakaran mesiu yang barusan dilantak pemantik batu api, berasap mengepul. Tembakan oppung Datu barusan meleset beberapa senti saja dari leher Iyon. Potongan kecil timah hitam yang berfungsi sebagai peluru itu kena ke pohon pinus di belakangnya. “Oo… bedil lantak…” paham Iyon setelah memperhatikan oppung Datu membersihkan laras bedil kecilnya, memasukkan mesiu baru yang berupa gerusan arang, belerang dan serbuk sisa kotoran kambing, peluru timah hitam dan lalu menarik pelatuknya ke belakang bersiap menembak lagi.
“PAMODIL!” ia menarik pelatuk, batu api memantik mesiu purba itu, membakarnya dan meledak! Melontarkan potongan kecil timah hitam sebagai pelurunya. “Didia imana?” (Dimana dia?) kaget oppung Datu karena lawannya sudah tidak ada di tempatnya, padahal barusan aja ada tepat di depannya. Ia hanya menembak ruang kosong. “Hei?!” lebih kaget lagi orang tua itu karena tiba-tiba Iyon sudah ada di sebelah kanannya dan merampas bedil lantak kecilnya.
“Wah… Ini benda bersejarah, nih… Cocoknya ada di museum… Takutnya kalo terus dipake… bisa pecah, pung…” cuek pria bersenjata cambuk itu mempelototi senjata api model awal itu lekat-lekat.
“Kembalikan bedilku!!” jerit orang tua itu pada Iyon melangkah menjauh. Ia berusaha mengejar untuk mengambil kembali senjata miliknya yang sudah semena-mena diambil lawan dengan mudah. Sebagai Datu tentunya ia akan malu kalo senjata andalannya begitu mudah berpindah tangan, hanya karena kaget. “Hei!! Lateung! Kembalikan milikku! Tulak punahu!”
“Yaah, kaan? Rusak…” Iyon tiba-tiba berbalik dan menunjukkan kedua tapak tangannya yang memegang… bisa dibilang sisa-sisa dari bedil lantak kecil itu. Laras pendeknya lepas, pelatuknya juga copot, pemantiknya tak memiliki batu api lagi. “Ini udah terlalu kuno… Tapi tenang, pung… Masih bisa direstorasi, kok… Nanti kita bawa ke museum aja, ya? Lebih bermanfaat di sana… Cucu-cucu oppung bisa melihat senjata model lama…”
“SIP BABAMMI!! (Tutup mulutmu!) Kau sudah merusak pamodil-ku!” berang sejadi-jadinya orang tua itu melihat salah satu senjata andalannya sudah dirusak musuh. Muka berkeriputnya merah padam. Urat-urat kasar timbul di keningnya. Dia sampai mengacak-acak kesal peci hitam yang dikenakannya karena tekanan darahnya meningkat. Mungkin pula tensinya melonjak naik hingga kepalanya mulai pening. Ia merogoh lagi ke dalam saku baju hitamnya. Sebuah tanduk hitam kerbau berukir bagus dan sepertinya berongga karena ada semacam penutup untuk menjaga isinya tidak tumpah terbuang. Gusar ia membuka penutup tanduk itu, memasukkan tangannya dan di ujung jarinya digesek-geseknya abu putih yang berasal dari dalam benda itu. Hendak ditiupnya abu itu ke arah Iyon.
“Haa… Uhuk-uhuk!” batal ia meniup abu di ujung jarinya karena lagi-lagi Iyon sudah mendahuluinya dan meniup abu putih itu dan mengenai mukanya. “HEANG!” (PEPEK!) makinya sangat marah sekali. Ia sangat berang dan bermaksud memukul Iyon dengan tanduk yang sedang dipegangnya. Dengan ringan Iyon mundur menghindari tabokan itu dan malah semua isi yang ada di dalam tanduk itu berupa serbuk putih tumpah ruah semua, bertebaran karena ia lupa menutupnya kembali. “Haa??!!” kagetnya. Speechless orang tua itu melihat harta berharga dalam bentuk serbuk putih terbuang percuma tak bisa dikutip kembali karena tanah gelap langsung menyerapnya menghilang.
“Kaaan? Oppung, sih… Masak awak mau dipukul pake itu…” kata Iyon merasa bersukur tak kena tabok pake tanduk tadi. Ia mengelus-elus dadanya.
“Serbuk Pangulubalang-ku yang paling berharga…” ratapnya hampir menangis memandangi tanah dan rongga di dalam wadah tanduk miliknya yang sudah kosong.
“Itu tadi Pangulubalang punya oppung? Mau oppung santet awak rupanya? Jahat kali si oppung ini-lah… Gak baik itu, pung…” kata Iyon malah menasehati orang tua itu agar menjauhi perbuatan-perbuatan jahat. Pangulubalang adalah satu jenis ilmu hitam terkeji etnis Batak. Terbuat dari anak manusia yang diculik, digemukkan dan dibuat berjanji untuk setia padanya. Setelah cukup, ke dalam mulutnya akan dicekoki timah cair mendidih hingga mati. Tubuhnya dipotong-potong dan dimasukkan ke dalam wadah. Hasil fermentasi tubuh anak tadi akan menghasilkan cairan, disimpan terpisah. Sisa tubuhnya akan dibakar dan abunya itulah serbuk putih yang dimasukkannya ke dalam wadah tanduk kerbau tadi. Sedang untuk janji sang anak tadi, dibuatkan sebuah patung yang dapat disuruh-suruh sesuai janjinya. Bisa untuk menyerang lawan atau mengobati. Patung ini yang disebut sebagai Pangulubalang.
“Kau-kau menghabiskan semua persediaan serbukku!!” berang si oppung Datu tak terima semua perlakuan Iyon padanya yang telah banyak merugikannya. Dimulai dari merusak bedil lantak-nya dan sekarang menghabiskan semua persediaan serbuk pemanggil dan pengendali Pangulubalang miliknya. Sepertinya disana semua sumber kesaktian dan kedigdayaannya selama ini. Mungkin selama ini dipakai sehemat mungkin karena sulitnya pembuatannya, ini malah langsung habis.
“Dipersorilah, oppung… Gak tau kian awak…” cengengesan Iyon sembari ngusap-usap rambut berminyaknya lalu dirapikan dengan jari.
“Naga Parabas! Ganjang na Tolu (tolu: tiga)!” dipanggilnya naga hybrid jelmaan tongkat Tunggal Panaluan-nya yang tadi bertarung melawan Kojek beserta ketiga Begu Ganjang peliharaannya yang bertarung versus Aseng. Keningnya berkerut-kerut mengerahkan semua kesaktian yang masih ada tersisa. Sepertinya ia akan mengeluarkan kemampuan pamungkasnya. Tubuhnya menggigil melakukan summon pada keempat mahluk yang ada dalam kekuasaannya itu. Tangannya mengepal mengerahkan semua sakti-sakti kemampuannya. “Naga Parabas!! NAGA PARABAS!!” teriaknya kuat.
Sesosok tubuh melompat dari kegelapan dan jatuh teronggok di hadapan oppung Datu. Awalnya ia senang karena salah satu mahluk yang dipanggilnya telah hadir di depannya, memenuhi perintahnya. Tapi demi melihat luka-luka parah menganga di punggung naga yang dari sananya sudah berbentuk ganjil itu, tak ayal membuat oppung Datu kaget. Naga itu tak dapat bergerak dengan benar karena kedua tulang pahanya sudah dilolosi di pertarungan sebelumnya. Ketat mukanya juga merah padam menahan amarah yang semakin membuncah. Otot-otot uzurnya menegang, urat-uratnya makin bertonjolan. Iyon mundur selangkah khawatir terkena cipratan kalau tiba-tiba pria tua itu meledak.
“D-DAATU… KIIKKIKK… DAATUU… TOLONG KAMI DATUUU…” apalagi bertambah datang sambil merangkak, menyeret tubuhnya agar bisa bergerak, tiga mahluk Begu Ganjang yang juga terluka parah. Bahkan ada yang tak bertubuh lengkap, kehilangan salah satu tangan. Saling bantu ketiga Begu Ganjang itu untuk memenuhi panggilan pemilik mereka. Ada sejumlah jejak darah yang mengikuti jejak pergerakan mereka. “DAATUU… DATUU… KIIKK… KIIKK… DATUU…” erang penuh kesakitan para mahluk besar berbulu hitam lebat berwajar seram itu. Menggapai-gapai tanah, mencakar tanah untuk dapat bergerak maju, memenuhi panggilan sang Datu.
Bertambah amarah oppung Datu melihat ketiga Begu Ganjang andalan kepercayaannya mengalami kerusakan sedemikian parah. Di belakang ketiganya pria bernama Aseng itu mengekori mereka sambil menenteng mandau Panglima Burung-nya. Lalu menyusul Kojek menyeruak dari kegelapan di belakang naga Parabas. Sepertinya ia yang telah menendang naga hybrid itu sampai ke hadapan oppung Datu.
“Santabi jolo, oppung Datu… Santabi molo gabe sangonon…” (Maaf dulu, oppung Datu. Maaf kalau jadi begini) Kojek menghaturkan maaf dengan menyatukan tapak tangannya yang cenderung bisa disalah artikan sebagai ejekan karena telah mengalahkan andalannya yang disuruh menghadapinya tadi. Kojek telah menghajar habis-habisan Naga Parabas yang merupakan perwujudan tongkat Tunggal Panaluan-nya. Tiga Begu Ganjang-nya juga sudah dihajar sedemikian rupa oleh Aseng. Ditambah dengan perlakuan Iyon padanya…
‘BIANG HAMU SUDE!!!” (An**ng kalian semua!) teriak si oppung Datu tak tertahankan lagi amarah yang menggelegak di dadanya. Nafasnya berat, dada kurus di balik pakaian serba hitamnya naik turun. Rambut di balik peci hitamnya awut-awutan kebanyakan diacak. Tangannya terkepal erat. Giginya rapat, rahangnya ketat. Matanya melotot, uratnya menonjol.
“Apa artinya, Jek?” tanya Iyon penasaran pada sahabatnya yang berdiri jauh diseberang sana.
“Katanya kita semua an**ng, Yon…” Kojek menterjemahkan bahasa Batak yang baru diteriakkan si oppung Datu.
“Maaak… Kita dikatain gukguk…” komentar Aseng hampir tergelak.
“Kimbek, kita dikatain asu… Sampeyan yang asu… Enak tenan ngatain orang asu… Apa tadi? Biang?… Sampeyan yang biang…” balik Iyon malah yang ngomel-ngomel gak jelas. “Eh… Ngapain sampeyan?” Oppung Datu itu mengorek-ngorek wadah tanduknya dengan gak sabar untuk serbuk putih Pangulubalang yang masih ada tersisa di dinding wadah itu. Tiap titik serbuk yang terkumpul di jarinya, dijilatinya dan diulangi terus menerus sampai benar-benar bersih licin tak bersisa.
“Huh-huh huh-huh…” makin berang dan ketat mukanya dengan amarah.
“Hati-hati, Ribak Sude… Ini ledakan amarah! Dia mengamuk!” seru Iyon memperingatkan kedua sahabatnya yang mungkin juga sudah menyadari keadaan si oppung Datu. Di punggung pria tua itu muncul sebuah patung kayu secara ghaib yang mirip patung Sigale-gale. Hanya saja patung ini tak bisa digerak-gerakkan sendinya untuk menari layaknya Sigale-gale. Kaku terpaku saat dipindahkan ke depan oppung Datu yang mulutnya komat-kamit membacakan mantranya. Sah saja rasanya kalau si oppung Datu mengamuk seperti ini setelah mengalami kekalahan telak berturut-turut dari dua utusannya. Dia menolak untuk kalah juga dan melakukan usaha terakhirnya ini.
“PAMUNU!!” teriaknya dengan suara parau. Pamunu artinya kurang lebih adalah pembunuh. Ia menyatukan kesadaran dirinya dengan patung Pangulubalang, kesaktian terhebatnya. Tubuhnya lalu terkulai jatuh di tanah gelap sementara patung itu bergetar, mulai hidup dan bisa bergerak. Tangannya yang kaku menempel di samping tubuhnya lepas dan bergerak menurut sendinya, begitu juga dengan kakinya. Mulutnya bergerak terbuka dengan ganjilnya. Seperti sebuah manekin yang bisa bergerak, kaku tubuh patung Pangulubalang melangkahkan kaki pertamanya.
“Horeee…” Iyon bertepuk tangan senang patung itu bisa bergerak dan melangkahkan kakinya. Seperti bayi yang baru belajar melangkah. Mata tak bernyawa patung itu menatap Iyon tak diketahui apa makna ekspresinya. Senang apresiasi itu atau malah marah?
“Yoon… Kasianlah, Yoon…” kata Kojek gak sampai hati melihat Iyon mempermainkan orang tua itu sampai taraf ini. Oppung Datu sudah bertekad untuk bertarung dengan serius tapi terus dibercandain olehnya. “Kita habisin aja dia cepat-cepat… Biar cepat selesai juga kita… Nanggung tadi si Sarah itu…”
“Tapi paten kali nih, Jek… Bisa bergerak patungnya… Nah… nah… Liat, kan? Oop… Masook dia!” antusias Iyon melihat perkembangan lawan yang akan mereka hadapi bersama-sama sebagai kesatuan Ribak Sude. Perkembangan apa yang dimaksud Iyon? Apakah proses bagaimana patung Pangulubalang yang sudah dirasuki oppung Datu menghisap naga Parabas dan tiga Begu Ganjang itu? Keempat mahluk itu dihisap semua esensi kekuatannya masuk ke dalam mulut kayunya.
“Keknya jadi Megazord dia…” tebak Aseng caranya seperti serial super sentai Jepang. Penggabungan beberapa robot kecil menjadi robot yang lebih besar. Tubuh naga Parabas dan tiga Begu Ganjang itu menghilang, habis dihisap patung Pangulubalang itu diserap tubuuhnya.
“Ba-ba-bah… Jadi apa dia itu?” kaget Kojek melihat proses perubahan patung Pangulubalang itu menjadi sesuatu yang benar-benar ganjil, yang tak mereka sangka-sangka. Seekor kuda.
“Jadi unicorn dia, yah?” Iyon sampai memiringkan kepalanya untuk melihat dengan jelas bentuk baru lawan mereka di kegelapan tempat ini. “Kalian pernah liat yang seperti ini sebelumnya?” tanya Iyon pada kedua sobatnya. Serentak mereka menggeleng. “Hati-hati semuanya… Entah apa yang bisa dilakukannya… Pokoknya lebih hati-hati aja… Kayaknya ini kuda sembrani…” ia mengingatkan keduanya. Insting kepemimpinan Iyon mengemuka. Insting miliknya ini yang bisa membuat mereka selamat dari dulu sampai sekarang.
Seekor kuda besar berwarna hitam mengkilat lengkap dengan penunggangnya. Bersurai panjang dan ekor panjang berwarna senada, hanya matanya yang berwarna lain, merah menyala seperti saga. Apakah penunggangnya itu si oppung Datu? Tidak. Bentuk tubuhnya lebih besar dan gagah juga masih muda. Bertelanjang dada. Tetapi jelasnya penunggang itu bukanlah manusia lagi. Tubuhnya juga hitam tak lazim.
“Orangnya nempel ke kuda sembrani itu, Yon…” sadar Aseng menilik ikatan penunggang kuda itu dengan tunggangannya. Penunggang itu duduk di punggung kuda hitam itu tanpa pelana dan merekat erat.
“Ini mimpi buruk…”
Selesai Iyon mengucapkan kata itu, terlihat sinar menyilaukan dari mata saga sang kuda. Ketiga anggota Ribak Sude terpaksa menutupi mata mereka dari sinar silau yang laksana matahari kecil. Menghindar agar tak terbakar…
–
–
–
POV Aseng.
“Silau…” kubuka mataku dan menarik tangan karena sinar sudah tidak lagi menyakiti pandangan. Hanya terang normal matahari siang di daerah tropis. Sejuk tempat ini berkat sejumlah besar air yang ada di dekatnya berupa dua buah kolam dangkal dan dalam berdampingan. Ini rumahku di kompleks XXX. Aku lagi rebahan berjemur matahari pagi menjelang siang di kursi pantai pelataran kolam rumahku. Terdengar riang suara beberapa anak sedang bermain di dalam kolam dangkal. Aku gak tau itu anak siapa.
“Pa… bagi duit…” tiba-tiba ada suara seorang gadis remaja yang mendatangiku. Ia menadahkan tangannya. Siapa ini? “Paa… Bagi duit… Wawa mau pergi sama teman-teman Wawa…” ulangnya lagi.
“Wawa? Salwa?” ulangku gak ngerti. Anak perempuan siapa ini? Kok berani minta duit ke aku? Penampilannya berani kalo gak bisa dibilang modis. Baju tanpa lengan berpotongan pendek hingga pusarnya terlihat. Lalu hotpants jeans warna biru. Telinga kirinya penuh tindikan dan ada satu tindikan juga di hidungnya. Rambutnya dicat merah menyala seperti Megaloman. Apa yang dilakukan orang tuanya membiarkan anak seperti ini?
“Iya ini Wawa… Salwa, paa… Bagi duitnya…” ulangnya lagi mendesak. Kapan anakku yang cantik dan manis menjadi seperti sundal seperti ini? Aku mencoba menepuk bagian kantong celanaku. Ada dompetku di saku kanan belakang. Kukeluarkan beberapa lembar uang seratus ribuan padanya. Disambarnya dan pergi tanpa mengucapkan apapun.
“Mama mana?” tanyaku seperti orang linglung. Kenapa jadi begini? Kapan aku melewatkan perkembangan anak-anakku?
“Mama? Papa mabok lagi? Kan udah papa cere’in bertahun-tahun lalu…” badanku terasa ringan seperti isinya terbuat dari dacron pengisi boneka. Terhenyak aku kembali duduk di kursi pantai ini. Gadis yang mengaku sebagai Wawa itu pergi menghilang. Aku sudah menceraikan istriku? Kapan aku melakukan semua hal tergila itu?
“Ini pasti mimpi!” aku bertekad, bangkit. Ini rumah yang persis sama. Tapi kalo mimpi tidak akan senyata ini. Kucubit tanganku sendiri. Sakit. Kucoba tampar pipiku. “Plak! Aww… Kimbek… Sakit…” keluhku mengusap-usap pipiku yang pedas.
Tiga anak-anak kecil di dalam kolam dangkal itu tertawa-tawa menunjuk-nunjuk pada kebodohan menyakiti diri sendiriku. “Papa bodoh… Papa bodoh… Papa bodoh…” olok-olok mereka bersamaan. Ini anak siapa sih pada main di sini semua? Salah satu anak menembakiku dengan pistol air berbentuk kuda. Aku masuk ke dalam rumah dengan bersungut-sungut seperti biasa kalo aku lagi kesal. Ini seperti hal biasa aja jadinya.
“Pagi, paa…” seorang gadis muda lain menyapaku saat berpapasan dengannya. Ia sedang membaca buku tebal. Umurnya sedikit dibawah si Wawa-Wawa tadi. Kaca matanya membuatnya seperti kutu buku. Ia naik ke lantai atas tanpa kesulitan walo matanya tak lepas dari bacaannya. Tapi pandanganku teralih dari entah siapapun dia itu ke beberapa figura foto yang digantungkan berjejer di sepanjang dinding tangga. Ada 4 buah foto yang digantung berjejer seperti urutan. 4 orang perempuan cantik yang sama sekali tak kukenal. Siapa mereka berempat ini?
Rumahku tak berubah bentuknya. Setidaknya ruangan ini masih seperti yang kuingat. Tetapi ada beberapa perubahan furniture dan yang paling signifikan adalah keempat figura foto perempuan cantik yang sama sekali asing buatku. Berfoto ala lady borjuis gitu yang memamerkan hedonisme semata. Apa yang telah terjadi? Kenapa ini? Kenapa aku merasa sangat salah?
Pintu utama terbuka, seorang pemuda masuk kelimpungan karena kakinya tersandung kaki lainnya dan jatuh. “Eh… Papa? Udah bangun, pa?” ia berusaha bangkit tapi dari jauh begini aku sudah tau pasti kalo pemuda sembrenget ini lagi mabok. Matanya sayu dan merah. Ia sudah berpenampilan aneh dan tak perduli. Bisa-bisanya ia memakai baju bersablon kuda poni. Belum lagi bau alkohol menyengat… Dari pintu yang belum ditutup sempurna itu masuk beberapa sosok tubuh lainnya.
“Eh… Mama-mama muda udah pada pulang…” pemuda mabok itu menyapa keempat perempuan yang kalo ditilik sama dengan empat foto yang ada di dekat tangga. “Aku suka bodi goyang mama muda… mama muda… na na na na naa…” ia bernyanyi dan bergoyang dengan bodohnya tarian paok walo tubuhnya sempoyongan akibat tenggen (mabuk).
Terlihat wajah gak suka dan gak senang di keempat perempuan itu yang bergidik jijik berhadapan dengan pemuda itu. Sepertinya mereka baru pulang senam ato apapun itu, terlihat dari pakaian ketat menggiurkan yang mereka semua kenakan. “Paa… Liat tuh anakmu tuh… Pulang rehab masih aja kek gitu… Gak guna banget jadi anak paling gede…” ketus salah satu dari mereka.
“Iya… adek sama abang sama aja rusaknya…” imbuh yang satunya.
“He-eh… Yang satu pemake… yang satu perek… Amit-amit…” kata yang sedang berperut buncit. Hamil keknya.
“Papa harus tegas, dong sama anak-anak papa itu… Anak-anak lainnya bisa terpengaruh buruk juga… Di-ruqyah kek…disingkirkan kek… diusir sekalian juga gak pa-pa…” cetus yang satunya lebih nyelekit. Tapi aku masih gak paham. Otakku blank.
“EH! BACOT KLEN SEMUA!!” jerit pemuda itu. “RIO BAGAIMANAPUN AKAN TETAP JADI ANAK PAPA ASENG!!” jeritnya lagi. “KALIAN LONDUR-LONDUR (Lonte Durhaka) BISA DIGANTIKAN KAPAN SAJA!! TAU KLEN?!” jeritnya histeris tiba-tiba marah begini berang. Rio? Pemuda ini mengaku-ngaku sebagai Rio? Tadi Wawa ini sekarang Rio… Kenapa mereka sudah sebesar ini aja?
“AAAAHHH!!!” jerit histeris keempat perempuan itu tiba-tiba. Mereka ragu mau lari ato tetap rapat berpelukan. Pemuda yang mengaku sebagai Rio itu mengacungkan sebuah pistol ke udara. “Daass!!” Suara sekali letusan terdengar di udara. Dari suaranya aku segera tau kalo itu senjata air soft gun. Dengan mudah aku men-sleding-nya, melumpuhkannya dan mengambil alih senjata itu dari tangannya.
“Ampun, paa… Ampun, paa…” jerit pemuda itu meringkuk di kakinya tak mengira aku dengan mudah bisa melumpuhkan dirinya yang tak akan awas bila dalam pengaruh apapun yang sudah dikonsumsinya. Kulucuti senjata itu dari tabung gasnya, butir-butir pelurunya bertaburan di lantai.
“Masuk!” hanya kata itu yang keluar dari mulutku. Pemuda yang mengaku sebagai anakku, Rio, memandangiku dari posisi di lantainya. Matanya merah berair. Dengan kewarasan yang masih ada di dalam batok kepalanya, dipaksakannya badannya untuk bergerak, naik ke tangga dengan sempoyongan di bawah tatapan mata-mata kami yang masih berdiri di sini. Aku gak mau terlibat percakapan dengan keempat perempuan itu karena aku melangkah pergi, keluar secepatnya dari rumah ini. Aku harus keluar walo mereka memanggilku dengan sebutan…
Kepalaku benar-benar sakit sekali saat ini. Aku gak bisa terlalu konsentrasi mengendarai mobil ini sehingga aku hanya menyetir pelan-pelan hingga aku berhasil keluar dari sistem jalan tol dan memasuki daerah Mabar, kawasan rumah lamaku. Kuparkirkan mobil ini di depan rumah itu. Rumah yang tak berubah sedikitpun. Pohon mangga Golek sudah tumbuh sangat besar dengan besar batang sepelukan orang dewasa. Menjulang tinggi dengan daun-daunnya yang lebat dan rimbun.
Kuketuk pintunya beberapa kali dengan perasaan yang campur aduk. Aku sudah menceraikannya? Apa yang sudah kupikirkan kala itu? Apa yang sudah membuatku melakukan itu semua? Apa yang sebenarnya sudah terjadi? Kenapa semua ini jadi begini? Aku gak bisa menghilangkan gemuruh di dalam dadaku. Seperti ada serombongan lebah terbang berputar-putar dengan suara berdengung riuhnya. Apalagi rasa gak nyaman di perutku.
“Siapa?”
Pintu rumah tiba-tiba terbuka dan perempuan itu muncul. Ia masih secantik dan seindah seperti yang selalu kuingat. Tapi dia bukan istriku lagi. Walo tetap indah di mataku, tak menampik gurat-gurat lelah dan umur di wajahnya. Kantung matanya menebal, keriput di sudut matanya, pipinya yang mulai mengendur dan bibirnya yang pucat. Ada sebuah meteran jahit melingkar di lehernya begitu juga sebuah bahan kain yang dipegangnya. Aku tak bisa berkata apa-apa…
“Kau… Mau apa?” tanyanya datar tapi tak kunjung membuka lebar pintu. “Suamiku tidak ada di rumah… jadi jangan masuk…”
Dia sudah menikah lagi. Itu wajar. Aku juga sudah menikah lagi. Sekilas aku melihat figura di dinding di belakangnya. Ada foto pernikahannya, pernikahannya lagi. Tempat itu dulunya merupakan lokasi foto pernikahan kami. Wajar juga kalo ia menggantinya dengan foto baru. Tak salah kalo ia mencampakkan foto lama itu.
“Ada apa? Ngomonglah… Aku sibuk, nih… Masalah anak-anak, ya?” tebaknya karena aku tak kunjung membuka mulut. Aku tak tau apa yang telah membawaku kemari. Kepalaku makin pusing tapi tak ada yang bisa kupikirkan. Aku benar-benar bingung.
“Ngomong, Seng… Aku gak mau kau lama-lama berdiri di situ… Ntah apa nanti kata tetangga melihat kita berdua di sini…” ujarnya tentu saja merasa gak enak ada di dalam kondisi seperti ini. Sang mantan suami berkunjung, menemui mantan istri di rumah—bekas rumah yang kami tinggali dulu, di saat tak ada orang lain, katakanlah suami barunya di sini.
“Kenapa kita jadi begini?…” hanya itu yang bisa keluar dari mulutku. Mata perempuan itu menyipit heran, mulutnya meruncing kesal.
“Kau yang memilih ini semua… BRAK!” ia membanting untuk menutup pintu itu kembali. Ia pastinya sangat kesal dan tak mau memulai sebuah cekcok yang tak perlu. Pastinya ia ingin sekali memaki-maki diriku, bahkan meludahi mukaku, melempariku dengan berbagai macam pecah belah. Aku ingat ia pernah melakukan itu. Ia melakukan itu semua saat ia mengetahui semua perbuatanku…
Aku terpaksa harus menceraikan istriku saat aku ketahuan menghamili seorang perempuan yang bahkan aku sudah lupa namanya saat ini. Perempuan itu terindikasi ingin menjebakku. Affair indah sesaat itu berujung malapetaka saat ia mendatangi rumahku dan bertemu dengannya. Ia membeberkan semua bukti-bukti perselingkuhan kami yang berbuah hamilnya dirinya. Apalagi ia membeberkan kalo ia sudah hamil dari hasil hubungan itu dan minta dinikahi secepatnya.
‘Dia’ berang bukan buatan. Semua keindahan asmara, cinta dan kisah kasih kami selama ini hilang menguap begitu seperti tak termaafkan. Ia minta aku segera menceraikannya, menikahi perempuan yang sama sekali tak dapat kuingat detail wajahnya dan bahkan namanya kulupa. Sempat kuberikan opsi poligami tapi ditolaknya mentah-mentah. Dan terus-terus bergulir sampai Pengadilan Agama mengabulkan permohonan cerai kami dengan hak asuh anak jatuh sepenuhnya padaku. ‘Dia’ hanya mendapatkan rumah ini. Rumah dengan sejuta memori indah ini.
Rumah ini tetap begitu saja seingatku. Tak ada renovasi berarti. Hanya ada perbaikan minor di sana-sini seperti warna cat dindingnya dan tanaman hias di tepian sudut rumah. Beberapa kursi plastik untuk duduk-duduk di depan teras. Luruh daun mangga Golek mengotori halaman rumah yang luas yang sedianya kusiapkan untuk tempat bermain anak-anakku.
Sebuah mobil box berwarna putih melintas, ini sepertinya kurir pengantar barang dengan logo kuda terbang ato semacamnya. Pergerakannya agak terhambat oleh parkir mobilku dan aku harus menggesernya untuk memberinya jalan.
Dan di sinilah diriku sekarang. Berdiri menatap ke bawah pada hamparan jalan bebas hambatan. Mobilku berhenti di belakangku dengan lampu hazard berkedip-kedip di tepi jalan. Lalu lintas terus lalu lalang acuh atas apa yang sedang terjadi padaku. Tak ambil pusing atas beban di dalam kepalaku. Cuek atas derita yang sedang menggayuti benakku. Tekanan ini sangat berat.
Kuremas pagar besi pembatas jalan yang kusandari. Lalu lintas berjalan terus di bawahku. Aku sudah lupa kemana tadi mengarah. Entah ini menuju Utara ato Selatan. Teriakan TOA petugas di belakangku tak acuh kudengar. “… dipikir masak-masak dulu, pak… Ingat anak dan istri di rumah…” serunya. Aku sudah berdiri di tepian pagar pembatas.
“Semua permasalahan ada solusinya, pak… Jangan mengambil jalan pintas…”
Apa lagi yang menungguku? Kalo kujatuhkan tubuhku dari sini, permukaan keras jalan akan menyambut kepalaku duluan. Mengakhiri semua deritaku. Mengakhiri semua masalah pelikku. Apalagi kalo bertepatan dengan dilindasnya tubuhku oleh kendaraan berat yang akan melintas tak lama lagi itu. Sebuah truk dengan muatan kontainer bertonase puluhan ton.
Kupejamkan mataku erat-erat. Selamat tinggal dunia.
Kutepatkan semua waktunya dengan mengintip timing truk kontainer itu, sebuah mobil box menyalipnya dari kiri karena kecepatan truk itu tidak terlalu cepat. Ini sepertinya mobil box yang sama dengan di gang tadi. Berlogo kuda terbang, armada kurir pengantar barang. Ia melaju mendahului truk kontainer itu.
Kenapa kode ini selalu berulang?
Kuda.
Kuda…
Ada kuda poni dan kuda terbang. Pistol air berbentuk kuda. Sablon kuda poni di kaos Rio. Logo kuda terbang di mobil box…
Kenapa aku harus mengingat semua itu sebelum mati? Apa artinya kuda? Ya… Kuda itu hewan yang indah. Tubuhnya besar dan kuat. Mampu berjalan dan berlari jauh dengan stamina kuatnya. Kuda sering dikaitkan dengan keberanian dan ketangguhan. Banyak orang menjadikan kuda sebagai lambang prestise dan kesuksesannya. Bahkan ada kuda yang sangat mahal hingga bernilai jutaan dolar…
Ngapain aku malah memikirkan kuda? Kuda… Kuda yang tergagah itu adalah kuda sembrani. Kuda yang konon dikendarai Dewa Agung. Dewa lagi? Dan ini malah kudanya.
–
–
–
Ada yang gak beres ini…
Bagaimana mungkin aku bisa jadi sebegitu putus asanya hingga mengambil jalan pintas untuk mati dengan jalan seperti ini? Aku harus kembali. “Permisi, pak…” aku menyela bapak-bapak polisi, juga petugas sosial yang kelimpungan melihatku tergopoh-gopoh membuka pintu mobil, menyalakannya lalu menjalankannya kembali ke sistem jalan tol. Mencari jalan berputar balik dan kembali ke Mabar.
“Liiin… Liiin! Buka! BUKA!!” gedorku gak perduli apapun lagi. Aku menggedor pintu utama bekas rumahku ini kuat-kuat berharap ia segera membuka pintu dan membiarkanku masuk.
“PERGI!! AKU MUAK MELIHATMU!! PERGI!!” jeritnya histeris dari dalam. Mantan istriku menjerit-jerit ketakutan melihat agresiku yang menggedor-gedor pintu rumahnya dengan kuat minta dibuka.
“BUKA ATO KUDOBRAK!!” teriakku tambah gak sabar. Para tetangga mulai berdatangan. Jam-jam segini, kebanyakan hanya para ibu rumah tangga yang tersisa karena para suaminya rata-rata pergi bekerja. Ada juga satu dua pria yang muncul. Para lansia pensiun.
“PERGIII!!” teriaknya tambah histeris.
Dengan sekali tendang aku sudah berhasil menendangnya. Ia meringkuk jauh dari pintu, ketakutan dan menangis pilu. Wajahnya basah oleh air mata. Aku tidak datang untuknya. Melainkan ke dinding itu. Kupandangi lekat-lekat sosok itu. Dan kupastikan itu memang dia. Entah bagaimana caranya tapi itu dia. Ini permainan.
Kedua tanganku terangkat dengan mandau Panglima Burung terhunus lurus menunjuk langit. “Pedang Selatan Menepak Tabir…” Mantan istriku itu menjerit melengking histeris tinggi melihatku menghunus senjata tajam. “SWAAATTCCHHHH!!!!” Bingkai foto nikah itu terbelah dua beserta dinding di belakangnya. Ada sinar tipis kemerahan yang menjaga foto itu tetap di tempatnya. Lalu kabur dan hilang… “Maafkan semua salahku…” desisku padanya yang masih meringkuk di sudut sana.
Semuanya pecah berkeping-keping menjadi potongan besar, menjadi pecahan kecil lalu hanya tersisa serpihan. Walopun aku akhirnya sadar semua realita tadi adalah palsu, tapi beberapa faktanya sangat menohok hatiku. Entah darimana asal tiga anak-anak kecil yang bermain di rumahku, Salwa yang menjadi liar, Rio yang pemabuk, empat istri cantik yang sangat asing, aku menceraikan istriku, rumahku yang belum direnovasi. Itu kesalahannya… Rumahku di Mabar sedang dalam kondisi berantakan saat ini karena proses renovasi. Bagaimana mungkin balik lagi ke sedia kala, kalo ini adalah realita masa depanku yang carut marut. Masa depanku yang amburadul. Pasti ada yang meng-implan realitas ini ke dalam kepalaku.
Serpihan tadi berkumpul rewind cepat menjadi pecahan kecil lalu pecahan potongan besar lalu satu imej utuh. Sesosok hitam itu sedang membuka mulutnya tepat di depan mukaku. Ia melakukan sesuatu seperti menghisap energiku. Ia menekanku di tanah, menahan kedua tanganku di pergelangan dan mengunci kedua kakiku dengan kakinya. Kuda sembrani bersurai lebat itu berdiri dengan gagahnya sementara penunggangnya turun dan menghisap energi kami bertiga.
Ada semacam saluran semacam selang yang tetap menghubungkan si penunggang ke kuda sembrani dan ia menciptakan tiga penunggang, simultan menghisap. Penunggang itu hanya punya mulut yang menganga tanpa hidung dan mata. Asik menghisap belum menyadari aku sudah tersadar dan menunggu waktu yang tepat. Tak boleh lama-lama karena aliran Lini-ku sudah mulai terganggu karena disedot sedemikian rupa. Gimana kalo mahluk penunggang kuda sembrani ini kutendang di kantong menyan-nya?
“J-duk!” keras seperti kayu! Dengan sapuan tanganku yang masih dalam mode Mandalo Rajo, kuhajar ia tepat di bagian pipinya. Kepalanya miring ke kanan. Kuhajar lagi dan lagi dan ditambah serangan lutut ke arah bagian perutnya membuatnya semakin limbung. Ia tak bisa menghisap energiku lagi saat tangannya kupelintir dan terdengar suara berderak kayu patah. Aku berguling menjauhinya yang sebelah tangannya berjuntai tak berdaya lalu menerobos maju kembali, menerjang dengan cepat. Tangan dan kakiku yang berkuku tajam silih berganti menghajar lehernya lalu melompat menjadikannya sebagai batu loncatan dan menuju ke kuda sembrani!
Aku langsung naik ke punggungnya dan mengincar leher tebalnya. Melonjak kaget mahluk berbentuk kuda hitam ini merasakan ada seseorang yang menaikinya. Lagi-lagi tubuh keras seperti terbuat dari kayu keras yang kusayat-sayat dengan kuku Mandalo Rajo-ku. “ROOAAAHHH!!” aku meradang begitu mendapat satu kesempatan bagus di antara lonjakan rodeo kuda sembrani itu. Kubenamkan kuku-ku ke lehernya sedalam-dalamnya lalu kutarik untuk kerusakan yang lebih lebar sebelum tubuhku terlempar dari tubuh kekarnya. Ia menderap-derapkan kakinya ke tanah sembari menggeleng-gelengkan kepalanya. Penunggang yang ada di punggungnya muncul kembali dan yang sedang menghisap energi dari Iyon dan Kojek sudah tidak ada lagi. Mereka berdua pasti juga mengalami hal sama denganku barusan. Mendapati realita palsu yang sangat mengerikan. Berkutat di seputar hal-hal yang sangat menakutkan buat korbannya.
Padaku itu adalah kerusakan keluarga kecilku…
“Kau sangat keterlaluan oppung Datu… Dimanapun kau sekarang di dalam tubuh iblis itu… Keterlaluan…” aku menyiapkan kuda-kuda khas silat harimau Mandalo Rajo yang selama ini rutin kulatih. Ada 12 tingkatan jurus dalam silat harimau aliran Mandalo Rajo. Semuanya sudah diajarkan oleh Inyiek Mandalo Sati sebagaimana juga telah disempurnakan Inyiek Mandalo Panglimo nan Sadareh saat aku memasuki daerah aneh bertemu keduanya saat sekarat menghadapi Inyiak Lelo waktu itu. Di sana aku mendapat semua intisari semua silat harimau Mandalo Rajo yang secara rutin kulatih ketajamannya akhir-akhir ini. Selama ini aku hanya sering menggunakan sampai ketingkatan 4 saja karena restriksi suara distorsi bising yang kerap menggangguku. Sekarang aku rutin melatih ke-12 tingkat tanpa gangguan.
“Rajo nan di ateh… Puak takambang…” (Raja yang di atas. Kampung tersebar) gumamku mendiktekan tiap baris pantun yang dibacakan para guruku saat mengajari jurus-jurus ini. “Maniti jalan ka luhak sabaleh… Parigi bapanuah kiambang…” (Meniti jalan ke dusun sebelas. Parigi penuh dengan kiambang/eceng gondok) ini bukan pantun sembarang pantun. Ada gerakan mematikan tiap kata di tiap bagian pantun ini. Sang kuda sembrani bak seekor hewan sembelihan yang meronta-ronta menghindari serangan seekor predator. Hewan gagah sekelas kuda sembrani kelimpungan mendapat serangan mencabik-cabikku. Beberapa ototnya juga kubetot hingga tak dapat berfungsi sebagaimana mestinya.
Pada baris pantun ke-5, kuda sembrani itu tak dapat berdiri dengan tegak lagi. Ia hanya bisa menggerakkan lehernya sebagai alat bela dirinya dengan berusaha menghantamku dengan ayunan kepalanya. Itu semua tentu saja dapat kuhindari dengan mudah berkat gerakan lincah dan liatku berpindah sana-sini dengan cepat. “Rajo di rimbo. Datuak di ulakan… Ambo baibo… Dunsanak kabatinggakan…” (Raja di dalam rimba. Datuk di desa. Saya bersedih. Saudara akan ditinggalkan). Kututup di pantun baris ke-6 dengan sebuah tusukan di leher dekat dengan dagu kuda sembrani itu. Tubuhnya berkelojotan. Leher berat dan tebalnya berusaha melawan tapi gerakannya malah semakin memperparah robekan yang kuhasilkan dengan berkelit berputar. Lunglai kepala kuda sembrani itu hampir lepas dari lehernya. Terkapar…
Tak jauh dari sisa tubuh kuda sembrani itu, Iyon dan Kojek bertepuk tangan dengan lemah. Tapi aku menunggui sampe mahluk jahat ini benar-benar selesai. Hanya tubuh oppung Datu yang terbujur kaku yang tersisa. Patung Pengulubalang-nya hancur, naga Parabas-nya tak bersisa apalagi tiga Begu Ganjang itu.
“Kimak memang kasusmu ni, Seng… Hampir gilak aku dibuat oppung itu tadi…” keluh Iyon yang ternyata mengalami hal yang senada denganku tadi. Aku hanya cengengesan garuk-garuk kepala yang berkeringat. “Kau sama juga tadi, Jek?”
“Sama-lah… Apalagi? Sensitip kali mainan oppung itu… Kesitu mainnya… Jelek kali kurasa…” keluh Kojek merenung. Entah dia mau berbagi cerita pengalamannya di alam realita palsu itu.
“Diapainnya kau?” tanyaku. Kalo mereka mau cerita, aku juga akan cerita versiku.
“Ahh udahlah… Malas kali aku… Balek-balek kita… Panas kali otakku jadinya…” bersungut-sungut kesal dia telah dikerjai sedemikian rupa. Aku tau apa yang sangat ditakutinya, seperti apa juga yang ditakuti Iyon. Kami saling mengenal sangat baik hingga ini bisa menjadi masalah yang sangat emosional kalo dipermainkan pihak lain. Iyon dan Kojek bangkit dari duduk di tanah gelap ini.
“Keknya oppung ini masih idup, Seng…” sadar Iyon saat ia memeriksa tubuh orang tua itu.
“Iya… Aku hanya membantai Pangulubalang-nya aja… Tapi dah setengah idup aja dia paling… Ada rencana?” tanyaku padanya. Iyon pasti punya rencana brilian untuk membalas orang ini.
“Aku lebih suka kita kasihkan dia ke massa…” usul Kojek.
“Kek kejadian di dekat kampungmu itu?” tanya Iyon memastikan. Kejadian itu terjadi di suatu kampung di daerah Tapanuli Utara pada tahun 2003. Satu keluarga dipersekusi massa hingga tewas di depan umum karena telah dituduh memelihara Begu Ganjang. Persekusi, lebih ringan kata itu karena yang terjadi malah eksekusi massa yang marah. Kojek membenarkan apa yang dikatakan Iyon. Kojek yang tinggal di komunitas masyarakat Batak pastinya sangat tau akan tragedi itu. Aku kurang tau persis jarak kampung itu dari tempat tinggal Kojek tapi itu bukan soal karena berita cepat tersebar seperti wabah.
“Ini bukan cuma kata orang… katanya… kabarnya… Kita bertiga sudah mengkonfirmasi sendiri kalo oppung ini memelihara Begu Ganjang dan ia menggunakannya untuk kejahatan… Ada tiga lagi Begu Ganjang-nya… Plus yang lain-lainnya ini… Sudah sangat pantas ia mendapatkan balasan setimpal ini… Kita sebagai Ribak Sude tidak bisa tinggal diam tentunya… Untuk inilah kita bertiga ada dan kontribusi kita ke masyarakat… Kita kasihkan dia ke massa, ya? Setuju?”
Aku dan Kojek mengangguk setuju. Juga sebagai efek jera dan sinyal keras pada dukun lain agar tidak main-main dengan kesaktian mereka.
“Eh… Tapi si Cyntia-nya cemana?” sadar Iyon kalo si pemandu lagu cantik demplon itu masih ada di kamar hotel bareng Iyon. Juga ada Sarah bareng Kojek.
—————————————————————————-
Keputusan tetap bulat, sebulat tetek Cyntia dan Sarah yang terpaksa harus ditinggalkan Iyon dan Kojek. Tapi aku tetap harus membayar DC keduanya walo belum dipake maksimal karena sudah kadung BO, kan?
Aku masih ingat ekspresi kosong Cyntia menerima DC (Damage Cost, *takut ada yg gak tau) itu berbungkus selimut hotel yang dikatupkan sekenanya menutupi tubuh telanjangnya. Setidaknya Iyon sudah melakukan foreplay tadinya dan di partai utama, ia memasuki daerah kekuasaan oppung Datu, memanggilku dan seterusnya-seterusnya. Ia memandangi Iyon yang memakai kemeja lengan panjangnya kembali, merapikan rambutnya, mengecup kening Cyntia dan mengajakku keluar. Di lorong, Kojek juga baru keluar dari kamarnya. Dalam keadaan rapi juga. Cuma aku aja yang kasual dengan baju kaos polo dan celana pendek sedengkul.
“Ini belum selesai, Seng… Nanti traktirin kami lagi… Masih kentang tau…”
Bersambung