Part #43 : Karina
Benget kuinstruksikan untuk banyak-banyak ngumpulin kulit bawang merah kering untuk mencegah datangnya Kuyang itu lagi. Aku gak mau tau dia dapatnya dari mana benda itu dan ia cukup tanggap dan siap melakukannya. Apalagi ini demi keselamatan dede bayi belum bernama yang diadopsi sohib kentalnya, Vivi.
Si gadis cantik itu tentu aja bingung gak ketulungan mendapat masalah kek gini. Wajar sih… Aku juga bingung. Bingungnya gini. Sosok manusia yang dipercaya sebagai media Kuyang itu ternyata tetangga depan rumahku yang dibatasi jalan dua jalur selebar 10 meteran. Vivi mem-briefing-ku sebentar tentang biodata orang tersebut yang bernama ibu Karina, seorang ibu rumah tangga juga pekerja kantoran berumur 30-an tahun, belum punya anak. Seingat Vivi memang bu Karina ini memang berasal dari Kalimantan yang menikah dengan orang Medan sini setelah berkenalan di kantor pusatnya di Jakarta. Informasi Vivi lumayan lengkap hingga detail itu ia bisa tau.
??: bapak Nasrul benar?
Aseng: benar. ini siapa ya?
??: sy dapat name card bpk tadi pagi. sy Karina
Waduh! Agresif juga emak-emak satu ini. Dia langsung menghubungiku. Kusimpan kontak Karina ini untuk melanjutkan percakapan kami ini. Setan satu ini sepertinya gak gaptek.
Aseng: panggilan sy aseng rumah sy di depan rumah ibu
Karina: o gitu ya kirain bpk penjual asuransi kbtulan sy mau invest di asuransi jiwa
Kimbek gak itu? Dikiranya aku mau nawarin dia produk asuransi. Gimana ya? Apa aku maen agresif juga dan langsung menggedornya. Dari sana aku bisa tau batas pengetahuannya tentang masalah Kuyang yang ada di dalam tubuhnya.
Aseng: bu boleh sy telpon ya? mau ngomong sst
Karina: boleh
“Tuut… tuut… tuut… Halo?” ia langsung menjawab panggilanku.
“Halo… Ini saya Nasrul, bu… Tapi panggilan saya Aseng… Apa kabar, bu Karina?” kataku mulai SSI.
“Baik pak Aseng… Yang baru pindah di depan rumah saya itu, ya? Bekas rumah pak Ahmed, ya?” jawabnya cukup ramah dan lugas. “Saya belum sempat kenalan dengan keluarga pak Aseng… Biasa, pak… Pulang kerja malam saya langsung tidur… Kecapekan kerja…” ulasnya sedikit tentang kesehariannya. Yakin langsung tidur? Gak ngelepasin leher trus kepalanya terbang-terbang bawa jeroan gitu?
“Gak pa-pa, bu… Saya juga sama kok… sering pulang malam juga… Sering kelayapan juga…” kataku dengan menurunkan volume suara di kalimat terakhir tadi.
“Gimana, pak? Oh… itu makasih ya pak hadiahnya… Roti isi keju-mesesnya enak sekali… Saya makan habis semua tadi untuk sarapan…” katanya di sana menyinggung hadiahku.
“Ibu Karina gak heran gitu… pagi-pagi datang minta hadiah ke rumah Vivi?” tanyaku. Tapi divseberang sana sepertinya ia sedang teralihkan oleh sesuatu.
“Pak Aseng maaf… saya kembali kerja lagi, ya? Sampai jumpa…” ia mengabaikan pertanyaanku, merasa cukup lalu menutup sambungan telepon. Dari percakapan itu aku belum bisa menyimpulkan apa-apa. Apakah dia tau ada ilmu Kuyang di dalam tubuhnya atau tidak? Mau dibiarkan saja tidak mungkin karena bisa-bisa dia bakalan mengincar anak-anakku. Anakku Salwa itungannya masih bayi karena setahun aja belum umurnya. Belom lagi anak-anak keluarga lain di blok YY bahkan satu kompleks XXX ini. Dan gak mungkin juga aku ngasih pengumuman pada semua warga yang merasa punya anak kecil untuk membakar kulit bawang merah di depan rumah di waktu malam untuk antisipasi datangnya wabah Kuyang.
Dengan cepat perhatianku teralihkan oleh kesibukan di pekerjaan yang semakin hari semakin berat aja. Terlalu banyak yang harus di-handle dan terlalu banyak tanggung jawab. Apa manajemen tidak pernah memikirkan memecah pendelegasian tugas dan tanggung jawab pada para kepala bagian untuk lebih bertanggung jawab pada arena bidang tugasnya. Daripada di-sentralkan semua begini ke Factory Manager. Apa-apa tanya ke Factory Manager. Ada masalah dikit tunggu jawaban Factory Manager. Mau merubah SOP itu harus nanya ke Factory Manager. Kapan majunya itu orang-orang?
“Lu ngerasa berat, kan ngejalani cara kayak gini? Itu challenge buat lu sendiri ke depannya… Kalo nanti lu udah jadi Factory Manager sendiri… lu boleh buat keputusan-keputusan besar untuk merubah kebijakan manajemen… Lu bisa tuh ngerubah semua susunan manajemen jadi lebih ringkas atau efektif sesuai dengan karakter lu orang… Karena… manajemen sekarang ini sangat pas buat wa yang perfeksionis… Wa harus tau semua yang terjadi di sini… Wa harus tau berapa jumlah baut yang dipakai untuk menggantikan yang sudah rusak… Ada berapa kilogram aditif yang ditambahkan tiap batch produksinya… Detail-detail seperti itu… Wa bahkan harus tau berapa liter waste cair yang kita buang tiap akhir produksi… Wa sadar lu pasti kesulitan ngikutin cara pikir wa karena lu gak perfeksionis kayak wa… Paham kan lu?” jelas kak Sandra ketika kuungkapkan ideku tentang perubahan itu.
“Boleh gitu ya, kak?” aku hanya bisa manggut-manggut.
“Ada apa, chayank?” sapanya pada seseorang yang baru masuk membuka pintu. Aku sampe harus menoleh ke belakang. Dani ternyata.
“Lagi pengen, cii… Wah… bang Asengnya ada disini rupanya… Mau ya, cii?” Dani datang dengan sex-flux pagi menjelang siangnya. Random aja dia pengen ngeseks sesuka hatinya. Bisa seminggu gak selera disentuh sedikitpun, minggu depannya tiap hari mau dientotin. Lah dia di rumah kan punya lakik sendiri, si Akbar-Akbar itu. Ntah ngapain selalu minta jatahnya ke aku?
“Chayank duluan aja, deh… Nanti cici nyusul, yaa… Mumpung cici lagi sehat nih ngerjain cek laporan produksi… Seng… Ladenin dulu secelup dua…” katanya langsung nyuruh-nyuruh diluar SOP-ku.
“Kaak… Awak-pun banyak kerjaan-loh, kak… Tengok nih…” acungku pada beberapa folder map yang kubawa serta tadi.
“Sebentar ajaa… Sana-sana…” tunjuknya pada ruang istirahatnya. Kimak ini memang sepasang lesbi bunting. Orang lagi banyak kerjaan disuruh ngegenjot binik orang dulu. Bersungut-sungut aku digandeng ceria Dani ke dalam ruangan istirahat itu. Kak Sandra meneruskan pekerjaannya sementara aku harus meladeni nafsu Dani dulu secelup dua. Nasib-nasib. Nasib ya kok enak gini. Wkwkwk…
Dani sudah melucuti semua pakaian kerjanya dan berbaring di sofa yang kerap dijadikan lokasi bergumul kami bertiga di ruang istirahat pribadi kak Sandra ini. Dengan jari yang sudah dibasahi ludahnya sendiri, digosok-gosok meki gundulnya sampe lembab agar mudah dipenetrasi. Mukanya udah sange mengundangku untuk segera memasukinya. Aku sudah membuat Aseng junior mengeras dengan memandangi tubuh telanjangnya. Perutnya sekarang tidak serata pertama kali kuliat bugil begini. Ada janin yang sedang bertumbuh di dalam rahimnya. Kemungkinan besar itu anakku. Walo agak buncit, tetapi itu malah membuat tubuhnya semakin bertambah menggairahkan. Aura perempuan hamil akan sangat berbeda bagi lelaki karena insting dasar lelaki menyukai perempuan yang subur. Dani sudah terbukti subur karena telah sukses hamil, insting lelaki tidak pernah salah.
Yang pertama mendapat perhatianku adalah payudaranya yang sekarang bertambah ukurannya. Lebih membengkak besar dari sebelumnya. Puting mungilnya pun sudah berkembang lebih gemuk dari sebelumnya. Pas di kuluman mulutku. Dani mendesah-desah keenakan sambil ia meremas-remas Aseng junior-ku semakin menegang keras. Diarahkannya ujung Aseng junior ke belahan meki gundulnya yang sudah merah merekah lebih gelap. Terasa basah sudah siap untuk menyambut masuknya diriku.
“Hyyaaahhh…” erang puas Dani merasakan Aseng junior tergelincir masuk membelah meki gundulnya. Dadanya melengkung maju membusung hingga terbenam di mukaku kenyal. Mulai kugenjot dirinya pelan-pelan dahulu. Hamil muda harus diperlakukan dengan sangat hati-hati. Beda perempuan beda perlakuan. Di Dani, ia malah mood swing dalam bersetubuh. Kadang selera kadang tidak. Kak Sandra mirip dengan Aida keadaan kesehatannya, sering sakit kepala dan mual walo pada kak Sandra sesekali masih berselera ngeseks dan Aida tidak sama sekali di trimester awal kehamilannya.
“Trus, bhaanngg… Aahh… Uhhh… Enaak, bhang Aseeenghh… Yaahh…” erangnya menggerak-gerakkan pinggulnya menyambutku. “Tetek Dani tambah gede yaa, bhaangg? Uuhhnnn…” tanyanya mengarahkan tanganku untuk memainkan payudaranya lagi.
“Iya, Daan… Lebih gede sekarang… Tambah besar dede bayinya… tambah gede teteknya…” kataku lalu mencucup puting membesarnya. Ia mengerang senang dengan penilaianku. Aseng junior menyodok sedikit lebih cepat, kujaga tidak menghimpit perutnya. “Akbar apa kabarr? Masih rutin sama lakikmu, kan?” tanyaku lalu menyentil putingnya dengan lidah.
“Males ngomongin dia… Gak berani inilah… gak boleh itulah… Gak usah ngomongin dia-lah… Males, Dani…” malah berubah jutek sebab aku nanyain suaminya. Aku menyelamatkan diri dengan terus bermain dengan payudaranya yang tumbuh lebih besar berkat bertambahnya timbunan lemak. Masih tetap kolot gitu suaminya? Akbar menerapkan syariat betul-betul bahkan dalam menggauli istrinya. Itu tidak bisa diterima Dani sama sekali padahal harusnya boleh digarap semaunya walo masih ada batasannya juga. Dani mendambakan kehidupan seks yang lebih berwarna seperti yang selalu kuperagakan padanya, membuatnya selalu mau dan mau lagi. Bahkan kini sering maen lesbi-lesbian sama kak Sandra, menjadikan hidupnya lebih berwarna kemana-mana sekarang.
“Beres, buuu…” jawabku sedikit menaikkan RPM setingkat lebih tinggi membuatnya melenguh lebih seksi. Saat kucucup teteknya lagi, pintu terbuka dan kak Sandra masuk dengan ekspresi pengen gabung walo kuyakin badannya terasa gak enak. “Gabung, kak?” sapaku. Ia tak menjawab sapaanku melainkan berjongkok di arah wajah Dani dan mencumbu mulutnya.
“Chayank belum ada dicium Aseng cibay ini kan dari tadi?” tanya kak Sandra dengan gaya cemburu-cemburu buatan gitu.
“Gak ada, cii… Bibir chayank cuma buat cici Sandra ajaa…” jawab Dani sama-sama pe’a-nya.
“Kimak klen dua! Ompak’an (dibuat-dibuat)-lah klen trus gitu sampe bunting besar…” kataku cukup kesal karena terlalu sering ngeliat adegan lesbi kek gini yang diperagakan dua binor yang sama-sama kubuntingi. Masih tetap lesbi gak ini dua binor waktu perut buncit kegedean menghalangi cumbuan mereka?
“Apalah lu, Seng? Cemburu lu wa chayank-chayank-an sama chayank Dani?” provokosi satu panlok ini dengan mata sipitnya yang dikerjab-kerjabin genit.
“Ngapain awak cemburu… Masih bisa awak entot klen berdua, kok…” kataku sebenarnya. Sukak hati mau ngapain mereka. Gak urus. Cuma kalo mereka minta yang kek kek gini aku gak bisa nolak pulak. Jarang-jarang ada dua binor minta dipuaskan bersamaan seperti saat ini. Sayang juga harus kehilangan kesempatan emas menggauli keduanya bersamaan. Jadilah aku harus meladeni keduanya pagi menjelang siang itu. Padahal kerjaan masih bertumpuk banyak menuntut penyelesaian, malah ngentot disini bareng dua binor mendadak lesbi.
—————————————————————————-
“Yang ini aja yang bekas, wak…” tunjukku pada benda yang masih ada seekor ayam jago Siam di dalamnya.
“Yang ini agak baru, Seng… Itu udah lama kali…” kata wawak-wawak itu memberi saran. Aku mau membeli kandang ayam miliknya. Tau kan kandang ayam besar berbentuk setengah tabung dan bagian bawahnya tak bertutup dari anyaman bambu yang kerap digunakan untuk mengurung ayam aduan itu? Nah aku sedang menawar benda itu.
“Gak pa-pa, wak… Makin lama makin bagus… Apalagi ada bekas tai-tai ayamnya…” kataku beralasan. Dia menawarkan kandang ayam yang relatif masih baru miliknya dibanding yang kupilih ini.
“Ya udahlah sukak atimu…” katanya pasrah aja. Pembeli adalah raja. He he he…
Ngapain aku beli kandang ayam ini? Ada deh… Kalian nanti tau apa yang akan kulakukan dengan benda ini. Ini udah malam sebenarnya. Aku pulang ke gangku di Mabar, ke tetanggaku yang hobi melihara ayam aduan ini untuk membeli kandang ayam bekasnya. Lalu kubawa benda itu di kursi belakang Pajero dan akan kubawa ke kompleks. Basa-basi sebentar dengan wawak itu dan pulang.
Mandi, makan malam dan bercengkrama dengan anak istri sampe menjelang tengah malam. Istriku menceritakan hari-hari anehnya sebagai seorang nyonya besar sebuah rumah mewah ini. Ia merasa kikuk gak bisa ngerjain apa-apa di rumah suaminya sendiri. Apa-apa dikerjakan sama ART yang sigap dan cekatan. Paling-paling ia menjaga Salwa aja, mengajaknya bermain ato mengajarinya berjalan keliling rumah yang luas sekali ini. Baru beberapa hari di rumah sebesar ini, ia sudah mulai kangen dengan rumah lamanya. Rumah yang selama ini diurusnya sendiri. Aku menyarankannya untuk dolan-dolan ke tetangga aja mencari wawasan, siapa tau bisa dapat teman baru disini.
Sekitar jam 10 malam, istriku permisi tidur dengan Salwa yang sudah lelap dari tadi. Rio juga sudah damai di kamarnya, dengan banyak mainan barunya. Aku coba menghubungi Vivi menanyakan kabar si dede kecil.
Vi2: namanya Nirmala bg
Aseng: nama yg bagus siapa yg milih
Vi2: vivi dunk c bens maunya Margaretha ato Christina gt dah kek banci anakku namax kek gitu
Aseng: wkwkwk
Vi2: bu Karina dh mulai gerak lg kuyangx
Aseng: selo msh awak pantau dr sini belum gerak dy
Kami ngobrol terus lewat chatting ngalor ngidul ngulon wetan atas bawah sampe ke samping-sampingnya. Sampe ku dengar suara yang kutunggu-tunggu itu.
“Kyuukk!! Kuuk!!” suara khas Kuyang terdengar lamat-lamat dari seberang jalan. Ia mulai beraksi seperti kemaren malam. Jam yang persis sama. 00:15 WIB.
“Datang kao kemari! Kutangkap kepala jeroanmu!” desisku menunggu bentuk kepalanya menuju pagar rumahku. Dia tidak akan bisa menahan nafsunya untuk mendatangi rumahku yang sangat mengundang dengan aroma bayi yang keras. Kalo ada yang ngeliat dari luar, pasti akan dikira aksi vandalisme anak-anak iseng karena aku menggantungkan beberapa popok bekas sekali pakai punya Salwa di pagar untuk memancingnya ke rumahku.
“KKKYUKK!!” ia meluncur cepat dari arah rumah bu Karina di seberang sana. Tepat ke arah pagar rumahku. Mulutnya terbuka lebar dengan taring panjang yang tumbuh ghaib dari gusi mulutnya. Jeroan berupa lambung dan usus-usus menggantung mengikut di belakangnya.
Beberapa saat sebelum mulutnya berhasil mengunyah popok bekas itu, ia terperangkap dalam kurungan ayam yang sudah kusiapkan di atas tadi. Kandang ayam bekas yang ada sisa tai ayamnya. Panik tentunya siluman Kuyang itu terkurung di dalam benda remeh yang bisa dibilang udah mulai lapuk ini. Tapi di sanalah khasiatnya. Semakin lapuk dan jelek kandang ayam ini makin kuat ia memerangkap siluman laknat ini. Malah kalo kugunakan kandang ayam gres baru dari toko, dengan mudah dia akan menghancurkannya karena belum ada aroma ayam yang pernah mendiami/memakainya.
Kuintip mangsa tangkapanku yang panik membentur-benturkan kepalanya pada jeruji bilah bambu tipis yang mengurungnya. Matanya yang berwarna merah menyeramkan jadi terlihat ketakutan. Padahal dia itu siluman yang seharusnya menakutkan. Aku dadah-dadah padanya yang memandangiku dengan paras yang kalo ditelisik dengan teliti akan mengingatkan akan wajah bu Karina normal yang bisa dibilang cantik. Hanya saja dalam keadaan Kuyang begini; kulit pucat, rambut kusut, mata merah dan taringnya mengaburkan semua penilaian. Apalagi pemandangan menjijikkan semua isi perut terburai teronggok sedemikian rupa ikut menggantung dari lehernya.
“Apa kabar, bu Karina? Nyaman di dalam sana?” tanyaku pasti lumayan ngeselin.
Sesekali ia masih berusaha melepaskan diri dengan menghantamkan kepalanya pada bilah-bilah bambu ini. Benda terlemah menjadi benda terkuat yang mampu mengurung kedigdayaan yang selama ini sudah diraihnya. Entah sudah berapa banyak korban yang sudah berjatuhan selama ia menggalang kekuatan dengan cara sesat ini.
Berada di luar pagar rumah begini pasti nanti akan terjadi kehebohan yang tak kuinginkan. Aku harus memindahkan kandang ayam bambu ini ke tempat lain. Kalo diangkat bisa lepaslah dia dari bawah kandang ayam itu. Klen mau bilang kek gitu, kan? Gak. Gak kek gitu cara kerjanya dunia supranatural. Yang tertangkap memakai perangkap akan terus terkurung tidak memandang bentuk fisik alatnya. Gimana pulak kalo nangkap siluman kolor ijo pake potongan batang bambu kuning? Ngerti, kan poinnya? Yang tertangkap/terkurung itu adalah esensinya, bentuk energinya karena secara substansi mereka gak berbentuk padat ato solid. Tentunya bisa aja ditembusnya dinding benteng setebal berapa meterpun dengan bentuk non-materil-nya. Tapi dikurung di dalam kungkungan kandang ayam bekas, dia tak berdaya. Menangkap siluman Kuyang dengan kandang ayam bambu bekas pakai. Gak akan ada klen temui tutorial ini di yutub. Jamin, karena ini cara gue. Sok gue-gue lu, Seng!
Dengan beberapa kali lompatan dengan bakiak Bulan Pencak aku sampai di lantai dua setengah rumah milik ibu Karina dan keluarganya. Lantai ini difungsikan sebagai tempat menjemur pakaian. Aku gak mau mengotori rumahku dengan membawanya masuk. Apalagi dia bisa mati dihajar oleh pagar ghaib berlapis-lapis yang sudah kupasang di sekeliling rumah. Kubawa dia ke daerah otonomnya sendiri.
“Kyuuukk!” serunya seperti minta dikasihani. Bergoyang-goyang ususnya kala ia mengambang menyedihkan, menggesekkan kepalanya di bilah bambu tipis keliling yang mengurungnya.
Mau diinterogasi juga gimana caranya berkomunikasi dengan setan macam ini? Suaranya cuma kyu kyu aja. Kao kira ini maen judi Qiu-Qiu. “Mau lepas?” tanyaku melongok ke dalam di antara bilah bambu tipis itu. Ia mengangguk-angguk sedih mengambang dengan isi perut teronggok di lantai dak atap rumah. “Suruh badanmu naik kemari… Aku gak mau tau gimana caranya… Pokoknya suruh badanmu kemari…” kataku tegas menunjuk tempat ini. Lantai dua setengah rumahnya sendiri. Ini sebenarnya perintah yang kebangetan karena gimana cara tubuh tak berkepala itu menemukan jalan untuk sampai kemari. Pasti nabrak-nabrak tentunya.
Tubuh Kuyang yang ditinggalkan kepalanya pasti sedang berada di dalam sebuah kamar khusus yang sangat rahasia di rumah ini. Aku belum tau gimana kasusnya makanya aku mau bicara langsung dengannya. Kepala Kuyang itu berhenti mengambang dan menangkringkan kepalanya pada onggokan isi perutnya. Memejamkan mata dan mulutnya komat-kamit baca mantra. Dengan segelas air putih lalu Asengnya ngecrot. Croot!
Cukup lama aku menunggu. Ada sekitar setengah jam aku menatap pintu tangga yang menghubungkan lantai dak ini dengan lantai di bawahnya. Hanya itu satu-satunya jalan ke atas sini dari dalam rumah. Dan penantianku berakhir ketika pintu itu terbuka. Ada sosok tubuh tak berkepala berjalan meraba-raba dengan tangan terulur ke depan, antisipasi akan menabrak benda yang menghalangi.
Awalnya gelap dan begitu tersinari cahaya lampu jalan aku cukup kaget karena tubuh tak berkepala itu juga tak berpakaian alias bugil tanpa secarik pakaian sedikitpun. Yo hoho. Lezat nian tubuhmu wahai bu Karina walo serem gak ada kepalanya. Tubuh binor telanjang yang belum pernah turun mesin berumur 30-an tahun yang dalam keadaan ranum-ranumnya memanggil untuk dipetik. Kusambangi tubuh itu dan kutuntun mendekat dengan girang-girang gila ala Aseng senget. Gak usah muna kalo kubilang aku gak gerepe-gerepe tubuh telanjangnya. Payudara besar bulat menggantung indah itu kuremas-remas gemas. Pantat semoknya juga apalagi. Apalagi vagina berjembut lebat itu bahkan basah kala kujejali jariku, nakal kacang itilnya mengeras kukobel.
Kikuk tubuh telanjang tak berkepala itu menunggu untuk reunian dengan bagian terpisahnya. Kuulur waktu untuk bermain-main dengan tubuhnya. Udara dingin malam meremangkan kulitnya. Apalagi karena pentilnya yang mengeras kupilin-pilin. Aku sangat tergoda oleh tubuh seksi binor serem satu ini. Selagi kepalanya kuperangkap, aku melecehkan tubuhnya sejadi-jadinya. Ini resiko yang harus ditanggung bu Karina akibat memiliki ilmu sesat ini. Walo sebenarnya aku belum pasti juga dari mana asal muasal ilmu hitam ini. Yang penting kunikmati dulu, mumpung ada kesempatan ini.
Tau diri juga aku, woy. Gak sampe kuhunus Aseng junior masuk ke kemaluannya. Cuma kugesek-gesek aja-nya Aseng junior-ku ke kenyal pantatnya dan payudara masif itu. Geli-geli sedap gimana gitu rasanya. Cukup-la ya, Seng. Kerja dulu kita. Kalo mau celup-celup nanti aja. Kalo yang ini bisa di-speak-speak, kita cobak-la.
Melihat lubang menganga di lehernya dan isi dalam perutnya pasti merupakan pengalaman horor bagi yang perutnya normal. Imbangku cuma dokter yang biasa meng-otopsi mayat. Kuangkat kandang ayam itu dan kepala Kuyang itu ikut terangkat melayang beserta isi perutnya yang menggantung melewati besar kurungannya ini. Dari usus yang paling bawah kumasukkan bagian tubuh itu ke lubang di leher tubuh bu Karina yang berdiri diam. Trus-trus… Sampai semua jeroannya masuk semua, kembali ke dalam tubuhnya. Dan potongan leher lalu bersatu kembali dengan sisa leher di tubuhnya. Menyatu halus meninggalkan satu garis tipis berwarna merah pudar. Ia harus selalu memakai kalung model choker untuk menutupi garis merah itu.
“Haahh…” tercekat nafas perempuan itu begitu tersadar kembali dari pengaruh ilmu jahat ini. Kurungan ayam itu masih belum lepas dari kepalanya karena aku masih memerangkap Kuyang itu dengan benda remeh ini. Tentu ia kaget ada benda itu di atas kepalanya, mengurung tubuhnya sampai sebatas pertengahan pahanya. Walo sadar, tubuhnya tidak bisa bergerak sesuai keinginannya. Tubuhnya masih kaku. “Ada-ada apa ini? Siapa-siapa?” hanya mata dan mulutnya yang bisa bergerak dan bicara.
“Saya, bu… Aseng… Masih ingat saya?” jawabku dan memposisikan diri tepat di depannya agar ia jelas melihatku dari kisi-kisi bilah bambu yang mengurungnya.
“Pak Aseng… Ya… Ya… Ada apa ini, pak? Kenapa saya begini? Benda apa ini? Kenapa saya tidak bisa bergerak?” tanyanya bingung. Ekspresinya jujur. Tidak dibuat-buat. Tapi masih bisa berupa akting karena para setan ato siluman itu jago akting. Saingan para artis Holywood papan atas.
“Awak menangkap Kuyang dari tubuh ibu Karina… Tau apa itu Kuyang?” tanyaku mulai interogasi. Keningnya berkerut mencoba mengingat-ingat. Lalu mengangguk.
“Pernah dengar… Hantu yang kepalanya lepas mencari anak bayi itu, kan?” katanya yakin.
“Benar… Pinter ibu…” kataku bertepuk tangan jenaka. “Apa ibu tau… kalo ibu itu adalah Kuyang?” lanjut tanyaku.
Ia mencoba menggeleng tapi gak bisa. Hanya matanya melotot dan mulutnya bermaksud protes. “Gak! Enggak mungkin aku Kuyang!” katanya membantah. Air mata mulai menetes di matanya. Bisa jadi itu air mata buaya. Ia terus membantah itu semua.
“Ibu gak akan jadi begini kalo ibu bukan Kuyang… Awak ini sudah menangkap kepala ibu yang terbang mau ke rumahku tadi dengan kandang ayam ini… Ini kelemahanmu, kan?” sergahku menggebrak kandang ayam itu. Tubuhnya tak bergeming kaku. “OK… Tadi itu masih bertanya baik-baik…” kuhunus mandau Panglima Burung kemudian sebagai tahapan bertanya dengan cara tidak baik-baik. Aura senjata ini mengandung kekuatan sang burung Enggang Gading yang sakral di tanah Kalimantan asal Kuyang ini. Kita tes apa setan ini memang asli berasal dari Kalimantan ato cuma bacot aja. “Kau tau ini apa?”
Mata indah bu Karina berubah warna dari kornea coklat menjadi merah keseluruhan berikut putihnya semua. Matanya berubah warna begitu melihat pangkal gagang mandau yang berbentuk kepala burung Enggang Gading milikku. “Panglima Burung…” desis mulutnya gemeletuk beradu berulang-ulang seperti menggigil kedinginan. Gigi-gigi tajam muncul dari gusinya.
“Nah… Sepertinya kau tau apa yang ada di tanganku ini, kan? Sekarang ngomong yang jujur-jujur aja… Kalo enggak… kau tau akibatnya kalo ditebas dengan mandau Panglima Burung ini…” ancamku lebih tegas dengan memasukkan bilah mandau itu dari bawah kandang ayam yang mengurungnya, dekat di depan matanya. Ia bisa merasakan aura mengancam mandau Panglima Burung tepat di depan bacotnya. Pasti ia bisa bercermin pada kilat logam berkilaunya. “Bisa kau jujur, kan?” tanyaku untuk memastikannya. “Aku harus puas dengan jawabanmu…”
“Bisa… bisa, tuan…”
“Bagus… Sudah berapa lama perempuan ini menjadi Kuyang?” pertanyaan pertamaku.
“Sudah lama, tuan… Sudah sejak dia berumur 19 tahun…” jawabnya. “Berarti sekitar sebelas tahunan…” sambungnya berusaha sebaik-baiknya untuk menyenangkanku.
“Sebelas tahun… Ini ilmu yang dituntutnya sendiri ato turunan?” lanjutku ke pertanyaan berikutnya.
“Turunan tuan… Ini menurun dari ibunya dan dari ibunya lagi… Dia keturunan terakhir… Turunan ke tujuh…” jawabnya sebaik-baiknya dengan intonasi jelas. Kalo memang apa yang dikatakan setan ini benar, prediksiku tepat. Ilmu turunan ternyata. Sekarang ke pertanyaan berikutnya.
“Jadi… apa dia tau kalo punya ilmu ini?” tanyaku.
“Tidak, tuan… Dia tidak tau kalo punya ilmu ini… Aku hanya memanfaatkannya untuk terus mencari makanan kegemaranku… Bayi manusia…” di akhir katanya, ia menjilat bibirnya dengan lidah yang memanjang. Mungkin membayangkan nikmatnya daging dan darah bayi manusia yang selama ini sudah disantapnya sebagai ganti jasanya.
“Dan kau juga memakan bayi yang ada di dalam perutnya?!” sergahku cepat selagi lidahnya menjilat begitu. Ini menjadi jawaban logis kenapa perempuan ini tak kunjung punya momongan juga selama menikah bertahun-tahun. Setan Kuyang itu tercekat dan memasukkan lidahnya pelan-pelan karena tertangkap basah. Matanya berkedip-kedip memikirkan kemungkinan terburuk yang mungkin akan menimpanya. Hancur misalnya. “Jawab!”
“Benar, tuan…” jawabnya terpaksa jujur mengakuinya. Matanya masih berkedip-kedip.
“Anda dengar itu semua, bu Karina?” tanyaku menembus tirai kesadaran.
Kornea matanya tiba-tiba berubah menjadi coklat lagi, terus berkedip-kedip. Gigi-gigi tajam itu pun ikut menghilang. “Jadi selama ini… aku sempat hamil tetapi selalu dimakan Kuyang ini?” ini adalah suara bu Karina yang sesungguhnya. “Hiks hiks hikss hu huu huu… Dasar Kuyang kurang ajar! Dasar setaaan!!” jeritnya sedih dan marah bercampur menjadi satu. Tentu dia patut marah akan keadaannya ini. “Kenapa? Kenapa harus aku? Aku tidak pernah mempelajari ilmu sesat begini…”
“Bu Karina memang tidak pernah… Tapi nenek-nenek buyut ibu Karina yang melakukan ini… Tidak ada gunanya menyesalinya… karena memang gak ada gunanya…” kataku mencoba menghiburnya. Ia masih tersedu-sedu menangisi nasibnya. Ia sudah putus asa. Ia racaukan berbagai macam usahanya untuk hamil lewat beberapa macam ikhtiar. Sempat hamil sebulan lalu keguguran. Dua bulan, pendarahan dan harus dikuret. Tiga bulan dan tidak ada pergerakan setelahnya, dikuret lagi.
“Ada kata-kata terakhir sebelum kau kusingkirkan… setan Kuyang?” tanyaku mengelus-elus mata tajam mandau ini. Aku memanggilnya agar maju ke depan lagi seperti tadi. Mata bu Karina kembali menjadi merah dan gigi tajam muncul kembali.
“Ada lubang besar di perutnya yang menjadi tempat tinggalku selama ini… Bahkan setelah aku tuan singkirkan dari tubuhnya… yang ‘lain’ akan mengisi tempat nyaman itu… Bibit dari tuan akan menyegel lubang besar itu untuk selama-lamanya… Bukan begitu, tuan ber-mandau Panglima Burung?” kata si setan licik itu.
“Manis kali mulutmu, setan Kuyang… Siapa yang membisikimu informasi itu?” tanyaku mendekat. “Mungkin lain kesempatan aku akan mengunjunginya…” desakku. Ia malah tersenyum, semakin lebar dan semakin saja.
“Ha ha hah hah haah…” gelaknya tertawa lebar seakan tau kalo gak bakalan selamat dariku.
“Pedang Selatan Mengiris Sembilu…” kuacungkan mandau ke atas kepalanya, mengerahkan Lini secukupnya untuk melakukan tebasan. Mandau serong ke kiri dan Swaaasshh… menebas horizontal lurus hingga tiba di kanan tubuhku.
“Klak!” potongan tipis dan bersih tepat pada garis merah di leher bu Karina membuat kandang ayam itu terpotong terbelah dua. Sisi bawahnya segera jatuh ke lantai dak, meninggalkan bagian atasnya yang masih tergantung di atas ubun-ubun perempuan itu. Mata merah setan Kuyang itu perlahan-lahan memudar. Gelap, abu-abu dan akhirnya putih. Mata coklat pemilik aslinya muncul perlahan menggantikannya. Beberapa gigi tajam berbentuk taring itu bertanggalan dari gusinya, jatuh dan pudar menjadi abu menghilang. Garis merah tipis itu hilang dari lehernya secara permanen.
Kutunggu sebentar untuk memastikan semua proses pemusnahan setan Kuyang biadab itu benar-benar berhasil. Dengan jurus Pedang Selatan Mengiris Sembilu kuharapkan bisa memutus mata rantai lingkaran setan yang selama ini menguasai tubuh bu Karina untuk keuntungan sesatnya. Untungnya dia ada di urutan terakhir turunan yang dapat limpahan ilmu sesat yang sangat meresahkan orang banyak ini. Sehingga kelak gak ada keturunannya yang akan mendapat sial ketimpaan ilmu menakutkan semacam ini.
“Panglima Burung… apakah dia sudah musnah?”
“Sudah, anak… Kuyang itu sudah tidak ada lagi di tubuh anak perempuan malang ini…” jawab Panglima Burung lewat perantara mandau-nya di genggamanku. Kami lebih mudah melakukan komunikasi dengan cara ini. Pengetahuan cara menangkap Kuyang dengan menggunakan kandang ayam bekas juga aku tau dari beliau. Gak ada tempat bertanya yang lebih manjur tentang klenik Kalimantan daripada tetua yang berasal dari sana juga selain Panglima Burung.
“Syukurlah… Apakah lubang yang dibicarakannya itu benar?” tanyaku cukup penasaran. Tadi ia membicarakan lubang itu kuanggap sebagai alat tawarnya aja agar aku gak buru-buru membantainya.
“Kuyang dan sejenisnya selalu membuat sarang di dalam tubuh inangnya… Khusus pada Kuyang… benar ia menyiapkan lubang itu di perut untuk membuatnya nyaman… Karena anak perempuan ini turunan ke tujuh, terakhir… ia merasa tak perlu menjaga keberlangsungan keberadaannya lewat turunan-turunannya… Makanya dia memakan semua janin-janin yang dekat dengan lubang tempatnya bersarang… Ia hanya perlu pindah ke mangsa berikutnya yang cukup bodoh untuk mempelajari ilmu Kuyang ini seperti orang-orang tua terdahulu anak perempuan ini…” jelasnya panjang lebar. Aku hanya bisa memandangi tubuh telanjang utuh bu Karina dengan kasihan. Penderitaannya sungguh berat.
“… dan benar… Lubang itu bisa diisi oleh mahluk lainnya… Mengisi kekosongan lubang besar itu… Lubang itu harus segera ditutup…” simpulnya. “Anak bisa menutup lubang besar itu seperti yang diperingatkan si Kuyang tadi… Dia tidak bohong…”
Please deh-ahh…
“Bu Karina sudah dengar semuanya, kan?” tanyaku. Aku menutup tubuh telanjangnya dengan sehelai kain sprei motif bunga yang sepertinya lupa diangkat dari jemuran di atas sini. Ada beberapa buah kursi plastik yang kerap dipakai para ART rumah ini kala beristirahat di atas ato curi-curi waktu. Tengah malam begini kami berdua malah duduk ngobrol di lantai dua setengah rumah ini. Gak sepenuhnya ngobrol sebenarnya, sih. Aku sudah melepas sisa kandang ayam lapuk itu dari ubun-ubun kepalanya hingga ia sudah terbebas.
“Sudah, pak Aseng… Saya dengar semua… Tapi saya gak ngerti sama sekali…” katanya melirikku sebentar lalu melempar pandangannya ke langit malam yang gelap. Hanya ada bulan sabit akhir periodik dan beberapa titik bintang di dekatnya. Pastinya dia masih kepikiran rasa malu yang harus ditanggungnya karena telah tampil telanjang tanpa penutup apapun di hadapanku. Jujur aja aku masih bisa merasakan hangat dan basah lubang kemaluannya yang sempat kukobel tadi. Moga-moga dia gak kerasa saat itu. Apalagi payudara besar bulatnya. Yumm…
“Gini, bu Karina… Awak panggil Karina aja, yaa… Karena keknya kita seumuran nih… Sebaliknya panggil awak Aseng aja…”
“Bang Aseng…” sambarnya.
“Bang Aseng-pun boleh…” aku memutar mataku, duh… “Selama ini kan gak tau ada setan Kuyang itu di dalam tubuh Karina… tapi selama ini pula telah menikmati berbagai keuntungan yang diberikan setan Kuyang itu secara tidak sadar… Paham yang awak katakan?” kataku memulai penjelasannya. Kepalanya mendadak tegak mendengarnya. “Ingat sesuatu?”
“Tadi kata setan itu… Ia mulai turun padaku saat saya umur 19 tahun, kan?” ingatnya. Aku mengangguk membenarkan. “Sebelum umur 19 tahun itu saya hanya anak perempuan biasa aja… Terlalu biasa… Tetapi setelah 19 tahun… mulai banyak perubahan terjadi pada saya… Orang-orang mulai memperhatikan saya… Keberadaan saya mulai dianggap… Bahkan ada yang memuja-muja saya… Saya selalu mendapat kemudahan di bidang apapun… Kuliah lancar dan mendapatkan pekerjaan dengan mudah… Semua karier saya mulus karena saya selalu dapat mempengaruhi semua pihak… Baik atasan, kolega maupun klien… Jadi itu semua karena pengaruh setan Kuyang itu… dan dibayar dengan memangsa bayi-bayiku?” simpulnya sendiri. Bagus deh kalo dia paham masalah yang tengah dihadapinya. Aku jadi gak perlu menyusun kata-kata njelimet menjelaskan masalahnya.
“Yaa… Setan-setan itu biasanya melakukan hal kek gitu untuk melenakan mangsanya…” rangkumku.
Karina lalu terpekur menatap lantai dak. Tubuhnya masih berbungkus kain sprei, berusaha tak mengindahkan rasa dingin angin malam. Mengingat-ingat semua rangkaian hidup palsunya yang ternyata atas kendali entitas jahat setan Kuyang yang menggerogoti tubuhnya dari dalam, memakan bayi-bayinya dan bayi-bayi keluarga lain di luar sana. Seberapa besar rasa bersalahnya telah menikmati semua ini? Apakah ia merasa bersalah?
“Jadi mulai sekarang saya harus berusaha dengan usaha sendiri… Dengan kemampuan sendiri…” putusnya duduk tegak lalu berdiri di hadapanku, berjalan ke arah depan rumah. Aku duduk sendirian sekarang. Bagus ia menyiapkan resolusi sendiri untuk hidupnya yang pastinya akan mulai berubah karena ia tak punya pesona seperti sebelumnya waktu ada Kuyang di dalam badannya.
“Lalu masalah lubang yang tertinggal itu… bagaimana?” ia berbalik dan agak membungkuk menanyakannya.
“Itu masalah yaaaang sangat berat… Apa Karina sanggup mendengarnya?” kataku lumayan sangsi.
“Sebagai permulaan perubahan hidupku… itu bisa menjadi awalnya…”
—————————————————————————-
“Udah… Udah beres masalah Kuyang-nya…” kataku laporan pada sepasang sahabat Vivi dan Benget di rumahnya pagi ini. Aku merasa wajib memberitau mereka tentang kabar agar mereka gak khawatir Nirmala mendapat serangan mengerikan itu lagi.
“Syukurlah…” lega Vivi mendengar info ini. Begitu juga Benget yang mengusap-usap muka ngantuknya.
“Tapi ini cukup diantara kita bertiga aja… Jangan sampe ada orang lain yang tau kalo ibu Karina itu dulunya adalah Kuyang…” lanjutku.
“Kenapa, bang?” tanya Benget keliatan gak rela. Vivi memukul tangannya karena dianggapnya gak sopan.
“Sekedar menjaga nama baik aja, Bens… llmu Kuyang itu turunan dari nenek moyangnya dulu… Dia turunan ketujuh… Kuyang itu juga ternyata memakan semua janinnya sehingga ia gak pernah punya anak sampe sekarang… Selalu keguguran tiap hamil…” jelasku lebih lanjut mengharap empati mereka. Sebab hanya mereka pihak yang tau kasus ini selain aku. Kunci berhenti tersebarnya ghibah ini ada pada mereka berdua. Aku gak bisa membayangkan reaksi para keluarga yang telah menjadi korban keganasan Kuyang sebelum ini.
Membelalak lebar mata mereka berdua mendengar penjelasanku barusan. Vivi sampe harus menutup mulutnya. “Ihh… Iya, bang? Minta maaf-lah aku, bang… Gak tau aku, bang…” si Bens menoleh ke sohibnya minta dukungan. Vivi juga mengangguk-angguk setuju dengan permintaan maaf sohibnya. Lagi-lagi si Benget mengelap mukanya yang tak berkeringat tanda menyesal.
“Makanya… ini jadi pelajaran juga buat klen… kalo ada apa-apa yang gak klen pahami… jangan lari ke dukun… Gak ada manfaatnya… Tambah runyam idop klen dibuatnya… Sesat apalagi… auto masuk neraka klen dibuatnya…” kataku sok menggurui. Ini kan nasehat dari orang yang sudah membantai dukun-dukun sesat itu. Udah berapa dukun yang kuhabisi? Minimal kucabut kesaktiannya. Banyak kali.
“Eh… Makanlah… Udah capek-capek aku beliin lontong… gak klen makan pulak…” kataku mengeluarkan tiga bungkus lontong sayur berlauk telur bulat sambal dan perkedel. Benget sigap masuk ke dalam dan mengambil piring, sendok, gelas dan teko air. Kami nikmati sarapan pagi di halaman rumah Vivi bertiga sambil ngobrol lagi. Selesai sarapan di sana, aku pulang ke rumahku. Rio ternyata lagi sarapan di pinggiran kolam. Ia bersiap akan berenang lagi abis sarapan ini. Baby sitter yang mengurusnya merayunya agar mau makan potongan sosis yang jadi menu sarapan paginya selain telor ceplok.
“Abang… Abisin sarapannya… Kalo gak abis gak boleh mandi kolam…” kataku beserta ancaman larangan. Dengan mulut manyun ia melahap potongan sosis yang disodorkan padanya. Istriku senyum-senyum aja melihat tingkah anak pertama kami itu. Aku yang bergabung di pinggir kolam ini juga disodori menu sarapan oleh tukang masak kami berupa sosis goreng dan jus jeruk. Padahal perut dah kenyang makan lontong di tempat Vivi barusan. “Mama udah sarapan?” tanyaku celingak-celinguk bingung mau dikasih ke siapa menu sarapan ini. Istriku udah sarapan dari tadi bersamaan dengan Rio dan udah selesai. Dia tau gelagatku.
“Abisin-lah, pa… Sapa suruh sarapan di luar tadi…” sindir istriku. Tiara, si baby sitter juga senyum-senyum ngeliatin bingungku sambil menyuapi Rio potongan sosis lagi. Anak bungsuku belum bangun.
“Udah kenyang, maa… Tirr… Udah sarapan belom? Nih…” tawarku menyodorkan piring menu sarapanku padanya. Ada 3 potong sosis gede-gede, dua buah telor ceplok, dan dua buah strawberry dibelah. Jus jeruknya cuma kuicip sedikit. “Gede-gede nih… Pasti enak…” kataku gak bermaksud apa-apa.
“Saya udah tadi, pak…” jawabnya menunjuk piring kosong miliknya. Ia meneruskan menyuapi Rio yang masih ngunyah-ngunyah sosisnya. Porsi sosis milik Rio kecil-kecil.
“Panggilnya ‘bang’… Jangan bapak… Ngerasa tua nanti dia…” kata istriku yang sudah cukup akrab dengan Tiara selama beberapa hari ini karena bergantian ngurusin Rio dan Salwa. Tiara selalu memonitor baby-watch miliknya siapa tau Salwa udah bangun dari tidur. Kamera CCTV portabel mungil khusus untuk mengawasi bayi, perangkat khusus yang menjadi salah satu perangkat kerjanya. Dia sudah dilatih secara profesional untuk tugasnya ini. Gak salah kalo digaji mahal.
“Eh… Iya, bang… Udah tadi… Kak… Salwa-nya udah bangun… Saya ke atas dulu, ya?” ia lalu menyerahkan piring sarapan Rio pada istriku untuk menyiapkan kebutuhan Salwa yang siap menyambut hari. Istriku meneruskan piring sarapan Rio juga padaku dan ia menyusul Tiara. Potongan besar sosis milikku kuangsurkan ke mulut Rio. Si babang ganteng melotot matanya ngeliat sosis segede itu dicocol ke mulut kecilnya. Ia kabur dan langsung nyemplung ke kolam karena dari tadi sudah siap cuma make sempak. Jadilah aku cuma ngegerogoti sosis segede itu pelan-pelan sampe abis. Kata mamak, makanan jangan dibuang-buang. Mubazir.
Rumah sebesar ini penghuni utamanya hanya kami berempat yang notabene hanya memakai dua kamar saja. Aku, istriku dan Salwa tidur di kamar yang sama, sedang Rio mulai mau tidur sendiri. Ada beberapa kamar lagi di rumah ini dan kosong melompong. Untung aja ada beberapa ART yang meramaikan rumah ini jadi sedikit mengisi kelowongan yang ada. Tiga ART yang umurnya sepantaran; tukang masak bernama bu Murni, tukang cuci-gosok bernama bu Iyem, dan tukang bersih-bersih bernama bu Lastri, tinggal di kamar basement. Bu Iyem dan bu Lastri bersaudara dan tinggal sekamar. Sedang Misnan si tukang kebun merangkap water treatment kolam tidak tinggal di sini. Pagi-pagi dia datang dan sore pulang karena rumahnya tak jauh di luar komplek. Sedang Tiara si baby Sitter juga tinggal di sini bareng bu Murni, hanya saja Sabtu-Minggu ia libur dan pulang ke rumah orang tuanya di daerah Tembung. Istriku sempat menawarkan salah satu kamar kosong untuk Tiara pakai tapi ditolak dengan alasan takut tidur sendirian. Kadang ia juga tidur di kamar Rio.
Rumah banyak kamar ini, yang tadinya disewa orang Arab itu dipakai beramai-ramai oleh sekitar 8 orang pekerja yang bekerja di satu perusahaan swasta. Aku dapat cerita dari Misnan. Mereka ditempatkan disini sudah 3 tahun oleh biro jasa karena pengalaman mereka yang pernah bekerja di Timur Tengah jadi sedikit banyak bisa bahasa Arab untuk meladeni para tenant rumah waktu itu. Kadang bu Murni juga memamerkan keahliannya memasak makanan khas Timur Tengah, hal yang coba dipelajari istriku.
—————————————————————————-
“Mobilnya gak pa-pa ditinggal di sana?” tanya Karina menyetir mobilnya perlahan merayap di belakang antrian kendaraan lain yang berusaha menerobos lampu lalu lintas yang baru berganti hijau.
“Gak pa-pa…” jawabku santai aja. Aku duduk di sampingnya memperhatikan jalanan malam. Pada orang-orang yang beranjak pulang ke keluarganya masing-masing. Sementara aku tidak. Mobil Karina semakin menjauhi SPBU dimana kutinggalkan Pajero-ku disana. Ia baru saja menjemputku dari galon BBM itu. Aku langsung masuk ke bagian penumpang begitu mobil sedannya berhenti dan pintu terbuka. Tak lebih dari beberapa detik saja semua itu berlangsung. Hendra mungkin kebingungan nanti menemukan mobilku diparkir disitu tapi orangnya entah dimana.
“Mau kemana dulu?” tanya Karina tanpa melihat padaku. Ia berkonsentrasi agar tak terjadi apapun di jalan ini. Penerangan di wajahnya berasal dari pendar lampu speedometer di depannya.
“Terserah Karina aja…” jawabku. Aku terbiasa pulang telat. Istriku sudah mahfum kesibukanku. Kumanfaatkan sebaik mungkin.
“Makan dulu, ya?… Karina juga belum makan malam…” tawarnya. Aku mengangguk setuju. Ia mengarahkan mobilnya terus melaju ke salah satu bagian kota Medan yang ramai di waktu malam dengan berbagai macam sajian makanan. Tak lama mobilnya memasuki parkiran sebuah restoran seafood yang cukup terkenal. Untuk jaga-jaga akan hal yang tak diinginkan, kami memasuki restoran secara terpisah. Aku langsung menuju ke toilet sementara Karina memesan ruangan private untuk pembicaraan kami. Nomor ruangan private itu lalu dikirimkannya padaku dan aku menuju ke sana.
Aku memesan nasi goreng seafood, semangkuk sup tomyam dan minumnya air mineral aja. Karina menawarkan memesan lebih banyak lagi tapi kutolak karena aku gak bisa makan banyak-banyak. Takut buncit lagi karena aku sekarang lagi getol-getolnya latihan rutin Mandalo Rajo. Malah Karina yang memesan banyak, segala lobster, udang galah, kepiting, cumi-cumi, kerang. Waduuuh… Enak, sih… Bikin Aseng junior berkokok keras. Tapi kolesterolnya gak tahan, cuy.
Karina melakukan sesuatu di balik pintu, menyusul pelayan yang terakhir mengantar semua makanan ini. Sepertinya ia membalik plang di depan pintu dengan bacaan ‘Jangan diganggu/Do not disturb’. Apalagi ini memang ruangan private yang ingin terpisah dari ramainya pengunjung lain di luar sana.
“Pokoknya bang Aseng Karina traktir makan ini semuanya… Harus dihabisin… Gak boleh sisa…” katanya menunjuk semua hidangan yang mengepulkan aroma sedap berbagai macam bumbu yang membangkitkan selera. Aroma seafood kualitas prima menusuk hidung. Bisa kental kek odol spermaku abis ini. Itu yang langsung terbersit di pikiranku. Dipindahkannya sebuah lobster besar asam manis ke piringku. Punggungnya terbelah menampakkan daging putih lembutnya yang disiram kuah bercita rasa eksotis.
“Wah… Awak memang belom makan nih… Tapi gak mungkin-la awak abiskan semua ini…” kataku menghadapi kepulan uap harum lobster asam manis yang langsung masuk ke hidungku. Menerbitkan seleraku. Melihat semua hidangan ini, aku malah jadi teringat pada istri dan anakku. Aku belum sempat menjamu mereka dengan hidangan seperti ini di restoran luar karena aku sering tak punya waktu karena kesibukan.
“Ha-rus di-ha-bis-sin…” katanya memainkan jari telunjuknya bak bandul metronom tiap penggalan kata memperingatkanku dengan gaya yang cukup bossy. Tidak mudah membiasakannya kalo attitude-nya itu tak berlaku lagi sekarang. Tidak ada lagi setan Kuyang yang membuat pesona pengasihan yang selama ini melekat di aura persona-nya mempengaruhi cara pandang orang pada dirinya. Saat ini, orang-orang akan punya pilihan untuk menentukan apa yang patut disematkan padanya. Menurut ato tidak menurut. Setuju ato tidak setuju. Hormat ato tidak hormat. Bos ato kacung.
Sebelas tahun menikmati kemudahan berkat pesona pemikat yang membuat jalan hidupnya menjadi mulus dan mudah tentu melenakannya. Dikiranya itulah potensi sejatinya. Padahal artifisial dan bisa terenggut sewaktu-waktu. Seperti yang sudah kulakukan setelah menebaskan jurus ‘Pedang Selatan Mengiris Sembilu’. Yang memisahkan setan Kuyang itu dari tubuhnya. Membuang semua kemudahannya selama ini. Meninggalkan satu lubang besar menganga di dalam perutnya, yang sewaktu-waktu juga bisa diisi entitas jahat lain, mengisi ceruk itu menggantikan kejahatan yang lama.
Kusantap dan kunikmati semampunya. Kalo sekedar nyicipin satu jenis makanan tentu aku masih sanggup. Makan lobster tadi tapi cuma sejumput daging lembutnya, seekor kepiting, itupun cuma sebelah capitnya yang lumayan gede. Sepotong cumi goreng tepung, nasi goreng seafood pesananku pun cuma masuk beberapa suap serta beberapa sendok raupan sup tom yam. Perut udah kek balon rasanya. Ini cocoknya bawak si Kojek kemari. Pasti abis semua ini diembatnya sendiri. Ah… Sahabat-sahabatku. Gak salah kalo aku nanti mentraktir mereka…
“Masih banyak yang sisa, bang Aseng… Abisin, dong?” kata Karina yang sedang menyeruput lemon tea-nya abis menikmati seekor kepiting cangkang lunak saus Padang. Masih ada sedikit sisa saus di ujung bibirnya yang dibersihkannya dengan tisu. Ia mendesakku untuk menghabiskan semua makanan ini. Gak janji…
“Aduuhh, buuk… Udah kenyang kali awak, buuk…” sahutku sembarangan aja sambil duduk selonjor kaki bersandar di kursi. Satu meja ini penuh makanan laut semua dan aku cuma dalam taraf icip-icip aja. Karina bahkan makan lebih banyak daripada yang aku habiskan. “Gak sanggup-la awak… Nyerah awak, buuk…” perutku udah sakit karena kepenuhan. Kutarik bawah kemejaku hingga lepas dari dalam celana panjangku, memamerkan perutku yang terasa membuncit kek orang busung lapar.
“Heleh… Masih kempes gitu kok dibilang kenyang, bang Aseng…” kata Karina tertawa-tawa setelah melongok bentuk perutku di antara hidangan yang tersebar di atas meja.
“Eh… He he he… Tapi betul-loh, buuk… Udah sakit perut awak, nih… Betol nih…” kataku menurunkan bukaan kemejaku karena perut dengan pahatan keras dan teratur latihan silat harimau Mandalo Rajo, kelihatan tersingkap. Bukannya bermaksud pamer perut six pack ke itu binor tapi perutku memang terasa sangat penuh saat ini dengan karbo dan protein plus kolesterol berlebih. “Ini semuanya enak-enak kok, buuk… Awak cuma jarang-jarang aja makan sebanyak dan seenak ini… Makasih udah ditraktirin kemari… Ini pertama kali awak ke restoran ini…” kataku berusaha duduk dengan tegak lagi. Bersiap untuk omongan serius.
“Heleh, bang Aseng guyon aja… Masa jarang makan beginian… Gak mungkin aja rumah sebesar dan segedong itu pertama kali kemari… Ini mah receh aja kayaknya…” katanya gak percaya. Patut aja ia gak percaya aku merendah begitu kalo ditilik dari mobil yang kukendarai dan rumah yang kutinggali. Kalopun sewa ato rental tentunya harus kalangan berduit yang bisa menjangkaunya. “Bang Aseng setidaknya seorang General Manager ato bahkan seorang direktur perusahaan… Saya dengar malah rumah itu rumah bang Aseng sendiri…” lanjutnya. Cepat juga kabar beredar di blok YY itu.
“Enggak-loh, buuk… Awak cuma pegawai biasa aja di pabrik…” elakku dan ia terus mendesakku untuk membeberkan semuanya. Aku gak perlu membangga-banggakan harta yang merupakan pemberian dan kututup mulutku rapat-rapat. Bukan juga kalo ini semua hasil pencarianku trus aku akan koar-koar. Awak gak kek gitu pulak orangnya. “Gini aja Karina…” aku kembali hanya menyebut nama lagi dengannya dan menghilangkan panggilan sopan ibu ato buk selama berusaha ngobrol akrab tadi. “Kita fokus ke urusan utama…”
Ia paham dan mengubah pembawaan dirinya agar jadi serius walo masih dikelilingi hidangan harum semerbak membangkitkan selera ini. Kami yang dari tadi duduk berhadap-hadapan di meja besar di ruangan private. Pembicaraan ini rencananya akan kubawa ke taraf semi serius karena urusannya adalah urusan ranjang walopun ada sisi bisnisnya lewat beberapa poin perjanjian, seperti yang kerap kulakukan pada binor-binor lain.
“Bagaimana keadaan Karina sekarang setelah tak ada lagi mahluk jahat itu di dalam tubuhmu? Apakah ada perubahan signifikan? Pandangan orang-orang? Cara orang menanggapimu?” tanyaku pada aspek dasarnya dulu. Efek yang menakutkannya ada disini. Interaksi sosial setelah ketiadaan entitas pendukung utamanya. Inilah kenapa di mayoritas agama samawi, hal semacam ini dilarang keras karena menduakan Tuhan. Meminta pertolongan selain kepada Tuhan. Jatuhnya ke kafir! Infidel!
Karina terdiam sejenak. Menerawang dan mengingat-ingat seharian ini. Ini adalah hari pertamanya. Day One tanpa setan Kuyang di dalam tubuhnya…
“Rasanya diriku seperti mengambang… Kakiku serasa tidak cecah menjejak bumi kala berjalan… Seperti ada kekosongan yang sangat besar di dada ini…” katanya menekan dadanya yang berkalung. Matanya menatap berkeliling ruangan luas yang harusnya dapat menampung 10 orang ini. “Serasa keberadaanku sudah gak ada lagi…” lalu menunduk pada sisa cangkang kepiting yang sudah kosong. Aku diam dan menunggu kelanjutannya.
“Benar… Sangat kerasa perbedaannya… Hanya dalam satu hari… orang-orang terasa menjaga jarak denganku… Suamiku yang biasa romantis dengan kata-kata manis memuja… Kini seperti jijik melihatku ketika ku berpaling… Bawahanku di kantor secara halus mulai membangkang dengan jawaban menolak yang dibuat-buat… Gak ada lagi bu direktur keuangan yang cantik dan menawan seperti selama ini… Datar dan membosankan… Tak ada lagi senyum sapa akrab terpukau yang biasa menyapa… Hanya anggukan basa-basi tarikan otot pipi untuk sedikit melebarkan mulut…” ia mulai berkeluh kesah. Nafasnya panjang-panjang menatap kosong ke sana kemari mengingat waktunya seharian ini.
Hening untuk beberapa lama karena ia harus merasakan itu semua dan mengingatnya sebagai hal yang seharusnya terjadi tanpa usaha. Apakah aku bisa membangkitkan rasa percaya dirinya lagi untuk meraih itu semua seperti sedia kala. Aku gak pernah pulak punya sertifikat instruktur sekolah kepribadian untuk mendongkrak rasa percaya perdiri agar menonjol di civil society begini. Sebagai seorang pimpinan sekelas Direktur Keuangan yang penting di institusinya, ia seharusnya punya kharisma dan aura tersendiri yang dapat dipandang para kolega, bawahan apalagi kliennya.
“Sebaiknya Karina bisa memikirkan untuk cuti dahulu… Kembalikan semua mood itu… Semua kepercayaan diri itu… Bangkitkan semua semangat itu… Ini gak mudah… Contohnya awak aja… Ngobrol begini dengan Karina yang keadaannya begini… tentunya akan kurang respect akan status seorang Direktur Keuangan… Bagaimana awak mau invest ato mempercayakan sesuatu pada perwakilan perusahaanmu kalo awak gak bisa percaya dengan orang yang sedang awak ajak bicara ini…”
“Kalo cuma bicara kosong aja… Cuma ngobrol-ngobrol biasa aja… awak ngiranya Karina ini cuma seorang admin kantoran biasa aja di perusahaan itu… Gak mencerminkan apa yang sedang Karina sandang… Keknya itu masalahnya… Yang paling mudah saat ini… cuti… Berliburlah… Lebih baik sendiri…” saranku atas masalahnya. Dalam situasinya saat ini, malah berbahaya untuk kariernya dan bahkan perusahaannya. Ia bisa menyebabkan kerusakan yang bisa merusak reputasinya yang saat ini ada pada puncak kejayaan.
“Sendirian?” ulangnya. Matanya menyelidik untuk meyakinkan dirinya sendiri.
“Ya… Apa istilah kerennya… Kontrasepsi? Bukan… Kontemplasi?” waduh… Itu kata sulit. Pernah baca di buku pinjaman kak Sandra yang kubaca sekilas-sekilas aja sok ngikutin metode baca cepat.
“Apa tidak sebaiknya Karina resign aja?” malah itu kesimpulannya.
“Resign?” ulangku karena kaget. Apa rela perempuan ini resign dari pekerjaannya itu. Yang sudah dirintisnya dari dasar, dijejakinya mendaki walo tanpa perjuangan yang berdarah-darah seperti seharusnya. Seperti apa yang sudah dilakukan kak Sandra. Perjuangannya patut diacungi jempol sebagai peniti karier sejati. Ia merangkak pelan-pelan dari bawah sekali dengan prestasi dan kemampuannya yang murni karena kecerdasan otaknya. Pilihan resign juga yang sama diambil kak Sandra seperti yang disimpulkan Karina.
“Jangan terburu-buru… Makanya awak sarankan berlibur dulu, deh… Cuti seminggu dua minggu, kek… Kalo dalam liburan Karina itu resign adalah pilihan yang tepat… Yang sudah dipikirkan matang-matang… Tidak diputuskan terburu-buru… monggo silahkan ambil pilihan itu…” kataku menghunjuk dengan jempolku kek mau numpang kendaraan.
Karina terdiam lagi mencoba mencerna semua saran-saranku barusan. Menimbang-nimbang mana yang baik diantara terbaik. Walopun selama pengaruh Kuyang, pastinya ada hal yang menempel di kesadaran aslinya. Penilaian dan jam terbang pastinya berpengaruh. “Lalu bagaimana dengan lubang besar yang ditinggalkan setan itu? Cara menutupnya?” ia menatapku tajam karena aku belum menyinggung tentang itu sama sekali. Ia mendengar semua pembicaraanku dengan setan Kuyang itu sebelum aku memutus hubungan mereka berdua tapi tak paham apa maksudnya.
“Yakin mau tau? Nanti Karina syok-loh?” kataku ragu. Aku lebih milih menjelaskan itu di pertemuan-pertemuan berikutnya setelah ia pulang liburan. Pastinya pikirannya lebih rileks, lebih fresh dan lebih terbuka. Lebih terbuka untuk sesuatu yang gila yang sepertinya akhir-akhir ini menjadi spesialisasiku.
“Nanti saya penasaran trus-loh selama liburan… Apapun itu bisa saya pertimbangkan saat liburan nanti, kan?” katanya malah bernegosiasi denganku, terus mendesak agar memberitau maksud ‘menutup lubang besar di perutnya’.
“Begini… Janji jangan kaget dan mikir saya yang macam-macam, yaa?” pastiku terlebih dahulu. Ia mengangguk. Aku berdehem membersihkan tenggorokanku. Minum seteguk air mineral dan menyiapkan diri. “Di dalam dunia klenik-klenik ini… setan, hantu, demit dan kawan-kawannya… sukanya memang mengganggu manusia… Gampangnya jin jahat deh kita sebut mereka… Ada yang sukanya cuma ngegodain manusia… Ini levelnya cuma level rendahan… Kelas bawah… Menyerap rasa takut manusia sebagai energinya, makanannya… Yang seperti Kuyang ini ada di level lebih tinggi di atasnya karena mampu mempengaruhi manusia untuk menghambakan diri padanya… Tentu saja dengan imbalan dan janji-janji manis duniawinya… Pengasihan, kekayaan, kekuatan, apa saja bisa… Tipu daya jin di level ini biasanya ada beberapa tingkatan lagi… Ada yang jangka pendek ada yang jangka panjang… Kuyang yang pernah bercokol di tubuh Karina ini adalah jangka panjang… Masalah apakah setan Kuyang pada keturunan pertama adalah Kuyang yang sama pada Karina itu tidak jadi soal karena mereka ahlinya tipu daya… Bisa aja mereka berganti-ganti karena mereka bisa dengan mudah berbagi informasi… Bukan hal sulit bagi mereka… Ini masih perandaian… Kuyang pada generasi pertama sampai pada generasi keenam benar-benar hanya mencari makan di luar sana… Jadi si setan Kuyang itu murni hanya mencari bayi… darah nifas, anak kecil untuk makanannya di luar dari keluarga intinya… Tetangga ato orang-orang kampung… Tapi… saat jatuh di Karina… ia juga memakan bayi-bayimu… karena ia tidak perlu menjaga keberlangsungan menurunnya ilmu sesat ini di keturunanmu kelak… Dimakanlah bayi-bayi malang itu… hal yang sama sekali tak dilakukannya terdahulu pada nenek moyangmu…” kataku panjang lebar.
“Sampai sini paham, ya?” tanyaku. Ia mengangguk.
“OK… Setelah setan Kuyang itu kulepas dari tubuh Karina… Ia meninggalkan satu lubang besar di dimensi tubuh Karina… Lubangnya tak kasat mata karena hanya mata bathin yang bisa melihatnya… Posisinya di sini…” kutunjuk titik Solar Plexus di bawah dadaku di antara pertemuan katupan tulang rusuk kanan dan kiri. “… trus ke bawah… Sampai sini…” tunjukku ke bawah pusar sekitar tiga buku jari disatukan. Lalu kulakukan gerakan berputar membuat lingkaran imajiner perumpamaan lubang besar itu. “Lubang ini menyerap semua energi hidup dari Karina yang menjaganya tetap eksis… walo gak cukup untuk menjadi sumber makanan bagi si Kuyang selama ini… Lubang ini secara anatomi sangat dekat dengan rahim Karina hingga ia dengan mudah menyantap semua bayi-bayimu… tanpa pembatas…”
Mimiknya berubah jijik mendengar penjelasanku di bagian ini. Wajar dia sangat membenci si Kuyang pukimak itu. Semua bayi yang sangat diharapkan dan dinantinya sirna karena ulah setan culas itu.
“Nah… Sepeninggal Kuyang itu… lubang tetap ada… Tertinggal di posisi yang sama seperti selama ini… Saat inipun… lubang itu masih ada di tempat yang sama… Lubang ini menjadi sasaran empuk bagi jin-jin jahat lainnya yang menginginkan posisi strategis ini untuk berbagai macam kepentingan mereka… Bisa apa saja maunya mereka… Menutupnya adalah jawaban logis, kan? Sebenarnya begini… menutup lubang ini hanya bisa dilakukan oleh yang telah membukanya… Si setan Kuyang itu yang membukanya dia pula yang bisa menutupnya… Tapi dia sudah kumusnahkan… Jangan tanya caranya… Pokoknya dia sudah musnah…” aku hampir mencapai pada inti masalahnya.
“Jadi gimana cara menutupnya kalo si setan yang membukanya sudah musnah? Dalam hal klenik begini… kata-kata terakhir si setan Kuyang tadi bisa dijadikan acuan… Wasiat… Sebuah wasiat… Kata-kata wasiatnya adalah… ‘Bibit dari tuan akan menyegel lubang besar itu untuk selama-lamanya… Bukan begitu, tuan ber-mandau Panglima Burung?’… Itu adalah wasiatnya… Tuan ber-mandau Panglima Burung yang dimaksudnya adalah awak sendiri… Nah… awal kalimat ini yang agak susah awak menyampaikannya kepada Karina karena sangat vulgar sekali…”
“Teruskan aja, bang Aseng… Saya sudah menangkap esensinya…”
“Esensinya?… ‘Bibit dari tuan akan menyegel lubang besar itu untuk selama-lamanya’… Vulgar karena bibit yang dimaksudnya adalah air mani awak… Sperma awak… Hanya sperma orang yang mengalahkannya yang bisa menutup lubang besar itu untuk selama-lamanya…” tutupku dengan sangat mencengangkan sekali. Aku ragu-ragu menyampaikan ini semua sebenarnya tapi meluncur begitu. Sudah terucap. Tak ada yang perlu disesali.
Karina bersandar di kursinya dan memandangiku. Aku gak bisa menilai ekspresinya karena kepalaku sendiri terasa panas.
Bersambung