Part #46 : Menikmati Tubuh Molek Andini

“AAAHHH!!! AAHHH!! UUHHH!!! YAAHHHH!!!” teriaknya gak pake nahan-nahan lagi. Lagi-lagi ia menikmati orgasmenya dengan ekspresif menjerit-jerit nyaring kek Tarzan di hutan. Memang ini lagi di hutan. Tepatnya di kedalaman ladang rambung/karet. Tadi kumasukkan mobilku memasuki satu jalan tanah di tepi jalan lintas ini, telusur terus masuk hingga yakin gak akan ada orang yang datang bahkan para petaninya.

Aseng junior kembali menyemburkan isi muatannya ke dalam rahimnya. Hangat terasa walo kondisi tempat ini teduh berkat pepohonan rambung yang rimbun di pinggiran sungai kecil irigasi perkebunan ini. Pajero-ku yang berwarna hitam berkamuflasi dengan baik di sini. Habis suara bising jeritan Andini, yang tertinggal adalah suara nyanyian burung dan serangga wawung berdengung. Desau angin sesekali berhembus.

Kembali aku menyibukkan diri menikmati puting gemuk teteknya dengan rakus di posisi yang sebenarnya kurang nyaman di jok mobil yang direbahkan maksimal ini. Tubuh Andini menggelinjang geli karena aku masih menyodok-nyodok pelan kemaluannya ditambah permainan mulutku di dadanya. Mulutku lalu beralih mencaplok mulut mungil manisnya. “Ahh… Ahh… Abang gemes, yaa?” godanya. Kakinya mengapit pantatku. Mengais-ngais dengan tumitnya.

“Siapa yang gak gemes sama Andini ayu begini… Mpphh…” kulumat bibirnya lagi. Kuremas-remas gumpalan gemuk dadanya. Kucoba menggerakkan Aseng junior yang ternyata mau diajak kerja sama lagi walo barusan aja ngecrot. “Awas, yaa…” ancamku. “Awak buat Andini jalannya ngangkang abis ini… Gemes kali awaak!!”

“Auuhh…. Yaahhh… Uuum… Ah ah ahh…” ia berpengangan pada sisi samping jok penumpang depan yang dipakainya berbaring. Kembali Aseng junior kusodokkan cepat ke liang kawinnya yang sempit becek. Menggigit peret sempurna bak anak gadis yang baru aja diperawani. Sepanjang jalan menuju Siantar ini ia selalu menggodaku tiada henti. Ia membuka kemeja bagian atasnya dan mengeluarkan gumpalan gemuk dadanya dari cup beha-nya, duduk bersandar di pintu dengan kaki terangkat dilipat. Di dalam rok panjang longgarnya, ia tak memakai celana dalam. Belahan gemuk montok berlubangnya menganga jelas mengundang. Kaki tak bersepatunya menjawil-jawil ke arah selangkanganku. Aku yang masih harus konsentrasi mengemudi di jalur lintas Sumatera ini tentu aja kelabakan karena Aseng junior jadi terbangun akibat ulahnya.

Tak puas ia membuka restleting celana pendekku, mengeluarkannya dan mengocok Aseng junior menggunakan kakinya! Kan kimak namanya…

Setelah menahan sabar aku menemukan jalan masuk ke tempat ini dan BAM! Kuentot binor ini gila-gilaan dengan sesumbar akan membuatnya jalan mengangkang abis ini. Aku udah ngecrot sekali di dalam liang kawinnya dan sedang mengusahakan yang kedua.

Kusedot-sedot kuat pentil susu gemuknya ditimpali dengan remasan kuat membuatnya menjerit-jerit binal. Suaranya dari kejauhan mungkin sudah seperti suara tangisan kuntilanak yang lagi ngeden berak batu. Aseng junior keluar masuk dengan cepat dan dalam. “Clop clop clop clop!” suara becek gesekan kelamin kami basah dan menggigit. Andini mengangkat kedua tangannya memamerkan ketiak tembem tak berambut mulusnya hingga gumpalan gemuk dadanya semakin membusung. Kepalanya menggeleng-geleng terhalang lengan montok putihnya sendiri. Diremasnya bagian atas jok.

“Miring!” perintahku sambil menarik sisi perutnya hingga tubuhnya miring ke kanan menjauhi pintu. Kaki kirinya kulipat waktu melewati tubuhku yang masih belum terpisah, terhubung dengan dirinya lewat persatuan kelamin kami. Pinggul dan pantatnya menjulang bagus di posisi miring ini. Aseng junior masih tertancap dan masuk dengan susah payah karena jepitannya bertambah maksimal di posisi begini. “Aaahh…” desahku merasakan nikmatnya jepitan liang kawin binor ini yang bertambah-tambah.

Pajero ini tak ayal bergoyang-goyang juga di permukaan tanah yang tak rata ini karena gerakan menusuk cepatku. Kugenjot binor menggairahkan itu tanpa ampun karena udah menjebakku sedemikian rupa hingga jalan jauh sampe kemari. Burung-burung liar di sekitar perkebunan rambung ini terus bersahut-sahutan tak perduli ada sepasang insan sedang bersenggama buat anak di dekat mereka. Andini terus mengerang keras dan menjerit nakal sesekali lalu menjerit kuat kala orgasme melanda tubuh semoknya kembali.

‘AAAHHHH!! AUUHH!!! YAAAHHH. BAAANG!!! UHH!!” jeritnya puas sekali. Tubuhnya terangkat tak sadar meluapkan rasa nikmat yang membuncah dari kelamin menjalar ke perut dan meledak sekuat-kuatnya. Liang kawinnya menjepit erat dan kontak membuatku juga ikut menyusulnya dengan semprotan sperma kental.

—————————————————————————-
“Hi hi hihihi…” kekeh Andini sambil menjilati jarinya. Ia kembali duduk bersandar di pintu mobil dengan kaki terangkat. Nakal ia mencolek noda sperma yang ada di kemaluannya dan mencicipi rasanya. “Enak… Kek ada aroma pandan-pandan gitu, ya?”

“Kimak, pandan? Emangnya aku musang gitu?” kesalku yang lagi kipas-kipas. Padahal hembusan pendingin mobil berhembus kencang. Kaca di sampingku aja sampe berembun sangking dinginnya. Kami berdua masih telanjang di dalam mobil ini. Jok sudah ditegakkan lagi ke posisi normalnya. Aku sudah membersihkan Aseng junior dengan tisu. Tapi sobekannya malah tertinggal di permukaan kemaluanku. Saat udah mulai kerasa dingin aku memakai kembali kaos dan celana pendekku.

“Enak, bang?” tanyanya kembali seperti menantang lagi pengen digenjot.

“Beneran rumahmu kosong?”

“Kosong-lah…” jawabnya cepat.

“Tunggu kao, yaa…” lirihku dan menstarter mobil kembali dan mengeluarkan kendaraan ini dari rimbunnya kebun rambung yang sejuk. Tak lama sudah melaju lancar kembali. Saat memasuki kota Tebing Tinggi, Andini masih tidur. Ia sudah memakai semua pakaian luarnya kembali kecuali pakaian dalamnya yang ada di jok belakang, berserakan. Sewaktu akan ngisi bensin, kubangunkan ia dengan memilin-milin putingnya dari luar kemejanya. Ia ogah-ogahan bangun. Kuperbaiki posisi rok yang dikenakannya agar gak terlalu berantakan kali menarik perhatian petugas SPBU. Kuajak ia makan sebelum memasuki kota Siantar. Ia menambah sebuah jaket untuk menutupi bagian dadanya yang gondal-gandul. Kami makan lesehan.

Binor ini bawaannya ngantuk aja kurasa. Abis makan, ia tidur lagi bersandar ke tiang bilik lesehan ini. Cemana-la gak montok kali kek gini. Walo tempat makan ini belum rame, gak nekat pulak aku gerepe-gerepe tubuhnya. Aku udah gak sabar aja sampe ke rumahnya. Mudah-mudahan rumahnya memang dalam keadaan kosong seperti yang dikatakannya sehingga aku bisa bebas berduaan dengannya.

Ping!

Sebuah notifikasi pesan BBM masuk ke gawaiku. Ada pesan dari seseorang yang aku kenal.

Aseng: halo cantik apa kabar

Vony: baik bg aseng ada kabar baik

Aseng: apaan tuh

Vony: vony positif hamil

Menyusul sebuah foto test pack kehamilan yang menunjukkan dua garis pink di indikator pemeriksaannya pertanda perempuan itu benar-benar positif hamil. Waaah… Hebat. Si cantik Vony sudah hamil.

Aseng: selamat ya bu tercapai impiannya

Vony: makasi bg

Aseng: ud ngasi tau lakimu tntu

Vony: vony hrs ngasih tau bg aseng dl baru wisnu buat surprise

Aseng: ada arisan dlm waktu dkat ini

Vony: ya sekalian sm hasil lab jg nanti dibawa

Aseng: yee bisa pamer di arisan nnt

Vony: makasih byk lg bg aseng

Aseng: sama2

Selesai chat dengan si notaris Vony, si binor montok Andini benar-benar molor bersandar di bilik lesehan ini. Bener-bener ni anak kerjanya tidur aja. Eh… Apa kecapekan dia, ya? Dari kemaren malam udah kugenjot sampe lima kali, pagi tadi di kamar mandi sekali dan di kebun rambung dua kali. Lebih baik kubiarkan ia tidur dulu. Kutarik tubuhnya pelan-pelan hingga berbaring tak sadar berbantalkan pahaku. Ia tidur lelap sekali. Jelas ia kelelahan. Kubelai-belai rambut panjang kemerahannya dan ia tidur makin lelap terdengar dengkuran halus.

Aseng: hai cantik apa kabar

Miranda: eh bg aseng ktpatan sy telpon aja ya?

Mau nelpon binor binik si Suhendra itu? Padahal aku cuma mau nanya kabar aja-nya. Mana tau dia lagi kosong bisa untuk menemani chat menunggu Andini bangun. Benar aja, panggilan telpon dari Miranda masuk dan segera kuangkat.

“Ya… halo bu Miranda cantik… Apa cerita?” awal sapaku.

“Tebak Miranda lagi dimana, bang?” tanyanya dengan nada riang.

“Gak tau…” jujur jawabku.

“Miranda lagi di klinik abis dapet hasil lab… Miranda positif hamil, baaang… Hi hi hihihi…” ia terdengar sangat riang dan bahagia sekali. Pasti rona bahagia terpancar di wajah cantiknya. Ah… Akan jadi semok tubuh langsingnya nanti. Perutnya akan membuncit segera. Itu akan seksi sekali.

“Positif? Waah… Kereeen… Selamat ya, buuuk… Awak ikut bahagia dengarnya… Sama Hendra itu ke kliniknya?” tanyaku memastikan keberadaan si suami paok-nya itu.

“Dia kan lagi kerja di galon, bang… Miranda ke klinik sendiri aja… Tadi pagi nyoba make test pack itu… eh dua garis pink… Langsung aja Miranda ke klinik ini periksa lebih teliti… Udah satu minggu usianya… Masih muda kalo ini, bang… Tapi Miranda hepi kali jadinya… Akhirnya ada bayi di perutku…” girang Miranda seperti mendapat jackpot gede. Para pengunjung klinik di sekitarnya pasti mengira perempuan itu sedang mengabarkan berita bahagia itu pada suaminya. Padahal hanya kepada pria yang menghamilinya.

“Selamat sekali lagi ya, buk… Semoga ibu sama dedek bebinya sehat-sehat terus sampe lahiran…” kataku ikut gembira karena aku ada kontribusi besar dalam kehamilannya ini. Mungkin-mungkin pula itu darah dagingku. Sudah dua binor lagi yang berhasil kuhamili. Vony dan Miranda. Tak terbayangkan gimana bahagianya kedua perempuan itu mengetahui ada jabang bayi yang kini tidur lelap di dalam perutnya. Memenuhi semua mimpi dan harapannya selama ini, semua terkabul. Semoga sehat-sehat semua kalian, yaa?

Tiba-tiba udara sejuk berubah menjadi cuaca dingin karena hujan turun dengan derasnya. Untungnya posisi bilik lesehan kami ini tidak searah dengan arah hembusan angin kencang jadi tidak terkena tempias air hujan. Atap seng bilik lesehan ini menimbulkan suara bising kala diterpa terjangan bulir-bulir hujan. Andini menggeliat sebentar di pangkuan kakiku tapi lanjut tidur lagi, hanya sekejab saja terganggu. Hawa dingin ini membuatnya semakin lelap. Naga-naganya bisa lama kami tertahan disini menunggu hujan reda. Apalagi Andini sangat lelap tidurnya.

Kupandangi wajah ayu binor ini yang tidur dengan damai. Nafasnya teratur dengan dengkuran halus. Mata belonya agak sedikit terbuka menampakkan bagian putih bola matanya. Dan yang berikutnya menjadi perhatianku adalah naik turun dadanya yang jaketnya tersingkap sehingga tonjolan puting gemuknya terlihat jelas nyeplak di bahan pakaiannya. Aku clingak-clinguk liat sekitar dan keknya lumayan aman. Pengunjung rumah makan lesehan ini banyak terkonsentrasi di bagian depan dan itu pun hanya ada tiga kelompok aja. Kami menyempil jauh di sudut belakang. Suara bising air hujan yang menerpa atap seng menimbulkan suara berisik yang membuat siapapun tak awas.

Tanganku menjalar menjamah gundukan gumpalan gemuk tak ber-beha itu. Kuremas-remas pelan awalnya mengetes reaksinya. Remas-remas tetapi mataku tetap jelalatan mengawasi keadaan. Jangan sampe ketahuan pengunjung ato pegawai rumah makan ini. Andini hanya bergidik pelan lalu diam kembali dan terus tidur. Tanganku terus gerayangan dan mempreteli kancing-kancing atas kemejanya hingga terbentanglah ruang terbuka montok dengan belahan gemuk di dadanya. Menelusup masuk menangkup massa lemak gemuk berpuncak puting gemuk juga, remas-remas benda kenyal lebih bersemangat.

“Unghh…” desahnya. Sepertinya Andini mulai terbangun. “Baanghh…” erangnya meremas-remas lututku yang dapat diraihnya. Ia tak kunjung membuka matanya bak lagi bermimpi. Tanganku makin nakal bermain-main iseng di dada montoknya. Semakin kulebarkan bukaan belahan kemejanya yang tak berkancing hingga aku bisa memerahnya dengan sempurna. Kenyal dan lembut bergejolak sepasang gumpalan gemuk dada itu kuperah. Belakang kepala Andini pastinya sudah dapat merasakan gembungan bangkitnya Aseng junior dari peraduannya. Hangat tubuh Andini juga menghangatkan tubuhku di tengah derasnya hujan yang menerpa bumi. Suara bising air hujan di atap seng tak lagi kami perdulikan. Itu sebuah keuntungan malah.

Geliat-geliat Andini semakin gelisah dan berantakan. Kedua kakinya dilipat dan dikepitkan rapat seakan sedang menekan sesuatu rasa nikmat di bawah sana. Bergoyang-goyang tubuhnya ke kanan-kiri gak beraturan dan kadang berjingkat, menaikkan bokongnya menggapai angin. Rok panjangnya itu lalu jatuh di perutnya dan aku baru ingat kalo ia gak make celana dalam dari Medan tadi. Gerakan liar tubuhnya menyebabkan rok yang dikenakannya bergulung memampangkan kemaluan berjembut lebatnya di depan sana. “Baangghh…” erangnya lagi malah mencengkram Aseng junior yang tercetak jelas menggembung di dalam celana pendekku.

Udin senget ini sungguh memabukkan. Udin senget; udara dingin sesak ngentot kalo kata orang-orang sini. WKWK. Kukeluarkan Aseng junior dari kandangnya, kubiarkan mengacung. Kepala Andini yang tadi di pangkuanku kupindahkan pelan-pelan ke lantai anyaman bambu bilik ini, aku maju ke arah kakinya, lebih tepatnya belahan kakinya. Si gemuk montok berjembut lebat. Aku tau ia sudah membersihkan dirinya di toilet rumah makan ini sehingga aku gak ragu memposisikan 8×8+5.

Tak perlu dikomando, Andini langsung mencaplok Aseng junior dan memasukkan kepalanya ke dalam mulut mungil miliknya. Mulutku langsung nemplok di bibir gemuk kemaluannya dan membelah isi dalamnya, menemukan kacang itil mengerasnya lalu menyedotnya. Andini mengerang lirih. Aku sendiri kurang jelas mendengarnya apalagi orang lain yang jauh di sana. Lidahku bermain-main di seputaran kemaluannya, mencucup-cucup isi liang kawinnya dan menyedot kacang itilnya. Andini tak sanggup lagi memasukkan kepala Aseng junior-ku ke dalam mulutnya. Wajahnya malah tergesek-gesek keras mengacungnya Aseng junior. Aroma Aseng junior terbalur sempurna di wajahnya. Kuputar tubuhku sekalian ngecek keadaan sekitar lagi. Tetap aman dan suara berisik akan meredam semua kebisingan yang akan kuciptakan.

“Diin… Yok?” ajakku setelah memposisikan tubuhku di antara bukaan kakinya. Rok panjangnya masih bertumpuk di sekitar perutnya, menampilkan si gemuk montok yang baru kuoral barusan.

Kaget tentu mukanya mendengar ajakanku untuk bersetubuh lagi di tempat umum ini. Walo barusan ia merasakan semua kenikmatan itu, akal sehatnya masih bekerja. “Ihh… Abang gilak-lah… Masak di sini? Kalo ketauan orang gimana?” tolaknya mendorong rok panjangnya yang tak bisa menutupi kakinya lagi. Ia mendongak ke atas ke partisi pembatas bilik lesehan ini.

“Gak bakal ketauan, Dinn… Jauh orang-orang itu di sana… Lagian suara bising ujan gini pun Andini bisa tereak-tereak lagi… Gak bakal dengar mereka…” bujukku dengan menyentuh-nyentuhkan Aseng junior ke perutnya.

“Iihh… Bang Aseng… Balas dendam nih ceritanya ngerjain Andini? Hu-uhh…” rengeknya manja dan mengintip keadaan terus. Ia pasti tergoda pengen nyobain sensasi bersetubuh di tempat umum begini. “Bang Aseng saraaap! Ahh…” rengeknya dan tanpa sepengatahuannya, aku membalik rok yang coba ditutupkannya pada kemaluannya yang terbentang. Aseng junior menggelincir masuk dengan lancar berkat basah liang kawinnya yang sudah terangsang. “Ahhh… Ba~~ng Aseeeng? Uuhhh… Ummbhh…” kusumpal mulutnya. Kepalanya bersandar pasrah di dinding anyaman bambu tepas bilik lesehan. Aseng junior sudah melesak masuk dan kudorong-dorong pelan. Kutahan pinggulnya agar tidak terlalu banyak bergerak kala kugenjot. Satu tanganku bertumpu di lantai.

Selagi mencumbu mulutnya, Aseng junior mulai kugerakkan keluar masuk. Hangat sekali jadinya cuaca dingin hujan ini. Suara bising atap seng yang diterpa hujan deras semakin membuat kami berani. Tubuh kami rapat berhimpitan mencari kehangatan, pinggulku rajin bergerak maju mundur mengocok liang kawin Andini yang sempit menggelora panas. Ia ingin mengerang tapi mulut kami masih saling pagut. Yang ada hanya erangan tertahan.

“AAAHHH!! AHHH!!” jeritnya nyaring ketika kulepas cumbuan mulutku. Benar saja, suara keras melengkingnya terbenam oleh derasnya bising suara hujan. Mengetahui itu, Andini semakin bersemangat mengekspresikan rasa nikmat yang deras melanda tubuhnya, sederas hujan menerpa rumah makan ini. “AAHHH!!! YAAHHH!!! UUHHHH!! AIIHHHH, BAANGGG!!! AAHHH!!!”

—————————————————————————-
“Gilak-ih, abang…” gerutunya saat sudah masuk ke dalam mobil lagi. Hujan sudah reda dan kami sudah keluar dari rumah makan lesehan itu.

“Tapi kamu sukaaa, kan?” kataku berkelakar. Mesin sudah kuhidupkan untuk melanjutkan perjalanan. Masih ada genangan air hujan di jalan dengan rintik-rintik kecil menerpa kaca depan mobil.

“Gak sabaran si abangnya… Bentar lagi awak balas di rumah… liat aja…” ancamnya akan balik mengerjaiku nanti di rumahnya yang kosong. Aku hanya tertawa-tawa aja. Biar aja dikerjai di rumahnya. Yang penting enak-enaak.

Rumah Andini adalah rumah pemberian orang tuanya di pinggiran kota Siantar yang agak lengang penduduknya. Berdiri di tengah hamparan sawah yang juga merupakan pemberian orang tuanya. Tetangga terdekatnya jauh sekali di ujung-ujung sawah sana. Sawah dalam kondisi habis panen hingga tak ada orang yang bekerja di sana. Suasananya memang benar-benar sepi. Sangat cocok untuk menggauli binor ini sampe menjerit-jerit lagi kalo perlu.

Andini tersenyum-senyum penuh arti sewaktu aku selesai memasukkan mobilku ke dalam pagar rumah yang luas. Ia langsung menggiringku masuk ke dalam rumah, ke dalam kamarnya dan mengunci pintunya rapat-rapat. Ia membersihkan diri sebentar lalu keluar merasa tak perlu memakai pakaian apapun.

“Yakin aman rumahmu begini, Dinn?” aku berusaha melirik ke jendela yang tertutup rapat.

“Aaaaman… Liat aja sawah semua…” jawabnya datang rapat mendekat. Gumpalan gemuk di dadanya berguncang membal-membal selagi ia bergerak dan langsung memelukku, mendesakkan dirinya. “Udah keras gini…” ia merogoh ke cetakan berbentuk batang Aseng junior-ku. Diremas-remasnya. “Mau awak balas gak?” tawarnya, tangannya merogoh masuk dari atas celana pendekku dan langsung menelusup masuk menemukan Aseng junior yang sudah menegang, antisipasi.

Andini berjinjit sedikit untuk menjangkau mulutku dan aku sedikit menunduk untuk menyambut mulutnya untuk bercumbu bibir. Tanganku sudah rajin bergerilya dan meremas gundukan gemuk dadanya. Tangan Andini melepas celanaku sekalian celana dalam yang segera kutendang menjauh. Segera ia menemukan pekerjaan asik, mengocok Aseng junior dengan genggaman erat. Mulut kami saling cumbu, lidah saling belit dan bertukar ludah. Pelan-pelan kudorong ia hingga mencapai ranjang dingin yang sudah ditinggalkannya sehari semalam saat ke Medan. Akan kuhangatkan siang ini.

Ia duduk di tepian ranjangnya menunggu instruksiku, aku mau apa. Sederhana aja, kugesek-gesekkan Aseng junior ke gumpalan gemuk itu. Kutusuk-tusuk kenyal payudaranya. Andini mengarahkan Aseng junior berputar-putar di puting gemuknya yang sudah keras. Ia bergantian menatapku dan kemaluanku. Kenyal payudaranya lumer tiap kutusuk dengan ujung keras Aseng junior. Lalu kedua bahunya kudorong dan ia langsung paham aku ingin ia rebah.

“Aaaiihhh… Uuhh… Aahhh…” erang Andini saat kumakan si gemuk montok berjembut lebat kemaluannya. Mukaku langsung terbenam larut di selangkangan binor ini. Gemuk permukaan kemaluannya membuat nagih untuk lagi dan lagi menyedot isi dalam belahan bibir tebalnya. Lidahku mengais-ngais isi belahan vagina Andini dari lubang kemaluannya, lubang kencing apalagi kacang itilnya yang menegang. Dengan bibir kugigit bibir tebal kemaluannya lalu kumainkan dengan lidah. Ia mengerang kelojotan menerima serangan intens mulutku. Apalagi saat lidahku masuk ke liang kawinnya bak sebuah penis mini, menelusup masuk merasakan basah dan lembab isi liang nikmatnya. Kucucup tiap cairan yang dihasilkannya.

Kudorong tubuhnya agar lebih ke tengah ranjang. Kubuka sisa pakaianku dan merangkak naik ke antara bukaan kakinya. Andini sudah mengantisipasi ini dan membuka kakinya lebih lebar dan menempatkan sebuah bantal di belakang kepalanya. Dengan mudah Aseng junior menelusup masuk, tergelincir dalam membelah si gemuk montok kemaluannya. “Aaaiihh… Aaahh… Enaak laagi, baang… Andini gak bosan-bosan, baang…” erangnya menikmati meluncurnya Aseng junior menembus dirinya. Kudorong sampai mentok ke dasar kedalaman kemaluan binor ini. Sampai perutku menyentuh lebat jembutnya, menyatukan rambut pubis kami berdua.

Tanpa perlu permisi pada siapa-siapa, aku mulai bergerak dengan dinamis, keluar masuk dengan teratur. Mencari kenikmatan, berbagi kenikmatan berdua. Sekaligus berbagi bibit suburku juga untuk donasi keturunan. Pelan-pelan awalnya dan semakin cepat dan cepat. Erang Andini berekskalasi jadi lebih kuat seiring makin cepat dan kuat hentakanku menerobos liang kawinnya yang menggigit erat. Andini meracau sesuka hatinya. Tanganku diremas-remas dan dielusnya berulang. Kakinya menghentak dan menegang mengais-ngais belakang kakiku. Sesekali kami berciuman mulut ato kupermainkan tetek gemuknya dengan gemas.

Sodokan-sodokan cepatku menyebabkan kami berdua sangat menikmati permainan setubuh di kamar Andini ini. Aku gak berencana menahan-nahan apapun. Kalo aku mau ngecrot, aku ngecrotkan aja di dalam sana. Andini dengan senang hati menerima limpahan spermaku karena memang inilah yang ia perlukan dariku. Kalo kebetulan Andini juga mendapat puncak kenikmatannya bareng, ya kami barengan.

“YAAAHHHH!! AAHHH!! AHH!!” teriaknya berisik dan liang kawinnya sukses meremas-remas Aseng junior hingga menyemburkan sperma kental ke dalam rahimnya. Kala kucoba untuk terus bergerak maju mundur, rasa geli nikmat itu menyetrum tubuhku hingga berkejat-kejat nikmat. Aku ambruk ke dalam pelukan hangat dan kenyal tubuhnya. Diciuminya wajahku, dikulum-kulumnya bibirku dengan rakus. Kedut-kedut kenikmatan masih menguasai tubuh kita berdua.

Puas kugasak binor binik si Heri ini di dalam kamarnya. Kubolak-balik tubuhnya di atas ranjang, berdiri di tepian ranjang, mepet di dekat jendela, di samping meja riasnya, bertumpu di lemari pakaiannya dan aku menyemburkan spermaku kembali di posisi menungging.

Aku keluar kamar dan mencari minuman. Rumahnya cukup besar dan lengang tak ada siapapun kecuali kami berdua mengadu syahwat. Asik keknya kalo guling-gulingan di rumah ini. Selesai memberinya minum, kuhajar lagi ia di posisi doggy hanya saja ia kusuruh berjalan mengitari rumahnya ini memberiku tur berkeliling. Pantat tebalnya mengganjal Aseng junior untuk menusuk maksimal di posisi dari belakang begini. Tapi dari gerakan berjalannya, sudah cukup memabukkan, keluar-masuk pendek-pendek. Cyut cyut cyut…

Kami sampai membuka pintu utama rumah ini lebar-lebar sangking sepinya tempat ini. Tak ada siapapun yang lewat di jalan sana. Hanya segerombolan burung emprit yang terlambat makan yang terbang kesana kemari. Sensasi bersetubuh di tempat terbuka ini kembali membuat Andini sangat terangsang. Jantungnya berdegub lebih kencang. Seperti yang sudah kami alami di rumah makan lesehan menjelang siang tadi. Andini jadi lebih gampang orgasme karenanya dan itu imbasnya padaku ngecrot lagi dan lagi.

Di ambang pintu kami bersenggama lagi dan lagi. Teriakan histeris Andini menggapai kenikmatannya mungkin sudah dianggap sebagai suara alam. Menjerit-jerit keenakan sesuka hatinya. Andini terkapar di lantai dengan lunglai. Liang kawinnya berselemak spermaku. Angin sepoi-sepoi dari persawahan luas membuat mata ngantuk. Apalagi bunga-bungaan yang ada di halaman luas ini meneduhkan mata. Sepertinya si Andini malah tidur kelelahan di depan teras. Malas-malasan kubopong tubuh montok berkeringatnya masuk kembali ke kamarnya. Kututupi sekenanya dengan selimut.

Aku mandi menyegarkan diri karena sore ini aku ada kongkow-kongkow dengan dua sobatku; Iyon dan Kojek.

“Sekarang awak mo ngurusin pelet lakikmu dulu, OK?” bisikku pamit di telinganya. Ia hanya menggeliat mengiyakan dan lanjut tidur. Capek kali keknya dia. Jelas aja.
—————————————————————————-
“Disini tempatnya…”

“Yakin kau, Seng? Makan apa disini? Makan tempek?” tanya Kojek. Benar kami bertiga sudah ngumpul di dalam mobilku. Aku, Iyon dan Kojek. Hari masih ba’da Maghrib. Di langit Barat masih ada sedikit semburat jingga matahari tersisa. Kami sudah berhenti di depan tempat karaoke dimana targetku, Cyntia bekerja. Sesuai seperti apa yang dideskripsikan Andini. Tempat ini mungkin yang paling besar dan mewah di kota Siantar ini.

“Ini apa hubungannya dengan Begu Ganjang itu?” tanya Iyon yang duduk di sampingku.

“Kalo sesuai kata si Kojek… Ada dukun yang pake Begu Ganjang untuk dipake melet sama pasiennya…” jelasku. Kojek mengangguk-angguk di jok belakang dengan tangan terbentang seperti menguasai semua kursi di sana.

“Jadi dukunnya suka karaoke… ato pemandu lagu?” tebak Iyon.

“Bah! Ada oppung-oppung jadi pemandu lagu? Bangkrut langsung karaoke ini. Ha ha hahaha…” gelak Kojek sampe berguncang-guncang.

“Bukan-loh, Yon… Ada pemandu lagu di situ yang jadi pasien oppung itu… Dia memelet seorang laki-laki pake Begu Ganjang…” jelasku singkat.

“Wiiih… Ada kemajuan kao, ya sekarang… Kukira pasienmu perempuan… Rupanya laki-laki… Dah lain maennya lae-ku ni sekarang…” ejek si Kojek mintak dibejek.

“Kimak kao ya, Jek! Mana mau aku maen ‘pedang-pedangan’ sama laki-laki…” aku menghentikannya sampe di sana karena penjelasan berikutnya pasti ‘binik laki-laki ini yang mintak aku nyembuhin lakiknya’. Aku beralih lagi pada Iyon. “Sebelumnya awak udah sempat gadoh sama Begu Ganjang oppung itu… Sampek aku harus ngeluarin jurus Menembus Cakrawala-ku sangking susahnya ngalahin dia… eh dia diselamatin sama oppung Datu itu… Dan kata terakhirnya… laki-laki ini masih ada dalam genggamannya… Gitu…” jelasku akan situasi ril-nya.

“Paham… Jadi kita samperin perempuan ini sebagai perantara menemui si oppung Datu itu…” simpul Iyon. Ia bergantian menatapku dan Kojek. Aku mengangguk membenarkan. Kojek setuju. “Ada foto perempuan ini?”

Cyntia

“Hmm… Dia jadi pemandu lagu di situ?” Iyon menatap lama foto Cyntia yang kudapat dari share gawai Andini. Matanya menelusuri tiap jejak tubuhnya dengan melakukan zoom dan scrolling. Lalu diserahkannya HP-ku pada Kojek.

“Makjang… Cantik kali namboru satu ini, bah… Cocok untuk tukang nuang tuak sama bawak’in tambol (cemilan saat minum)-nya, nih…” ia geleng-geleng kepala melihat casing Cyntia yang aduhai kali.

“Awas kenak pelet kao, Jek… Rusak rumah tanggamu dibuatnya nanti…” kataku mengingatkannya akan potensi bahaya yang dimiliki perempuan itu. “Ini janda satu anak yang suka cari mangsa laki-laki tajir… Kalo cuma kek kita cuma dikurasnya aja sampe kering… Trus dia nemplok ke laki-laki lain…”

“Tau aku… Walo cantik cemanapun perempuan itu masih gak ada apa-apanya sama boru Sihite Nauli-ku… Rata semua perempuan ni dibikinnya…” kata Kojek masih terlalu bangga dengan prestasinya yang sudah berhasil mempersunting pujaan hatinya dan kini sudah dikaruniai empat anak.

“Percayaaa…” imbuhku dan Iyon barengan.

“Trus… bisnisnya apa, Seng? Aku cuma soor sama bisnis yang kao cakap tadi aja-nya…” ingat Kojek akan preposisi bisnis yang semalam sempat kuutarakan padanya. Ia sangat tertarik karena selama ini ia selalu mencari investor untuk usaha ternaknya itu. Iyon juga menyimak.

“Gini… Kao masih nyari investor, kan untuk usaha ternakmu itu?” tanyaku. Kojek mengangguk. “Kao udah sempat ngomong sama Buana ato si Ron (papa dan oom Satria di kisah Quints dan Quest) untuk invest di usahamu itu?” tanyaku.

“Aku dah minta waktu sama Iyon… Tapi katanya belom ada waktu yang pas…” jawabnya melirik pada Iyon sekilas.

“Berat-lah, Jek… Kao nawarin bisnis babi sama bos-ku… Walopun kita cukup akrab sama mereka berdua… Tapi yang benar aja… Gak bisa pulak kubilang sama Buana kalo ‘gak usah keluar zakat harta karna barangnya haram’… Kan gak bisa gitu, kan? Walo gimanapun dia masih bos-ku…” jelas Iyon tentang kondisi dilema yang dihadapinya.

“Gini-gini ceritanya… Aku ada tanah seluas 20 ribu meter lebih di Stabat, yaa… Kao pakek tanah punyaku ini… Agunkan ke bank… Ambil berapa milyar gitu… Tapi… Ada tapinya nih, Jek… Ganti dari babi ke lembu (sapi)… Pangsa pasar babi terlalu sempit di Republik ini… Kao tau sendiri kan… Apalagi kalo sebagai investor aku juga boleh milih bidang usaha uangku kemana perginya… Gimana?” paparku.

“20 ribu meter?” ulang Kojek meneguk ludah berulang-ulang. Jakun di leher jangkungnya naik turun membayangkan berapa banyak duit yang bisa ia dapat dari bank hasil meng-agunkan surat tanahku itu. “Jadilah! Kujual semua babi-babi itu… Aku juga sempat kepikiran juga kek gitu, Seng… Jadi kita ganti lembu sekarang, ya?” ia tersenyum lebar membayangkan masa depan gemilang di depan matanya dari suntikan dana segar dariku ini. Aku beralih ke Iyon.

“Nah… Yon… Kao juga butuh investasi di usahamu?” belum apa-apa Iyon udah tersenyum lebar di muka berkulit hitam manisnya.

—————————————————————————-
“Toss…” tiga gelas bir beradu bareng satu gelas jus dan satu gelas bloody mary. Berdenting-denting beling beradu lalu ditenggak pemiliknya. Saat ini kami bertiga sedang berada di dalam ruang karaoke ditemani dua pemandu lagu. Dua orang perempuan cantik bernama Sarah dan Cyntia yang berpakaian aduhai mengundang. Sarah memakai baju ketat tak berlengan dan celana panjang ketat. Temannya baju terusan lengan pendek rok pendek di atas lutut.

Cyntia! Benar! Kami akhirnya berhasil membuatnya keluar dan menemani kami bertiga di ruang karaoke ini setelah nego sana-sini dengan manager karaoke ini. Padahal aslinya dia hari ini tidak bekerja alias off. Nego-nego kami sampe spik-spik kombur sama sang manager hingga ia mendatangkan Cyntia kemari bareng satu andalan karaoke lainnya. Cyntia hanya mau minum jus sedang Sarah mesan bloody marry. Setengah pitcher bir sudah kami habiskan.

Perempuan target kami, si Cyntia-Cyntia ini kami kondisikan mepet trus sama Iyon karena dari kami bertiga, tampang dan tongkrongan yang kek bos itu Iyon. Tinggi besar berkulit gelap dan selalu berpakaian necis karena selalu dekat bos konglomerat. Wangi-wangiannya-pun beda kali sama kami berdua. Salah kalo ada yang bilang kalo mau wangi dekat sama tukang parfum, dekat sama bos besar. Bisa ketularan…

Iyon juga kami kondisikan sebagai bandar kami apalagi memang biasanya dia yang jadi pemimpin gak langsung di kelompok kecil kami ini. “Kira-kira dapat berapa ya, bos… tanah yang di Stabat itu?” Kojek masih mengkhayalkan jumlah duit yang akan diterimanya dari tanah itu. Walo ini pertanyaan kenyataan tapi ia gak lupa dengan peran bos dan kacung yang kami lakonkan di sini.

“Tentunya pihak bank akan menyurvei lokasi tanahnya dulu baru bisa menaksir harga pasarannya… Di pinggir jalan besar tadi?” ia beralih padaku. Sarah dan Cyntia masih memilih-milih lagu untuk mereka nyanyikan.

“Iya, bos… Di pinggir jalan arteri utama kota Stabat… Awalnya yang punya mau membangun galon di situ… taunya udah keduluan sama pihak lain… Diseberangnya pulak… Jadi gak selera lagi dia…” kisahku anonim akan asal usul tanah itu. Kojek dan Iyon manggut-manggut paham.

“Setidaknya 10-15M harusnya kalo harga pasarnya… Kalo tanah biasanya naik terus gak pernah turun nilainya…” papar Iyon. Sarah dan Cyntia mendadak berbinar-binar matanya mendengar angka em-em-an disebut gamblang begitu. Cyntia makin rapat memepet tubuh Iyon. “Eh… Nyanyilah kita dulu… Udah kita panggil bintang karaoke-nya untuk repot-repot datang… Mbak Cyntia tadi, kan?” sapa Iyon pada perempuan kebelet kaya itu. Sarah juga pengen kayaknya. “Sama mbak Sarah… Nyanyi juga, ya?”

Dengan penuh semangat 45 kedua pemandu lagu itu bernyanyi berganti-gantian ato duet. Minuman tambah lancar masuknya. Kami bertiga juga sekali-sekali juga ikut nimbrung apalagi Kojek yang menyumbangkan suara emas rocker lawasnya. Ia membawakan lagu andalannya dari Steelheart, She’s Gone! Melengking-lengking tinggi ia menjeritkan suara hatinya merekonstruksi suasana hatinya sewaktu kejadian pahit hidupnya kejadian dulu bak lirik lagu ini.

She’s gone
Out of my life
I was wrong
I’m to blame
I was so untrue
I can’t live without her love
In my life
There’s just an empty space
All my dreams are lost
I’m wasting away
Forgive me, girl
Lady, won’t you save me?
My heart belongs to you
Lady, can you forgive me?
For all I’ve done to you
Lady, oh, lady
She’s gone
Out of my life
Oh, she’s gone
I find it so hard to go on
I really miss that girl, my love
Come back
Into my arms
I’m so alone
I’m begging you
I’m down on my knees
Forgive me, girl
Lady, won’t you save me?
My heart belongs to you
Lady, can you forgive me?
For all I’ve done to you
Lady, oh, lady
Lady, won’t you save me?
My heart belongs to you
Lady, can you forgive me?
For all I’ve done to you
Lady, oh, lady
My heart belongs to you
Lady, can you forgive me?
For all I’ve done to you

Steelheart – She’s Gone

Kedua perempuan itu terbengong-bengong mendengar tingginya suara Kojek yang mampu mencapai pitch tinggi lagu yang sulit. Tentu aneh kalo dinyanyikan dengan nada rendah itu. Gak heran kami kalo Judika suaranya bisa kek gitu karena sobat kami satu ini pun gak kalah. Cuma kalah tampang aja dia dari Judika. Judika tampangnya garang gitu, kan? Kalo Kojek tampangnya kek garangan (musang). Kami berdua yang tentu aja udah kenyang dengar lagu galaunya ini cuma bisa tutup kuping karena ruangan karaoke ini penuh dengan getaran bising suaranya melulu.

Selesai nyanyi langsung ditenggaknya satu gelas bir sampe tandas dengan mimik puas. “Tamboh tuak-in, namboru…” frase signature-nya keluar pertanda kalo ia puas. “Ahh… Puas kali aku…” ia menepuk-nepuk lututnya lalu beralih ke Sarah yang memulai satu lagu baru. Aku duet dengannya. Kami membiarkan Iyon berduaan aja dengan Cyntia. Kami berencana akan menangkap basah Cyntia kalo ia berusaha menggunakan pelet Begu Ganjang itu pada Iyon. Menghadapi oppung Datu sakti ini harus memakai taktik licik seperti ini. Ia tidak boleh tau kalo yang dihadapi Begu Ganjang-nya dari pihak yang sama. Jadi yang maju pertama kali adalah Iyon. Beruntung kalo Iyon nanti bisa menghabisi Begu Ganjang itu dan itu artinya yang tersisa tinggal oppung Datu itu saja.

“Sstt…” bisik lirih Iyon yang duduk berdua tak jauh dariku yang mengapit Sarah dengan Kojek. Ia menunjuk-nunjuk lehernya sendiri. Yang artinya ada sesuatu di leher Cyntia. Kalungnya! Ada beberapa bandul mainan digantung berderetan di sana. Ada sebuah logam hitam petak abstrak yang kalo ditilik lebih seksama akan ketahuan kalo itu adalah timah hitam, dipadu padankan dengan bandul emas kecil dan permata Swarovski mengapitnya. Timah hitam sering dijadikan jimat oleh masyarakat tradisional etnis Batak dan sang oppung Datu memberinya jimat ini sebagai media peletnya. Aku cepat paham apa maksud Iyon karena Cyntia sedang menuang bir ke gelas Iyon yang sudah kosong sambil mulutnya komat-kamit pelan tak bersuara.

“Jujurlah padaku… Bila kau tak lagi cintaaa…” aku menyuarakan lagu ini mencoba ekspresi yang bergelora dengan tangan yang tak memegang mic terbentang lebar. “Plak! Eh…”

“E-eh… Yah… Tumpah?” kaget Cyntia karena gelas yang sedang diisinya baru setengah jauh tersenggol tanganku dan jatuh berguling di atas meja, menumpahkan semua isinya. Menetes-netes sampe ke karpet ruangan.

“Eh-eh… Sori-sori… Sori, ya? Tumpah semua… Sori, bos… Sori, Cyn… Tumpah… Awak semangat kali nyanyinya…” aku mencoba mengelap tumpahan bir itu dari meja tisu yang tersedia di situ. Iyon mengambil alih pitcher bir dari tangan Cyntia, memeganginya untuk beberapa lama sampe semua genangan cairan tumpah itu benar-benar habis dari atas meja. Perhatian Cyntia dan Sarah teralihkan untuk beberapa saat pada apa yang kami lakukan pada gelas-gelas minuman lain yang tidak terkena di atas meja. Di belakang sofa tangan Kojek bekerja dengan cepat mengganti isi pitcher bir itu dengan isi gelasnya yang masih penuh lalu diserahkan kembali pada Iyon.

“Udah… Udah bersih itu…” kata Iyon menarik perhatian Cyntia untuk membuatnya melihat bahwa dengan santai ia menuang bir itu ke gelasnya sendiri. Bir yang aslinya punya Kojek, tanpa mantra ato apapun yang sudah dimasukkannya ke dalamnya. Cyntia terlihat tersenyum penuh arti saat ia melihat sobatku itu menenggaknya seperti biasa. Acara nyanyi-nyanyi senang-senang itu terus berlanjut. Iyon berperan dengan sangat baik. Ia semakin dekat dan nempel akrab dengan Cyntia. Tanpa merasa risih ia santuy aja dirangkul-rangkul mesra, dipeluk bahkan dicium pipi oleh Iyon. Iyon bahkan merayunya untuk mau minum bir dari pitcher yang baru datang. Rayuan maut Iyon berhasil membuat pendirian Cyntia yang awalnya gak mau minum bir jadi mau nyoba. Mungkin ia merasa harus berkorban dikit demi hasil yang besar.

“Yeeaa…” Kami semua menyemangati Cyntia karena sudah mau minum sedikit bir dan terus dicekoki Iyon. Sarah bahkan ikut terpengaruh dan menjadi kompor juga untuk rekan kerjanya. Mukanya mulai memerah karena memang gak terbiasa minum alkohol bahkan yang seringan bir ini.

“Ihh… Pait gini kok pada suka, yaa?” keluh Cyntia merasa-rasa di lidahnya sisa rasa pahit yang sudah masuk ke dalam lambungnya.

“Gak pa-pa cantik… Kita have fun malam ini…” rayu Iyon mengendusi leher jenjang perempuan cantik itu. Nafas panasnya Iyon membuatnya bergidik geli. Iyon bahkan berbagi gelas sekarang dengannya. Dibiarkannya perempuan itu meneguk sedikit-sedikit bir dari gelas bertangkainya. “Nahh… Bagus… Pinter…” puji Iyon lalu membisikkan sesuatu di telinganya. Tangannya gerayangan di lutut perempuan itu mulai melancarkan rayuan mautnya. Dielus-elusnya tempurung lutut Cyntia. Aku gak bisa berlama-lama memperhatikan apa yang sedang dilakukan Iyon karena Kojek juga sedang melancarkan SSI sendiri pada Sarah. Alkohol sudah pelan-pelan membuat darah kami semua menjadi hangat. Karena gak ada kerjaan aku nyanyi aja sendiri sebisanya.

Saat aku hampir mencapai reff lagu ketigaku, Iyon dan Cyntia bangkit dari sofa yang kami duduki rame-rame ini. “Yuk cabut!” ajak Iyon pada kami semua. Cyntia membereskan pakaiannya yang agak berantakan di bagian dada dan roknya yang bergulung sedikit. Sarah agak bingung karena ia merasa belum selesai dengan tugasnya. Kojek mungkin belum selesai merayu perempuan bagiannya itu. “Mbak Sarah mau ikut enggak? Gak usah takut… Kami gak aneh-aneh, kok… Nanti mbak sama si Dapot aja… Mbak Cyntia dengan saya… Si Nasrul ini cuma nyupiri kami hari ini…” kata-katanya tegas dan meyakinkan sehingga Sarah gak pake lama ragunya dan kemudian setuju. Kojek mengangkat alisnya padaku tanda kalo skenario kami sudah berkembang sedemikian jauh.

Mungkin ada yang nanya, kenapa Iyon menyebut Kojek sebagai Dapot dan Aseng ke nama asliku; Nasrul. Kenapa gak pake nama panggilan biasanya? Ini karena nama-nama kami sudah terlalu terkenal di ranah supranatural sebagai Trio Ribak Sude. Ada kemungkinan kalo oppung Datu bisa mengetahui kami dari nama yang kami perkenalkan pada Cyntia dan melakukan persiapan. Iyon-Aseng-Kojek sudah jadi jaminan mutu masalah yang akan didapatkan lawan kami. Iyon sendiri hanya kami panggil sebagai bos sedang kami memakai nama asli. Gak banyak yang tau nama asli kami bertiga.

Walopun sudah sepakat BO, kami gak bisa terang-terangan mengangkut kedua perempuan sembarangan. Sarah dan Cyntia keluar dari karaoke dan naik ke mobil jarak beberapa meter jauhnya. Keempat orang-orang itu duduk empet-empetan di jok belakang Pajero-ku. Kedua perempuan itu duduk di bagian tengah berdampingan diapit Iyon dan Kojek. Gak lama kedua sahabatku itu mulai bergerilya mengkaryakan tangannya di tubuh mulus kedua perempuan berpakaian seronok itu. Iyon bahkan sudah berciuman mulut dengan Cyntia. Kojek masih SSI terus.

“Bos… Kemana ini?” tanyaku gak tau harus mengarah kemana. Aku hanya tau jalan-jalan utama kota Siantar ini tapi gak tau detail tempatnya dimana untuk mesum.

“Ke hotel aja…” jawab Iyon disela cumbuannya pada mulut Cyntia. Kedua perempuan itu pasrah aja dibawa kemana karena di luar karaoke bila di-BO, mereka jadi freelancer gitu. Tanpa mucikari yang harus tau kegiatan mereka. Berapa tarif mereka ini, ya? Aku gak tau apa saja yang sudah mereka nego-kan dari tadi. Jadilah aku sebagai anjelo (antar jemput lonte) menyupiri mereka mencari hotel terdekat untuk sebagai TKP pemuas syahwat malam ini.

Di belakang sana keempat orang itu mulai beraksi sementara aku harus mencari-cari hotel yang bisa aku singgahi untuk memuluskan urusan kami. Pakaian yang dipakai Cyntia semakin berantakan karena ulah tangan Iyon. Tangannya sudah menelusup masuk mengelus-elus paha mulus di dalam rok pendeknya. Sarah di lain pihak duduk di pangkuan Kojek sedang melakukan sesuatu yang sepertinya senada. Nah… Di sana ada hotel. Sepertinya cukup memadai.

Singkat cerita aku sudah buka dua kamar untuk dua sobatku itu dan membagi kuncinya begitu semua proses administrasi selesai. Aku hanya menunggu di lobi menunggu kelanjutan. Apa itu kelanjutannya? Tentu saja panggilan dari Iyon untuk bertarung kalo ia sudah mulai berhadapan dengan Begu Ganjang ato si oppung Datu. Kali ini, aku tidak menjadi pemain kuncinya. Kuserahkan pada Iyon sekarang. Aku dan Kojek akan datang begitu ia memanggil salah satu dari kami.

Kenapa aku gak order 3 pemandu lagu di karaoke untukku sendiri? Nah ini sebenarnya adalah hadiah untuk kedua sobatku itu. Mereka berdua sudah membantuku di beberapa kali pertarunganku. Ini sudah kerap kami lakukan, saling memberi hadiah. Bisa dalam bentuk macam-macam. Kali ini kuberikan dalam bentuk demikian ini. Pelayanan dua orang pemandu lagu dan semua akomodasinya. Aku sendiri sebenarnya udah cukup bersenang-senang dengan Andini seharian ini, jadi kurasa gak perlu-lah ikut BO juga.

Aku duduk sendirian aja di lobi mainan HP seperti seorang driver beneran. Menunggu kedua sobatku yang berperan sebagai majikan, padahal sebenarnya lagi kutraktirin. Maenan HP chatting dengan Andini yang sedang di rumahnya sendiri lagi.

Aseng: lakikmu gak pulang lagi

Andini: ntah dimana dy skrg

Aseng: kacian y

Andini: abg dong kemari

Aseng: ngapain

Andini: kt enak2an lg

Aseng: malas ah

Andini: katanya enak kok malas

Aseng: nnt ketauan lakikmu

Andini: org dy gc pulang2 gitu

Kesadaranku tiba-tiba terpanggil oleh sesuatu yang menarikku melewati suatu lorong sempit, melesat cepat dan tiba di sebuah hutan pinus gelap. Hanya ada batang-batang kayunya yang terlihat di balik latar gelap gulita khas Menggala golongan hitam. Iyon ada di sana juga berdiri sedang menghadapi sesosoh mahluk yang segera kukenali sebagai Begu Ganjang yang kemarin sempat bertarung denganku. Sang oppung Datu bertongkat Tunggal Panaluan itu juga ada disini. Ini pasti daerah kekuasaannya.

“Seng… Panggil si Kojek… Kita hajar mereka bertiga…” ujar Iyon tanpa melepaskan perhatiaanya pada dua lawan yang dihadapinya. Makanya Iyon buru-buru memanggilku karena lawan juga tidak main-main. Seorang Datu.

“Pandapotan Samuel Hutagalung anak Efraim Mangatas Hutagalung… Aku memanggilmu ke hadapanku… Lewati petala ruang dan waktu… Pandapotan Samuel Hutagalung anak Efraim Mangatas Hutagalung…” panggilku. Tak lama, anggota ketiga di kelompok kecil kami ini sudah muncul bergabung dengan kami. Seperti Iyon, ia juga bertelanjang dada masih bercelana panjang. Sepertinya ia sama-sama menahan diri untuk menanti masa yang tepat. Saling panggil begini kerap kami lakukan untuk menghemat tenaga Lini. Memanggil begini menguras banyak tenaga dan taktik Iyon untuk menghemat banyak tenaga di pihak Kojek sebagai penyerang utama kami. Jadi formasinya adalah Iyon memanggil aku, aku memanggil Kojek dan semua kami lengkap sebagai Ribak Sude.

“Ribak Sude… Kalian rupanya…” gumam si oppung memandangi kami bertiga. Pandangannya jatuh terakhir padaku. “Kau yang semalam, ya?” tunjuknya dengan tongkat etniknya itu. “Kita kurang berkenalan semalam… Hanya piaraanku yang sempat bermain denganmu…” kata pria tua berbaju serba hitam dan peci hitam. (Peci hitam di masyarakat Batak merupakan akulturasi budaya walaupun mayoritas Batak beragama Kristen Protestan. Peci yang identik dipakai pria Muslim, dipercaya dan dapat ditelusuri mengikuti kebiasaan yang kerap dipakai presiden pertama Republik Indonesia Ir. Soekarno yang juga identik dengan pemakaian peci hitam ini. Pemakaian peci hitam pada pria Batak bukan merupakan aksesoris keagamaan melainkan kebiasaan saja. Lebih pada rasa Nasionalis mengikut figur Presiden pertama tadi yang mempopulerkannya ke seantero negeri.)

“Apakah oppung seorang Datu?” tanya Kojek berdiri tegak dengan tangan tak mengepal. Bagaimanapun, ia punya kaitan kultur dengan lawan kami kali ini.

“Ise goarmu?” (Siapa namamu?) tanya oppung itu sadar kalo salah satu anggota Ribak Sude ini tentunya bermarga.

“Samuel Hutagalung… Ke-16… anak pertama Mangatas Hutagalung… anak pertama Partogi Hutagalung…” ucap Kojek menuturkan Tarombo (silsilah) di tuturan adatnya. Aku gak terlalu ngerti kali apa yang mereka bicarakan. Lancar ia merunut silsilah keluarganya sampai ke atas. Di puncak pohon Tarombo itu. “Aku ulangi… Apakah oppung seorang Datu?” di akhir, Kojek mengulangi pertanyaannya kembali.

“Yaa… Aku Datu… Tak kau lihat-kah aku punya Tunggal Panaluan ini?” ia mengacungkan tongkat kebanggannya sambil menuturkan tingkatan marganya juga dalam Tarombo miliknya. Saling membanggakan silsilah keluarga ini kerap dilakukan oleh para masyarakat Batak. Mereka bangga akan tingkatan dan posisinya di dalam tatanan masyarakat adat. Sepertinya tingkatan si Datu lebih tinggi dari Kojek.

“Jadi bisa kupanggil Datu sebagai amang tua?” Kojek mencoba memantaskan diri. (Biasanya panggilan ini untuk seseorang yang semarga dan usianya lebih tua dari bapaknya)

“Tidak… Kau tak pantas memanggilku itu… Aku gak mau dikait-kaitkan denganmu ataupun siapapun… Kalian panggil aja aku Datu… Itu lebih cocok…” katanya menolak pemohonan Kojek untuk berusaha sopan.

“Amang tahe…” (waduh) umpat Kojek lebih ke kaget karena permintaannya ditolak mentah-mentah. Sepertinya tidak bisa diajak ngomong baik-baik. “Kelen aja-lah yang ngomong, woy… Naek pulak gulaku dibuatnya…” Kojek udah tutup mata akan apa yang akan terjadi dengan oppung-oppung satu ini.

“Gini ya, pung… Kami bukannya sok paten ato mau sok panggaron (jagoan) menantang Datu sekelas oppung… Tapi ada kenalan kami yang kenak ilmu Begu Ganjang dari oppung… Kalo bisa sih, pung… Tolong dilepaslah dia… Siapa namanya, Seng?” kata Iyon lalu beralih padaku yang ada berdiri di kanannya.

“Heri dan istrinya Andini… Ia kena dari Cyntia…” imbuhku menjawab soalan Iyon barusan. Iyon ternyata masih berusaha pendekatan dengan cara baik-baik. Siapa tau masih ada kesempatan ato peluang walo sangat minim.

“Kau sudah melukai peliharaanku dan masih berusaha ngomong baik-baik begini? Hanya nyawa kalian bertiga yang bisa menggantikan rasa sakit hatiku… Tau kalian?! Apalagi kepala kalian sangat berharga mahal saat ini… Masing-masing kalian sedang diincar… Kau… kau dan kau…” Ia menunjuk-nunjuk kami bergantian dimulai dari Kojek, Iyon dan aku dengan tongkatnya. Terutama aku yang sudah berkelahi dengan Begu Ganjang-nya semalam.

“Itu sudah sejak dulu, pung… Kalian-kalian yang bersembunyi di gelap hitam dunia ini selalu mengincar kami… Gak usah pala oppung sebut, udah tau kian kami itu…” kata Iyon gak sedikitpun gentar mendengar ogap (gertak sambal) Datu satu ini. “Jadi singkatnya oppung gak mau-lah yaa… melepas orang-orang itu?” tanya Iyon untuk terakhir kalinya. Orang tua itu gak secara langsung menjawabnya, ia hanya melepas tongkat Tunggal Panaluan miliknya yang dapat mengambang otonom.

“Kalian bertiga… aku-pun bertiga… Pas, kan?” jawabnya kemudian setelah tongkat itu berubah menjadi seekor mahluk berbentuk naga berwarna hitam sesuai warna tongkat tadi. Naga ini lain dari pada naga yang sering kuketahui karena bentuknya adalah perpaduan beberapa mahluk dan hewan sekaligus. Mukanya lonjong panjang seperti manusia dengan mata melotot besar, badannya tambun seperti kerbau dan ekornya panjang seperti ular yang membuatnya menjadi seperti naga dengan hanya sepasang kaki. “Naga Parabas…”

Berdasarkan posisi berhadap-hadapan saat ini, aku kembali menghadapi si Begu Ganjang, Iyon menghadapi si oppung Datu dan Kojek mendapat bagian sang naga. Aku otomatis mengeluarkan mandau Panglima Burung dan bakiak Bulan Pencak-ku. Iyon sudah mengurai sebuah cambuk panjang, itu Kamarasuta berbahaya miliknya. Sedangkan Kojek hanya menggeretakkan leher dan sendi jari-jari tangannya. Bersiap bertarung 3 VS 3!

“OK-lah, pung… Gak ada kata sepakat kita… Ini jalan terakhir, ya? Mulai-lah kapan aja…” Iyon mulai memberi komando dan menggerakkan cambuk miliknya. Ia melecut tanah di depannya. Suara memekakkan telinga bak suara petir menggelegar. “CTTTARRR!!!”

“BABIAT BALEMUN!” Kojek dengan kekuatan harimau mengalir di sekujur tubuhnya. Tato harimau itu timbul di lengan kanannya dan menerjang gagah berani dengan buasnya ke arah mangsa berbentuk naga hybrid seukuran kerbau itu. Konsep harimau di Kojek sangat berbeda dengan silat harimau yang kupunya. Karena pada dasarnya adalah melepaskan sebuah energi besar bak seekor harimau yang mengamuk dari dalam diri.

Aku hanya perlu lebih berhati-hati aja agar fitur istimewa Begu Ganjang ini tidak aktif lagi di tengah pertarungan ronde kedua kami ini yaitu kemampuannya untuk bertambah tinggi. Dan sialnya si Begu Ganjang pukimak ini menaikkan handicap pertarungan ini dengan membawa serta saudaranya, dua Begu Ganjang lainnya. Kan kimak kali namanya…

Mau minta ganti lawan, juga sama beratnya dengan kedua sobatku… Ya sudahlah. Aku yang memulai semua ini. “Mandalo Rajo…”

Bersambung

ayam kampus sexy
Nikmatnya kuluman ayam kampus yang sexy di dalam mobil
Mai Shirakawa uncensored
pijat plus
Menikmati pijatan yang membuat ku jadi terangsang
Terpaksa Menikahi Gadis Berjilbab Yang Masih SMA
Terima kasih Bu Yena
Foto Bugil Abg Toge Kasir Indomaret
penjaga kantin genit
Belahan dada mbak merry, penjaga kantin yang genit
pelacur cantik
Pelacur yang telah mengambil keperjakaan ku
jilbab bugil ngentot
Rintihan Kenikmatan Gadis Berjilbab
Black Circle
Cerita dewasa menjadi penikmat istri orang
kakak ipar sexy
Lina, Kakak Ipar Yang Paling Mengerti Aku
Burung Jalak
Foto telanjang mahasiswi cantik ayam kampus yang pemalu
Cerita Dewasa Ngentot Dengan Adik Angkat
smp sexy
Main dokter-dokteran dengan om bayu teman akrab ayah