Part #41 : Empat malam berturut-turut ngewe vony
Empat malam berturut-turut aku harus menyambangi kamar hotel yang sama. Kegilaan Vony sesuai dengan kompensasi yang kudapatkan. Kenikmatan yang jadi kualitas mutu nilai tawarnya. Aku seperti dicocok hidung selalu menuju kamar hotel itu tiap pulang kerja. Menggasak si tembem cantiknya yang benar-benar ledes seperti yang kujanjikan.
Vony mengaku kalo kemaluannya agak perih-perih karena kusodok dengan kasar tiap kali aku masuk. Tapi ia menyukai rasa sakit dan pedih itu karena dengan begitu ia lebih menikmati seks denganku. Ia rela-rela aja ‘kusiksa’ sedemikian rupa kala menggenjot tubuhnya. Kuhentak-hentak kasar si tembem, kubetot-betot bakpao jumbo-nya, kucekik lehernya, kujambak rambutnya, kutampar pantat tebalnya. Ia menikmati itu semua.
“Ahh ahhh ahh ahhh…” jeritnya berulang-ulang kala kugenjot kasar tubuhnya yang berbaring terlentang pasrah di ranjang hotel. Kasian orang laundry hotel ini harus membersihkan semua kekacauan yang selalu kami tinggalkan di sprei dan selimut hotel ini. Gimana gak kotor, si tembem dan Aseng junior dibersihkan sembarangan di sana. Bakpao jumbo-nya yang bergoyang-goyang juga kucengkram keras. Pentilnya kucubit-cubit gemas.
“Errrgghhh…” geramku sambil menyodok-nyodok kencang. Aseng junior berpacu dalam birahi keluar masuk menumbuki selangkangan perempuan yang cantik kali ini. Aseng junior sudah terasa ngilu sebenarnya. Aku sepanjang malam ini sudah tiga kali ejakulasi. Liang sempit Vony sukses membuatku gila akan jepitan menggigitnya dengan teknik rasa sakit yang disukainya. Ia memanfaatkan rasa sakit itu untuk mencapai kepuasannya sendiri. Dia merasa nikmat, aku ikut meradang.
Diterimanya dengan suka cita sperma-sperma kentalku memasuki rahimnya yang dalam masa paling subur sepanjang periode bulanannya. Aku jamin kalo yang Kuasa berkehendak, siapapun yang menyetorkan bibitnya ke dalam liang kawin enak ini, pasti akan dapat menghamilinya. Vony memprioritaskan aku yang dapat kesempatan utama untuk mengisi relung suci alat prokreasi ajaib ini. Benda kecil bernama rahim di dalam rongga panggul itu menyiapkan tempat untuk bertemunya sel telur wanita dan sperma pria untuk menjadi mahluk baru, ditiupkan ruh padanya dan menjadi insan baru yang akan memenuhi planet bernama Bumi ini.
Kupeluk tubuh indahnya dan menikmati rasa nyaman bersentuhan kulit ke kulit dengannya. Tubuh halus berpeluhnya membuatku betah mendekapnya, apalagi hangat kelamin kami bersatu basah lengket baru saja meletupkan rasa nikmat membuncah-meledak. Vony mengecupi pipi dan mataku, berterima kasih akan ronde persetubuhan yang baru saja berakhir. Ia tak jemu-jemu kugedor berulang-ulang dan menyetor sperma berkali-kali. Durasi bersetubuh dengan Vony gak bisa lama-lama. Ia selalu sukses memaksaku untuk cepat-cepat ngecrot dengan teknik sakitnya. Ia sama sekali gak ngerti juga kenapa ia menyukai cara itu. Perempuan selembut dan seanggun Vony suka disakiti seperti dicekik dan dijambak yang membuatnya puas. Aku juga ikut imbas kepuasannya karena saat ia puas, Aseng junior-ku pun ikut puas.
“Coba ulangi… kenapa hanya cukup empat malam? Besok kenapa?” tanyaku masih berdekapan erat. Kami hanya perlu berbisik agar terdengar.
“Biasa… Acara keluarga… Semacam pesta-pesta kumpul aja antar keluarga… Semacam arisan gitu…” jelasnya.
“Oo… Keluargamu kaya raya semua, yaa?” pahamku membayangkan adegan kumpul-kumpul orang kalangan jetset kek di sinetron orang tajir semua.
“Ya… Ngumpul-ngumpul bullshit semua… Paling juga pamer harta… pamer jabatan… Membanggakan anak-anaknya… Ada aja tuh yang nanti bawa mobil barunya… Nah kalo gak muncul di acara semacam itu… entar Vony malah kena bully…” jelasnya.
“Oo… Serem, ya?” kataku padahal gak ngerti kali. Kumpul keluarga bagiku adalah bertemu sanak saudara yang jarang ketemu dan disatukan dalam arisan keluarga agar bisa ketemu minimal sebulan sekali. Tapi biasanya jauh dari kata pamer sih. Orang kaya itu begitu, ya?
“Coba waktu ngumpul gitu Vony dah bisa nunjukin hasil lab… Pasti bakalan seru…” katanya berkhayal.
“Hasil lab apa? Vony sakit?” kagetku. Kok belum pernah cerita.
“Hasil positif hamil-loh, bang Aseng…” katanya mengelus-elus perutnya. “Tapi benar yang bang Aseng bilang kemarin itu… Wisnu sekarang banyak berubahnya… Katanya ia sudah menjauhi perempuan itu… Tadi pagi ia janji akan menalaknya… Jujur ia bilang kalo ia jadi takut melihat perempuan itu… Wajahnya jadi seperti nenek-nenek tua, bang… Apa itu yang abang bilang ganjarannya?”
“Bisa jadi… Makanya jangan main-main sama santet… Bahayanya lebih besar dari manfaatnya…” kataku mengingatkannya. “Ciee… Yang udah baikan sama Wisnu, lakiknya… Udah ci-cit cuit pastinya, kan?” godaku masih berpelukan dengan binor satu ini malah membicarakan suaminya.
“Udah dong… Tapi dia gak pinter mainnya… Gak kayak bang Aseng… Biasa aja… Medioker gitu…” gak terlalu antusias seperti yang kubayangkan. Padahal ini seharusnya yang menjadi salah satu tujuan utamanya.
“Dikasih tau-la apa yang Vony suka… Biar bisa dibuatnya Vony klepek-klepek juga…” kataku mencontohkan mencekik lehernya, menghambat jalan nafasnya untuk beberapa detik hingga tubuhnya menegang dan menjepit Aseng junior yang masih bercokol di dalam liang kawinnya. Lalu kurengut rambutnya dalam satu genggaman tangan dekat ke kulit kepala, kepalanya mendongak. Ampun… Aseng junior makin diperas di dalam sana. Tentu aja dia melawan dan mengeras kembali sebagai reaksi balasan. Alhasil kugenjot lagi perempuan cantik itu di ronde selanjutnya. Gak bosan-bosan aku ngecrot di dalam liang kawinnya.
Begitulah kerjaanku beberapa malam itu. Hanya Vony dan Vony saja yang menguras isi muatan bola pelerku. Istirahat bentar, dipancingnya lagi untuk berbuat nakal pada tubuhnya. Aseng junior-ku keknya pun udah ketagihan dengan nikmat yang diberikan si tembem milik Vony. Girang kali dia masuk lagi dan lagi padahal baru aja ngecrot di dalam sana. Semoga kau cepat hamil-la, Von. Aku akan sangat gembira dan bangga dapat menghamilimu. Menghamili perempuan cantik sekalibur dirimu. Payah cakap-la awak dibuatnya.
—————————————————————————-
Apa kabar Miranda? Baik-baik aja kok dia.
Si cantik satu ini harus sabar-sabar menunggu gilirannya untuk dijamah kembali sebab aku menemukan ladang baru untuk digarap selama dengan Vony. Dia gak berani menghubungi dahulu karena aku sudah mewanti-wanti dirinya. Aku sudah bilang padanya dan Suhendra, aku yang akan menghubungi mereka. Aku juga gak nongol-nongol di SPBU beberapa hari ini karena asik di kamar hotel bareng Vony.
Ujug-ujug aku langsung ada di gerbang rumahnya malam ini. Aku datang tanpa pemberitahuan sebelumnya. Hendra masih ada di SPBU karena tadi kusempatkan melintas dan melihat mobilnya terparkir di sana, masih bekerja walo gajinya tak ada lagi. Si paok yang malang itu gak keberatan tak menerima gaji setahun demi mendapatkan servis dariku. Tapi uangnya masih banyak aja walopun begitu. Pernah kutanya padanya dari mana sumber penghasilannya yang lain hingga santai tak digaji bekerja sebagai manager operasional SPBU. Katanya ia punya beberapa usaha lain di luar sana apalagi Miranda juga punya usaha sendiri berupa toko perhiasan.
“Mau ketemu siapa, pak?” tanya satpam yang membuka gerbang sedikit untuk menanyaiku. Aku baru liat satpam ini karena waktu itu ia ikut diliburkan.
“Bu Miranda…” jawabku singkat.
“Udah ada janji sebelumnya?” tanyanya kembali standar.
“Bilang aja Aseng mau ketemu…” jawabku padat. Dengan telepon ia menghubungi ke dalam bangunan Mansion utama itu untuk menanyakan kesediaan sang nyonya rumah menerimaku. Tak lama gerbang dibuka lebar agar aku bisa memasukkan Pajero-ku dan diarahkan parkir di antara beberapa mobil koleksi empunya rumah.
Miranda sendiri yang menyambutku ketika aku hendak diarahkan sang satpam untuk menemui sang pemilik rumah menuju pintu utama. Ia sudah menungguku dengan berdiri dengan keanggunan penampilannya yang sudah tak perlu diragukan lagi keabsahannya. Cantik menarik menawan hati, Miranda namanya manja sekali… Eh… Itu lagu jadul. Tuwir kali awak jadinya.
“Pak Aseng gak bil…” kuhentikan omongannya dengan mengacungkan telunjukku. Ia langsung bungkam.
“Awak datang sukak-sukak hatiku aja… Mana si bodat (monyet) itu? Masih kerja dia?” kataku gak perduli dan berjalan masuk ke rumah besar nan mewah ini kek rumah nenek moyangku sendiri. Kerusakan yang kusebabkan waktu itu sudah diperbaiki dan furniture yang rusak diganti yang baru. Encer kali duit orang-orang ini. Kusapukan pandanganku ke sekeliling rumah. Miranda mengintil di belakangku. “Mana?” pintaku dengan gerakan tangan meminta.
Tergopoh-gopoh Miranda mengambil sesuatu dari lemari hias yang ada di dekat pintu dan kembali dengan ringkas padaku. Diserahkannya benda yang kuminta tadi. Bambu runcing pas segenggaman tangan yang pernah menjadi senjataku. Aku sedang memandangi foto cantik Miranda yang kini menjadi satu-satu penghias dinding di ruangan sebesar ini.
“Ini baru betul… Di rumah sebesar ini… Miranda-lah pusat segala-galanya… Yang lainnya cuma taik lincung (tahi ayam)…” kataku menunjuk foto berfigura besar itu. Kecantikan sejati seorang perempuan terpancar sempurna dari imaji dirinya. Kurengkuh bahunya dan kuajak ia menikmati satu-satunya penghias dinding ini seperti sedang mengapresiasi sebuah masterpiece seorang seniman terkenal di galeri seni.
Miranda benar-benar tersanjung kuperlakukan demikian. Tak ada nilainya semua instalasi seni, lukisan, ornamen segala hantu blau yang tadinya menghiasi rumah ini. Semuanya telah menjadi sampah berkat kurusak waktu itu. Meninggalkan hanya satu. Ya… Miranda hanya satu.
Seorang ART yang datang bertanya tamunya akan disuguhi apa diusir oleh Miranda dan jangan ada yang muncul lagi. Aku membiarkan ia melakukan semua itu karena aku tiba-tiba mendapat ide bagus dari sana. Aku berkeliling di ruang tamu yang luas ini. Mereka sudah mengganti TV plasma yang dulu kujebol dengan yang berukuran lebih besar. Begitu juga dengan sofa dan grand piano-nya. Bambu runcing masih di tangan dan kuseret di lantai granit mengkilap ini. Gak… Aku gak ada maksud merusak kali ini. Walopun kalo kurusak-rusak, Miranda gak akan keberatan. Tapi itu sudah lewat… Cukup.
“Eh… Cemana kabarmu, cantik? Sehat?” tanyaku lalu beralih dan fokus padanya. Rumah mewah tetap akan jadi rumah mewah. Tapi kecantikan Miranda gak boleh dilewatkan begitu saja, kan? Matanya menatapku penuh pengharapan, mulutnya mulai menyunggingkan senyum.
“Saya tetap kangen sama bapak…” jawabnya sembari meremas-remas jempol kirinya dengan mimik penuh harap.
“Ahh… Kangen? Si bodat itu ada nyentuh Miranda gak belakangan ini?” kataku mencelos juga. Gimana cara menyelamatkan orang-orang ini? Aku sempat memerintahkan si Suhendra agar jangan sekali-kali menyentuh istrinya tanpa perintahku. Itu hanya pikiran gila sesaatku saja saat itu. Waktu itu kupikir Miranda eksklusif hanya untukku saja sampe dia bunting. Selagi belom… jangan coba-coba.
“Gak ada, paak… Dia-pun tidur di lantai… Gak berani dia naik ke tempat tidur kami… Dia cuma berani ngocok aja ngeliatin awak…” kata Miranda dengan wajah puas sudah berhasil melaksanakan perintah yang kutitahkan saat itu. Cie… Udah kek raja awak ber’titah’ pulak.
“Jadi… Belum ada tanda-tanda hamil?” tanyaku agak bodoh. Waktunya masih belum pas. Kejadian itu masih seminggu yang lalu. Masih terlalu dini untuk mengetahui kondisi kehamilan walo sesubur apapun aku.
“Belom dicek, paaak…” ia mulai meremas-remas gaun panjang bagian pahanya yang ketat membungkus tubuh jenjang kek modelnya. Matanya nanar seperti memohon meminta kusentuh lagi seperti saat itu. Tapi ia tidak diperbolehkan memintanya dengan lancang.
“Tunggu-tunggu dulu… Cobak tadi ulangi lagi? Si bodat itu cuma berani ngocok ngeliatin Miranda?” kataku ingat akan sesuatu.
“Iya, paak… Cuma ngocok aja dia jauh-jauh di sudut kamar… Gak berani dia dekat-dekat…” katanya mengulangi. Matanya tiba-tiba terbelalak mengingat itu semua. Ia menutup mulutnya kaget.
“Kan? Kaaan? Sudah paham?” kataku menunjuk-nunjuk paras cantiknya yang selalu menggairahkan dengan bambu runcing ini. “Apa? Apa cobak?”
“Hendra udah bisa ‘berdiri’ walaupun gak ada pak Aseng waktu itu…” simpulnya. Mata belonya terbelalak indah. Ia memegangi dahinya seperti mengalami sakit kepala yang mengganggu sekali. “Kami sudah sembuh, pak?” tanyanya dengan penasaran.
“Mau tau jawabannya?” kataku mengulur waktu. Bambu runcing itu kupegang dibelakang punggung. Ia mengangguk-angguk cepat. “Baik… Buka semua pakaianmu jangan ada yang tersisa dalam sepuluh hitungan… Saatuuu…” kataku mulai gila lagi di depan perempuan ini.
Gelagapan ia awalnya, tapi cepat ia menguasai dirinya dan mulai melepas semua busana yang yang melekat di tubuhnya. Gak perlu takut kepergok siapapun karena ia toh sudah melarang semuanya datang kemari dan mengganggu. Yang pertama kali dilucutinya tentu saja gaun panjang ketat yang ngepres pas di tubuhnya. Malam ini dia tidak menunggu siapa-siapa aja berpakaian seperti ini, konon lagi kalo pergi kondangan, pasti dandanannya lebih cetar membahana. Gaun lepas, ia hanya tinggal perlu melepas bra yang menopang sepasang payudara bulat mengkal itu dan celana korset ketat yang membentuk pinggang, pinggul, bokong dan pahanya menjadi semakin langsing. Benda fashion itu yang memakan waktu lama untuk dilucuti dari tubuhnya tetapi di hitungan ke tujuh benda itu sudah terlepas beserta G-string-nya juga. Ia berdiri tegak seperti baris-berbaris menunggu instruksi selanjutnya dalam keadaan telanjang.
Pengen rasanya menerkam tubuhnya dan menggenjotnya di sini aja, tapi kusabarkan Aseng junior. Sabar, Seng… Semua akan ngecrot pada masanya.
“Bagus… Gak ada yang lecet ato bekas diapa-apain si bodat itu…” aku mengitari tubuhnya kek lagi inspeksi pasukan yang anggotanya cuma satu orang yang lagi dihukum telanjang bulat. Aku berhenti di belakang dan memperhatikan bentuk indah pantatnya. Punggungnya tertutup sepenuhnya oleh rambut tebalnya jadi pandanganku hanya fokus ke bagian bawah berbentuk dua gundukan menawan itu. Ragu aku akan menyentuh dan meremas satu buah bokongnya—akhirnya enggak jadi sama sekali. Padahal lidahku dah menjulur kek cicak…
“Naik ke kamar atas… tapi merangkak!” ujarku yang sudah berdiri di depannya, membelakanginya dan menunjuk tangga menuju kamar tidurnya. Aku jalan mendahuluinya, beberapa langkah berhenti dan berbalik memeriksa kepatuhannya. Miranda sudah merangkak dengan lutut dan telapak tangannya di lantai. Kutunggu sampai ia mencapai posisiku berdiri. “Bagus…” kataku memuji dengan membelai rambut indahnya. Ia mulai menaiki tangga dengan cara merangkak. Bergoyang-goyang gantungan payudara 34D bulatnya kala ia bergerak menaiki tangga menuju lantai atas. Aku menikmati pemandangan indah ini dari belakang. Goyangan yahud geal-geol pantatnya kala bergerak. Lepitan cheese burger di antara pangkal pahanya. Intipan lubang anusnya yang ikut berkembang di usahanya mendaki tangga dengan cara susah begini.
Aku jamin lutut dan tangannya bakalan merah-merah abis ini. Kulit putih halus terawat mulusnya pasti gak pernah bekerja sekeras ini sebelumnya. Keliatan dari lentik jari tangannya yang nge-trail berkait yang sungkan bersentuhan langsung dengan pijakan tangga. Tapi perintah tetaplah perintah yang harus dipatuhinya. Bergerak dengan susah begini, cukup membuatnya berkeringat. Apalagi lepitan segitiga di selangkangannya juga ikut basah, tapi entah peluh atokah pejuh? Jiah ha haah.
Tepat di belakangnya, aku mengikuti tiap langkahnya mendaki tangga. Sengaja ia melebarkan bukaan kakinya agar ia bisa mempertontonkan apapun yang bisa dipamerkannya padaku. Tentu aset utama, bokong dan cheese burger lezatnya. Aku mempelototi tiap detail gerakannnya. Sudah basah akibat pandangan mata nakalku yang lekat menatap. Lubang sempit itu mengintip lembab, kacang itilnya mencuat merah terangsang. Aku meremas-remas Aseng junior yang masih tersimpan di dalam sangkar sempaknya. Dia sudah tegang keras ampun-ampunan. Membentuk tonjolan di depan celanaku.
Kubiarkan Miranda mengintip dari sela-sela tangan dan tetek bulatnya melihat keadaanku yang secara sadar digodanya. Gerakan memanjatnya melambat tapi kubiarkan agar aku lebih lama menikmati sensasi ini. Aku sedang fantasy sendiri jalan-jalan di mall dan mendapati salah satu pengunjungnya telanjang kek gini nungging-nungging di eskalator. Gak mungkin kejadian, kan? Makanya kuciptakan fantasy sendiri.
Miranda terus menapaki tangga menuju lantai 2 dimana kamar tidurnya berada. Aku mengekor di belakangnya, menikmati pemandangan goyangan bokongnya beserta segala keindahan yang menyertainya. Sesekali aku kembali mencolek dan mengobel cheese burger yang menggoda itu lebih karena gemesss. “Ahhss…” desahnya saat usil kucolek belahan cheese burger yang yummy kali kek abis dipanggang patty-nya. Lembab-lembab berminyak gitu.
Sangking gemesnya, jariku menusuk masuk juga dan mengorek-ngorek ke dalam sepanjang jariku mampu. Membuatnya berhenti dan menikmatinya dengan bergoyang-goyang. Lepas, ia menapak menanjak kembali. Tinggi lantai 2 lumayan hingga memakan waktu kalau dinaiki dengan cara begini.
Sampai di lantai tujuan, ia harus merangkak lagi dengan lutut dan telapak tangannya menuju kamar tidur. Tubuh tinggi langsingnya sangat indah mempesona di kondisi semacam ini, apalagi tak berpakaian sehelaipun. Ia menapak perlahan dan nafas yang berat. Aku hanya tetap menikmati keindahan seksi tubuhnya. Apalagi basah kemaluannya yang menungging saat ia bergerak maju.
“Bagus…” pujiku saat kami sudah sampai di dalam kamar ini. Kamar mereka berdua; Hendra dan Miranda. Kutepuk pelan kepalanya. Ia masih dalam posisi merangkak yang sama karena belum kusuruh bangkit. Pintu kamar sudah kututup rapat dan tidak ada siapapun yang akan mengganggu kami berdua. Paling si Hendra aja kalo dia pulang nanti dan mendapati aku yang sedang menindih istrinya nanti. Dia tidak akan bisa apa-apa.
Aku mengitari kamar ini. Tidak ada perubahan apa-apa karena aku tidak merusak satupun benda di sini kecuali harga diri sang suami pemilik kamar ini. Mereka patuh membuang semua ornamen tidak berarti di dinding kecuali sebuah foto Miranda yang sama dengan yang ada di ruang tamu tadi. Hanya saja ukurannya lebih kecil. Kolam renang di seberang jendela geser itu tetap seperti biasa, gelap gulita tanpa penerangan.
“Jadi… apa jawabannya, pak?” tanya Miranda lagi tentang masalah kesembuhan mereka tadi.
“Miranda… Pernah pelihara kucing?” tanyaku random aja malah gak ngejawab pertanyaan barusan.
Ia menunjuk ke suatu arah, ke belakang rumah keknya. “Ada beberapa ekor kucing di bawah sana…” jawabnya. Aku langsung percaya kalo kucing peliharaannya pastinya dari jenis ras mahal yang berbulu tebal dan lembut itu. Yang makanannya mahal serta biaya perawatannya juga selangit.
“Pasti pernah dengar istilah mandi kucing, kan?” tanyaku random lagi. Miranda mengangguk takzim tanda pernah dengar.
“Nah… Awak belum mandi… Tolong mandikan aku dengan cara itu, ya?” kataku memanfaatkan keadaan erotis ini. Kulepaskan kemeja lengan panjang yang kukenakan, jam tangan, sepatu, kaus kaki, celana panjang dan sempaknya. Aku meregangkan badanku untuk melemaskan otot-otot yang tegang dengan stretching kanan-kiri. Menggeretakkan leherku sampai berbunyi gemerutuk bergeseknya sendi. Lalu duduk di tepian ranjang empuk ini.
“Mandi kuu-cing… mandi kucing yang itu ya, pak?” pastinya sedikit bingung. Ia menirukan gerakan seekor kucing yang sedang menjilati tanganya sehabis makan lalu mengusapnya ke muka. Lalu ia meneguk ludah dalam-dalam.
“Yaa… yang begitu itu… Itu pinter… Cepatlah… Badanku lengket semua, nih… Mandiin, yah?” kataku bersiap-siap. Menganggap ini adalah hal yang biasa aja. Udah kek shower kuanggap perempuan cantik ini. Tergerakkah dia? Kita liat bersama-sama.
“Baik, pak…” jawabnya lalu maju dan menghampiri diriku yang duduk santai di tepian ranjang dan kedua tangan bersandar ke belakang. Yes! Dia bergerak! Dia menuju kakiku pertama kali. Ia menunduk dan mencium mematuk punggung kakiku. Sekali dua kali tiga kali lalu lidahnya menjulur keluar. Ia mulai menjilati kakiku. Aaahhhsss… Bibir lembutnya terbuka dan juluran lidah yang ujungnya lumayan panjang menyapu kulit punggung kakiku, membasahi dengan liur dari kelenjar ludahnya.
“Sllhhkk…” sapuan-sapuan panjang dilakukan Miranda di kulit kakiku tapi tidak berulang di tempat yang sama hingga cakupannya bisa membasahi semua kulitku nantinya. Rasanya lumayan geli-geli semriwing gimana gitu rasanya kala lidahnya melata di sekujur kulit kaki kananku. Dia gak jijik sama sekali dengan aroma kakiku yang mungkin ada. Secara kaki itu selalu tertutup kaos kaki juga sepatu, keringatan dan pastinya ada bau-bau aneh gitu harusnya. Tapi ia menjilatinya dengan seksama dan hikmat. “Sllkk… sllkk… sllkk…” ia kini tiba di bagian jari-jari. Tetap aja ia menjilati jari jemari dengan telaten.
“Ahh…” pertama kali ada yang mengemut kelingking jari kakiku. Diangkatnya kakiku dengan cara dipegangi tentunya. Lidahnya mengitari kelingking imutku hingga terasa basah dan dingin. Menyusul jari manis. Lagi-lagi aku mendesah geli. Kemudian jari tengah dan telunjuk yang paling panjang. Lalu jempolku yang gede. Miranda sampai memejamkan mata saat mengemut jempol kakiku, menikmati sekali tekstur dan bentuk jempol kaki kananku. Entah apa yang dibayangkannya saat melakukan ini semua. Ngayalin ngemut Aseng junior kali, ya?
Tak lupa telapak kakiku juga mendapat olesan lidah panjangnya. Ini baru definisi geli yang sesungguhnya. Jilatan panjang dari tumit hingga sampai ke pangkal jari. Lagi dan lagi berulang sampai seluruh telapak kaki kananku selesai dijilat. Merambah naik ke mata kaki berkeliling ke arah tulang kering. Menyapu kulit ke atas tak perduli dengan rambut-rambut panjang yang tumbuh di sana. Ia melakukan ini semua dengan teliti dan telaten, tak meninggalkan satu titik kulitku tak tersentuh jilatan basahnya. Diputarnya kakiku untuk dapat menjangkau betisku yang masih berambut lebat. Dijilati lagi seluruhnya.
Kadang matanya terpejam seolah sedang menikmati semua proses mandi kucingku ini. Menikmati rasa-rasa yang mungkin tertangkap oleh sensor perasa yang ada disekujur penampang lidahnya. Lalu terbuka lagi untuk mengarahkan jilatan panjang berikutnya. “Shhllkk…”
Sumpah geli kali waktu ia menjilati lutut serta bagian belakang lipatannya. Tubuhku sampe merinding-rinding semua karena sapuan kuas lidahnya yang tak kunjung kekurangan ludah untuk memandikan kulitku. Aku menunggu dengan sabar sampai ia sampai ke Aseng junior yang sudah menegang dengan sangat kerasnya akibat jilatan erotis ini. Ia sudah sampai ke bagian paha yang berambut lebih tipis dibanding betis. Otot-otot kakiku menegang selaksa kontraksi saat ia mendekati kejantananku.
Kimbek! Dia melewatkan Aseng junior dan malah mulai dari awal lagi ke punggung kaki kiriku setelah selesai dengan kaki kananku. Ada seulas senyum tersembunyi, tipis saja karena ia merasa berhasil mengerjaiku, menggantungku dengan kentang goreng paling renyah sedunia. Rasain, Seng!
Yah… Tinggal dinikmati saja. Miranda membolak-balik kaki kiriku seperti yang kanan tadi juga dalam menjilatinya dengan seksama dan tak ada yang terlewat. Tak mengapa kalo nanti seluruh tubuhku beraroma ludah Miranda kalo aku bisa menggenjotnya lagi secara bebas malam ini. Harganya sangat sesuai dengan hasil yang kuperoleh nanti. Mua ha haa…
Saat ini ia sedang fokus menjilati tangan kananku. Ia naik ke atas ranjang juga duduk di sampingku tapi tak menempelkan tubuh telanjangnya pada tubuhku yang sama telanjangnya. Ada jarak yang dijaganya. Miranda menikmati menjilati ketiakku dengan banyak ludah hingga basah kuyup. Rambut-rambut yang tumbuh disana sampe lepek basah oleh ludahnya. Apalagi tambah erotis saat ia mengulum jari jemariku. Lidahnya bermain-main saat menyedot jari-jariku. Aseng junior gak berhenti berkedut-kedut minta perlakuan kek gitu juga. Sabar, Seng masih panjang perjalanan. Masih ada tangan kiri, tubuh bagian depan, punggung… Trus apa lagi?
Lidahnya lincah bermain-main di jari-jariku. Meratakan cairan ludah agar terolesi secara adil di sekujur kulitku. Sela-sela buku jari juga tak luput seperti yang dilakukannya di jari kaki tadi. Telapak tanganku diludahinya lalu dihisapnya lagi ludahnya sendiri perlahan seperti menyeruput kopi. Bermain-main dengan ludahnya sendiri. Aseng junior berdenyut-denyut gak sabar pengen perlakuan itu.
Ia kini ada di bagian belakang, bagian punggung. Jilatannya tetap sama, jilatan seperti yang sudah-sudah, tak ada yang luput dan terlewatkan. Hanya saja pas bagian leher, ia lebih merapatkan dirinya. Keras puting tetek 34D terasa menggesek punggungku yang dingin oleh ludah. Sesekali ia menekankan payudara bulat itu gencet di punggung seolah tak sengaja karena berusaha menjangkau bagian sisi leherku.
“Ssssaahhh…” Aku mengerang keras kala lidahnya mencapai kupingku. Ia benar-benar menggencetkan payudaranya di punggungku sekarang. Terasa kenyal dan lembut payudara bulat beserta pentilnya gepeng di belakang sana tertekan sedemikian rupa. Ia membasahi kupingku. Ujung runcing lidahnya menusuk masuk menyapu tiap lekukan berulir telingaku sampe aku merinding kek ketemu hantu untuk pertama kalinya. “Aahhsss… Uhhhsss…” desahku mengerang berulang-ulang.
Saat merinding kegelian begini, Miranda yang menempelkan tubuhnya rekat denganku terasa menekan-nekankan selangkangannya padaku. Terasa rambut pubisnya yang menggesek punggungku. “Berbaring, pak… Sekarang bagian depannya…” pintanya berbisik sesopan mungkin kek seorang terapis pada kliennya.
Malas-malasan aku memposisikan diriku berbaring di tengah ranjang latex tebal ini. Tanganku kubentangkan kek seekor elang. Cari kesempatan kalo Miranda memposisikan tubuhnya nanti, minimal ada yang bakal menempel. Mataku kupejamkan menikmati apapun yang akan terjadi dari sini sampai selanjutnya. Save the best for last. Siap gak siap kumpul!
Ia datang dari sisi kananku dan yang pertama kali dijilatnya ada keningku. Sapuan mengoles lidahnya berputar-putar dan terasa ada gerakan mengecup juga. Miranda mengecup keningku? Lidahnya lalu menyapu alis, kelopak mataku, kantung mata, pipi, tonjolan hidung dan rahangku yang sebelah kanan. Gimana caranya melakukan hal yang sama dengan sisi kiri? Ternyata ia cukup mencondongkan dirinya lebih menyeberang untuk melakukan itu. Alhasil benda bergantung-gantung indah itu kembali menempel dan kali ini di dadaku. Seolah tak perduli ia hanya terus menjilati mata, pipi, hidung dan rahang kiriku.
Lidahnya kemudian menyapu bibirku. Aku menahan diri supaya gak ikut menjulurkan lidah juga. Lembut ujung lidahnya menyentuh bibirku terasa geli. Tidak buru-buru ia menyelesaikan bibirku karena ia kemudian menyapukan lidahnya di daguku yang mulai ditumbuhi janggut pendek. Turun ke bawah, leher diolesi semua hingga mencapai dada.
Disini ia mulai bermain nakal dengan memutar-mutar lidahnya di puting kecilku hingga ia menjadi keras dan sangat sensitif sekali akan sentuhan intim begini rupa. Ia mengintip reaksiku yang juga mendongak untuk melihat apa yang dilakukannya pada dadaku. Tangannya ditopangkannya ke dadaku yang lain. Ia sedikit menyamarkan remasan dengan tumpuan tangan. Turun lagi ke bawah mencapai perut dan aku sudah menunggu-nunggu bagian ini dari tadi. Momen dimana ia akan menjilati si Aseng junior yang sudah meradang dari tadi.
Lidahnya sudah mencapai jembutku yang rutin kupotong agar tidak terlalu panjang mengingat aku banyak menyetubuhi binor, setidaknya properti utamaku ini harus layak pandang, bersih dan tidak berbau aneh menyengat aja. Sewaktu mandi, bagian ini yang paling sering kusabuni. Ia mengitari bagian samping selangkanganku menuju bagian peler. OK… Di situ juga boleh. Turun terus ke bawah. “Angkat kakinya dua-dua, pak?” pintanya membantu mengangkat kedua kakiku hingga aku mengangkang lebar dan tinggi sekaligus. Apa ini?
“Jyaaahh… Maak!” erangku gak tahan. Miranda menjilati lubang duburku. Sejumlah besar ludah membasahi ceruk kecil lubang pembuanganku dan ia menjilatinya dengan seksama lagi telaten. Gak ada mimik jijik ato apapun yang tampak di wajahnya. Aseng junior menegang keras gak sabar lagi. Sedikit lagi, Seng! Sedikit lagi! Menjengit-jengit tubuhku merasakan geli sapuan lidah Miranda di buritku. Tangannya menahan bagian buah bokongku agar aku tetap di posisi memalukan ini dan lidahnya melata menjilati bongkah pantatku kanan dan kiri.
Dihirupnya udara yang mengandung aroma Aseng junior dalam-dalam. Menikmati apapun yang bisa membuatnya merasa senang. “Cupss…” nah ini dia! Sampai juga di momen yang kita nanti-nantikan. Jilatannya pada Aseng junior. Ia meneteskan ludah panjang ke kepala Aseng junior, sampai mengalir ke batangnya yang merah padam dengan urat darah menonjol kasar. Dikocoknya sebentar untuk meratakan cairan itu lalu dijilatinya sambil menatap mataku dengan pandangan, ‘Enak, pak?’
“Uwwoohhh!” walopun gak spesial-spesial kali tapi karena dah digantung dari tadi, rasanya jadi sangat luar biasa. Lidahnya lincah bergerak naik turun. Berkilat-kilat batang keras tegang Aseng junior karena ludahnya. Apalagi saat ia mengulum bola pelernya bergantian kanan-kiri lalu sedikit emutan. “Uwaaahhh…” erangku keenakan sedikit menaikkan pantat. Selagi diemut, lidahnya bermain-main mengurut kedua pelerku sekaligus. “Aduuuh, Mirrr…”
Aseng junior langsung ditelannya sedalam mungkin. “Kloogghh… Gllkk…” Matanya mendelik dan nafasnya tersumbat. Ahh… Nekad sekali perempuan ini menelan Aseng junior tanpa persiapan matang. Tapi ia tetap bertahan. Lalu lepas dan terbatuk-batuk. Liurnya menetes-netes dari ujung lidahnya. Ia menarik nafas panjang lalu menelan Aseng junior kembali walo nafasnya kembali sesak. Harusnya ia belajar dulu dari kak Sandra gimana cara deepthroat sebelum mempraktekkan ini. Ada tekniknya sendiri melakukan ini. “Uhuk… uhukk…” kembali ia terbatuk-batuk.
Menjulang tinggi, berkilat-kilat basah dengan urat kasar di sekujur batangnya. Aseng junior minta perlakuan yang benar. “Julurkan lidahmu dulu baru telan…” bisikku memberi tips lalu berbaring lagi telentang di ranjang. Lidahnya yang malah menghalangi jalan nafas karena harus berbagi tempat dengan benda asing pejal panjang ini. Dengan memberi kelonggaran pada ruang rongga mulutnya, pasti lidah mengecil karena dijulurkan keluar berkat fleksibilitasnya. Menurut dan dijulurkannya lidahnya semaksimal mungkin, mencoba.
Masih sesak tapi ia bisa bertahan lebih lama menelan Aseng junior plus menyedot-nyedot, memberikan rasa yang sangat nikmat sekali hingga aku mengerang berulang-ulang. “Mloohh…” lepas Miranda akan kekepannya pada batang Aseng junior-ku yang mengacung tegang bahagia. Diteteskannya ludah ke pucuk, lubang kencingku, mengalir ke bawah, diratakannya dengan tangan dan dikocok-kocok. “Sudah semuanya, pak…” ujarnya menuntaskan semua tugas yang kuberikan padanya untuk melakukan ‘mandi kucing’ padaku.
“Top!’ kataku bangkit dan duduk. Dua jempol tanganku mengacung tanda apresiasi. Sebenarnya tiga karena bareng dengan Aseng junior yang juga mengacung setuju. Miranda masih ada di antara bukaan kakiku yang mengangkang lebar. Ia masih tetap mengocok-ngocok Aseng junior. Halus tapak tangannya, bercampur licin ludahnya memperlancar gerakan naik turun itu.
“Jawabannya, pak?” ia masih bersikeras mau tau jawaban tentang kondisi dirinya dan sang suami, si Hendra paok itu. Ia bersimpuh di depan Aseng junior yang basah oleh ludahnya.
“Apa tadi pertanyaannya? Aku jadi lupa…” tanyaku lagi.
“Apakah kami sudah sembuh, pak? Apakah Hendra sudah benar-benar bisa berdiri tanpa ada bapak? Tolong jawab, pak?” katanya penuh harap. Sudah ada bibit-bibit rinai air mata yang menitik di sudut matanya. Aku menilai ada keinginan yang tulus agar suaminya bisa normal seperti seorang pria lainnya yang bisa menggauli istrinya dengan jantan tanpa harus bergantung pada bantuan pihak lain.
“Bersukurlah kalo si Hendra sudah benar-benar sembuh, Mirr…” jawabku gak mau menunda-nunda lagi. “Awak sudah tidak ada fungsinya lagi sebenarnya… Nanti kalo awak ketemu lakikmu… akan kubilang padanya… kalo dia udah bisa ngapa-ngapain Miranda…”
“Huu huuu huuu…” tiba-tiba dia mewek. Air matanya benar-benar jatuh dari kedua matanya. Ia langsung menutupi wajahnya dengan kedua tangan dan menunduk sampai ke kasur. “Huu huu huuu huuu…” ia terus menangis. Kubiarkan ia menumpahkan semua emosinya. “Makasih, paak… Makasih banyak, paak…” ia meracaukan kata-kata permintaan terima kasih itu berulang-ulang. Gak sampe hati, kuelus-elus kepalanya.
“Sudah-sudah… Kok mesti nangis gini… Mestinya Miranda bahagia, dong?” kataku terus berusaha menenangkannya. Si Aseng junior belum mau turun masih berharap bisa secelup dua celup dulu di keadaan kek gini. Dasar kepala kontol! Gak ada otak! Lobang enak aja yang kao tau! Hu-uh…
“Ini Miranda lagi nangis bahagiaaa, paak… Udah bertahun-tahun kami kawin… huft… Gak pernah sekalipun dia bisa membahagiakanku… Untuk apa harta dan huft… duit banyak kalo Miranda gak bahagia… Gak pernah bisa dia mengentoti Miranda, paak… Cuma pake dildo bisanya… huft… Untuk apa? Miranda juga pengen punya anak seperti yang lain-lain…” isaknya sambil narik-narik ingus yang meler.
“Yaa… Ya sudah… Nanti kalo dia pulang ajak aja langsung… Gak pa-pa… Anggap aja malam pertama klen…” kataku menepuk-nepuk kepalanya lagi sok bijaksana padahal si kontol ini masih ngaceng aja ngarep terus. Aku beringsut turun dari ranjang ini.
“Mau kemana, pak? Kok turun?” tanyanya dengan muka heran. Ia hanya bisa menatapku yang beranjak turun dari ranjangnya.
“Pulang-la… Pake baju…” tunjukku pada tumpukan pakaianku yang menggunung di atas lantai.
“Kok pulang, pak? Ini gimana?” katanya menunjuk sekujur tubuhnya yang telanjang bulat masih terpekur di atas ranjang. “Miranda udah siap-siap dari tadi… Masak langsung pulang, pak? Jangan, dong…” rengeknya. Ternyata ia merasa kentang juga.
—————————————————————————-
“Ahh… ahh… ahh… ahhk… Enaak, paak… Aaahh…” erang Miranda saat kusodok pelan-pelan dengan tusukan dalam berulang. Kakinya berlipat mengangkang dan kuganjal dengan tangan di lipatan lututnya sehingga aku dapat membelah cheese burger-nya dengan leluasa. Aseng junior girang kali akhirnya bisa masuk ke liang kawin binor satu ini. Ia tegang sekeras-kerasnya kala menggasak belahan indah kemaluannya.
“Nanti kalo lakikmu maennya gak enak kek gini… jangan dimarahi, yaa? Nanti datang masalah baru… klen stres lagi… Jangan, ya? Dinikmati aja…” nasehatku sambil terus menggenjotnya. Entah masuk entah enggak ke dalam otaknya yang sudah teracuni kenikmatan begini.
“Iyaaa, paak…” jawabnya asal jawab aja. “Nanti Miranda minta sama bapak lagi ajaa—Aahh… Uhh… kalo gak enak Hendra…” racaunya kuyakin asal jeplak juga. Goyangan tetek bulat 34D-nya mantul atas bawah seirama sodokan dalamku. Aku tergoda untuk menyucup putingnya. “Aahhh… Yaahh… Enaak, paak…” tambahan rasa nikmat dari putingnya yang kuemut.
Nasehat-nasehat juga. Tapi binik orang ini udah kuencrotin sekali dan ini akan mencapai yang kedua bentar-bentar lagi. Abis menikmati kenyal dan mengkal tetek bulat 34D-nya, aku beralih membungkam mulutnya. Tapi masih bisa lenguhan tertahan keluar dari mulutnya yang lidahnya kusedot, bibirnya kukulum. Tusukan Aseng junior bertambah cepat temponya. Erangannya makin cepat repetisinya dan ia pasrah aja apa yang kulakukan pada dirinya. Padahal sewaktu-waktu suaminya, Hendra bisa masuk dari pintu yang hanya sekedar ditutup saja, tidak terkunci. Ini sudah waktunya ia sampai ke rumah sehabis bekerja di SPBU. Mengingat itu, Aseng junior makin meradang gak sabar.
Kutarik bibir bawahnya sangat aku mendengus keras memompakan Aseng junior keluar masuk cheese burger lezat Miranda. Ia hanya pasrah saja mengangkangkan kakinya yang terbuka lebar. “Akh!! Croott… crooott… crooottt… akhh…” kubenamkan sedalam-dalamnya Aseng junior di liang kawinnya. “Hamil kau, Mirr… Hamil!!” erangku seumpama doa. Seluruh ototku menegang, memaksakan semua muatan pelerku untuk berpindah tempat memasuki rahimnya.
Miranda hanya bisa pasrah menarik sprei ranjang yang ada di atas kepalanya jadi tambah awut-awutan. Nafas kami saling berburu oksigen yang langka saat ini. Di sekitar kami terlalu banyak karbon dioksida yang kami hasilkan. Peluh di sekujur tubuh kami hingga berkilat-kilat. Ditambah licin ludah Miranda di tubuhku membuat aroma kamar menjadi sangat erotis. Entah apa nanti tanggapan Hendra kalo ia membaui aroma ini? Kuciumi binor ini merasakan sisa-sisa kenikmatan yang masih mendera ujung saraf. Rasa nyaman sehabis bersetubuh dengan memeluk pasangan. Saling bersentuhan tubuh. Kami masih berdekapan, kakinya kulepaskan hingga terbebas, tidak mengangkang lagi. Terkulai lemas dengan cheese burger penuh sperma.
Kusodok-sodok agar spermaku masuk lebih dalam lagi selagi pantatnya sudah kuganjal bantal. Yakin sudah tersumpal, baru kucabut dari dalam sana. Miranda menggapai-gapai pada Aseng junior-ku yang masih berselemak sperma. Kukabulkan request-nya dan mengarah ke mulutnya. Dengan senang hati dikulumnya batang Aseng junior dalam-dalam. Aku berdiri di atas lutut di samping kepalanya. Dibersihkannya dengan telaten dan sengaja ditelannya sisa sperma yang didapat. Anggap aja itu poding buatnya. Selagi ia membersihkan kemaluanku, kuremas-remas tetek bulat mengkalnya. “Bagaimana perasaanmu sekarang, Miranda? Setelah tau bahwa masalah ini semua… sumbernya dirimu…” tanyaku tapi terus meremas kenyal teteknya.
“Nanti awak mau minta maaf sama Hendra, pak… Ternyata begitu ceritanya… Gak pernah ada yang ngasih tau masalah ini sebelumnya… Makasih, pak…” katanya bertekad. Aku sudah menceritakan garis besar masalah yang mendasari problem yang membelengu mereka selama ini. Kekuatan burung Enggang Gading yang turun temurun di keluarga asalnya malah berubah negatif tiba di dirinya. Bahkan sampai mempengaruhi suaminya sendiri hingga gak bisa ereksi saat berduaan dengannya. Juga sampai membentuk karakter dominan di kehidupan sosialnya. Pribadi yang super egois yang maunya menang sendiri tanpa mau tau kesulitan orang lain. Hendra bahkan terkooptasi sedemikian rupa menjadi submisif terhadap istrinya yang menjadi alpha dominan, seolah bucin sejati.
“Bagus… Bagus itu… Bagus kalo Miranda sadar semuanya… Seorang istri harus nurut sama suami… Itu baru yang betul…” kataku mendukungnya seratus ribu persen. “Eh… Ini masih mau lagi? Dikocokin trus?” tanyaku perihal Aseng junior yang masih dikocoknya pelan-pelan sembari berbaring meresapkan spermaku di dalam rahimnya lebih lama.
“He hehehe… Terus dong, pak… Mumpung Hendra belom pulang… Manfaatkan waktu aja…” katanya tertawa lucu dengan bibir seksinya yang senyum lebar. Katanya barusan mau minta maaf, tapi ini ada pria lain menggenjot cheese burger-nya gak mau udahan? Gak yakin keknya dia dengan kemampuan lakiknya sendiri untuk memuaskannya kelak. “Hamilin Miranda trus, paak…” Ahh… Segala macam setan pukimak dan hantu jelebau tertawa senang menggodaku saat ini lewat rayuan perempuan cantik ber-cheese burger lezat kegemaranku.
“Ayok-laa…”
—————————————————————————-
Tepat setelah aku selesai menaikkan restleting celana panjangku, pria malang itu masuk ke kamar. Ia muncul dengan submisif-nya. Membungkuk-bungkuk ke arahku yang baru saja menggarap biniknya. Ia gak berani masuk lebih jauh dari ambang pintu. Total aku udah ngecrotin binor ini empat kali. Miranda masih berbaring dengan bantal mengganjal pantatnya. Cheese burger-nya beselemak penuh spermaku. Pasti perutnya sangat terasa penuh sekali malam ini dengan nutrisi penuh protein subur dariku.
“Baang Hendraa… Baru pulang, baang?” sapa lemah Miranda yang mengangkang pasrah kecapekan abis kugenjot empat kali bongkar muatan. Aku masih memasang sepatuku lalu memakai jam tangan di pergelangan tangan kiri.
“Ndra… Sini, Ndraa…” panggilku agar ia mendekat. Pria itu mendekat takut-takut. Orang ini pantas takut-takut setelah apa yang sudah kulakukan pada rumahnya waktu itu. Bahkan lantai granit tebal rengkah kubuat dengan pukulan bogemku. Apalagi cuma kepala otaknya itu. Juga aku pernah menyuruh biniknya menyodomi lubang buritnya dengan dildo strap-on itu. Direlakannya istrinya kugenjot sesukaku dan ia hanya mendapat jatah ngocok aja—cuma nonton. Matanya jelalatan melirik pada tubuh telanjang berpeluh istrinya. Apalagi kangkangan kaki lebar diganjal bantal dengan belahan vagina penuh sperma di mulut liang kawinnya. Masih terengah-engah perempuan itu malah. Tapi masih tetap aja menggairahkan pose begini.
“Ya, pak?”
“Sekarang semuanya kuserahkan sama kau, Ndra… Kau udah sembuh sekarang… Nanti awak keluar—pulang dari rumahmu ini… pidong-mu masih terus ngaceng… Jamin!” kataku salah juga ngelirik tonjolan di celananya yang menggembung. Sialan… “Terserahmu mau kao apakan binikmu ini… Mau kao entot bolak-balik sekarang-pun gak pa-pa… Cuma ini masih capek dia… Kasian-la… Okey? Awak pulang dulu… Da-da, Mirr… Bye…” kataku pamit se-santuy mungkin gak menunggu balasan siapapun.
Semoga kehidupan kalian baik-baik saja dari sini kedepannya. Kalo janin itu benar-benar muncul di rahimmu, itu adalah bonusnya. Kupandangi jendela besar yang mengarah ke dalam kamar Hendra dan Miranda. Aku gak terlalu perduli sebenarnya kalo Hendra langsung menggasak istrinya. Itu haknya. Itu ladangnya. Kukendarai Pajero-ku keluar dari halaman luas Mansion ini dan pulang ke rumah.
Aku harus benar-benar membuat garasi di rumahku. Tiap pagi harus cuci mobil karena kena embun repot juga. Ditutup sepenuhnya pake cover gak terlalu membantu apalagi keamanannya juga tidak terjamin. Aku sudah pernah mendiskusikan ini dengan istriku untuk merealisasikan ini ditambah beberapa renovasi dan tambahan beberapa bagian rumah. Apalagi tanah rumahku masih ada yang kosong.
Selesai menutup si Pajero, aku baru masuk rumah. Tentu aja semua sudah tidur tengah malam begini. Anak dan istriku tidur dengan damainya di satu tempat berpendingin AC 1/2 PK yang jarang sekali dimatikan. Singkapan rok daster pendek yang dikenakan istriku naik sampe keliatan CD-nya. Untungnya aku udah lelah empat kali ngecrot malam ini jadi aku gak terlalu selera menggarap ladangku sendiri. Lagipula kasian mengganggu waktu tidurnya setelah aktifitas melelahkan seharian ini sebagai babu rumah tangga.
Ya benar babu rumah tangga. Semua pekerjaan rumah istriku yang mengerjakan. Dari memasak, mencuci, menjemur, menyetrika, membersihkan rumah, membeli bahan makanan, mengurus anak-anak, mondar-mandir sana-sini. Itu jauh dari kata seorang istri yang bahagia. Dia gak pernah mengeluhkan semua itu karena ia senang melakukan semuanya. Bentuk baktinya sebagai seorang istri dan ibu. Apakah sudah waktunya aku mulai mengurangi kerepotannya? Mempermudah hidupnya? Melapangkan beban hidupnya? Tentu. Jawabannya tentu!
Itu sudah tugasku sebagai seorang suami pastinya. Mencari nafkah sebaik mungkin untuk kesejahteraan keluargaku. Apalagi sekarang aku jauh lebih mampu dari sebelumnya. Ini hak prerogatif-ku sebagai kepala rumah tangga untuk menentukan arah bahtera rumah tangga ini mengarah. Aku akan segera merenovasi rumah ini, membuatnya bebannya lebih ringan dengan memperkerjakan asisten rumah tangga, kasarnya pembantu, memberinya kemewahan yang selama ini absen kuhadiahkan padanya.
“Kalau papa yakin dengan ini semua… mama gak akan nanya-nanya lagi duitnya dari mana?” kata istriku setelah kutunjukkan buku tabungan yang sengaja ku-print-kan di bank agar ia melihat nominal duit yang ada di dalam rekeningku. Tadi matanya sempat melotot melihat angka-angka berderet-deret banyak di kertas buku tabungan itu.
“Tapi…?”
“Kalo rumah ini direnov… kita tinggal dimana selama pembangunan itu? Mama gak mau Salwa sama Rio kena debu pasir-pasir… Rumah juga pasti berantakan semua, kan dengan banyak segala macam tukang…” katanya mengemukakan uneg-unegnya. Ini sudah kuantisipasi.
“Selow, ma… Liat ini…” jawaban kekhawatirannya langsung ku-counter.
“Rumah sebesar ini? Maksud papa… kita nyewa rumah ini selama renovasi? Gak kebesaran?” berlipat-lipat keningnya melihat foto sebuah rumah gedong berlantai dua yang besaaar sekali di layar HP-ku. Itu tangkapan gambar waktu aku meninjaunya bersama ajo Mansur waktu itu. Rumah mewah yang kini menjadi milikku di kompleks XXX di jalan Cemara. Bertepatan ada plang ‘Disewakan’ di depan rumah itu.
“Gak nyewa, ma… Kita tinggal nempatin aja… Yang nyewa sebelumnya pindah sebelum waktunya abis… Pulang kampung ke Arab sana…” jelasku. Penghuni WNA yang menyewa rumah itu meninggalkan tempat itu sebelum waktu sewa habis. Ada sekitar sebulan lebih sedikit seharusnya. Agen properti yang mengurus sewa-menyewa itu menghubungiku sebagai pemilik baru tentang kondisi ini. Agen menanyakan apakah boleh disewakan kepada pihak lain yang berminat. Aku hold sementara karena ini momennya sangat tepat.
“Kok enak kali gak nyewa?… Gak bayar… Rumah siapa itu rupanya?” heran istriku. Aduh… Aku harus mengirimnya ke salon untuk perawatan untuk menghilangkan kerutan di wajahnya abis ini. Keningnya berkerut terus dari tadi.
“Rumah kita, maa…” jawabku enteng.
Bersambung