Part #39 : Enak Enak Dengan Vony

“Seng… Mendadak kepala wa pusing nih… Mual juga… Wa pulang lebih cepat, ya?” kata kak Sandra. Ini masih jam 11 menjelang siang. Cepetnya aja masih berlepotan spermaku. Aseng junior baru kumasukkan lagi ke kandangnya abis kubersihkan pake tissu basah.

“Yah, kak… Tadi katanya sehat… mangkanya mau tadi kuentoti sebentar… Ini malah sakit lagi… Kerjaan masih banyak, kan? Laporan bulanan ini belum diperiksa sama sekali…” keluhku lemes. Kerjaan bejibun ini sempat-sempatnya kak Sandra minta dielus-elus dulu. Karena tadi kuliat tadi dia sehat dan bugar, kusempatkan waktu untuk mengabulkan permintaan karena katanya ini permintaan ngidam anakku. Bacrit kali panlok satu ini. Banyak crita!

“Lu sih… Ngentotnya sadis kali… Wa kan lagi hamil muda anak lu… Yang lembut napa?” alasannya sembari membersihkan cepet beselemak spermaku mengangkang telanjang di sofa ruang istirahatnya dengan tissu basah juga. “Jangan tengok-tengok trus nanti pengen lagi lu…” ketusnya mengobok-obok kemaluannya agar semua spermaku keluar dan bersih darinya dengan beberapa lembar tissu basah sekaligus.

“Ciii… Ci Sandra?” suara dari luar ruang istirahat terdengar memanggil. Itu suara Tiwi, asistennya.

“Ya… Napa, Wi?” jawab kak Sandra memberi kode tutup mulut padaku. “Ada yang nyari, ya?” buru-buru ia bangkit dan mengumpulkan semua pakaian kerjanya dan memakainya kembali. Padahal dari cepetnya masih menetes-netes kental spermaku. Ia melapiskan beberapa lembar tissu biasa untuk menampungnya.

“Bukan, ci… Bang Aseng ada di dalam?” tanya Tiwi dengan pertanyaan yang pukimak kali kurasa. Pasti di luar sana ia cekikikan tak bersuara menutup mulutnya. “Ada yang nyariin… Bu Vony-nya datang lagi…” Kak Sandra langsung mengerutkan keningnya mendengar nama yang asing baginya.

“Dia keknya lagi di lapangan-lah, Wi… Entar wa telpon suruh dia ke atas… Tamunya suruh kemari aja…” jawab kak Sandra dan kami berdebat tanpa suara hanya mulut mangap-mangap dan kode tarzan dengan mata mendelik-delik. Vony itu siapa? Mau ngapain kemari? Apa urusannya? Pertanyaan kak Sandra ini bukan berarti dia cemburu tapi lebih pada profesionalisme aja karena membawa-bawa urusan pribadi ke kantor. Lah dia minta ngentot di jam kerja. Profesional gimana? Aku menjelaskan siapa itu Vony setelah yakin Tiwi udah gak ada di luar ruang istirahat kak Sandra lagi. Sepertinya kak Sandra juga pengen kenal dan ia menunggu sebentar sampai tamuku itu masuk ke ruangannya ini. Padahal tadi dia udah buru-buru mau pulang aja.

“Selamat siang… Ibu Sandra, ya?” sapa Vony begitu masuk dan mendapati kak Sandra duduk di kursi yang pertama kali dilihatnya aku duduki waktu itu. Kak Sandra langsung berdiri dan menyambut tamuku ini dengan ramah.

“Tamunya Aseng, ya? Masuk-masuk… Saya juga udah mau pulang, nih… Pusing-mual nih… Bawaan perut…” kata kak Sandra basa-basi bersalaman dengan Vony lalu cipika-cipiki. Ah… Dua wanita cantik itu saling berdekatan. Aku jadi membayangkan kak Sandra melakukan aksi lesbongnya dengan Vony juga seperti yang dipraktekkannya pada Dani.

Vony

“Lagi hamil muda ya, bu? Selamat, ya?” kata Vony nyelamati kak Sandra yang lagi ngumpulin tas dan beberapa barang pribadinya. Kak Sandra tersenyum lebar mendapat selamat dari Vony.

“Makasih, bu Vony… Bu Vony sepertinya juga sudah berkeluarga, ya? Sudah berapa anaknya?” tanya kak Sandra balik lebih ke basa-basi lagi.

“Belum ada, bu… Belum dikasih rejeki sama yang di atas…” katanya berusaha tegar dengan menjawab kasual aja. Aku yang ada di antara kedua perempuan cantik begini tentu aja kikuk mo ngapain. Nggak mungkin aja aku ikut-ikutan rumpi di antara percakapan antar emak-emak begini.

“Oohh… Gitu, ya… Yang sabar ya, bu… Saya juga lamaaa banget baru berhasil ini… Udah hampir 8 tahun baru dapet… Seng… bantuin…” tiba-tiba kak Sandra malah beralih padaku. Bantuin apa? Keknya gak ada barang berat yang sulit dibawa. Cuma tas tangan sebiji dan satu HP di tangan satunya. Aku mencari-cari bantuan apa yang kira-kira bisa kuberikan pada perempuan hamil muda akibat ulahku ini.

“Bantuin apa, kak?” bisikku agar gak kedengaran Vony. Biar gak ketauan kali bingungnya.

“Ck… Udah-ah… Wa pulang dulu… Lu pake ruangan wa aja… Di sana juga boleh…” katanya menunjuk pintu ruang istirahatnya yang baru saja jadi tempat kami bergumul tak lama tadi. Aku tiba-tiba jadi lola alias loading lama karena gak mudheng dengan apa yang dimaksudnya. “Vony… saya tinggal duluan, ya… Kepala saya udah tambah pusing nih liat si Aseng… Daagh…” kak Sandra langsung cabut meninggalkan kami berdua aja di ruangan Factory Manager ini. Lamat-lamat aku mendengar suaranya di luar sana sedang memberi instruksi pada Tiwi agar jangan mengganggu kami.

“Itu bu Sandra… selalu begitu ya, bang Aseng?” tanya Vony masih terpengaruh aura keberadaan kak Sandra barusan.

“Rame? Ya… memang gitu orangnya… Blak-blakan… Ceplas-ceplos… Tapi dia pinter kali orangnya… Perusahaan jadi sebesar ini juga berkat kerja kerasnya… Awak aja masih dalam rangka belajar ni jadi wakilnya…” kataku yang masih berdiri di tempatku dari tadi. “Eh… Duduk… Duduk, bu Vony… Sampe lali aku…” kataku mempersilahkannya duduk. Ia lalu mengambil kursi yang sama yang beberapa hari lalu didudukinya dan duduk dengan elegan di hadapanku. Aku duduk di kursi kak Sandra kembali.

Aku menunggu Vony mengeluarkan beberapa berkas yang dijanjikannya untukku tanda tangani sebagai bagian akhir perubahan AD/ART perusahaan SPBU milikku itu. Segala prosedurnya sudah dilampaui dan mendekati finish. Ini dia bagian akhir itu. “Bang Aseng… Tanda tangan di sini… lalu ini dan ini… Setelah itu selesai… Nanti akta pembentukan PT-nya akan saya antar lagi kemari…” katanya menyerahkan map berisi dokumen-dokumen legal itu. Aku segera menanda tanganinya dan kukembalikan lagi. Diperiksanya dan puas dengan hasilnya. “Terima kasih, bang…” setelah disimpannya semua itu kembali.

“Lama kali Tiwi bawa minumannya…” dumelku pelan karena tamuku belum disuguhi minuman dari tadi. Anak satu itu entah ngelayap kemana abis kak Sandra pulang lebih awal begini. Gak bisa bantu-bantu dikit.

“Gak usah, bang… Vony juga gak lama…” katanya rupanya tau kegelisahanku. Naga-naganya ia sudah akan balik ke kantornya lagi tapi ada sesuatu yang menahannya. “Tadi bu Sandra bilang ‘bantuin’… apa abang tau maksudnya?” tanya Vony. Ini juga kategorinya out of the blue. Tanpa dinyana tanpa diduga. Aku hanya bisa bengong gak tau dan menggeleng lemah.

“Gak tau, Von…” gelap.

“Terlebih dahulu maaf ya, bang Aseng…” Vony memperbaiki posisi duduknya jadi lebih tegak pertanda serius, berubah dari santai melipat kaki menyilang jadi kaki rapat hingga rok span panjangnya lurus ke bawah meja. “Pertama bang Aseng sudah membantu bu Sandra dengan pekerjaannya selama ini… ditambah lagi ia sering pulang lebih awal karena pusing-mual hamil anak pertamanya ini… Bang Aseng membantu pekerjaan yang ditinggalkannya padahal kerjaan bang Aseng juga masih banyak…” katanya membeberkan. Satu jari kelingking kanannya mencuat menandakan poin pertama dari hitungannya. Masuk akal. Aku mengangguk membenarkan. Bisa masuk dalam konteks ‘bantuin’ tadi.

“Kedua… Ini sangat lemah buktinya tapi saya yakin… bang Aseng yang sudah membantu bu Sandra untuk hamil… Maaf lagi… Bang Aseng yang sudah mengamili bu Sandra…” katanya mencuatkan jari manisnya pertanda poin kedua yang sangat mengagetkanku. Kenapa dia bisa sampai pada kesimpulan yang tepat sekali seperti ini. Bull’s Eye! Aku menggigil. Ginjalku menggigil. Pankreasku menggigil. Aseng junior bobok imut.

“… walaupun lemah saya akan coba menjelaskan sedikit tentang saya… Penciuman saya akhir-akhir ini entah kenapa jadi sangat sensitif dan tajam… Saya heran bisa mengatakan seseorang yang dengan harum parfum tertentu berada di suatu ruangan beberapa hari sebelumnya… Saya juga bisa dengan mudah membedakan ada parfum asing yang tercampur di tubuh seseorang yang juga memakai parfum… hingga belangnya terbongkar baru aja selingkuh… Apalagi cuma bau sperma dan cairan vagina yang sangat kuat seperti ini dari kalian berdua… Bang Aseng dan bu Sandra baru saja bercinta di ruangan itu, kan?” katanya menunjuk dengan dua jarinya yang masih mencuatkan dua poin ke arah pintu ruang istirahat. Aku hanya bisa berkedip-kedip berusaha mengenyahkan rasa gugup dari mukaku. Keknya aku perlu memplester mulutku dengan isolasi agar gak terlalu mangap.

“Dan yang ketiga… Dari dua poin tadi… Vony udah seperti detektif ya, bang Aseng… Bu Sandra tadi coba ngasih tau ke bang Aseng untuk bantuin Vony juga… seperti bang Aseng sudah bantuin beliau…” jari tengahnya mencuat mengacung pertanda tiga poin sudah disampaikannya. Kepalaku mendadak ringan. Pandanganku tiba-tiba zoom out. Vony yang duduk tegak di depanku tiba-tiba menjauh dan mengecil seperti beberapa meter di depanku jaraknya. Pandanganku jadi gak karu-karuan jadinya. Minus mataku apa kambuh lagi?

“Disamping penciuman Vony yang jadi sensitif begini… tajam sekali seperti ini… Ada satu lagi yang terkadang mengganggu… Kadang ada bisikan-bisikan gak jelas yang berulang-ulang masuk ke kuping saya… kata-katanya berulang-ulang… ‘minta-tolong-aseng’…” kembali ia menggunakan ketiga jarinya untuk mengulang ketiga kata itu. Minta-tolong-aseng? Kenapa ada namaku di sana? “Saya coba untuk berfikiran positif gak mau menganggap itu masalah spiritual atau semacamnya sampai pada satu saat… nama panggilan abang muncul… Aseng… Kenapa terlalu kebetulan sekali? Kenapa bisikan itu spesifik menyebutkan ‘minta tolong Aseng’… Ada satu nama orang yang Vony kenal dengan nama yang selalu dibisikkan ini… Pembisik itu memberitahu Vony untuk minta tolong pada bang Aseng akan masalah yang sedang Vony hadapi…” sistematis dan terstruktur seperti sebuah jurnal ilmiah ia merincikan semua maksud dan tujuan semua bla-bla-bla ini dari tadi. Dirinci ringkas dalam tiga poin.

Kesimpulannya…

“Vony minta tolong bang Aseng untuk menghamili Vony…” nah… demikianlah adanya. Wayahe-wayahe. Aku sampe harus meletakkan jidatku yang tiba-tiba panas ke permukaan meja karena mataku berkunang-kunang.

Kami berdiam diri saling pandang aja untuk beberapa saat. Seperti sepasang petarung yang sedang menjajal mental lawan. Mencari titik lemah dan menilai keunggulannya. Pandangan matanya teduh tetapi tenang. Mulutnya sama sekali tak berekspresi jadi aku tak bisa menilai dia senang, marah atau sedih. Berbeda matanya yang dalam walau tenang. Aku tak sanggung menyelami ekspresi mata yang dipancarkannya. Cantik tetap seperti pertama kali kukagumi dirinya. Apalagi perempuan sepintar dia sungguh mengesankan. Kadang mengintimidasi kaum Adam yang kurang persiapan apalagi kurang modal. Modal otak apalagi kurang dana.

“Jadi gimana, bang?” tanyanya datar tetapi cukup terkesan mendesak.

“Gimana ya, Von… Ada satu perjanjian yang mengikatku untuk tidak membicarakan ini dengan siapapun… Jadi no comment-la…” jawabku sebenarnya bingung. Bagi Vony ini mungkin terdengar bodoh tapi itu yang terbaik yang bisa meluncur dari mulutku.

“Baik… Vony tidak akan membicarakannya lagi… Saya paham… Bagaimana dengan permintaan tolong saya tadi? Apakah bang Aseng menginginkan sesuatu sebagai ganti… pembayarannya misalnya?” tanya Vony kembali mendesak secara tak langsung. Kepalanya agak miring sedikit gak enak dengan opsi pembayaran yang baru diucapkannya. Kek hal semacam ini perlu bayaran aja. Jerih payahku menghamili dinilai dengan pembayaran? Sekalian aku buka usaha menghamili binor aja, ya? Enak tuh… Sarap!

“Kenapa Vony jadi… apa ya namanya… lancang? Bukan… Berani meminta ini? OK aku ada skandal dengan…” kubalik cepat figura foto kak Sandra dan koh Amek. Aku malah mengakui ada skandal dengan atasanku. Tak apa dia sudah menangkap basahku jadi aku gak bisa berkelit lebih jauh. “Tapi Vony meminta… untuk dihamili… Permintaannya gak masuk akal… Aku gak ngerti… Tolong?” kataku entah hapa-hapa. Asal nyeplos aja. Jadi keliatan tambah bego aku di depan perempuan sepintar Vony.

“Balik lagi… ke masalah penciuman Vony yang sangat sensitif ini… ada banyak perempuan yang sudah bang Aseng hamili… Jadi bukan hanya ibu ini saja…” liriknya ke figura yang sudah kubalikkan ke posisi awalnya. “Aroma manusia itu khas berbeda-beda… Setidaknya ada 5 sampai 6 aroma perempuan berbeda yang menempel di tubuh bang Aseng… Saya dapat membedakan mereka semua dan menunjuk mereka satu persatu kalau bisa mereka dijejerkan disini… Aroma yang saya maksud bukan aroma parfum ya, bang Aseng… Ini aroma kemaluan mereka yang menempel pada bang Aseng… Tidak ada urusan lain selain itu, kan?” bebernya tanpa bisa kubantah lagi. Kok bisa aku ketemu perempuan kek gini, ya? Maak? Tolongin anakmu ini, maak. Diskak-mat aku, maak.

Lagi kami berdiam diri lama, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Aku sebenarnya gak ada masalah untuk menghamili satu binor baru sekaliber Vony ini. Geblek aja kalo sampe nolak barang bagus kek gini. Tapi kok aku baru ngeh sekarang ternyata selalu ada sesuatu di balik ini semua. Aku tidak tau pasti apa itu tapi selalu ada unsur supranatural yang langsung ato gak langsung ikut terlibat di sini. Yang teranyar adalah masalah Vony ini. Ia jelas-jelas menolak menganggap ada campur tangan istilahnya ‘spiritual’ di masalahnya ini. Tetapi ia malah mendapat tips lewat bisikan ghaib yang hanya dia yang mampu mendengarnya; ‘minta tolong aseng’. Mudah disimpulkan kalo aseng dimaksud di sini adalah seorang pria dengan nama panggilan Aseng yang kebetulan sedang mengurus surat-surat hibah di kantor notaris tempatnya bekerja. Ditambah lagi ia mendapat sedikit anugrah ketajaman penciuman hingga bisa menangkap basah aku dengan semua skandal-skandal binorku. Bisa tau dia semua bau aroma vagina lezat yang sudah kumasuki.

Kalo ditarik ke belakang lagi, Aida juga begitu. Ia mendapat petunjuknya malah dari mimpi seperti beberapa binor lainnya. Ia bermimpi bercinta denganku dan punya anak dariku. Berulang-ulang mimpi itu mengisi bunga tidurnya hingga menjadi semacam candu. Gak sabar dan meledak dalam bentuk teror erotis langsung menyerangku hingga aku terjerat dan BAM! Aida hamil dan kini memasuki bulan ketujuhnya. Perutnya sedemikian buncit dan ia dalam masa penantian yang amat sangat membahagiakan dalam fase hidupnya. Sebentar lagi melahirkan anak yang sudah dinanti-nantinya sejak bertahun-tahun lalu.

Yuli juga. Ngakunya dia kerap bermimpi mendorong stroller bayi berisi bayi imut mirip anakku Salwa. Kerap juga mimpi bersetubuh denganku sampai nekat pindah ke samping rumahku padahal sebelumnya nyewa di gang sebelah baru sebulan. Pipit juga sama, sering mimpi ML denganku. Sedikit agak berbeda pada Pipit yang mendapat pesan yang ditulis tangan oleh mahluk halus berbentuk orang tua itu dalam bahasa Jawa; ‘jaluk tolong cino’. Ini hampir identik dengan kasus Vony. ‘Jaluk tolong cino’ artinya minta tolong Cina, Cina yang berarti aku, Aseng. Yaa… Ini sangat mirip. Seperti ada pola tertentu yang terbentuk di sini. Ada… Selalu ada campur tangan di tiap permintaan binor-binor ini. Campur tangannya selalu dari pihak ghaib.

Di Iva juga begitu, ada genderuwo yang menyamar jadi tokoh wayang terkenal karena menjadi ayah dari para Pandawa Lima. Kuusir genderuwo itu dan kusita mustika emas miliknya. Kemudian ada Dani yang diganggu Jerangkong tengkorak gosong. Setelah kubantai setan gosong itu, ia bermimpi mendapat petunjuk untuk minta tolong padaku. Kembali terulang lagi. Seingatku katanya ada kakek-kakek yang memberinya wasiat itu memberitahu Dani kalo aku udah biasa membantu binor-binor lain untuk hamil. Kimak ini kakek-kakek memang. Tapi tunggu dulu… weit e minit… Kakek-kakek? Tetiba bayanganku akan sosok kakek tua yang awalnya kuanggap sebagai khodam milik Pipit yang ternyata adalah mahluk ghaib kiriman orang yang berusaha menyerangnya. Kakek tua itu malah terperangkap oleh akar siluman pohon beringin beserta beberapa mahluk ghaib lainnya. Apa tokoh kakek itu sama dengan yang memberi tips-tips ini? Tapi semua mahluk ghaib itu sekaligus dengan siluman pohon beringin itu sudah di’makan’ Kojek, kan? Aku melihat semua kejadian itu.

Pada kak Sandra sedikit berbeda karena gangguan siluman monyet yang mengaku dewa itu. Kubantai monyet itu yang sudah banyak menebar kejahatan dengan mengambil tumbal nyawa. Ia berusaha menjebakku dengan menjadikannya tokoh yang mengarahkan kak Sandra minta dihamili olehku. Lalu masalah ajo Mansur dan tiga istri ukhti cantik langsingnya. Ini malah terang-terangan sengaja memancingku muncul agar tokoh di masa laluku datang kembali. Tokoh itu bernama Inyiak Lelo, seekor harimau yang mempelajari ilmu sesat agar menjadi siluman harimau untuk mendapatkan gelar pemangku Mandalo Rajo. Sempat aku lega karena kukira Inyiak Lelo-lah penyebab ini semua dengan semua kemampuan dan kesaktiannya. Semua salah…

Gelombang baru datang dimulai dari Hendra dan Miranda dengan burung Enggang Gading sang Panglima Burung. Kegilaan pasutri itu malah memintaku untuk dihamili juga. Dan dilanjutkan dengan Vony ini…

“Bang Aseng lagi nulis apa?” tanya Vony yang seperti habis kesabarannya melihatku mencoret-coret di kertas ini. Nama-nama orang yang pernah kubantu saling berhubungan dengan lingkaran dan garis-garis link. Sepertinya pola ini belum akan berakhir. Masih akan terus berulang lagi dan lagi.

“Apa Vony ada mengalami mimpi aneh ato gak biasa gitu? Ada kakek-kakek ngasih petunjuk… apaaa gituh?” tanyaku penasaran kertas itu kuremuk dan kukepal sampai menjadi bola. Mumpung ada satu contoh kasus di depanku, sekalian aja ditanya-tanya. Antara alisnya berkerut seperti mencoba mengingat atau kaget tepatnya.

“Kok abang bisa tau itu? Ada… Vony ada mimpi seperti itu… Kakek-kakek tua… Berumur sekitar 60-65-an gitu… Pake baju kemeja putih yang mulai menguning… Matanya belo agak melotot gitu… Dia gak ngomong apa-apa cuma nunjuk ke kursi direktur abang di SPBU aja… Mimpi itu terjadi di dalam ruangan kaca kantor abang di sana… Lalu setelah itu… kita berdua…” Vony menunjukku dan dirinya sendiri. “… bersetubuh di sebuah kamar… sepertinya kamar hotel gitu…” Ialu ia menunduk sebentar lalu membuang pandangannya ke dua buah boneka beruang di atas lemari.

“Vony yakin… awak bisa membantu Vony hamil?” tanyaku membuat penegasan.

Kembali ia menatapku tegas dan tanpa ragu. “Yakin…” jawabnya.

“Karna gini, Von… Ini namanya udah perselingkuhan… Vony gak usah tanya awak gimana menilai selingkuh itu apa… Tanya diri Vony sendiri apa arti selingkuh antara dua orang dewasa yang sudah menikah seperti kita… Apalagi ini mengenai anak tujuannya… Pasti ada gininya…” kataku memasukkan jari telunjuk lain ke lingkaran yang kubuat karena meniru tiga poin jari kelingking, manis dan tengahnya, hanya menyisakan jari telunjuk dan jempol yang tersisa membuat angka nol bulat. Kucoba untuk membuatnya sedikit malu dengan kode vulgar ini. “Apa Vony siap?”

“Ngentot…” ujarnya mengejutkan. Kata saru itu keluar dari mulutnya yang sangat terhormat. “Vony udah siap lahir batin, bang Aseng… Lagian sekalian aja nyebur daripada terus menerus terhina karena dikatain mandul oleh keluarga dan teman-teman… Suamiku sesumbar ngomong ke selingkuhan-selingkuhannya kalo aku mandul… Padahal dia-pun belum tentu bisa menghamili perempuan-perempuan jalang itu… Vony ingin juga menyeimbangkan skor-nya…” katanya lugas. Ah… motivasinya sangat ciamik dan klise abis.

“Lagipula… reputasi abang Aseng dengan segitu banyak perempuan yang sudah abang gauli… mulutnya pasti bisa dijaga rapat… Bukan begitu?” katanya tersenyum dengan manis sekali kek gula aren. “Sudah terbukti…” kembali ia melirik ke foto kak Sandra. “… bisa hamil… dan Vony yakin yang lainnya juga…” Kaki yang tadi lurus sejajar mulai dilipatnya lagi melintang di atas paha kirinya. “Vony tentu tidak bisa melepaskan kesempatan ini begitu saja… Ada jaminan kalau saya bisa hamil… melawan semua usaha yang sudah Vony lakukan selama ini…” ia mulai bergerak dengan berani.

“Fiuhh…” godaan besar dilakukannya didepan mataku. Dilepasnya beberapa kancing atas blouse lengan panjang yang dikenakannya dengan berani, dilebarkannya bukaan pakaian itu hingga aku bisa melihat lipatan belahan payudaranya yang cukup besar… Semakin dilebarkannya hingga tepian berkancing itu berada di sisi terluar bra putih yang dikenakannya. Payudara padat, putih dan segar itu terpampang di depan mataku walo masih terlindung bagian utamanya oleh bra. Vony seperti menikmati pandangan melototku melihat pamerannya. Ini udah termasuk eksib belum?

“Masih bisa, bang?” tawarnya dan PUKIMAK! Vony mengupas cup pelindung payudaranya ke bawah hingga kedua puting imutnya yang berwarna kemerahan di kulit putih payudaranya sangat kontras. Menegang menantang. Vony ternyata ikut bersemangat dengan aksi beraninya ini. Kujamin ada yang ikut-ikutan basah di bawah sana. Karena dibawahku, Aseng junior menggeliat bangun sebab mataku menyaksikan pemandangan erotis indah sepasang payudara seukuran bakpao jumbo terpampang lengkap. Aku duduk gelisah menyamarkan koreksi posisi Aseng junior yang mengganjal.

BUJANGINAM! Vony memencet-mencet puting imut kemerahannya itu sambil menggerakkan kepalanya menunjuk ke arah pintu ruang istirahat kak Sandra yang kosong. Ia dan hidung sensitifnya sudah tau dari tadi aroma-aroma sedap persetubuhan berasal dari ruangan itu. Ia maklum kalo aku barusan menggagahi kak Sandra di ruangan itu dan mengajakku memakai ruangan itu kembali.

“Vony udah melakukan berbagai perawatan kesuburan untuk bisa hamil… Macam-macam metode… Anggap ini salah satunya…” katanya lagi. Puting payudara imutnya itu membengkak lebih besar dari sebelumnya akibat pencetannya sendiri.

Aku mengangguk-angguk dan mengulurkan tanganku mengajaknya bersalaman. Ia memiringkan kepalanya sedikit karena heran melihat tanganku tak paham. “Jabat tangan…” kataku. Ia mengulurkan tangannya yang halus juga menyambutku walo bingung. Udah kek ijab kabul mungkin pikirnya. Tapi ijab kabul ke bapaknya, gak ke anaknya langsung.

“Apa ini, bang?”

“Perjanjian… Vony pasti akrab dengan segala macam perjanjian… Ada yang mau awak tekankan di perjanjian ini… Mau, ya?” kataku menangkap tangannya. Tangannya halus dan lembut khas anak orang kaya. Ia mengangguk. “Ada tiga pasal perjanjian…” seperti biasa. Sebenarnya mataku ingin kesana…

“Yang pertama… Hubungan kita ini tidak akan pernah berkembang menuju hubungan yang lebih spesial ato intim ato semacamnya… Murni tolong menolong… Awak menolong Vony untuk hamil… Vony menolong awak… untuk… enak… Jadi gak akan ada perasaan yang romantis-romantisan… mello-mello-an… baper-baperan…” kataku untuk pasal masalah hubungan. Vony mengangguk paham.

“Yang kedua… Rahasia… Hanya kita yang tau masalah ini… Vony pasti paham kenapa aku gak akan buka mulut karena pasal ini… Jadi tidak boleh membicarakan masalah ini pada siapapun, atas alasan apapun walopun diancam macam manapun… Ini hanya antara kita berdua saja… dan murni rahasia…” kataku untuk pasal masalah kepercayaan. Vony mengangguk paham lagi dan setuju.

“Yang ketiga… Masa depan… Kelak jika karena hubungan kita ini ada anak yang muncul, anak tersebut adalah anak Vony dan suami… Besarkan dia dan perlakukan dia dengan baik sebab dia menjadi tanggung jawab penuh kalian berdua suami istri… Ini pasal paling penting karena ini menyangkut tujuan utama Vony… Kalo Vony setuju… kita lanjutkan ke tahap berikutnya…” kataku untuk pasal masalah masa depan. Vony lagi-lagi mengangguk paham dan setuju dengan semua pasal perjanjian ini. Sebuah guncangan dan erat jabat tangan menyegel perjanjian kami menjadi sah.

“Gitu aja, bang?” tanya Vony menatap mataku yang melenceng ke arah payudara seukuran bakpao jumbo-nya. Dari tadi tubuh kami berdua condong ke depan hingga payudaranya menggantung bebas di hadapanku saat bersalaman, sedikit mengganggu konsentrasiku meramu kata-kata isi tiga pasal barusan. Putingnya masih menegang dengan segala sensasi yang saat ini dirasakannya. Mungkin lebih ke excited akan melakukan suatu hal yang diluar kebiasaannya. Apakah dirimu seorang petualang, Von?

“Ya… Itu saja… Vony sudah setuju dengan semua pasal yang awak syaratkan dan sekarang efektif berlaku… Awak harap Vony… dan awak juga akan mematuhi semua isi pasal-pasal tadi…” kataku bersandar di kursi milik kak Sandra ini. Vony meniruku dan bersandar juga di kursinya, memamerkan pampangan payudaranya yang membusung karena tekanan bra dan blouse pakaiannya. Kami saling bersitatap. Pandangan matanya sangat mengundang apalagi ada bagian tubuh sensitifnya yang terbuka. “Apakah harus kita lakukan sekarang juga,… Von?”

“Kenapa tidak? Saya siap untuk apapun…” jawabnya tegar.

“Begini, Von… Biar awak sampaikan fakta-fakta baru untuk Vony… Awak berani menyampaikan ini karena kita sudah terikat perjanjian ini… dan Vony pastinya tidak akan membocorkannya… Mau dengar?” tawarku. Ia hanya mengangguk dan terus bersandar tanpa berusaha untuk memperbaiki pakaiannya yang terbuka di bagian dada. Putingnya menonjol tertekan pinggiran cup bra-nya, pasti akan meninggalkan bekas.

“Sudah dipastikan kalo ada gangguan supranatural pada Vony… Reaksi tubuh orang-orang yang terkena gangguan ini berbeda-beda tergantung dari jenis ilmu dan waskita penyerang… Pada Vony malah begini… Indra penciuman Vony malah meningkat tajam seperti anjing pelacak… Maaf tentang perumpamaannya… Tapi itu bandingan yang paling tepat… Serangan ini aslinya bertujuan untuk membuat Vony untuk mandul… Entah apa motif asli yang menyuruh penyerangmu ini untuk membuat Vony mandul… tapi untuk mengetahuinya itu adalah masalah lain…” jelasku sebaik-baiknya. Vony mendengarkan semua penjelasanku dengan seksama tanpa niat memotong sama sekali. Tapi keningnya tak kurang berkerut mendengarnya.

“Metode bantuanku selalunya begini… Kita sembuhkan dulu gangguan yang menyerang Vony ini… Begitu sembuh kita akan langsung ke bagian utamanya… Jangan khawatir… metode penyembuhannya gak berasa, kok… Malah awak jamin enak-enak aja…” lanjutku. Vony masih duduk bersandar. Bahunya mulai naik turun seperti menahan emosi. Kenapa dia?

“Jadi… Vony selama ini disantet, bang?” ia memajukan tubuhnya berpegangan pada pegangan kursi yang didudukinya. Tangannya menggengam erat pegangan kursi. Sepertinya emosi. Apa dia ada gambaran siapa pelakunya?

“Awak gak mau suudzon bilang siapa pelakunya… tapi… ya! Vony disantet orang, secara umum itu namanya…” pastiku. Kami yang sempat salaman tadi, aku merasakan itu semua. Makanya aku berani menyampaikan analisa ini. Mata Vony menjadi liar dan tak fokus lagi. Rahangnya mengetat dengan gigi mengatup erat menahan marah. Cengkraman tangannya dipegangan kursi semakin ketat. Diremasnya benda tak bersalah itu. Aku jadi membayangkan kalo Aseng junior-ku yang sedang diremasnya. Pasti ngilu kali.

“Jadi tunggu apa lagi, bang? Sembuhkan Vony segera…” cecar perempuan itu makin emosi. Dadanya kembang-kempis jadi enak ngeliatnya begitu. Membusung jadi tambah indah dengan geliat pergerakan tak sadar di kondisi. Jadi kek kusengaja membuat perempuan ini emosi jadi tambah membusung payudara indahnya. Aku menggerakkan tanganku seperti da-dah pertanda bukan ato tidak setuju.

“Bukan begitu, Von… Pernah liat orang kemasukan setan?” tanyaku mencoba sedikit membuka wawasannya ato pengetahuannya sekalian. Ia mengangguk dan itu membuatnya sedikit tenang. “Tereak-tereak kejang-kejang gitu, kan orangnya? Heboh nanti kantor awak ni Vony buat kalo tiba-tiba Vony kek gitu disini jadinya… Paham, ya?” kataku membual. Belom pernah pulak ada yang kek gitu waktu kubantu kehamilannya. Adem ayem aja-nya mereka semua. Paling mendesah-mengerang keenakan aja.

“Jadi gak bisa di sini ya, bang?” tanya Vony. Aha ha ha… Ketauan Vony masih ijo belum pernah nakal sebelum ini. Klop dengan pernyataannya sebelumnya, sekalian nyebur. Awak jadi percobaan pertamanya. Pertama yang nyobain tubuhnya disamping suami sahnya. Aku rela jadi bahan percobaanmu, Von. Enak-enak! Binor enak.

“Kita wujudkan mimpimu, Von…” kataku mesum.

—————————————————————————-

Malam itu aku janjian untuk bertemu muka dengan Vony lagi. Kali ini bukan untuk membahas urusan bisnis SPBU milikku, melainkan bisnis lendir dengannya. Vony yang sempat bermimpi bersetubuh denganku di sebuah kamar hotel. Kita kabulkan isi mimpinya itu dan check in di sebuah kamar hotel. Pesanku padanya, adalah memilih hotel secara acak saja. Jangan sengaja dipilih-pilih karena pastinya bakal ribet. Menggunakan kitab tebal Yellow Pages di daftar bagian hotel ia asal tunjuk saja pada nama hotel dan dipilihlah satu hotel.

Di hotel inilah aku sedang berada malam ini. Menaiki lift untuk menyambangi kamar hotel dimana Vony sudah menunggu sedari sore tadi. Aku baru bisa mendatanginya malam-malam setelah menyelesaikan pekerjaanku. Tentu aja sebelum kemari, kusempatkan dulu untuk poding 5 butir telor bebek andalanku. Pasti akan menyenangkan membolak-balik perempuan secantik dan seseksi Vony. Aku akan menikmati momen ini. Persiapan lain yang kulakukan tentu aja stok daun untuk senjataku nanti kalo perlu walopun sekarang aku punya mandau Panglima Burung itu sebagai senjata utamaku selain bakiak Bulan Pencak. Udah jadi kebiasaan pulak, ya kan?

Kuketuk pintu kamar sesuai pesan di BBM-nya. Gak lama pintu terbuka sedikit masih tertahan rantai pintu. Wajahnya yang tertutup masker muncul mengintip takut-takut kalo orang lain yang muncul. Mengetahui aku yang datang sendirian, ditutupnya lagi pintu untuk melepas rantai itu dan pintu terbuka lagi dengan lebar, mempersilahkanku masuk. “Masuk, bang…” aku masuk dengan cepat dan menutupnya lagi sekalian menguncinya untuk membuat Vony merasa aman dan nyaman aja.

Ia cepat-cepat jalan ke sofa yang ada di dalam kamar ini. Sepertinya ia masih bingung dengan perasaannya sendiri. Wajar sih. Vony sepertinya sudah mandi di kamar ini karena parasnya masih segar walo dengan pakaian yang sama dengan yang tadi siang. Ada tambahan parfum dan polesan make-up. Itu untuk menenangkan dirinya sendiri dan membuatnya lebih percaya diri. Duduk di single sofa satu-satunya padahal ada sebuah sofa panjang lain di sana. Itu yang dipilihnya.

“Apa kamar ini sama dengan yang ada di mimpi Vony?” tanyaku memperhatikan layout kamar hotel yang dipilihnya secara random ini. Standar sih. Ranjang ukuran king size. Lalu ada sofa ini, pemandangan ke langit Medan dengan beberapa pencakar langitnya. Lampu tidur di kanan-kiri ranjang, kamar mandi. Aku mengeluarkan kemejaku dari dalam celana agar lebih rileks, menggulung lengan panjangku melewati siku dan duduk di sofa panjang itu. Lagi-lagi mataku jelalatan memeriksa kamar ini lalu tertumbuk pada sosok tubuhnya.

“Heran ya, bang? Kenapa persis sama?” desisnya seperti gak percaya kalimat itu keluar dari mulut berbibir seksinya. “Tempat tidurnya sama persis… warna sprei dan bantalnya sama… Wallpaper dindingnya sama… Pemandangan luar jendelanya juga sama…” tiap penunjukkan maksudnya, ia hanya menghadapkan wajahnya ke arah benda-benda itu. Dari tadi pasti ia memikirkan semua kebetulan-kebetulan ini. Aku gak tau gimana persisnya isi mimpi Vony, yang kutau di mimpi itu kami hanya bersetubuh di kamar hotel tok.

“Mm… Vony gak buru-buru, kan?” potongku akan apapun yang kini ada di dalam pikirannya. Ia menoleh padaku. “Awak mau mandi dulu, boleh… Gerah nih seharian kerja…” kataku gak menunggu persetujuannya. Ini hanya mengulur waktu agar ia lebih memantapkan diri. Menyegarkan tubuh yang penat keknya gak salah juga. Mungkin nanti Vony akan lebih bergairah dengan aroma tubuhku yang lebih segar. Biasa aja aku buka baju kemeja di depannya sambil jalan ke kamar mandi dan masuk. Shower box ada tersendiri di kamar mandi ini dan aku segera basah-basahan di dalamnya sambil siul-siul lagu dangdut.

“Apa santet yang menyerang Vony ini bisa dibalikkan, bang?”

Hng? Ada suara Vony di dalam kamar mandi? Aku melongokkan kepala keluar dari pintu kaca shower box ini. Dia di sana berdiri bersandar di dekat toilet. Kemeja lengan panjangnya juga sudah dikeluarkan dari rok span panjangnya. Dua kancing teratasnya sudah dibuka, belum bisa terlihat lagi sih isi dadanya. Tapi ini kemajuan. Berani masuk kemari aja itu sudah bagus. Ia hampir tergelak melihatku yang nongol cuma kepala dengan wajah penuh busa sabun. Buru-buru aku mengusap gumpalan busa sabun itu dan cengengesan. “Dibalikkan?” tanyaku balik.

“Ya… Dikembalikan kepada yang nyuruh nyantet Vony, bang?”

“Hmm… Bisa-bisa aja… Tujuannya?” tanyaku balik dengan cara berkomunikasi aneh ini. Dibalik kaca grafir pintu shower box ini aku bugil dan pasti Vony tau itu kalo diperhatikan benar-benar bayangan tubuhku yang membayang di balik kaca. Kalo kugesek-gesekkan Aseng junior di sini pasti akan kentara keliatan.

“Balas dendam aja… Vony sudah lumayan menderita selama ini begini terhina…”

“Dendam? Dendam gak akan membawamu kemana-mana, Von…” kataku mencoba bijak dari dalam shower box ini. “Akan lebih manis kalo motivasimu diganti dengan pembuktian ya, kan? Buktikan kalo Vony bisa hamil… Itu akan lebih menohok dari pada rasa puas terbalaskan dendammu… Lagi pula main-main dengan santet begitu… cepat ato lambat pasti akan ada ganjarannya… Ini awak ngomong karena pengalaman, yaa? Gak usah dipercaya kali… nanti musyrik…” ngobrol sok bijak lagi sambil gosok-gosok peler agar nanti wangi kalo dipake menggasak Vony. Gemericik air shower terus membahana di ruang sempit ini. Tidak ada perkataan lanjutan dari Vony sampe kukira dia sudah keluar dari kamar mandi ini.

“E-eh… Masih disitu?” kagetku waktu mau keluar mengambil handuk yang lupa kubawa masuk ke shower box. Badan masih basah kuyup dan aku mundur masuk lagi. Untung Vony sedang menghadap ke arah lain hingga ia tidak perlu mendapat horor melihat tubuh telanjangku. “Vooon… Minta tolong ambilin handuk itu-laaa… Lupa bawa ke dalam tadi…” kataku semanis-manisnya. Baju dan celanaku juga kugantung di luar.

“Kenapa malu-malu begitu, bang Aseng? Keluar aja begitu kenapa? Kayak baru pertama aja…” jawab Vony. Kimak… Nantangin namanya ni…

Dengan pe-de tingkat dewa aku keluar lagi. Vony masih bersandar di tempat yang sama. Tangannya menahan tubuhnya di belakang. Dengan senyum manis ia melihat prosesku keluar dari shower box itu. Mata kami saling tatap. Sama-sama saling menilai keberanian. Vony sudah berani memampangkan kedua payudaranya di kantorku tadi, apalah bedanya denganku yang berani memamerkan tubuh telanjangku saat ini. Pe-de tingkat dewa karena postur tubuhku tidak seperti yang dulu lagi. Kali ini tubuhku semakin padat dan liat berkat latihan intensif Mandalo Rajo. Otot-otot tubuhku ketat menampilkan maskulinitas seorang pria yang seharusnya. Ini adalah tubuh yang ditempa dengan latihan keras silat harimau. Tidak ada lagi perut buncit karena keseringan duduk di depan komputer. Tidak ada lagi bisep menggelambir seadanya. Tidak ada lagi dada melar karena jarang olah raga.

Kuraih handuk yang disediakan pihak hotel dan mengeringkan tubuhku secara wajar dibawah tatapan rakus mata Vony yang seolah menjilati sekujur tubuh telanjangku. Tangannya yang ada di belakang bokongnya bergerak meremas dinding. Matanya berbinar-binar. Bolak-balik ia membasahi bibirnya yang mendadak kering. Santai kukeringkan Aseng junior yang bekerja sama sangat baik malam ini. Kalo dalam keadaan sleep mode, paling ia berbentuk culun karena ciut seciut-ciutnya sepanjang jari kelingking tanganku. Kali ini karena mandi shower dengan air hangat, ia agak menggeliat bangun dan menggantung bagus, membanggakan. Kulibat handuk itu di pinggangku dan kuambil semua pakaianku yang tergantung. “Yuk…”

“Kenapa pakai baju lagi?” tanya Vony saat aku berusaha memakai sempakku lagi di luar kamar mandi. Lalu celana panjang kemudian. Tentu saja ia gak tau apa yang akan terjadi nanti kalo aku harus bertarung dengan apapun yang telah menyantetnya. Aku gak mau dong harus telanjang bulat menghadapi itu semua. Jangan sampe kejadian kek sama Yuli terulang lagi. Waktu itu aku telanjang bulat memasuki hutan bambu daerah kekuasaan lawan. Untung aja Kojek membawakanku sarung kala itu. Properti pentingku ini harus dijaga baik-baik; Aseng junior. Aku hanya menggeleng aja dan duduk lagi di sofa bertelanjang dada.

“Agak dingin… tapi gak pa-pa…” kataku woles bin cuek. Vony balik duduk ke single sofa itu. “Apakah kita udah bisa mulai?… Karena keknya malam makin larut… Orang-orang di rumah kita masing-masing pasti lagi nungguin…” kataku.

“Suamiku gak pernah nunggu aku pulang… Mungkin bang Aseng iya… Menyedihkan, ya?”

“Voon?” aku benar-benar kesal sekarang. Dari tadi ia terus menampilkan mood ini. Jutek gak menentu seakan pengen curhat tapi secara sinis. Aku beringsut ke sudut sofa panjang ini mendekat pada posisinya duduk. “Ayolah… Kek gitu gak membantu-loh, Voon… Coba cerita dulu… Apa masalah rumah tanggamu ini, Von? Kok keknya amburadul kali…” tanyaku benar-benar kepo.

Vony menatapku dengan pandangan ‘Heh? Really? Serious?’ Aku hanya mengangguk-angguk kek orang paok gitu. Walo berat dan menarik nafas panjang keluar juga kisah kehidupan perkawinannya dengan suaminya ini. Seperti yang kutau awalnya, ia dijodohkan oleh pak Alex dengan anak salah satu klien kantor mereka. Awal pernikahan mereka cukup bahagia karena seperti pasangan muda yang sangat serasi. Yang pria tampan dan mapan, yang perempuan cantik dan menarik. Sebagai anak orang kaya yang selalu hidup berkecukupan, keduanya tak kekurangan satu apapun. Kehidupan seks merekapun sehat dan berwarna. Tapi ada sesuatu yang luput dari pengetahuan Vony yang akhirnya terbongkar pada tahun kedua pernikahan mereka asbab tak adanya momongan sekian lama menikah. Sang suami yang bernama Wisnu ini punya beberapa cem-ceman selain dirinya di luar sana. Pertengkaran demi pertengkaran mulai terjadi. Wisnu mulai membanding-bandingkan dirinya dengan para selirnya. Ia juga sesumbar kalo akan gak memakai pengaman lagi saat menggauli mereka. Biar Vony tau siapa yang jadi kunci permasalahan absennya momongan ini. Masing-masing keluarga tentunya mendukung anak mereka sendir tanpa berniat mendamaikan setidaknya mendinginkan. Dan kini mereka memasuki masa perang dingin. Lebih dingin dari suhu terdingin yang pernah tercatat.

Kisahnya standar sih sebenarnya. Lebih seru lagi sinetron azab di stasiun tipi ikan terbang daripada kisah Vony dan suaminya Wisnu. Tapi karena ia yang merasakannya langsung, pastinya akan lebih menyesakkan dada. Ditambah…”… dia mulai mendekati teman-temanku dengan uangnya… Ada yang mentah-mentah menolaknya… tapi ada juga yang kena jerat… Sakit hati Vony, bang…” Ah… Ini dia sakit hati yang terkenal sejagat mayapada ini.

Pernah kubilang kalo bibit-bibit perselingkuhan itu bisa bermula dari saling curhat begini. Sang pendengar yang baik ini memberikan bahunya untuk sang pencurhat bersandar agar dengan nyaman menangis mencurahkan semua keluh kesahnya. Contohnya ya seperti ini. Vony menangis di bahuku yang telanjang. Air matanya bercucuran sampe berasa di kulit punggungku mengalirnya. Kubiarkan ia menangis sepuas hatinya. Sampe hilang seu sedannya sama sekali.

“Udah?” tanyaku sambil membelai-belai rambutnya. Aku yang duduk di pegangan tangan single sofa itu agak membungkuk agar bisa menenangkan Vony yang barusan mencurahkan uneg-unegnya. Ditariknya tubuhku agar bergabung dengannya di single sofa itu. Walo namanya single sofa, ukurannya cukup untuk kami duduk berdua empet-empetan. Tentu aja Vony memposisikan dirinya dipangkuanku. Ia masih membenamkan wajahnya dengan mata sembab itu di dadaku yang bidang. Membaui aroma tubuhku, mungkin. Secara aku ini jantan sekali. Pe-de kali kao, Seng-Seng! Kah kah kah!

“Udah, bang…” jawabnya singkat lalu membenamkan wajahnya lagi. Nafasnya terasa hangat di dadaku. Ia membentur-benturkan hidungnya yang mancung ke otot dadaku. “Mau liat punya Vony lagi, ya?” tanyanya. Nadanya malu-malu. Padahal di kantor tadi berani kali penuh nyali. Ia mengelus dadaku dengan ujung jarinya. Terasa agak geli.

“Mau-laa…”

Vony terkikik geli mendengar jawaban spontanku. Pelan-pelan dilepasnya sisa kancing blouse yang masih terpasang. Nafas kami berdua menjadi lebih berat oleh birahi yang mulai menitik. Semua kancingnya kini yang malah terlepas. Wow… “Bantuin…” pintanya karena rapat tubuh kami, ia butuh bantuan. Dengan senang hati tentunya kukupas blouse yang tidak terkancing itu lagi. Aku berhasil meloloskan sisi kanan blouse itu dari tangan kanannya hingga separuh tubuhnya tak lagi berpakaian. Bra putihnya yang tertinggal dengan payudara padat menggantung indah. Sisanya dilepas Vony dan ia langsung memelukku. Malu mungkin. Tapi payudaranya menekan erat abdomenku.

“Mm…” desahnya kala kuelus kulit bahunya yang putih dan halus. Beberapa bagian tubuhnya meremang karena geli sentuhan pertamaku. Pori-pori kuduk dan bulu halusnya naik kuperhatikan, Vony mempererat dekapannya. Apalagi saat kubisikkan apakah aku boleh melonggarkan tali bra-nya. Dari gerakan kepalanya aku mendapatkan tanda boleh dan kuloloskan satu strap yang menggantung di bahunya. Bra sebelah kanannya sudah longgar dan giliran sebelah kiri. Syuut. Dengan jari yang mahir, kulepaskan pengait yang masih menyatukan tautan bra itu di belakang punggungnya. Kutarik benda penyangga dada itu hingga Vony lebih menyembunyikan tubuhnya. Kemana keberaniannya tadi siang?

“Vony? Kok jadi malu-malu gini?” bisikku di kupingnya sekalian menghembuskan nafas hangat yang membuatnya bergidik.

Pelan-pelan ia mengangkat kepalanya dari dadaku dan memberanikan diri membalas tatapanku. Masih malu-malu dengan mata yang tak terbuka sepenuhnya, berkerjab-kerjab bagus memainkan bulu mata tebal lentiknya–padahal gak sengaja. Lalu sama sekali terpejam dengan kepala mendongak dan bibir sedikit terbuka. Minta cium, ya?

Kutempelkan ujung telunjukku ke bibirnya. Lembut dan kenyal. “Apa Vony nanti gak bakalan perasaan kalo begini?” tanyaku masih menyegel bibirnya.

“Nggak tau sebelum dicoba…” jawabnya masih bertahan di posisi itu. “Ini pasal pertama itu, ya?” ingatnya akan perjanjian kami. Mata indahnya membuka dan menatap mataku. “Coba dulu… Biar sama-sama tau…” tantangnya berani. Bagus. Nyalinya sudah kembali. Karena Vony duduk di pangkuanku, level ketinggian wajah kami setara, akan sangat pas untuk cipokan. Saat kudekatkan wajahku ke wajahnya, mata terpejam pelan mencoba meresapi apa yang akan menerpanya.

“Cup…”

Hit and run. Tabrak lari kasarnya. Hanya sepatukan kecil aja kuberikan pada ujung bibirnya. Alisnya menyatu menunggu aksi berikutnya yang tak kunjung kuberikan. Pasti penasaran anak orang kubuat. “Segitu aja?” tanya Vony membuka matanya benar penasaran.

“Kan dah dicoba… Awak udah tau…” kataku enteng aja. “Awak nanti yang perasaan, Von…” ngaku-ku.

Ia tergelak dengan manisnya. Tubuh kami tak serapat tadi dengan sama-sama bertelanjang dada. “Masa segitu aja perasaan sih, bang? Gak pernah ciuman selain dengan orang rumah? Gak percaya-ih…” sindirnya dengan segitu banyak koleksi binorku. Yang rutin cipokan denganku adalah kak Sandra yang memang terbukti gak baperan saat beradu mulut denganku. Akhir-akhir ini dengan Miranda yang rutin kucipok saat menyetubuhinya. Aku sama sekali gak ada menyangkutkan perasaan dengan mereka, hanya menikmati aja. Gak tau kalo mereka.

“Awak ini suami baik-baik-loh, Von…” gurauku garing.

“Suami baik apaan? Nih… meluk istri orang…” sindirnya lagi membusungkan dadanya hingga gundukan payudara montok kenyal itu nemplok di dadaku. Lalu ditekan dan gesekkannya ke bawah hingga payudaranya seperti tumpah kepadaku padaku. Putingnya sudah mengeras dan menggerus bahkan putingku sendiri. Tak baik membuatnya sedemikian vulgar hingga kutangkap kedua payudara seukuran bakpao jumbo itu dari sisi luarnya. “Mmph…”

Kusumpal mulutnya agar tak lagi protes dengan mulut juga. Bibir-bibirnya kukulum dan kupagut. Kumasukkan semua ke dalam mulutku, kusedot-sedot mesra hingga basah. Tangannya mencengkram erat pangkal lengan padatku, ia hanya bisa membenamkan ujung jarinya ke otot liatku sementara aku mengelus-elus perlahan punggungnya, merasakan halus lembut kulit mulusnya yang kembali meremang. “Ah…” Vony memegangi kikuk bibirnya yang baru saja kusantap. Ia ganti-ganti menatap mataku dan ujung bahuku. Kusapu bibirku dengan lidahku, menyesap sisa Vony yang mungkin bersisa.

“Suami yang baik, kan? Awak tadi mencontohkan bagaimana awak nyium istriku… Begitu caranya…” belagak keren sok gak menikmati apa yang kulakukan barusan pada bibir lezatnya. Kubersihkan sisa-sisa gelembung buih kecil liurku pada sudut bibirnya. Ia terpaku menatapku membiarkanku menyingkirkan kotoran yang menganggu keindahan bibir manisnya.

“Lagi, bang…” dimonyongkannya bibirnya kembali dan memejamkan matanya erat-erat pasrah pada apapun yang akan kulakukan padanya. Tidak bisa. Ini sudah masuk ke taraf awal maen perasaan namanya kalo bukan ketagihan. Aku menunduk karena bukan bibirnya yang kuincar. “Ahhs…” tubuhnya tersentak seperti tersengat binatang berbisa. Mulutku secara kurang ajarnya mencaplok puting kanan bakpao jumbo-nya. Kukulum dan kupermainkan dengan lidah berputar-putar. “Aahhh… Uuhhnn… Mmm…” desahnya meremas bahuku sampe kuku pendeknya terbenam perih kala pentilnya kugigit dan kutarik. Sisi payudaranya kuremas-remas, keduanya. Vony memundurkan tubuhnya hingga ada jarak lega untukku mempermainkan payudaranya.

“Ahhss… Enak, baang… Mm… Umb…” selagi ia mendesah menikmati rasa geli-geli enak di bakpao jumbo-nya, aku beralih lagi menyumpal mulutnya yang mendesah-desah dengan bibir seksinya. Lagi ia tersentak tapi langsung menikmatinya dengan memejamkan mata. Ia balas pagutan mulutku dengan sedotan-sedotan pada sepasang bibirku. Lidahku yang berusaha menggelitik bibirnya disambut dengan lidah menggelitik juga. Sepertinya ia haus akan permainan seperti ini lagi setelah konfliknya dengan sang suami. Sudah berapa lama perempuan ini tak disentuh pemiliknya?

Lidahnya berusaha memasuki mulutku, menyerahkan lidahnya untuk dikuasai. Kusedot-sedot lidahnya. Tangannya meremas-remas pangkal lenganku lagi dengan erat seirama mengimbangi permainan tanganku yang meremas bakpao jumbo-nya. Pentilnya kembali kupilin-pilin lincah berputar selaras dengan lidahku yang juga mengaduk-aduk lidahnya. Silih berganti kami saling hisap lidah dan bertukar ludah. Remasan tanganku memerah bakpao jumbo kenyalnya. “Shlk… claks… Slrrp… Slurp…” berdecap-decap permaian adu mulut kami terdengar saru di dalam kamar hotel ini. Saling cumbu mulut dan saling remas. Putingnya kupelintir memberinya rasa geli dan nikmat tambahan.

Nyot nyot nyot… Kami lepas pisah mulut tapi tak melepas remasan tanganku di bakpao jumbo-nya. Kami berpandangan. Tangannya ternyata bergerilya ke belakang dan menurunkan restleting rok span panjang yang dikenakannya. Ia ingin lanjut ke bagian berikutnya. Terburu-buru ia meraih tepian atas rok itu untuk menurunkannya lepas dari tubuhnya. Kucegah tindakannya itu. “Itu tugas awak, Von…” Berkerjab-kerjab mata indahnya memandangiku yang berusaha menggantikannya melepas rok itu dari kakinya. Mulutnya sedikit terbuka karena nafasnya agak berat. Deguban kencang jantungnya mempengaruhi jalan nafasnya karena ia banyak menahan nafas.

Dibagian bokong agak sulit melepasnya karena terjepit posisi duduk di pangkuanku ini. Kupepet tubuhnya yang sedikit mengangkat tubuhnya membantuku dengan mengecup-ngecup bibirnya. Disambutnya kecupanku dengan mesra. Pelan dan pasti, rok span panjang sampai setengah betis itu-pun lolos dari kakinya. Kubuang sembarang aja karena kami masih saling cumbu bibir. Paha mulus dan halusnya kuelus-elus membuat Vony merinding-rinding geli. Hanya tinggal secarik celana dalam putih yang masih menempel di tubuh indah mulusnya. Aku akan berurusan dengan sisa itu nanti.

Diraba-raba begini, Vony tentunya tak bisa diam. Bergerak-gerak gelisah menggeol-geolkan bokongnya yang nemplok tepat di pangkuan pahaku. Terkadang ia juga menyenggol Aseng junior yang sudah mengacung tinggi. Udah mau meluncur aja rasanya si junior nakal itu ke sasaran sarang barunya. Sabar ya, Seng. Segera…

“Vony… Vony secantik ini… kenapa ada yang tega menyia-nyiakanmu? Aku gak ngerti…” keluhku memuji kesempurnaannya. Kuelus-elus pipi dan dagunya bergantian sambil kupandangi wajah cantiknya lekat-lekat. Entah apa yang membuat Wisnu jadi sedemikian menelantarkan istri secantik ini.

“Gak tau, bang… Mungkin karena ada yang lebih cantik lagi di luar sana?” katanya mencari alasan.

“Itu gak bisa jadi alasan, Von… Kalo begitu gak akan ada habis-habisnya…” kataku ikut prihatin sebenarnya akan derita yang saat ini merundungnya. “Tapi gini Von… Awak mau nanya dulu ini… Berarti akhir-akhir ini… suamimu gak pernah menyentuhmu lagi?” tanyaku. Ini hal penting bagiku.

“Kadang masih kalo mood lagi bagus… Baikan deh bentar… Bentar aja sih… Abis itu berantem lagi… Udah ada satu bulan, deh… terakhir kali…” ngaku si Vony. Satu bulan? Gawat itu.

“Abis ini… gimanapun caranya Vony baik-baik dulu sama suamimu… Minta jatah… Soalnya nanti kalo Vony hamil… itu adalah anaknya… Paham, ya?” jelasku untuk mengamankan alibi. Walo ini kriterianya selingkuh tapi kan ada target yang ingin kami capai, yaitu kehamilan yang diinginkan Vony. Gawat aja kalo si Wisnu itu nanti itung-itungan dan ingat kalo terakhir kali ia menjamah sang istri sebulan lalu. Calon anakku bisa-bisa mendapat masa depan yang suram dan tak jelas karena tak punya orang tua yang lengkap. Bahkan bisa dicap sebagai anak haram. Amit-amit deh.

“Kalo pisah darinya juga Vony bisa survive-loh, bang… Aku gak pernah kekurangan…” paham Vony akan kecemasanku. Orang berada seperti dirinya tidak akan paham kecemasan orang yang biasa susah sepertiku. Bagiku walo susah, keluarga yang paling utama. Keluarga adalah tujuan utama. Kerja keras untuk keluarga, untuk anak dan istri. Kekurangan uang dan kecemasan besok makan apa hal biasa. Hal yang lebih menakutkan adalah pecahnya keluarga. “Vony akan menjaga anak itu sendiri kalo perlu…” tekadnya.

“Enggak! Jangan begitu… Itu tidak sehat, Von… Walo bagaimanapun… awak ini ayah biologisnya… Di perjanjian kita pasal ketiga… syaratnya adalah anak itu menjadi anak kalian berdua sebagai suami istri dan menjadi tanggung jawab kalian berdua sebagai suami istri… Ingat?” kataku menekankan kembali pada isi perjanjian kami mengingatkannya. Padahal anaknya aja belum ada. Belum dibuat lagi malahan. Sempaknya aja masih belum terbuka. Masih panjang…

“Baik… Vony udah setuju perjanjian kita… Vony akan konsekuen dengan perjanjian kita… Vony paham, bang…” katanya menegarkan diri. Ini artinya ia akan terus menerus bersabar apapun tingkah dan ulah suaminya. Sebanyak apapun selir dan gundiknya nanti, ia harus terus bertahan di pernikahannya ini walo menahan rasa pedih dan sakit hati tiada henti. Sebenarnya itu neraka, tetapi aku punya rasa egois sendiri. Aku paham skenario yang ada di benaknya. Walo ia hamil tanpa campur tangan seorang suami, ia akan dengan mudah membesarkan buah hatinya kelak. Kalo perlu menepi dulu ke pinggiran kota dalam keadaan hamil, cuti bekerja dahulu dan kembali lagi setelah lahiran. Kalo beruntung ia dapat menemukan tambatan hati baru sebagai tempatnya berlabuh. Tidak dengan stigma perempuan mandul karena terbukti ia bisa hamil dan melahirkan anak.

“Sreeet…” dengan gerakan luwes, tak ada lagi yang tertinggal di tubuh mulusnya. Vony telah melepas celana dalamnya sendiri. Ia bugil bulat di depan mataku, berdiri dengan tegar di depanku yang masih duduk di single sofa ini. “Lanjut, bang… Vony sudah siap dari tadi…” ujarnya walo ada setitik nada bergetar di suaranya. Tak kupandang tubuh bugilnya, hanya matanya yang penuh kesungguhan.

“Ungh…” keluhnya ketika tubuhnya kubopong di gendonganku. Kuangkat tubuh polosnya menuju ranjang. Ia menatapku tapi aku tidak. Hanya menatap lurus ke ranjang. Kubaringkan tubuh indahnya di tengah-tengah ranjang. Kususun beberapa bantal di belakang kepalanya sebagai penyangga hingga ia agak tegak bersandar. Aku ada di antara kakinya. Bersiap memasuki…

Lingkungan ini merupakan gua lebar dengan langit-langit tinggi terbuat dari batu padas kasar bercampur karang di sana-sini. Ada banyak lubang-lubang yang mengingatkan akan bentuk labirin yang sambung-menyambung menyesatkan. Ada aroma asin air laut di tanah berpasirnya karena juga ada jasad renik sisa kerang dan sejenisnya pembentuk area ini. Mandau Panglima Burung sudah dihunus di tangan kanan, bakiak Bulan Pencak di kedua kaki. Aku siap menghadapi siapapun yang jadi pemilik daerah kekuasaan ini, sekaligus penyantet Vony.

Kuawaskan semua panca indraku untuk mendeteksi datangnya lawan. Sayup-sayup di kejauhan terdengar debur ombak. Apa gua ini ada di dekat laut? Apa tempat ini mungkin dibanjiri air pasang secara periodik? Jalan keluar yang paling logis adalah ke atas andai ini memang sebuah tempat yang secara fisik memang ada, bukan secara ghaib. Memanjat ke atas juga bukan hal yang mudah untuk dilakukan mengingat langit-langit tinggi gua ini terjal dan licin oleh semacam lendir yang terbentuk alami karena faktor kelembaban dan sejenis lumut ato sejenisnya yang biasa tumbuh di sekitar tempat basah.

Suara debur ombak semakin jelas terdengar dan itu membuatku semakin awas. Instingku mengatakan kalo sang pemilik tempat ini semakin dekat. Tidak ada gunanya panik dan aku gak panik sama sekali karena ini memang kuharapkan. Karena itu aku datang kemari repot-repot menyambangi calon lawan terbaru ini yang telah melakukan santet pada Vony.

Dari sebuah lubang lorong itu terdengar langkahnya. Tapi yang pertama kali muncul adalah sejenis kepulan asap. Dari aromanya aku tau itu asap kemenyan. Aku dapat membaui kebulan asapnya. Orang ini lalu muncul dari lubang itu sambil sedikit membungkuk karena ternyata mulut lubang itu lebih rendah dari tingginya. Ia membawa sebuah semacam obor yang juga merupakan wadah arang dimana ia membakar kemenyan yang asapnya menyeruak aromanya. Pendar bara arang digunakannya sebagai penerang selama ia menjelajah lorong labirin tadi. Orangnya biasa, tipikal dukun yang berumur setengah baya dengan pakaian lusuh berwarna hitam. Orang-orang seperti ini biasanya sengaja tidak memperhatikan penampilan agar terlihat seram sesuai dengan profesinya. Rambut panjang awut-awutan dan brewok serta kumis tak terurus. Entah dari mana datang pakem dukun harus berpenampilan seperti ini.

“Waah… ada orang rupanya nyasar dimari…” katanya menyambutku dan mengipas-ngipas bara kemenyannya agar tetap mengepul dengan tangan. Sepertinya ia sedang memberi makan peliharaannya dengan aroma menyengat kemenyan ini. Asap tipisnya membumbung dan memasuki lubang-lubang yang banyak menyebar di dinding gua. “Mau nyembuhin perempuan ini, ya?” tanyanya. Tangannya lentur seperti seorang pesulap yang mematerialkan sebuah benda sulapnya dari balik jubahnya. Pasir yang menjadi tempatnya berpijak membentuk sebuah sosok dengan ajaibnya. Cepat membentuk tubuh seorang perempuan yang segera kukenali sebagai Vony dari bentuk dadanya. Skala sosok tubuh dari pasir itu 100 persen seperti aslinya. Ditiupkannya asap bokor sekaligus obor itu ke arah sosok perempuan pasir itu hingga terbalut tebalnya kepulan asap. Kemenyan kualitas terbaik sepertinya.

Pupus asap kemenyan itu, hingga meninggalkan sisa tipis asap saja, sosok pasir Vony sudah berbentuk seperti patung hidup dengan warna kulit dan rambut yang seperti nyata. Seperti patung lilin di museum Prancis itu. Jago nih dukun… Jago dia membuat patung Vony telanjang bulat seperti aslinya.

“Perempuan ini?” tanyanya lagi padaku. Dari sebuah tas cangklong lusuh yang dibawanya, beberapa buah paku sepanjang 4 inchi sudah berpindah tangan padanya. “Ini kemari…” santai saja ia menusukkan sebuah paku ke kepala patung pasir itu sampai amblas meninggalkan bagian tonjolan pangkalnya saja dan bercokol disana. Melihat ia melakukan itu, aku tau kalo ada sesuatu yang sedang terjadi pada Vony di dunia nyata. Ini adalah media boneka yang menjadi perwakilan siksaan tingkat lanjut dari sang dukun untuk Vony. Seketika aku jadi merasa bersalah karenanya, kalo aku gak muncul di sini, mungkin ia tidak akan melakukan santet dengan paku-paku ini. Paku-paku lain segera ditusukkannya ke bagian-bagian tubuh Vony, seperti jantung, lutut, pergelangan tangan, lengan, dan perut.

“Jangan macam-macam denganku…” ancamnya dengan mata melotot. Ia memberi gestur akan menghantamkan bokor obor itu ke kepala patung Vony. “Kalau kepala patung pasir ini kuhancurkan… perempuan itu juga pasti akan hancur…” katanya sambil mendongak-dongakkan kepalanya seperti wayang golek Asep bergigi kelinci berkulit merah itu. Tapi gak ada lucu-lucunya sama sekali. “Aku gak suka ada yang menantangku seperti ini… Tapi kalau kau berani… ayo maju sini… Tak ancurin kepalanya!”

Sialan… Serius nih orang pengen cari mati. Tapi aku tidak tau bagaimana menolong Vony di kondisi seperti ini. Dukun pukimak ini curang sekali metode kerjanya. Tak ada niatnya untuk bertarung langsung. Permainan kotor adalah cara mainnya. Cara seperti ini sah-sah aja dilakukan siapapun yang tak punya kode etik ksatria Menggala, apalagi golongan hitam sepertinya. “Ayo… Buang senjatamu itu… Ayo!” perintah sang dukun yang menganggap senjata milikku ini berbahaya. Ia patut waspada pada mandau Panglima Burung ini.

Kujatuhkan senjata tajam panjang seperti pedang ini ke pasir hingga menancap dengan gagang di atas. Aku bahkan juga melepaskan bakiak Bulan Pencak-ku. Lalu aku menjauh darinya. Mundur-mundur. “Jangan apa-apakan lagi dia, pak… Aku keluar… Aku keluar…” kataku mengangkat tangan tanda menyerah dan gak akan berbuat yang macam-macam.

“Aduh… Kok tiba-tiba sakit ya, bang Aseng?” kata Vony mengernyit sambil memegangi pelipis kanannya dan dada kirinya. Itu dua paku yang ditancapkan di kepala dan jantung tadi. Pasti paku-paku lainnya juga sudah bereaksi memberikan rasa sakit yang tak terperi. Kimak! Hilang jadinya mood Vony untuk bersetubuh gara-gara ini. Pengen rasanya aku balik lagi ke gua batu itu dan menghajar dukun bangsat itu. Hu-uh! Sial! Sial!

Bersambung

smp sexy
Main dokter-dokteran dengan om bayu teman akrab ayah
Black Circle
korban dukun cabul
Cerita hot kisah si dukun cabul bagian satu
stw hot
Wisata unik di jogja, makan di temani STW yang cantik
tante setengah baya
Pertemuanku Dengan Wanita Setengah Baya Di Toko Buku
Aku Menikmati Pemerkosaan Akibat Berteduh Saat Hujan
Dosen Baru Yang Cantik
pijat erootis
Pijatan erotis ayu yang membuat terangsang
Memek basah becek cewek bispak anak surabaya
gila sexs
Kisah sexs ku yang gila waktu ngerjain dua penjaga vila
onani nikmat
Cerita ngocok waktu di rumah sendirian
Foto Porno Jepang Ngentot Pengunjung Mall Sampai Crot
ngentot adik sepupu
Ngentot adik sepupu waktu dia tidur terlelap bagian dua
pembantu lugu
Melampiaskan hasrat ku pada pembantu tante yang hot
tante galak
Tante Ku Sekaligus Guru Sexs Ku
Cerita sex di ajarin ngentot oleh tante