Part #45 : Andini Mau Di Hamilin Bang Aseng

“Gak… Gak mau pulang sebelum bang Aseng menghamili Andini…” sergahnya menolak kusuruh pulang. Ia memukul-mukul ranjang dengan gemas.

Andini

“Tapi Andini sudah sembuh-loh… Suamimu sekarang pasti bisa menghamilimu… Tinggal abang harus mencabut pelet dari dia aja supaya dia mau pulang ke Andini lagi…” kataku. “Pulang ya, besok…” rayuku kek sedang membujuk anak-anak yang menolak pergi sekolah.

“Pokoknya Andini gak mau pulang sebelum hamil!… Titik!!” ia tetap bersikeras pada pendiriannya yang sudah secara keras kepala telah diyakininya. Ini keyakinan yang sama seperti binor-binor yang telah kuhamili sebelumnya. Keyakinan bulat sebulat payudara gempal yang berguncang-guncang di balik piyamanya kala ia memukul ranjang.

“Huushh… Jangan berisik-berisik… Ini hotelnya kelas murahan… Bisa kedengaran ke sebelah suaramu, Dinn… Husshh…” aku memberinya tanda tutup mulut walo seharusnya-pun tetangga sebelah kanan kiri kami gak akan perduli apa yang sedang kami lakukan karena mereka punya urusan sendiri yang mirip-mirip.

“Iya-ya, bang?” ia beringsut ke arah kepala ranjang, berdiri lalu menempelkan kupingnya ke dinding. Ia serius mencoba mendengar suara yang bisa terdengar dari sebelah sana. Matanya bergerak-gerak antusias dan kaget karena ia menutup mulutnya hendak tertawa. “Hi hi hihihi… Iya, bang… Kedengeran… Yang disamping ini lagi main-main enak… Aah aah ooh ooh… Hi hi hihihi…” ia tertawa cekikikan tertahan. Berjingkat-jingkat ia berjalan balik ke tengah ranjang. Pegas ranjang yang gak terlalu bagus, sudah tua juga sedikit berbunyi membuat tubuhnya bergetar-getar. Terutama gumpalan gemuknya. “Jadi hotel ini sering dipake buat mesum, ya?” tebaknya dengan suara riang.

“Hushh… Suaranya…” aku memperingatkannya lagi. Aku menaikkan suara volume TV untuk menyamarkan suara bising anak ini. Suara pembaca berita memenuhi ruangan kamar ini dengan detail isi berita yang sedang dibacakannya. “Udah pernah ke hotel beginian?”

Andini yang masih berdiri di tengah ranjang menutupi mulutnya karena barusan tertawa, mungkin teringat masa lalu. “Dulu waktu sekolah Andini sering ke hotel beginian di Siantar bareng Heri… Hi hi hihihi…” benar aja, udah nakal sejak sekolah dulu bareng mantan pacar yang kini jadi suaminya ternyata. Ia bergoyang-goyang manja kanan-kiri sambil mengepit tangan kanannya di antara dua gumpalan gemuk dadanya dan satunya menutup mulut dengan gaya imut. “Malam ini… Andini malah di hotel beginian sama bang Aseng… Mau mesum-mesuman juga… Buat Andini hamil…” katanya luar biasa manja dan menggairahkan. “Sementara Heri di sana dengan si Cyntia jalang itu… juga pastinya mesum-mesuman…” tangannya mulai membuka satu persatu kancing piyama lengan panjang yang menutupi tubuhnya.

“Gimana, bang?” tanyanya akan pendapatku tentang bodi seksinya. Kancing piyama itu sudah semua terlepas hingga pakaian itu tak dapat menutupi tubuhnya lagi, merenggang meninggalkan satu ruang terpisah menampakkan belahan dadanya yang ternyata tak ber-BH. Keliatannya sangat padat hingga bentuk bulatnya menggantung bagus di jarak yang lumayan dekat ini. Ia berdiri di bawah lampu yang tepat diposisikan di tengah kamar hingga semua detil tubuhnya terlihat jelas. “Buka semua?” tawarnya.

Aku mengangguk dan mulai menggesek-gesek Aseng junior yang menggeliat bangun di balik celanaku. Ia tersenyum meliat reaksiku yang mulai menyentuh diri sendiri. Aseng junior kuremas-remas hingga cetakan ukurannya dapat keliatan Andini. Perempuan muda cantik-manis itu menggigit bibir bawahnya kala meraih tepian kerah piyamanya yang tak lagi berkancing. Lalu dilebarkannya ke samping belahan bukaan piyama semakin menjauh. Gumpalan gemuk payudaranya semakin nyata terlihat. Bentuknya sangat indah, bulat sempurna, sekal dan montok dengan puting besar dan aerola lebar berwarna coklat gelap. Ini tandanya sudah sering dipermainkan sedemikian rupa oleh pacar dan suaminya hingga matang begini. “Makjang! Mantap kali, Diinnn… Yahh…” aku makin mencekik Aseng junior yang makin menggila.

Sepasang gumpalan gemuk itu semakin terekspos kala piyama itu jatuh melewati kedua tangannya, luruh jatuh di atas ranjang. Tubuh montoknya dengan sepasang gumpalan gemuk payudara seimbang hanya tinggal memakai celana panjang padanan piyama saja. Entah ia juga tidak memakai celana dalam ato malah pakai. Buru-buru aku melepaskan celana panjang yang masih kupakai, sabuk, kancing dan restleting lepas dalam kecepatan kilat. “Gede, baang?” kata Andini melihat Aseng junior mencuat tanpa malu-malu saat kuloloskan celana ini dari kedua kakiku.

“Punyamu juga besar kali, Diin… Cantik kali kau, Diin…” aku mendekatinya dengan Aseng junior gondal-gandul gak tau malu. Tak lama aku sudah ada di depannya, berdiri di atas lututku menghadap ke perutnya yang agak endut karena montok tubuhnya. Tapi sangat seksi bohay sekali. Kupeluk pinggangnya yang masih terbungkus celana panjang. “Andini yakin ini, kaan? Awak buka ini, yaa?” kuremas bokong montok tebalnya yang kenyal lembut.

“Yakin, bang… Buka-lah, bang… Andini-pun udah gak tahan kali nih, baang…” jawabnya meyakinkanku. Sekali tarik dua sisi celana panjang itu langsung melorot dan benar dugaanku, ia tak memakai celana dalam lagi sejak selesai mandi tadi. Kemaluannya langsung terpampang di depan mataku. Jembut lebat yang hanya menumpuk di bagian atas gundukan tebal pubis-nya sudah mulai merekah merah terangsang. Belahannya mulai membuka lembab dengan kacang itil mengintip di puncaknya. “Aaahhssshhh… Baang… Yaaahh… Itu, baaang… Mmm…”

Kubenamkan muka ke arah kemaluan gemuk montok Andini yang menggairahkan. Lidahku bermain-main di jembut lebatnya, menggelitik lipatan sedikit merekah kacang itilnya. Tubuh Andini bergetar-getar mendapat serangan cepat lidahku. Tanganku tak berhenti meremas-remas dua bongkah pantat montok tebalnya. Kenyal dan lembut daging bokong Andini sangat menjadi candu yang ngangenin selalu.

Andini tak kuasa menahan tubuhnya untuk tetap berdiri, ia menurunkan tubuhnya dan berjongkok di hadapanku. Tentu aja dengan begitu, aku gak bisa lagi menggunakan lidahku untuk mempermainkan si gemuk montok di antara kakinya. Apalagi meremas tebal bokongnya. Sebagai gantinya ia melebarkan kakinya dan memamerkan isi si gemuk montok yang merekah lebar. Wow… Perlahan tubuhnya mundur hingga berbaring meninggalkan kakinya tetap membuka lebar di hadapanku. “Aahh, baang… Bagus, gak?” godanya dengan bibir bawah digigit.

Tak menjawab, bermaksud merasakan langsung ‘bagus’ yang dimaksudnya, mukaku langsung terbenam ke antara kakinya. Selangkangan si gemuk montok berjembut lebat. “Kyaaahh…” jerit erangannya melengking merasakan mulutku langsung mendarat di belahan kemaluannya. Liang kawinnya yang langsung menjadi sasaranku. Kusedot-sedot liang imut itu lalu jilatanku memanjang hingga menggerus kacang itil yang memuncaki garis menyatu bibir dalam gemuk kemaluannya. Tanganku meremas sekaligus menahan pangkal pahanya tetap membentang. Kucucup-cucup plus sedot kacang itil Andini membuat tubuh montoknya tergial-gial melenting keenakan. Pantatnya berkali-kali menjulang dan aku harus tetap mengikuti arah gerakan liarnya.

“Baang… Enaak, baang… Pinter abangg… Uuhh… Uhh… Aahh…” erangnya untung masih tersamar oleh suara berita di TV yang volumenya sengaja kunaikkan. Aku sebenarnya gak perduli kalo dia bising menikmati semua ini, karena aku juga menikmatinya juga. Setiap kamar yang berisi di hotel ini juga sedang melakukan kegiatan mesum ini. Suatu kewajaran aja. Sama-sama tau.

Lidahku menyentil-nyentil bermain di kacang itilnya sedang dua jariku menusuk masuk, berkait dan mengorek-ngorek G-Spot Andini. Perempuan cantik-manis ini meraung-raung tanpa henti. Punggungnya melengkung berkali-kali menghentak lalu berputar menikmati serangan oral dan fingering-ku. Lincah lidahku bermain, mengutik, menyentil kacang itilnya yang semakin tegang dan merah. Rasa vaginanya sangat segar. Bukan karena baru saja mandi, dibersihkan. Segar aja dari sananya.

“AAkkhhhh… Sampe, baangg… Uuhh…” bergetar-getar tubuhnya berkejat beberapa kali dengan jariku masih mengorek. Dua jariku basah kala kucabut dari dalam liang kawinnya. Kuelap mukaku yang berlepotan ludahku sendiri dan cairan cinta Andini. “Ahh… ahh… ahhh… Enaak kali, baang…” ia berbaring pasrah dengan gumpalan gemuk teteknya turun naik. Dari pandangan matanya, ia berharap aku segera melanjutkan ke tahap berikutnya. Memasukkan Aseng junior ke dalam liang kawin si gemuk montok.

“Ayo bangun, cantik…”

“Aahh…” erangnya malas-malas manja karena mager abis orgasme. Tubuh montoknya kutarik hingga bangkit dan kududukkan di pangkuanku yang ada tepat di depan bukaan kakinya. “Uuhhnn…” belahan si gemuk montok yang baru aja mendapat kenikmatannya bergesekan intens dengan Aseng junior-ku. Terasa batangku menggesek keras kacang itilnya yang berdenyut-denyut mengharap. Kutahan tubuhnya dengan memeluk pinggangnya. Tubuh kami berdua sangat rapat, bahkan gumpalan gemuk itu lumer di dadaku. Wajah kami saling berhadapan. Mata kami saling menatap. “Baang?”

“Sebelum kita lanjut lebih jauh… Ada satu hal penting terakhir yang awak mau kasih tau Andini… Awak mengajukan perjanjian dengan tiga poin pasalnya… Dengarin, ya?” kataku. Ini penting menurutku. Jangan sampe Aseng junior masuk sebelum disahkan dengan perjanjian ini. Mata Andini berkedip-kedip antara heran dan gak percaya kalo aku akan melakukan hal ini. Ia mengangguk pelan tanda mau mendengarnya.

“Pertama adalah pasal tentang hubungan kita berdua ini, Dinn… Gak akan ada hubungan spesial yang lebih dari ini… Awak hanya menolong menyembuhkan Andini dan suami… Menghamili Andini utamanya… Hanya itu dan tak lebih dari itu… Jadi kita gak boleh mengharapkan hubungan yang lebih jauh dari pada hubungan tolong menolong ini… Paham, ya?” kataku. “Kalo paham cukup mengangguk…” tambahku. Ia mengangguk.

“Kedua adalah pasal tentang kepercayaan… Kita saling percaya kalo hubungan ini hanya diketahui kita berdua saja… Tidak boleh membocorkannya, memberitahu kepada orang lain… Ini hanya rahasia kita berdua saja… Kita juga saling percaya kalo kita akan mematuhi semua isi pasal-pasal yang ada di dalam perjanjian ini… Paham juga, kan?” ia mengangguk kembali. “Bagus… ini yang terakhir…”

“Ketiga adalah pasal tentang masa depan… Jika karena urusan kita ini kelak Andini hamil… Ia adalah anak Andini dan Heri berdua… Ingat? Anak kalian berdua… Anak dari hasil pernikahan kalian berdua… Rawat dan besarkan dia dengan baik sebagaimana mestinya… sebagai anak yang sudah kalian nanti-nantikan selama ini… Dialah masa depan kalian… Paham yang ini, kan?” ia lagi-lagi mengangguk paham. Posisi kami yang berhadap-hadapan karena ia duduk di pangkuanku membuatku dapat dengan mudah menjelaskan maksudku tanpa jarak pemisah yang terlalu jauh. Aku bahkan dapat merasakan degub jantungnya mendengar pemaparanku akan tiga pasal perjanjian barusan.

“Jadi… kalo awak gak ngarepin apa-apa dari bang Aseng selain hamil… rasa maennya jadi gak intim lagi-lah, bang?” tanya Andini ternyata penasaran tentang masalah keintiman.

“Kalo misalnya awak giniin?…” kukecup bibirnya lalu kukulum sebentar kedua bagian bibirnya. “… Andini ngerasa perasaan lain, gak?” tanyaku. Mulutku berdecap-decap merasakan sisa rasa bibirnya yang manis.

“Huh-hu huu… Enak, bang… Lagi, bang?” ia malah keenakan.

“Jawab dulu… Gimana perasaanmu? Kalo terbersit rasa yang mengarah-arah suka gitu ke awak… Lebih baik kita maennya gak pake cium-ciuman gitu, Dinn… Bahaya tau?” jelasku lebih lanjut akan contoh yang kuberikan. Ia terdiam merasa-rasakan apa yang terpantik di hatinya. Menanyakan hatinya sendiri. “Jangan bo’ong… Itu hanya akan menipu dirimu sendiri… Jujur aja…”

“Bang Aseng apa gak kerasa naksir-naksir gitu sama Andini… Walo sedikit aja?” tanyanya balik.

“Enggak…” jawabku cepat.

“Abang Aseng pemaen lama, yaa? Banyak nih keknya…” pancingnya menggodaku dengan tambah menekankan gumpalan gemuknya pada dadaku.

“Pasal 2… Tidak boleh membocorkan hubungan ini…” jawabku taktis saja.

“Oh… OK-OK… Paham… Profesional abang Aseng-nya… Maen cantik ternyata… Kalo gitu Andini gitu juga-lah… Maen cantik kita, yaa? Yang penting Andini bisa hamil pokoknya…” katanya memantapkan hati untuk membuang semua rasa-rasa romantis dari hubungan yang akan kami jalani ini. Walo aku yakin ini perdana baginya untuk berhubungan dengan pria lain selain mantan pacar yang kini menjadi suaminya, tapi ia mengerti semua konsepnya. “Coba trei (coba) sekali lagi, bang?” tantangnya.

Kumajukan lagi mukaku mendekati mukanya dan bibir kami bertemu kembali. Bibir kami menyatu dan saling kulum kami lakukan. Aku kembali merasakan bibirnya yang terasa manis beserta cairan mulutnya. Ia mengulum-ngulum bibirku perlahan dan sesuai dengan tempo yang kuterapkan dari tadi selagi bercumbu mulut. “Ummh…” desahnya pelan menikmati, sekedar menikmati saja. Lidahnya bergerak keluar dari mulutnya dan kusambut dengan beradu lidah walo hanya ujungnya saja.

“Gimana? Gak naksir, kan?” tanyaku.

Ia hanya menggeleng. “Cuma nikmatin ajaa… Gak mau naksir…” katanya dengan mata dikerjab-kerjabkan.

“Baguuus…” kuturunkan tubuhnya dari pangkuanku, rebah kembali ke ranjang bertelekan bantal di kepalanya. Tubuh semoknya kini rebah agar dapat kupeluk tindih dengan mudah. Tubuh kami rapat menyatu. Aku tepat berada di antara kakinya yang terbuka lebar bekas dipangku barusan saat kuungkap perjanjian tiga pasal tadi. Kembali kucumbui mulutnya dan ia mengerang menikmatinya.

“Ahh…” erangnya lagi kala cumbuanku berpindah ke lehernya, tidak dicupang. Hanya kujilat dan kukecup aja. Lalu terus turun dan mendarat di gumpalan gemuk dadanya yang, “Aaahhh…” mulutku langsung mencaplok puting besar beraerola lebar itu. Bayi akan mudah sekali menyedot ASI dari kenyal gemuk buntalan susu ini. Apalagi bayi setua aku yang belum disapih bertahun-tahun. Kenyot-kenyot dan remas kulakukan hingga tubuh Andini menggelinjang. Lidahku di dalam mulut juga bekerja tak jemu-jemu mempermainkan kala menyedot.

Aseng junior-ku yang menegang keras sudah mencapai mode tempurnya kugesek-gesekkan ke paha dalamnya. Meluncur turun mengetahui posisi target sarang barunya. Menelusuri paha dalam, turun dan tiba di kemaluannya si gemuk montok berjembut lebat. Permukaan kasar jembutnya bergesekan dengan kepala Aseng junior. Andini memposisikan pinggulnya hingga gemuk montok miliknya bisa bersua kelamin dengan milikku. “Yaahh…” belahan kemaluannya sudah tepat ditempeli Aseng junior-ku pada saat yang tepat.

“Udah bisa abang masukin ya, Dinn?” pastiku meminta izin dahulu sebelum serius mulai prosesi penghamilan dirinya.

“Masuk, baang…” izinnya turun dan kudorong perutku ke depan, membelah si gemuk montok berjembut lebat. “Aaahhh… Pelan, baang…” Kudorong pelan-pelan aja walo sebenarnya liang kawinnya sudah basah berkat orgasmenya barusan. Tapi ini memang masih sempit karena belum pernah melahirkan sebelumnya walo udah lama meritnya.

Selagi kutambah acara dorong-tarik Aseng junior, aku kembali mengajaknya bercumbu bibir lagi dengan adu ujung lidah juga. Kakinya tambah rileks dan membuka lebar mengakomodasi himpitan tubuhku yang semakin rapat menimpanya. Lama kelamaan, Aseng junior bisa masuk lebih jauh dan kepitan liang kawinnya, beeuhh… Juara! Sempit kali. Kontol si Heri pasti gak ada apa-apanya untuk mengobrak-abrik liang kawin biniknya ini.

“Ah ah ah ah…” erang Andini kala aku mulai melakukan sodokan teratur 1-1. Tubuh kami rapat berhimpitan dengan tusukan pendek-pendek aja agar ia bisa terbiasa dengan besar lingkar diameter Aseng junior-ku. Panjang kemaluanku standar aja orang Indonesia kebanyakan jadi performaku yang kini menjadi andalanku untuk memuaskan tiap perempuan yang kugauli. Staminaku juga kini semakin meningkat yang kuyakin berasal dari latihan rutinku dalam silat harimau Mandalo Rajo. “Aahh… Enaak, baang…” erangnya puas.

“Enaak? Gini?” kuganti tusukan 1-1 pendek itu menjadi 2-1 tusukan dalam dan pendek sehingga aku harus mengganti posisi menghimpitku ini menjadi lebih naik dengan topangan tangan. Tusukan andalan 2-1 yang biasa membuat para binor klepek-klepek kembali kuperagakan pada binor terbaruku ini. Lezat sempit liang kawin si gemuk montok terbelah pasrah disodoki Aseng junior. Mengepit erat hingga bibir minora-nya agak tertarik keluar kala Aseng junior keluar untuk kembali dihujamkan masuk.

Andini bahkan berusaha mengintip pertemuan kelamin kami dengan mulut menganga menarik nafas. Mulutnya tambah lebar menyaksikan batang kemaluanku yang membobol kemaluannya dengan kecepatan sedang konstan. Tangannya mencoba meraih hingga menekan sisi payudaranya. Ia melebarkan bukaan bibir kemaluan gemuk montok itu. “Aahh…” aku menghalangi pandangannya ke arah gumpalan gemuk payudaranya yang makin mencuat akibat ulah tekanan lengannya dengan mengenyot kembali puting gemuknya. Segala benda menggairahkan milik Andini sungguh gemuk-gemuk enak gitu untuk dinikmati.

“Aaahhh… Lebih cepaat, baang… Enaak kalii… Auhh…” erangnya melebarkan kakinya dan naik nangkring di punggungku. Tumbukan pangkal pahaku dan pahanya berbunyi plok-plok gitu mengikuti permintaannya lebih cepat. “Aaah… Baanng… Nyaampe lagi, bang… Ahh…” erangnya menaikkan dadanya lebih membusung ke atas.

“Treak yang kuat, Diin!!” suruhku.

“Aahhh… Ahhh!!”

“Yang kuat!!” suruhku lagi terus menggenjot walo remasan liang kawinnya meremas-remas dahsyat Aseng junior-ku. Entah kegilaan apa yang nyangkut di benakku saat ini menyuruhnya berteriak kuat.

“AAAHH!! AAHHH!!!” dengan patuh ia menjerit-jerit keenakan karena liang kawin si gemuk montok-nya terus kubombardir kencang dengan Aseng junior. Memberikan jepitan-jepitan memulas dahsyat. Liangnya terasa sangat basah dan becek hingga remasan liang kawinnya terasa sangat nikmat dan aku terus bersemangat menyodoknya lagi dan lagi.

Para tetangga mesum di sekitar kami pasti mendengar jeritan nyaring Andini barusan. Mereka yang berusaha diam-diam melakukan kegiatan yang sama persis dengan kami lakukan ini pastinya akan tertantang untuk melakukan yang sama. Tapi itu bagi yang bernyali saja.

Kami berdua bernafas berat. Ngos-ngosan. Aseng junior masih terbenam dalam di panas liang kawin becek yang sudah bergelimang sperma kentalku. Sewaktu ia berulang-ulang mendapatkan multiple orgasme itu, aku juga ikutan ngecrot. Makanya aku menyuruhnya treak sekuat-kuatnya untuk merangsangku lebih dan aku ejakulasi senikmat-nikmatnya. Kubenamkan mukaku ke gumpalan gemuk dadanya. Menikmati nyaman kenyal gundukan lemak itu. Kudusel-duselkan mukaku di sana. Puting gemuknya menggaruk pipiku.

Kuraih bantal terdekat yang tak dipakai Andini, kuposisikan di bawah pantat tebalnya hingga posisi tubuhnya melengkung, menjaga agar sperma berhargaku bekerja lebih optimal lebih lama membuahi sel telur di rahimnya. Andini pasrah aja karena tubuhnya masih sangat lemas. Kuapakan saja tubuhnya ia nurut. Kukenyot-kenyot puting gumpalan gemuk payudaranya dari sampingpun ia dia tidak merespon apa-apa. Masih lemas dengan nafas berat. Pandangannya kosong menatap langit-langit kamar hotel.

“Uh-hu hu huh huu… Enak kali, baaang…” lalu sadarnya ia berusaha merangkul kepalaku yang masih asik nenen di gumpalan gemuk dadanya. Aku menahan kakinya agar gak ikut-ikutan mengalung ke arah kakiku. Kusumpal mulutnya yang masih merengek keenakan. Bibirnya maju monyong bercumbu denganku yang terpaksa menengadah. “Ini apa, bang?” maksudnya pada bantal di pantatnya itu. Mulut kami masih menempel.

“Biar bisa hamil… gini cara awak… Percaya aja, ya?” kataku lalu beradu mulut dengannya lagi. Jariku bermain-main dengan kenyal gumpalan gemuk dada dan puting gemuknya. Kuremas-remas hingga ia tersenyum lalu tertawa geli. “Kenapa? Enak, ya?” Aseng junior kugesek-gesekkan ke pahanya. Masih ada noda spermanya tapi ia tidak perduli.

“Masih bisa lagi, bang?” ia melirik ke bawah perutku karena merasa Aseng junior cukup keras menggesek pahanya. Aku gak menjawab tapi terus menggesek. “Punya abang gede kali, bang… Punya Heri kurus gitu… Panjangnya mungkin sama… Tapi kurus…” dibandingkannya Aseng junior-ku dengan punya lakiknya. “Abis nembak gitu… pasti langsung lemes… Naek lagi paling satu jam nanti…”

“Beda-beda, Dinn… Kebetulan aja punya awak kek gini…” kataku gak mau nyombong. “Istirahat dulu apa lanjut?” tanyaku memintanya memilih.

“Lanjut aja, bang… Udah keras gitu… Enak-loh yang tadi… Jarang-jarang Andini ngerasain enak kek tadi…” katanya memuji performaku. Padahal tadi itu hitungannya masih terlalu cepat. Belum ada 10 menit aku udah ngecrot. Tapi karena memang karena ulahku sendiri yang terbuai remasan yahud orgasme berulangnya. Aseng junior gak tahan dan muntah.

“Tapi ini harus meresap dulu agak lama…”

“Gini aja, bang…” katanya setelah berpikir sebentar. Ia meraihkan tangannya ke arah Aseng junior yang kembali meradang pengen masuk lagi ke sarang terbarunya, si gemuk montok yang sudah dimuntahi sperma kentalnya. Ia hendak memegang Aseng junior. Aku menangkap kalo ia ingin mencoba memasukkan Aseng junior ke mulutnya. Kutunggu sebentar reaksinya, apa benar itu maunya? “Gak pa-pa, bang…” tanpa sungkan ia meremas Aseng junior yang masih lengket-lengket oleh sperma dan cairan vaginanya sendiri. “Awak udah sering sama Heri…”

Masih dalam posisi berbaring dan kaki terbuka pantat terganjal bantal, aku memasukkan Aseng junior ke dalam mulutnya. Mulut mungilnya tak sanggup menelan semua batang Aseng junior, hanya bagian kepalanya saja. Tangannya sibuk mengocok batang lengketnya, meratakan semua cairan kental yang tersisa. Lidahnya menyentil-nyentil lubang kencingku berulang cepat lalu disapu berputar-putar di kepala Aseng junior. “Kegedean, bang… Biasanya punya Heri masuk, kok…” sesalnya tak bisa melakukannya sesuai bayangannya. Ia mengocok-ngocok gemas hingga semua cairan kental itu berkumpul di pangkal bersama rimbun jembutku.

“Jangan semua-lah… Nanti Andini kelolotan punya awak…” jawabku cukup menikmati sebenarnya aksi oral yang dilakukannya karena aku juga gak tinggal diam dan terus memainkan gumpalan gemuk dadanya. Gemes dengan puting gemuknya yang berwarna gelap kontras dengan putih kulitnya yang cerah glowing.

“Glokk… gllok…” ia mencoba dan cenderung memaksakan dirinya melewati batasan mulutnya yang memang mungil. Aku dapat menguasai mulutnya kala bercumbu karena hanya itu yang mungil dari dirinya. Usaha kerasnya membuat Aseng junior-ku merasakan nikmat itu, terjepit sempit mulutnya seperti terbenam di dalam versi lain liang kawinnya yang lebih fleksibel. Kuusap-usap keningnya yang berkerut, raup rambut yang menodai wajah cantik-manisnya—ayu. “Udah?” tanyanya begitu kulepaskan kepala Aseng junior yang disedotnya dari tadi. Aku mengangguk.

Aku memposisikan diriku di antara kakinya lagi. Bantal itu kusingkirkan dan kutampung pantat tebalnya dengan kedua tanganku. Aseng junior mengarah tepat menunjuk ke arah lubang menganga lebar masih tergenang spermaku. “A-aahhh…” Aseng junior tergelincir licin memasuki liang nikmat, hangat dan sempit itu. Kusorong sampai kandas seluruh panjang batang Aseng junior-ku. Kudiamkan sesaat dan Andini juga menikmatinya bersamaku. Momen-momen kelamin kami intim bersatu. Kedut-kedut terasa dari dalam jepitan liang kawinnya sedang meremas batang kemaluanku. “Penuh kali rasanya, bang… Tapi enak…” katanya.

Kudekatkan hingga rapat tubuh kami, pantatnya kini berada di atas kasur. “Cup… Tapi jangan sampe naksir, yaa? Bahaya nanti…” setelah kukecup bibirnya sekilas. Aku membenarkan posisi kaki untuk mulai menggenjotnya lagi. Aseng junior terasa enak di dalam sana. Tekanan kuat yang dirasakannya harus segera dituntaskan. Andini tersenyum dengan bibir mungilnya bersamaan denganku mulai bergerak.

“Shlok shlok shlok…” suara gesekan basah kelamin kami menyebabkan friksi enak yang mulai mengelevasi rasa nikmat di kepala sebagai pusat pengendali rasa ekstase ini. Hormon-hormon pencetus rasa gembira dan senang itu meresap ke dalam tiap dawai syaraf. Tak salah kalo seks adalah alternatif rekreasi yang mudah didapatkan pada saat tertentu. Andini mengerang-ngerang dengan menggerakkan kepalanya ke kanan ke kiri menikmati tiap suguhan kenikmatan yang kutawarkan ke tubuhnya. Aku menikmatinya bareng keindahan visual yang diberikannya lewat goyangan berguncang gumpalan gemuk dadanya yang kenyal bergetar tiap sodokan Aseng junior-ku. Naik turun berputar-putar, indah menggemaskan.

“Aaah… Baaang?! Aaahh… Yaahhh…” erangnya sangat seksi. Binor si Heri sangat seksi dan ayu, perpaduan cantik dan manis. Paok kali dia mau menukar keindahan ini dengan kejalangan janda pelakor itu. Pelakor jalang itu memang cantik juga sih. Tapi karena perasaannya sudah dikacaukan ilmu ghaib sehingga ia rela mengganti hatinya ke perempuan itu. Tapi sudah berapa banyak lelaki hidung belang yang sudah menjamah tubuhnya? Sudah berapa banyak rumah tangga yang dihancurkannya.

“Tereak yang keras, Diiinn… Luapkan emosimu! Kalo mau tereak… tereak yang keras! Yang kuat!!” seruku makin mempercepat genjotanku. “Plok plok plok!” genjotan cepatku menimbulkan suara tepukan basah akibat bertemunya tubuh berpeluh kami. Ruangan ini ber-AC tapi tak begitu optimal pendinginannya. Biasalah… Kamar hotel murah.

“AAHHH!!! YAAAHHH!!” erangnya lebih kuat dari tadi meluapkan ekspresinya. Ada emosi di sana. Marah ke suaminya. Marah ke pelakor itu. Liang kawin gemuk montoknya semakin basah dan licin. Aseng junior dengan mudah menembusnya hingga mentok, perutku dan selangkangannya bertemu. Jembut kami saling bersapa bersilaturahmi. Ia makin mengerang keras. Aku tidak dapat mendengar suara lain. Suara channel berita TV bahkan tak terdengar lagi. Hanya ada suara Andini di kamar ini mengerang-ngerang keenakan kuentot. “AAAHHH EHHMMM YYAAAHHH!! TRUS, BANNGG!!”

Tubuhnya melengkung “NYAMPEEE, BAANG!!” jeritnya memeluk erat tubuhku. Tubuh kami bersatu dan aku merasakan gumpalan gemuk dadanya lumer di dadaku. Andini bahkan menggigit dadaku dengan gemas. Terkejat-kejat ia naik turun merasakan nikmat orgasme ini. Ia menikmatinya habis-habisan. Aku masih menggenjotnya pelan-pelan berharap dapat mendapat keuntungan di sana karena Aseng junior mendapat stimulasi maksimal, dipulas seketat-ketatnya. Dipagutnya mulutku dengan penuh gairah. Lidahnya menjulur masuk menyeruak. Mengaduk-aduk lidahku. Menyedot lidahku. Kami hanya bisa bernafas panas dari hidung. Aseng junior terus kupompakan lebih cepat kembali. Gumpalan gemuk dadanya kuremas gemas.

“LAGIII, BAANGG!! TRRUSSS!! AAHHH!! AKKHH!!” erangnya tak berhenti setelah melepas pagutan mulutnya. Tangannya meremas pangkal lenganku yang liat. Kukunya terbenam di kulitku. Aseng junior memompa teratur dengan cepat. Lancar ia merojokki liang kawin Andini yang licin becek oleh cairan orgasme barusan. Peluh makin membasahi tubuh kami berdua menimbulkan suara kompak nyaring bertepuk-tepuk. “AAHH ENAAK KALI, BAANG!! NGENTTOOOOTTT!!! AAH!!” kejat-kejat kembali tubuhnya orgasme liar. Aseng junior dicekik dan sampai pada batasnya.

“Croott Croott Croottt!!” spermaku menyembur deras kembali untuk kali kedua di malam Minggu yang panas di daerah Belawan bareng seorang binor yang baru sore tadi kukenal. Sudah saling berbagi birahi dan kenikmatan berdua di kamar ini. Kupagut bibir mungilnya dan kunikmati sepuas-puasnya. Ia meningkahi permainan mulutku tanpa malu-malu lagi. Seperti nyaring suaranya yang membahana di kamar hotel ini. Mungkin mengganggu penikmat syahwat lain di luar sana. Ia tak perduli. Kurengkuh tubuhnya menikmati bersama rasa nikmat itu. Menikmati kulit lembut berkeringatnya.

—————————————————————————-
“Gimana rasanya bisa tereak-tereak kek gitu?” aku baring berbantalkan tanganku sendiri di sampingnya. “Ngerasa bebas?”

“Rasanya aneh aja awalnya, bang… Tapi waktu teriak… yaa… bebas gitu… Merdeka!” malah mengepal tangannya. Gumpalan gemuk dadanya berguncang keras kala ia berteriak merdeka. Aku gemes dan meremasnya. “Iihh…” kegelian dia. Ia malah meraih ke bawah pada Aseng junior yang masih manggut-manggut terpekur lemas, lalu meremasnya membalas.

“Aahh… Masih mau lagi?” tantangku.

“Mau dong kalo abang bisa… Bisa, ya?” tanyanya balik.

“Istirahat dulu, Dinn… Lagi pula itu biar meresap dulu agak lamaan…” kataku lalu mengusap perutnya yang agak endut berlemak. “Biar cepat jadi… Awak biasanya giniin biar cepat jadi…” usap-usap sampai menyentuh rimbun jembut rambut pubisnya. Pantatnya kembali kuganjal bantal.

“Sama orang rumah (istri) abang biasanya dibuat gitu ya, bang? Sampe anaknya udah dua…” tanyanya menatapku riang. Ia mungkin senang karena beranggapan aku memperlakukannya seperti aku memperlakukan istriku di rumah. Aku hanya mengangguk dan tersenyum. Belum tau dia udah berapa binor yang sudah kubikin bunting dengan teknik ngecrot-ganjal bantal ini. Ia makin bersemangat mengocok Aseng junior yang perlahan bangkit lagi dari tidur ayamnya. Siap berkokok lagi.

“Itu tadi… Merdeka tadi… Gak malu, kan? Orang-orang di luar sana pasti dengar semua-loh, Dinn…” tanyaku mengingatkan kembali pada urusan tereak-tereak tadi. Seperti war-cry gitu untuk meningkatkan semangat juang.

“Biarin aja… Gak kenal ini, kok… Lagian mereka juga kan lagi enak-enakan juga… Kalo mau ayo teriak juga kek Andini tadi… Pasti puas…” alasannya. “Tapi beneran enak kali-lah, bang… Awak dari SMA dulu udah ngamar kek gini sama Heri… Gak pernah awak keenakan kek gini… Apa Heri-nya aja yang kurang ya, bang?” tanyanya meremas Aseng junior gemes.

“Saling mengisi aja, Dinn… Jangan dibanding-bandingin suamimu sama awak… Nanti rumah tanggamu jadi hambar… Disyukuri aja apa yang udah Andini dapat… Kalo nanti Heri udah sembuh… Berbaikan-la dengan benar… Perlakukan dia sebagai suami dengan benar… Laki-laki itu sederhana aja-nya… Kalo di rumah sudah cukup semuanya… gak akan macam-macam dia… Kalo di rumah merasa kurang… ehmm… udah… Mulailah nyari sana nyari sini… Udah jadi ribet dia ujungnya… Kek Heri sekarang ini…” kataku sok menggurui dan menasehatinya. Padahal…

“Iya-ya, bang… Awak jadi gimana gitu kalo ngingat-ngingat kakak angkatnya itu… si Cyntia ganjen itu… Cantikkan mana Andini sama dia, bang?” tanyanya menanyakan pendapatku.

“Bagusan Andini kemana-mana-laaa…” jawabku memuji keindahannya. Aku membersihkan keningnya dari juntaian helai rambut. “Andini ayu… montok… seksi…” lanjutku memuji-muji tampilan luarnya. Enak dientot juga pastinya. “Tapi itu tadi… Mungkin ada sesuatu yang plus… Yang lebih yang diberikan si Cyntia-Cyntia itu pada suamimu… Yang gak pernah Andini beri padanya… Bisa jadi dari sana pelet itu masuk…” terangku.

“Pelet itu masuk dari sana?” ulang Andini. Ia jadi lebih tertarik pada masalah ini hingga bangkit dan bersandar pada kedua sikunya.

“Pelet jenis ini biasanya dalam bentuk pengasihan… Tentunya si Cyntia ini bukan perempuan baik-baik… Bukan karena status jandanya, yaa… Dia ketemu Heri di tempat hiburan malam gitu, kan? Karaoke?” tanyaku. Andini mengangguk membenarkan. “Perempuan-perempuan ini biasanya melengkapi dirinya dengan pengasihan agar langganannya selalu balik dan balik lagi… Selalu ingat dengan dirinya… Terbayang-bayang terus… Jadi ia terus bisa mengeruk uang dari mereka para tamunya… Ada tamu yang royal… ada tamu yang pas-pasan… ada tamu yang rela melakukan apa saja agar ada duit untuk memakai jasanya… Heri mungkin ada di kriteria yang royal dengan duitnya…” jelasku. Andini mengangguk-angguk di posisi duduknya kini. Ia memangku dagunya dengan tangan siku di lutut.

“Si Cyntia-Cyntia ini pasti mengeluarkan semua kemampuan terbaiknya untuk merayu dan melayani Heri… Entah apa pelayanan ekstra yang diberikannya pada Heri yang terbilang plus-plus lebih dari biasanya hingga suamimu ini terjerat semakin dalam lebih dari tamu lainnya… Bisa apa aja… Entah perhatian… Entah masakan… Entah… apa aja bisa…” kataku juga ikut duduk di atas ranjang dengannya saat memberikan konsultasi padanya.

“Andini gak pande masak, bang…” ingatnya menerawang mungkin mengira itu salah satu sebabnya.

“Belajar masak… Masakin makanan kesukaannya… Luluh laki-laki biasanya…” kataku memberinya ide ini. “Menghambakan diri pada suami itu gak salah… Karena dia pemimpinnya di rumah tangga kalian… Dari sana akan ada hubungan saling sayang menyayangi yang lebih dari sekedar status suami istri…” lanjutku lagi udah kek konsultan perkawinan aja. Padahal aku udah banyak kali nyeleweng dari istriku. Entah udah berapa binor yang kuhamili, aku malas ngitungnya.

Ia tercenung memikirkan semua kata-kataku barusan. Matanya menerawang mengingat hari-hari bareng suaminya.

“Besok pulang, ya?” pintaku. “Nanti kalo sempat awak anter ke terminal Amplas…” tawarku. Ia beralih menatapku.

“Iya… Tapi abang anter sampe Siantar, yaa? Andini takut…” katanya kehilangan kenekatannya tadi pagi. Ia mulai membayangkan yang enggak-enggak tentang keangkeran sebuah terminal. Aku berani bilang preman-preman yang menguasai terminal di seluruh Indonesia kalo berasal dari Medan pasti magangnya dulu di terminal Amplas. Terminal bus terbesar di kota Medan. Klen bayangin aja angkernya gimana.

“Sampe Siantar?” kagetku tentu. Apa yang akan kukatakan pada anak dan istriku? Memang besok gak ada acara apa-apa sih. Tapi mengantar binor kembali ke kota asalnya yang cukup jauh dari Medan itu memakan waktu. “Gak bisa-la, Dinn… Tapi besok awak tungguin sampe bus AKAP-nya berangkat-laa… Betul! Suwer…” tolakku.

“Ya udah… Andini gak mau pulang besok… Andini nginep aja di sini terus…” katanya berubah kolokan melipat tangannya di bawah gumpalan gemuk dadanya dan membuang muka.

“Yaelaa… Pake ngambek si Andini ayu…” rayuku menjawil dagunya. “Jangan ngambek gitu-laa… Di sini… Di hotel ini juga serem-serem-loh… Preman-preman Belawan sini sukanya maen perempuan di sini… Nanti Andini dikira perempuan kek gitu pulak… Mau ditawar preman?” kataku menakut-nakutin.

“Biarin… Biar sekalian bunting sama preman gak jelas gitu…” katanya malah tambah ngambek. Tambah ketat ia memeluk tubuhnya hingga makin membusunglah dada gemuknya tambah besar.

“Preman Belawan sini kasar-kasar mainnya… Tetek Andini dikenyot-kenyot uhmm… kek gini… Disedot-sedot… uhmm… kek gini…” peragaku akan semua akan semua kalimat menakutiku. Mulutku sudah mendarat lagi ke puting gemuknya. Mataku tak lepas memperhatikan ekspresi yang memancar dari wajahnya. Bibir bawahnya digigit menahan enak. “Diremas-remas… kek gini…” remasku agak sedikit kuat dari sebelumnya hingga gumpalan gemuk itu seperti lumer di tanganku mau meledak.

“Uhhnn… Usshh…”

“Dibalik kasar kek gini!” kataku memperagakan keinginanku sendiri. Tubuhnya berbalik dan ia menuruti apapun yang kulakukan. Kutunggingkan tubuhnya hingga ia bertumpu di tangan dan kaki. “Diremas-remas lagi kek gini…” kuremas-remas kuat bokong tebalnya, kenyal bukan buatan. Anus dan liang kawinnya membuka-nutup karena perlakuan tanganku. Liang kawinnya yang masih ada sisa sperma kental berkedut-kedut, mungkin ia membayangkan akan disodok dari belakang abis ini. “Dipletek’in (dibuka) lebar-lebar kek gini…” kusingkap bukaan bibir gemuk vaginanya hingga liang kawinnya membuka lebar. Liang merah merekah itu sangat menggairahkan, menunggu untuk kucoblos lagi dengan kedigdayaan Aseng junior.

“Trus dientot!” coblosku gak sabar lagi.

“Ahh!!” erangnya. Aku sudah terangsang hebat menyaksikan tunggingan pantat tebal semok Andini di hadapanku. Aseng junior sudah meradang keras mau masuk lagi memulai ronde 3 malam ini. Aseng junior masuk ke liang itu agak seret karena posisi nungging Andini belum sepenuhnya pas. Alur liangnya belum sejalan dengan arah tusukan Aseng junior. Kukoreksi posisi membungkuk nungging Andini dengan bahu lebih rebah dan bokong lebih mencuat ke atas, kaki sedikit mundur. Tusukan dalam bisa kulakukan sekarang. “Yaahhh…” erangnya merasakan nikmat yang sama denganku.

“Dientot kasar kek gini!” kugasak liang kawinnya dengan sodokan cepat dan kasar. Aku berpegangan pada pinggul sendi tungkainya. Kuremas erat dan memperagakan gerakan cepat brutal seumpama preman yang brangasan. Spring bed murah hotel ini sampe berbunyi-bunyi pegasnya yang bekerja keras menahan tubuh kami berdua yang bergerak liar. Kepala Andini terbanting-banting dan bersuara histeris erangannya. “Kasar ughh… Kasar kek gini!” hujaman Aseng junior kubuat panjang satu-satu. Hanya dicabut sebatas leher lalu ditusuk masuk lagi dengan cepat. Mengadu perutku dan bokong tebalnya.

Melonjak-lonjak tubuh Andini mendapat sodokan. Ia menjerit kuat-kuat lagi seakan sangat menikmati perlakuanku ini. Tubuhnya tergial-gial, terdorong menerima sodokan tubuhku. Gumpalan gemuk dadanya bergantung berat memanggilku untuk memerahnya. “AAAHHH…. AAAUUHHH…” beberapa kombinasi tusukan kulakukan sekaligus. 2-1 dan tusukan panjang-panjang juga.

“Pulang enggak?” kataku berpura-pura mengancamnya dengan remasan kuat di teteknya. Kuputar-putar Aseng junior mengulek liang kawinnya.

“GAK MAU!!” jawabnya berteriak.

“Pulang!” remasku lebih kuat. Kedua gumpalan gemuk dadanya kini kuremas kuat.

“GAK MAU PULANG!!” jeritnya lagi menjawabku. Tangannya meremas sprei kusut ranjang merasakan ulekan Aseng junior di liang kawinnya. Kukedut-kedutkan Aseng junior di dalam sana dan dibalasnya dengan kedutan sejenis yang meremas batang kemaluanku gak mau kalah.

“Ooo… Minta dibuntingin ini namanya!” kataku melepas remasanku pada teteknya. Kuhajar lagi si gemuk montok kelaminnya dengan sodokan panjang-panjang. Tarik sampe sebatas leher Aseng junior lalu ditusukkan masuk sedalam-dalamnya. Menggempur pintu rahimnya berulang-ulang. Tanganku mengait melewati pinggulnya dan mencari kacang itilnya langsung mengobel.

Berjengit geli perempuan binor ini merasakan rasa geli nikmat tambahan di kelaminnya yang sudah merekah terbelah oleh Aseng junior-ku. Jembutnya sudah basah berkeringat kala jariku cepat menggelitik kacang itilnya. Sejalan dengan tusukan panjang-panjang kelaminku, menggesek liang jalan uterusnya yang kugerus terus menerus. Tanganku yang satunya meremas-remas bongkah pantatnya yang tebal kenyal. “Aaaa….”

“A-AAHHH… NYAMPEE LAGIII… AHHH!!!” Andini merebahkan kepalanya ke ranjang, pahanya bergetar, liang kawinnya meremas kuat, Aseng junior terus meradang menjelang kenikmatan juga. Tak kutahan-tahan kusemprotkan lagi sperma kentalku memenuhi tubuhnya yang sedang menungging. Aseng junior meledak di dalam liang kawinnya. Menyembur kencang mengisi rahimnya yang sudah terbebas dari petaka durjana Begu Ganjang sialan itu. Memenuhi rahimnya dan berlomba membuahi sel telur miliknya di masa subur.

Kubenam sedalam-dalamnya, menyatukan kelamin kami untuk prosesi prokreasi ini. Andini lemas bersujud menungging dengan Aseng junior masih bercokol dalam di liang kawinnya. Kedua bongkah pantatnya kuusap-usap tanpa sadar. Aseng junior berkedut-kedut berirama dengan si gemuk montok saling berterima kasih sudah memberikan kenikmatan dalam kerjasama selaras keduanya. Kukeluar masukkan Aseng junior sebentar untuk melihat seberapa banyak spermaku yang berusaha mengalir keluar. Kubalikkan tubuh Andini agar spermaku tak menjadi sia-sia, mengalir tumpah.

Terbaring lemah dengan kaki mengangkang pasrah, kemaluan penuh sperma kental yang diganjal bantal agar tak keluar. Kutindih tubuhnya lagi dengan kelamin menempel. Kukecup tetek dan bibirnya bergantian. “Besok pulang, ya?” tanyaku agak manis kali ini. Mata Andini masih terpejam menikmati semua rasa nikmat yang masih menguasai tubuh semoknya.

“Iya-iya pulang… Tapi dua kali lagi… Abang dua kali nembaknya, yaa?” tawarnya masih belum membuka mata. Bibir mungil segarnya berceloteh habis kukecup. “Tapi anterin sampe terminal… Janji?” ia lalu membuka mata.

“Siap, bos! Dua kali lagi beres!” jawabku dengan salam hormat.

—————————————————————————-
Setelah dua kali lagi menggauli Andini di kamar hotel itu hingga total aku sudah lima kali membuahi rahimnya. Aku pulang pelan-pelan ke rumahku yang berada di kompleks perumahan XXX blok YY. Tapi namanya di jalan tol mana bisa berkendara pelan-pelan. Segala macam truk kontainer dan dump truck adalah sainganku yang melaju kek hantu.

Aku sempatkan juga poding di tukang jamu yang kutemukan di Belawan tadi. Siapa tau orang rumah nanti minta jatah, bisa diladeni dengan baik. Gak boleh curiga, kok udah loyo? Udah berapa kali keluar hari ini? Gawat, kan? Tapi pusing juga gimana ngasih tau orang rumah besok pagi waktu nganterin Andini ke terminal. Bilang apa, ya? Ah bilang aja nyari sarapan apa gitu. Amplas kan dekat aja kalo lewat tol…

Jam setengah sebelas aku baru nyampe rumah. Bu Lastri yang bekerja bersih-bersih rumah yang membukakan gerbang untukku. Saat kutanyakan padanya dimana istriku berada, katanya ada di samping, di pelataran kolam renang. Aku langsung kesana. Lampu tidak terlalu terang dinyalakan, hanya temaram. Keknya dia gak sendirian… Benar aja. Dia sedang ngobrol dengan seorang perempuan yang kalo kutilik dari postur tubuhnya yang menghadap membelakangiku sepertinya Tiara. Loh… Bukannya Sabtu Minggu dia libur?

Kubiarkan mereka ngobrol dan sepertinya obrolan mereka cukup asik. Bagus deh istriku ada teman teman ngobrol akrab di rumah ini. Secara kalo ngobrol bareng 3 ART lain yang walo sesama perempuan juga dunianya agak berbeda gitu. Tiara yang masih muda ternyata cukup bisa mengimbangi obrolan dengan istriku yang sudah emak-emak walo gaul. Kuperiksa kedua anakku, apa kabar mereka. Rio tidur dengan damai di kamarnya. Salwa tidur di kamar kami di box bayinya. Ia tidur dengan nyaman walo sekarang terpisah. Ini kontribusi Tiara juga yang menyarankan pada kami untuk mulai mendidik Salwa tidur sendiri. Di pelatihannya ia dididik begitu dan diterapkannya pada kami. Jadi kalo anak bayi kami terbangun dan minta ASI, istriku harus rela bangun, menyusuinya dengan posisi duduk dan menidurkannya kembali ke box-nya begitu ia terlelap lagi. Begitu ternyata caranya. Pada Rio dulu baru-baru ini aja dia mau tidurnya misah. Nanti pelan-pelan kamar Salwa akan dipisah dari kami kalo ia sudah terbiasa dengan metode ini. Sebuah baby-monitor yang menjadi andalan kami kelak.

Aku turun lagi dan berpapasan dengan bu Murni yang membawakan cemilan dan minuman yang akan dihidangkannya pada istriku dan Tiara di pelataran kolam. Aku ikut bareng dengannya dan bergabung.

“Baru pulang, pa?” sapa istriku. Tiara keliatannya gak enak gitu dan dari gestur-nya mau langsung cabut gitu.

“Iya, maa… Banyak kerjaan… Tiara gak libur? Biasanya pulang ke Tembung, kan?” tanyaku mengajaknya ngobrol untuk menahannya.

“Enggak, bang… Males aja…” jawabnya.

“Oo… Ya udah… Kita ngobrol-ngobrol aja di sini…” ajakku untuk memperlama obrolan. “Berarti Tiara gak ada yang ngapelin-la?” tembakku. Mungkin biasanya ada, ini mungkin lagi menghindar. Ia hanya tertawa cengengesan aja gak menjawab jelas. “Kejauhan ya kalo cowoknya suruh ngapel kemari?” kataku asal-asalan.

“Ish… papa ini ada-ada aja… Malu tuh anak orang…” kata istriku menepisku.

“Yaa… kalo ada suruh aja ngapel kemari… Anggap aja rumah sendiri…” kataku sungguh-sungguh jadinya. Biar ia merasa lebih akrab aja dengan keluargaku.

“Tadi papa baru ngeliat anak-anak?” alih istriku pada topik ini. Ia menatapku agar aku gak membahas masalah itu lagi.

“Iya… Tadi baru ke kamar Rio trus ngeliat Salwa… Kok tau?” kataku. Rupanya jejakku udah ketauan duluan. Tapi aku pura-pura gak tau aja.

“Itu dari baby-monitor Tiara keliatan…” tunjuknya pada alat yang dipegang perempuan muda baby sitter itu. “Di kamar Rio ada… Di box Salwa juga ada…” jelasnya. Aku manggut-manggut paham. Ada benda itu di dalam box bayi tempat Salwa tidur dan juga di kamar Rio. “Keliatan di situ papa ngejahilin Salwa tadi, kan?” aku ingat tadi mainin bibir bayiku yang tidur sampe manyun lalu menyiumi pipi tembemnya.

“He he hehehe…” *malus.

Sekitar jam 12-an kami bubar. Tiara masuk ke kamar yang dibaginya bersama bu Murni dan aku bersama istriku ke kamar. Dan benar aja sesuai prediksiku, istriku minta jatah malam ini. Untungnya di kamar mandi hotel tadi aku sudah mandi sebelum pulang untuk menghilangkan semua aroma tubuh Andini yang mungkin tertinggal. Istriku menikmati tubuhku sepuas-puasnya. Ia sangat suka dengan posisi WOT—di atas. Ia bisa mengendalikanku semaunya. Mengatur-ngatur tempo permainan dan mencapai kenikmatannya sendiri. Mendikteku kapan aku boleh keluar dan apa yang boleh kusentuh. Diakhiri dengan cumbuan mulut yang basah bergejolak.

Dengan tak adanya bayi kami yang biasanya ada di ranjang ini, istriku bisa bercinta dengan lebih eksplosif mengeluarkan semua kerinduannya padaku. Ia bisa habis-habisan mengeringkan persedian sperma yang ada di kantong pelerku. Membuatku lemas dan KO. Ia menikmati tubuhku dan kubiarkan ia merasakan kalo ialah pemilik sejati tubuh ini. Hanya dia yang berkuasa penuh atas tubuhku. Permintaan maafku…

Pagi-pagi walo badan masih pegal, kupaksakan bangun. Setidaknya aku bisa mengantar Andini sampe terminal. Selebihnya biar dia mengusahakan jalannya sendiri.

Sampe di hotel itu pagi-pagi, itu anak ternyata belum bangun apalagi mandi. Diajaknyalah aku mandi bareng dan berujung aku menyetorkan kembali sperma kentalku di kamar mandi itu. Suara bisingnya bergema di dalam ruangan sempit itu. “OOOUHH OUUHHH OOHHHH!!!”

Habis sarapan, aku langsung menyeretnya ke mobil beserta benda-benda bawaannya di dalam tas travel itu dan meluncur di jalan tol tembak langsung ke terminal Amplas. Andini sepanjang jalan manyun-manyun menggemaskan gitu. Sepertinya ia sedang memikirkan sesuatu yang pelik. Mungkin memikirkan suaminya sedang apa sekarang? Apa masih tenggelam dalam pelukan pelakor itu?

“Bang… Oleh-oleh Medan apa, ya?” tanyanya sebelum memasuki terminal.

“Bolu gulung… Bika Ambon… Buat oleh-oleh? Kita beli dulu, yuk?” tawarku berbaik-baik dengannya karena udah nurut mau pulang kembali ke rumahnya nun jauh di Siantar sana. Mengurangi bebanku sedikit daripada dia harus menginap berlama-lama di sekitarku, pikirku. Nanti harus rutin disambangi lagi. “Yang ini?” tanyaku melambatkan mobil di sebuah toko yang menjual aneka makanan oleh-oleh khas Medan yang terkenal.

“Rame…”

“Kalo yang ini?” tawarku. Tak terasa aku sudah memasuki jalan arteri utama Lintas Sumatera, jalan Sisingamangaraja yang bila lanjut terus yaa… nyampe Siantar.

“Keknya kurang enak…”

“Yang ini paling terkenal… Cabangnya ada di mana-mana…” tawarku lagi. Mobil berjalan perlahan mencari seleranya.

“Pernah ngerasain… Kurang apa gitu…” gitu terus jawabannya sampe jauh.

“Ciiit!” aku berhenti di pinggir jalan. “Ini namanya-mah ngakal-ngakalin awak, Dinn… Udah mau sampe Tanjung Morawa nih…” kesalku. Andini sengaja mempermainkanku dan aku terus melaju mencoba menemukan pilihan yang dimauinya dan gak kerasa malah kejauhan sampe Pajero ini sudah hampir memasuki daerah Deli Serdang. Terlihat di kejauhan gapura selamat datang memasuki kota itu.

Binor ayu itu malah cekikikan tertawa gak bersuara berhasil mengerjaiku. “Baliklah… Putar balik-la kita…” kataku memperhatikan jalan di belakangku untuk putar arah.

“Ish janganlah, bang… Udah sampe sini-puuun… Dikit lagi sampe Siantar kita… Yah-yah?” rayunya ngelendot manja di lenganku. Membiarkanku merasakan kenyal gumpalan gemuk dadanya sebagai umpan alat tawar. Ia menyatukan kedua telapak tangannya memohon padaku dengan muka dimanis-manisin sampe hampir kenak diabetes pulak jadinya aku.

“Manaaa dikit lagi sampe Siantar kita?… Masih jauh lagi dari sini…” tolakku mentah-mentah. Aku permisinya tadi cuma mau beli sarapan. Kok jauh kali beli sarapan sampe Siantar? Apalah nanti kata binikku…

“Iyalah, baaang… Pli~~sss…” rayunya dan menjepit lenganku di belahan teteknya yang kenyal. “Nanti abang awak serpis abis-abisan-lah pokoknya di rumahku… Gak ada orang di rumahku… Awak bisa jerit-jerit sukak hati di sana… Mau yaaa, bang?” rayunya sangat menggiurkan. Bisa meniduri perempuan sesemok dan sebohay Andini di rumahnya yang kosong memantik Aseng junior bangkit dari tidurnya. Andini bahkan membelai dan meremas isi celananku yang kontan membangunkan sang macan yang lagi tidur.

“Hush-hush… Diam dulu!” kataku menghubungi seseorang. Binor itu diam klekep tapi masih menekankan teteknya di lenganku. Rasa kenyal yang memabukkan. “Yoon? Apa cerita?” begitu nada sambung berganti dengan suara sahabatku itu, Iyon.

“Eh… Apa, Seng? Baik-baik… Dimana kau?” tanyanya yang entah ada dimana.

“Ada bisnis sikit… Ajak Kojek juga… Kita ketemu di Siantar… Bisa?” tanyaku. Mudah-mudahan bisa.

“Bisa aja… Agak sore bisa?” setujunya.

“Bisa… Tapi tolong kou pulangkan aku pake cara cepat nantik, yaa? Biar gak malam kali aku pulangnya…” pintaku.

“Beres-lah itu… Kau lagi di Siantar ato cemana?” tanyanya lagi ingin memastikan.

“Lagi OTW… Nanti aku kabari si Kojek… Nanti sore pokoknya… Jemput dia… Dahh…” aku langsung memutus telepon dan memberi kode Andini untuk tetap diam karena aku menghubungi nomer lain. “Halo, maa…”

“Halo, pa? Beli sarapannya dimana? Di Baghdad?” tanya istriku di rumah sana. Pantas aja dia nanya kek gitu, aku udah 2 jam gak pulang-pulang.

“Ini… Diajak Iyon sama Kojek ketemuan… Papa langsung dibajak, nih!” alasanku. Andini senyum-senyum penuh arti pertanda ia berhasil membajakku untuk satu hari lagi. “Keknya ini di mana gitu… Dimana ini? Siantar?… Dibawa ke Siantar papa, maa…” kataku membuat suara-suara rusuh agar situasinya pas. Dia tau sendiri gimana akrabnya aku dengan kedua sahabatku itu karena kami sudah bersahabat dari sejak sekolah dulu. Tau juga kebengalan dan nakalnya kami.

“Ish… Ntah hapa-hapalah dua orang itu…” kesalnya.

“Fiuh… Puas?” tanyaku beralih pada Andini yang telah melepas dekapannya pada tanganku saat ku telponan dengan orang rumah.

Andini mengacungkan dua jempolnya dan tambahan dua gumpalan gemuk dadanya dan tambahan dua puting gemuk itu juga dan senyum lebar di mulut mungilnya. Benar! Dengan nekat ia membuka kemeja yang dipakainya dan memamerkan isi behanya yang tumpah kemana-mana…

Bersambung

Foto bugil anak sma bispak montok memek masih sempit
Nafsuku Terlampiaskan Kepada Keponakan Sendiri
Polwan mesum
Bercinta Dengan Polwan Cantik Dan Sexy
Tante Sange Sodok Memek Pake Guling
rintihan Kenikmatan
Rintihan Kenikmatan Istriku Bercinta Dengan Pembantu
Cerita sexs anak SMA nakal ngentot di dalam kelas
terjerumus sexs bebas
Kehidupanku yang terjerumus sexs bebas dan dunia malam
tante buas
Melayani dua wanita STW yang punya nafsu besar
Ngentot Jilbab Alim Memek Merah Berlendir
Gadis smp bugil
Ku serahkan keperawanku kepada petugas pajak untuk menebus hutang ayahku
Di perkosa
Gadis Montok Yang Di Perkosa Tuju Preman Terminal
Foto Memek Mulus Tembem Cewek Bispak
model hot
Menikmati tubuh istri teman sendiri yang luar biasa
Kimcil
Gadis Imut Dengan Payudara Baru Tumbuh
Kamu Dia Dan Mereka Sesion Pertama
istri bejat
Ku biarkan istriku main dengan lelaki yang lain