Part #40 : Vony Merasakan Klimaks 5 Kali

“Arrgghhh… Arrhh… Sakit! Sakit! Mamaa!! SAKIT!! AAAHHH! SAKIITT!!” erang histeris Vony berguling-guling dalam keadaan bugil di atas ranjang hotel ini tak memperdulikan apapun kecuali rasa sakit yang mendera sekujur tubuhnya. Berganti-ganti ia memegang dan meremas sebisanya bagian tubuhnya yang terasa sakit tiba-tiba.

Rasa sakit ini adalah akibat perbuatan dukun santet yang melanjutkan pekerjaan kejinya pada tubuh Vony. Tahap pertama ia sudah menyebabkan Vony mandul. Entah siapa yang menyuruh dukun itu melakukan ini semua. Tapi itu tak terlalu kuperdulikan karena yang terpenting adalah siksaan tahap kedua yang diterapkan dukun santet pukimak itu. Ia menusukkan beberapa buah paku sepanjang 4 inchi secara supranatural ke patung pasir Vony di daerah kekuasaannya. Ditancapin paku sepanjang itu di sekujur tubuh secara fisik pasti akan langsung menjadi fatal, tetapi bila secara supranatural begini, pasti bertujuan menyiksa walo akhirnya adalah kematian…

Suara bising histeris yang keluar dari mulut Vony sangat menyedihkan. Erangan senang ato nikmat kala bersetubuh di dalam hotel mungkin akan bisa ditolerir para tetangga kamar yang mungkin juga melakukan hal yang sama. Tetapi suara yang dihasilkan Vony mirip dengan suara penyiksaan yang sangat menyakitkan. Takutnya ada yang akan komplen ke pihak hotel karena keributan ini. Mungkin juga berujung ke pelaporan pihak keamanan malah polisi sekalian.

“ADOOOHH!! SAKIIITT!! MAMA!! MAAMAAA!! SAKIT, MAAMAAA!!” teriaknya berguling-guling menakutkan.

Tak ada jalan lain.

Tubuh telanjang Vony, tepatnya bentuk jiwa tubuhnya kubawa berkelana hingga masuk ke daerah kekuasaanku. Masuk ke taman kecilku. Sebuah hembusan angin yang cukup kuat terpancar dari tubuh Vony yang terjerembab mendarat di rerumputan halus di pelataran luas ini. Daun-daun pepohonan yang tumbuh di taman ini bergetar untuk beberapa saat. Ini sudah cukup untuk menandakan seberapa berat dan kuat santet yang kini tengah menyerang Vony. Panglima Burung si Enggang Gading tapi tak cukup bergeming mendapat gangguan seperti itu, ia masih asik bertengger di satu cabang tertinggi pohon pinus jarum yang merupakan pohon tertinggi di taman ini. Baginya itu hanya sebentuk angin remeh.

Kubiarkan Vony berguling-guling dan menjerit-jerit sesukanya di tempat ini. Hanya aku dan Panglima Burung yang akan mendengar jeritan pilu kesakitannya dengan tancapan beberapa batang paku 4 inchi menusuk bagian tubuhnya.

“Ada yang menusukkan benda-benda jahat itu di tubuh anak ini?” kata Panglima Burung ternyata merasa tak bisa tinggal diam melihat ini semua. Karena merasa pantang menginjak tanah, ia kembali bertengger di tangan kananku.

“Benar, Panglima Burung… Ada dukun jahat yang menyantetnya dengan menusuk paku-paku ini pada patungnya… Ilmunya sangat jahat… Ilmu hitam ini…” kataku sedikit menjelaskan apa yang menimpa pada tubuh anak manusia bertubuh polos tak berpakaian yang bergulingan seperti kesurupan karena menahankan sakit. “Ini tidak bisa dibiarkan lama-lama… Makanya anak bawa dia kemari untuk menyembuhkannya…”

“Jangan dipegang benda jahat itu, anak… Itu perangkap untukmu juga…” cegah Panglima Burung ketika aku hendak berjongkok untuk berusaha mencabut paku pertama yang ditusukkan di sisi kanan kepalanya, tepat di atas telinga. Urung aku menyentuh pangkal paku seukuran 4 inchi itu.

“Racun ya, Panglima Burung?” tebakku. Paku itu terlihat masih baru, berwarna keperakan. Sepertinya baru saja dibeli dari panglong/toko material.

“Benar sekali, anak… Ada racun gaharu Malokkop yang dioleskan di benda jahat itu… Ternyata masih ada memanfaatkan getah gaharu itu untuk kejahatan… Getah gaharu itu sangat berbahaya… Sekali kau menyentuhnya… tubuhmu akan membusuk mulai dari kulit pertama yang bersentuhan dengannya… menjalar terus sampai menghancurkan organ dalam tubuhmu… Dari mayatmu akan tumbuh pohon gaharu Malokkop yang baru… Begitu caranya berkembang biak…” jelas sang Panglima Burung. Hiih. Aku bergidik seram mendengar penuturannya.

“Gaharu Malokkop? Anak belum pernah dengar pohon itu? Apakah itu tanaman langka?” tanyaku masih bergidik takut mendengar kata pembusukan bagian tubuh yang tersentuh.

“Semua pohon itu sudah punah… Aku dan beberapa penjaga hutan lainnya dulu pernah ikut membantu memusnahkan semua jejak pohon itu di daerahku, tanah Kalmantan (Sansekerta dari Kalamanthana, dibaca Kalmantan)… Ada satu bagian hutan kecil di tepi pantai yang sangat jauh dan terpencil tempatnya tumbuh… Ternyata masih ada yang menyimpan getah keringnya dan merubahnya menjadi kemenyan ini…” jelas sang Panglima Burung tentang tanaman berbahaya ini. Cara berkembang biaknya sangat jahat dan mengerikan.

“Jadi… Bagaimana cara mencabut paku-paku ini, Panglima Burung? Dilapis apakah bisa?” tanyaku harus berpacu dengan waktu karena tubuh Vony masih berguling-guling merasakan sakit akibat ditusuk beberapa paku yang sudah diolesi getah gaharu Malokkop. Bisa-bisa tubuh jiwa ini tewas. Untung bukan tubuh fisiknya. Apakah benar? “Bagaimana tubuh jiwa perempuan ini? Apakah jiwanya bisa membusuk juga?”

“Getah gaharu Malokkop ini sangat jahat… Aromanya mirip dengan bau kemenyan sehingga sering disalah artikan… Tidak bisa walaupun dilapis… Apakah tadi patungnya diselimuti asap kemenyan dari getah gaharu ini? Itu malah melindungi tubuh jiwanya untuk sementara…” tanya Panglima Burung. Aku gak mengerti apa maksudnya. Tapi itu benar.

“Iya Panglima Burung… Orang itu waktu menciptakan patung perempuan ini… ia menyelimuti patung pasirnya dengan asap tebal kemenyan ini… selimut-selimut… lalu patungnya jadi… Begitukah maksudnya?” kataku ingat kejadian waktu penciptaan patung pasir sosok Vony di daerah kekuasaan dukun santet tadi, goa dengan langit-langit tinggi.

“Kalau begitu… Ia memang tidak bermaksud untuk membunuh anak perempuan ini… Ia hanya ingin menyiksanya sedemikian rupa… Ia hanya mengincarmu, anak… Ia hanya ingin meracunimu dengan getah gaharu ini… Ia orang yang sangat berbahaya…” beber Panglima Burung. Pukimak dukun santet satu ini. Ia benar-benar tau apa yang sedang dilakukannya. Lagi pula ia dengan tenang melakukan ini semua. Ia bahkan menyandera tubuh dan jiwa Vony dengan menggunakan getah gaharu Malokkop yang sangat berbahaya. Sandera yang berbahaya dengan beberapa buah paku yang tak boleh dicabut sembarangan. Ditusuk paku menyebabkan rasa sakit yang sangat luar biasa bagi tubuh dan jiwa Vony tetapi racunnya tidak membusukkan karena sudah dilapisi asap kemenyan gaharu yang malah bertindak melapisi sebagai anti-nya. Tetapi paku tidak bisa dicabut karena mengandung getah gaharu itu yang beresiko keracunan dan membusukkan bagian tubuh yang menyentuhnya. Berujung pada kematian. Ini benar-benar gila.

Aku merasa beruntung dan bersyukur karena ada Panglima Burung di sini yang memperingatkanku tentang getah gaharu Malokkop ini. Kalo enggak, si Aseng ini pasti sudah mulai membusuk dan menjadi inang tempat tumbuh gaharu Malokkop baru.

“Tidak ada jalan lain kecuali mengalahkan dukun santet itu, Panglima Burung…” sadarku. Aku harus merelakan Vony mengalami rasa sakit yang sangat luar biasa ini dahulu. “Aku harus segera mengalahkannya… Apakah ada saran Panglima Burung?” simpulku. Aku bersiap-siap balik lagi ke daerah kekuasaan dukun santet pukimak itu. Aku ada rencana.

—————————————————————————-
“Nekat kau balik lagi kemari…” tanya sang dukun santet itu masih memegang bokor berbentuk obor dari besi lengkap dengan arang membaranya. Asap tipis mengepul. Tangannya bergerak-gerak di atas bokor itu layaknya sedang membaca jampi-jampi memperkuat santetnya.

“Damai, pak… Piis…” kataku yang muncul dari salah satu lubang-lubang serupa terowongan ini. Aku mengangkat tangan pertanda aku tidak akan menyerang ato melakukan apapun yang bodoh. Aku bahkan mengacungkan dua jari. “Saya cuma mau minta kerjasamanya aja, pak… Ini bisa dibicarakan, kan?” songsongku berusaha mendekat pelan-pelan mengulur waktu.

“Aku tau maksudmu… Aku tau kau siapa… Keluar segera dari sini atau kuhancurkan kepala perempuan ini!” ancamnya lagi akan mengayunkan bokor obor membara itu ke kepala patung pasir Vony.

“Jangaaan! Jangan, pak! Piis, paak… Damai aja, pak?” aku sampe harus menunduk-nunduk dan berlutut agar ia mengasihani korbannya ini. Ia menahan tangannya dari menghancurkan kepala patung itu. “Ganti aja, paak… Aku menggantikannya… Tapi tolong cabut paku-paku itu darinya… Dia bisa mati, pak? Tolong… Aku yang menggantikannya kalo perlu… Tusuk paku-paku itu padaku…” kataku masih berlutut dan menjura minta tolong padanya untuk berbaik hati dan mencabut semua paku itu dari tubuh Vony. Lalu aku yang akan menggantikannya menderita oleh paku-paku itu.

Gilak ya, kan?

Dukun santet itu menyeringai mengerikan. Sepertinya ia mendapatkan jackpot milyaran rupiah mendengarku mengatakan itu semua. Asap kemenyan dari getah gaharu itu mengepul tipis. “Aku tau kau orang yang licin, anggota Ribak Sude… Aku akan mencabut semua paku ini… Tapi kalau kau macam-macam… aku bisa menusukkan lebih banyak lagi paku ini kepadanya…” kata si dukun santet itu. Aku mengangguk-angguk setuju. Ia mulai mencabut satu per satu paku yang menancap di tubuh patung pasir sosok Vony. Di ilmu santet dan teluh semacamnya, media patung, boneka, foto, gambar ato apapun yang merepresentasikan korbannya biasa digunakan untuk mengirimkan serangan ilmu hitam ini. Si dukun santet ini membuat patung korban/target dari pasir.

Si dukun santet itu sudah selesai mencabut semua paku sepanjang 4 inchi itu dari patung pasir Vony. Sisa paku-paku itu dimasukkannya lagi ke tas cangklong lusuhnya dan hanya memegang satu saja di tangan kirinya. Ia beralih padaku dengan senyum seringai mengerikan itu lagi. Gigi-giginya kotor… Huek… Pasti bau kalok dekat nanti.

“Jangan bergerak!” katanya mendekat padaku yang masih berlutut menjura dengan tangan terangkat pertanda menyerah. Ia mengacungkan paku itu di tangan kirinya dan bokor obor itu di tangan kanan, bersiap menghantamku kalo aku macam-macam. Ia berdiri tepat di depanku. Pasti dia akan menusukkan paku itu di sekitar kepalaku. Tubuhnya beraroma kemenyan getah gaharu berbahaya itu karena selalu membakarnya di bokor obor itu.

Aku mengangguk patuh. “Kau pikir kau bisa menahan rasa sakit ini menggantikannya… Aku gak mau tau apa urusanmu dengan perempuan ini… Tapi rasakanlah rasa sakit yang sangat luar biasa ini!” ujarnya memegangi paku itu dan mengarahkannya tepat ke jidatku. Ditekannya paku itu dengan telapak tangannya menembus kulit dan menerobos tulang keningku.

“AAARRGGHHH!!!” jeritku sekuat-kuatnya. Tubuhku mengejang merasakan rasa sakit yang sangat luar biasa itu. Bayangkan suatu benda asing runcing sepanjang 4 inchi itu menembus jidatmu dan menuju langsung ke otak. Aku berguling menjauh dari dukun santet yang tertawa terbahak-bahak melihat penderitaanku ini. Aku menggelupur seperti orang yang sekarat menanti datangnya sakaratul maut. Seperti seekor hewan yang telah disembelih lehernya menunggu ajal.

“Membusuklah kau di neraka!! HA HAA HAA HAAA HAAA!” gelaknya tertawa sangat riang melihatku menanti maut. Mengejang-ngejang menahankan rasa sakit yang amat sangat berpusat dari tertembusnya sebuah paku sepanjang 4 inchi di jidatku. Sedemikian sakit yang dirasakan Vony ternyata. Aku hanya menerima satu paku, sedang perempuan cantik itu menerima 6 buah paku di sekujur tubuhnya. “Kau akan merasakan tubuhmu pelan-pelan membusuk… Organ-organ dalam tubuhmu membusuk… Hati, limpa, jantung, lambung, usus… Dan… BUUSSHHH… Sebuah pohon gaharu Malokkop akan tumbuh dari jantungmu… Pohon yang indah… HA HAA HAA HAAA HAAA!” tawa menyebalkan itu lagi diperdengarkannya. Dukun santet menyebalkan itu bahkan menandak-nandak berjoget campuran koplo dan jaipong sembarangan.

“AAAAARRGGGHHHH!!!” rasa sakit ini sangat menggerogoti kesadaranku. Seperti ada beberapa buah akar bergerak terus tumbuh menggerogoti tubuhku bersumber dari jidatku tempat paku itu menancap. Aku bergulingan seperti yang dilakukan Vony saat meregang tubuhnya. Meregang nyawa. Tak perduli kalo ada racun berupa getah gaharu laknat yang dioleskan di paku ini. Aku harus mencabutnya segera.

“YAA!! CABUT! CAABUUTT KALAU KAU BISAA!! HA HAHH HAA HAHHAHAHHHAAAA!!” ia tertawa-tawa senang berhasil dengan pekerjaan busuknya. “Hakhh…” ia mendekap lehernya. Nafasnya tercekat. Matanya melotot bergerak liar memandang kesekitarnya. Ia merasakan sebuah benda dingin kecil panjang di dalam rongga mulutnya. Menancap di pangkal tenggorokannya. Mulutnya terbuka lebar. “Hakkhh…” ia mulai kesulitan bernafas. Matanya melotot ke arahku. Pada jidatku yang sudah kehilangan paku 4 inchi itu.

Aku bangkit dengan nafas terengah-engah. Kuusap bekas lubang di jidatku dimana tadi tertancap paku laknat itu hingga tak ada lubang lagi. Paku itu sekarang sudah berpindah tempat di dalam mulutnya. Tertancap dalam dan menyebarkan racun getah gaharu Malokkop berbahaya itu. Mulut dukun santet itu mulai membusuk yang artinya racun itu mulai bekerja dari dalam tubuhnya. Aku melempar paku itu saat ia tertawa-tawa senang, membuka mulutnya lebar-lebar tadi.

Dukun santet pukimak itu menggelepar di tanah, melepaskan bokor obor penuh bara kemenyan itu. Kutendangkan beberapa kali cidukan pasir untuk memadamkan bara dan menghilangkan asapnya. Dia hanya memegangi lehernya yang membusuk menjalar perlahan. Aku memandangi tubuhnya yang sekarang menggenaskan. “Dukun santet sepertimu memang harus dilenyapkan dari muka bumi ini… Aku tau semua pekerjaanmu dengan getah gaharu Malokkop ini…” kataku di depannya. Matanya tambah melotot mendengar pengakuanku. Ia tak bisa mengeluarkan suara lagi karena pita suara dan lehernya sudah membusuk dari dalam, busuk menjalar perlahan.

“Kau melapisi seluruh tubuhmu dengan minyak dari asap getah gaharu ini… Asap ini menjadi anti getah jahat ini sendiri… Tapi hanya tubuh luarmu yang terlindungi… Bagian dalamnya tidak… Seluruh gua besar ini adalah sisa pohon gaharu Malokkop yang sudah menjadi fosil, kan? Kau mengumpulkan sisa getah dari pohon yang sudah mati ini dengan membuat banyak lubang-lubang ini… Menambang getahnya dan menjadikannya daerah kekuasaanmu… Walopun sebentar… aku berhasil mendapat sedikit getah ini dan membakarnya menjadi kemenyan lalu menyapukan asapnya padaku… Kepalaku… wajahku dan tanganku ini kebal racun getah gaharu sialan ini… Sedikit luka tidak mengapa untuk membuatmu percaya dengan akting kelas Grammy Award-ku ini… Kau tertipu, kan?” kataku mencabut mandau Panglima Burung itu dari tanah pasir ini. Tempatnya menancap sedari tadi beserta sepasang bakiak Bulan Pencak-ku.

“Sebentar lagi racun pembusuk itu akan mencapai jantungmu… Pohon yang sangat kau cintai itu akan tumbuh di bangkaimu… Ada kata-kata terakhir sebelum kuhentikan pertumbuhannya?” kuhunuskan ujung mata tajam mandau itu ke lehernya yang sudah busuk seluruhnya. Kepalanya sudah menjadi bangkai seluruhnya, seluruh bagian otaknya. “Sudah terlambat, ya?”

“CRAAASSHHH!!”

Sebagian bahunya terlepas dari tubuhnya. Bau bangkai tubuh membusuk tercium kuat dari sebagian besar kepala, leher dan sedikit bagian dadanya yang sudah kepenggal. Menghentikan pertumbuhan pohon gaharu Malokkop dari muncul lagi di dunia ini. Tumbuh dari dalam induknya sendiri yang kini tinggal fosil.

Hening yang tersisa. Patung pasir Vony yang dibuat sempurna itu bahkan luruh hancur bersama dengan sirnanya kekuatan dukun santet itu. Hanya samar-samar deburan ombak di kejauhan yang terdengar. Fosil pohon gaharu Malokkop berlubang ini masih berdiri tegak dengan pongahnya. Bersiap untuk kembali menebar terornya. Menunggu orang-orang culas lainnya untuk memanfaatkannya. Bahkan setelah sekian lama matipun, kejahatannya masih tertinggal dan sanggup menebar kejahatan.

“Panglima Burung…” kupanggil burung Enggang Gading itu. Ia terbang membumbung tinggi keluar dari puncak lubang yang kukira gua ini. Aku akan bekerja sama dengannya untuk memusnahkan tempat ini sampai benar-benar hilang dari permukaan bumi ini. Mandau Panglima Burung kugenggam erat-erat. Aku dari dalam fosilnya dan sang Panglima Burung dari luar. Ini menjadi kombo maut.

“TTUUUTT TUUUKKKK!!!” suara Panglima Burung terdengar nyaring di atas sana. Terasa getaran kuat menggetarkan pasir-pasir tempatku berpijak. Ia sudah mulai menandakan aku juga harus mulai.

“Pedang Selatan Memapas Bulan…” kukerahkan salah satu jurus pedang penghancur dengan mandau andalanku. Jurus ini ditenagai juga oleh kuda-kuda kuat memakai bakiak Bulan Pencak karena target serangannya sangat masif hingga membutuhkan energi pancaran Lini yang ekstra kuat. Getaran lantai pasir ini bertambah kuat bahkan rengkah, begitu juga dengan dinding-dinding keras serupa karang di sekitarku. “HEAAAA!!!”

Serangan dari dalam dan luar fosil pohon gaharu Malokkop dengan kombo dahsyat ini menghancurkan benda jahat ini sampai berkeping-keping. Panglima Burung yang pernah menjadi bagian dari tim penghancur pohon-pohon ini tentu saja merasa bertanggung jawab meneruskan pekerjaannya karena ternyata masih ada yang belum tuntas dan tersisa, masih bisa menebarkan kejahatan bahkan dari bentuk matinya.

Tak ada yang tersisa lagi. Hanya ada bayangan gelap yang merupakan bentuk kegelapan malam di langit tak berbulan-bintang dan hamparan gelap laut di kejauhan di sebelah sana dan hutan lainnya di arah sebaliknya. Panglima Burung terbang berputar sebentar di atas sana lalu menghilang kembali ke tempat sementaranya. Aku juga harus keluar dari tempat laknat ini. Kembali ke Vony. Aku harus menjemput Vony yang tubuh jiwanya sedang berada di taman daerah kekuasaanku.

Vony

 

Saat aku memasuki taman kecil penuh pepohonanku, ekspektasiku adalah melihat tubuh telanjang Vony yang habis guling-gulingan di rumput seperti terakhir kali kutinggalkan. Ternyata tidak, ia malah sedang asik berayun-berayun di teduhan hammock buatanku sambil memandangi buah-buahan ranum yang tumbuh di pohon. Begitu melihatku, ia langsung mendekap dadanya menutupi gembungan payudara sebesar bakpao jumbo itu secara refleks. Telanjang bulat di taman seindah ini membuatnya natural seperti Hawa di taman Surga sebelum turun ke Bumi. Ia menungguku datang menghampirinya.

“Sori ya kelamaan… Sudah gak sakit lagi, kan?” tanyaku berdiri di tepi hammock itu. Ia menggeleng. Vony masih menutupi gundukan dada yang selangkangannya dengan tangan malu-malu tentunya. Aku sudah lupa, berapa lama Vony kutinggalkan di taman daerah kekuasaanku ini. Ia menunduk gak tau apa yang harus dilakukannya. Mau lari kemana, ato ngumpet dimana di tempat asing ini.

“Vony pasti bertanya-tanya… Kok aku ada disini? Ini dimana? Kok tiba-tiba ada di taman? Kok udah siang?” kataku merangkum beberapa pertanyaan yang pasti akan ditanyakannya. Ia melirikku karena setuju dengan apa yang kira-kira akan ditanyakannya.

“Ini bukan dunia nyata, Von… Ini alam spiritual… Tidak ada matahari di sini, kan? Tempat ini akan selalu terang karena aku ada di sisi yang terang… Tubuh ini bukanlah tubuh fisikmu… Ini tubuh jiwamu yang awak bawa ke daerah kekuasaan awak ini… Tempat semacam ini lazimnya dimiliki oleh orang-orang yang berkecimpung di dunia Menggala… Seperti juga dukun yang telah menyantetmu itu…” kataku menjelaskan garis besarnya aja. Gak perlu dijelaskan detail karena gak akan sampe ke logikanya.

“Tadi… terasa sakit banget seluruh tubuhku, bang… Kepala… jantung, perut… tangan dan kakiku… Lalu tiba-tiba hilang begitu aja… Apa tadi itu? Apakah itu santet dukun itu, bang?” tanya Vony sedikit mengendurkan dekapannya pada payudaranya. Vony yang telanjang di dunia nyata, sama dengan yang kubawa kemari.

“Dukun santet itu udah awak bereskan, Von… Vony udah sembuh sekarang… Lebih baik awak membawa pulang Vony… Gak baik lama-lama di sini…” kataku berusaha menyentuh bahunya. Ia berusaha sedikit menghindar tetapi tak lama… Balik lagi ke alam nyata. Mata perempuan cantik itu berkedip-kedip kaget mendapati perubahan drastis lingkungannya. Sekejab mata taman tadi berubah menjadi kamar hotel yang telah di-booking-nya. Ia berbaring di ranjang yang acak-acakan setelah tadi berguling-guling kesakitan akibat tusukan beberapa buah paku berukuran 4 inchi di tubuhnya lewat serangan santet dukun sialan itu. Kalo kejadiannya kek gini, aku hanya bisa pasrah kalo gagal menyetubuhinya malam ini.

Yang pertama kali kuperiksa adalah lorong hotel ini. Adakah orang yang kepo ato penasaran dengan teriakan histeris dan memilukan yang keluar dari Vony sebelumnya? Sepertinya aman… Tadi Vony tereak-terak gak sampe 10 detik karena tubuh jiwanya langsung kubawa ke daerah kekuasaanku. Tak ada jeda waktu dan langsung sembuh. “Amaaan…” kataku lega dan menghampiri Vony yang membungkus tubuh telanjangnya dengan selimut. Aku gak bisa menyalahkan reaksinya.

Keningnya berkerut-kerut berpikir dengan menunjuk sana-sini dengan mulut menganga tapi tak ada pertanyaan keluar dari mulutnya. Wajar sih kalo terguncang atau kaget mengalami fenomena membingungkan seperti ini. Tapi aku terpaksa melakukan ini semua karena keadaan. Aku berimprovisasi sebetulnya. Mudah-mudahan aja Vony gak membocorkan kejadian ini walau ini gak termasuk dalam perjanjian tiga pasal kami.

“Apa yang sebenarnya terjadi, bang? Vony kok seperti orang linglung gini, ya?” tanya Vony setelah berhasil merangkai kata-katanya. Tubuhnya masih terbalut selimut. Aku udah pasrah kalo gagal nyoblos. “Tadi kita hampir ‘melakukannya’, kan?” ia menambah gesture quote-unquote dengan dua jari kedua tangannya. “Tiba-tiba badan Vony merasakan sakit yang luar biasa… Disini… di kamar ini… Lalu bangun-bangun gak kerasa sakit lagi… Vony ada di taman itu… Vony jalan-jalan sebentar walau bingung dalam keadaan telanjang… Baju Vony entah dimana… Jalan-jalan lagi dan duduk di tempat tidur gantung itu… Ayun-ayun sebentar… bang Aseng muncul… bilang kalo Vony udah sembuh… Dukun itu sudah dibereskan… Trus balik lagi ke kamar ini… Bingung Vony, bang…” tangannya ke sana-kemari mengekspresikan keadaan yang sudah dialaminya. Tunjuk sana-tunjuk sini. Aku hanya mendengarkan saja dan duduk di tepi ranjang, membiarkannya nyaman di tengah.

“Memang gitu metode penyembuhannya ya, bang?” ia malah sampai pada kesimpulan itu sendiri. Aku mengangguk saja.

“Vony udah sembuh, dong?” girangnya dengan mata indah berbinar-binar. Senyumku tambah lebar membenarkan.

“Yeee…” ia membentangkan tangannya lebar ke atas. Memampangkan seluruh tubuh atasnya yang telanjang karena ia menyibak selimut yang menutupi tubuhnya dengan perayaan kegembiraan yang membludak mendadak. “Sembuh-sembuh…” Lalu dengan cepat ia menyadari perayaannya malah mengekspos tubuh telanjangnya. Dikumpulkannya kembali ujung-ujung selimut untuk menutupi tubuhnya dengan mimik malu-malu.

“Kok ditutup lagi?… Dari tadi awak udah nampak semua, kok… Nampak sampe itu-itunya segala…” kataku bermaksud pada kemaluannya dengan pandangan mataku yang sudah keliatan ditunjukkannya tadi sebelum proses pertarungan dimulai.

“Malu, baaang…” katanya manja. Ini nada imut pertama yang kudengar keluar darinya. Ia menyelimuti dirinya kek orang yang lagi meriang gitu. Aku tertawa kecil. Ia juga tertawa. Kami saling menertawakan kelucuan masing-masing. Kembali lebih cair sekarang. Gak gagal-gagal amat. Hanya perlu pendekatan ulang. Vony ini model roller coaster. Naik turun libidonya. Hanya perlu memacunya agar menanjak lagi setelah sempat turun dari ketinggian. Dan aku tau cara cepatnya.

“Biar Vony gak malu… Awak buka juga semua-ahhh…” kataku melepas sabuk, kancing, restleting dan meloloskan apapun yang masih tersisa di kakiku. Berdenting suara gesper-ku yang menyentuh lantai. Vony melongo melihatku ikut bugil seperti dirinya. “Taraaa… Sama kita ya, kan?” kataku belagak riang gitu. Untung aja aku gak sampe lompat-lompat kek penari balet sangking berusaha memeriahkan suasana.

“Hihihihi…” Vony ketawa lucu ngeliat tingkahku apalagi aku juga meniru keadaannya. Ia menunjuk-nunjuk ke arahku dengan kocak. “Bang Aseng lucu-ih… Gak malu tuh itunya keliatan?”

“Ya ndak, toh… Lha wong saya gajah, kook… Ini belalainya… Tweeett… tweett…” dah kek orang paok candaanku. Bisa-bisanya Aseng junior dijadiin belalai gajah dan perut yang mulai six pack diendut-endutin menggelembung. Vony terkekeh ketawa terbahak-bahak bertepuk tangan. Ahh… Beban hidupnya sedikit terangkat. Ia bisa tertawa dengan riang. Seperti ada spotlight dari surga yang menerangi sang Hawa penghuni sementara taman kecilku. Semoga hari-harimu lebih ceria dan bahagia ke depannya Hawa cantikku. Ia tertawa-tawa sampai terkekeh melihat tingkahku yang udah kek badut untuk menghibur suasana hatinya yang seumpama roller coaster itu.

“Makasih ya, bang… Abang Aseng udah nyembuhin hati Vony… Memang tidak ada gunanya balas dendam…” katanya sembari menghapus air mata yang terbit di sudut matanya saat tertawa tadi. Aku juga begitu. Udah lama gak ketawa kek tadi. Benar… Menyembuhkan hatinya. Luka supranaturalnya sudah sembuh. Luka fisik bisa diobati, luka hati yang terkadang menghambat perkembangan. Aku bermaksud memakai lagi celana panjangku. “Loh? Kok dipake lagi?”

“Kan gak jadi, ya?” simpulku. Lain waktu aja kali.

“Trus Vony sendirian, dong…” ia malah melepaskan selimut yang dari tadi menyelimuti tubuhnya hingga sepasang payudara seukuran bakpao jumbo itu terlihat lagi. “Gimana Vony hamilnya coba?”

“Hamil? Masih bisa?” tiba-tiba aku menjadi bersemangat lagi. “Lanjut, nih?” kubuka lagi celanaku dan Vony senyum-senyum melihat tingkahku lagi. Direbahkannya tubuhnya ditumpukan selimut yang jatuh di sekitar tubuhnya. Aseng junior yang mendapat prospek bagus menggeliat bangun, bergantung menghangat beringsut ke ukuran tempurnya. Diundang sedemikian rupa, aku merangkak naik ke atas ranjang dimana Vony berbaring pasrah dengan tubuh indah telanjangnya.

Merangkak naik hingga rapat ke tubuhnya, menghimpit tubuhnya yang bersandar pada beberapa bantal yang tadi kususun di awal. Diterimanya tubuhku dengan senang hati. Senyum tak lepas dari wajah cantiknya. Kami berpandangan lekat tak lepas. “Bisa kita mulai lagi?” aku terpana dengan senyum tulusnya. Ditariknya wajahku agar mendekati wajahnya. Dikecupnya bibirku, membuat kami me-restart kegiatan nikmat ini dari awal.

“Muach… muuahh… slrrpp… sluurpp…” saling cumbu bibir, mulut dan lidah kami ulangi seperti sebelum kejadian dengan dukun santet tadi. Semangat dan nafsu kami setara saat ini. Saling cumbu bertukar ludah dan membelit lidah. Cukup lama kami di posisi berhimpitan begini dengan mulut beradu lekat. Bibirnya kukenyot, lidahku disedot, bibirnya kujilat, ludahku dihisapnya, lidah kami saling belit.

“Uuhhmm…” desahnya begitu mulutku beralih turun dan menciumi pipi lalu ke telinganya. Kujilat sebentar lalu turun ke lehernya. Tangannya sendiri mengelus-elus lenganku. Sampai ke dada seukuran bakpao jumbo-nya, lincah lidahku bermain di salah satu putingnya yang kembali mengeras sementara yang sebelah diremas-remas lembut. “Enak, baang… Umm…” desahnya menikmati perbuatanku. “Isep yang kuat… Mmm… Remes yang kuat juga… Yaahh…” Vony menyuarakan preferensinya. Sukanya yang kuat-kuat ternyata.

Sedotan dan remasan tanganku meningkat lebih kuat. Putingnya yang kusedot meruncing memasuki mulutku. Begitu juga dengan remasanku menyebabkan bakpao jumbonya penyet peot lumer di tanganku walopun bentuknya tetap bagus dan kenyal aja. Vony menjulangkan tubuhnya dengan mata terpejam mendesah keenakan. Aroma tubuhnya merasuk dalam ke hidungku yang melekat erat ke kulitnya. Wangi tubuhnya meracuni otakku hingga aku tak jemu-jemu menghirup aromanya dan terus menikmati tubuhnya. “Aaahh…. Yaahh… UUhh… Uaahhh…”

Aku memanjat naik lagi dan mencaplok bibirnya, kembali bercumbu mulut. Mendesakkan Aseng junior-ku yang sudah tegang keras maksimal ke tubuhnya. Kepalanya membentur-bentur perut Vony. Ia hanya menyambutku dengan pelukan erat dan membuka kakinya lebar-lebar, mempersilahkanku masuk. Ia sudah percaya kiprah Aseng junior-ku, sudah pasrah untuk dimasuki kapan saja. Sudah banyak bukti keampuhannya juga. Udah gak sabar pengen masuk…

“Baang… Udah bisaaa?” kata Vony menjangkaukan tangannya ke bawah dan menemukan kemaluanku yang menggesek perutnya, minta izin ikut pilkada, eh nyoblos. “Ahhss… Kerasss… Uhh…” digesekkan kepala Aseng junior kebelahan basah nan hangat di antara bukaan kakinya. Rasa enak segera menyergap ujung-ujung saraf perasaku yang berada di ujung kepala Aseng junior yang sensitif mengetahui gak lama lagi ia akan memasuki sarang baru.

Basah malah becek sudah terasa oleh cairan semi kental di bukaan yang perlahan dibelah Aseng junior. Makin lebar Vony melebarkan kakinya disela kecupan kecil yang kulakukan. Vony menikmati milimeter demi milimeter masuknya Aseng junior-ku ke dalam liang kawin hausnya. Dipejamkan matanya meresapi rasa nikmat sebagaimana aku juga menikmati gerinjal-gerinjal sempit liang kawinnya mencengkram erat batang kemaluanku. Masuk sedikit tarik sedikit, masuk lagi sedikit lebih dalam lagi dan tarik lagi sedikit lagi. Kuciumi dagunya saat Aseng junior bercokol seutuhnya di dalam tubuh perempuan cantik ini. “Aahh… Dalam banget, baaang…”

Vony menyesuaikan tubuh dan mentalnya sebentar dengan Aseng junior yang sudah menemukan sarang barunya. Remasan-remasan serupa kegel yang mungkin gak disadarinya seirama degub jantungnya, meremas Aseng junior secara ritmis. Mulutnya masih sibuk mengumpulkan isi paru-paru yang menyebabkan bakpao jumbo-nya kembang kempis. Bolak-balik ia meneguk ludah selagi kami bertatapan. Aku meyakinkannya kalo ia bisa bersiap semampunya dengan mengecup-ngecup bibirnya. Diusap-usapnya dadaku sambil bernafas berat. Hangat nafasnya menerpa wajahku. “Bentar ya, bang… Punya abang agak lebih gede dari punya Wisnu… Umm… Kerasa ya kedutannya? Coba mulai, bang…”

“Aaahh… Enak bangeeet, baaang…” ketika goyangan sederhana pelan kulakukan maju mundur. Ia terus mendesah berulang ketika kuulangi pompaan itu. Tubuh kami rapat saling berhimpitan. Dadaku menekan payudaranya, mulut kami terus bercengkrama, kelamin kami apa lagi. Lancar gerakan memompa kulakukan walo seseret itu liang kawin perempuan cantik binor si Wisnu ini. “Aaahhsss… Bisa lebih kuaaat?” pintanya.

Kuposisikan kakiku menopang tubuhku agar tidak menindihnya lagi sehingga sodokanku bisa lebih panjang dengan kombinasi tusukan andalan 2-1-ku. “Cleb-cleb-cloop! Cleb-cleb-cloop! Cleb-cleb-cloop!” berulang-ulang kulakukan sesuai request-nya menyodok kuat tiap hentakannya. Hasilnya ia mengerang seperti kesakitan yang sejatinya keenakan. Matanya memejam erat dan mulut meracau. Tangan mengepal selimut dan apapun yang dapat diraihnya. Kakinya menjepit pinggangku berganti-ganti.

“Jyaahh… Ahh… Akh…” tubuhnya berkejat-kejat gemetar. Bokongnya terangkat tinggi hingga Aseng junior terbenam dalam dan diremas-remas kuat akibat orgasmenya ini. Kami hanya bisa berpelukan erat menunggu efek kenikmatan itu pudar. Vony menekankan dagunya di bahuku mencari udara segar yang langka di sesaknya atmosfir persetubuhan kami. Sebagian besar punggungnya masih bersandar di bantal yang bersusun. Lalu pelukan tangannya mengendur sehingga aku bisa memberi jarak lekat tubuh kami, menikmati ekspresi puas tercermin di wajah cantiknya.

Sungguh sebuah pemandangan yang menyenangkan menikmati sorot kebahagian yang terpancar dari sinar mata cerianya ini. Semoga ini adalah tampilan sepanjang hayatmu, wahai perempuan cantik. Dikerjab-kerjabkan matanya dengan puas walo napas masih ngos-ngosan akibat orgasme enak barusan. “Kok dicabut lagi, bang?” tanyanya memegangi bagian kepala Aseng junior yang kucabut seperti mencegahku meninggalkannya. Sentuhan tangan lembutnya memberi rasa geli yang enak sekali.

“Tadi enak kali, Voon… Ampir nembak awak jadinya… Agak direm dulu bentar, yaa?” kataku ngasih alasan mengada-ada. Padahal aku pengen menikmati tubuhnya lebih lama. Jilmek contohnya.

“Gak pa-pa, bang… Tembakkan aja… Vony gak pa-pa… Yang penting Vony bisa hamil aja…” katanya siap-siap aja nerima spermaku di dalam rahimnya.

“Nanti pasti awak tembakkan ya… Vony nikmati aja yang ini…” kataku beringsut mundur menghadapkan mukaku ke selangkangannya yang bertambah becek abis orgasme tadi. Kubenamkan mukaku dengan rakus pada becek belahan vagina yang lumayan tembem Vony setelah kupuas-puaskan memelototi bentuk indahnya yang berjembut pendek dicukur rapi pada bagian atas saja. “Sluurp… sllurrpp… Slrrkk…” suara nakal basah jilatan dan seruputan mulutku menikmati si tembem.

“Auh… Yaahh… Sedot kuat, baang… Yah gituuuh… Oohh…” pintanya ketika seruputanku beralih ke kacang itil imutnya yang lumayan mencuat akibat terangsang persetubuhan barusan. Lidahku bermain, jariku juga menusuk masuk menambah Vony menggelinjang liar. Tubuhnya meliuk-liuk indah seperti sebuah bandul yang berayun. Rambutku diacak-acaknya kadang diremas dan dijambaknya. Sedotanku tambah menggila dengan mengucurnya cairan baru yang deras bertambah. Aku seperti mereguk segarnya mata air.

Tak lama ia kembali orgasme seperti kusodok dengan Aseng junior di awal tadi. Tubuhnya berguncang-guncang seksi dengan bakpao jumbo-nya juga ikut memperindah semua kenikmatan ini. Nikmat melihat perempuan cantik ini mendapatkan puncaknya berkat ulahmu. Kubiarkan ia menikmati semuanya sepuas-puasnya, tentu saja mulut dan jariku harus kulepas. Kupandangi tubuh indahnya yang mulai memudar rasa nikmat itu.

“Enak banget, bang… Abang bener-bener ahli-ih…” puji Vony memerah Aseng junior-ku yang ditariknya merapat ke arah perutnya. Dikocok-kocoknya pelan agar siap mencoblos dirinya lagi. Aseng junior sudah tegang keras dari tadi. Siap kapan saja untuk diajak tempur. Kakinya dilebarkan siap untuk menyambutku memasukinya lagi.

“Senang kali liat Vony kek gini… Bahagia abis kesannya… Gak sia-sia awak capek-capek kek gini…” kataku memegangi kedua lututnya, Aseng junior junior sudah kugesek-gesekkan ke si tembem basah lagi. “Lagi yah?” Ia mengangguk yakin masih dengan paras ceria.

Aseng junior tergelincir masuk dengan mudah di posisi standar senggama sang pria di atas. MOT. Sambutannya dengan mendesah menggairahkan, menikmati dengan sepenuh hatinya kala Aseng junior membelah si tembem yang merekah merah basah. “Aaahhsshh…. Sshhaahh… Uhh…” disambutnya tiap sodokanku dengan hentakan mengadu kelamin kami hingga membentur menyuarakan suara tepukan khas.

“Plok-plok-plok-plok!” suaranya intim sekali. Gak terasa aku semakin mempercepat tempo sodokanku karena untuk apa juga ditahan lama-lama ya, kan kalo bisa tamboh lagi dan lagi dengannya. Ia pasti akan senang sekali mendapat curahan cairan bibit suburku berulang-ulang asal diberi kenikmatan yang setara juga. “Voon… Uhhh… Mau nembaak… Iniihh dyaahhh…” erangku gak nanggung-nanggung lagi. “Croot Croott Crooottt!!!”

Vony mencengkram otot trisep-ku saat kusemprotkan banyak sekali sperma kentalku ke dalam rahimnya. Membanjiri rahimnya yang selama ini terganggu ilmu hitam santet itu, yang membuatnya tak dapat hamil walo sudah berbagai macam cara pengobatan dan perawatan dijalaninya. Mulutnya menganga lebar merasakan panas dan penuh rahimnya dibanjiri spermaku. Apalagi Aseng junior masih menyumpal liang kawinnya yang masih berkedut-kedut memeras sisa-sisa muatan yang belum sepenuhnya memasuki haribaannya.

“Ahh… Banyak banget, bang? Ini bisa beneran hamil Vony, bang kalo sebanyak ini…” pujinya akan kuantitas sperma yang telah kusetorkan padanya. Perutnya mungkin terasa penuh karenanya. “Kental lagi…” saat kucabut Aseng junior yang masih merasakan enak-enak puas abis ngecrot barusan. Selimut yang berserakan disekitar tubuh bugilnya kukumpulkan menjadi semacam tumpukan untuk mengganjal pantatnya agar terangkat lebih tinggi dari perutnya, menahan spermaku lebih lama dan meresap bekerja membuahinya. “Vony lagi masa subur-suburnya nih bang harusnya di tanggal ini…”

“Huh huh huh… Kalo memang diizinkan sama yang Kuasa, harusnya Vony bakalan hamil gak lama lagi… Cuma untuk meyakinkan aja… Kita harus melakukannya beberapa kali… Setuju?” kataku berusaha mengambil keuntungan di balik usahanya ini. Sebenarnya hanya ini keuntungan yang kudapat murni dari tiap perjanjianku selama ini dari para binor. Keuntungan kenikmatan yang luar biasa tiap kali aku menikmati tubuh mereka yang dengan rela menerima setoran spermaku yang terbukti subur. Gak setiap binor mau menerima dengan rela relung kemaluannya diisi bibit pria lain selain pasangan resminya. Berkat masalah beragam yang mereka alami, aku mendapat keuntungan diizinkan memasukkan bibit suburku. Mereka dapat anak, aku dapat enak.

“Setuju, bang Aseng… Gimana kalo untuk beberapa hari ini Vony tinggal di kamar hotel ini aja… Nanti Vony extend (nambah hari), deh nginapnya… Jadi bang Aseng malam-malam pulang kerja langsung kemari aja… Supaya Vony lekas hamilnya… Setuju?” Waduh… Malah nambah hari. Tadi maksudku hanya nambah ronde aja malam ini. Apa aku harus terus alasan lembur banyak kerjaan di kantor jadi telat pulang? Dengan terpaksa aku mengangguk setuju. Salahku juga sih…

“Ini diapain, bang?” tanyanya mengenai tumpukan selimut yang diuwel-uwel mengganjal pantatnya.

“Supaya lebih tinggi aja… Biasanya awak pake cara itu gampangnya… ups!” kataku langsung membekap mulut agar gak banyak mulut membocorkan hal yang gak perlu. “Pokoknya biar mudah hamilnya…” ralatku. “Biar dulu sebentar… Biar mereka bekerja dulu…” kataku menggerakkan seluruh jari tanganku mengumpamakan pergerakan para spermaku yang lagi berenang lincah berebut menembus sel telur.

“Ooh… Gitu… Pernah dengar, pernah nyoba juga…” kata Vony sembari mengelus-elus perutnya yang terasa penuh sesak oleh spermaku yang tak bisa dibendung mbrebes keluar juga sedikit dari sela-sela bukaan liang kawinnya.

Kuhenyakkan tubuhku di samping tubuh Vony, berbaring manja di sampingnya. Memposisikan diriku di ketiaknya, menghidu aroma wangi tubuhnya walo sudah berpeluh habis tempur ronde pertama tadi. Tanganku menowel usil puting dan meremas bakpao jumbo-nya.

“Bang Aseng gak pernah ngerasa perasaan yang lain gitu… abis kayak-kayak gini?” tanya binor ini, kakinya yang terbuka menyenggol-nyenggol pahaku.

“Dikit-dikit gitu pernah sih… Tapi cuma karena situasi aja… Abis itu ilang sendiri, sih…” jawabku taktis.

“Sekarang ada?” singgungnya lagi.

“Ada… Ya tadi itu… dikit aja… Cuma karena kebersamaan yang intim aja… Gak munafik sih awaknya… Tapi nanti ilang sendiri…”

“… kalo dah ketemu istri di rumah?” sambungnya menyambar ucapanku barusan. Ia mengatakannya dengan nada tidak cemburu. Mau cemburu gimana kami masing-masing punya pasangan sah? Sarkas mungkin sindiran. Tapi aku memilih untuk mengacuhkannya. Memang tidak boleh ada perasaan yang lebih dari ini, lebih dari sekedar tolong menolong. Itu ‘tidak’ yang sangat besar. Cuek terus mempermainkan bakpao jumbo-nya.

Tangannya juga tak kalah usil, menjangkau dan menggenggam Aseng junior. Kocokannya telah berhasil membangunkan si macan kecil hingga berubah menjadi rudal. “Ih… Cepat ya bangunnya lagi…” senang nada suaranya mendapati si Aseng junior bangkit lagi ke mode tempurnya. Ia makin ganas mengocok batangku dengan antusias. Kukira ia masih ragu-ragu untuk mengambil langkah ini tapi kepalanya tanpa ragu langsung menunduk.

“Aaahhsss… Voonn… Enak, Voon… Uuumm…” erangku merasakan keahlian Vony memperlakukan kemaluan lelaki dengan mulutnya. Tentu aja, kehidupan seksnya sebelum masalah ini mencuat dengan sang suami cukup sehat. Keahlian sepong-menyepong ini tentu saja ia punya. Wisnu pasti klepek-klepek dengan skill ini. Gak ragu ia menjilati batang Aseng junior-ku yang tadinya masih berlepotan sperma mengeringku. Sejumlah besar ludah digunakannya untuk membasahi menjulangnya monumen kejantananku ini lalu disedot-sedotnya rakus. Aku sampe merinding DJ merasakan nikmat sedotan yahudnya.

Pihak yang telah menyuruh menyantet Vony pasti juga telah melakukan sesuatu pada suaminya; Wisnu. Menyebabkan pria itu melakukan hal-hal menyebalkan yang telah membuat Vony bersedih sedemikian rupa di kehidupan pernikahannya yang sepatutnya indah. Gonta-ganti perempuan yang diklaimnya bisa dihamilinya, sebagai ganti Vony yang tak kunjung hamil. Itu rumah tangga yang sangat kacau. Tidak ada lagi rasa hormat, kasih sayang apalagi cinta. Vony meledak dan bermuara pada malam ini. Rahimnya berisi sperma pria lain.

“Aadoohhh, Voonn… Mantap kali… Ahh…” jeritku puas karena ia memanjat ke atas tubuhku, membelakangi dan menduduki perutku, Aseng junior masuk menusuk. Di posisi seksi dan menggairahkan ini, aku bisa menikmati pemandangan belakang tubuhnya, bodi berlekuk bagus bagai gitar, pinggul lebar, kulit putih dan leher jenjang karena ia mengarahkan rambut panjangnya ke depan. Aku bisa menikmati pemandangan belakang tubuhnya dengan utuh tanpa hambatan apapun. Gerakan pantatnya naik turun mengocok Aseng junior dengan goyangan mantap. Berkali-kali aku dapat menyaksikan lubang anusnya mengintip dari tunggingan pantatnya. Ahhh… Ini sangat menggairahkan sekali.

Kuelus-elus kulit halus punggungnya sebagai bentuk apresiasi keindahan yang kunikmati saat ini. Mulus bak pualam mahal serba perawatan kelas VIP. Beruntung sekali aku bisa menyicipi keindahan dan kemewahan ini. Jepitan si tembem juga terasa VIP jadinya karena semua kemewahan ini. Apalagi gerakan yahudnya. Selagi ia bergoyang, ia juga mendesah-desah seksi ikut serta merasakan kenikmatan juga. Disentuhnya dirinya sendiri dengan sekali-kali menoleh ke belakang untuk tau gimana keadaan dan reaksiku akan kreasinya. “Ah ah ah ahhh…”

Berbenturan pahanya dan selangkanganku menyuarakan simfoni gairah di malam di hotel sesuai dengan mimpinya. Hotel yang sama ia ingat di dalam bunga tidurnya, yang membawanya masuk dalam sebuah perjanjian tiga pasal denganku; untuk menghamilinya. “Plok plok plok plok…” seperti memberi aplaus selamat akan keberaniannya melakukan kegilaan ini.

Aku gak sabar untuk menyentuhnya lebih intim, lebih dari ini. Bangkit dan kedekap perutnya, kuciumi leher jenjang putih yang mulai berkeringat. Bahkan peluhnya terasa lezat dan manis. Rakus kujilati kulitnya merasakan nikmat aroma tubuhnya. Vony makin mengerang keenakan. Ada sekitar 5 menit Vony melakukan posisi wadon on top ini dan itu sudah cukup bagus di levelnya. Seorang binor yang baru mulai nakal sudah sangat bagus bisa melakukan ini semua.

Nafasnya lumayan ngos-ngosan kala ia berhenti dan menyandarkan tubuhnya lekat padaku. “Hash hash hash… Capek, baaang…” Tetap kuciumi leher dan pipinya. Bakpao jumbo-nya tentu saja menjadi mainan favoritku. Kuremas-remas kuat, kubetot dan tarik putingnya ke berbagai arah, membuatnya tambah mengerang keenakan. Kurebahkan tubuhku dan dirinya, masih menghimpitku dengan punggungnya. Kukoreksi posisi kakiku untuk mengambil alih kendali gerakan.

“Ah Ah Ah Ah!” menjerit-jerit kecil ia kala Aseng junior menjojos kencang kemaluannya di posisi ini. Tubuhnya yang punggungnya menindihku, kaki terbuka lebar ditusuk tempo cepat berulang-ulang. Apalagi bakpao jumbo-nya kuremas keras. Kupompa cepat dengan gemas bertujuan untuk membuatnya kembali mendapat kenikmatan orgasme itu. Setidaknya dia harus mendapatkannya sekali tiap rondenya agar aku dapat terus menjaga suasana senang hatinya. Orgasme itu terapi kebahagian yang murah. Apalagi aku gak menarik bayaran berupa materi dari ini. Cukup dengan kenikmatan mutual saja.

Ditambah kukobel-kobel juga kacang itilnya yang mencuat keras dari belahan atas si tembem. Kobel cepat kadang kupencet malah dicubit juga karena walo segini lembutnya perempuan cantik ini, ia suka diperlakukan dengan sedikit kasar. Tambahan beberapa rangsangan kuharap dapat mempercepat semua. Kupingnya juga kujilati, semua bagian tubuhku bekerja optimal gak ada yang nganggur.

Terasa tubuhnya menegang dan jeritan-jeritan histeris Vony membahana di kamar hotel ini. Dan saat kakinya mengangkat tubuhnya menjulang, kulepaskan Aseng junior dari jepitan sempit si tembem. “HYYAAHHhh… Ahh… Ahh…” perutnya terangkat-angkat ke udara bebas melepaskan beban orgasme yang membuncah ke arah dunia lepas. Semoga ia melepaskan semua beban pikirannya juga sekaligus dengan itu semua. “Hahh… haahh… haahh… Enaak bangheet, bhaang… Umm…” diambilnya tanganku yang tadi mengobel kacang itilnya dan mengemut jarinya. “Uummm… So fuckin lewd…” aku gak tau persis apa artinya tapi kalo ada fuck-fuck-nya pasti-lah tentang ngentot ajalah intinya.

Diemut-emutnya jariku sampe basah sembari menggesek-gesekkan bokong padat kenyalnya ke penderitaan Aseng junior yang digencetnya. Dilenggeknya (lindas) Aseng junior berputar-putar dengan super erotis. Tanganku yang bebas, meremas kuat satu bakpao jumbo-nya hingga ia mengerang keenakan lebih kuat. Hajab kali si Aseng junior dibuatnya. Dengan putus asa ia mencoba menyeruak menembus belahan pantat Vony, daging montok pantatnya yang kenyal membuatnya mabuk kepayang. Membentur kekenyalan lembut begini sangat memabukkan. Sulit menghentikan geolan berputar sementara Aseng junior berusaha untuk membidik masuk lagi.

“Uoohhh… Ahh… Sshhh… Mmm…” Vony mengerang merasakan si tembem-nya berhasil kucoblos. Itu tusukan keberuntungan anak soleh. Itu bukan nama bapakku. Nama bapakku bukan Soleh. Jangan sampek tau klen, nanti klen ejek-ejek nama bapakku. Paok! Ntah hapa-hapa yang kou bilang, Seng-Seng. Si tembem tertikam Aseng junior, dilepasnya kuluman nafsunya pada jariku dan beralih meraih rambutku selagi mengerang. Dijambaknya rambutku membuatku membalas dan meremas bakpao jumbo-nya. Kami saling balas menyakiti. Kutekan juga kacang itilnya dengan jari berlumuran liurnya, ditambah kulebarkan bukaan si tembem, memudahkan Aseng junior menghajarnya.

“JYYAAAA!!!” jeritnya kuat saat kusodok si tembem cepat-cepat kembali. Kedua tanganku kufungsikan memegangi pangkal pahanya, membukanya lebar dan Aseng junior bertindak bak piston mesin yang digeber ke torsi puncak RPM-nya. Ia melepas jambakan pada rambutku, hanya bisa menjerit-jerit histeris. Kami menyaksikan bagaimana sepasang bakpao jumbo-nya bergoyang liar seirama dengan sodokan cepat. Berayun-ayun bagus berkat bentuk bulat dan kenyalnya. Tergoda untuk mengasarinya lagi tapi kedua tanganku masih dikaryakan untuk menahan kakinya tetap terbuka lebar.

Bukan gak pegal melakukan ini dalam repetisi panjang. Untungnya staminaku sudah semakin baik. Padahal asam laktat sudah membanjiri otot-otot bawah tubuhku, terutama pinggang, memberi sinyal kalo tubuhku mulai pegal dengan racun enzim ini. “Puaah…” kehentikan dan langsung mencabut Aseng junior dari sarang nikmat terbarunya ini. Ada cairan menetes ke kemaluanku, pastinya dari si tembem yang manis. Kami sama-sama saling berburu oksigen akibat perbuatan dosa nikmat ini.

Vony membalik tubuhnya dan mencaplok bibirku, mengajakku lagi-lagi bercumbu. Bakpao jumbo-nya lembut menekan berkat kenyal teksturnya di dadaku. Aseng junior iseng kusodok-sodokkan ke belahan pantatnya dan ternyata eh ternyata bisa masuk berkat becek bukaan si tembem yang menganga di posisi menindih telungkupnya ini. “A-ahh… Bang Aseng… Gak bosen-bosen, yaa?” erangnya “Kuat amat, siiih? Vony jadi enak, niiih…” manjanya nakal menggoda. Sekali dorong, Aseng junior amblas masuk membentur ujung yang bisa dicapainya. Kudorong-tarik pelan selagi kami bercumbu bibir lagi. Ia mengumpankan lidahnya untuk kusedot-sedot, menyetorkan ludahnya untuk kuhisap lalu disedotnya balik setelah bercampur dengan ludahku.

Kudekap pinggangnya lalu kembali memborbardir si tembem dengan gerakan piston si Aseng junior. Terbata-bata erangan Vony kala menjerit akibat gerakan cepat yang kulakukan dalam menggasak tubuhnya. Mulutnya menganga meneriakkan ekspresi bebasnya kala si tembem menelan Aseng junior berulang-ulang. Udah terasa geli-geli bibit suburku mendesak sesak keluar. Dengan sodokan kuat, kuhentakkan selangkanganku dan membenamkan sejumlah banyak kembali hasil poding 5 butir telor bebekku sebelum ke hotel ini. “Crrott Crrottt Croootttt!!

“Aahhh… ahh… ahh…” erangnya lemas di leherku. Aku masih mendekap pinggangnya dan tetap membenamkan Aseng junior dalam-dalam, menyumpal semua muatannya agar jangan keluar dulu. Tubuh kami sama-sama basah dan lekat menyatu olehnya. Rasa enak abis ngecrot masih berputar-putar di dalam sirkulasi sarafku, berdenyar-denyar hingga melemah. Kubalik posisi berhimpitan kami ini, kuganjal kembali pantatnya dalam patukan-patukan kecil bibir ke bibir. Ia tersenyum bahagia. Doaku masih sama, semoga kebahagiaan adalah warna hidupmu dari sekarang sampai akhir.

“Enak, ya?” tanyaku usil memainkan putingnya dengan ujung telunjuk. Aku menahan kepalaku dengan topangan tangan di samping tubuh telanjangnya. Vony masih mager dengan berbaring lemas. Bolak-balik ia menelan ludah terlihat dari gerakan lehernya.

“Enak banget-bangeeet, bang…” jawabnya dengan pandangan mata nyalang. Ia menerawang ke langit-langit seolah nyawanya masih terbang di awang-awang akibat orgasme bersamaan tadi. “Dulu sama Wisnu suamiku… belum pernah seenak ini… Enak juga sih… Tapi ini lebih enak…” tolehnya padaku menatap dengan senyum manis. Orang cantik senyumnya selalu menarik.

“Abis ini… Coba deh komunikasi dengan suamimu… Seharusnya dia juga sudah tidak terpengaruh lagi…” jelasku.

“Wisnu juga ikut disantet?” tanya Vony dengan kening berkerut.

“Tepatnya bukan santet… Orang-orang biasa menyebutnya pelet… Ada satu perempuan yang mungkin sudah dinikahi suamimu yang melakukan ini semua… Suamimu dipelet dan Vony disantet… Kalian jadi sering berantem… Panas-panasan trus tiap hari… Ujungnya pasti ia mengharap klen cere… Dia yang hanya sekedar siri… menjadi istri yang sah… Paham, kan?” jelasku lebih lanjut.

“Oo… Perempuan itu rupanya?” kata Vony langsung paham kemana arah pembicaraanku ini. Dia sudah ada gambaran siapa pelaku yang menyuruh dukun santet itu. Mata indahnya berputar-putar merencanakan sesuatu untuk melabrak perempuan yang sudah menjadi pelakor di rumah tangganya. Tangannya mengepal-ngepal geram. Mulutnya mengatup dengan gigi rapat.

“Selow…selow, Von… Santai dulu… Jangan pake emosi ngadepin masalah kek gini… Ada balasan sendiri untuk pelakor itu… Udah pernah awak bilang tadi, kan? Kalo maen-maen begini pasti selalu ada ganjarannya…” kataku melambaikan tangan berusaha menarik perhatiannya agar tak larut dalam amarah. Aura cantik lebih cocok untuk dirinya dari pada marah-marah gak jelas. Apalagi aku bermaksud lanjut ke ronde-ronde berikutnya, kan? Apa jadinya kalo mood swing-nya merusak selera untuk lanjut ena-ena denganku?

“Apa yang sudah terjadi padanya?” Apakah santet itu balik ke dia?” aku berhasil menarik perhatiannya.

“Makanya awak bilang cobalah berkomunikasi dengan dengan suamimu… Pelet perempuan itu sudah tidak bekerja lagi… Artinya…”

“Artinya Wisnu sudah tidak terjerat perempuan sundal itu lagi… Kami bisa baikan?” simpulnya cepat.

“Nah… Begitu… Nanti Vony pulang bisa mesra-mesraan dengan suami… Maen dokter-dokteran… Maen gajah-gajahan juga… Vony bisa hamil, kan?” kataku. Repot juga harus menyambangi perempuan ini sampai beberapa malam ke hotel ini sementara ia dan suaminya bisa berbaikan. Gak masalah kalo bibit suaminya yang membuahi istrinya, hal yang tak bisa dilakukannya selama ini.

“Tapi sebelum masalah ini ada… Vony belum bisa hamil juga dengan Wisnu-loh… Masih harus dengan bang Aseng intinya…” katanya berbalik nakal. Eh? Benar juga… Sebelum masalah pelakor ini mencuat, mereka sudah kesulitan mendapat keturunan. Kami jadi berdebat yang lumayan alot tarik ulur dan tawar menawar akan beberapa kemungkinan.

—————————————————————————-
“Aahhhsss…. Uuuhh… Yeaahh…” erang Vony kala kugenjot dari belakang gaya binatang. Kedua tanganny kutarik hingga tubuhnya menegang dan tiap hentakan sodokanku terasa sangat mantap menusuk dalam. Berbenturan dengan bemper belakangnya yang padat kenyal. Vony berdiri menungging bertumpu pada ranjang hotel dengan tangan tadinya. Aku berdiri di belakangnya dan menusukkan Aseng junior dengan penuh nafsu.

Hentakan keras kulakukan berulang-ulang membuat Vony menjerit-jerit nikmat. Vony meminta selalu hentakan kuat menumbuk kemaluannya. Buah pantatnya bergetar membal tiap kali perut menjelang six pack-ku membentur kenyal tebal pantatnya. “Iyaa, baang… Gitu, baang… Yang kuat, bang… Hamili Vony, baaang…” jeritnya nakal. Gak disangka Vony berkembang sedemikian rupa hingga doyannya dikasari begini.

“Enak begini, Voon?” tanyaku disela hentak menghentakku. Aseng junior terbenam sempurna, mentok di dalam liang kawinnya yang berselemak sisa spermaku yang terkuras keluar. Menetes dan mengalir di paha dalamnya. Licin liang kawinnya memperlancar gerakan keluar masuk Aseng junior yang tegang keras berkilat-kilat. Semakin perkasa dan keras semakin menggila Vony jadinya menikmati ini semua.

“Aarrrhh… Enaaak, bhaaang…” jawabnya histeris dan menjambaki rambutnya sendiri. Satu tangannya terlepas digunakan untuk menyakiti dirinya sendiri dengan menjambak rambut indah panjangnya. “AAhhh… YESS!! AAHHH!!” aku melepas sisa tangannya dan menjambak rambutnya sebagai ganti. Ia menjerit histeris dengan senangnya. Kepalanya mendongak menahan kepalanya. Rasa pedih dijambak begini membuat liang kawinnya menjepit ketat. Entah kapan Vony menemukan rasa nikmat berlebih ini dengan melakukan penyiksaan diri ini. Apakah aku yang menyebabkan perubahannya ini?

“YAH! YAH! YAH!” ia menjerit keras tiap kali sodokanku keras menusuk masuk dalam liang kawinnya. Urat besar muncul di kedua sisi lehernya kala ia menjerit histeris demikian tiap sodokan menusuk. Tubuhnya mengeras liat karena ia menekan seluruh otot tubuhnya seperti kegel seluruh badan. Aseng junior yang ampun-ampunan di dalam sana. Batangnya sudah memerah kebiruan dengan urat-urat tebal bertonjolan, memberikan tekstur kasar yang kian menggelitik lorong liang kawin Vony. Membuatnya tambah menggila. Aku gak tahan lama begini terus. Ini terlalu nikmat. Sensasi kegilaan Vony membuatku kepayahan menahan-nahan lagi.

Kucekik lehernya kala kusemprotkan spermaku untuk kesekian kalinya malam ini. Alhasil liang kawinnya juga mencekik dan memeras Aseng junior-ku. Tubuh kami rapat berpelukan kala kutahan jalan nafasnya hingga paras cantiknya memerah kekurangan oksigen. Mulutnya terbuka, lidahnya menjulur, ludahnya menetes. “Crooottt Croottt Crooottt!” kulepas cekikanku dan tubuhnya bergetar-getar menyusulku. Semakin blingsatan Aseng junior diremas-remas di dalam sana.

Jatuh tubuh kami berdua di ranjang hotel dengan tubuh lemas dan sekujur tubuh berkejat-kejat menikmati after taste kenikmatan orgasme dahsyat barusan. Ejakulasi sambil berdiri sungguh menguras stamina. Nikmatnya sampe ke ubun-ubun rasanya. Kami berbaring menyamping dengan Aseng junior masih terselip mulai lunglai di dalam si tembem cantik. Aku tak kuasa menahan lelehan sperma subur berhargaku karena badanku masih lemas. Nafas kami berdua ngos-ngosan. Kupeluk tubuhnya dan Vony mendekap tanganku yang memeluk perutnya. Ia merasa sangat nyaman begini, tubuhnya bergelung menikmati dekapanku. Wajahnya mendusel-dusel tanganku. Diciuminya pertanda terimakasih yang sangat tulus. Telah memberinya kenikmatan tiada tara.

“Enak banget, baaang Aseng… Vony gak bisa gak suka sama abang kalo begini terus… Ini terlalu enak, bang… Vony hampir gila nih, baang? Gimana, nih?” tanyanya bingung.

“Yaaa… Gak gimana-gimana… Awak hanya perlu ngentoti Vony aja sampe ledes kalo gitu ceritanya… He he he hee…” kataku menanggapinya santai. Itu cuma perasaan sementara karena terlalu menghayati perselingkuhan kelamin ini. Aku gak sedikitpun menyertakan hati dan aku bermaksud menularkan itu pada Vony juga. Some nights stand. Ngentot bermalam-malam kalo perlu sampai dirinya hamil. Kami mencapai konsensus baru ini saat berdebat tadi.

“Ishh… Masa sampe ledes sih, bang… Apa bisa dower punya Vony, bang?” tanyanya lugu. “Vony nikah bertahun-tahun gini-gini aja rasanya…”

“Kontol lakikmu kecil… Lagipula jarang-jarang dipakek… Ha ha ha haa… Kalok awak pakek tiap malam kek gini…” kuangkat sebelah atas kakinya yang berbaring miring bareng ini, kuganjal dengan tekukan lututku. Aseng junior kutelusupkan masuk kembali dari belakang, ia sudah greng kembali walo belum sepenuhnya keras. Tapi cukup bisa masuk berkat licin si tembem yang berkubang sisa spermaku. “… awak entotin gila-gilaan kek gini… Gimana gak ledes si tembem ini?” kataku memberitaunya nama yang kusematkan pada vaginanya. Kuelus-elus rengkahan merah tebal kemaluannya yang sudah terbelah lagi oleh Aseng junior.

“Aaaahhh… Enak, bang… Biarin ledes… Uuhh… Yang penting enak… Ahhhsss…” erangnya karena si tembem mulai kugenjot lagi dari belakang. Kupegangi tumitnya agar kakinya terangkat mengangkang, memberi akses seluas-luasnya pada sodokanku yang menggenjot dari belakang tubuhnya berbaring miring begini. Kembali aku membentur bokong tebalnya yang ngeper membal digempuran cepatku. “Ah Ah Ah Ah Ahh… Mmm…”

Kutarik bahunya agar tubuhnya melintir ke arahku karena rambutnya kembali kujambak untuk mencumbu mulutnya. Lidahnya diumpankan padaku yang kusedot-sedot. Matanya terpejam merasakan perih kulit kepalanya yang tertarik dijambak. Jepitan liang kawin sempitnya menjadi lebih menggigit seperti yang kuharapkan. Gesekan kelamin kami menjadi sangat intens untuk memungkinkan tercapainya orgasme dengan cepat. Kenikmatan yang selalu ingin kami capai bersama. Kembali lehernya kucekik dan mulutnya menganga. Sejumlah besar ludah kumasukkan ke dalam mulutnya dan ia menelannya dengan suka rela. Lalu kusedot lagi campuran ludahnya dan ludahku. Ia kesulitan bernafas. Paras cantiknya merah padam. Aseng junior merojok kencang di liang sempit itu. Tubuhnya melintir berputar di posisi berbaring menyamping begini. Otot-otot tubuhnya menegang. Aseng junior tercekik sempit. Gak lama lagi kami akan mencapainya…

“JYAAAHHH!! Akhh… Akhhh…” kulepas cekikan leher dan jambakan rambutnya ketika lagi-lagi kusemprotkan sperma ejakulasiku. Tubuhnya mendapat efek yang sama. Aseng junior diremas-remas sampai terasa ngilu-ngilu sedap di dalam liang kawinnya. Tubuhnya berkelojotan getar-getar kek HP mode silent. Hanya pantatnya dan selangkanganku yang terhubung membagikan rasa nikmat terpusat di pertemuan kelamin ini.

Kubalik tubuh bugil penuh peluhnya hingga sepenuhnya berbaring menghadap atas. Dengan malas-malasan kusorongkan sebuah bantal yang tadinya ada di lantai untuk mengganjal pantatnya. “Awas kalo ngomong masih suka sama awak… Awak gibal (hajar) lagi sampe betul-betul ledes…” katanya di antara kedua kakinya. Tanganku bertumpu di bawah ketiaknya. Aseng junior yang lemes, menggeletak begitu aja di depan pintu liang kawinnya yang becek.

“Hi hi hi hi… Vony suka bang Aseng…” jawabnya nakal dan mengacungkan tangannya dengan kelima jarinya terbuka.

“Kimak-la, Von… Lima kali lagi?”

Ditambahnya dengan jari terbuka semua tangan satunya. Ia cekikikan nakal.

Bersambung

Pose Bugil Abg Jilbab Cantik Tidak Perawan
Cerita Panas Bercinta Dengan Sepupu Yang Sedang Hamil
tante gatel
Petualangan Sex Dengan Tante Gatel Dan Anak Nya
500 foto chika bandung bugil merangsang pengen di entot
Foto bokong gede bule cantik lagi telanjang
penjaga kantin genit
Belahan dada mbak merry, penjaga kantin yang genit
Foto Bugil Abg Jembut Lebat Lugu Pemalu
cewek cantik
Cerita dewasa melayani dua om om ganteng
Kenikmatan yang di berikan tante novi
jilbab binal
Penisku dikerjai 3 orang gadis cantik berjilbab sekaligus
gurukubtante girang
Melayani Nafsu Seorang Guru Yang Masih Perawan
guru sexy
DI beri pelajaran oleh ibu guru sexy
Fot bugil memek tante berjilbab bugil di kamar
tetangga montok
Cerita berselingkuh dengan tetangga ku yang montok
ngentot hot
Cerita hot pacar kakak ku yang tau cara memuaskan wanita
ABG Putih mulu berkaca mata lagi sange colok memek berbulu