Part #9 : Wes hewes-hewes. Bablas angine!

“Wes hewes-hewes. Bablas angine!” selesai sang dukun yang katanya sakti mandraguna dengan mantra ampuhnya. Ia sudah membakar kemenyan di bokor tanah liat dengan arang yang masih membara. Ada kain hitam yang jadi alas bokor menyan, berlapis dengan ulos, batik, sarung cap gajah bengkak dan entah kain apa lagi yang dijadikannya alas. Ini dukun apa merangkap jualan kain?

Kami ada di daerah Kampung Bahari di Belawan. Malam-malam kami sampai ke sana dipandu oleh pak Jumadi, marketing dukun tadi dengan menumpang mobil milik Imran, suami Pipit. Kami hanya berempat yang pergi ke rumah dukun ini. Aku, pak Jumadi, Pipit dan suaminya. Tempatnya jaooh kali, mak! Gak mau aku datang kemari lagi. Bukan jauh dari Mabar ke Belawannya. Gak bisa masuk mobilnya, cuy. Mobil hanya bisa diparkir di depan gang dan selebihnya kami berjalan kaki. Jalan kaki melewati gang-gang kecil dan sempit yang cuma bisa dilewati satu kereta/motor. Bau dan kotor khas daerah tepi laut. Melewati banyak jemuran ikan asin, genangan air pasang dengan banyak sampah. Lengkap sudah. Udah itu sampe di dukunnya-dukun sok sakti pulak. Hadeeh.

“Ini belom jauh barangnya (burungnya) nih… Masih dekat disimpannya barang ini… Masih menunggu kesempatan dipindahkannya…” teori sang dukun sambil memelototi telur ayam kampung yang sudah dipecahkannya. Kuning telur itu berubah merah seperti darah. Telur ayam kampung itu kami yang bawa sendiri berjumlah 5 buah. Bagaimana mungkin bisa jadi merah?

“Mbah? Bisa gak diputar giling aja malingnya ini… Supaya bingung dia…” usul pak Jumadi. Pipit dan suaminya liat-liatan seperti terkesan dengan kesaktian sang dukun yang meyakinkan. Sang dukun sedikit komat-kamit dengan mantranya. Paling dia baca doa makan sama doa masuk WC diulang-ulang.

Sang dukun ini belum terlalu tua tapi sudah dipanggil mbah. Paling-paling masih 50-an tahun saja. Rambut dan jenggot serta kumisnya masih hitam semua belum ada uban sudah mau dipanggil mbah. Mbah gundulmu!

“Bisa-bisa… Mudah itu… Kita matikan-pun dia bisa…” kata dukun itu manggut-manggut mengacak-acak kuning telur merah itu dengan ujung jarinya.

“Jangan sampe mati-la, mbah…” potong Imran kaget. Masak gara-gara maling burung aja sampe mati. Kalau burungnya yang satu lagi yang dimaling mungkin dia setuju.

“Biar aja mati, bang… Enak aja dia maling-maling…” Pipit malah setuju kalau sang maling dibuat mati saja. Wah! Pipit ternyata temperamen tinggi juga. Kesal kali mungkin dia karena sudah maling burung di rumahnya. Sementara dia ada di TKP saat itu sedang nonton TV.

“Gini aja… Mbah akan pakai Aji Putar Giling… Mbah akan usahakan untuk membuatnya mengembalikan semua barang yang sudah diambilnya… Sukmanya akan kebingungan dan mengembalikan barang itu… Tunggu saja dua tiga hari ini…” katanya menutup sesi konsultasi. Karena masih banyak pasien lain yang sudah menunggu di luar sana. Kami aja tadi ngantri juga kok.

Kami harus berjalan kaki lagi untuk mencapai mobil Imran yang diparkir jauh disana. Melewati semua kekumuhan tadi kembali. Pipit yang paling menderita karena ia harus menutupi hidung dan mulutnya dengan sapu tangan yang sudah ditetesi minyak kayu putih. Berkali-kali ia akan muntah tapi tak jadi keluar mencium aroma aneh lingkungan ini.

“Kenak berapa tadi?” tanyaku pelan dengan merapat pada Imran.

“Kata pak Jumadi seiklasnya… Jadi kukasih cepek aja…” bisik Imran. Yah… Udah burung ilang 5 juta, koyak lagi cepek. Apes-apes. Kujamin tak balik burungnya yang ilang. Malah tambah rugi pulak lagi.

Sampai di mobil kami harus berhenti sebentar karena Imran dan pak Jumadi harus membeli bunga sajen sama rokok. Rokok sebenarnya bagian untuk pak Jumadi yang asem belum ngebul dari tadi. Pipit yang masih mual minta menunggu saja di tepi jalan karena bau AC mobil tambah membuatnya mual. Aku menemaninya sementara mereka berkendara mencari bunga. Kata pak Jumadi ada yang berjualan bunga 24 jam di sekitaran Belawan.

“Masih kesal, Pit?” tanyaku agar saat menunggu tak begitu terasa.

“Iya, bang… Kesel banget-banget aku… Bisa-bisanya Pipit di dalam rumah… burung bisa dicolong… Kebangetan banget tuh maling… Mending dimatiin aja sekalian sama mbah itu…” katanya sembari duduk ditepi trotoar karena masih mual perutnya. Ini lakiknya paok atau bego ya? Binik cantik semlohay begini ditinggal begitu aja ditepi jalan. Untung masih aku jagain. Digondol maling lagi tau rasa tuh orang. Lebih baik aku aja yang gondol…

pipit

“Gak baik-loh, Pit ke dukun-dukun gituh… Abang sebenarnya gak mau ke dukun kek gini… Banyakan gak bagusnya…” kataku beneran. Ini informasi standar. Di semua agama, percaya pada dukun itu sama dengan menduakan Tuhan. Akur?

“Biarlah, bang… Kesel banget aku… Udah kepalang tanggung… Sekalian nyebur aja… Berdosa-berdosa-lah” katanya cukup mengejutkanku. Ternyata Pipit ini termasuk perempuan pemberani. Ia bahkan tak takut akan dosa. Mungkin masa lalunya cukup kelam.

“Sori nih, Pit… Abang gak bermaksud ngorek-ngorek nih… Ada banyak masalah di rumah tangga kalian kan? Pipit juga punya banyak masalah… Masa lalu pastinya…” kataku mulai menjalarkan racunku. Ada jalan nih. Kesempatan emas.

Ia melirikku sebentar lalu terdiam menatap aspal di depannya. Coba dengan cara ini…

“Itu tadi dukun penipu… Kalian jangan asal percaya dengannya. Terutama kau Pit… Dia hanya tau sedikit ilmu saja udah berani buka praktek…” kataku. “Pak Jumadi mengarahkan kita ke dukun ini karena dia itu saudaranya… Yang ngambil semua burung itu anaknya Pak Jumadi… Jadi sampe kapanpun burung itu gak akan ketemu kalau pake arahan dukun tadi… Datangi aja rumah anaknya yang di gang XXX… pasti burung kalian semua ada di sana…” kataku membeberkannya.

Kaget Pipit mendengar penuturanku barusan. Pasti dia heran darimana aku tau semua itu. Aku berpesan kepadanya untuk hanya menyampaikan ini pada suaminya nanti kalau mereka sudah tinggal berdua saja. Dan satu pesan terakhirku, “Kalau gak takut dosa… Ada jalan untuk masalahmu, Pit…” kuberikan secarik kertas padanya.

Bersamaan, mobil Imran merapat untuk menjemput kami dan beranjak pulang ke Mabar. Lewat tol biar cepat.

Keesokan harinya, kelima ekor burung itu sudah kembali berkicau seperti biasa di kandangnya. Yah benar. Semua sudah kembali. Hebat, kan?

Ppt: Makasih ya bg Aseng

Aseng: Sm-sm pit cm nolong aj

Benar lagi. Kertas yang kuberi pada Pipit itu pin BB-ku untuk menghubungiku kalau perlu arahan lebih lanjut. Dan benar saja tengah malam ia nge-ping BB-ku. Ternyata-eh-ternyata, setelah sampai di rumah, Pipit cerita pada suaminya kalau ia dapat penerawangan entah dari mana kalau ia tau siapa pelaku maling burung itu sebenarnya. Langsung mereka mendatangi rumah anak pak Jumadi yang kelang dua gang dari sini. Dari luar rumah saja sudah terdengar suara burung sahut bersahut bising yang dikenali Imran sebagai burung piaraannya. Dengan tanpa membuat keributan, mereka bertamu ke rumah yang memang pecinta burung itu dan mengklain semua burung yang sudah dimaling itu. Gak bisa berkutik dan bermaksud damai, burung-burung itu kembali berpindah tangan ke pemilik aslinya. Kasus selesai.

Pak Jumadi gak keliatan batang idungnya selama beberapa hari setelah kejadian itu dari lingkungan ini. Kalo istilah orang sini, sporing alias melarikan diri sementara. Dia punya beberapa anak, kemungkinan ia sporing ke tempat anaknya yang lain. Sore pulang kerja, di meja makan ada satu kotak bolu gulung Meranti yang terkenal enak seantero Medan. Kata istriku pemberian dari Pipit dan suaminya sebagai ucapan terima kasih. Istriku pahamnya kalo ini ucapan terima kasih karena sudah menemani mereka pergi ke dukun di Belawan itu seperti yang kebanyakan orang tau. Padahal cerita aslinya tidak sesimpel itu. Cukup kami aja yang tau.

Ppt: jd sebenarnya bg Aseng bisa yg gitu2 jg?

Aseng: gitu2 gimana?

Ppt: Gitu2 pinter gitu

Aseng: dikit

Pembicaraan kami berlanjut online lewat BBM. Aku curi-curi waktu di saat setelah makan siang karena kerjaan lebih kendor saat itu.

Ppt: jd utk mslh Pipit bisa?

Aseng: apa mslh y? yg blm pny anak?

Ppt: itu yg utama ap krn Pipit byk dosa?

Aseng: merasa bdosa gk

Panjang lebar ternyata pembicaraan kami lewat chatting itu. Dia bisa lebih supel dan terbuka kalau berbincang tidak secara langsung begini dan mencurahkan semua uneg-uneg yang dipendamnya selama ini. Ada begitu banyak masalah terjadi di hidupnya. Ia terlihat seperti perempuan biasa aja yang adem ayem saja dengan kesehariannya ternyata di balik itu semua ia punya segudang masalah. Kutenggarai kalau masalah-masalah hidupnya ini mengkristal dan menggerogoti kesehatannya sendiri diam-diam.

Pertama; hubungannya dengan keluarganya tidak harmonis. Sudah bertahun-tahun ia tidak pernah berhubungan dengan ibu-bapaknya yang ada di Semarang. Apalagi dengan sanak-saudaranya. Itu dimulai dari kehidupan liarnya ketika remaja dengan pacar-pacarnya. Video mesumnya pernah sempat beredar saat SMA yang disebar oleh mantan sakit hati. Agak mereda sebentar hingga tamat SMA. Berlanjut lagi hingga kembali menggila hingga hamil entah dengan siapa, pacar yang mana. Ia sampai harus melakukan siasat licik dengan menjebak satu pacar yang kehidupan ekonominya lumayan untuk menikahinya. Menikah tetapi keguguran di bulan kelima. Merasa lepas dari tanggung jawab, sang suami menceraikannya. Malu, Pipit melarikan diri hingga sampai ke Sumatera sini. Sempat bekerja dan menikah lagi dengan Imran; suami keduanya saat ini. Detail kebinalannya selama itu tidak perlu kuceritakan tentunya.

Selama chatting dengannya, aku juga sempat mencari video yang viral bertahun-tahun lalu itu. Pernah dengar tapi tak sempat mencari video pemersatu rakyat Indonesia itu. Ubek-ubek internet malah nemunya di Por**ub. Emang oke punya Pipit waktu masih muda. Goyangannya sudah seperti profesional, emutannya yahud ditambah tampangnya memang sangat mendukung. Itu waktu remaja sudah begitu, tambah lagi sekarang. Lebih semok dengan ukuran dada yang semakin besar.

Kutanya apa Imran tau tentang masa lalunya yang begitu kelam? Jawabnya tidak. Ia tidak menceritakan detail sampai jelas. Hanya cerita pernah ML sama pacar beberapa kali, wajar. Itu kasus biasa. Apalagi statusnya memang janda yang pernah hamil tapi keguguran. Selama pacaran dengan Imran mereka juga sudah sering ML dan akhirnya menikah walau belum berhasil hamil sampai sekarang. Aku juga menanyakan proses nikahnya dengan Imran karena sudah pasti ia tidak punya wali yang bisa menikahkannya. Ia tidak punya sanak saudara satupun di Medan sini. Ternyata pakai wali wakil saja bisa oleh KUA. Aku gak begitu paham.

Ppt: gmna bang?

Aseng: satu-satu selesaikan masalah Pipit. PERTAMA minta maaf sm bpk ibu di kampung. Telepon mereka sekarang juga. Nnt kita ngobrol lg. bisa?

Saat bekerja meng-input data dan memeriksa kerjaan bawahan, aku berkali-kali berfikir cara membereskan masalah Pipit ini. Aku sampai harus membuat coretan di kertas tentang langkah-langkah yang harus dilakukan beserta analisa rencana B atau C kalau rencana awal tak berhasil. Perempuan itu punya terlalu banyak masalah pelik di hidupnya yang harus dibenahi satu persatu.

Ih. Kok jadi peduli kali aku sama masalah Pipit? Padahal niat awalnya cuma pengen iseng-iseng menitipkan benihku pada perempuan yang tak kunjung hamil itu. Pernah berhasil dengan Aida membuatku ingin beralih pada Pipit juga. Trus nanti yang lain juga. Gitu? Coretanku di kertas sudah kek benang kusut.

———————————–
Aseng: bu Iva. Beli pulsa lg 50K

Iva: yg kemaren dah abis?

Cepat juga ia membalas pesanku. Padahal ini udah jam 11 malam loh. Fast respond juga penjual pulsa ini.

Aseng: iya bu Iva. bisa bu?

Iva: bentar lg sampe tuh.

Aseng: belom tidur bu? (iseng-iseng ngajak ngobrol)

Iva: belom. kiki lg demam jd rewel

Aseng: oh. sori bu ganggu sy y

Iva: gk la ini kiki lg tidur kok

Aseng: toni mana?

Iva: k t4 mamak sakit jg

Aseng: kambuh lg

Iva: biasa d

Jadi yang sakit ini adalah ibunya Iva. Toni yang sebagai menantu yang malah sering mengurus mertuanya. Ibunya Iva sempat tinggal bersama mereka sejak ayahnya meninggal tapi karena ada sedikit masalah dengan tetangga, akhirnya ibunya ini sekarang tinggal dengan adiknya Iva. Tak jauh. Sakit yang diderita ibu Iva cukup kompleks. Penyakit jantung komplikasi sama kesurupan. Nah loh? Dan Toni-lah yang kebagian tugas membawakan dukun langganan mereka untuk mengatasi kesurupan rutin ibunya seperti malam ini.

Sering kali-lah kudengar orang pergi ke dukun? Cam gak ada solusi laen selain ke dukun. Capek-capek dokter itu belajar tahunan plus spesialis lagi. Ujung-ujungnya ke dukun juga orang ini. Paok kali kurasa.

Aseng: da sampe bu pulsa y

Iva: abisnya chatting ato nyari bokep

Aseng: bokep? gak la ngapain bokep

Iva: cepat x abis kuota y

Aseng: bisnis bu banyak x urusanku

Iva: bisnis tuyul seken (bekas)

Aseng: WKWKWK

Jadi panjang obrolan kami malam itu. Untunglah ada teman chatting malam-malam begini karena yang dulu (Aida) sudah gak pernah lagi atau gak sanggup dia karena masalah kesehatannya. Pipit juga belum kunjung menghubungi lagi. Jadinya modusin si Iva ini-lah.

Iva yang supel dan enak diajak ngobrol cukup ngocol kalau diajak bercanda. Ia mengirim foto-foto lucu yang kerap beredar dengan tulisan yang dari dulu sampe sekarang lazim dipakai sebagai meme. Aku balas juga dengan gambar-gambar lucu lainnya. Jadinya malam itu kami perang gambar. Saling berbalas gambar, terkadang ada gambar yang menjurus-jurus ke porno dikit juga. Wajar-lah, sudah pada dewasa ini.

Kupancing dia dengan minta foto cantiknya dengan mengirim fotoku yang berlagak alay. Gak pake lama ia segera membanjiriku dengan foto-foto selfie dan foto full body juga. Di atas tadi sudah diceritain tentang Iva kan tentang bodi dan cara berpakaiannya? Indah-indah semua fotonya. Ada foto yang menonjolkan belahan dada. Foto yang menonjolkan kemulusan kaki jenjang. Foto yang menonjolkan kemolekan sekal bokongnya. Banyak foto cantik wajahnya. Cuma semua masih berpakaian lengkap sih. Aku jadi muas-muasin mata dengan memelototi koleksi fotonya. Cantik dan seksi abis. Keknya Iva suka pamer nih. Moga-moga eksibis? Ngarep.

iva

Aseng: cantik-cantik bu aku smp ngences liat y. sempat jd model ya?

Iva: model kaos kaki. WKWK

Aseng: bener loh bu cantik semua loh ini jd model cocok loh bu kek masih gadis

Iva: mmg masih gadis yee…

Aseng: org gk percaya klo dibilang emak-emak kalo begini mah

Iva: iya sering loh kiki dikira ponakanq

Aseng: pusing nih bu liat semua

Iva: pusing yg atas ato bawah

Aseng: atas bawah bu suwer kewer kewer

Iva: sukurin

Aseng: gimana ni bu? bu Iva sih

Iva: kan ada yg di kamar

Aseng: lg palang merah bu (padahal enggak)

Iva: sabun ada? WKWKWK

Aseng: sabun mana sabun

Bertambah satu lagi bahan khayalanku. Setelah Aida, kemudian Pipit dan kini Iva masuk dengan pesonanya. Cenat-cenut Aseng junior membayangkan menikmati dua perempuan itu.

—————————————–
“Papa Rio?” tegur seseorang di depan gang.

“Eh. Bu Yuli… Mau kemana bu?” kataku saat akan berangkat kerja dengan motor kesayangan.

“Mau ke ATM… Boleh numpang gak?” pintanya.

“ATM bank apa?” tanyaku lagi. Di depan bundaran pintu masuk Kawasan Industri tempatku bekerja ada banyak jejeran ATM dari beberapa bank. Mungkin salah satunya kupikir. Lumayan bantu-bantu tetangga. Dia menyebutkan satu nama bank yang ada. Angkut deh.

Mabar di waktu berangkat sekolah dan kerja tentu ramai seperti di daerah lainnya. Angkot, kendaraan pribadi, motor ditambah lagi kendaraan berat. Penuh tumpek-blek jadi satu memenuhi jalan. Aku tentu harus konsentrasi penuh mengendarai motor jangan sampai terjadi lakalantas. Tarik gas-rem-masuk gigi-turun gigi-rem lagi-gas terus rem.

Nyot!

Nyot-nyot!

Yuli

Tiga kali daging empuk berukuran besar itu nemplok di punggungku yang walau berlapis jaket, terasa sekali kenyalnya. Tiba-tiba kek ada spotlight terang dari surga menyinariku. Merasa sangat diberkahi gitu merasakannya. Empuk lagi besar.

“Sori-sori bu… Jalannya macet…” kataku tersadar karena aku ngerem mendadak berkali-kali karena sebuah angkot tiba-tiba berhenti langsung menepi. Posisi duduk bu Yuli di jok belakang menyamping karena ia memakai gamis dengan rok lebar. Ada lagi yang berasa banget, pinggul besarnya yang duduk nemplok di jok belakang motorku. Pinggulnya mendesak erat punggung bawah dan sebagian bokongku. Berasa sesak karena sempit terasa motorku tiba-tiba. Biasanya kalau bonceng istri dan kedua anakku aja gak sesempit ini keadaannya.

“Iya, gak pa-pa…” kata bu Yuli maklum. Ia tak melindungi bemper depannya bahkan setelah insiden tadi. Dan sekali-dua kali terjadi lagi. Aku gak sengaja loh ya. Ini murni karena kondisi jalan. Tos untuk pak sopir. Sering-sering begitu ya. Kalo aku lagi sendirian jangan kek gitu ya? Piis.

Pertengahan jalan, perjalanan mulai lancar. Kami terlibat obrolan basa-basi aja.

“Kiriman dari abang, bu Yuli?” tanyaku.

“Iya papa Rio… Dia lagi di Sidempuan… Mungkin minggu ini gak pulang jadi cuma bisa ngirim duit aja…” katanya.

“Oh… Lagi di Sidempuan… Jauh tuh…” kataku menimpali.

“Katanya papa Rio aslinya bukan orang Medan ya?” tanya bu Yuli.

“Lahir besarnya ya di Medan, bu… Cuma orang tua orang Minang sana…” jawabku.

“Awalnya awak kira papa Rio orang Cina… Tumben ada orang Cina mau kawin sama orang Jawa tinggalnya di dalam gang… Gak taunya orang Padang… He-he-he…” kata Yuli seperti yang sudah-sudah. Sudah gak keitung lagi orang yang berpikiran seperti itu. Gimana kalau aku belajar bahasa Hokkien trus ngaku Cina sekalian aja. WKWK.

“Eh… Ada polisi, papa Rio!” kaget bu Yuli tiba-tiba. Malah lebih kaget lagi aku karena ia mencengkram pinggangku. Lebih tepatnya posisi dimana kantong kanan samping celana panjang berada. Sedikit lagi ia sudah akan mencengkram area bertahta Aseng junior. Wajar kalau dia kaget karena ia tidak memakai helm walau aku sendiri pakai. Bu Yuli khawatir gara-gara ia numpang jadinya aku kena tilang.

“Bukan polisi itu bu… Cuma ngatur-ngatur jalan dia pake rompi ijo kek polisi punya…” kataku menenangkannya. Selamat Aseng junior dari mendapat betotan maut emak-emak montok ini. Tapi cengkramannya tak mengendur. Ia seperti mengumpetkan kepalanya di bahuku. Mendengar kalau yang dilihatnya tadi ternyata bukan polisi, ia melongokkan kepalanya mengintip. Nyot! Bemper depannya kembali menekan punggungku.

“Oh… Kirain polisi… Kaget aku…” katanya. Bempernya tetap nempel walau tidak seketat tadi.

Di jejeran ATM di depan bundaran KIM 2, kuturunkan bu Yuli.

“Papa Rio minta nomer HP-nya dong?” pintanya sambil mengeluarkan ponsel miliknya dari tas. Wow. Pada masa itu HP BB yang dimilikinya harganya sekitar 11 jutaan gitu. Kaget aku melihatnya. HP-nya mahal tapi rumahnya ngontrak. Entah macam apa keluarga ini?

Kusebutkan nomor HP-ku yang segera dicatatnya. “Gak sekalian pin-nya bu Yuli?” tawarku menunjukkan barcode-ku untuk di-scan-nya. Ia juga men-scan-nya dan kami terhubung kemudian. Lalu aku lanjut masuk ke gawean.

————————————–
Dua hari kemudian baru Pipit menghubungiku kembali di malam hari. Ia sudah menghubungi keluarganya. Terutama kedua orang tuanya yang sudah tua dan sakit-sakitan di sana. Mereka saling bertangisan lewat sambungan telepon karena sudah saling kangen karena bertahun-tahun tak berkabar. Berjam-jam mereka saling menelepon menanyakan kabar Pipit dan mengkabarkan keluarganya yang ada di kampung. Ada yang sudah meninggal, ada yang sudah menikah dan beranak. Ada yang pergi dan ada yang datang.

Aseng: gmna perasaan Pipit skrg?

Ppt: lbh lega bg bahagia jg

Aseng: bagus dong

Ppt: langkah selanjutnya bg?

Aseng: ttp silaturahmi temanya. langkah KEDUA minta maaf kepada semua yg sudah menyakiti Pipit

Ppt: ??

Aseng: heran kan?

Ppt: iya bingung

Aseng: coba aj dulu nnt pasti paham

Ppt: termasuk mantan2 nih?

Aseng: nah itu tau coba dulu

Ppt: jgn2 nnt yg ketiga minta maaf sm yg sdh Pipit sakiti lg?

Aseng: anak dukun y?

Ppt: ish bg Aseng godain Pipit mulu ini beneran kn?

Aseng: ya beneran toh mbakyu Pipit yg beneran ayu cam kue putu ayu mlaku2 alias mlayu

Ppt: bg Aseng iso ngomong jowo toh?

Aseng: lah bojoku wong jowo kok

Ppt: bg Aseng lucu

Aseng: kek apa? badut?

Ppt: bagong (babi hutan/member Punakawan 48, gendut cebol)

Aseng: WKWKWK

Kali ini chatting-an kami lebih luwes dari sebelumnya yang cenderung serius dan mellow. Ini lebih ke ledek-ledekan teman. Rupanya Pipit cukup lucu juga dengan selera humornya. Humornya lebih ke satir mungkin karena pengalaman hidupnya. Ia lebih banyak berdiam di dalam rumah nonton TV seharian daripada sosialisasi dengan tetangga. Sekedar keluar untuk berbelanja cemilan karena belanja bulanannya lebih sering ke supermarket. Sangat jarang melihat dia keluar rumah dengan motor, lebih sering bareng suaminya dengan mobil.

Setelah malam itu, jeda kembali obrolan kami. Mungkin ia sedang berusaha menghubungi orang-orang tertentu yang masuk dalam kriteria yang sudah pernah menyakitinya atau malah yang pernah disakitinya. Barisan para mantan pastinya. Ini mungkin akan makan waktu lama.

Bersambung

Dosen Baru Yang Cantik
500 foto chika bandung bugil di kamar sambil elus elus memek
500 foto chika bandung pakai celana pendek dan di bugilin pacar
500 foto chika bandung janjian dengan pacar ngewe di hotel
Cerita dewasa menjadi penikmat istri orang
Adik keponakan ku yang centil dan sexy
Foto memek cewek amoy yang cantik suka ngangkang
teman ngentot
Kenikmatan ketika aku sedang DIJARAH dua teman lelakiku bagian 1
Nafsuku Terlampiaskan Kepada Keponakan Sendiri
pembantu lugu
Melampiaskan hasrat ku pada pembantu tante yang hot
Pembantu bahenol
Susi Pembantu Ku Yang Bikin Gelisah
ibu guru muda
Cerita hot terbaru ngentot dengan ibu guru sexy
Black Circle
gadis binal cerita
Demi Memuaskan Nafsu Binal Sahabatku
Foto Bugil Cewek Korea Cantik Toge
pembantu polos
Menikmati orgasme dengan pembantu yang polos