Part #83 : Setelah itu dan benar-benar hening.

Tak ada kejadian apapun lagi setelah itu dan benar-benar hening.

Duniaku yang biasanya berwarna dengan berbagai macam warna cerah dan gelap sekaligus, kini datar. Datar seperti telor dadar hanya sebutir diatas pan teflon. Datar seperti tetek anak gadis yang belum dapat jatah mens. Datar seperti permukaan meja yang saat ini kupandangi. Mentah hanya berwarna putih sedikit kinclong abis dipoles OB tadi pagi.

Disebelahnya, di kanan kirinya ada tumpukan folder dan kertas-kertas laporan dari berbagai penjuru bagian. Dari mulai kerja sampe… 12 menit sejak jam kerja benar-benar dimulai belum kusentuh sama sekali. Kulirik meja di depanku yang kosong. Kosong melompong… Kemana Lisa?

Tadi dia masih di rumahku.

Hoek-hoek begitu suaranya tadi pagi saat kujenguk di kamarnya. Benar… dia hamil begitu kusuruh test pake alat test pack standar yang kusuruh beli sama Misnan di apotik di depan kompleks. Setelah mendapat kabar bahagia itu, ia langsung kabur entah kemana. Tak perduli kalo ia harus masih harus masuk kerja hari ini. Apa karena ini perusahaan punya bapaknya ya… hingga ia bisa seenaknya aja begitu. Dia belum pernah begini karena setahuku ia cukup profesional. Entah ini karena kasus yang sangat amat teramat sangat spesial—khusus. Hamil.

Walo atmosfir perusahaan agak sedikit berubah karena hari ini mulai memasuki bulan Ramadhan, beberapa wajah masih keliatan ngantuk karena gak tidur lagi sehabis sahur. Masih euforia asmara subuh. Kawasan KIM 2 ini sering dijadikan arena balap liar bagi remaja-remaja untuk mengisi waktu sehabis sahur. Puluhan kereta memenuhi jalan-jalan paving block yang biasanya dijadikan lalu lalang kendaraan berat industri. Jam sembilan lewat jalanan udah bersih dari para cen-cen (remaja tanggung) ini.

Memasuki bulan puasa gini, untungnya semua skandalku ikut terhenti. Ya… Berhenti total.

Bukannya munafik, tapi namanya juga manusia. Apalagi semesum diriku. Gak cocok pulak kupake kata bejat. Aku gak sejahat itu walo incaranku kebanyakan adalah binik orang. Perempuan-perempuan menikah. Mempunyai suami resmi, kutiduri dan kuhamili. Dan yang terakhir ini adalah Lisa. Lisa yang sekarang kabur entah kemana. Mungkin ia sedang laporan sama suaminya yang masih di Australi sana. Mungkin juga membagi kabar bahagia ini pada papanya, pak Asui.

Anakku ada di dalam perut Lisa. Keturunanku yang akan menguasai harta milik pak Asui. Salah satunya adalah tempatku bekerja saat ini. Tempatku bekerja saat ini akan menjadi salah satu milik keturunanku kelak.

“Halo!” sambarku cepat saat kurasakan getaran HP-ku dengan nama Lisa tercantum di layarnya.

“Wisshh… Gerak cepat, ya?” sahutnya disana dengan riang.

“Dimana nih? Kok gak masuk kerja? Mentang-mentang…” sindirku. Beberapa menit gak melihat dia di sini ternyata kangen juga. Gak ledek-ledekan.

“Lagi periksa-loh di dokter kandungan, bang Aseng… Lisa kan tetap karyawan resmi yang boleh permisi gak masuk, kan? Bukan mentang-mentang, baaang…” sahutnya disana. Lagi periksa ternyata. Bukan melarikan diri dengan semena-mena. “Napa? Kangen ya? Ingat bang Aseng puasa, kan?” sindirnya.

“Bukan itu, Liss… Terus kerjaan menumpuk gini cemana? Banyak kali ini…” melasku nyari alasan. Dibuat-buat sebenarnya.

“Iya, deh… Abis dari sini… Lisa masuk kerja-la… Tapi gak janji, yaaa… Hi hi hihi”

“Huuh…” kesalku.

“Makasih ya, bang…”

“Sama-sama, Lisa…”

——————————————————————–
Lord Purgatory tak menampakkan batang hidungnya, pun pengaruhnya setelah kejadian di depan nisan Bobi malam itu. Kami berhasil menawan salah satu kaki tangannya. Satu peri Padma yang menurutnya adalah peri Padma terakhir. Peri berkulit merah, berambut hitam, bertanduk dan bersayap. Peri Padma itu ditahan di dalam penjara bawah tanah istana kerajaan Mahkota Merah.

Istana sudah menampakkan bentuk megahnya dengan progress pembangunan yang diklaim Catur, ketua kelompok pembangun, sebesar 80%. Karena elemen utama kerajaan kami adalah api, warna merah, hampir keseluruhan dindingnya dilabur warna merah. Pewarna yang digunakan oleh kelompok Catur dari bahan alami berupa akar dari pohon mengkudu/pace yang banyak tumbuh subur di dalam hutan. Sari akar pohon itu lalu dicampur dengan tanah merah membuat warna majestik kerajaan Mahkota Merah sangat agung terlihat jelas.

Pembangunan gedung istana berisi banyak bagian-bagian yang berupa kamar-kamar besar yang dapat menampung banyak penghuni sekaligus. Tentunya ruangan utama istana yang utama seperti balairung dengan tahta yang dibuat semirip mungkin dengan tahta yang sudah rusak. Balairung istana ini berukuran besar dengan atap tinggi berkubah yang terbuat dari batu-batu yang dipotong sangat presisi. Aku gak sepenuhnya mengikuti proses pembangunan ini hingga gak begitu paham bagaimana kelompok pembangun mengerjakan ini semua. Entah gimana cara mereka memotong-motong batuan kapur ini berbentuk blok dengan presisi dan rapinya.

Bangunan fisik istana ini tentunya diperindah oleh tangan terampil kelompok perajin untuk hiasan detail. Tahta yang nantinya kududuki dihias dengan indahnya dengan berbagai ornamen emas dan bebatuan mulia. Diriku yang merupakan seorang raja yang kebanyakan elemen utamanya adalah dedaunan hijau tak lepas dari tangan terampil mereka. Tanaman hias juga tak lupa mencerahkan istana ini. Ada taman yang juga ikut menghiasi di dalam dan luar istana. Di belakang tahta bahkan ada taman kecil penuh dengan bunga anek warna. Sinar matahari yang hangat dari mantel rubah hitam terang menyinari istana ini hangat sepanjang hari. Batu mulia yang ada disekujur mantel rubah hitam itu menyebarkan radiasi hangat matahari dengan sempurna hingga pertumbuhan vegetasi hutanku bertambah subur dan rindang.

Peri Padma terakhir itu, masih ada dalam penahanan kami di penjara bawah tanah. Tak ada yang khusus menjaganya. Hanya ruang penjara yang dibuat khusus buatnya yang menahannya tetap di bawah sana. Tetapi ia tetap diperlakukan dengan baik. Tidak berlebihan, karena sebenarnya mereka; peri Padma dan peri Aruna bersaudara jauh. Sama-sama berelemen api.

Bila dalam keadaan suntuk seperti saat ini, aku memilih untuk masuk ke daerah kekuasaanku, daerah kerajaan Mahkota Merah-ku dan menyaksikan mereka beraktifitas. Daripada aku stres cuma kerja-kerjaaaaaaa aja trus, mikirin hal yang itu-itu aja dari waktu ke waktu, lebih baik aku cuci mata ngeliatin aktifitas para peri Aruna bekerja. Mungkin aku bisa ngobrol-ngobrol aja ato memberikan saran.

Gak puasa kau, Seng? Ngeliatin para peri rambut merah itu cuma pake pakaian dalam aja seliweran di depanmu? Saat bekerja, mereka lebih memilih melepas pakaian mereka dan cuma pake pakaian dalam aja. Bahkan beberapa ada yang cuma pake kancut aja dan membiarkan teteknya gondal-gandul. Mungkin lebih lega membiarkan gandulan susu itu berjuntai bebas saat bekerja ato latihan. Lama-lama ngeliat ini semua jadi terbiasa aku. Terbiasa ngeliat tubuh mulus polos mereka beraktifitas. Alah bisa karena biasa. Mungkin itu tepatnya.

Puasa-puasa juga, bos… Tau sendiri awak gimana, kan? Di dalam daerah ini mana ada kerasa lapar. Aku sendiri-pun gak tau mereka ini, para peri Aruna ini makan apa selama ini? Peri juga termasuk jin. Makanan mereka bermacam-macam ragamnya tergantung dari jenisnya. Ada yang makan elemen alam tertentu, ada yang makan sari pati tertentu, memakan kotoran, tulang-belulang dan lain sebagainya. Karena peri Aruna berelemen api, kutenggarai mereka memakan panas dari berbagai sumber. Sinar matahari artifisial dari mantel rubah hitam yang bersumber dari matahari asli ini kukira salah satu sumber makanan mereka. Jadi selama terkena sinar matahari ini, mereka akan selalu mendapat nutrisi kebutuhan energinya…

“Kemana?” tanyaku pada mereka yang berbondong-bondong menuju ke arah pantai yang sudah benar-benar menjadi pantai beneran sekarang. Lamunanku jadi terpotong oleh gerakan beramai-ramai mereka.

“Baginda raja… Kami akan ke pantai…” jawab Pancadasa yang bertubuh montok ini. “Mari, baginda… Bergabung bersama kami… Sas yang akan membawakan kursi untuk baginda bersantai di sana…” lanjutnya lagi. Sas dari kelompok pembangun, bertubuh paling besar dari semua peri Aruna ini memikul sebuah kursi pantai yang terbuat dari kayu. Benda itupun sudah dilabur warna merah.

“Ayok…” setujuku.

Ternyata mereka hanya bersenang-senang saja menikmati segarnya pantai yang jernih. Tinggi terdalam airnya sudah mencapai sebetis. Kemajuan yang sangat signifikan dari yang terakhir kuingat, semata kaki. Mereka yang selama ini bertempat tinggal tepat di bibir pantai, di karang-karang sepanjang selat Malaka, harus kurelokasi ke tempat baru ini karena keamanan mereka sekarang terancam. Setelah sekian lama, mereka kembali menikmati segarnya air laut buatan ini, yang terasa asli.

Aku berbaring leyeh-leyeh di kursi pantai berwarna merah ini dengan teduhan payung yang terbuat dari anyaman daun kelapa. Menatap nanar pada 18 peri berambut merah yang bermain-main air dengan riangnya. Siram-siraman air laut lalu jerit-jerit ganjen khas wanita. Lari-larian saling kejar lalu bergulingan di pasir putih yang lembut di sepanjang pantainya. Ini definisi surga versiku sendiri karena punya pantai pribadi dengan bidadari-bidadari cantik berambut merah yang tak segan-segan berbugil ria menyenangkan diri. Ini refreshing untuk mereka.

Kenapa hanya ada 18 peri Aruna memenuhi pantai dengan riangnya? Kemana yang ke-19?

“Lapor, baginda raja… Hamba sudah kembali dari tugas…” panjang umur dia. Ini peri ke-19 itu muncul kembali. Astha, ketua kelompok pemburu sudah kembali dari tugas khusus yang kuembankan padanya. Aku duduk tegak menyambut dirinya. Kantukku mendadak hilang. Ia masih memakai beberapa aksesoris penyamarannya selama ini.

Astha

“Astha… Kau sudah kembali… Kalo kau mau istirahat dulu tidak apa-apa… Laporanmu bisa menyusul nanti-nanti aja…” kataku tak terlalu menuntutnya. Aku tau ia sudah melakukan tugas yang cukup berat karena ia hanya sendirian saja tanpa back-up dari anggota kelompok pemburu lain. Tetapi karena kualifikasinya sebagai pemburu yang bertekad mengejar apapun yang menjadi targetnya, dengan cara apapun akan ditempuhnya demi keberhasilan misi.

“Hamba bisa beristirahat nanti, baginda raja… Saya harus cepat melaporkan ini sesegera mungkin…” ia tetap pada pendiriannya.

“Baiklah… Laporkan hasil tugasmu…” persilahku.

“Hamba sudah menyusup ke kerajaan peri lautan—peri Asti—seperti yang baginda raja perintahkan… Hamba tak menemukan apa-apa di sana kecuali kebingungan kerajaan itu karena simbol utama kerajaan itu sudah hilang… Mustika laut biru yang sudah dicuri ratu Fatima adalah simbol utama kerajaan itu sebagaimana pentingnya rubi api di mahkota baginda raja… Kerajaan itu saat ini di ambang kehancuran, baginda raja… Pelan-pelan para warga kerajaan itu mulai tak percaya pada kepemimpinan ratu Lawana… Mereka mulai meninggalkan kerajaan lautan… Meninggalkan sang ratu sendirian…” lapor awalan Astha yang kurasa cukup mengejutkan.

“Meninggalkan sang ratu?” ulangku.

“Benar, baginda raja… Meninggalkan ratu Lawana… Keadaan kerajaan itu sekarang sangat menyedihkan…” pasti Astha.

“Terus benar… peri lautan yang telah menyerbu dan merusak istana lama kita?” tanyaku lagi. Akibat kejadian itu sehingga aku harus memindahkan lokasi istana ke tempat ini.

“Benar, baginda raja… Itu adalah titah terakhir legitimasi ratu Lawana… Setelah itu bahkan para pengawal terpercayanya tak lagi berpihak padanya… Mereka tak lagi mempercayai ratu Lawana sebagai pemimpin resmi mereka… Padahal ratu Lawana sudah memimpin lebih dari 100 tahun lamanya…” papar Astha.

“Wow…” hanya itu yang bisa keluar dari mulutku. Kehilangan mustika laut biru itu berimplikasi sangat serius bagi kerajaan peri lautan itu. Ini semua gara-gara ratu Fatima sudah mencuri mustika keramat kerajaan itu bersama dua peri kepercayaannya. Salah satunya adalah Eka saat itu. Aku bisa memahami kemarahan mereka sampe menghancurkan istana Mahkota Merah di dalam gua di pinggir pantai itu. Tentunya itu adalah luapan emosi mereka yang tak tertahankan lagi. Untungnya saat itu istana dalam keadaan kosong.

Aku sendiri gak bisa membantu banyak karena gak ada satupun yang tau dimana ratu Fatima menyembunyikan mustika laut biru yang berupa kalung batu safir biru itu. Hilangnya benda keramat itu malah menyebabkan kerajaan itu hampir hancur saat ini. Kerajaan yang terdiri dari banyak peri lautan berambut biru itu pelan-pelan runtuh akibat insiden ini. Mau tak mau kerajaan Mahkota Merah yang saat ini kupimpin yang menjadi penyebab utamanya karena tokoh sentral kerajaan saat itulah pencuri simbol kerajaan peri lautan, si Fatima Tobrut pukimak itu.

“Laporan berikutnya, baginda raja… Setelah dari istana Laut Biru… hamba berpindah ke kerajaan Istana Pelangi…” lanjut Astha atas tugas berikutnya yang menyeberang ke kerajaan berikutnya. Aku mengangguk agar ia melanjutkan laporannya dengan tetap berdiri tegak di depanku untuk melaporkan tentang penyelidikannya di kerajaan peri berambut pirang.

“Kerajaan Istana Pelangi kini dalam keadaan siaga perang, baginda raja… Hamba kesulitan untuk menembus masuk ke dalam gerbang kerajaan itu karena semua yang bukan warga kerajaan dilarang berada di dalam… Sehingga semua mahluk asing, yang tak berkepentingan selain warga Istana Pelangi diusir keluar dari lingkungan kerajaan… Mereka sudah mendengar tentang hilangnya mustika laut biru milik kerajaan Laut Biru hingga mereka mengetatkan penjagaan mereka atas tongkat opal pelangi yang dimiliki oleh ratu kerajaan… Mereka tak ingin harta paling berharga mereka juga hilang dicuri…” paparnya. “… seperti yang sudah dilakukan ratu Fatima waktu itu…”

Aku mendengus kesal karena masalah ini. Tak ada petunjuk sedikitpun dimana si Fatima Tobrut itu menyimpan mustika laut biru itu. Entah kalo ia sudah menyerahkannya pada junjungan tertingginya… Lord Purgatory.

Ini yang sudah kami bertiga simpulkan dari interogasi terhadapat peri Padma terakhir itu. Dari permainan tokoh dan sandiwara yang sekelas penghargaan Oscar untuk mengecohnya, membuat peri Padma itu membuat rencana Lord Purgatory sedikit terbuka, kami menyimpulkan kalo dia sedang mengincar batu-batu berharga ini. Ada lima batu berharga dalam hikayat cerita terbentuknya 5 bangsa peri dalam syair lagu Memori Musim Panas Seribu Tahun. Lima batu pembentuk lima jenis peri yang berpencar-pencar membentuk lima kerajaan tersendiri.

“Setelah susah payah menunggu kesempatan… akhirnya hamba berhasil masuk, baginda raja…” lanjut Astha. Eh… Dia berhasil masuk ternyata. “Hamba menyamar menjadi peri Kencana dan berbaur di dalam istana mereka untuk mencari informasi…”

“Apakah kau melihat mereka masih memiliki opal pelangi itu?” tanyaku tak sabar.

“Sulit untuk memastikannya, baginda raja… Ratu kerajaan peri Kencana itu selalu dikawal oleh kelompok pengawalnya sepanjang waktu… Hamba yang hanya bisa menyamar menjadi peri Kencana jelata hanya bisa melihat tongkat yang dipegang sang ratu dari kejauhan…” jawab Astha.

“Tetapi dia selalu memegang tongkat itu?”

“Benar, baginda raja…”

“Kalo dia selalu memegang dan membawa tongkat itu… bisa dipastikan kalo opal pelangi itu masih mereka kuasai dan belum jatuh ke tangan Lord Purgatory…” gumamku. “Berapa besar kekuatan perang peri Kencana ini? Jumlah pasukan ato jumlah penduduknya…” tanyaku.

“Pasukan tempurnya berjumlah 200 peri Kencana, baginda raja… Total dengan jumlah penduduknya ada sekitar 500-an peri…” jawab Astha dengan rinci.

“Wow… Fiuh… Banyak juga…” gumamku. Menantang mereka berperang terbuka dengan kekuatan tempur kerajaanku tentu tidak mungkin. Tiga peri petarungku ditambah lima peri pemburuku tidak akan mungkin menandingi pasukan 200 peri Kencana berambut pirang itu. Bahkan kalo semua, 19 warga kerajaan Mahkota Merah kukerahkan, hanya mencari mati saja. Ini kalo diasumsikan secara satu lawan satu kekuatannya setara. Tapi peri Aruna berambut merahku sudah meningkat kekuatannya setelah mempunyai nama dan pakaian, setidaknya satu peri rambut merahku setara dengan 3 peri biasa. Tapi itu masih belum cukup. Kekuatan real-nya hanya 60-an peri Aruna saja.

Berurusan dengan kerajaan Laut Biru lebih masuk akal saat ini mengingat kerajaan peri lautan itu sedang tercerai berai saat ini karena mereka telah kehilangan mustika laut safir biru itu. Tapi tidak ada gunanya berperang dengan mereka karena mereka tak mempunyai safir biru itu lagi. Anggap saja batu itu telah diambil Lord Purgatory.

“Balik lagi ke kerajaan Laut Biru… Saat mereka masih utuh… seberapa besar kekuatan mereka? Jumlah pasukan dan warganya…” tanyaku.

“Kekuatan kerajaan Laut Biru awalnya seimbang dengan kerajaan Istana Pelangi, baginda… Kalau sekarang… secara jumlah hanya kerajaan Pelangi yang memiliki pasukan yang patut dipertimbangkan…” jawabnya.

“Jadi menurutmu… kalo kita menyerbu kerajaan Laut Biru… kita tidak akan mendapatkan perlawanan berarti?” tanyaku. Aku pengen tau apa pendapatnya karena Astha terbukti sangat cerdas sebagai teman berdiskusi.

“Menurut hamba… baginda bisa menguasai kerajaan Laut Biru dengan mudah karena tak ada lagi pasukan yang mendukung ratu Lawana… Semua pasukannya tercerai berai… berpencar dan membuat kelompok-kelompok kecil di luar istana…” ujarnya dengan lugas. Ia sangat yakin dengan kemampuanku apalagi aku bisa menggunakan mahkota rubi api ini dengan optimal bersama mantel rubah hitam ini.

“Tapi ratu ini memiliki nama… Ratu Lawana… Tentunya ia punya kekuatan yang melebihi peri lautan lain… Mungkin setara dengan kalian semua, Astha…”

“Ratu Lawana memang memilik nama, baginda raja… Tapi ia pecinta damai… Ia tak pernah memakai kekuatannya untuk menghukum sedikitpun… Selama ini ia hanya disibukkan oleh berbagai kegiatan untuk mengurus kerajaannya…”

“Hmm… Baik kalo begitu… Bagaimana dengan dua kerajaan lainnya? Peri berambut putih dan hitam?” tanyaku lagi. Sebenarnya terlalu berat tugas yang kuberikan padanya, harus menyelidiki empat kerajaan yang seperti rival bagi kerajaan Mahkota Merah kami ini—sendirian saja.

“Ampun beribu ampun, baginda raja…” Astha menunduk dalam dengan kedua tapak tangan disatukan. “… hamba tak berhasil menemukan apapun yang tersisa dari dua kerajaan itu, baginda… Kerajaan Bukit Putih dan kerajaan Gua Kresna sudah tak pernah terdengar lagi kabarnya sejak bertahun-tahun lalu… Peri Dawala dan peri Candrasa tak pernah terlihat lagi juga… Mohon ampun baginda karena hamba tak dapat menemukan jejak mereka sama sekali…” jelasnya sangat-sangat menyesal.

“Dua kerajaan peri itu sudah tidak ada?” kegetku.

“Ampun, baginda raja… Sudah tidak ada… bahkan kedua istana itu juga sudah tidak ada lagi sisanya…” jawab Astha masih merasa bersalah.

“Itu bukan salahmu, Astha… Sekarang kau boleh beristirahat… Kau pasti lelah bekerja setelah sekian lama ini… Kembalilah pada kelompok dan teman-temanmu…” perintahku padanya. Dua minggu ia bekerja nonstop melakukan penyelidikan dan mendapatkan begitu banyak informasi.

“Terimakasih, baginda raja…” ia lalu undur diri dan bergabung dengan teman-temannya yang segera menyambutnya dengan hangat. Mengajaknya untuk bergabung dengan kesenangan mereka bermain air. Hal yang jarang bisa mereka lakukan dahulu karena hanya terpaku pada satu lokasi tempat mereka tinggal yang mayoritas berupa karang melulu. Kini mereka mempunyai lingkungan yang beragam variasinya. Ada hutan, padang rumput, pantai, lapangan luas dan sebentar lagi gunung berapi.

—————————————————————————-
Lokasi ini cukup jauh dari lokasi hutanku yang sudah tak bisa dibilang kecil lagi. Hutanku pelan-pelan menjadi belantara dengan semakin lebat dan banyaknya jenis pohon yang tumbuh di sana. Ditambah hutan bakau di tepi pantai dan istana yang hampir selesai dibangun. Jaraknya ada sekitar empat kilometer. Semoga ini cukup.

Ke-19 peri Aruna berambut merah ini membentuk sebuah lingkaran mengelilingi lokasi yang rencananya akan dijadikan tempat timbulnya gunung berapi ini. Aku ada di tengah-tengah lingkaran karena mereka akan memproyeksikan energi panas dari api yang mereka miliki ke rubi api di mahkota yang tak dapat kulepaskan dari kepalaku.

“Kami mulai, baginda raja…” seru Eka menjadi komando sebagai peri Aruna pertama di semua kelompok peri berambut merah ini. Aku mengangguk bersiap dengan mantel rubah hitam juga terpasang di badanku.

“FWWWUUUURRRR!!!”

Mereka ber-19 menyemburkan api dari bagian tubuh mereka yang diarahkan ke padaku. Ada yang memancar dari mulut, dari tangan, dari dada, dari kaki—berbagai macam sumber penyaluran. Sebagai peri berelemen api, tidak mengherankan mereka bisa melakukan ini. Api yang memancar langsung terserap ke dalam rubi api di mahkotaku untuk beberapa lama. Hangat api terasa tetapi aku terlindungi berkat mantel rubah hitam ini. Radiasi panasnya terserap sempurna oleh rambut-rambut halus yang menginsulasi diriku.

Sampai bergetar-getar tubuh para peri Aruna ini dalam mengerahkan api mereka padaku untuk menciptakan gunung berapi ini. Aku sudah wanti-wanti agar jangan sampe menguras habis energi mereka untuk ini semua karena takutnya akan membahayakan kesehatan bahkan jiwa mereka sendiri. Tapi mereka sangat antusias untuk memiliki gunung berapi ini di dekat mereka setelah sekian lama.

Lidah-lidah api panas masih menjilat-jilat deras, memancar ke arahku dari 19 peri Aruna cantik yang melulu memakai pakaian dalam saja. Semua api itu berputar-putar mengelilingi tubuhku dan tersedot ke dalam rubi api tanpa henti-hentinya tak merasa cukup.

“Cukup!” komando Eka yang menghentikan semburan apinya yang diikuti oleh peri Aruna lain. Semburan api berhenti dan sekarang adalah giliranku beraksi sebagai pemegang tampuk tertinggi di kerajaan Mahkota Merah berelemen api ini. Keningku terasa hangat cenderung panas, tentu saja karena kandungan api yang memasuki rubi api. Apinya terasa berputar-putar hendak mencari jalan keluar dan inilah saatnya.

“FWWUUOOORRRR!!!” lesakan api besar memancar deras. Kali ini tidak dari bagian mulutku yang berupa sinar thermal, ini berupa api murni yang berwarna jingga cerah. Kuarahkan ke antara kakiku yang mengangkang. Tepatnya pada tanah keras berbatu-batu ini. Api memanaskan tanah, membakarnya kemudian melubangi lalu tembus ke dalam.

Tanah terasa bergetar tetapi aku menahannya dengan kuda-kuda terbaikku. Ke-19 peri Aruna itu mundur semakin menjauh tau apa yang akan berikutnya terjadi. Getaran semakin kuat semakin lama api memasuki, menembus tanah. Memanaskan, melunakkan bebatuan, membakar inti bumi, mencari jalan urat vulkanis. Ini setara getaran gempa vulkanik yang semakin keras. Mataku semakin silau oleh sinar terang semburan api yang semakin panas diperparah oleh getaran gempa. Kakiku harus dapat bertahan. Ini demi warga kerajaan periku.

“FWUURR…” setelah sekian lama, semburan api berhenti. Habis semua disemburkan ke dalam tanah yang mengamplifikasi semburan yang berasal dari 19 peri Aruna sebelumnya.

“Baginda rajaaa!… Mundur…” teriak Eka yang berkumpul jauh dari tempatnya semula.

Getaran semakin hebat. Ini seperti ada yang mengaduk-aduk tempatku berdiri. Seperti akan ada monster yang menyeruak keluar dari dalam tanah membawa kengerian ke atas dunia. Aku buru-buru mundur sadar diri apa yang akan terjadi. Aku bergabung dengan mereka semua untuk sama-sama menyaksikan lahirnya gunung api muda.

Dimulai dari lonjakan tanah yang mencuat mendorong satu lempengan tanah keras yang disusul lonjakan lain. Lalu tiba-tiba ada semburan magma. Awalnya kecil disertai dengan lelehen magma panas berupa batuan cair. Disusul dengan semburan lainnya. Mereka pada berteriak gembira menyaksikan kejadian itu. Di dalam DNA mereka pasti merindukan kejadian ini. Peri api seharusnya berada dekat gunung berapi yang aktif. Mereka girang sekali, melompat-lompat dan bertepuk tangan dengan bahagianya. Setelah sekian lama, mereka kembali menyaksikan gunung berapi kembali.

Aku juga ikut bahagia bersama mereka. Aku menepuk-nepuk kepala mereka dengan senyum lebar. Mereka melonjak-lonjak senang saling berpelukan merayakan peristiwa penting ini. Aku ada di dalam lonjakan-lonjakan berputar itu.

“Yahuu-yahuuu-yahuu-yahuuu…” begitu teriakan bergembira penuh suka cita itu. Aku tenggelam di dalamnya. Ikut melompat-lompat dalam ekstase euforia gembira.

Lelehan terus menerus magma cair itu memperbesar ukuran gunung itu dari waktu ke waktu. Awalnya cuma gundukan kecil kini semakin mencuat tinggi berkat mengerasnya lapisan demi lapisan magma yang segera dilapisi magma cair baru. Dalam waktu kira-kira dua jam saja gunung itu sudah mencapai ketinggian 2 meter dan terus bertambah.

Imbasnya padaku tentu ada karena secara harafiah tempat tumbuhnya gunung berapi ini ada di dalam daerah kekuasaanku yang merepresentasikan keadaan jiwaku. Aku yang tak pernah bisa mengeluarkan api—sekarang bisa. Secercah api kini muncul di telapak tanganku. Bola api itu mengapung dengan kikuknya di atas telapak tanganku. Ketika kugenggam, tanganku hanya merasakan hangat, tidak panas. Dan kemudian kedua tinjuku menjadi berapi juga. “Wow?” kagetku tentu.

“Kami akan setia selama-lamanya pada baginda raja…” seru mereka semua beramai-ramai saat aku bermain-main dengan kemampuan baruku ini. Tambah terkaget-kaget aku mendengar seruan mereka saat dua tinjuku kini berapi. Mereka semua menundukkan kepala dengan dalam setelah mengucapkan janji itu dengan suara lantang. Setia selama-lamanya? Ng… Bukannya mereka selama ini sudah setia pada siapapun yang menjadi pemimpi mereka. Tapi… Baiklah.

Aku hanya mengangguk-angguk. Ini mungkin ungkapan terimakasih mereka padaku telah memberi begitu banyak kebaikan pada mereka. “Catur… Getaran kuat tadi apakah tidak akan merusak istana yang kalian bangun?” tanyaku pada ketua kelompok pembangun itu. Soalan ini terlintas tiba-tiba karena kuatnya getaran setara gempa tadi.

“Tidak baginda raja… Getaran gempa tadi tidak sampai ke istana walau seberapa dahsyatnya gempa itu… Mohon baginda raja tidak khawatir…” jawabnya.

“Oh… OK… Apa kalian mau disini dulu? Mau menghabiskan waktu dengan gunung berapi baru ini?” tanyaku sambil ikut menatap gunung berapi yang terus berkembang dengan lelehan magma cairnya yang menggelegak panas. Kami dalam jarak yang cukup jauh dari menggunungnya bebatuan cair itu. Aku tidak kepanasan karena mantel rubah hitam tetapi lama-lama gerah juga. Sedangkan mereka sepertinya merasa nyaman dan baik-baik saja.

“Kami akan kembali membangun istana lagi kalau baginda kembali bersama kami…” jawab Catur mewakili mereka semua. Aku mengajak mereka semua kembali ke istana dan mereka patuh mengikutiku. Berjalan bersama mereka sangat menyenangkan karena aura riang dan bahagia yang kini selalu menguar dari wajah-wajah sumringah itu. Memberikan semua kebutuhan mereka, memberiku segala kebaikan juga. Ahhh… Indahnya harem ini kalo aku bisa menyentuh mereka semua.

Jangan, Seng. Mereka ini jin-loh. Jangan pulak kau manfaatkan untuk yang enggak-enggak. Lagipula kau lagi puasa, kan? Tobatlah dikit di bulan suci ini…

Iya-iya. Tau. Ini maunya si junior aja-nya. Pengen kali dia nyicipin montok dan indahnya para peri Aruna cantik ini.

Sepanjang perjalanan, kami dihibur oleh nyanyian dan permainan alat musik dari trio kelompok penghibur; Saptadasa, Asthadasa dan Nawadasa. Nyanyiannya masih dalam bahasa peri kuno dan yang lain juga ikut bernyanyi. Berulang-ulang lagu itu dinyanyikan lagi berkat nadanya yang riang dan enak didengar. Aku juga ikut-ikutan menyanyikannya karena sudah disuarakan berulang kali.

Dari kejauhan sini, asap tebal mengepul membumbung tinggi dari gunung berapi yang baru lahir itu putih bersih mencakar langit. Asapnya menjulang tinggi dan mengarah jauh ke arah sana. Menjauh dari arah hutan dan istana tempat kami berada. Sekarang ada banyak aspek pendukung di dalam daerah kekuasaanku yang kini berubah menjadi kerajaan. Kerajaan yang kupimpin ini, tidak tau apakah bisa disetarakan dengan kerajaan ghaib yang ada di luar sana walopun alamnya sama-sama berbeda. Para raja jin pendiri kerajaan itu apakah dulunya juga memulainya dengan cara begini.

Seperti kerajaan ghaib milik Nyi Sukma—ratu ular—yang pernah menjadi lawan kami dahulu. Kerajaan ghaib itu melintang di dalam tanah dari tengah pulau sampe ke laut. Pintu masuknya aja ada di tengah tebing di dekat laut hingga menyulitkan bagi yang ingin mengaksesnya. Dijaga dengan ketat hingga lalu-lalang mahluk yang tak diinginkan bisa dikendalikan para pengawal sangarnya. Perlu trik khusus untuk menembus tempat itu. Setiap kerajaan punya tabir tersendiri untuk melindungi kekuasaannya. Seperti benteng dan pagar konvensional yang dapat digunakan untuk mengendalikan perbatasan. Seperti juga sulit untuk menembus kerajaanku yang berada di daerah kekuasaan Menggala-ku. Hanya yang diundang yang dapat masuk.

—————————————————————————-
“Apa kabar? Baik?”

Ia hanya diam saja tak meresponku. Ia hanya menatap dinding ruang kecil yang merenggut kebebasannya.

“Apa semua kebutuhanmu terpenuhi?”

Ia hanya diam menatap kosong. Duduk diam menatap dinding. Jeruji besi yang sangat kuat dan kokoh menahan peri Padma ini dari melarikan diri. Ada rerumputan kering yang dijadikan alas untuknya sekedar berbaring beristirahat bila ia lelah karena cahaya yang masuk dari kisi ventilasi selalu terang sepanjang waktu. Tak pernah ada malam di tempat ini. Padahal di dunia nyata saat ini sedang malam. Tepatnya selepas Isya. Abis buka puasa—gak lanjut taraweh, aku malah masuk kemari lagi.

“Maharaja-mu tak melakukan apapun untuk menyelamatkanmu…”

Pupil matanya bergerak sedikit mendengarku menyinggung kata Maharaja. Mulutnya sedikit rapat, pastinya rahangnya mengeras, geligi saling bergesekan, matanya lebih melebar dari sebelumnya.

“Ada 5 peri yang saling berhubungan… Merah, biru, pirang, putih dan hitam… Masing-masing dari peri ini membentuk kerajaan tersendiri… Kerajaan Mahkota Merah, kerajaan Laut Biru, kerajaan Istana Pelangi, kerajaan Bukit Putih dan kerajaan Gua Kresna… Masing-masing peri juga dilengkapi dengan harta berharga berupa batu-batu permata yang sangat berharga dan kuat… Salah satunya adalah ini…” tunjukku pada rubi api yang ada di mahkotaku. Permata besar berwarna merah yang ternyata sangat kuat elemen apinya.

“Kira-kira apa ya maunya Maharajamu itu dengan kelima permata ini?” tanyaku tak berharap dijawab sebenarnya. Aku mendekat ke arah jeruji untuk dapat menatapnya lebih jelas lagi. “Kira-kira apa yang akan diperolehnya bila sudah lengkap mengumpulkan semua kelima permata itu?” Aku menatap nanar pada tubuh telanjangnya. Kedua pergelangan tangan dan kakinya dibelenggu dengan rantai panjang dipaku erat ke dinding. Kalo dilecehkan ato malah disiksa, dia tak akan bisa berbuat banyak.

 

“Bunuh saja aku…” bisiknya lirih. Tubuhnya tak mengapa tetapi mentalnya sedang jatuh dan pasrah akan apapun yang akan menimpanya. Sebagai peri Padma terakhir tentu sangat disayangkan kalo peri jenis ini harus punah keberadaannya. Apakah ini bagian dari seleksi alam. Kesintasan bagi yang pantas hidup. Yang kuat yang bertahan. Peri Padma yang tinggal 3 saat itu dipergunakan Lord Purgatory untuk melawan Ribak Sude. Entah mungkin awalnya ada banyak dan hanya tersisa tiga akhirnya setelah berbagai macam tugas berbahaya.

“Bunuh?” bisikku juga yang sudah masuk ke dalam sel sempit ini. Hanya ada dua kunci ke sel ini. Satu yang kupegang sebagai raja dan satunya dipegang Eka. Aku tidak menatapnya, melainkan memperhatikan ruangan sempit berukuran 2×3 meter ini. Beberapa buah-buahan yang ada di hutan milikku sama sekali tak disentuhnya. Mungkin dia tau apa efeknya kalo ia sampe berani mengkonsumsi mangga, pepaya, dan pisang yang disediakan untuknya.

“Tempat ini sempit, ya? Kau tidak merasa sumpek di sini? Mau keluar?” tawarku yang tentu saja membuatnya bingung. “Kau sudah terlalu lama dikurung di dalam sini hingga tak tau perkembangan apa-apa…” ujarku sekalian melepas tautan rantai di tangan dan kakinya yang melekat ke dinding dengan kunci yang kumiliki ini. Tetapi rantai-rantai itu kusatukan satu sama lain, baik hati boleh—tapi jangan bodoh. “Ayo… keluarlah…”

Ragu-ragu peri Padma itu akan apa yang telah kulakukan. Mukanya masih menyelidik dengan penuh curiga karena jarang-jarang ada lawan yang mau melepaskan tahanan keluar dari selnya dengan prilaku seperti ini. Tapi demi melihat pintu sel yang kubuka lebar-lebar mempersilahkannya keluar walopun masih memakai rantai yang membelengu tangan dan kakinya saling taut. “Keluarlah… Kau bebas bersyarat dalam pengawasanku…” kataku keluar dari sel sempit ini, memberanikan dirinya agar mengikutiku.

Kutunggu dirinya sampe benar-benar yakin dan bergerak keluar dari dalam sel. Sikapnya masih sangat waspada, jaga-jaga kalo ini semua hanya jebakan sebagai alasanku untuk menghukum dan menyiksanya. Luka-luka di tubuhnya sisa pertarungan dan interogasi saat itu sudah mengering dan sembuh sendiri. Ia sudah ada di luar sel dan segera sinar matahari yang menembus pintu di atas tangga batu menerpa wajahnya.

“Aaahhh…” suaranya ada kelegaan yang sangat nyaman sepertinya. Matanya dipejamkan sedang menikmati nikmatnya rasa hangat sinar matahari yang menerangi tubuh merahnya. Sepertinya dikurung di dalam sel sempit itu tak mendapatkan sinar secara langsung, hanya sekedar bias terang saja. Dan saat ini ia mendapatkan sinarnya secara langsung. Suara-suara mendesahnya terdengar sangat nyaman, seperti mendapatkan kembali energinya yang berkurang drastis. Kini pulih kembali.

“Naiklah ke atas sana… Di luar sana lebih hangat…” kataku menunjuk bagian atas tangga. Tempat ini sedemikian lembabnya karena ada di bawah tanah walopun tetap terang dari bias sinar luar. “Tidak usah berusaha melepas rantai itu… Itu dibuat khusus… Kau belum siap untuk itu…” sebaik-baiknya aku saat ini, masih ada batasan yang harus kuberikan padanya. Ia masih tahanan kami walo diberi kemudahan seperti ini.

Akhirnya ia memberanikan diri menaiki tangga dan aku mengikutinya dari belakang, menikmati lenggak-lenggok bokongnya yang tak berpenutup. Sayap hitamnya yang mirip dengan sayap kelelawar sesekali direnggangkan. Jangan ngeliatin pantat aja, Seng. Tahan dirimu…

Dua peri Aruna dari kelompok pembangun yang sedang menggotong kayu-kayu berat, kaget melihat peri Padma itu keluar dari ruang bawah tanah. Dan saat mereka bermaksud meringkusnya kembali aku muncul dari belakang dan memberi kode ‘tak mengapa’. Peri Padma itu padahal udah panik akan segera diringkus dan dijebloskan kembali ke dalam sel. Kudorong tubuhnya mengitari ruang-ruang istana ini. Matanya jelalatan melihat sekelilingnya dan aku menjelaskan ruangan-ruangan yang beberapa sudah selesai dan beberapa yang belum selagi melintasinya.

“Istana sebesar ini hanya untuk 19 peri Aruna saja… Terlalu besar memang… tapi aku sebagai raja berpikir untuk merekrut peri-peri lainnya nanti… Ini ruang balairung dan tahta rajanya…” kataku menunjuk tahta yang hanya aku yang berhak duduk di situ. Matanya membelalak saat berhenti. Gemerincing rantai yang terseret-seret membelenggu kakinya juga terhenti. Jalan-jalan kami mengarah ke luar istana sekarang. Lagi-lagi ia membelalak melihat kepulan asap tebal di kejauhan.

“I-i-itu gunung api?” tanyanya gugup. Lalu matanya jelalatan melihat ke sekitarnya dengan rakus campur bingung.

“Ya… Itu gunung berapi… Baru aja mulai bertumbuh… Para peri Aruna dan aku yang membuatnya… Akan makan waktu lama hingga ia menjadi gunung yang menjulang tinggi… Menjadi gunung yang gagah dan perkasa…” jelasku memandang dengan bangga akan hasil kontribusiku dalam perkembangan cepat gunung berapi yang terus mengepulkan asap putih ke angkasa.

“Bolehkah… bolehkah aku ke sana?” tanyanya agak gugup tetapi ia memberanikan diri. Bibirnya bergetar mengucapkan kalimat barusan. Sepertinya ia sedang menahan-nahan sebuah hasrat.

“Kenapa? Kau itu kan peri Padma… Peri teratai merah… Tinggalmu di air, kan? Disana itu panas sekali-loh…” kataku beralasan. Tidak. Aku hanya mempermainkannya. Aku tau hasrat apa yang sedang menggelegak di dalam dirinya.

“Aku-aku akan memberitau semua yang kau inginkan… Asal-asal kau izinkan aku ke-ke gunung api itu… Izinkan aku ke sana…” kembali bibirnya bergetar saat berbicara. Seperti pemadat yang lagi sakaw gitu keadaannya. Tak dapat mengendalikan dirinya dari memandang gunung berapi yang masih memuntahkan magma cair dari dalamnya. Gunung itu sudah bertambah tinggi sekarang. Sekitar 3-4 meteran mungkin saat ini.

“Memberitahuku apa? Aku sudah tau semuanya… Maharaja-mu bernama Lord Purgatory… Dia mau mengumpulkan kesemua lima batu permata peri itu, kan? Dia sudah mendapatkan permata peri biru, peri putih dan peri hitam… Tinggal permata milikku dan permata peri pelangi sisanya… Dia mau berubah menjadi manusia untuk dapat meneruskan keinginan Bobi Putranto yang belum kesampaian menggunakan gabungan kelima batu ini… Aku sudah tau itu semua, peri Padma yang cantik…” beberku dengan senyum sebaik mungkin untuk menjatuhkan nilai tawarnya padaku. Aku mau tawaran yang lebih besar. Kutepuk bahunya yang berwarna merah cerah di terangnya cuaca tempat ini.

Membelalak lebar matanya mendengar paparanku. Sepertinya bahkan pengetahuannya tidak sebanyak itu. Mulutnya buka-tutup kek ikan koi minta makan. Mencari hal lain yang dapat ditawarkannya padaku. “A-ak-aku peri Padma terakhir… Peri teratai merah tidak tinggal di kolam air… Teratai peri Padma tumbuh di kawah gunung berapi yang sangat panas… Izinkan aku untuk masuk ke dalamnya… Izinkan aku…”

“Aku sudah tau itu…” sahutku malah membungkuk dan melepaskan rantai yang mengikat kedua kakinya agar ia dapat berjalan lancar.

“Baginda raja!” seru suara di belakangku. “Kenapa baginda raja membungkuk? Kenapa dia dilepaskan, baginda raja? Peri Padma ini ada diluar selnya… dan… rantainya baginda lepas?” ternyata Eka yang datang menghampiriku dengan tergopoh-gopoh hendak meringkus peri tawanan ini kembali.

“Tenang, Eka… Kalopun dia lepas… dia bisa lari kemana?” jawabku sudah memegang rantai yang tadi membelenggu kaki peri Padma ini. Ia takut-takut menatap Eka dengan pandangan sengit. Eka tapi tak urung melepaskan kewaspadaannya. Sebuah pedang yang sepertinya menjadi andalan peri Aruna nomor satu ini.

“Dia memiliki nama dan pakaian…” desis sang peri Padma.

“Tentu… 19 peri Aruna warga kerajaanku semuanya sudah bernama dan berpakaian… Aku sebagai rajanya yang memberi semua itu…” kataku lalu melemparkan pandanganku ke arah gunung berapi itu lagi. “Ayo… Kita ke gunung itu sekarang…” kataku mulai melangkah. “Kau bisa terbang tetapi sebaiknya kau berjalan saja daripada dipanah jatuh oleh Eka… O-ya… Kuingatkan Eka ini ahli menggunakan bermacam ragam senjata… Jadi jangan macam-macam…” kataku lalu lanjut lagi tanpa menoleh ke belakang.

Aku berjalan paling depan, diikuti peri Padma itu dan Eka paling belakang. Sesekali aku mengajak keduanya berbicara. Tetapi peri Padma itu hanya menjawab pendek-pendek. Eka yang lebih banyak bicara dan kebanyakan untuk membuat sang tawanan tidak bertingkah yang melewati batas.

“Maharaja Lord Purgatory saat ini pasti sedang menyusun kekuatan untuk menyerang Istana Pelangi untuk mendapatkan opal pelangi itu…” desis si peri Padma sembari terus berjalan.

“Ya… Aku sudah tau itu…”

“Pasukan gabungan peri Dawala dan peri Candrasa sangat tidak mungkin dikalahkan oleh para peri Kencana… Kekuatan mereka terlalu besar untuk dihadapi…” ujarnya lagi dengan suara pelan mirip gumaman. Ini info yang kuinginkan. Tentang kekuatan pasukan yang dipakai Lord Purgatory. Memanfaatkan kekuatan dari peri berambut putih dan peri berambut hitam. Kemungkinan besar, ia sudah menghancurkan dua kerajaan itu dan mengambil alih pasukannya sebagai tentara tempurnya.

“Pasukan kerajaan Istana Pelangi terkenal sangat tangguh… Apalagi benteng mereka juga sangat kuat untuk menahan gempuran musuh…” sergah Eka. Walopun begitu aku mendengar nada yang kurang meyakinkan terselip di suaranya.

“Pasukan gabungan ini tak memiliki rasa takut dan rasa sakit… Bangkit kembali sedahsyat apapun serangan yang mengenai mereka…”

“Pasukan zombie?!” suara tercekat Eka memaksaku untuk berbalik badan. Ini info penting sejauh ini. Peri Padma itu mengangguk padaku lalu pada Eka membenarkan tebakan tepat barusan. Zombie? Jadi pasukan gabungan dari dua kerajaan yang sudah musnah itu kini menjadi pasukan zombie. Lord Purgatory membantai mereka semua lalu mengubah mereka menjadi zombie untuk menyerang kerajaan lain. Dengan memanfaatkan pasukan yang tak bisa mati ini untuk menggulung kerajaan lain yang menjadi incarannya.

Lord Purgatory sangat kejam dan taktiknya mengerikan…

—————————————————————————-
Aku dan Eka memandangi bagaimana peri Padma itu berenang-renang di dalam pekatnya kawah magma cair itu dengan nyamannya. Bagian puncak gunung api ini sudah ada yang mengeras hingga ada semacam ceruk kawah kecil berisi magma cair menggelegak panas. Kulit merahnya semakin glowing bercahaya terkena magma cair yang bersuhu ribuan derajat Celcius itu. Bagaimana mungkin ia bisa berenang dengan nyamannya di dalam situ?

“Kau gak bisa kek gitu, Eka?” tanyaku perlahan pada peri Aruna nomor urut satu ini.

“Tidak, baginda raja… Hanya peri Padma yang bisa berlaku seperti ini… Kami peri Aruna hanya sekedar tahan panasnya saja tetapi tidak sampai berendam seperti dia… Peri Padma lahir dan berkembang besar di dalam kolam Candradimuka seperti ini, baginda raja…” jawabnya perlahan juga agar tak terdengar oleh tawanan kami.

“Rantai buatan kelompok perajin ternyata sekuat itu… tidak meleleh bahkan di dalam magma sepanas ini…” kagumku akan rantai belenggu tangan yang masih dipakai peri Padma itu.

“Sama seperti pedang hamba ini, baginda raja… Ini adalah senjata kualitas tertinggi… Padanannya adalah senjata kegelapan milik peri Candrasa… Senjata besi hitam milik kerajaan Gua Kresna itu masih misteri sampai sekarang cara pembuatannya… Mahkota baginda raja adalah buatan para perajin peri Candrasa dahulu kala…” papar Eka.

“Mahkota yang bisa berubah-rubah ini buatan peri Candrasa?” kagetku menunjuk mahkota yang selalu kupakai ini. Ternyata ada hubungan bilateral yang kuat di masa lalu. Bukan hanya sekedar rivalitas yang kental terasa sampe sekarang. Eka mengangguk membenarkan pernyataannya barusan. Saat dipakai ratu Fatima—si Tobrut itu, mahkota ini hanya berupa tiara kecil. Dan pada giliranku ia berupa mahkota besar yang menutupi hampir sebagian besar bagian atas keningku. Hanya saja warnanya tetap hitam, sesuai dengan informasi Eka, besi hitam peri Candrasa.

Kami kembali menonton acara renang cantik peri Padma itu yang seperti itik bertemu air. Riang sekali dia. Coba aja mahluk lain, pasti lumer… Tetapi rantai dan pedang Eka tahan pada panas ribuan derajat Celcius ini, aku sepertinya harus punya pedang sekuat itu. Cocok untuk dijadikan pedang Utara-ku. Selama ini aku hanya pedang Selatan yang merupakan mandau Panglima Burung. Nanti minta bikinin ah sama kelompok perajin.

“Hei! Jangan sembarangan kau!” hardik Eka karena sangking gembiranya peri Padma itu, ia menyiprat-nyipratkan magma cair itu ke segala arah. Alhasil cipratannya berdesis saat mendarat di bebatuan magma yang sudah mengeras. Udah kek air kolam dibuatnya. Eka mengacung-acungkan pedangnya mengancam agar peri Padma itu tidak mengulanginya lagi karena bisa berbahaya buat rajanya—aku.

“Sudah cukup! Naik kemari kau!” perintah Eka karena kalo dibiarkan, peri Padma itu gak mau selesai berenangnya. “Kubilang naik sekarang!!” hardik Eka menegaskan perintahnya. Magma cair itu baik air biasa saja di tubuh telanjang peri Padma itu. Meluncur menetes-netes bak air segar jatuh dari tubuhnya. Asap tebal mengepul dari beberapa sudut kolam kawah ini. Peri Padma itu menurut dan menepi ke arah kami. “Kemari…” Eka mengarahkannya agar mendekat. Kulit merah peri Padma itu semakin cerah dari sebelumnya. Mungkin karena habis dibersihkan oleh panasnya magma itu jadi kulitnya semakin kinclong. Tanduk merah miliknya juga semakin glowing aja.

“Ra-raja?”

“Apa maumu?” Eka menghalangi peri Padma itu yang berusaha mendekatiku. Peri itu seperti tak perduli walo pedang tajam Eka menempel di lehernya. “Apa maumu dengan baginda raja kami? Mundur!!” hardik Eka merasa kalo peri Padma ini ingin melakukan sesuatu padaku.

“Dia kenapa, Eka? Sepertinya sesuatu terjadi padanya… Tapi aku tidak tau apa…” aku hanya bisa melihat dari balik punggung dan rambut panjang Eka yang menghalangiku dan peri Padma itu.

“Sepertinya ia masuk dalam masa birahi, baginda raja… Dia menginginkan pejantan…” ucap Eka yang membuatku kaget.

“Baginda?… Baginda raja… Ak-aku punya beberapa telur matang yang siap untuk dibuahi…” kata peri Padma tak bernama ini. Ada asap tipis mengepul dari tubuhnya. “Sudikah baginda membuahi telur-telurku ini?” tak perduli akan keberadaan Eka, ia merangsek maju. Seperti sedang kalap ia menerjang maju tak memperdulikan rintangan apapun. Matanya yang tadinya berwarna hitam kini berwarna merah cerah penuh nafsu. Gawat, nih!

“Ekaa? Gimana ini? Apa yang harus aku lakukan? Apa ini berbahaya?” tanyaku. Peri Padma itu menggapai-gapaikan tangannya hendak menarikku. Ia ditahan dengan sekuat tenaga oleh Eka yang dengan dedikasinya berusaha melindungiku dengan menarik rantai yang masih membelenggu tangannya.

“Hamba bisa memusnahkannya, baginda raja! Dia hanya ingin berkembang biak saat ini…” seru Eka memberi satu solusi. Memusnahkannya? Itu artinya tak akan ada lagi peri Padma di dunia ini? Memusnahkan salah satu spesies peri. Apa bedanya aku dengan Lord Purgatory kalo begitu? Ia dengan mudahnya merubah semua peri Dawala dan Candrasa menjadi zombie. Itu artinya semua peri itu sudah mati.

“Jangan! Jangan dimusnahkan! Dia ini Padma terakhir, kan? Berkembang biak katamu? Apa bisa dia dibuahi oleh manusia?” aku menanyakan pertanyaan yang sangat bodoh juga memalukan. Apa kata dunia kalo seorang Aseng punya keturunan dengan peri? Gak pernah terbayangkan olehku. Tapi ini aku bertanya pada peri bawahanku. Tentunya dia gak akan membocorkan masalah krusial seperti ini kalo itu benar-benar terjadi. Peri Padma itu terus meradang dengan birahi ingin dibuahinya terus. Menggapai-gapai dengan hausnya.

“Peri selalu punya telur di dalam tubuhnya, baginda raja… Saat ini telur milik peri Padma ini kebetulan sedang matang saat ia berendam di dalam kawah gunung berapi ini…” Eka tetap menahan peri Padma itu dari menjamahku. “Kami para peri semuanya berkelamin perempuan, baginda raja… Kami memerlukan pejantan dari mana saja… Termasuk memperdaya manusia…” katanya berkali-kali mendorong keras peri dalam masa birahi itu yang kembali merangsek maju untuk menerkamku. “Tapi hamba tak dapat membiarkan peri hina ini menyentuh baginda raja… Lebih baik ia hamba musnahkan saja, baginda…”

Waduh! Begitu ceritanya. Jadi para peri ini berkembang biak dengan cara itu. Dari pejantan mana aja? Jin, hewan mungkin dan manusia… Bahkan kadang menghalalkan cara memperdaya manusia untuk membuahi telur mereka yang sedang matang. Peri Padma telanjang yang sedang birahi dengan beberapa telurnya yang matang untuk segera dibuahi tentunya lahan yang lezat untuk dientoti walopun penampilannya agak aneh karena sekujur kulit tubuhnya berwarna merah cerah. Ada sayap dan tanduk pulak lagi.

Jangan rasis-lah, Seng.

Siapa yang rasis? Peri yang kuhadapi saat ini. Bukan boneka. Kalo mahluknya manusia biasa mungkin aku gak perlu mikir panjang-panjang. Pasti langsung aja kusosor, kuembat, kubuahi. Ini peri-loh. P-E-R-I. Peli. Itu kontol—peli. Peri. Bagian dari jin. Memang jin ini peri-peri cantik. 19 peri Aruna warga kerajaan Mahkota Merah-ku pun juga jin berelemen api juga.

Kalo cuma sekedar kugauli–kuentot–mungkin masih dalam taraf toleransi-lah ya. Aku sudah pernah mengentoti kuntilanak merah yang menyamar sebagai istriku saat itu. Rasanya enak-enak aja. Sensasinya sama aja kek ngentoti manusia. Ngecrot-ngecrot juga aku dengan nikmatnya. Pengalaman lainnya, dulu sekali juga, pernah ngerasain jin-jin perempuan lain. Tapi aku hanya dieksploitasi saat masih baru mengenal seks.

“Apa kalo manusia membuahi peri… Dia jadi setengah manusia setengah peri, Eka?” bisikku kepo pastinya.

Eka diam sebentar. Pasti dia berpikir aku sudah mempertimbangkan untuk mengentoti peri Padma itu. “Tidak, baginda raja… Telur para peri hanya butuh dibuahi saja… Asal itu dari pejantan, telur akan matang sempurna dan akan berkembang menjadi peri pemilik telur tersebut… Misalnya peri Padma ini… Telur peri teratai merah… menjadi peri teratai merah, baginda raja…” terangnya tak mengendurkan blokirnya atas peri Padma itu.

Gitu, ya… Menarik juga. Berarti ini cuma memanfaatkan jantan aja sebagai pemicu, trigger. Siapapun yang membuahinya, hasilnya akan selalu peri pemilik telur itu. Berarti kalo misal… misal-loh ini. Misalnya aku membuahi peri Padma ini, peri Padma yang lahir dari telur itu bukanlah anakku secara langsung. Agak lama baru aku sadar kalo mulutku lebar menyunggingkan senyum yang sangat mesum sekali. Ngalah-ngalahin senyumnya Joker.

“Eka… Lepaskan dia!”

“Baginda? Baginda tidak harus melakukan ini…” khawatir Eka masih menahan peri Padma itu. Seharusnya dengan mudah ia bisa memusnahkannya dengan sekali tebasan.

“Tidak apa-apa, Eka… Setidaknya peri Padma ini tidak lagi punah dan ada penerusnya… Kasihan dia cuma sendirian…” kataku. Dari mimik Eka aku tau dia tidak setuju dengan keputusanku. Tapi penahannya sedikit melonggar karena perintahku sebelumnya untuk melepas peri berkulit merah dalam masa birahi ini.

“Kau… Eka akan melepasmu kalo kau bisa tenang dan sedikit mengendalikan dirimu… Aku akan membuahi telurmu… Dengar?” seruku pada sosok berkulit merah cerah itu. Ia mengangguk-angguk dengan cepat dan terburu-buru. Ia tampak sangat antusias dan tak dapat berpikir dengan jernih hingga asal setuju aja. Asal kebutuhannya terpenuhi.

“Bagus… Kita tidak akan melakukannya di atas sini… Lingkungannya… tidak memungkinkan…” kataku menilai lokasi berbatu-batu hitam yang berasal dari pengerasan magma cair yang tentunya panas. Apa enaknya ngentot di tempat seperti ini? “Tidak nyaman lagi… Di bawah saja…” tunjukku pada pelataran luas yang tak terkena dampak pertumbuhan gunung berapi kecil ini. “Kita lakukan di bawah…” kataku lanjut mundur berusaha menuruni gundukan batu pengerasan magma gunung berapi. Eka mengikutiku.

Tidak dengan peri Padma itu, dengan sayap yang dimilikinya, ia terbang turun dengan mudahnya dan sampe duluan daripada kami berdua. Aku menunjuk lokasi tepatnya kami akan melakukan persetubuhan. Peri Padma itu sepertinya sudah tidak sabar. Ia gelisah menanti sampe aku benar-benar turun dari atas gunung yang belum terlalu tinggi ini.

“Apakah tubuhnya panas, Eka?” tanyaku pada peri Aruna nomor satu itu. Aku membuka bajuku selagi turun memilih jalan berbatu hitam. Aku dengan ajaibnya bisa menahan panas gunung berapi ini tetapi masih khawatir dengan suhu tubuh peri Padma yang baru berendam di kawah magma cair.

“Tubuhnya memang panas saat ini, baginda… Tetapi baginda raja tahan akan itu semua… Baginda raja memiliki rubi api dan mantel rubah hitam untuk mengatasi itu semua… Baginda akan baik-baik saja…” jawab Eka dengan jujur. Ia sama sekali tidak keberatan sekarang aku akan menggauli peri Padma itu. Tetapi ia lebih menunduk sekarang saat berbicara denganku. Mungkin karena memilih-milih jalan yang aman.

“Aku harus bagaimana? Apa yang raja ingin kulakukan?” tanya peri Padma itu. Aku tak menjawabnya tapi hanya lebih mendekat dengannya. Peri Padma itu menatapku dengan rakus dan antusias. Aku malah membuka rantai yang mengikat kedua tangannya. Terdengar pekik protes kecil dari Eka. Pasti ia tidak setuju aku melepas semua belenggunya.

Hal yang harus ia dan aku lakukan adalah membangkitkan birahiku. Hal yang pertama kulakukan adalah menangkap satangkupan tangan payudara montok kirinya. Ia membelalak kaget awalnya lalu tersenyum. Kenyal, padat dan hangat sekali. Tidak terlalu panas. Masih dalam taraf toleransi panas kukira. Kuremas-remas sebelah payudara kenyalnya itu lalu bertambah menjadi dua. Penampilan para peri untungnya menarik seperti ini hingga para pejantan dengan mudah dipancing untuk membuahi kebutuhannya.

“Gimana rasanya? Apakah enak?” tanyaku saat aku berganti-ganti meremas dan mempermainkan putingnya. Kupilin-pilin dan kutarik-tarik putingnya yang mengeras seperti tutup odol.

“Hem-hem…” jawabnya meringis menikmati permainan tanganku. Kenyal payudaranya seperti adonan kue yang tak bosan-bosan diuleni hingga kalis. Hangat dan menyenangkan. Kudekatkan wajahku ke arah lehernya untuk mengendus aroma tubuhnya. Wangi tubuhnya sekarang sangat berbeda. Saat keluar dari sel tadi, aromanya seperti kantung semen yang penuh keringat. Saat ini tercium seperti aroma bunga yang manis. Apakah ini wangi teratai merah. Ini mungkin nektarnya.

“Uhhmm… shhllkk…” ia pasrah saat mulutnya kukecup. Bibirnya terasa panas dan yang mengejutkan adalah manis. Liurnya terasa manis. Aku jadi ketagihan untuk menyedot bibir dan lidahnya untuk menguras rasa manis nektar teratai merah ini. Tubuh kami otomatis merekat dan saling berbagi kehangatan. Tanganku gerayangan sampe ke arah punggungnya yang ditumbuhi sepasang sayap berwarna hitam itu. Kulitnya ternyata luar biasa halus dan licin sekaligus. Mungkin karena itu magma cair tak dapat menempel di kulitnya.

“Mmm…” erangnya saat tanganku mencengkram bokongnya dan kuremas. Peri Padma ini otomatis melebarkan kakinya. Tanganku yang sebelah lagi langsung berpindah dan menjamah kemaluannya. “Aahh…” erangnya lebih manis. Kemaluan gundul tak berambut itu lembut dan hangat. Kucaplok lagi mulutnya yang manis dengan dua tanganku berfokus di dua tempat berbeda. Satu meremas bokong, satunya mengorek vagina.

Satu jariku menusuk masuk dan mengocok liang kawin peri Padma itu. Di dalam liang kawin ini, terasa cukup hangat dan itu membuat jariku semakin bersemangat. Bergeletar tubuh langsing berkulit merahnya merasakan kemaluannya kuobok-obok. Aroma manis makin lancar menguar di udara. Dari mulut dan vaginanya keluar aroma manis nektar itu. Lidahnya kuhisap-hisap dan ia dengan patuh meleletkan lidahnya pasrah. Dalam keadaan masih berdiri, aku turun dan mengarah ke payudaranya. Rakus kusedot-sedot puting menegangnya. Tanganku yang tadi meremas bokongnya pindah meremas sebelah payudaranya. Sungguh menyenangkan. Menyenangkan mencumbui peri Padma yang pasrah akan kubuahi ini. Vaginanya makin banjir oleh nektar manisnya dan aku rakus menggelomoh dua payudara kenyalnya.

“Aaahhh!!” rintihnya sangat seksi saat lidahku menjilat kacang itilnya yang sangat terang hampir bercahaya. Aku sampe harus berjongkok untuk menikmati bagian vital ini. Saat birahi hendak dibuahi begini, klitorisnya sampe seperti ini. Rasa yang sangat manis terasa lebih lezat di bagian vaginanya. Nektar yang lebih manis menggiurkan berasal dari liang kawinnya ini. Menetes-netes sampe banyak keluar dari lubang yang sedang kujejali jari. Mulutku rakus menyedotnya semua. Lidah dan bibirku tak jemu menguras semua rasa manis bagai madu ini.

“Jaaaa…” teriaknya nyaring. Sepertinya peri Padma birahi ini mendapat orgasmenya. Bisa orgasme juga ternyata mereka. Berarti mereka bisa menikmati seks.

Sampe terjatuh tubuhnya tak sanggup lagi menapak. Dari berdiri, sedikit membungkuk, terhuyung-huyung keenakan dan akhirnya berbaring di atas tanah keras. Tak kubiarkan manis nektarnya sia-sia. Bergetar-getar tubuhnya merasakan rasa nikmat yang tak putus-putus kuberikan pada tubuhnya. Kakinya mengangkang dengan lunglai lebar terbentang. Bersih semua cairan kental semanis madu itu kubuat berpindah ke mulutku dan kutelan tuntas. Nikmat sekali peri teratai merah ini.

Saat masih bernafas tersengal-sengal dan tatapan nanar, kulepaskan celanaku dan Aseng junior mengemuka! Jre-jreng! Dia sudah menegang keras. Antusias akan segera memasuki dunia baru. Vagina peri teratai merah yang manis. Gak di dunia nyata, gak di dunia supranatural—dia tetap meradang!

Selow, ya junior… Jangan malu-maluin. Nikmati peri Padma ini sebaik-baiknya. Raja kita nih… Harus kita buktikan, kita juga bisa membuahi peri. He he he hehehehehe…

Kuposisikan Aseng junior ke belahan vagina si peri Padma. Segera kepala penisku berkubang di cairan kental yang membanjiri belahan nikmat menuju liang kawin yang menggawangi menuju telurnya yang siap dibuahi. Geli-geli enak khas akan memulai persenggamaan dari gesek-gesek syahdu. Mm… Lembut dan hangat. Rasanya sama aja seperti dengan manusia biasa secara garis besar. Tetap enak plus ditambah rasa nikmat hangat elemennya. Si peri Padma sepertinya sudah tak sabar ingin segera dicoblos.

“Aaahh…” erangku merasakan Aseng junior menelusup masuk ke dalam liang yang hangat berasa manis ini. Peri Padma tak bernama dan tak berpakaian ini melolong keenakan liang kawinnya ditembus satu batang kemaluan spesies jantan dari kalangan manusia. Aku gak begitu paham hukumnya akan kegiatan sablengku ini. Aku sudah terlalu banyak dosa hingga menggauli jin dari kalangan peri malah kulakukan di malam bulan Ramadhan begini. Entah kapan tobatku.

Sayap peri Padma itu sampe mengepak-ngepak di atas tanah menimbulkan debu tebal merasakan nikmat yang sangat tak terperikan lagi begitu tubuhnya ditembus Aseng junior-ku. Ia memegangi sepasang tanduk merah yang ada di kepalanya. Lalu menjambak-jambak rambut hitamnya secara tak sadar. Matanya membeliak merasakan nikmat luar biasa ini. Apakah akan selalu begini kala aku akan membuahi peri yang dalam masa birahi? Nikmat sekali rasanya. Rasa hangat dan aroma manis tubuhnya menyatu menjadi kombinasi yang sangat memabukkan.

Apalagi saat aku mulai menggila dan memompa tubuhnya…

“Ceplok ceplok ceplok ceplok!” vagina becek oleh nektar manisnya bersuara berisik nan seksi oleh gesekan deras sodokan yang kulakukan. Tubuh peri Padma itu tergial-gial oleh guncanganku. Kupegangi pinggangnya untuk melakukan gerakan gear tinggi karena lebih ke rasa gemas mendapatkan seks perdanaku pada peri ke peri Padma ini. Payudaranya berguncang-guncang liar mengikuti arah hentakan tubuhnya yang kugenjot brutal.

Aseng junior meradang dengan gagahnya sesuai dengan reputasinya yang sudah merajai banyak binor. Kali ini kiprahnya merambah ke peri yang cantik walo penampilannya sedikit berbeda. Tapi tak mengapa, rasanya masih nikmat. Lebih nikmat malah dengan suguhan tambahan yang plus-plus.

“Aahh Ahhh AAHhh Ahh AAHHHhh Ahh Ahh!” sungguh ekspresif sekali peri Padma ini menikmati seksnya. Ia tak sungkan-sungkan berteriak-teriak seperti hewan yang sedang kawin merasakan nikmat yang merajai tubuhnya. Cukup lumayan lama aku menyetubuhinya, sesuai dengan durasi normalku plus waktu tambahan. Yang penting sama-sama puas…

“Arrraaraaraaaraaaahhh…” berkejat-kejat tubuhnya merasakan orgasme kembali yang menyergap tubuhnya dengan ganas. Bergial-gial tubuhnya menggelinjang saat badai kenikmatan itu menyetrum sekujur tubuhnya. Aseng juniorku seperti diperas-peras di dalam liang kawin sempitnya yang super hangat menyegarkan. Aku ikut menengadah merasakan efek orgasmenya. Rasanya aku bisa meledak sewaktu-waktu. Mungkin ini fitur istimewanya untuk menjamin keberlangsungan spesies peri Padma. Menyebabkan pejantan yang membuahinya untuk segera ejakulasi. Menjamin tiap personil peri Padma dapat dibuahi pada waktunya dengan prosentasi keberhasilan tinggi.

“Alamaaak!! Sedap kali…” gerutuku. Aku mati-matian menahan diriku agar gak ngecrot cepat-cepat karena aku masih mau melakukan banyak hal pada perdana persetubuhanku dengan bangsa peri, yang diwakili peri Padma terakhir ini. “Aaarrhhh… Ah!” Rasanya luar biasa nikmat. Aseng junior serasa dikuras dan disedot-sedot di dalam sana. “Akhh!!” aku gak tahan.

“Croott crooott crroott!!” semburan kencang spermaku deras menyemprot masuk ke liang kawinnya, menuju dimana telur yang ingin kubuahi itu berada. Entah bagaimana anatomi reproduksi peri sebenarnya. Entah ada pulak rahimnya ato gimana. Pokoknya rasa nikmatnya sama aja yang kurasakan. Nikmat yang benar-benar memuaskan seperti ngecrot pada manusia biasa. “Aahhh… Nikmatnya…” desahku mundur untuk mencabut senjata keramatku dari vagina peri Padma itu.

Kakiku sedikit lemas akibat barusan ngecrot itu tetapi aku bisa berdiri dengan tegar. Aseng junior masih menegang, hanya sedikit melunak sedikit dengan baluran sisa sperma yang masih menempel. Vagina peri Padma itu banjir oleh sperma kentalku. Mulutnya mangap-mangap mencari nafas sebanyak-banyaknya. Matanya nanar menatap penisku yang berjuntai di antara kakiku lalu ia menatap pada bagian selangkangannya yang berselemak sperma kental.

“Te-terima kasih… Terima kasih… raja peri Aruna… Terima kasih sudah membuahi telur-telurku…” ia menyatukan tangannya menghaturkan rasa terima kasihnya yang sangat besar. Ia berusaha bangkit untuk berlutut dan memantapkan posisi tangannya. “Segera telur-telurku akan meneruskan kembali peri Padma… Terima kasih banyak…” ia menunduk untuk menyembahku. Ini yang aku tidak suka.

“Jangan menyembah beg…” berhenti aku demi melihatnya berdiri walo kutau masih lemas abis orgasme. Sayapnya mengepak dan tubuhnya membumbung tinggi ke arah gunung berapi itu. “Heii… Kau mau kemana?” heranku. Ngapain dia ke kawah gunung lagi? “Hei? Eka… Kenapa dia naik kesana lagi?”

“Dia meneruskan perkembangan telur-telurnya di dalam kawah, baginda raja…” jelas Eka. “Apakah baginda raja berkenan untuk melihat perkembangannya itu?” tawarnya. Apa dia bakalan merendam dirinya di kawah itu lagi? Ada-ada aja cara berkembang biak peri ini. Eneng-eneng, wae. Sebenarnya kaki ini masih lemas sedikit. Tapi demi jaim dikit di depan Eka yang dengan gagah perkasa mendaki gunung rendah ini. Melihat lenggak-lenggok bokongnya yang hanya mengenakan celana dalam seksi ungunya saat mendaki gunung, semangatku terbit kembali. Seksi kali, bok…

Kapan ya… masa birahi para peri Aruna? Apakah saat waktunya tiba mereka akan memintaku untuk membuahi telur mereka juga? Kalo satu-satu mungkin bisa digilir. Kalo berbarengan aku malah bisa nyengir.

“Loh-loh?” heranku melihat peri Padma itu yang kembali berendam di dalam kolam magma cair itu sekali lagi. Ia seperti mengejan. Melihat mimiknya aku teringat mimik Aida saat melahirkan waktu itu. Ia kesulitan. Tunggu dulu… Langsung melahirkan? Cam yang betoool aja langsung jadi, bah! Ato mungkin berak, ya?

“Plung!” sebuah benda berwarna putih terlihat muncul di permukaan magma. Itukah telurnya? Warnanya sangat kontras dengan magma panas menggelegak membuatnya terlihat sangat jelas. Tapi peri Padma tak berhenti mengejan. “Plung!” sebuah lagi mengapung. Dan sebuah lagi menyusul hingga total ada tiga biji benda itu. Dari bagian bawahnya muncul beberapa helai daun bulat yang ikut mengapung.

Oo… Ini maksudnya peri teratai merah. Benda putih itu adalah kuntum bunga teratai yang perlahan-lahan menyerap panas dan api magma. Seiring waktu bunga itu menjadi merah dan seterusnya seterusnya dari sana peri teratai merah baru akan terlahir. Peri Padma itu mengapung dengan lemas di kolam magma cair.

“Eka? Apakah dia baik-baik saja?” tanyaku khawatir akan keadaan peri itu. Takutnya abis melahirkan, ralat, menelurkan ketiga telur itu… dia koit?

“Dia hanya beristirahat, baginda raja…”

Bersambung

korban dukun cabul
Cerita hot kisah si dukun cabul bagian satu
Foto anak SMA igo Indo telanjang sange jilat memek bugil
gadis lihat bokep
Ngentot dua gadis manis yang terangsang karena melihat bokep
tante montok
Hangat Nya Tubuh Mbak Nia
Cerita sexs ibu guru liar suka colmek
Foto bugil ABG nungging pamer memek mulus
ngentot mertua
Menikmati tubuh mulus ibu mertua bagian satu
ngentot mam
Mengobati Rasa Kesedihan Mama Bagian Dua
tetangga hot
Ngentot dengan tetangga yang body nya oke banget
cewek pendiam lagi sange
Selingkuh Dengan Kakak Ipar Karena Kesepian
Aku Diperkosa Oleh Guruku Sendiri
ibu guru mandi
Gairah Sex Bu Firdha, Guru Biologi Berjilbab Yang Alim
anak sma perawan
Memperkosa anak sma cantik yang masih perawan
cewek perawan bugil
Melly, Pacarku Yang Masih Perawan
Ngentot dengan mahasiswi cantik di kost
Foto janda kembang cantik mulus lagi pengen
Foto janda kembang cantik mulus lagi sange