Part #44 : Andini

Aku sedikit bernafas lega setelah Karina mengabarkan kalo ia mengambil cuti selama dua minggu dan pergi berlibur sendirian. Ia tidak menyebutkan liburan kemana tapi itu bukan urusanku.

Setelah diskusi kami di restoran seafood itu, pembeberan beberapa fakta mencengangkan tentang kondisi tubuhnya secara supranatural. Ada lubang besar menganga di perutnya bekas tempat tinggal setan Kuyang yang sudah kumusnahkan. Kata-kata wasiat terakhir setan itu mensyaratkan bahwa satu-satunya cara menutup lubang itu yaitu dengan menggunakan sperma orang yang telah mengalahkannya; yaitu aku.

Karina berusaha tenang mendapatkan informasi itu. Informasi gila yang gak masuk akal. Tapi aku sudah mewanti-wantinya di awal karena dunia klenik ini memang gila dan jauh dari kata waras. Apalagi pemain besarnya adalah para jin jahat yang sukar diprediksi apa maunya. Kuyang itu kalo tidak ditangkap menggunakan kandang ayam bekas anjuran sang Panglima Burung pastinya akan memberikan perlawanan sengit. Tentunya ia gak akan mau melepas mangsanya tanpa memberi perlawanan terlebih dahulu.

Sudah nyobain makan di restoran seafood mahal bareng binor, aku lalu memboyong keluargaku makan di tempat yang sama. Sak-sak semua ART dan baby sitter kuboyong makan di sana. Senang rasanya membagi kebahagiaan bersama mereka. Tanpa ada batasan atasan dan bawahan kami makan bersama menikmati hidangan mahal yang dulu hanya bisa kunikmati kalo ditraktir bos besar saat Imlek ato ulang tahunnya. Aku juga berencana melakukan hal yang sama pada karyawanku di SPBU nanti, berbagi kebahagiaan.

Proses renovasi rumah kami di dalam gang daerah Mabar masih terus berlanjut. Pemborong bangunan rutin melaporkan progres pembangunan padaku. Kadang aku juga singgah sebentar sekedar liat-liat mana tau ada yang perlu direvisi ato aku mau nambah-nambah ide juga. Seperti yang sedang kulakukan sore ini di hari Sabtu sehabis pulang kerja. Aku sudah sampai di depan rumahku yang keadaannya masih kupak-kapik berantakan karena banyak bagian bangunan yang dibongkar, dirubuhkan, dilubangi dan macam-macam. Istriku sama sekali gak mau liat rumah dalam keadaan ini karena ia malas berurusan sama debu-debu tebal pembangunan.

“Mbak… Ini orangnya, mbak…” kata seorang kenek bangunan junior yang sedang beres-beres membersihkan peralatan pertukangan. Ia sepertinya ditinggal sendirian oleh tukang lain karena mereka sudah cabut dari tadi. Mereka gajian tiap Sabtu jadi pulang lebih cepat. Bingung tepatnya aku… Ada apa? Siapa?

Seorang perempuan muncul dari balik tumpukan batu bata dan pasir yang menumpuk di halaman rumahku. Apa dari tadi ia di balik sana. Ia ragu-ragu mendekat padaku. “P-pak Aseng?” tanyanya ingin memastikan.

“Ya… Siapa, ya?” aku coba mengingat-ingat tapi aku gak ingat pernah kenal dengan perempuan satu ini.

“Maaf, pak… Nama saya Andini… Sengaja saya mencari bapak jauh-jauh dari Siantar untuk minta tolong…” katanya sedikit terbata-bata. Pastinya ia sudah melatih kata-kata ini dari jauh-jauh hari. Pada saat ketemu malah nyangkut-nyangkut. Dari Siantar? Cukup jauh… Minta tolong? Nyari kerja mungkin…

Andini

“Minta tolong apa, mbak? Kalo bisa awak tolong—awak tolong-la…” kataku sambil menaksir-naksir tubuh dan perawakan perempuan yang cantik ini. Entah udah berapa lama ia menungguku di sini. Udah digodain tukang-tukang genit itu dari tadi mungkin. Tingginya standar cewe Indonesia, 150-155 cm gitu-la. Tubuhnya sedikit berisi kalo bisa dikatakan montok. Rambut lurusnya agak coklat kemerahan di-cat. Ia memakai kaus ketat turtle neck yang menonjolkan sepasang gumpalan gemuk di baliknya. Kulitnya putih dengan paras manis cantik berpadu satu.

“Keluarga saya berantakan, pak… Suami saya pergi dengan perempuan lain… Kata dukun pertama saya datangi… suami saya dipelet perempuan itu… Dukun kedua bilang juga begitu… Sampai empat dukun saya datangi… Itu semua yang mereka bilang… suami saya dipelet… Tapi mereka gak bisa menangkal pelet itu, paak… Tolongin saya, pak…?”

“Wow… wow… Kok ceritanya pelet-pelet… Tunggu dulu… Awak bukan dukun, mbak… Apa aku ada potongan kek dukun, ya? Udah necis gini kek pengusaha muda kok masih dikira dukun… Naseeeb-naseb!” aku ngedumel sendiri menghentikan berondongan kisah perempuan itu. Aku cuma bisa geleng-geleng kepala. Aku dah bisa mengira-ngira ini akan bermuara kemana agaknya.

—————————————————————————-
Perempuan ini datang langsung dari Siantar menumpang bus AKAP sampe terminal Amplas, naik angkot Morina trayek 81 dan turun di simpang Mabar lalu menaiki becak dayung sampai ke dalam gang rumahku ini. Padahal seumur hidupnya ia belum pernah ke Medan sendirian apalagi tau seluk beluk jalanan kota Medan beserta bahayanya. Di kota besar manapun, model perempuan nekat seperti ini sering jadi korban kejahatan jalanan apalagi casing-nya menawan serupa ini. Minimal dicolek preman terminal.

Pastinya ada hal yang sangat urgent sampai ia memberanikan diri melakukan semua kenekatan ini. Berkelana di kota Medan untuk menemukan seorang pria bernama Aseng. Kenapa dia gak sampe di jalan Thamrin tempat acek-acek tukang DVD bajakan? Kenapa dia gak sampe ke Marelan tempat koko-koko tukang jualan HP? Ato kenapa dia gak nyampe di perumahan Tasbih jalan Setia Budi sana di rumah seorang pengusaha kayu tripleks? Malah mblusuk dan sampe ke Mabar, ke rumahku yang sedang direnovasi? Untung aku lagi menjenguk rumahku ini. Kalo enggak, bisa kuciwa dia gak ketemu tujuannya.

“Kukira bapak eh abang Cina betulan, bang… Rupanya bukan… He he he…” dan lagi-lagi terulang kembali. Udah terlalu sering. Aku membawa si Andini ini jauh sampe ke Simpang Dobi dan berhenti di salah satu warung bakso. Warung bakso ini lumayan rame sore ini karena pengunjungnya hampir penuh. Ada yang lagi pacaran, keluarga, sampe bubaran karyawan pabrik. Kami yang duduk berdua harus rela empet-empetan di bangku kayu berbagi dengan dua pengunjung lain.

Keliatannya si Andini sudah cukup lapar karena ia mengganyang porsi bakso miliknya cepat-cepat hanya sekali tiup. Padahal kuahnya masih panas kali. Bakso bulat-bulat itu hanya dibelahnya dua langsung diembat. Mihun putih pilihannya disedot rakus. Sisa kuahnya diseruput pake sendok hingga tandas. Aku baru makan satu buah bakso, dia sudah selesai. “Pesan lagi Dinn…?” tawarku. Ia hampir mengangkat tangannya untuk memanggil pelayan untuk pesan lagi lalu tersadar kalo itu cuma basa-basi. Ia tertunduk malu.

“Iya… pesan aja… Bang… bang? Satu lagi di sini…” pesanku pada seorang pelayan yang hilir mudik sigap membawakan satu nampan berisi empat porsi bakso pesanan pengunjung lain. Hampir semua meja-bangku panjang di warung bakso ini penuh oleh pengunjung yang menikmati bakso andalan mereka. Sang pelayan sigap mengangguk. “Gak pa-pa, Dinn… Lapar kali keknya awak tengok… Belom makan siang?” tanyaku menyodorkan mangkok baksoku padanya, bercanda. Tentu ia tolak.

Ia berdehem pelan agak jaim dikit. Ehem. “Iya, bang Aseng… Takutnya kalo Dini pergi dari rumah abang nyari makanan… abang datang… kita jadi selisihan jalan…” jawabnya. Bisa jadi.

“Kalo awak gak datang-datang?” tanyaku. Kemungkinan itu ada, kan?

“Dini coba besoknya lagi…” katanya.

“Kenapa gak minta nomor awak sama mandor di situ tadi?… Ada nomor awak sama dia…” kataku. Mandor yang mengawasi pekerjaan merangkap pemborong tentu aja punya nomor kontakku.

“Tadi mandornya udah pergi waktu Andini sampe, bang…” jelasnya. Oh… Udah pulang duluan dia. Pesanan bakso ronde kedua Andini datang dan kubiarkan ia makan dengan tenang tanpa pertanyaan. Kali ini ia makan lebih pelan dari yang tadi. Kami habis hampir berbarengan.

“Kita ngobrolnya di mobil aja ya, Dinn… Gak enak ngobrolnya rame gini… Kek orang pekak (budeg) awak jadinya treak-treak…” ajakku. Ia setuju dan kubayar semua makanan dan minuman yang sudah kami santap. Duduk di dalam mobil, aku menghidupkan AC dan radio dengan suara lirih saja. Alunan lagu 90-an mengalun dari stasiun radio kegemaranku. Bernostalgia sedikit teringat masa lalu. Di kursi tengah ada sebuah travel bag berisi semua barang-barang bawaannya. Nekat sekali perempuan ini datang ke kota ini. Sudah sedemikian putus asanya dia?

“Coba lanjutin lagi Dinn dari… dukun-dukun itu gak bisa menangkal semua ilmu pelet itu?” mintaku begitu semua sikon sudah mendingan. Perut Andini sudah kenyang, lingkungan tertutup, udara sejuk-nyaman, ada musik 90-an. Lengkap.

“Syurrp…” ada cemilan juga. Minuman kotak sama jajanan. Ini orang kok kek masih anak-anak, ya? Ia menyeruput susu kotak yang lazim dikonsumsi anak-anak. Rio juga senang susu coklat itu. Tarik nafas bentar, “Kata dukun-dukun itu… ilmu pelet yang dipakai perempuan itu sangat tinggi… Orang Batak bilang namanya Begu Ganjang… Dukun terakhir… yang keempat yang Dini datangi sebenarnya pun punya Begu Ganjang juga… tapi kalah sama Begu Ganjang perempuan itu, bang…” jelasnya. (Begu Ganjang, Begu: hantu. Ganjang: panjang/tinggi. Begu Ganjang: hantu tinggi.)

Pelet tingkat tinggi memakai Begu Ganjang? Begu Ganjang ini kerap dimiliki oleh praktisi supranatural masyarakat etnis Batak. Biasanya dipakai sebagai pesugihan, penjaga dan juga pembunuh. Serem? Tentu. Dahulu sewaktu masyarakat Batak yang mayoritas petani dan peladang melengkapi sawah ladang mereka dengan penjagaan Begu Ganjang ini. Balasan berat akan didapat oleh orang berani mencuri di tempat yang ditongkrongi Begu Ganjang tentunya hingga mengakibatkan kematian. Bentuknya tinggi, berbulu lebat, rambut panjang, wajah menakutkan, seperti genderuwo di kebudayaan Jawa. Satu fitur yang membuat setan ini mendapatkan nama Begu Ganjang adalah reaksi orang yang melihat hantu ini akan mendongak semakin tinggi dan naik ke atas. Semakin dilihat ke atas ia akan semakin tinggi juga memanfaatkan rasa takut dan kaget korbannya. Tempat tinggalnya biasanya puncak-puncak pohon. Jadi secara teori, jika bertemu hantu ini, menunduk! Ia akan mengecil. Kalo perlu tengkurap, ia akan seukuran semut. Itu teorinya…

Pelakor itu memakai pelet dari Begu Ganjang? Kok jadi ragu aku mendengarnya. Karena belum pernah pulak kudengar Begu Ganjang bisa memelet. “Jek? Lagi dimana kou, Jek?” telponku pada sahabatku itu. Pasti dia bisa memberiku sedikit pencerahan. Dia kan ‘Gerobak Pasir’ alias Gerombolan Batak Payah Diusir. Ia gak lama-lama mengangkat sambungan telponku. Di background suaranya terdengar ‘oink-oink-oink’ suara pinahan-nya berisik.

“Oop, Seng? Apa kabar, kedan? (kawan) Apa cerita?” sahutnya disana.

“Kao pernah dengar Begu Ganjang bisa melet?” tanyaku.

“Begu Ganjang bisa melet?… Ya bisa-lah… Kan panjang kali lidahnya itu… Muee…” jawabnya. Pasti dia sedang menjulurkan lidahnya di Porsea sana.

“Kimak kou, ya!… Serius aku nih nanya? Belum pernah dengar aku soalnya kalo Begu Ganjang bisa untuk memelet orang… Kuperbaiki tuh pertanyaannya…” aku hampir ketawa mendengar jawaban selalu guyon dari sahabatku itu.

“Ah… Kao… Asik itu-itu aja yang kao urus… Perempuan mana lagi itu?” tebaknya jitu kali. Bisa tau dia kalo ini ada hubungannya dengan perempuan yang ingin kutolong. “Kukasih tau si boru Jawa, mampos kao…” ancamnya.

“Ishh… Kek gitu kali lae-ku ini?.. Abis ini makan-makan kita… Ada bisnisku sikit untukmu… Jawab dulu…” rayuku ditambah ada penawaran menarik untuknya. Pasti Kojek gak bakalan bisa menolak ini.

“Eh… Apa-apa?” dia udah antusias duluan mendengar penawaranku ini. “Iya-lah… Tau aku… Bisa… Bisa aja dipake untuk melet itu Begu Ganjang… Namanya juga begu (hantu/setan)… Apalagi dia dikasi makan sama yang melihara… Ada kudengar dukun sok jago di Tanah Jawa sana yang biasa melet untuk pasiennya pake Begu Ganjang…” ujarnya disana mengutarakan apa yang diketahuinya. Tanah Jawa adalah satu nama daerah di Kabupaten Simalungun, beberapa kilometer jauhnya dari kota Pematang Siantar. Disebut sebagai Tanah Jawa karena pada jaman penjajahan banyak dihuni oleh pekerja paksa yang dibawa dari Jawa untuk menanam teh dan karet. Korelasi yang diberikan Kojek tentang dukun di Tanah Jawa sangat cocok dengan kasus Andini ini yang berasal dari kota Siantar.

“Oo… Makasih-la, Jek infonya…” kataku manggut-manggut.

“Makan-makannya kapan, Seng?” desak Kojek jauh disana.

“Nanti kukabari… Dah, ya?” langsung kuputuskan sambungan telponku dengannya. Pasti disana dia sedang memaki-maki HP-nya. Aku lalu beralih kembali pada Andini yang duduk disampingku memperhatikan kegantenganku yang hakiki. Ternyata ia memang sedang memandangiku yang baru selesai telponan dengan sahabatku. “He he hehe… Dinn? Kek gitu kali nengoknya? Awak jadi salah tingkah nih…” kataku sok imut gitu. “Ganteng kali awak, yah?”

“Syuurp…” ia gak menjawab. Hanya menyeruput susu coklat kotaknya dengan sedikit senyum. “Gimana cara bang Aseng membantu Andini, bang?” tanyanya setelah melepas sedotan kecil susu kotak itu dari mulutnya.

“Begu Ganjang itu serem-loh, Dinn… Andini pernah ngeliatnya langsung langsung, gak?” kataku membelokkan arah pembicaraan sedikit. “Lagipula…” kukoreksi arah dudukku hingga bersandar di pintu mobil dan menghadap padanya. “… kenapa Andini jauh-jauh datang dari Siantar sana… nekat-nekatan datang ke Medan… naik bus… naik angkot… naik becak langsung ke gang rumah awak?… Tau ke rumah siapa yang dituju? Gimana tau nama awak? Banyak kali ya pertanyaanku?” jariku sampe habis untuk dihitung untuk poin pertanyaanku ini.

“Nekat kali Andini awak, bang?” tanyanya malah jadi pertanyaan balik yang bodoh. Sudah segede ini dan sudah menikah pula, kenapa jadi begitu cerobohnya melakukan perbuatan nekat kek gini. Tau-nya dia nyari dukun di seputaran Siantar, kenapa malah ke Medan?

“Ish nekat kalipun… Awak aja kalo gak ada urusan penting malas kali awak sampe terminal Amplas sana… Ini… aduuuh… Gak dicolek-colek preman Amplas sana kau tadi? Gak dikompas (palak, dimintai duit), kan?” tanyaku malah khawatir. Padahal kenal aja enggak.

“Enggak, bang… Andini pun heran juga… Kok nekat kali awak? Awak belum pernah ke Medan sendirian kek gini… Biasanya ke Medan rame-rame sama keluarga naik mobil… Gak pernah ke terminal-terminalnya… Ini awak bisa ke terminal Amplas naek bus dari Siantar… naek angkot Morina 81… naek becak dayung sampe ke rumah abang karena ada yang nuntun, bang…” jelasnya merinci rute perjalanannya yang kalo orang Medan sini itu rute biasa aja karena seharusnya memang itu rute tercepat. Tapi bagi pendatang seperti Andini pasti akan kesulitan tanpa ada yang mendampingi. Cewe secantik Andini ini pasti akan rentan untuk dimanfaatkan orang-orang yang tak bertanggung jawab.

“Ada yang nuntun?” aku gak menemukan siapa-siapa yang menemaninya. Apa langsung pergi begitu sampe rumahku?

“Bukan dituntun kek orang buta gitu, bang…” ia menghalau angin seperti akan memukulku untuk membantah tebakanku. Aku gak mikir gitu. “Ada yang ngasih tau… Naek bus yang ini… jalan keluar terminal… cari angkot Morina warna biru nomor 81… berhenti di simpang tiga ini… tawar becak dayung itu ke gang di dalam sana… itu gang-nya… itu rumahnya… Gitu, bang Aseng…” rinci lagi caranya melakukan semua kenekatan itu.

“OK dituntun dikasih tau… Mana dia orangnya? Keknya Andini gak ada ditemani siapa-siapa…” aku gak terlalu perduli pengulangan caranya naik berbagai kendaraan itu hingga sampai mencapai rumahku siang tadi. Aku hanya mau tau siapa orangnya yang telah mengarahkannya padaku.

“Cuma kedengaran suaranya aja, bang…” jawabnya ringan.

Aku terhenyak rapat ke pintu mobil.

—————————————————————————-
Kalo dibawa ke rumah sakit jiwa, Andini ini mungkin akan didiagnosa kena Schizoprenia. Delusional Disorder mungkin, gerot ato geger otak parah, senget ato pesong. Segala macam kegilaan yang mungkin menjadi makanan sehari-hari para dokter jiwa di sana.

Gimana mungkin ia membiarkan ada suara-suara ghaib di telinganya memberitaunya untuk pergi dari kota Siantar ke kota Medan dengan segala macam moda transportasi sampe tepat sampe ke rumah seseorang yang tepat bernama Aseng untuk minta tolong karena lakiknya dipelet perempuan lain? Segila apa itu? Kalo jaman sekarang ini mungkin ada GPS yang bisa mengarahkan semua itu dengan presisi, tapi waktu itu belom secanggih itu teknologinya. Orang internetan aja masih itil… ilang-ilang timbul teknologi 3G-nya.

“Dukun itu ngasih Begu Ganjang-nya untuk menuntunmu sampe kemari?” tebakku. Aku yang sudah lama berkubang di dunia supranatural hanya bisa menebak sampe segitu aja. Panas kepalaku mendengar kasus membingungkan kek gini. Inilah sebab aku gak ada potongan jadi dukun. Aku sering gak sabaran merangkai teka-teki yang sering membuat ruwet silang sengketa yang menjadi asal muasal masing-masing kasus.

“Hiiih…” Andini bergidik geli campur takut kalo Begu Ganjang yang telah menuntunnya hingga sampe bisa menemukanku.

Aku tiba-tiba ingat dan tepok jidat. Plok!

Aku sampe kaget memahami kelebatan ide yang masuk ke benakku. Aku tertunduk lesu…

“Kenapa, bang?”

“Suara menuntunmu itu bilang kalo awak bisa membantumu menyembuhkan suamimu yang dipelet… dan ujung-ujungnya awak Andini minta untuk menghamilimu, kan?” kataku pelan-pelan dan menatapnya sebisa mungkin. Gimana kalo ide ini salah?

“He he hehehe… Kok tau, bang… Abang dikasih tau juga, ya? Dibisiki…?” katanya tertawa-tawa kecil kek ini bukan masalah besar. Aku tepok jidat lagi. Anehnya kepalaku udah gak panas. Apa karena khayalanku yang telah menelanjangi Andini hingga keliatan semua harta karun yang ada dibalik semua pakaiannya ini. Mendadak panas lagi membayangkan putingnya yang kelihatan di pucuk toge lembut itu.

“Cobak-la kasih tau semua ceritanya… Awak mau dengar semuanya… Sini HP-mu dulu… Mau liat?” ia patuh dan menyerahkan HP BB mahalnya. “Bukain pin-nya dulu…” hendak kubalikkan HP-nya untuk membuka password yang memprotek gawai itu.

“Pin-nya 123456 aja, bang…” infonya. Ba-ba-ba-bah! Kok paok kali pake pin itu. Itu yang pasti dicoba maling duluan kalo sudah berhasil mendapatkan gawai ini. Ini cewek… bener-bener, ya? “Ceritanya itu kek gini bang awalnya…” Andini menceritakan kisah hidupnya yang kudengar sekilas-kilas aja karena aku sedang memelototi galeri fotonya. Jadi dari foto-foto ini aku bisa menyimpulkan kalo Andini ini anak orang kaya di daerah Siantar sana. Digabung dengan kisah ceritanya kalo suaminya ini adalah saudara jauh keluarganya sesama pemilik ladang sawit yang luas berhektar-hektar di sana. Mereka pacaran dan menikah gak lama setelah tamat SMA. Tiga tahun lebih menikah dan tak kunjung dikaruniai anak. Klise… Aku sudah sering sekali mendengar cerita kek gini akhir-akhir ini. Benar… Para binor yang sudah kuhamili rata-rata kisahnya seperti ini. Karena gak hamil-hamil, sang suami yang bernama Heri mulai berulah. Ia mengenalkan seorang janda beranak satu yang diakuinya sebagai kakak angkat pada Andini. Sempat mereka jalan-jalan bareng sampe ke danau Toba dan sekitarnya. Hubungan terlarang itu mulai terendus Andini karena seperti Heri gak menutup-nutupi kemesraannya dengan janda muda itu. Heri semakin tenggelam dan tenggelam sampe jarang pulang.

“Terakhir ia pulang Jumat kemarin, bang… Awak berusaha menahannya supaya dia gak kemana-mana… Awak serpis dia abis-abisan… Tapi pergi jugak dia ke tempat janda itu… Sampe sekarang gak pulang-pulang lagi… Udah seminggu lebih…” sungguh ekspresif Andini mengisahkan kisah hidup pernikahannya dengan pria bernama Heri itu. Aku bahkan menemukan foto janda itu ketika liburan bareng mereka di danau Toba, Andini membenarkan itu perempuan yang dimaksudnya. Perempuan cantik yang banyak permak sana-sini untuk menarik perhatian para lelaki hidung belang dengan sering hang-out di tempat hiburan malam. Terjeratlah seorang Heri yang menurut pengamatan janda bernama Cyntia itu cukup berada untuk menyokong hari-harinya, menyandang status sebagai anak orang kaya dengan gelontoran duit yang gak abis-abis. Aku bahkan menangkap sekilas tato di sekitar bokong atas tulang ekor yang coba disembunyikannya dibalik celana jeans ketat membentuk kaki jenjangnya.

“Kuat kali pelet perempuan itu, bang…” imbuhnya lagi ekspresif sampe isi pakaiannya bergoyang-goyang. Mataku ngikutin semua pergerakannya, naik turun, kanan kiri, berguncang-guncang. “Sampe lupa suamiku segala-galanya dibuat perempuan itu…”

“Masak menjandakan istri demi janda lain… Gitu?” kataku sok empati pada masalahnya. Padahal lain yang ada di dalam kepalaku. Yang ada di dalam kepalaku adalah menyodok-nyodok perempuan yang ada di dalam mobilku ini bareng dengan janda cantik itu sekaligus.

“Iya, bang… Pernah kata suamiku waktu kami sedang gadoh… Perempuan itu lebih baik dariku karena jelas-jelas bisa punya anak… daripada aku yang gak bisa hamil… Mandul!… Gitu katanya… Dia lebih memilih perempuan kek gitu ketimbang aku, bang… Hu hu huhuu…” mulai mewek anak ini. Ia mencari tempat untuk bersandar untuk melepaskan uneg-uneg dan rasa marah, dongkol, mangkel di hatinya. Ah ha haahaa… Ada pangeran kodok di sini yang siap menghiburmu, cantik…

“Ush… ushh… Udah-udah…” kataku memberikan bahu dan tubuhku sebagai tempatnya mencurahkan semua emosinya. Andini membenamkan wajahnya di bahuku dan menangis tersedu-sedu. Ia meremas-remas lengan kaos polo yang kukenakan. Memeluk perempuan ini di dalam mobil begini sebenarnya kurang nyaman dikarenakan kondisi mobil segala ada tongkat persneling dan konsol pembatas kursi supir dan penumpang samping. Tapi demi merasakan sedikit rasa nyaman merengkuh tubuh Andini, kubela-belain mencondongkan tubuhku. Ia memelukku lebih erat hingga gumpalan gemuk di dadanya lumer menekan dadaku. Alamak… Lembut nian.

“Hu hu huuhuuu…” ia terus menangis. Air matanya bahkan membasahi bahan kain kaosku. Ia kini membenamkan mukanya di dadaku. Kami semakin rapat. Walo segini besar Pajero ini, masih kerasa sempit. Aku gak pe-de pula mulai bergerak di sore-sore ini di depan warung bakso yang baru kami singgahi. Aku baru sekali memakai mobil ini untuk ena-enaan. Saat bersama kak Sandra sepulang dari Pangkalan Brandan waktu itu. Dimana kak Sandra menyebut aku sudah ‘menandai’ mobil ini sebagai milikku dengan kencing enak.

Mobil ini bergerak lagi menjauh dari warung bakso, putar balik dan memasuki pintu tol dan mengarah ke Belawan. Sepanjang perjalanan, Andini merebahkan kepalanya ke bahuku. Aku mengelus-elus kulit lengannya untuk menjaga tetap hangat perasaannya. Menjaganya agar tetap panas. Jadilah sepanjang jalan tanganku bergerilya selagi aku tetap melancarkan kata-kata gombal untuk menaikkan moralnya yang sedang terpuruk. Semacam, “Suami macam apa itu? Masa istri secantik-semanis gini ditinggalin demi janda yang gak jelas kek gitu…” tau, kan berbagai macam kalimat gombal. “Sabar yaa, cantik… Semua masalah ini akan segera berakhir… Sabar, yaa…”

Awalnya dari mengelus-elus rambutnya yang halus. Lalu mengusap air matanya yang berujung ke mengelus pipi mulusnya. Otakku terus memutar siasat apa yang harus kulakukan padanya. Akan kubawa kemana perempuan ini sesore ini? Arah perjalanan ke Belawan. Ada beberapa hotel kelas melati yang bisa kusambangi untuk meniduri perempuan ini. Apalagi ia sudah dituntun kemari untuk minta bantuan padaku untuk menyelesaikan masalahnya. Dan gilanya lagi, suara itu menuntunnya untuk minta dihamili juga olehku. Ya… aku.

Jadi akan sah-sah aja kalo aku memasukkannya ke dalam kamar hotel…

“Dinn… Yakin dengan ini semua?” tanyaku. Andini sedang menggamit tangan kiriku yang kuletakkan di konsol untuk memainkan persneling mobil. Gumpalan gemuk dengan sadar ditekankannya pada lenganku dengan memeluknya. Aku masih mengelus-elus pipi mulusnya. Mata kami bertatapan. Tapi aku gak berani lama-lama karena mobil melaju 100 Km per jam. Aku gak mau mati konyol karena terlalu menghayati gumpalan gemuk itu.

“Yakin, bang…” jawabnya masih dengan kepalanya rekat di lenganku.

“Gimana awak bisa membantumu dengan menghamilimu? Apa percaya lakikmu nanti kalo itu anaknya?” tanyaku masih terus konsentrasi di kecepatan 100 km/j walo ada gumpalan gemuk lumer di lenganku. “Apa gak sama aja nanti Andini dengan si Cyntia itu? Ngegangguin lakik orang?”

“Andini gak akan ngeganggu abang sama sekali… Awak gak akan minta yang lain-lain, kok… Itu kan yang dimasalahkan Heri… karna awak gak bisa hamil setelah bertahun-tahun kawin… Seminggu lalu dia masih tidur sama Andini, bang… Suara itu bilang abang bisa menghamili awak dengan cepat… Awak dalam masa subur kali nih, bang…” katanya masih menempelkan kepala dan dadanya padaku lekat. Pajero menderu cepat ke 120 km/j. Cepatlah aku sampe ke pintu tol keluar menuju Belawan.

Kimak! Beberapa truk dan kontainer memenuhi beberapa pintuk keluar tol. Di jalur khusus mobil juga banyak. Antrian mengular untuk melakukan pembayaran di pintu keluar tol. Pelan dan merayap mobil yang aku dan Andini tumpangi akhirnya bisa keluar dari sistem jalan tol dan melenggang bebas di jalan kota Belawan. Segera kuarahkan mobil ini ke tujuanku sore menjelang Maghrib ini.

“Hotelnya lumayan, gak?” tanyaku. Aku gak pernah sebelumnya masuk ke hotel ini. Liat dari luar dan terasa cukup memadai, aku langsung aja belok dan parkir agak menyelinap di antara mobil-mobil lain. Kutuntun Andini masuk yang menenteng tas travelnya dan kami sudah ada di dalam kamar yang kupilih. Setidaknya kamar hotel ini ada AC-nya, bersih dan cukup nyaman. Andini cukup tegang keadaannya karena sekarang berada di tempat tertutup dengan seorang laki-laki yang baru hari ini ia temui. Ia masih memegangi tas travelnya saat aku memeriksa kondisi kamar mandinya. Matanya jelalatan melihat sekeliling kamar hotel. Gorden jendela kututup agar hanya pencahayaan hanya cukup dari dalam kamar saja karena sudah tak ada cahaya diluar sana.

“Mau mandi dulu? Andini pasti lelah sudah dari pagi naik kendaraan trus…” tawarku. Biar seger juga pastinya kalo ku’makan’ nanti.

Ia setuju dan beranjak ke kamar mandi membawa serta tas travelnya ke dalam. Menunggu Andini mandi aku nonton TV acara malam Minggu. Ada film baru yang katanya baru diputar premiere di TV Indonesia. Aku udah nonton bajakannya 2 kali. Cari yang lain adanya acara lawakan slapstick semua. Akhirnya ndeprok di chanel berita.

Cukup lama Andini mandi membersihkan dirinya dan sabar kutunggu. Aku sudah memberi kabar pada istriku kalo aku masih di pabrik, masih ada kerjaan dan pulangnya sangat telat. Aku juga bahkan sempat chatting menanyakan kabar si cantik Vony. Ia menanyakan kapan kami bisa bertemu lagi. Ketemu kelamin lagi tepatnya. Secepatnya kujawab. Ini aku ada lahan basah baru untuk digarap. Cak kita trei (coba) dulu gimana rasanya?

“Udah siap awak mandinya, bang… Abang mandi juga?” gak taunya Andini udah keluar aja dari kamar mandi dan berganti pakaian dengan sejenis piyama tidur dengan motif hello kitty. Aroma sabun tercium segar dari tubuhnya. Ia meletakkan tas travelnya di bawah ranjang. Gantian ia yang duduk di tepian ranjang dan kuserah terimakan remot TV karena aku juga mau mandi. Gak pake lama-lama aku mandi dan sudah keluar bertelanjang dada masih mengeringkan rambut. Andini sudah berpindah duduk bersila di tengah ranjang.

“Ada yang harus awak tekankan dulu sama Andini… Ini hal yang sangat penting dalam metode awak menolong memecahkan masalah Andini ini… Dengar, ya?” aku membenarkan posisi dudukku di tepian ranjang agak beringsut mendekatinya yang di tengah. Ia mengangguk. “Kita santai aja membahasnya, ya…?”

“Andini sangat percaya dengan tuntunan suara ghaib yang membawamu dari Siantar sana sampe ke Medan… Andini sampe dengan selamat ke rumah awak dan bertemu awak… Semua itu sangat meyakinkan dan semakin membuat Andini percaya bahwa dengan bantuan yang akan awak berikan ini akan menyelesaikan masalah yang mengganggu rumah tangga klen berdua; Andini dan Heri…” kucoba rangkum agar itu tadi, jelas duduk permasalahannya.

“Suara yang menuntun Andini itu juga memberitau cara menyelesaikan masalah Andini dan Heri dengan cara hamil dari awak… Benar begitu?” tanyaku. “Jangan dijawab terburu-buru… Pikirkan dulu baik-baik… Matang-matang… Awak tunggu…” Ia menunduk mencoba mengingat-ingat semua yang telah terjadi seharian ini. Bisikan-bisikan suara penuntun itu pastinya sudah terngiang-ngiang di telinganya selama beberapa hari ini. Meracuninya dengan cara ini dan mendogma-nya tak ada cara lain yang lebih baik dari ini. Terbukti ia jadi nekat, meninggalkan kenyamanan rumahnya di Siantar dan melanglang buana sampe di ketidak pastian kota sebesar Medan. Suara itu berhasil mempengaruhinya dan menunjukkan kebenarannya hingga dapat mencapai padaku dengan tepat terperinci step by step.

“Iya, bang… Hanya itu caranya agar hubungan kami kembali baik… Suara itu juga berbisik kalo abang juga bisa mengatasi Begu Ganjang itu dengan mudah… Abang yang paling tau caranya…” ujarnya dengan yakin. Mandi dengan air segar kukira bisa mencerahkan sedikit pikirannya.

“OK… Baiklah… Kira-kira kenapa Andini selama ini menikah… tiga tahun lebih menikah belum juga hamil? Kira-kira aja… Selain masalah medis, ya?” kataku lebih dalam. “Kalo medis awak-pun gak tau juga…”

“Sehat awak, bang… Sering awak periksa ke dokter spesialis kandungan… Gak ada masalahku… Cuma disuruh sabar dan usaha aja disuruh dokter-dokter itu… Makan obat ini-obat itu…” jawabnya tentang kondisi medisnya. Sehat. “Agak-agakku… karena pelet perempuan itulah, bang…” imbuhnya.

“Pelet perempuan itu baru beberapa bulan ini, kan? Sebelum-sebelumnya… apa? Ada pelet lain?” kataku mencoba sedikit membuka jalan pikirnya. Bertelanjang dada berduaan dalam keadaan santai begini memudahkan komunikasiku jadi lebih lancar kek sedang berdiskusi bisnis kami. Bisnis lendir. Wajah cantik dan manis perpaduannya berpikir keras. Perempuan ini tidak terlalu pintar, terbukti tamat SMA ia gak kepikiran untuk kuliah mengejar cita-cita, alih-alih kawin muda dengan pacar sebayanya.

“Ada orang lain yang suka sama Andini?” tanyanya. Pipinya memerah mengatakan itu.

“Gak heran, sih… Cewek secantik ini… Pasti banyak suka… Mungkin teman sekolah… Tetangga… Pengagum rahasia… Bisa siapa aja pelakunya… Orang itu kecewa karena Andini keburu menikah dan peletnya berubah menjadi semacam teluh ato santet yang membuat Andini mandul… Dukun-dukun yang Andini datangi gak berusaha mengobati ini dulu, kan? Malah fokusnya di pelet ke suamimu yang gak pulang-pulang itu…” kataku. Sebenarnya ini masalah mudah saja. Hapuskan pelet dari tubuh Andini lalu hapuskan juga pelet pada suaminya. Beres.

Andini memegangi kedua pipinya yang mungkin terasa hangat karena rasa bangga ada orang yang memeletnya karena suka pada dirinya, tapi malu mengungkapnya langsung. Harusnya dia marah karena pelet itu berubah haluan dan menyebabkannya mandul. “Di tubuhmu ini juga ada Begu Ganjang yang menyebabkan ini semua…” ungkapku. Terhenyak kaget Andini mendengar itu. Aku langsung menangkap lehernya seperti akan mencekiknya dengan tangan kanan.

“Hurrkk…” suaranya seperti kesulitan bernafas. Jempolku bergerak perlahan memijat naik sepanjang tenggorokannya, naik ke lekukan dagunya, menemukan ruang lembut di bawah lidahnya dan kutekan. Tubuhnya sontak mengejang. Kubawa satu sosok tubuh penuh bulu keluar jauh dari kamar hotel ini sampai ke taman penuh pepohonanku, daerah kekuasaan ke-Menggala-anku. Begitu tiba langsung kulepas cekikanku pada lehernya. Terhuyung-huyung ia mundur dan memegangi lehernya yang sakit.

Ia celingak-celinguk bingung ada dimana sekarang untuk beberapa saat. Berganti lokasi dari nyaman bercokol di dalam tubuh Andini sekarang berpindah ke lahan luas dengan pepohonan tinggi. Lalu pandangannya tertumbuk padaku yang sudah mengunus mandau Panglima Burung di tangan kananku dan bakiak Bulan Pencak senjata andalanku. Ia menyeringai membuat wajah seram dengan mukanya yang dari sononya memang sudah menakutkan. Lebih tepatnya jelek. Kalo di kebudayaan Jawa ada genderuwo yang bertubuh tinggi besar dengan banyak bulu, di kebudayaan Batak inilah padanannya. Sama-sama berbulu hitam lebat di sekujur tubuhnya, wajah seram dan lidah menjulur panjang dari cuatan gigi-gigi taring runcing. Sedikit lebih langsing karena ia punya fitur memanjangkan dirinya sampai bermeter-meter tingginya begitu korban mendongak menengadahkan pandangan ke atas.

“HUAARKKHHH… KIK KIIK KIIIK!!” ia bersuara mencoba menakut-nakutiku dengan bentuk tubuhnya. Ia menggerak-gerakkan tangannya seperti akan mencakarku dengan kuku jari tangannya yang runcing dan kotor. Ia bergerak ke kiri. Aku ke kanan… “KIIK KIKK KIIK!!”

Kuakui ada dorongan padaku untuk mendongakkan kepala ke atas. Itu memang tekanan yang dihasilkan oleh jin berjuluk Begu Ganjang ini. Tapi itu semua kutahan dengan mengerahkan Lini untuk melindungi diri. Aku juga melangkah hati-hati dengan bantuan bakiak Bulan Pencak menekan tanah berumput halus. Srrt srrt… “Siapa Datu yang menyuruhmu, Ganjang?” tanyaku dengan mengacungkan mandau-ku padanya. Kepalaku tetap mengarah datar sebatas matanya dan tidak lebih dari itu.

Tekanan yang diberikan Begu Ganjang ini cukup besar, ia terus memaksaku untuk mendongak ke atas. Aku tau modusnya. Ini modus yang sangat purba berkaitan akan egosentris mahluk hidup. Yang lebih tinggi yang dianggap berkuasa. Aku gak mau jatuh pada perangkap modusnya. Jatuh pada perangkap ego ketinggian tubuhnya yang dapat dengan mudah menjulang tinggi. “Siapa yang menyuruhmu?!” ulangku lagi dengan pertanyaan ini. Aku sadar, sang Datu sewaktu-waktu bisa datang kemari karena mahluk piaraannya sudah ada di sini.

Walo mungkin gak sepenuhnya paham dengan konsep Menggala, hubungan Datu dan Begu Ganjang ini persis sama dengan konsep Menggala yang kuanut. Hubungan kedua pihak ini pastinya sangat erat. Pastinya sang Datu sudah tau kalo Begu Ganjang peliharaannya sudah kubawa kemari. “RUAARKK KIKKIK KIIKK!!” aku gak terlalu paham bahasa yang keluar dari suara-suara mengerikan mahluk itu. Aku hanya menganggapnya sebagai ungkapan marah saja, bermaksud menakut-nakutin aku. “ROORHHH… KAU AKAN MATI DALAM DUA JAM!!”

“Whoo-hohh!… Mati dalam dua jam?” aku lumayan kaget ia mau bicara dalam bahasa yang kumengerti. Begu Ganjang di daerah Tapanuli memang sangatlah mematikan. Bertemu dengannya, pasti akan menimbulkan malapetaka. Salah satunya adalah kematian karena itu salah satu tugas utamanya; membunuh target yang disuruh oleh sang dukun ato Datu. Ilmu hitam ini sangatlah mengerikan karena kabarnya di Nusantara ini, tidak banyak ilmu hitam yang kiprahnya sekuat ilmu hitam dari tanah Batak. Ilmu ini bahkan bisa menyeberang pulau, menyeberang ke tempat-tempat jauh yang tak terbayangkan. Bandingkan dengan beberapa mahluk metafisik yang pernah menyerang Pipit kala itu. Diberangus oleh siluman Beringin tanpa bisa dikendalikan lagi oleh para pengirimnya yang berada di pulau Jawa, daerah asal Pipit. Tapi aku belum pasti juga tingkat sang Datu ini. Sudah sampai setinggi itukah kewaskitaan-nya?

“DUA JAM! KAU MATI DALAM DUA JAM!!” serunya mengulang ancamannya.

“Kau sendiri mati dalam dua menit…” balasku gak takut dengan ancamannya. Udah kek Tuhan pulak dia maen matiin orang pake berani ngitung mundur.

“KIIK KIIIK KKIIKK!!” si Begu Ganjang itu sepertinya gusar dengan ancaman balasanku. Ia mulai bergerak bermaksud untuk menegaskan maksudnya. Gerakan Begu Ganjang ini sedikit unik, ia bergerak secara zig zag. Seperti ada semacam pola dilangkah kakinya, mengikuti sebuah garis tak kasat mata yang bagi mata awam seperti gerakan acak mabuk. Padahal berbentuk zig zag sehingga aku tau setelah langkah ini ia berbelok ke sana dan kemudian berbelok kemari. Tangannya mengacung hendak mencakarku. Kedua tangannya!

Dengan mandau Panglima Burung kutangkis cakaran kuku panjang dan kotornya. Muka seramnya tepat di hadapanku. Tenaganya sangat kuat tetapi aku masih bisa mengimbanginya berkat pengerahan Lini dan bantuan kuda-kuda kokoh memakai bakiak Bulan Pencak. Kuputar sedikit pinggangku, kaki kananku bergerak berputar dan menendang ke arah pinggangnya yang tertutup bulu lebat berwarna hitam gelap. Tapi gesit ia menghindariku dengan bergerak mengikuti pola anehnya. Ia mulai memanfaatkan keuntungan tubuhnya. “Whhaaff!!”

Tangan berkukunya menyapu memanjang secara tak wajar. Sapuan tangan seperti ini pasti sangat kuat. Bertahan sekaligus menyerang, kusilangkan mandau Panglima Burung untuk memblok kuku-kuku tajam itu. “CRAANKK!!” suara benturan benda keras dengan logam pembentuk mandau memekakkan telinga. Begu Ganjang itu tak berhenti, tangan yang satunya menyapu dari atas dengan fitur memanjang itu lagi. Aku bergulingan menjauh bak seekor harimau yang sedang bertarung nyawa dengan lawan. Tak menunggu lama cakar dengan tangan panjang itu melesak kencang dari dua arah bermaksud membingungkanku.

Begu Ganjang ini ternyata bukan perkara main-main. Ia bisa bertarung dengan serius dan memanfaatkan semua keunggulan jaraknya. Dan aku belum menggunakan keuntungan yang kumiliki sama sekali. Aku mengarahkannya mendekat pada rimbun pepohonan yang tumbuh berkelompok membentuk rumpun lebat seperti hutan kecil yang baru berkembang. Memanfaatkan vegetasi pepohonan yang lebat aku bersembunyi di balik batang pohon mangga Golek yang besarnya identik dengan yang ada di rumahku. Tangan memanjang Begu Ganjang itu menerobos masuk, menerabas rimbunan rumput ilalang. Pada bagian sikunya, ia berbelok dan mengejarku.

Suara desing beberapa buah benda tajam berkelebat cepat, memacak tangan Begu Ganjang yang hendak mengoyakku ke arah batang menjulang mangga Golek. Empat buah daun ilalang tajam menembus tangan besarnya. “WAARRRKKK!!!” jeritnya kesakitan. Padahal aku jauh ada di sana. Disinilah keuntungan yang tadi kusebutkan. Semua daun-daun yang tumbuh di semua pohon di sini patuh pada perintahku. Karena secara harafiah, tempat ini adalah diriku sendiri.

Begu Ganjang itu berusaha melepas senjata daun tajam dan runcing itu dari memantek tangannya di batang pohon. Aku berusaha memapas badannya yang jadi kesulitan bergerak dengan sabetan mandau. Dengan cerdik ia memendekkan tangannya hingga tubuhnya tertarik ke arah pohon mangga Golek. Mukanya mengernyit marah dan kesakitan kala dicabutinya 4 batang daun ilalang yang mengeras tak wajar seperti batang besi. Daun-daun itu hancur dan luruh. “RRAOOHH… RHRAOOHH… KAU HEBAT JUGA MANUSIA… BISA MELUKAI TANGANKU… RRAOHH…” ia menjilati luka di tangannya dan ajaib luka itu hilang. Lidahnya tetap menjulur panjang laksana ular.

Ia menjauhi pepohonan itu tapi belum sadar sepenuhnya akan konsep serangan yang sempat melukainya. Aku gak mau membocorkannya. Ini bisa terus kumanfaatkan. “Aku akan berbaik hati padamu kalo kau mau menjawab pertanyaanku… Tidak susah…” kataku memain-mainkan mandau dengan memutar-mutarnya tapi tak menurunkan kewaspadaanku sedikitpun. “Siapa yang telah menuntun perempuan ini pergi dari rumahnya yang jauh di sana… datang ke kota ini? Apakah kau juga? Atokah yang lain?”

“MENUNTUN?? APA MAKSUDMU?! TIDAK ADA YANG MENGGERAKKANNYA!!” berang si Begu Ganjang itu malah marah-marah. Setan dari kalangan jin memang penuh tipu daya, pintar berbohong dan juga bersandiwara. Aku tidak terlalu memikirkan jawabannya.

“Sayang sunguh disayang… Ada yang telah membajak mangsamu tanpa kau ketahui kalo begitu…” kataku manggut-manggut dengan mandau di bahu. “Dan kau sangat bangga dengan kekuatanmu… Padahal selama ini kau bercokol di tubuhnya bertahun-tahun… Membuatnya mandul tapi gak tau kalo ada kekuatan lain yang telah menuntunnya mencari pertolongan padaku… Sayang sekali…Sungguh sangat disayangkan…” ini memang kebiasaan burukku yang kumanfaatkan. Aku selalu memanfaatkan sisi sombong dan pongah mahluk-mahluk ini akan kekuatannya yang dikiranya sangat superior. Padahal derajat mereka masih di bawah manusia sebagai khalifah resmi di bumi.

“SIAPA?!! SIAPA YANG MEMBAJAK PEREMPUAN INI?!!” ia menjadi semakin gusar aja. Nafasnya mendengus-dengus, lidahnya berbelit-belit kusut. Tangannya mengepal-ngepal geram. Rahangnya dikatup-katupkan.

“Yaa… Mana awak tau? Kalo awak tau mana mungkin awak nanya, kan? Aneh-ih kau…” ternyata dari pertanyaan simpel ini, aku tetap tidak mendapatkan apa-apa. Ada pihak lain yang memanfaatkan para perempuan ini untuk melakukan kontak denganku. Sejauh ini semuanya sangat memanfaatkan kesuburanku untuk membantu mereka untuk mendapatkan keturunan. Itu dan itu lagi yang terus dieksploitasi sejauh ini. Aku tak tau apa tujuannya. Tapi pihak ini nyata adanya, aku sudah membuktikannya berkali-kali. Dari memberikan pesan lewat mimpi, pesan-pesan tulisan, hingga kini bisikan langsung. Tahapannya semakin berekskalasi menjadi semakin fisikal, kontak fisik.

“KAU?! KAU MEMPERMAINKANKU!! KAU HANYA MEMBUATKU BINGUNG!!” sadarnya semakin berang. Ia meradang dan melaju maju berlari cepat. Aku bersiap lagi menyambutnya dengan senjata dan kuda-kuda. Akan membingungkan melihat lari cepat tetapi berpola zig zag-nya. Mata biasa akan terasa pusing melihat perubahan sudut belokan tajam yang dilakukannya dan tiba-tiba saja ia sudah ada di sebelah kananku. Tangannya kembali memanjang, menyapukan kuku tajam kotornya. Bermaksud mencabikku. “Swaaattss!!” Blugh blugh blagh blagh…”AARRRGGGKKKHHH!!!” malah si Begu Ganjang itu yang menjerit memilukan.

Sejumlah lembar daun yang kerap kupakai menjadi bilah pedang terbang berdesing-desing, menembus dan memancang tubuhnya di atas tanah berumput. Beberapa kelompok menjadi pedang daun Utara, beberapa lagi menjadi pedang daun Barat dan satu bagian lagi kelompok pedang daun Timur. Mandau Panglima Burung tetap menjadi pedang Selatan. Jadi pedang-pedang daun itu terbang seperti punya nyawa sendiri dan menyerang Begu Ganjang mentiko (belagu) ini dan melakukan kerusakan parah pada tubuh besar yang berusaha tinggi itu. “AARKKHHH??!! BANGSAAATT!!” makinya pilu.

Tangannya, kedua tangannya yang panjang terpotong-potong menjadi beberapa bagian yang berdebum jatuh di tanah berumput halus. Begitu juga kaki kanannya, ia hanya bisa berdiri dengan kaki kirinya yang sudah tersayat-sayat. Tubuhnya mulai limbung. Beberapa lubang menganga di tubuhnya mengisyaratkan kalo mahluk yang sering digunakan untuk tujuan jahat ini mendekati ajalnya. Potongan besar di lehernya mengucurkan darah kental sampai menyemprot beberapa kali.

“Kau gak ada kata-kata terakhir untuk Datu-mu yang gak datang-datang itu, Ganjang?” acungku ke arah kepalanya yang bersiap kupancung dengan mandau tajam ini. Matanya seperti gak rela menyerah. Ia masih begitu sombongnya dengan kekuatannya selama ini. Terjadi getaran kecil dan tiba-tiba saja sebuah benda panjang mencuat dari dalam tanah, menembus tanah. Aku sampai harus menengadah untuk melihat kelebatan cepat benda itu. “Kimak! Aku kena!” sadarku terlambat.

Terlarang untuk mendongak ke atas bila berhadapan dengan Begu Ganjang. Aku sudah menekankan ini berulang-ulang dari tadi, kan? Kali ini aku malah melakukan kesalahan dasar ini. Begu Ganjang yang sudah sedemikian lumpuh menunggu musnah seperti mendapatkan suntikan steroid, tumbuh menjulang tinggi sekali setinggi pandangan mataku menuju, segitu tingginya. Ada sekitar 15 meteran! Tangan dan kakinya yang terputus berkat serangan puluhan pedang daunku, tumbuh lagi seperti sedia kala dan bertambah panjang berlipat ganda. Tubuhnya tinggi sekali seperti Ultraman yang bersiap melawan monster lawannya. Lawannya, aku sendiri yang masih terperangah karena kebodohanku sendiri yang terperdaya oleh melesatnya sesuatu dari tanah itu. Benda apa itu? Nanti dulu… Jangan memecah perhatian. Lawan ini sudah terlalu merepotkan untuk dibiarkan terlalu lama. Si Begu Ganjang sudah terlalu lama menebar teror.

Benda sebesar dan setinggi itu, tidak bisa bergerak dengan lincah. Seharusnya mudah menjadi sasaran empuk serangan apapun. Aku mengerahkan seluruh Lini yang tersisa di tubuhku. Mengalir di nadi vena dan aorta, berkumpul menjadi satu untuk menjadi satu instruksi khusus pada semua tumbuhan yang ada di taman indahku ini. “Segala sesuatu yang mempunyai klorofil… Dengarlah panggilanku, bersatulah dalam satu serangan… Hancurkan mahluk jahat ini… Pedang Mata Angin Menembus Cakrawala!” aku mengacungkan mandau yang di tangan kananku ke arah Begu Ganjang jangkung tinggi di hadapanku ini. Menunjuk target serang!

Panglima Burung si Burung Enggang sampai harus terbang menjauh dari posisi menontonnya di puncak pohon pinus jarum kesukaannya karena ikut serta menyumbangkan semua daun-daunnya. Semua daun yang mengandung klorofil berdesing cepat lepas dari dahan dan ranting yang selama ini menjadi tempatnya bertengger, menuju alat tempurku. Jarang-jarang aku memakai jurus ini karena kelewat brutal. Tapi karena ukuran lawanku juga brutal, tak ada jalan lain. Seperti rombongan kelelawar yang kompak keluar dari gua persembunyiannya di waktu terang, ratusan lembar, tidak ratusan ribu lembar mungkin juga jutaan daun berbagai ukuran terbang menjadi senjata pedang Mata Angin Menembus Cakrawala-ku yang sangat dahsyat. Kelebatan hijau daun seperti hitam saja layaknya karena terbang cepat berkelebat.

Begu Ganjang tinggi itu tercabik-cabik sekujur tubuhnya dengan menggenaskan. Ia hanya bisa menjerit-jerit kesakitan merasakan tubuhnya dihantam bertubi-tubi oleh tajamnya pedang yang menjelma dari daun-daunan. Tak sempat bagian tubuhnya yang terpotong untuk jatuh ke tanah karena terpotong menjadi kecil serupa serpihan saja. Dengan sontekan kekuatan bakiak Bulan Pencak, aku melompat tinggi akan melakukan serangan pamungkas untuk memenggal kepala setan jahat berjuluk Begu Ganjang ini. Tanganku mengayun mencari momentum dengan menariknya jauh-jauh ke belakang lalu berputar cepat mengarah ke bagian lehernya yang sudah tersayat-sayat. “Swaaattsshh!!”

“STAAKKK!!!” sesuatu menghalangi tebasan mandau-ku. Sialan! Ini benda yang tadi mencuat keluar tiba-tiba dari tanah, yang telah mengakibatkanku menengadah dan Begu Ganjang ini jadi demikian tingginya. Sebuah benda dari kayu seperti tongkat dengan banyak ukiran etnik berupa karakter beberapa orang yang duduk bertumpuk-tumpuk ke atas dan ada semacam jumputan rambut kasar panjang di bagian atasnya, telah menahan mandau-ku. “Alamak! Ini Tunggal Panaluan…” desisku yang mengenali benda berupa tongkat yang sering menjadi senjata para Datu.

Kehabisan momentum, aku kembali mendarat turun ke tanah dan menunduk sejadi-jadinya agar si Begu Ganjang hantu blau itu kembali mengecil ke ukuran awalnya. Tongkat Tunggal Panaluan itu juga ikut turun denganku, terbang mengambang menghalangi di antaraku dan si Ganjang. Ini pasti tongkat suruhan Datu pemilik Begu Ganjang. Tongkat semacam ini dikenal sangat sakti karena bisa disuruh-suruh pemiliknya. Sang Datu ini memang betul-betul sakti. Bisa-bisa aku harus bertarung habis-habisan abis ini. Padahal semua Lini-ku sudah terkuras habis untuk melakukan jurus Menembus Cakrawala dahsyat tadi. Aku gak boleh membiarkan sang Datu tau ini.

Seorang pria tua yang pantas dipanggil oppung muncul dan memegang tongkat Tunggal Panaluan itu dengan erat. Ia berpakaian hitam-hitam dan berpeci hitam juga. Walo sudah tua, ia kelihatannya masih sangat kuat untuk meladeniku bertarung. Tatap matanya tajam memandangiku. Kalo ia akan mengajakku bertarung, aku pasti bakalan kewalahan di ronde ini. Pastinya juga dia akan meng-gangbang-ku dengan peliharaannya itu. Tapi aku gak boleh menunjukkan kelemahan di depan lawan. Itu sudah diajarkan sejak lama padaku.

Ia mengacungkan tangan kirinya menghentikan gerakan penasaran si Ganjang di belakangnya. “Dia sudah babak belur begini… Kau mau memusnahkannya?” tanya si oppung dengan dialek Simalungun yang kental sekali.

“Datu sudah mengirimnya untuk memandulkan perempuan ini… Tentu awak gak bisa tinggal diam saja, kan?” aku tetap bersiaga atas apapun. Ranting-ranting pohon di belakangku, dahan-dahan kosong meranggas dari tajuk yang tadinya teduh oleh dedaunan hijau yang sudah kupakai untuk serangan dahsyat tadi.

“Baiklah… Aku akan membawanya pulang! Tapi kita akan berjumpa lagi… Suaminya masih dalam genggamanku…” disentuhnya dada Begu Ganjang yang submisif pada sang Datu yang baru saja menyelamatkannya. Datu yang membawa tongkat Tunggal Panaluan dan Begu Ganjang itu hilang dari hadapanku. Sang Datu berhasil menemukan jalan keluar dari daerah kekuasaanku ini. Baguslah kalo begitu. Sementara ini lebih baik begitu. Aku juga bisa menarik nafas lega karena gak harus bertarung lagi dengan Datu sekaliber oppung-oppung itu.

Aku terduduk lelah di pelataran tanah kosong meranggas ini. Bahkan rumput-rumput halus yang biasanya tumbuh di tanah luas ini juga ikut menjadi ribuan helai jarum pedang untuk menyerang Begu Ganjang tadi dengan jurus Menembus Cakrawala. Apalagi daun-daun yang tumbuh di semua pepohonan ini. Hanya pohon kosong tak berdaun sehelaipun, meninggalkan dahan dan ranting sahaja. Semua pohon. Aku duduk nelangsa di sini memandang sedih juga taman indahku menjadi seperti ini. “TUUKK TUUKKK!!” Burung Enggang Gading si Panglima Burung menukik turun dan nangkring di tangan kananku.

“Mahluk tadi beserta tuannya sangat kuat sekali… Andai saja anak membiarkanku ikut serta membantumu tadi sebagai pendukungmu…” katanya. Ia memperhatikan semua pertarunganku tadi dengan Begu Ganjang itu.

Aku menggeleng gak setuju dengannya. “Maaf Panglima Burung… Anak gak bisa merepotkan Panglima Burung terlalu sering untuk mengurus masalahku seperti itu… Anak sudah terlalu sering menghadapi hal seperti ini… Apalagi Panglima Burung bukanlah mahluk Menggala Suba-ku… Rasanya salah kalo anak memakai bantuan dari Panglima Burung untuk hal-hal seperti ini…” tolakku. Cukup sudah merepotkannya saat masalah dengan gaharu Malokkop waktu itu saja.

“Jadikan aku sebagai mahluk Menggala Suba-mu, anak… Aku bersedia…” ia malah menawarkan diri. “Aku tidak akan meminta yang muluk-muluk darimu sebagai ganti memakai kekuatanku…” imbuhnya lagi tentang syarat kesediaannya menjadi mahluk Menggala Suba-ku.

“Maaf sekali lagi, Panglima Burung…” aku sertakan sebuah tundukan kepala pertanda aku bersungguh-sungguh minta maaf padanya. “… anak tidak bisa menerima tawaran yang sangat luar biasa dari Panglima Burung… Bukannya anak merendahkan kekuatan dan kedahsyatan kesaktian Panglima Burung… Tapi ada satu prinsip yang anak dan dua teman anak pegang dari dulu sampai sekarang… Jujur kalau kami sudah saling berjanji untuk tidak mengambil mahluk hidup lain untuk menjadi mahluk Menggala Suba… Anak sendiri sebenarnya sudah menjadi Menggala Suba dari dulu secara tidak langsung dengan membentuk kelompok kecil berisi tiga orang ini, Panglima Burung… Namanya Ribak Sude… Ikatan kami mungkin tidak sekuat dan erat seperti perjanjian Menggala Suba dan mahluknya… Tapi kebersamaan kami berdasarkan persahabatan… Susah senang kami hadapi bersama… Itu lebih menyenangkan dari pada mengikat perjanjian yang sangat ketat…” jelasku secara garis besar saja agar entitas sakral dari tanah Kalmanthana ini tidak tersinggung atas penolakanku mengenai tawarannya. Jarang-jarang mahluk seperti ini duluan yang menawarkan diri.

“Lagipula… bukannya Panglima Burung masih punya tugas lain… Menunggu keturunan perempuan terakhir si Miranda… anak perempuan itu…” ingatku akan sumpahnya sendiri. Ia selalu menitiskan kekuatannya pada anak perempuan terakhir di garis keturunannya.

“Baiklah aku mengerti… Terimakasih sudah memberikan tempat yang nyaman ini selama aku menunggu tugasku itu… Tapi biarkan aku memperbaiki kerusakan yang sudah terjadi dengan kekuatanku… Anak tidak keberatan, kan?” katanya mendongak memperhatikan pohon-pohon meranggas tak berdaun.

“Tidak… Tentu tidak, Panglima Burung… Kalau itu anak tidak keberatan… Silahkan… Anak akan sangat senang sekali…” kataku mendadak ringan. Hutan kecilku akan diperbaiki. Burung Enggang Gading itu lalu melompat dan langsung mengepakkan sayapnya. Membumbung tinggi dan melayang di ketinggian kanopi pepohonan yang sudah gundul.

“TUUUT TUUT TUUT TUUUKKK!!!” suara nyaring kerasnya membahana luas menggema di tempat tak berbatas ini. Ia terbang berputar-putar beberapa kali mengitari rimbun vegetasi pepohonanku. Entah apa yang sudah dilakukannya tetapi sepertinya ada sejenis uap air yang berkumpul dan membentuk awan hujan kelabu. Padahal aslinya, tak ada setitik noda apapun di langit daerah kekuasaanku, hanya azzure biru langit yang melulu seperti disapukan kekurangan tinta warna lain. Dari putih menjadi kelabu lalu hitam.

Panglima Burung menabrakkan dirinya pada awan ciptaannya dan mengepakkan sayapnya, menyebabkan percikan curah hujan. Air tercurah tidak terlalu deras tapi cukup segar karena aku juga terkena pias airnya. Semua vegetasi tetumbuhan di sini terkena curahan hujan buatan Panglima Burung ini tanpa terkecuali. Besar kecil, tinggi rendah rata mendapatkan anugrah air segar ini. Aku menikmati segar curahnya membasahi wajah dan tubuh bertelanjang dadaku. “Wah?” kagetku.

Rerumputan halus yang tadi menghilang dari permukaan tanah kembali tumbuh. Kakiku langsung dapat merasakan tumbuh keberadaan rumput halus yang pernah menelan siluman monyet yang mengaku dewa itu. Lagi lebih mengejutkan adalah pertumbuhan dedaunan di tiap ranting dan dahan pohon terjadi dengan sangat cepat seperti di fast forward saja layaknya. Dari putik mungil, mencuat membesar, melebar menjadi daun sempurna. Semua pohon dan tanaman mengalami hal yang serupa tanpa kecuali. Dalam waktu singkat semua pohon sudah pulih kembali ke keadaannya semula. “Wow…”

Aku hanya bisa terperangah kagum akan kemampuan sang Panglima Burung. Apalagi sepertinya juga kekuatanku sudah kembali.

—————————————————————————-
“Apa yang Andini rasakan sekarang?” tanyaku. Aku baru melepaskan cekikan tanganku yang terakhir kulakukan membawa si Begu Ganjang ke daerah kekuasaanku lalu berujung ke pertarungan dengannya.

“Gak kerasa apa-apa… Barusan abang nyekek Andini buat apa?” tanyanya kebingungan.

“Awak udah ngeluarin Begu Ganjang itu dari tubuh Andini… Dia udah dibawa pulang sama oppung-oppung pemiliknya… Yang tersisa hanya gangguan yang ada di suamimu aja…” jelasku secara garis besar saja.

“Heh?? Jadi ada benaran Begu Ganjang yang menyerang Andini?” kagetnya dengan mimik takut. Ia sampe menyilangkan tangan di depan gumpalan gemuk dadanya, menyebabkannya tertekan semakin membengkak di balik piyama Hello Kitty itu.

“Iya… Itu yang membuatmu gak bisa hamil… karena Begu Ganjang itu menghalangi kalian berdua punya keturunan…” lanjutku. “Karena Andini sudah bisa hamil sekarang… besok pagi pulanglah kembali ke Siantar… Awak akan memikirkan cara untuk mencabut pelet Begu Ganjang itu dari suamimu, Heri… karena pelakunya sama… Si oppung-oppung itu…”

“Gak… Gak mau pulang sebelum bang Aseng menghamili Andini…”

Gubrak!

Bersambung

Dosen Baru Yang Cantik
Cerita mesum dengan Hana gadis imut yang jago jilat
Terima kasih Amanda putriku tersayang
Burung Jalak Season 2
Foto bugil anak sma bispak montok memek masih sempit
Mandi Bareng Dengan Tante Dewi
Cerita Dewasa ABG Sekolah Ingin Merasakan Enak-Enak
gadis hyper
Aku Ketagihan Dengan Penis Besar Pak Polisi
500 foto chika bandung anak SMA cantik menggoda bugil pamer memek
pelacur cantik
Pelacur yang telah mengambil keperjakaan ku
Bermain Dengan Kak Ipar Yang Semok
Tiga cewek manis
ML Dengan Tiga Sepupu Ku Yang Cantik
Siang siang pacar minta PAP memek
spg cantik
Cerita ku ngentot pertama kali dengan seorang SPG
bulan madu
Cerita dewasa bulan madu yang membawa bencana
istri kesepian
Cerita dewasa istri kesepian karena keseringan di tinggal suami kerja