Part #8 : Aida Sudah Hamil Yuli Pun Datang
Setengah rumah di gang ini adalah rumah sewa dan setengahnya lagi rumah pribadi. Tepat di samping rumahku, ada dua pintu rumah yang disewakan. Beberapa hari lalu ada penyewa baru yang menempati salah satu rumah itu. Penghuninya adalah sepasang suami istri dengan satu anak yang baru kelas 2 SD. Aku jarang sekali bertemu sang suami yang katanya semacam supir truk antar kota gitu. Yang kutau kalau umur keduanya itu lebih tua dari kami.
Awal-awal mereka tinggal di gang ini, hubungan mereka bertetangga masih biasa-biasa aja karena belum terlalu terbuka atau kurang supel gimana gitu karena bila sang istri yang lebih banyak di rumah sedang berbelanja hanya sekedar sapa saja dengan jiran tetangga. Terutama dengan kami yang tepat di sebelah kiri rumahnya. Istriku juga tidak terlalu perduli dengan keberadaan keluarga itu karena ia sibuk dengan pekerjaannya yang sudah memakan waktu; mengurus rumah.
O-iya, perut Aida semakin lama semakin besar. Memasuki bulan ketiga ini sesekali ia kelihatan keluar rumah. Keadaannya masih kurang fit pasca hamil ini. Bawaannya masih sering lemas dan maunya tidur mulu. Ia hanya berbincang di depan rumahnya dengan tetangga yang menanyakan kabarnya. Aku yang lewat menggendong Salwa pun hanya ngobrol sekenanya. Ia tak sanggup menggendong Salwa katanya. Maklum deh… Ada adik Salwa di dalam perutnya. Ia hanya bisa tersenyum lebar kalau kukatakan itu.
Mengingat hubungan 4 malam-ku dengan Aida, aku jadi kangen dengannya. Tapi apa daya karena keadaan Aida bahkan tak ada gairah untuk itu. Mungkin-mungkin juga lakiknya-pun tak dapat jatah beberapa bulan ini. Sementara aku sudah cukup dengan istriku saja. Apa aku nyari sasaran baru aja? Di gang ini ada perempuan-perempuan lainnya yang belum kunjung dikaruniai anak walau sudah berumah tangga cukup lama. Lucu juga kalau Rio dan Salwa punya banyak saudara yang tak mereka ketahui. Hi-hi-hi. Gilak!
“Mei-Mei… Mau kemana, Mei-Mei?” tanya seorang perempuan yang punya warung di gang ini. Katanya anakku mirip anak Cina sangking putihnya dan matanya agak sipit makanya dia manggil Salwa dengan sebutan Mei-Mei.
“Jalan-jalan bu Ipa…” jawabku mewakili anakku. Namanya Iva. Dia masuk dalam golongan MILF di gang ini. Entah ini strategi dagang atau memang ia senangnya begitu, Iva ini sukanya berpakaian ketat-ketat atau pendek sehingga tubuhnya yang masih langsing ini terekspos setiap saat dan waktu. Terkadang ia hanya memakai celana pendek dan kaus ketat kala menjaga warungnya. Lain waktu ia memakai long dress ketat yang mempertontonkan lekuk tubuh aduhai. Kurang hot? Pakai kaos tanpa lengan dan celana legging ketat. Tubuh langsingnya ini tentu saja jadi makanan setiap mata laki-laki karena ia belum pernah turun mesin walau anaknya satu. Ya, itu bukan anak kandungnya. Anak angkat karena ia tak kunjung beranak walau sudah 7 tahun menikah. Anaknya masih berumur 3 tahun dan sering bermain di warungnya itu. Jadi tetek mancung, lengan mulus, dan kaki jenjangnya adalah pemandangan ekstra di warung ini. Banyak yang beli jadinya, ya beli rokok-kaum adam tentunya. Atau beli benda remeh sekadarnya untuk cuci mata. Para lelaki jadi rajin berbelanja di sana. Apalagi ia orangnya memang ramah.
“Mei-Mei cepat gede yaa… Nanti beli jajan di tempat ibu…” katanya tersenyum lebar. Adem ngeliat casing perempuan cantik begini. Anak sulungku sering beli jajanan di warungnya ini. Aku juga yang termasuk sering cuci mata disini dengan alasan beli jajanan Rio. Lanjut lagi Salwa jalan-jalan lagi keliling lingkungannya ini. Sapaan-sapaan lain terus berulang sampai di tengah gang.
Salwa sangat senang berada di sekitar rumah dipertengahan gang ini karena terdengar bunyi-bunyi burung yang bersahut-sahutan. Ada dua rumah di sini yang memelihara burung. Kedua rumah itu berhadapan dan menggantung kandang burungnya di depan rumah. Selaksa konser beberapa ekor burung saling pamer kebolehan meneriakkan suara indahnya.
Anak bayiku yang semakin berkembang besar menggapai-gapai senang pada burung-burung berisik itu. Ada love bird, murai, kacer dan beberapa yang tak kutau jenis apa. Mereka seperti tak peduli dengan suara mobil yang sedang dipanaskan di garasi rumah itu. Terus saja berkicau dengan girangnya. Aku harus menepi dengan Salwa karena mobil itu mundur keluar. Aku menyapa pengemudinya sebentar dan ia lanjut jalan.
“Eh, ada Salwa…” sapa polda rumah tipe minimalis ini. Fitri namanya, panggilannya Pipit. MILF lainnya di gang ini. Ia tak kalah seksi dengan Iva di warung tadi. Seragam sehari-harinya adalah kaos ketat pendek dan celana ketat. Rambutnya dicat kemerahan kadang pirang. Lain kesempatan baru kutahu karena untuk menutupi rambutnya yang mulai ditumbuhi uban. Tapi ia jarang-jarang keluar rumah. Lebih sering ngadem di rumah saja.
“Belum pergi kerja, bang?” sapanya. Jarang-jarang kami ngobrol karena ia jarang keliatan.
“Belum, Pit… Bentar lagi… Dekat aja jadi gak usah buru-buru…” jawabku.
“Iya… Bang Imran harus pergi pagi supaya gak kena macet di kota…” katanya tentang suaminya yang baru berangkat tadi. “Udah berapa bulan ini Salwa, bang?” tanyanya mengalihkan pembicaraan.
“Minggu depan sembilan bulan… Baru mulai belajar merangkak…” jawabku sambil mengayun-ayun Salwa. Padahal mataku sekali-kali melirik gundukan besar di tubuh langsing perempuan di depanku ini. Menurut berita yang beredar di kalangan mamak-mamak dan disampaikan lewat istriku kalau Pipit ini sudah menikah dua kali. Pada pernikahan pertamanya dulu di Jawa sempat hamil tapi keguguran, bercerai lalu hijrah kemari untuk bekerja dan menikah lagi dengan suaminya yang sekarang. Sakit cukup parah dan berhenti bekerja sampai sekarang. Dan poin utamanya belum hamil lagi sampai sekarang.
“Lucu ya, Salwa… Cepat gede ya…” katanya mengelus pipinya. Tangan yang menjulur ke arah kami itu putih dan mulus sekali. Rambut kemerahan di kepalanya sangat pas dengan warna kulitnya yang putih. Membuatnya semakin bersinar cerah. Padahal perempuan ini belum mandi loh. Aku tau dia belum mandi karena ada belek di kedua matanya yang mungkin lupa dibersihkan. Pastinya karena tidak ada anak kecil di rumah, istana kecil ini pasti sepi dan santai. Ia hanya perlu menyiapkan sarapan dan pakaian suaminya untuk pergi bekerja. Sisa pekerjaan rumah lainnya bisa menanti kapan mau.
“Da-dah bu Pipit… Salwa mau jalan-jalan lagi…”
Sesudah merasakan hangatnya Aida, pikiranku jadi nakal sekali. Setiap perempuan dalam kriteria MILF menjadi target khayalanku. Untungnya tidak ada tipe-tipe nekat dan berani seperti Aida waktu itu lagi. Ia terang-terangan minta dihamilin hanya karena sering memimpikan bercinta denganku dan punya anak dariku. Ia yakin dengan mimpi itu. Kami jalanin dan malah berhasil hamil dianya.
Kembali ke rumah, mamanya Salwa sedang menjemur pakaian yang ada di halaman depan dan ngobrol dengan seseorang. Rio sedang mengikat sesuatu di sepedanya, seutas tali yang disambung ke mobil-mobilannya. Istriku rupanya sedang ngobrol dengan tetangga baru itu. Walaupun sudah berumur yang kutaksir sekitar 35-40, perempuan itu masih cantik dengan tubuh semoknya. Apalagi kedua bemper depan-belakangnya sungguh aduhai besar. Kulitnya putih dan tingginya sedikit dibawah istriku. Giginya ada dua gingsul di kiri-kanan sehingga kalau berbicara terlihat manis karena seperti tersenyum karena tepi mulutnya tertarik ke atas selalu. Sepertinya ia habis mengantar anaknya sekolah.
Salwa rewel karena haus makanya kudekati istriku untuk mengatasinya. “Ma… Salwa nih… Minta nenen…” kataku mengangsurkan bayi kami.
“Ini yang kedua?” tanya perempuan bernama Yuli ini tentang Salwa.
“Iya, bu… Entar lagi sembilan bulan…” jawab istriku menyambut Salwa dan menyiapkan ASI-nya. Sementara ember jemuran pakaiannya masih berisi banyak. Karena sungkan meninggalkan teman ngobrolnya tadi, istriku menyusui Salwa sambil berdiri. Aku melipir mendekati Rio yang tak jauh dari mereka. Menemaninya bermain di halaman luas kami ini.
Dari sekian banyak yang mereka obrolkan, ngalor-ngidul kesana-kemari, yang kutangkap dari nguping (gak sengaja nguping) pembicaraan mereka adalah kalau perempuan ini sudah menikah tiga kali. Wow. Dia sudah merasakan tiga batang junior laki-laki secara sah kalau begitu. Anak perempuan yang sekarang sudah kelas 2 SD itu adalah anak bawaan dari suami pertamanya yang meninggal yang artinya juga bukan anak kandungnya sendiri. Dari suami kedua tak juga mendapat anak dan suami yang ketiga ini baru berlangsung setahun kurang saja. Suaminya sepuluh tahun lebih tua darinya dan dia adalah istri kedua. Rumit yah?
Pasca obrolan pagi itu, tetangga kami yang bernama bu Yuli itu semakin akrab dengan istriku. Terkadang sore-sore ia suka duduk-duduk di teras rumahku berbincang bersama kami setelah selesai dengan tugas rumahannya. Ia suka memakai daster tanpa lengan dengan corak bunga-bunga. Kalau kamu pada ngerti daster tanpa lengan itu gimana pasti pada tau kalau coakan lubang tangan itu lebar ampun kali. Sampe bisa liat kulit tubuh samping dan tali beha yang membalut tubuh gitu, kan? Jadi ketiak dan tali behanya adalah pemandangan wajib. Fardhu Ain! Hi-hi-hi.
Seperti sore ini, pulang kerja, bu Yuli sudah bertandang di teras rumahku, duduk di kursi bersama istriku yang sedang menyisir rambut Salwa. Rio dan anaknya sedang bermain engklek di halaman. Mimi namanya, mengajari Rio bermain engklek. Ngobrol-ngobrol dengan istriku dengan gerakan-gerakan tangan yang sedang menunjukkan arah membuatku bisa melihat ketiak mulus di balik lengan gempal putihnya. Lalu tali beha-nya yang berwarna hitam sangat kontras dengan kulit putih tubuhnya. Wah…
Mandi sore dan ganti baju, aku baru keluar lagi dengan rutinitas soreku bersama Salwa. Bu Yuli masih duduk di teras dengan istriku. Aku duduk sebentar menemani mereka karena Salwa belum selesai didandani. “Abang belum pulang, bu Yuli?” tanyaku tentang suaminya.
“Dia pulangnya kalok gak Sabtu… ya Minggu… Gitulah kalau supir truk antar kota…” jawabnya.
“Oh… Jadi pulangnya seminggu sekali gitu, bu?” pahamku. Truk yang dibawanya adalah truk sembako. Jadi seminggu itu dia bisa keliling provinsi ini bahkan sampai keluar provinsi.
“Sampe kurang jatah jadinya…” sindir istriku lalu tertawa-tawa bersama bu Yuli. Entah udah apa saja yang mereka gosipkan sampe dia gak sungkan bercanda seperti itu. Kek udah kenal lama jadinya sampe bercanda hal sensitif begitu. Mungkin karena sebenarnya istriku supel atau malah bu Yuli yang suka curhat sampe masalah ranjangpun dia beberkan.
“Ih… Kering-la pokoknya…” sambut bu Yuli tertawa-tawa menyambutnya. Hedeeh.
Skip-skip
Kunci kelanggengan rumah tangga adalah komunikasi. Komunikasi yang lancar itu berbanding lurus dengan lancarnya pemasukan dan pengeluaran. Komunikasi terbaik dilakukan setelah seks.
Jadi abis ngos-ngosan abis ngegenjot dan ngecrot, jangan langsung tidur. Belai-belai istri dulu, cium-cium kecil, ajak ngobrol pasti deh komunikasi mudah terjalin dan kalau ada masalah akan dapat solusi yang tepat karena akan lebih plong. Lah, abis ngecrot kan? Jadi jujur.
Istriku curhat tentang kesehariannya ngurus anak dan rumah. Tentang harga-harga yang bertambah mahal. Gaji naik cuma dua ratus ribu, harga-harga naiknya sampai delapan ratus ribu. Namanya juga curhat. Tentang gosip-gosip yang santer di infotainment sampai yang lokal di seputaran gang aja. Dari si anu yang saudaranya beli mobil baru sampai si fulan yang keponakannya ketangkap nyabu. Bu Parmi yang akan berangkat umrah sampai Pak Suwito yang jual ruko dengan harga murah. Lalu tentang tetangga, bu Yuli itu juga mengalir kek air keran.
“Jadi lakik baru bu Yuli itu dari istri pertamanya pun gak bisa punya anak… Dia ngarepnya dari bu Yuli bisa dapat anak kan… udah ada si Mimi itu… Gak taunya si Mimi itu bukan anak kandungnya bu Yuli… Cuma anak bawaan dari suami pertamanya yang duda… Nah entah lakik ketiganya ini yang mandul atau bu Yuli yang mandul-pun gak tau…” cerita istriku ember. “Yang ngejodohi bu Yuli sama lakik ketiganya ini rupanya istri pertamanya itu… Rupanya keluarga lakiknya kaya raya di kampungnya sana… Bapak-mamaknya masih hidup sampe sekarang… Karena dia anak tunggal kalo dia bisa punya anak… dikasih dia semua harta yang di kampung itu…” sambung istriku.
“Kek sinetron kurasa ceritanya…” komentarku.
“Itulah… Cemana orang mau percaya kalau keluarga lakiknya orang kaya di kampung sana kalok di sinipun mereka nyewa rumah… Trus lakiknya kerja jadi supir truk…” sambut istriku rupanya tak terlalu termakan cerita yang mirip bualan.
“Ya-udah… Hati-hati ajalah… Biasanya kalo dah kek gitu… ujung-ujungnya nanti mau minjam duit-nya itu…” kataku malah suudzon. Tapi ini hanya pembicaraanku dengan istriku untuk mewanti-wantinya agar tau batasan bergaul dengan orang baru dikenal. Apalagi ekonomi memang lagi sulit jadi apapun bisa dilakukan dan bisa terjadi.
———————–
“Bu Ipa?” panggilku pada pemilik warung/kede. Di Medan sini warung disebut kede. Jadi kede Iva ini hanya warung kecil yang jual rokok, jajanan anak, gula, kopi sampai pulsa. Jadi sore ini aku mau beli pulsa di kede si bu Iva ini. Lumayanlah dari pada harus keluar dari gang dan beli di counter, bisa cuci mata ngeliatin pameran Iva yang suka berpakaian ngepas. Salwa masih menyusu sama mamanya. Nah itu dia si Iva keluar.
Iva muncul di kede yang menyatu dengan rumahnya. Ia tampak segar karena baru mandi. Rambutnya digelung dengan penjepit dan masih tanpa polesan make-up sedikitpun sehingga tampak sangat alami cantiknya. Harum sabunnya tercium wangi sampai ke hidungku. Senyumnya mengalahkan penampilannya yang memakai baju model baby doll imut. Pakaian tak berlengan berwarna putih bergambar hati tulisan HEART besar sebatas sampai di atas lutut sungguh pas dipakainya. Megang baju itu tanpa dipakai kita udah mikir yang macem-macem apalagi dipakai oleh tubuh seseksi Iva ini. Meleleh abang, dek… Enak kali-lah jadi lakikmu. Tiap hari bisa menjamah tubuh itu.
“Beli pulsa, Pa…” kataku padanya.
“Yang berapa, bang?” tanyanya menyiapkan HP-nya untuk mengirim pulsa pesananku.
“Yang limpul, Pa…” jawabku menyebutkan pesanan pulsaku. (limpul: lima puluh, lima puluh ribu) “Nomornya…” lanjutku menyebutkan nomor HP-ku sebagai tujuan kiriman pulsanya. Ia mengkonfirmasi nomor tadi dengan mengulangnya.
“Untuk maen internet, bang?” tanyanya selagi menunggu pulsaku nyantol ke HP-ku. Pulsaku masih melayang di awang-awang.
“Iya… Maen fesbuk… BBM-an… Baca berita… Yang gitu-gitu…” jawabku masih menunggu getaran SMS masuk di HP-ku sambilku memandangi casing Iva yang rupawan. Entah ngences entah nggak aku itu.
“Pin abang berapa? Nanti kalok abang mau beli pulsa lagi… biar tinggal awak kirim aja…” tawarnya. Ia menyiapkan sesuatu kemungkinan ia mau ngescan barcode gitu dari HP BB-nya. Benar juga. Kuizinkan ia ngescan pin BB-ku. Tak lama masuk notifikasi kalau pulsa tadi sudah masuk dan kubayar sesuai tarifnya.
“Fesbuk abang apa namanya?” tanya Iva lagi selagi ia mengumpulkan uang untuk kembalian pulsaku tadi.
“Fesbuk mamanya Salwa yang ada…” kusebutkan nama fesbuk-nya dan ia sibuk mencari di browser HP-nya. Padahal aku juga punya akun fesbuk sendiri tapi segan kuberitau dia. Aku sedang menikmati pemandangan lengannya yang terbuka. Sedikit lipatan ketiaknya kemudian menjadi fokusku.
“Yang ini, bang?” tunjuknya pada layar HP-nya. Foto profilnya adalah Rio tertawa sedang memeluk Salwa yang masih bayi kecil.
“Iya… Yang itu…” jawabku sekenanya karena aku sedang menjilati kaki mulusnya dengan mataku. Kakinya mulus tanpa cacat. Enaknya jadi lakikmu, Va. Lamunku entah melayang kemana-mana.
——————————-
Loh? Sepi? Biasanya dua rumah ini ramai dengan suara burung sahut-sahutan.
Klek! Panjang umur. Yang punya rumah keluar. “Kemana semua burungnya, Pit? Kok sepi kali?” tanyaku sambil masih maen HP membalas pesan temanku.
Ia melongok ke arah atas atap teras dimana 3 kandang burung biasa bertengger. “Iya-yah… Waduh! Ilang!” serunya kaget sendiri. Benaran ilang. Tak ada burung di dalam ketiga kandang itu. Begitu juga dengan dua kandang di rumah seberang.
Heboh langsung jadinya gang ini dengan kabar pencurian burung. Sekali embat sang maling menggondol 5 ekor burung yang berharga cukup lumayan. Menjelang sore tadi memang gang ini lumayan sepi karena para penghuninya kebanyakan berada di dalam rumah atau belum pulang kerja. Jadi kemungkinannya dimaling sekitar jam 3-4 sore. Pipit yang biasa ngendon di dalam rumah tidak tau keadaan diluar apalagi pemilik rumah di seberang itu tidak ada di rumah. Sasaran empuk memang. Kalau dihitung kasar aja, 3 burung milik suami Pipit sudah 5 jutaan kala itu. Ditambah lagi dua burung milik rumah di seberangnya. 7 jutaan raib tak berbekas.
Yang paling menyesal tentu saja Pipit karena dia ada di rumah seharian tapi tidak bisa menjaga burung peliharaan suaminya. Gimana mau menjaga burung yang masih tersisa di antara dua kaki suaminya. Enggak! Yang terakhir itu ngawur. Betul-loh. Itu pande-pande-ku aja.
Ada tetangga yang ngotot mengajak suami-istri malang itu untuk ke orang pintar untuk melacak keberadaan si pencuri burung laknat dan rakus itu. Kangkung-Genjer-Kangkung-Genjer. Lah aku malah ketiban apes juga dilibatkan karena sebagai orang pertama yang mengetahui hilangnya 5 burung tersebut. Apes.
Pipit dan suaminya beserta pemilik 2 burung tadi sebenarnya sudah pasrah saja kehilangan burung-burung tadi, tak taunya mereka malah terpengaruh dan setuju ke orang pintar yang sudah digembar-gemborkan kesaktiannya. Orang itu entah marketing si dukun atau anak dukun itu? Entah.
Bersambung