Part #10 : Bu Yuli Yang Menggoda
Yuli: Papa Rio numpang lg boleh?
Aseng: boleh bu
Yuli: di dpn gang aj
Aseng: ok
Bu Yuli kembali minta nebeng lagi ke ATM di dekat bundaran KIM 2. Karena searah kukabulkan aja. Lagi pula aku juga mau ambil duit juga di ATM, nguras yang masih tersisa di rekening. Kembali kami ngobrol sepanjang jalan dan aku mendapat setoran templokan bemper besar bu Yuli selama perjalanan. Apalagi selagi melintasi jalanan yang berlubang. Berasa banget besar dan kenyalnya.
Ternyata dia harus bolak-balik ke ATM karena harus membeli motor yang penting untuk mobilitasnya sehari-hari. Bu Yuli kupersilahkan menggunakan ATM pertama kali sementara aku menunggu di belakangnya. Iseng kuintip saldo tabungannya saat ia cek saldo karena ia tidak terlalu tinggi. Makjang! Itu duit ratusan juta di rekeningnya. Kenapa mereka gak beli rumah aja? Malah ngontrak rumah kecil yang setahun cuma tiga juta lima ratus. Heran aku. Setelah itu bu Yuli balik lagi naik angkot dan aku lanjut ke kerjaan.
Sekitar jam 10 pagi. Jam kerja yang lagi repot-repotnya, ia nge-ping. Ternyata bu Yuli sedang bingung dan minta pendapatku. Bagusan mana antara 2 motor matik Honda dan Yamaha? Dia mau beli cash katanya. Eneng-eneng wae.
Dikirimnya foto kedua motor itu padaku untuk kupilih. Foto B*at dan M*o menyala di layar HP-ku. Ini urusannya apa sama aku? Bingung kali aku sama tingkah perempuan satu ini. Kenapa gak nanya pendapat lakiknya, ini malah nanya sama lakik orang. Dia terus memohon bantuanku karena suaminya tidak bisa dihubungi karena sedang berada di pelosok daerah sana. Dia tidak tau harus minta tolong siapa lagi karena semua saudaranya di kampung dan kebutuhannya ini mendesak. Ini tipe-tipe perempuan gampang tersesak nih. Sesak boker, gak ada WC, kolam ikan-pun jadi. Sesak kawin, gak ada jantan, terong-pun jadi. He-he-he.
—————————————–
“Bu Sandra masih di Jakarta, kan?” tanyaku pada asistennya.
“Iya, bang. Kenapa? Kangen ya?” jawabnya. “Udah dua hari… lusa baru balik…”
“Cocok lah… Makasih…” kataku langsung balik kanan dan meninggalkan tempat kerjaku. Bu Sandra adalah factory manager di sini dan divisiku ada tepat di bawahnya. Kalau dia tidak ada di tempat, kalau ada urusan seperti permisi meninggalkan pekerjaan sementara yang harus sepengetahuannya bisa lebih bebas. Aku mempermisikan diriku sendiri juga bisa. Isi formulir dan cabut.
Kupacu motorku menuju show-room motor dimana bu Yuli sudah menunggu di daerah jalan Krakatau. Jam segini daerah ini sedang macet-macetnya tau? Tapi aku bisa sampai di sana sekitar setengah jam kemudian karena sudah motong-motong jalan. Masih dengan kostum yang sama seperti ke ATM tadi kujumpai bu Yuli yang menunggu di depan show-room. Ia pake masker ijo harga seribuan itu. Ia senang karena aku bisa meluangkan waktu menemaninya membeli motor.
Bak seorang suami pengganti, aku membeli sebuah motor matik B*at di dealer itu secara kontan. Suami yang sayang istri, motor dibeli atas nama istri tercinta. Bu Yuli berseri-seri selama proses itu. Ia sudah merasa senang karena sudah memiliki motor walaupun belum langsung bisa dikendarai. Motor dijanjikan akan diantar ke rumah hari ini juga, paling lambat sore hari karena kebetulan sedang ada stok yang tersedia.
“Makasih ya Papa Rio… Udah mau membantu saya membeli kereta ini… Saya gak ngerti sama sekali urusan yang kek gini-gini…” katanya sewaktu kami keluar show-room menuju motorku yang terparkir.
“Ya, bu Yuli. Bantu-bantu tetangga dikit…” kataku. Aku harus mengantarnya pulang dulu lalu balik lagi ke kantor.
“Udah mau jam 12… Kita makan dulu, yuk?” ajaknya.
“Aa…” bimbang dong. Tatapan matanya sangat mengharap aku memenuhi ajakannya. Ini pasti bagian dari ucapan terima kasihnya.
Masih di seputaran jalan Krakatau, aku berbelok masuk ke restoran Padang yang terkenal enak. Bu Yuli banyak duit, kan?
“Papa Rio rencananya mau punya berapa anak?” tanyanya ketika menunggu pelayan datang menyusun makanan secara buffet. Kami sudah duduk berdampingan dengan manis di sebuah meja besar yang sedianya untuk 4 orang. Ia pakai kembali masker ijo itu.
“Belum tau, bu… Mungkin 3 atau 4-lah…” kataku pendek. Aku juga belum kepikiran. Tapi melihat kondisi ekonomi sekarang, punya banyak anak akan sangat merepotkan. “Kemarin cerita sama orang rumah (istri)… Mimi itu bukan anak kandung ibu Yuli?” tanyaku setelah meneguk segelas air putih hangat.
“Begitulah, Papa Rio… Ribet masalahnya ini…” katanya lalu duduk bersandar dari yang awalnya melipat tangan di atas meja. “Mimi itu anak suami pertama saya… Jadi bukan anak kandung saya… Dari suami kedua gak dapat anak dan sekarang yang ketiga… Keluarga mereka pengen kali mendapat anak dari saya… Kami dijodohkan sama istri pertama suami saya… Jadi ceritanya saya ini cuma madu… Mereka udah menikah dua puluh tahun gak dapat anak juga… Masalahnya… saya gak cerita kalau Mimi itu bukan anak kandung saya… Ribet, kan?” malah curhat.
“Makanya sekarang saya pusing kali sampe minta pindah jauh-jauh saja dari keluarganya di kampung… Keluarga mereka itu kaya raya… Kebun rambung (karet) sama sawitnya luas… Bingung gimana caranya…” lanjutnya lagi dengan berkali-kali menghela nafas.
“Jadi ceritanya ibu Yuli sama abang gak subur ato gimana?” tanyaku.
“Kami pernah periksa… sehat-nya kami berdua… Tapi gak tau juga… Punya banyak duit gak jamin bisa bahagia, kan?” katanya malah menyinggung tentang kekayaan dan bahagia. Aku teringat isi rekening gendutnya.
“Ya… sering-sering berdoa aja-lah bu Yuli…” kataku standar. Para pelayan rumah makan ini sudah selesai menggelar semua menu andalan mereka di meja kami. Cacing perutku udah jemping-jemping (salto) minta dendeng balado, gulai gazebo, dan kawan-kawannya semua.
“Kalian berdua keknya subur kali, ya? Langsung jadi kalo buat anak…” katanya sambil mengambil sepotong rendang ke piringnya. Masker dibuka.
“He-he-he… Kek kucing bu Yuli… Sekali senggol langsung jadi…” jawabku asal-asalan menyiram nasiku dengan kuah gulai cubadak (nangka muda).
“Gimana kalo saya bayar 100 juta… 50 juta kontan sekarang juga dan sisanya kalau saya bisa hamil…” bisik bu Yuli sedikit memiringkan condong tubuhnya yang duduk di sampingku. Nyess…
Apa istilah yang pas untuk menggambarkan keadaanku saat itu. Mencelos? Kalok orang Medan bilang menggeletar ginjal awak dibuatnya. Entah apa yang merasuki… Udah kek lagu viral itu. Entah gimana cara pikir perempuan satu ini? Gak sampe akalku dibuatnya. Lemah jantungku dibuatnya. Terduduk lemas dibuatnya. Aseng junior yang paling juara.
“Gimana Papa Rio?” desaknya. Kan suka tersesak dia, kan? Ini sesak beranak sekarang.
————————————
Yang suka FR di Medan, pasti pada tau yang namanya Ard*na di jalan Krakatau Ujung. Penginapan ini tidak jauh dari simpang jalan Cemara. Kesana kubawa perempuan sesak beranak ini. Gak mahal kali kok. Apalagi bu Yuli yang bayar semuanya.
Dengan cepat kami sudah dapat kamar dan bu Yuli minta mandi dulu untuk membersihkan badannya. Terdengar jebar-jebur air dari kamar mandi sementara aku duduk aja di atas ranjang menunggunya. Sepatu dan kaus kaki sudah kubuka. Kuletakkan dengan rapi di dekat pintu. Hembusan AC membuat kamar menjadi sejuk. Tetapi tidak dengan kepalaku.
Kenapa rupanya? Udah pernah sama Aida. Kenapa gak sama bu Yuli? Udah dapat enak, dapat lima puluh jeti cash di tangan. Lima puluh jeti lagi menyusul kalau bunting dia. Lima puluh juta memang sudah diberikannya padaku di dalam sebuah amplop coklat yang kuletakkan di atas meja kecil di samping ranjang. Lembaran uang kartal merah itu harum walau haram. Aah.
Tak lama, ia keluar. Tubuhnya hanya dibalut handuk. Wangi sabun segar menyeruak sampai ke hidungku. Pakaiannya masih digantung di kamar mandi dan itu artinya dia tak pakai apa-apa lagi di balik handuk itu. Aseng junior menggeliat mengingat itu.
“Papa Rio gak mau mandi juga?” tawarnya. Mandi bisa jadi pengulur waktu untuk memantapkan hatiku. Tapi kenapa harus, perempuan bersuami ini saja tidak ragu dengan keputusannya. Nothing to lose sebenarnya. Walau ia tidak bisa hamil-pun lima puluh jeti tetap menjadi milikku. Begitu perjanjiannya. Udah kek laki-laki bayaran aku.
“Gak usah, bu… Langsung aja biar cepat…” jawabku mantap lalu bangkit dan membuka kancing kemejaku. Bu Yuli gantian duduk di ranjang menungguku. Diperhatikannya tubuhku yang mulai bertelanjang dada. Ia tersenyum bangga. “Kenapa, bu?”
“Saya belum pernah dengan laki-laki seputih Papa Rio… Tiga lakik saya pada item semua… Burungnya pun item… Papa Rio burungnya item juga gak?” tanyanya nakal. Ini bukan burung, namanya Aseng junior. Coba liat ini. Nilai sendiri…
“Item gak, bu?” begitu celana panjang dan sempakku lepas dari kakiku. Aseng junior sudah menegang setengah penuh. Menjuntai-juntai manja. A-hai!
“Putih juga… Gede…” katanya masih nakal tapi tersipu nanar menatap rakus pada Aseng junior-ku. Dengan lambaian kecil ia memanggilku mendekat yang sedang menggantung semua pakaianku di balik pintu. Karena merasa dibayar, aku patuh dan mendekatinya. Agak ragu ia menyentuhku karena pandangannya bergantian menatap wajahku dan pucuk memerah Aseng junior.
“Saya boleh panggil Papa Rio… bang Aseng aja? Walau saya lebih tua dari Papa Rio… tapi di tempat tidur lebih enakan manggil abang…” katanya minta ini. Gak aneh sih. “Sebagai gantinya panggil aja saya Yuli gitu…”
“Boleh sih… Gak masalah… Ahh… Enak, Yul…” jawabku dan tangannya mulai menyentuh Aseng junior. Tubuh telanjangku bergetar geli oleh sentuhan pertamanya. Perempuan ini bukan pemain baru dalam hubungan seks, terbukti suaminya sudah tiga. Hanya saja dia belum beruntung sampai dikaruniai anak.
Yang pertama dipegangnya adalah dasar Aseng junior, bagian kantung zakar. Diremas-remas lembut kantung dengan dua bola penghasil semua bibit suburku. Diremasnya dengan tangan kiri sambil menatapku yang keenakan. Lalu tangan kanannya mulai bermain. Dikocoknya pelan batang Aseng junior. Kedua tangannya lumayan cekatan melakukan ini semua. Dengan cepat Aseng junior menggeliat ke ukuran maksimalnya. Yuli mulai memainkan lidahnya. Dijilatinya bibirnya sendiri hingga basah. Dikumpulkannya ludah lalu diteteskannya ke Aseng junior hingga kuyup. Dingin bercampur panas.
Kocokan tangan Yuli menjadi licin dengan tambahan ludah begini. “Kclok-kclok!” berulang-ulang. Ia terus memancing birahiku dengan membasahi bibirnya dengan lidah. Belahan dadanya yang tertutup handuk yang sebenarnya kulihat dari tadi. Menggunung besar kedua bemper yang sudah berulang kali menabrak punggungku. Aku jadi penasaran ingin melihatnya tanpa penutup segera.
“Mau liat, bang Aseng?” paham pandangan mataku ia menawarkan bemper depannya. Aku mengangguk.
Dengan mudah ia melepas tautan ujung handuknya yang terselip menutupi tubuhnya. JREENG! Bergoyang-goyang kedua gunung kembar itu terbebas dari jepitan handuk. Boing-boing! Memang sangat besar ternyata. Aseng junior semakin menggila meradang.
“Besar ya, bang Aseng… Ukurannya 38DD…” jelasnya tanpa diminta. Mak! Gede amat! Memaksimal kesempurnaan anugrah yang kudapatkan. Diremas-remasnya kedua gunung kembar itu sendiri. Dipilinnya puting besar itu sambil terus memandangiku dengan lidah yang menyapu bibir basah.
“Dijepit disini enak kali, ya?” katanya menggapaikan kedua gunung kembar itu menjepit Aseng junior yang berkedut-kedut minta perhatian kembali. “Ehmm…” Gilaaaaaa! Aseng junior meronta keenakan. Gunung kembar itu menjepit Aseng junior di antara lembahnya. Panas dan licin berkat sisa cairan ludah tadi. Dikepit lalu digoyang-goyang naik turun mengocok Aseng junior-ku.
“Enak, bang?” tanya Yuli nakal. Gak perlu ditanya pasti joss ini. Aku ikut menggoyang pinggangku seolah sedang memperkosa gunung kembar itu. Ditambahnya ludah kembali untuk melumasi gesekan Aseng junior di belahan tetek itu. Rasanya enak kali. Kulit halus serta tekstur kenyal dan lembut gunung kembar ini melenakan birahiku.
Ditambah lagi ini, tiap kepala Aseng junior meronta keluar abis kelelep di antara dua gunung itu, dicaplok masuk ke dalam mulutnya. Disambut dengan sapuan lidah yang basah dan sedikit sedotan. Gila-gilaaa! Bisa-bisa bentar lagi aku ngecrot nih.
“Udah, Yul… Udah… Nanti aku keluar…” kataku sebenarnya gak rela melepas Aseng junior lepas dari jepitan gunung kembar itu. Aseng junior basah kuyup dan berkedut nanggung. Yuli tersenyum manis berkat dua gingsul itu. Disibakkannya sisa handuk yang masih menutupi bagian bawah tubuhnya. Ia beringsut mundur hingga ia ada di tengah ranjang. Perutnya sedikit buncit dan berlipat sesuai dengan tubuh semoknya. Apalagi segitiga di antara pangkal pahanya rimbun tetapi rapi. Jelas ia merawat serius bagian ini.
“Gantian yah, bang Aseng…” begitu ia membuka lebar kakinya. Jari telunjuk kanannya dibasahi lalu menggosok klentitnya dengan nakal. Berikutnya melebarkan bibir kemaluannya yang ditumbuhi lebatnya jembut pendek. Wah… Indah kali. Basah dan menggairahkan dengan warna kemerahan tanda sudah bergairah tinggi. Lubang gelap sempit di atas lubang anusnya memanggilku untuk memasukkan, membenamkan, melesakkan Aseng junior.
Aku merangkak naik ke ranjang tapi lamat-lamat kudengar suara asing yang menggetarkan bulu kuduk. Kimbek-lah (kimbek variasi lain dari kimak, makian khas orang Medan)
Bakiak Bulan Pencak kembali menjadi andalanku. Begitu aku menjejakkan kakiku pada sepasang bakiak merah ini, tubuh telanjangku berpindah alam ke suatu tempat yang menyeramkan lagi asing. Hutan bambu. Angin tak wajar berhembus laksana dengus binatang buas. Menelisip melewati untaian daun-daun bambu yang tumbuh bergerumbul setempuk demi setumpuk dan menjulang tinggi membisiki awan. Aroma busuk sesuatu mirip bangkai binatang sangat menusuk hidung di tempat ini. Tempat kekuasaan sang durjana ini.
Ternyata ada sesuatu yang mengikuti permasalahan ribet keluarga bu Yuli ini. Jumlahnya tidak sedikit karena ini mirip kawanan yang beranak pinak di kegelapan hutan bambu. Memangsa apapun yang masuk atau diumpankan. Dan kini aku terkepung dalam keadaan yang sangat menyedihkan. Telanjang bulat. Kondisi yang sangat memalukan kalau harus terlibat dalam suatu pertarungan karena lawan akan mudah mengeksploitasi terbukanya tubuhku. Menghantam kantong menyan-ku sebagai contoh mudah. Semaput, kan?
Geram banyak mahluk mistis kemudian semakin jelas terdengar mengepungku. Muncul dari balik gerumbul rumpun bambu yang lebat di sekelilingku. Desau angin juga semakin mengkhawatirkan. Suara tipis dan tajam silih berganti menggesek dawai jiwa yang semakin kalut. Aku tanpa persiapan kali ini. Untung saja masih ada bakiak Bulan Pencak yang selalu bersamaku. Tapi tanpa keempat pisau daunku, ini pasti merepotkan.
Mahluk-mahluk begini biasanya adalah mahluk suruhan dari orang yang berilmu tinggi. Apalagi jumlahnya ada banyak. Perlu usaha yang sangat kuat dan tingkatan ilmu yang luar biasa untuk bisa menguasai mereka. Mahluk buas ini patuh bila sudah dipenuhi semua kebutuhannya. Mereka loyal dan juga teritorial. Loyal pada penguasanya dan teritorial sehingga menjaga betul daerah kekuasaannya.
Tapi aku tak menemukan si penguasa itu, setidaknya aku tak mendeteksi keberadaannya. Apakah ia membiarkan saja para mahluk buas ini menjaga tempat ini, hanya memakai mereka jika diperlukan? Sehingga aku yang tiba-tiba masuk kemari akan langsung berhadapan dengan para mahluk ini tanpa perlu ikut campur sang penguasa.
Tetap saja aku akan repot. Moncong mahluk itu mulai tersembul keluar dari gerumbul rumpun bambu. Jenis ini ternyata, seperti yang kuduga. Anjing hutan. Mahluk yang merepotkan kalau sudah main keroyokan karena disana nilai plus mereka. Koordinasi serang dan bertahan mereka sangat baik. Mereka rela menjadi umpan sementara yang lain membokong mangsa, teralih pada yang dibelakang sang umpan balik menyerang.
Bantuan adalah satu-satunya jalan. Fitur ‘call a friend’ harus kulakukan. Kok kek kuis di TV itu? Manggil teman? Memang manggil teman. Secara ajaib satu sosok teman yang kupanggil muncul di sebelah kiriku setelah kupanggil nama lengkapnya. Pandapotan Samuel Hutagalung anak Efraim Mangatas Hutagalung.
“Apa, Seng?” katanya masih bingung karena kupanggil tiba-tiba begini. “Ish jijik kali nengok kau telanjang gitu! Tutup-lah dulu itu! Kalok kau cewek gak pa-pa-lah… Ini sama-sama cap lonceng-nya kita…” muak temanku yang kerap dipanggil Kojek. Ia geli melihatku yang berdiri telanjang di hutan bambu ini.
“Terpaksa aku, Jek… Kalok gak terpaksa gak kupanggil-nya kau…” kataku menutupi Aseng junior-ku yang gondal-gandul.
“Ya udah kenapa kau? Siang-siang bolong gini-pun maen kek gini… Kek gak ada kerjaan aja kau? Gak kerja rupanya kau?” katanya paham setelah memperhatikan sekelilingnya. Ia sudah melihat beberapa ekor mahluk buas berbentuk anjing hutan itu.
“Kau carikan celana sama daun untukku… Nanti kau balik lagi… Tapi yang cepat ya?” kataku minta bantuan padanya. Yang penting aku pakai celana dulu. Daun prioritas kedua.
“Iya-lah… Daun ganja mau kau?” tanyanya masih sempat bercanda.
“Ada punyamu?” siapa tau beneran ada.
“Daun ubi (singkong/ketela)… Sama-sama lima jari… Ha-ha-ha…” tawanya lepas seperti biasa.
“Kimak!” makiku seiring ia menghilang kembali mencarikan pesananku.
Para pengepungku, kumpulan anjing hutan semakin rapat mengelilingiku. Kalau dihitung kasar ada sekitar 20-an ekor. Banyak kali! Tapi aku tidak boleh menunjukkan gelagat ketakutan. Mereka akan semakin bringas kalau tau mangsanya takut. Aku berdiri dengan kuda-kuda terbaikku walau tanpa sehelai benang-pun menempel di tubuh. Tapi kami setara, seperti pertarungan hidup dan mati di alam liar.
Aku menunduk dan mengambil kedua bakiak itu yang akan kupakai sebagai alat pukul. Akan langsung kupakai jurus pamungkas andalanku sebagai salam pembuka. “GUGUR GLUGUR!”
BOOM!
Ledakan dahsyat terjadi saat jurus pamungkas itu menghantam tanah gelap ini. Gelombang kejutnya menerpa luas sampai melengkungkan batang-batang bambu yang menjulang tinggi. Beberapa anjing hutan yang di lingkaran terdepan terlempar tak ayal lagi. Membentur teman-temannya yang di belakang atau tersangkut di batang bambu. Kukejar anjing hutan terdekat dan kuhantam kepalanya dengan bakiak Bulan Pencak sampai terpelanting jauh.
Satu-dua anjing hutan kaing-kaing mengeluh kesakitan kuhajar kepalanya dengan bakiak merah ini. Tapi teman-temannya mengejarku dari belakang. Ayunan bakiak-ku gagal menghantam sasaran baru karena mereka gesit menghindar dan dari arah lain ada serangan baru. Sekali dua kali aku berhasil mengenai kawanan anjing hutan buas ini. Tapi mereka balik lagi dengan bengisnya. Mata kuning mereka berkilat-kilat dengan kebuasan mahluk malam.
Dan saat aku mulai terdesak, hembusan angin datang mengusir para mahlus buas itu.
“Ah… Lama kali kau datang? Udah ampir koyak pelerku dicakar anjing-anjing ni…” kataku senang temanku ini datang lagi sebenarnya.
“Sori-lah, lae-ku… Aku tadi lagi ngasih makan babiku… Tah ngapain kau siang-siang maen kek gini… Ini kau pakek ini aja-lah biar cepat…” pungkasnya menyerahkan sehelai sarung padaku. Lumayanlah untuk nutupi Aseng junior yang gondal-gandul dari tadi. Kupakai cepat-cepat.
“Daun itu yang ko bawak?” gak abis pikir kulihat apa yang dibawanya.
“Kan dah kubilang tadi aku lagi ngasih makan pinahan-ku (peliharaan)… Daun pisang ini harusnya jadi alas makanan babiku… Bisa kali ini kan?” kata Kojek menyerahkan sehelai atau sebatang daun pisang. Kayaknya ini daun pisang kepok atau malah daun pisang batu. Daunnya lebar berwarna hijau tua. Daun yang sangat prima kalau dijadikan senjata.
“Memang-lah kau, Jek… Bagus kali pilihanmu… Lae-ku ini paling paten-lah… Gak akan kukubur kau kalau belom mati…” jawabku menerima daun yang dibawanya.
“Kimak, kau!” balasnya. “Ya udahlah… Kau mau kubantu bentar, gak? Biar agak terang dikit tempat ini kubikin…” katanya.
“Ish… Boleh kali-lah…” setujuku. Kojek mengeluarkan alat-alat perang miliknya. Tabung gas kecil yang sebesar termos air panas berwarna perak dengan banyak tempelan stiker nemplok di punggungnya seperti ransel. Juga sebuah topeng gas dengan selang panjang hanya disampirkan di atas kepalanya. Kojek mengarahkan selang yang berasal dari tabung itu ke segala arah menyemburkan gas yang terkandung di dalamnya. Ada bau busuk yang tiba-tiba menyeruak. Gas ini cukup misterius cara kerjanya. Ia menyebar cepat mengikuti oksigen, karbon dioksida dan nitrogen yang ada di udara.
“Fire in the hole!” seru Kojek melentingkan sebatang korek api kayu yang sudah menyala. Jesss. Api sekecil ini saja akan memicu ledakan setara ini. Api bertemu gas peledak.
DHHHAARR!!!
Ledakan dahsyat membahana dengan kobaran api yang luar biasa panas sontak menerangi tempat gelap ini. Dalam hal ledakan, kekuatan andalan Kojek bahkan jauh lebih luar biasa dari pada jurus andalanku Gugur Glugur. Aku jarang kali melihat serangan ini gagal mengalahkan musuh kami. Minusnya kekuatan ini hanya repot dalam menyiapkannya saja. Tetapi kalau sudah tersudut, biasanya ini menjadi penyelamat kami.
“Adios amigo, lae… Awak pergi dulu…” kata Kojek setelah tugasnya selesai. Ia menghilang.
Hutan bambu sudah tidak ada lagi. Yang ada hanya kekosongan hampa yang terang-gemilang tiba-tiba. Aku tidak heran dengan keadaan ini. Aku sudah beberapa kali menyaksikan efek ini setelah ledakan yang disebabkan Kojek. Hanya tanah kosong yang datar saja. Aku hanya perlu menunggu penguasa tempat ini muncul.
Sebuah tumpukan abu bambu tak jauh dari tempatku bergerak-gerak dan dari sana ia muncul. Ia meluapkan sumpah serapah. Segala macam penghuni kos-kosan campur kebun binatang diabsennya satu-satu.
“Aih… Betul kata si Kojek… Jijik kali rupanya nengok punai (belalai) orang lain…” kataku mengalihkan pandanganku karena ternyata orang itu juga tak berpakaian. Ada luka bakar di tubuhnya akibat ledakan tadi. Kemungkinan besar ia melepas paksa pakaiannya yang terbakar hingga ia jadi bugil seperti ini.
“KAU! KURANG AJAR!!” murka bukan main orang itu karena daerah kekuasaannya sudah hancur. Dari tumpukan-tumpukan abu bambu melompat sekitar 6 ekor anjing hutan yang masih bertahan walau dalam keadaan yang tak utuh.
“Wak Bugil kenal Cloud Strife? Ini minjam Buster Sword-nya…” kataku tak mengharapkan ia paham apa yang kukatakan. Aku hanya akan memamerkan pedang besar yang terbuat dari daun pisang lebar ini menjadi pedang Selatan-ku. Kalau kamu-kamu pernah main Final Fantasy VII, pasti tau pedang besar yang dipakai tokoh protagonis game itu. Kusabetkan berputar pedang besar itu dan membelah mudah tubuh keenam anjing hutan yang akan menerjangku hingga tercerai-berai.
Syok wajah wak Bugil melihat serangannya barusan gagal total. Giginya gemeletuk geram. Tubuhnya bergetar. Tubuh gosongnya berasap hitam.
“Sengkolo apapun yang kau tanam pada bu Yuli ini… CABUT SEKARANG JUGA!!” desakku dan menunjuknya dengan pedang panjang ini.
“Tidak mau! Kau boleh memaksaku! Aku tidak TAKUUT!!” hardiknya meradang. Padahal kondisinya sudah begitu payah tapi harga dirinya sebagai orang sakti menahannya dari mengaku kalah. Begitulah kalau sudah berkubang dalam lubang nista ini. Hanya kematian jalan terakhirnya. Kematiannya sendiri.
Sebilah keris panjang di tangan kanan dan tongkat kayu di kanan kiri menjadi senjatanya. Ia meradang maju tanpa pikir panjang. Kusambut Wak Bugil mesum ini dengan kuda-kuda di atas pijakan bakiak Bulan Pencak. Pedang Selatan kutarik kebelakang untuk putaran tebasan lebar. Saat ia sudah dalam jangkauan, dengan cepat kukibaskan. SWASS!!
Sepasang senjatanya patah dua, berikut luka memanjang di dada. Luka dalam menganga. Ia lalu terjengkang rubuh dengan semburan asap hitam dari bekas luka itu. Semua kejahatan yang sudah pernah dilakukannya lepas kembali. Jadi ilmu hitam apapun yang pernah dilakukannya pada bu Yuli atau orang lain sekarang sudah hilang sirna.
Jadi rupanya ini adalah guna-guna lama yang melekat pada suami ketiga Yuli atas suruhan saudaranya sendiri. Biasa ya, rebutan harta. Kalau dia tidak punya keturunan, cepat atau lambat semua kekayaannya akan berpindah padanya atau keturunannya. Gila harta dan kekuasaan memang selalu menjadi akar dari banyak kejahatan yang terjadi di muka bumi ini.
Tempat ini menghilang dan berganti kembali menjadi kamar penginapan Ard*na kembali. Di hadapanku Yuli masih sedang bergolek mengangkang memamerkan belahan merah segitiga berambut lebat pendek itu. Lembab. Mengundangku untuk menjilatinya.
Bersambung