Part #42 : Hendra dan Miranda
Seorang agen biro properti yang berkecimpung di bidang jual beli dan sewa menyewa rumah menemani kami yang meninjau rumah di kompleks yang isinya melulu orang kaya ini. Istriku lebih banyak diam sepanjang sang agen menunjukkan bagian-bagian rumah mewah ini sambil masih menggendong Salwa. Rio udah keliling sendiri menjelajahi rumah ini.
“Tinggi tembok pagar keliling ini dua meter setengah agar privasi seisi rumah lebih terjaga… Anak-anak bapak ibu juga lebih aman kala bermain di halaman yang cukup luas ini…” kata sang agen berjenis kelamin betina ini. Pande kali ngomong mahluk cantik ini. Ia masih mulai pada fitur keamanan rumah ini pada bagian depan. “Total 4 mobil yang bisa diparkirkan di dalam basement itu, bapak-ibu…” tunjuknya pada bukaan menurun di kiri bangunan. Gile, cuy. Parkirnya basement, kek mol aja. Rumah ini totalnya jadi ada 3 lantai kalo basement itu ikut dihitung juga.
Sebuah remot ditekannya untuk membuka rolling door basement itu. Kami turun ke bawah sana. Tidak terlalu pengap karena tingginya standar bangunan biasa dan berventilasi cukup juga mengingat akan banyak asap disini. Memang benar, tempat parkir mobil ini sepertinya memang muat menampung 4 mobil sekaligus plus satu ruang kosong untuk mundur ato berputar arah bila masuk bagian kepala mobil duluan. Ada dua kamar untuk ART di bawah sini dan cuci-gosok. Tinjau sini situ kami keluar lagi ke halaman.
Berkat basement tadi, lantai pertama bangunan ini jadi lebih tinggi dari level halaman sehingga ada beberapa anak tangga yang harus dinaiki. Kupanggil Rio yang sedang berusaha menangkap capung di rimbunan bunga di sana. Kami berada di ruang tamu luas khas rumah borjuis. Ini gak kalah sama rumah yang dimiliki Hendra dan Miranda. Furniturnya keliatan mahal dan bagus-bagus. Loh… kenapa ada furniturnya? Kapan aku belinya? Ini memang furnitur asli rumah ini, jadi penyewa tinggal bawa pakaian aja karena semuanya sudah lengkap tersedia makanya rumah ini laku keras kek kacang itil eh kacang goreng. Sang agen membawa kami ke bagian ruang makan dan dapur yang dirasanya sangat krusial untuk ditunjukkan ke nyonya rumah ini, memamerkan semua fitur kelengkapannya.
Kalo diliat dari ekspresi istriku, mukanya cuek-cuek aja datar gitu. Tapi waktu ngeliat kulkas segede megazord. Kompor gas dan microwave terkininya matanya mulai melotot. Ia menjelajahi dapur itu dengan antusias seperti seorang kolonial yang berniat menjajah 3,5 abad lamanya. Semua pintu lemari yang punya gagang dibukanya tanpa kecuali untuk mengetahui isi di dalamnya. Bagus kalo begitu. Sudah sedikit mendapat perhatiannya.
Meninjau tempat-tempat lainnya di lantai dua. Rio udah mengklaim satu kamar untuk jadi miliknya karena sepertinya itu memang kamar anak-anak. Di deretan sini ada dua kamar anak yang berpintu biru langit dan pink. Rio ngeklaim kamar berpintu biru langit dengan pernak-pernik balapan mobil. Cucok deh… Ia sudah lompat-lompat girang di atas ranjang berpegasnya. Berhenti mendadak karena melihat sesuatu di jendela besar, diintipnya ke bawah lalu tereak histeris. “KOLAM RENANG!!”
Ngibrit anak lajangku yang baru genap lima tahun itu untuk turun lagi ke lantai dasar karena kolam renang yang dimaksudnya ada di sana. Kutangkap tubuh mungilnya yang enerjik karena bahaya kalo dia maen jebur aja karena aku sendiri gak tau kedalamannya seberapa. “Sabar ya, anak papa… Iya… Nanti kita berenang di sana… Nanti… Sabar, ya?” Segala macam celotehannya karena ia ingin sekali mencoba kolam renang itu sesegera mungkin mengalahkan antusiasnya akan kamar yang baru saja diklaimnya. Rona bahagia sedikit terpancar dari istriku melihat anaknya sangat menyukai rumah barunya ini. Tour kembali diteruskan setelah diinterupsi Rio barusan.
“Kalau bapak dan ibu berniat untuk memakai rumah ini… saya sarankan untuk memakai kembali para ART yang sebelumnya bertugas disini… Mereka sudah bekerja disini sejak awal… Melayani berbagai tenant sebelumnya… jadi tidak usah repot menjelaskan pekerjaannya atau mencari yang baru…” kata sang agen. Kami duduk-duduk di samping kolam di bawah gazebo sambil mengawasi Rio yang jebar-jebur sesukanya hanya pake sempak di kolam renang yang ternyata ramah anak. Ada dua kolam bahkan di sini; yang dangkal berukuran kecil dan yang dalam lebih lebar.
“Ada berapa orang?” tanyaku. Istriku melirikku karena untuk rumah sebesar ini, pasti cukup banyak ART yang mengurusnya.
“Ada 4 orang, pak… Untuk memasak, cuci-gosok, membersihkan rumah dan satu tukang kebun… Saya bisa tambahkan baby sitter untuk dedek cantik ini…” katanya sambil menjawil Salwa yang menandak-nandak senang ngeliat abangnya maen air di sana. “Kolam ini biasanya dibersihkan dua kali sebulan oleh tukang kebun yang juga merangkap water treatment kolam ini… Seperti yang bapak lihat sendiri… tanaman yang diurusnya tidak terlalu banyak…” bergantian ia menatapku dan istriku. “Rincian gaji mereka berempat bisa dilihat di sini…”
Istriku cepat-cepat menyambar lembaran kertas itu untuk melihat profile keempat orang yang biasanya bertugas di rumah ini. Setelah dibacanya diserahkannya padaku. “Beliau ini mahir memasak makanan Nusantara dan internasional karena kebanyakan yang menjadi tenant rumah ini sebelumnya banyak ekspatriat…” jelasnya tentang wanita yang berumur pertengahan 40-an yang menjadi juru masak. “Gaji beliau yang paling besar lalu tukang kebun… karena dia juga mahir memperbaiki kalau ada apa-apa yang rusak… Di tukang cuci-gosok dan membersihkan rumah saya rasa cukup dari standar-lah…”
Mata istriku dari tadi ngeliatin aku terus yang membaca profil para ART ini juga besaran gajinya. Pasti dia akan protes kalo gak ada sang agen di sini perihal besar gaji yang lumayan gede untuk ukuran ART. Tetangga kami di Mabar yang mempekerjakan ART, yang lumayan berada, gak sampe segitu menggaji ART-nya. Gaji sebulan mereka berempat digabung sebenarnya masih kalah dengan gaji Suhendra. Paling lama kami cuma dua bulan di sini. Dan Hendra rela tidak digaji setahun ini. Bisa dialokasikan kesana. Hmm.
“Mama perlu baby sitter nggak?” tanyaku sebelum mengambil keputusan. Ada tambahan tarif gaji kalo mengambil opsi menambah layanan ini. Yo hoho. Ini akal-akalanku aja sebenarnya karena dari tiga ART perempuan yang biasa bekerja disini itu semuanya seumuran. Notabene udah STW semua alias tuwir. Tambahan opsi baby sitter akan menyegarkan barisan penghuni rumah ini karena biasanya baby sitter ini masih muda-muda gemes gitu baru lulus pelatihan. “Biar mama bisa istirahat dulu… Mama papa liat udah terlalu letih selama ini…” kataku.
“Atau malah dua, bu… Babang ganteng itu sepertinya sangat enerjik… Harus ada yang selalu menemaninya selama di rumah… Atau menemaninya di sekolah?” tawarnya tentang Rio yang loncat dari tepian kolam nyebur menyipratkan air sambel treak-treak girang memanggil adiknya supaya bergabung dengannya. Ambil kesempatan nih si agen.
“Satu aja…” jawab istriku pendek dengan kening berkerut. Fix aku akan ngedrop dia di salon terdekat abis ini.
—————————————————————————-
Matanya liar menatap bubungan tinggi berwarna merah putih yang menjadi ciri khas bangunan tiap SPBU Pertamina. Tiang tinggi dengan logo Pertamina juga daftar harga BBM per hari ini. Aku melihat pantulan wajahnya di kaca samping mobil dimana ia duduk bersandar saat kuhentikan Pajero di seberang jalan. Matanya pelan-pelan menjilati tiap pemandangan SPBU yang terbentang dari kiri ke kanan. Antrian mobil dan motor yang hendak mengisi bensin. Hilir mudik para pekerjanya. Parkir berjejer beberapa kendaraan yang berhenti di depan franchise ayam goreng dan pizza.
“Kantor papa di atas sana… Lantai dua…” tunjukku agak membungkuk untuk menunjukkan posisi ruangan kaca di gedung mentereng berlantai tiga itu. “Makanya papa sering pulang telat itu… yaa kemari…” jelasku. “Ngurusin galon ini…” sambungku lagi menekankan kata ‘ngurusin galon’. “Mama gak marah, kan?”
“Kenapa mesti marah?” jawabnya pelan tapi datar. “Mama cuma masih gak ngerti kenapa ajo Mansur ngasih semua ini ke kita… Dan kenapa baru memberitau ini semua ke mama sekarang?” katanya memandang lurus ke depan. Keknya dia tersinggung gitu. Aku tau perangainya.
“Karena inilah papa gak mau ngasih tau awalnya… Tadinya mau papa sembunyiin aja selamanya… Tapi gak betol pulak… Kalian berhak mendapatkan hidup yang lebih baik dari yang sekarang ini… Rasanya gak betol membiarkan mama dengan segala macam kerepotan ngurus rumah… ngurus anak… Padahal papa bisa menggaji orang untuk membantu mama ngerjakan semua itu… Papa tau mama hepi-hepi aja ngerjakan semua itu… Tau, maaa… Tapi balik lagi ke tadi… kalian berhak untuk mendapatkan yang lebih baik…” jelasku. Ngomong berdua saja dengannya baru bisa kuungkapkan semua ini. Sementara Rio molor kecapekan di kursi belakang, terikat seat belt, Salwa digendongan mamanya. Ia masih gak bergeming walo kepalanya pasti penuh.
“Soal ajo Mansur… Papa juga gak ngerti… Katanya hibah… Mama boleh cek dokumennya nanti di notaris… Ada lengkap semua dokumen hibahnya… Papa cuma membantu dia… Ngasih nasehat… Mama jangan cerita siapa-siapa, ya?” kataku mencoba menarik perhatiannya yang terus bungkam. Ia melirikku masih dengan kening berlipat. Aku belum ngedrop dia di salon.
“Apa?” aku berhasil memancing insting gosipnya.
“Janji ya gak ngasih tau siapa-siapa? Kalo jumpa ajo Mansur sekalipun… mama pura-pura gak tau aja…” kataku menambah bumbu gosip agar lebih gurih.
“Iya-iya… Apa?” ia tambah penasaran akan bumbu gurih itu.
“Manuk’e ra iso tangi…” (burungnya gak bisa bangun) kataku memakai bahasa daerahnya. Tinggal di Mabar yang mayoritas penduduknya bersuku Jawa memaksaku harus belajar bahasa ini sedikit demi sedikit. Tapi ya… bahasanya Jawa Deli gitu. Nyampur-nyampur dengan kearifan lokal.
“Tapi tiga-tiga biniknya udah hamil?” kaget istriku mendengar gosipku. Tambah berkerut keningnya sampe keriting. Tentu ia sudah tau kabar kehamilan ketiga istri ajo Mansur karena mereka bertukar pin BBM dan akun fesbuk juga. Pasti kebahagiaan itu sudah dibagi di lini masa.
“Sebelum itu-loh, maa…” kataku menjawab keheranannya. “Waktu kita liburan di Bukit Tinggi itu baru bisa greng… wik iwik… cublak-cublak suweng… bukak sithik-Joss!” kataku malah joget-joget memperagakan gerakan saru kek orang senget sampe mobil ini bergoyang-goyang. Hilir mudik di jalanan mungkin ada yang ngeres mikir ini ‘mobil goyang’ nekat siang-siang.
“Papa yang ngobatin pake Menggala-Menggala itu?” tebaknya. Salwa menggeliat bangun di gendongannya karena gerakan sablengku barusan. Buru-buru ia menyingkap kancing baju gamisnya dan menjejalkan payudara kirinya pada bayi kami itu. Salwa urung rewel dan damai lagi dalam kehangatan pelukan bundanya. Aku meneguk ludah meliat itu semua. “Apa?… Matanya biasa aja… Iya? Papa obatin?” sambungnya.
“Cuma papa pijet-pijet tangan sama kakinya… Nyuruh dia minum jamu-jamu gitu… Padahal udah kemana-mana dia berobat… Eh… lah dalah sama papa sembuh… Manuk’e iso tangi mene… Bisa icikiwir, dee…” kataku ngarang aja. Ini sudah kusinkronkan dengan ajo Mansur sebenarnya karena di versi yang ia ceritakan ke ketiga istrinya, aku memang mengobatinya dengan cara itu. Ada aliran darah yang tersumbat dan terganggu, aku memperbaiki itu semua dan ia sembuh.
“Oo… Pantesan bahagia kali keknya orang itu betiga ya waktu liburan itu… Baru belah duren rupanya… Gitu-gituu…” ingatnya akan ekspresi senang ketiga istri ajo Mansur kala liburan beramai-ramai itu. Mungkin dia ingat masa-masa belah durennya juga. Andaikan kau tau, wahai istriku… siapa yang membelah duren ketiga perempuan langsing itu…
“Jadi… Ini semua bentuk terima kasih ajo Mansur karena udah membantunya?” ulang istriku.
“Katanya sih begitu ngomongnya… Ajo Mansur itu udah 50 tahun-loh umurnya… Udah gak muda lagi… Kalo berlarut-larut dia tambah lama punya keturunannya… Malah makin gak karuan jadinya… Seterusnya dan seterusnya… Gitchuu…” kataku gak mau panjang lebar kali. Nanti malah melanggar perjanjianku sendiri, pasal dua; gak boleh membicarakan perjanjian ini dengan siapapun.
“Iya juga, yaa… Cespleng juga dia langsung bunting tiga-tiga biniknya… Kek kita jadinya…” katanya malah membandingkan dengan kami berdua. Glek! Memang ada sahamku disana… Ntah-pun pulak tiga-tiganya anakku. Ia geleng-geleng kepala. “Berarti banyak kali-lah duit ajo Mansur itu, yaa? Dikasihnya galon ini-pun kek ngasih apa aja dibuatnya…” kagumnya.
“Omset galon ini 300-350 juta sehari, maa…”
Mulutnya berbusa… *kidding. (Why so serious?)
—————————————————————————-
Nyari kontraktor untuk renovasi rumah kami di Mabar ribet juga ternyata karena proyeknya gak terlalu besar. Kalo cuma nyari pemborong/kontraktor kecil sih banyak di seputaran sini tapi ada aja kendalanya. Akhirnya pilihanku jatuh pada seorang pemborong yang biasa membangun perumahan. Beberapa orang tukang dikerahkan untuk melaksanakan renovasi rumahku.
Beberapa furnitur rumahku yang rentan rusak dikumpulkan di ruang tengah, yang minim mendapatkan sentuhan. Ketika beberapa bahan material datang ke halaman rumahku yang luas tentu saja, beberapa tetangga kepo, dong. Apalagi istriku gak ada bilang apa-apa ke mereka langsung ngilang gitu aja ngungsi ke kompleks XXX dengan anak-anak. Jadilah aku yang harus jawab-jawab pertanyaan mereka.
“Iya, bu… Itu… mau nambah kamar di belakang sana… Di depan ini juga dibesarin dikit… Buat garasi juga… Eh… Iya-iya…” jawabku sekenanya aja. Tapi ada satu mata yang menatapku tajam di barisan belakang sana. HP-ku bergetar dengan notifikasi BBM masuk. Ia baru saja menekan tombol kirim dari gadget-nya di sana.
Yuli: gitu yaa… pindah gak bilang2
Aku cuma bisa cengengesan sambil garuk-garuk sekalian menjawabnya. “Enggak pindah kok, bu… Cuma ngungsi aja, kok… Mamanya anak-anak takut si kecil kena debu… Tuh liat…” kataku pada beberapa ibu-ibu rumpi, menjawab pertanyaan Yuli juga. Kepulan debu yang bertumpuk lama di salah satu bagian rumah yang tak terjangkau pembersihan istriku.
“Rumahnya mau dirubuhin, bang Aseng?” tanya seorang perempuan lagi yang baru berhenti dengan motor matic-nya. Si Iva cantik dengan long dress yang biasa dikenakannya, walo perut mulai membuncit. Ada belanjaan untuk kede-nya di jok belakang.
“Enggak, bu Ipa… Cuma renovasi dikit aja…” jawabku sekenanya.
“Renovasi kok banyak kali tukangnya?” selidiknya. “Abis ini pasti mau dijual, ya?” ada nada khawatir kutangkap di sana. Di ekor mataku kulihat ada tambahan satu lagi yang bergabung di beberapa ibu-ibu gang. Abis aku dikeroyok sekarang. Itu adalah Pipit. Tumben dia keluar jam segini. Apakah olah raga? Kalo ada Aida lengkap sudah semua binor yang sudah kuhamili di gang ini. Panjang umur… Itu dia datang berjalan mengangkang-ngangkang dengan perut buncit besarnya. Tambah semok binor itu sekarang di hamil tuanya. Teteknya bertambah besar aja, apalagi pantatnya. Yummy.
Selesai tanya jawab, aku harus balik langsung ke pabrik. Gak bisa lama-lama di sini. Aku sudah mempercayakan semua pembangunan dan renovasi ini pada sang kontraktor dan sesempatnya aja ngecek. Paling kalo lagi lowong banget di jam istirahat nanti.
“Jadi lu tinggal di blok YY itu, Seng?” tanya kak Sandra ketika aku selesai menyerahkan laporanku padanya. Blok YY adalah kluster dimana rumah yang kutinggali sementara ini dengan istri dan kedua anakku. Bareng sama beberapa orang ART, sih.
“Mulai tadi malam sih, kak… Cuma bawa baju-baju aja… Jadi gak terlalu repot pindahannya…” jawabku mengambil tempat duduk di depannya.
“Wa cuma heran aja… Dengan duit lu sebanyak itu ngapain juga lu masih tinggal di Mabar… Tinggal aja permanen di XXX… Lu kontrakin ato lu jual aja sekalian rumah lu di gang itu…” kata kak Sandra mengenai rumah yang sedang direnovasi itu. Aku sudah menceritakan padanya semua tentang aku yang sudah memberitau istriku tentang kondisi keuangan kami saat ini. Ia sempat memberi pendapat untuk menyembunyikannya dari istriku karena khawatir akan reaksinya nanti.
“Binikku gak mau, kak… Kakak bayangin aja… Arisan berlian ada… Arisan panci mana ada disitu… Apa ada perwiritan (pengajian) di kompleks itu?… Mesjid aja jauh di depan sana sedang blok kami di belakang kali… Kanan kiri kami banyakan panlok melulu… Di belakang bahkan ada bule yang suka berjemur cuma pake sempak aja… Sayangnya udah uwak-uwak (tua)…” kataku memberi alasan. “Jadi kalo sebulan-dua bulan bisa-laa…”
“Cibay, lu…” makinya.
Aku masih harus menjawab berbagai macam chat dari para binor bunting itu.
Aida: jd nanti awak lahiran abg g bisa nungguin la?
Kan bingung cemana cara awak ngejawab pertanyaan kek gini. Sementara dia punya lakik sendiri, masa aku yang dimintanya menunggui, menemaninya waktu melahirkan bayinya dalam waktu dekat nanti. Memang sih itu anakku…
Aseng: he he he sehat2 ya bu sm bebinya. usg nya cewe apa cowo
Aida: gak. aida mau surprise aja
Berhasil aku mengalihkan pembicaraan dari disuruh nungguin lahirannya. Yu hu… Nanti abis itu disuruh nanggung jawabi pulak. Modhar aku.
Iva: gimana nnt kalo Iva pengen kangen2an sm bg aseng?
Aseng: mancing lg lakikmu?
Iva: lg nonton mancing mania dy
WKKKK. Paok kali si Toni. Ada istri bohay secantik Iva malah nonton mancing mania pulak dia. Gak tau dia biniknya sedang chatting dengan lakik orang minta di’oho-oho’in. Aku guling-guling hampir nyebur kolam. Aku duduk-duduk di samping kolam karena suhunya lebih sejuk di luar sini. Dengan tambahan tanaman yang menghiasi pinggiran kolam juga penerangan yang memadai, tempat ini lebih dari nyaman.
Ppt: gimana? bagus kan?
Pipit baru aja mengirimkan sebuah foto dirinya dengan sebuah lingerie baru yang sekseh sekale, beibeh. Ini mungkin lingerie terbaru yang dibelikan suaminya, si Imran. Malah debutnya dipamerkan padaku lagi. Kemana pulak malam-malam gini si Imran itu piginya. Meninggalkan Pipit sendirian di rumah nyobain lingerie baru.
Aseng: bagus dong sexy abis
Ppt: jd pengen kah?
Kepalaku kucelup-celupkan ke dalam dinginnya air kolam kek teh celup untuk meredakan panas kepalaku. Brrr…
Mendadak ada perasaan gak enak menyerbu perutku. Kek mules-mules sesak boker tapi bukan. Mual sedikit kek mau muntah. Apa aku ikut hamil, ya? Paok!
“Kyuuk kuuk kyuuk kuuuk…” sesuatu melintas di atas ketinggian. Bagi orang awam itu mungkin akan disangka sebagai burung malam yang terbang hendak mencari sesuap nasi. Halah… ada burung nyari nasi? Suara itu yang menyerupai suara burung bentar-bentar lagi melintas di atas kepalaku. Weit e minit…
Benda itu bukan hewan jenis unggas terbang seperti yang kukira. Sebuah benda agak bulat dengan buntut panjang seperti burung merak. Ekor itu agak absurd kalo dipaksakan sebagai ekor karena ada untaian-untaian bergelombang kek rambut atau gelongongan usus. Benda terbang yang ternyata sangat menyeramkan. Kimbek aku tau itu apa… Palasik!
Mampus aja kao kalo kao berani-berani ke rumahku ini!! Kucincang-cincang jeroanmu pakek mandau-ku. Entah benar palasik ato malah kuyang, sama aja aku gak peduli. Di rumahku ada anak bayi yang menjadi incarannya. Jangan macam-macam kao di rumahku. Walau rumah ini baru saja kutempati, aku tidak lupa memasang pagar ghaib seperti halnya rumahku di Mabar dengan pagar ghaib berlapis-lapis. Tapi aku gak tau senekat apa siluman yang barusan terbang melintas itu berani menembusnya.
Kutunggu ia turun ke atap rumahku tapi tak kunjung dilakukannya. Ia terus terbang melayang dengan membawa isi perutnya yang bergantungan dari lehernya. Berarti dia tidak sedang mengincar bayiku. Ada bayi lain di sekitar blok YY ini yang menjadi incarannya. Aku baru dua malam di sini jadi gak terlalu mengenal para tetanggaku. Mungkin ada yang baru melahirkan ato punya batita. Bisa apa aja tergantung kesukaan jenis palasik ato kuyang ini.
Ini gak bisa dibiarin. Aku tau ribetnya ngurus bayi jadi tau kesusahan apa yang akan dihadapi orang tua bayi kalo sampe anaknya diganggu siluman durjana ini. Sebagai informasi aja, kekuatan Menggala tidak terbatas di ruang supranatural saja kiprahnya. Di dunia nyata kekuatan kami tidak berbeda. Hanya sebagai pencegahan, ada kesepakatan tidak tertulis antar Menggala kalo ingin melakukan pertarungan untuk melakukannya di ruang supranatural itu agar tidak menjadi kehebohan di dunia nyata. Itu makanya aku dengan enteng melompati pagar rumah setinggi dua setengah meter memakai bakiak Bulan Pencak dan mandau Panglima Burung terhunus. Kukejar ke arah terbangnya kepala dengan isi perut itu menuju.
Bayangan titik hitam di langit menandakan bentuk siluman jahat itu di atas atap rumah salah satu warga blok YY ini. Jaraknya sekitar 9-10 rumah dari tempat tinggalku. Terdengar suara menggebrak-gebrak beberapa kali. Kepala palasik ato kuyang itu menabrakkan dirinya pada atap genteng rumah itu agar bisa masuk. Aku sebenarnya serba salah juga mau menghajar si setan pukimak itu nanti lingkungan ini jadi heboh. Tapi si pukimak itu terus sok jago menabrakkan dirinya untuk memasuki rumah itu. Beberapa keping genteng sudah hancur dibuatnya. Sementara di dalam rumah terdengar suara tangisan bayi sayup-sayup. Benar ada bayi di dalam sana yang sedang diincarnya.
Naek tensiku dibuatnya nengok tingkah setan satu ini. Kulempar bakiak Bulan Pencak sebelah kanan ke arahnya. Luput! Kepalanya menerobos masuk ke dalam rengkahan genteng duluan dan hanya meninggalkan isi perutnya yang terburai menggantung di luar atap. Pasti horor sekali pemandangan yang kini sedang dihadapi para penghuni rumah mendapat serangan setan seram kek gitu nongol dari eternit. Terdengar suara jeritan histeris dari dalam rumah. Dari suaranya, vokal perempuan. Kemungkinan sang ibu dari bayi tersebut. Ditingkahi oleh suara tangisan bayi yang makin memilukan. Kasihan kau, nak. Harus menghadapi bahaya mengancam nyawa langsung kek gini.
Lompat ke atap rumah itu, kutarik sisa isi perut yang masih tertinggal berupa usus dua belas jari keknya. Kubetot kuat dan kutarik sekencang-kencangnya kek narik tambang Agustusan. “KYUUUKKK!!! KUUKKK!!! KYYUUUKKK!!!” jerit siluman itu kesakitan. Kepalanya nyangkut di pecahan genteng dan kubetot kuat untuk terakhir kalinya. “KUUUKKK!!!”
Karena licin tekstur jeroan tubuhnya, peganganku yang membetotnya terlepas. “Whoo… Woo… Ahh… Kimbek!!” berguling-guling aku jatuh dari kemiringan atap genteng rumah mewah yang diserang palasik/kuyang itu. Aku mendarat di halaman rumah bertepatan dengan terbukanya pintu rumah dan keluarlah seorang pria yang memakai sarung dan memegang sebuah senter. Dibelakangnya mengekor seorang wanita yang ketakutan terlihat dari wajahnya basah oleh air mata. Aku langsung bangkit dan mencari keberadaan setan pukimak itu. Itu dia… Terbang kek pengecut melarikan diri dengan jeroan mirip ekor yang berjuntai-juntai.
“WOOY!! AMBEK HADIAHMU PAGI NANTI JAM TUJUH!!!” tereakku kuat-kuat agar ia mendengar suaraku. Sejenak ia berhenti lalu lanjut terbang menjauh.
“Apa i-itu, pak?” ternyata kedua orang itu juga sempat melihat arah terbangnya si setan itu walo takut-takut. Yang barusan nanya itu sang pria yang kutilik lebih mirip pembantu di rumah ini karena sarungnya. Mukanya ketakutan pucat pasi gak matching dengan besar tubuhnya. Yang perempuan masih muda dan cantik walo juga pucat ketakutan abis nangis kejer. Kalo ini kemungkinan anak pemilik rumah ini.
“Kalian sempat ngeliat, ya?” tanyaku harus nanya dulu sebelum kujelaskan.
“Dia ngejebol langit-langit kamar dede… Kayaknya lagi ngincar dede, gitu… Mukanya serem… Lehernya putus gak ada badannya…” jelas si gadis cantik masih gemetar di balik tubuh si pria.
“Berarti adek sempat ngeliat jelas mukanya, kan?” tanyaku mencoba ingatannya. Ia mengangguk beberapa kali dengan cepat. “Coba ingat…” aku menunjuk penghubung antara hidung dan bibirku. “… ada lekukannya di sini gak?” tanyaku merapat padanya. Pupil matanya masih melebar pertanda ia masih syok dengan kejadian barusan.
“Ada… ada-ada…” ia mengangguk-angguk lagi. Si pria bertubuh besar memakai selempangan sarung itu juga ikut mengangguk-angguk yakin dengan apa yang dilihatnya.
“Kau juga liat jelas?” tanyaku pada si pria.
“Iya, ba~ang…” jawabnya mengalun. Kimak! Bencong si borjong satu ini rupanya. Mendayu-dayu pulak suaranya. Baluap-baluap!
“Kuyang… Yang tadi itu namanya siluman Kuyang…” simpulku.
—————————————————————————-
Secara umum ada tiga nama yang hampir mirip operandi penampilan silumannya seperti entitas yang kali ini kuhadapi. Palasik, Kuyang dan Poppo/Pok-pok. Kepala yang terbang melayang membawa isi perut tanpa tubuh untuk mengincar bayi yang masih dalam kandungan, baru lahir dan/ato anak balita. Darah nifas-pun suka juga dia. Palasik kebetulan berasal dari kebudayaan Minang, kampung halamanku sendiri. Kuyang berasal dari Kalimantan sedang Poppo/Pok-pok dari kebudayaan Sulawesi. Di masing-masing daerah asalnya, teror ini sama-sama menakutkan bagi siapapun.
Ketiga nama di atas tersebut sebenarnya adalah satu jenis ilmu hitam yang berkaitan tujuan apa yang ingin pelaku capai dengan bentuk yang mirip-mirip. Dengan memakan janin, darah nifas, anak bayi ato anak kecil, ilmu yang mereka tuntut itu akan semakin kuat seiring banyak/seringnya pelaku melakukan ini. Ilmu ini juga bisa menurun tanpa diketahui orang yang mengidapnya. Ilmu ini menurun sampe 7 turunan dan terhenti di keturunan ke-8. Saat jin jahat yang menginisiasi ilmu hitam ini menuntut makanannya untuk mengasah, memperkuat ilmu kesaktiannya, leher pemilik ilmu ini akan terlepas dari tubuhnya dan membawa isi jeroan perutnya serta, terbang mencari mangsa empuk. Pengetahuan umum dan lebih sering terlihat pemakai ilmu ini adalah perempuan. Sebenarnya laki-laki dan perempuan sama saja. Hanya saja bila pelakunya laki-laki, dia cenderung untuk memangsa hewan dibanding perempuan yang mengincar bayi manusia.
“Jadi… yang tadi itu Kuyang dari Kalimantan ya, pak?” tanya gadis cantik bernama Vivi ini yang kalo kutaksir paling 23-an tahun. Kami meninjau kamar di lantai 2 yang tadi sempat ditembus sang Kuyang. Eternit langit-langit kamar tepat di atas box bayi bolong menganga sampe terlihat langit malam di atasnya. Vivi menggendong sang bayi yang syukurnya belum sempat diapa-apain sama itu Kuyang.
“Ya… Kuyang… Kalo Palasik biasanya ini… lekukan antara hidung sama bibirnya gak ada paritnya… Polos gitu aja… Ini Kuyang karena suaranya kuk kuk gitu… Kalo Poppo suaranya po po po… Ini anakmu, Vi?” tiba-tiba aku menanyakan itu karena dari tadi gak ada sang ibu yang kukira akan datang menenangkan sang bayi. Ini malah gadis semuda Vivi yang mengemong ini orok.
“Iya, pak… Kenapa?” Vivi tiba-tiba bersifat defensif dengan memeluk bayi itu erat-erat. Bayi itu paling-paling baru berumur seminggu kurang lebih dan Vivi tidak ada tanda-tanda baru bersalin walo pake prosedur cesar paling canggih-paling mahal sekalipun yang membuatnya sedemikian enerjik bisa lari-lari naik turun tangga tadi. Payudaranya yang montok besar tidak bisa menjadi alasan ia menyusukan ASI pada bayi merah itu. Pake susu formula botol juga-nya bayi itu waktu kulirik kaleng susu dan botol susunya di sudut sana. Apalagi aku ragu kalo si bencong borjong kekar ini sebagai suaminya.
“Bukan begitu cara ngegendong bayi baru lahir, Vivi… Punggung dan lehernya masih lemah dan rapuh…” kataku memperingatkannya. Si bencong itu menggeleng-geleng setuju denganku. Seperti ada yang akan dikatakannya tapi ragu karena aku masih terhitung orang asing di sini. Jadinya dia gak berani bicara yang lancang. “Makanya awak tanya tadi… ini anakmu ato gimana? Kalo belum bisa… pake jasa baby sitter aja…” kataku memberi saran. Anak zaman sekarang suka sembarangan. Merawat bayi dibuat main-main. Ini ada nyawanya bukan boneka yang bisa dibuang kalo bosan.
“Baby sitter-nya baru datang besok, pak… Kami baru pulang dari rumah bersalin…” jelasnya berusaha memperbaiki posisi menggendong bayi. Aku ngeri-ngeri sedap ngeliat anak itu memperlakukan bayi merahnya kek gitu. Pulang dari bersalin persiapannya cuma segini. Mereka ini orang berada… Masa cuma nyiapin box bayi, beberapa potong pakaian bayi, berbal-bal diapers sekali pakai, sebotol minyak telon, sekaleng susu formula dan sebuah botol susu. Anakku sudah dua-nih kan, woy… walo saat itu ekonomi kami gak sebaik sekarang, persiapan kami jauh lebih matang dari yang sekarang mereka punya untuk seorang bayi yang sangat berharga ini.
“Oh… OK… Awak sebenarnya gak terlalu perduli kalo bayi ini baru kalian adopsi dari ibunya yang gak mampu… Tapi bayi tetaplah bayi… Ia butuh perawatan yang sangat telaten karena ia masih sangat lemah…” gumamku tembak langsung aja.
“Ketauan kan, Vi~~?” kata si bencong borjong itu malah keceplosan mengaku.
“Kau periksa dapur… Kumpulkan semua bawang merah yang ada… Ambil semua kulitnya dan bakar di depan pintu sana… Itu bisa menjauhkan Kuyang datang lagi untuk sementara ini…” perintahku pada si bencong. Ia mengangguk-angguk patuh dan langsung cabut menuju dapur untuk tugas mengumpulkan bawang merah. “Pindahkan bayi ini dari sini… Nanti awak bantuin mindahin box bayinya juga…” kataku pada Vivi.
Cukup banyak kulit bawang merah kering yang dapat dikumpulkan si Benget (si bencong kekar itu) dari dapur. Asap bakarannya mengepul membumbung tinggi dengan aroma khasnya. Aroma asap pembakaran kulit bawang merah sangat ampuh untuk menjauhkan datangnya Kuyang ke rumah. Lalu berdua dengannya kami menggotong box bayi itu pindah ke kamar di lantai satu. Sang bayi cantik itu tidur dengan nyaman setelah sempat terganggu istirahat berharganya. Vivi menjagainya dengan seksama. Aku dan Benget berjaga di depan pintu sambil ngopi sachetan.
“Kalo mau ngomong-ngomong aja, Nget… Jangan pasang muka sange gitu ke awak… Gak selera aku…” ketusku ke mahluk satu itu. Walopun badannya sebesar itu, gak takut aku. Dia gigit-gigit kuku jempolnya kek ada yang mau diomongkannya.
“Benget cuma kawan si Vivi, pak… Bukan lakiknya Benget…” ngakunya dengan nada suara khas bencesnya.
“Tau aku… Manalah mungkin pulak cewek secantik-senormal Vivi mau sama benda kek kau ini…” kataku sambil masih chatting-an di HP-ku. Dengan para binor yang tertunda tadi. “Makanya awak tau itu bukan bayi Vivi… Yaa… Tebakanku kalo gak klen adopsi dia… klen nyulik anak orang… Itu aja…” kataku agak nyelekit.
“Engak-Enggak, pak… Kami adopsi dia, paak… Betol, paak… Vii~~? Cemana ni, Vi~~?” rengeknya takut dicap penculik bayi.
“Iya, pak… Dede cantik ini kami adopsi dari orang tuanya yang gak sanggup membiayai hidupnya… Suaminya baru saja meninggal dan anaknya ada 4 lagi yang harus dirawatnya… Vivi gak sampe hati dan menawari mengasuhnya… sebagai anak Vivi walo Vivi belum menikah, pak…” jelas Vivi membela temannya yang tersudut oleh tuduhanku. “Benget gak tau apa-apa… Dia cuma pura-pura jadi lakikku aja supaya ibu itu yakin menyerahkan bayinya pada Vivi…”
“Tapi kalo begini masalahnya… Gimana? Si kecil itu akan terus diincar Kuyang itu… karena dia sudah sempat melihatnya langsung… Sudah ditandai istilahnya…” kataku mengantongi HP-ku dan menyesap kopi sampe habis. “Kemanapun klen pindah ato pergi… Dia… si Kuyang itu akan terus mengejarnya…” kedengaran kek nakut-nakutin gitu, ya? Tapi itu kenyataannya.
“Jadi gimana, paak~~?” rengek si Benget. Enggak banget nih si bencong satu nih. Tentunya dia sama-sama khawatir akan keselamatan si dede bayi yang bahkan belum punya nama.
“Kita tangkap Kuyangnya… Besok pagi dia akan datang lagi jam 7…” ucapanku kontan membuat membuat mereka berdua kaget. Kuyang itu datang lagi? Tapi pagi-pagi? “Yaa… jam 7 pagi nanti… Dia akan mengambil hadiahnya… Tenang… malam ini si dede bayi aman karena jam 7 pagi nanti yang datang bukan bentuk Kuyang-nya… melainkan bentuk manusianya aja… Siang-siang dia cuma manusia biasa aja dan berburu di malam hari…” kataku membuka kedok si Kuyang.
“Hadiah apa? Hadiah ulang tahun? Kado?” tanya Vivi ngelantur. Aku hampir tertawa.
“Kasih apa aja terserah… Kasih aja dia nasi uduk untuk sarapan… Yang penting kita tau dulu siapa bentuk manusianya… Tadi klen dengar, kan aku treak-treak ‘Woy! Ambek nanti pagi hadiahmu jam tujuh!’… Itu salah satu contoh memancingnya… Dia gak akan bisa menolak undangan mengambil hadiah itu…” aku menunjuk pelipisku sendiri. “Di kepalanya akan terus terngiang-ngiang undanganku itu dan datang kemari mengambil hadiahnya…”
“Pak… Vivi lupa nanya ini… Bapak orang mana, yaa? Kok ada di dekat-dekat sini tengah malam… Bukannya Vivi curiga sama bapak… tapi gituu, deh…” katanya baru tersadar telah membiarkan orang asing sepertiku masuk ke rumahnya walopun ada sosok kekar Benget yang seharusnya bisa membuat takut rampok sekalipun.
“Oh… Iya lupa ngenalin diri awak, ya? Gak usah panggil pak-la… Panggil aja bang Aseng gitu… Sebelum klen nanya apa awak orang Cina? Enggak! Awak orang Padang yang kek Cina aja… Rumah awak itu yang di simpang itu… Nomor 556… yang biasa disewa orang Arab itu…” kataku memperkenalkan diri supaya gak dicurigai juga sama penghuni rumah ini.
“Rumah gedong itu, cyiiin… Rumah paling gedong se-blok YY ini~emmph… Bang Aseng yang nyewa sekarang?” cerocos si Benget. Aku hanya mengangguk takjub sama perangai ajaibnya. Kok bisa badan sekekar itu jadi bences?
“Oo… Jadi bang Aseng yang punya rumah itu?” kata Vivi. Kok bisa tau dia? Bukan ditebaknya aku nyewa juga kek si Benget.
“Kok tau, Vi?” agak malu dikit ceritanya. Bukannya malah bangga.
“Vivi pernah dengar kalo yang punya rumah itu orang Padang… Bang Aseng-lah jadinya orang Padang itu…” katanya mengemukakan apa yang pernah didengarnya. Artinya dia sudah cukup lama bermukim disini. Kejebak jadinya aku. Harusnya yang dimaksud orang Padang itu ajo Mansur sebagai pemilik awalnya. Sudahlah…
Cukup lama kami ngobrol panjang lebar tentang pribadi Vivi, tentang Benget dan pekerjaan mereka. Terutama detail proses adopsi si dede bayi malang ini yang bobo dengan damai dalam penjagaan kami bertiga. Vivi anak yatim piatu yang tak memiliki kerabat dekat satupun walo ditinggalkan warisan yang cukup sejak kelas 2 SMA. Untung dia tidak menghambur-hamburkan uang yang dimilikinya dan memilih sekolah dan kuliah dengan benar. Saat ini ia di semester akhir kuliahnya dan sedang menyusun skripsi. Disamping kuliah, ia banyak menginvestasikan dana segar miliknya ke pasar forex yang saat itu lagi booming dan mengendalikannya langsung, tidak lewat agen. Semuda ini sudah sedemikian kaya rayanya. Mengenai Benget, mereka sudah saling kenal sejak sekolah. Sudah seperti bodyguard bagi Vivi walo gak selalu bisa diandalkan fisik kekarnya karena yaa… tau sendiri. Tapi mereka sudah terlanjur akrab dan lebih seperti kakak perempuan ke adik perempuan hubungannya.
Mereka bertemu keluarga malang itu di daerah Saentis, Deli Serdang, tempat Vivi melakukan penelitian skripsinya. Sebagai daerah pesisir pantai keluarga itu sangat kekurangan. Apalagi sang kepala keluarga yang nelayan meninggal dunia karena insiden perompakan di tengah laut menggenapi kemalangan keluarga itu saat sang istri sedang hamil tua anak kelimanya. Mereka sepakat kalo bayi yang akan lahir itu akan diadopsi oleh Vivi dan Benget, yang mereka kira suami istri. Tentu saja ada sejumlah uang yang diberikan Vivi untuk meringankan beban keluarga itu sebagai alat pemacu semangat untuk bisa move on. Dan disinilah bayi lucu itu sekarang malah mendapat masalah baru di hidupnya yang baru berjalan 2 hari saja. Berat hidupmu, nak. Semoga kau nanti menjadi anak yang sukses di masa depan.
“Trus kalau kita udah tau siapa orangnya… gimana, bang? Diapain itu orangnya?” tanya Vivi yang duduk bergabung di dekat pintu agar tidur si dede bayi gak terganggu suaranya.
“Tergantung… Liat keadaan nanti sebenarnya… Karna gini… ada orang yang sengaja mempelajari ilmu ini. Artinya dia pelaku utama Kuyang ini… Ada yang cuma ketiban sial aja karena turunan… Ilmu itu turun kepadanya tanpa dia sadari… Jadi dia gak tau kalo punya ilmu iblis ini dan kepalanya kelayapan terbang-terbang nyari mangsa di malam tertentu… Ada kasus juga kalo dia tau diturunkan ilmu ini dan memanfaatkannya untuk keuntungannya… Ilmu ini biasanya dipakai untuk mencari kekayaan, pengasihan, pengaruh, kekuatan… Macam-macam, deh pokoknya…” jelasku panjang lebar. Keduanya mengangguk-angguk mengerti.
Sekitar jam 3 aku permisi pulang pada mereka berdua dan katanya mereka akan berjaga lebih lama karena masih khawatir akan ada gangguan lagi. Rumah baruku juga sudah sepi. Tentu aja jam segitu siapa juga yang masih terjaga. Di kamar utama yang menjadi tempatku tidur hanya ada istri dan anak bungsuku, Salwa yang tidur. Kemana Rio? Ternyata efek punya kamar baru yang keren dengan banyak pernak-pernik mobil balap membuatnya bangga dan membuatnya mau tidur sendiri. Anakku sudah semakin besar.
Bagus juga karena berkurang satu penghuni ranjangku yang lasak (gak bisa diam). Jadi tidurku akan lebih nyaman hanya bareng istri tercinta dan si bungsu. Kupeluk tubuhnya dari belakang punggungnya setelah menyelinap masuk ke dalam selimut tebal. Pendingin udara terasa lebih dingin di kamar ini sehingga terasa sangat nyaman bergelung di dalam hangatnya memeluk kekasih hatiku. Ia menggeliat sebentar dan lanjut.
Tak terasa sudah pagi lagi dan aku harus balik lagi ke rumah Vivi untuk menjelang si pemilik ilmu Kuyang akan datang lagi meminta hadiah yang telah kujanjikan. Walopun masih pagi gini, dapur sudah sibuk dan bukan istriku yang sibuk di sana. Melainkan sang ART yang bertugas untuk masak-memasak. Istriku hanya duduk saja ngeliatin cara kerjanya. Pasti tangannya udah gatal pengen ikutan bantuin tapi apa daya, statusnya sebagai nyonya tidak mengizinkannya melakukan itu. Kuseret dirinya ke bagian rumah yang paling aku dan Rio sukai, kolam renang. Kududukkan dia di salah satu kursi taman dimana roti lapis dan jus jeruk tersedia di atas meja kalo gak sabar nunggu sarapan utama selesai.
Dia senyum-senyum sendiri. Aku tersenyum padanya dan menyikut dadanya. Ia balas mencubit perutku. Salwa yang belum bangun sudah ada yang bakal mengurusnya. Ada seorang baby sitter yang mulai bekerja pagi ini. Ia bisa bergantian ngurusin Salwa dan Rio dengan istriku. Ia bersikeras hanya mempekerjakan satu baby sitter aja, padahal dua-pun gak mengapa. Ya, itu… Pernah kuberitau kalo aku menikahi seseorang yang juara dalam bidang keras kepala? Istriku juara satunya.
Kumasukkan beberapa buah roti lapis isi keju dan meses ke dalam plastik asoi (kantong kresek) beserta selembar kartu namaku. Lalu beranjak ke rumah Vivi. Ini belum genap jam 7 pagi. Kita liat keadaan mereka pagi ini. Kusapa beberapa warga blok YY ini dan memperkenalkan diri. Beberapa menyambut baik, beberapa cuek. Biasa. Beberapa warga yang sudah sepuh berolah raga jalan di seputaran jalan kompleks yang masih sepi.
“Met pagi?” sapaku masuk aja melancangkan diri ke pagar rumah Vivi yang tidak terkunci. Kedua orang itu duduk di depan teras menghadapi dua cangkir kopi yang sedang ngebul. Keknya mereka gak tidur sama sekali.
“Pagi, bang Aseng…” jawab keduanya mabuk kopi kliyengan. Perut juga pasti kerasa begah kebanyakan diisi kaffein. Mata sepet walo gak bisa dipejamkan, pedas.
“Aman, kan?” tanyaku. Mereka mengangguk. “Dede bayinya sama siapa?” tanyaku lagi.
“Sama baby sitter… Udah datang mulai kerja…” jawab Vivi datar mata sepet tapi masih tetap cantik aja dia walo belom mandi.
“Udah ampir jam tujuh, bang~~… Datang gak dia?” tanya si Benget nguap berkali-kali dari tadi mangap-mangap lebar kek biawak. Aku ngeliat jam tangan. Jam tujuh kurang sembilan. Aku sangat yakin kalo orang itu bakalan datang mengambil hadiah yang kujanjikan tadi malam.
“Sabar… dia pasti datang jam tujuh tepat… Nih… Sarapan…” kataku mengeluarkan beberapa roti lapis dan meletakkannya di atas cangkir kopi karena plastik asoi-nya masih kupakai. Kusisakan dua buah roti lapis keju-meses dan selembar kartu namaku. Mereka berdua gak berselera dengan roti lapis yang kubawa. Vivi malah membaringkan kepalanya di atas lengannya dan berusaha memejamkan mata. Begitu juga dengan si Benget. Ngantuk berat pastinya. Lebih enak ngeliatin Vivi yang berusaha tidur daripada enek ngliatin si Benget yang serem-serem najis. Dari sini aku bisa menikmati belahan dada putih yang mengintip dari sela-sela kancing blouse yang dikenakannya.
“Permisi…?” suara panggilan dari arah pagar membuyarkan lamun nikmatku mempelototi paras Vivi yang mulai tertidur manis walo gak nyaman begitu, tidur di meja. Ada seorang perempuan berdiri di dekat pagar. Kepalanya melongok mencoba memanggil kami dari celah pagar yang digedor-gedornya.
“Vivi… Benget? Bangun! Orangnya datang…” kuguncangkan tangan kedua orang bersahabat dekat itu agar bangun dari tidurnya. Benget gak bergeming sama sekali tapi Vivi yang goyang malah tetek bulat besarnya. Ingin rasanya ngetes kuremas, bakalan bangun, gak? “Whei… Bangun-bangun!” goncangku lagi lebih kuat. Benget gak bergerak badannya, tetek Vivi tambah kuat berguncangnya kek tempayan berisi susu perahan.
“Permisi?” perempuan itu makin gak sabar dan menggedor lagi dengan tangannya.
Terpaksa main licik. Tangan Benget kuarahkan ke dada Vivi dan kujatuhkan ke pangkuan kakinya, lalu kuremas teteknya sebelah aja. Alamaaak… Lembut kali kek agar-agar kenyalnya walo ada pembungkus bra di balik blouse-nya. Aku langsung menjauh. “Hng? Apa? Apa, Bens?” tanya Vivi masih berupa igauan. Nama panggilan si Benget, Bens ternyata. Kepalanya mendongak mencari-cari aku yang berdiri di seberangnya, yang menunjuk-nunjuk ke arah pagar.
“Orangnya udah datang!” bisikku dari kejauhan. Vivi langsung sigap dan menendang kaki si Bens.
“Aww! Sakit, neek~~…” keluh si bencong mengurut-urut kakinya yang barusan ditendang Vivi. Tapi demi melihat aku dan Vivi yang sudah berdiri ia langsung tanggap dan menyusul kami. Seharusnya tadi kulakukan itu juga padanya, maksudku di kepalanya.
“Kenapa, kak?” tanya Vivi pada perempuan yang barusan menggedor-gedor pagar rumahnya. Sepertinya Vivi kenal dengan perempuan ini karena nada bicaranya biasa-biasa aja dan pe-de aja menyebutnya kakak. Vivi gak ragu membuka pintu kecil pagar agar lebih leluasa bicaranya. Perempuan itu lumayan cantik dan montok. Ia memakai choker di lehernya sebagai aksesoris seperti kalung.
“Ini, Vi… Katanya ada hadiah untuk kakak, ya? Kakak ingatnya diambil di sini jam tujuh gitu… Ini udah jam tujuh, kan?” kata perempuan itu kek gak ada rasa bersalah gitu. Santai aja kek gak ada masalah. Langsung Vivi dan Benget menoleh padaku dengan muka ketat karena semua yang kubilang betul-betul kejadian. Mulut keduanya terkunci karena tersegel ketakutan yang tiba-tiba menyeruak. Terbirit-birit keduanya ngumpet di belakangku yang menenteng plastik asoi berisi dua roti lapis keju-meses dan sehelai kartu namaku.
“Ini kak hadiahnya…” kataku kasual aja menyerahkan bungkusan remeh itu padanya. Diterimanya dengan senang hati dengan terlebih dahulu mengintip isinya apa aja. Isi hadiah yang kuberikan bukan yang utama melainkan pesan penting yang kusampaikan padanya bahwa ia sudah ketahuan belangnya. Dia tak akan bisa menahan dirinya untuk tidak meminta hadiah yang sudah kujanjikan ini. “Itu ada kartu nama saya… Kalo apa… kita bisa… telpon-telponan… Chat…” kataku agak ganjen dikit. Parnakal-nakalon, ya Seng?
“Ini, yah?” katanya udah memegang kartu nama yang kumaksud dan mengabaikan dua buah roti lapis itu. Dibacanya sebentar dan tersenyum manis padaku. “Makasih, yah? Vi? Bens… Makasih hadiahnya…” menyapa dua insan yang berondok (ngumpet) di belakangku. Vivi melambai lemah membalas perempuan yang sudah beranjak pergi dengan senyum terpaksa. Si Benget ngumpet ngintip-ngintip di belakang Vivi sambil merinding kuat kek abis barusan pipis.
“Liat, kan? Percaya?” kataku beralih pada mereka berdua. Keduanya mengangguk-angguk bodoh. Si Benget menggigiti kukunya. “Kalian kenal perempuan itu keknya? Orang blok YY sini juga ato gimana?” tanyaku.
“Rumahnya di seberang rumah abang…” kata Vivi ngikut menggigiti kuku jari tangannya. Si Benget malah menggigiti daging jempolnya.
“Whaddepak!” kagetku. Ya, Tuhan… Cobaan apa lagi ini?
Bersambung