Part #84 : Aseng junior gak mau naek
“Trus gunanya selama ini dia mengumpankan semua binik orang itu untuk apa?”
“Aa… Untuk… Untuk…?” bingung aku menjawab pertanyaan yang tiba-tiba menjadi soalan besar yang menjelma menjadi momok yang mengerikan. Ketika aku minta bantuan sama Kojek, ia malah menuding-nudingku dengan gesture ‘Hayoo… Mampus kau…’ gitu gayanya sambil terus nyemil sampe pipi kempotnya penuh makanan.
“Bingung, kan?” kata Iyon.
Aku membenarkan ucapannya. Iya-ya. Untuk apa dia selama ini mengirimkan belasan binor untuk kuhamili? Kenapa tidak dari awal saja ia mengirimkan serangan para peri ini untuk membuatku bersinggungan dengan masalah kelima permata peri ini? Malah di momen kemunculannya yang kesekian kalinya sebagai dalang sebenarnya, baru ia menyodorkan masalah permata peri.
“Dengan segala macam taktik yang sumpah itu sangat rumit sekali untuk mempengaruhi banyak perempuan untuk dengan suka rela menyerahkan tubuhnya sama kau… heh… Sampe rela dihamili… Anak yang dikandungnya bukan dari suaminya… Apa tujuan dari itu semua?… Ini sudah berbulan-bulan berlangsung… Pastinya dia sangat sibuk di belakang layar melakukan ini semua… Tentunya dia gak bodoh melakukan ini semua tanpa alasan… Kalo kubilang cuma ngenak-ngenakin kau aja-nya… dapat binor sampe berapa? 12… 13?” cerocos Iyon. Kali ini kami sedang ngumpul-ngumpul di sebuah kede kopi sederhana di belakang sebuah Universitas swasta yang terkenal di tengah kota.
“14…”
“Nah… 14… Itu udah bunting semua, kan? Apa gak ngenak-ngenakin kau itu namanya? Apa untungnya sama si Lord Purgatory itu? Padahal jijik kali dia kurasa sama kau, kan?” sambungnya lagi lalu menyeruput kopi miliknya.
“Trus apa rencanamu?” tanya Kojek masih mengunyah kacang Sihobuk yang garing. Udah setumpuk tinggi kulit kacang yang habis digerogotinya. “Mau ke kerajaan peri laut ato ke kerajaan peri pelangi dulu?” katanya sambil mengupas satu kacang baru yang berderet panjang sampe isi 4. “Kalo ada waktu nanti kami bantuin…”
“Nah itu… Bagusnya yang mana dulu?” tanyaku akan pendapat dua sahabatku ini.
“Ke sana mau ngapain dulu? Mau perang ato mau… ngentot?” tanya Iyon lancangnya. Pada kata terakhir, ia memelankan suaranya agar tak terdengar pengunjung kede kopi lainnya.
“Ahh… Bulan puasa nih, Yon… Kimbek juga kau kurasa…”
“Heleh… Puasa gak ada yang taraweh malah di kede kopi…” sindir Kojek.
“Kalo ngajak perang kerajaan peri pelangi… kekuatanku kalah jauh… Pasukannya dua ratus peri pelangi… Total sama warganya 500… Sementara wargaku cuma 19… Gak sebanding, kan?” paparku tentang hitungan logis kekuatan matra pasukan.
“Tantang wan de wan (one the one, satu lawan satu) aja pemimpinnya… Yang kalah harus menyerahkan permata miliknya… Pasukan mereka dan wargamu tetap aman tak terluka… Ini kerusakan yang paling minimal…” kata Iyon bersandar di kursi plastik sambil melipat tangannya.
“Itu juga yang diusulkan ketua kelompok petarungku… Eka… Tapi untuk mendekati Istana Pelangi saja sudah sulit… konon lagi menyampaikan tantangan itu… Pemimpinnya dikawal ketat dan dijaga berlapis… Takutnya kita keduluan Lord Purgatory dengan pasukan gabungan zombie-nya…” khawatirku. “Ia akan menyerbu kerajaan peri pelangi dengan kekuatan besarnya… Mendapatkan permata milik peri pelangi… Dan yang terakhir… adalah rubi api milikku ini…”
“Tunggu dulu… Mahkota rubi apimu ini dulu dimiliki sama bawahannya Lord Purgatory, kan? Si Fatima-Fatima kuntilanak hitam itu? Kenapa gak diambil aja dulu dari kemaren-kemaren? Gak heran klen?” potong Kojek dengan kening yang berlipat-lipat.
“Kenapa dia harus sibuk-sibuk ngerecokin kau, Seng kalo sebenarnya permata peri pertama itu ada di depan matanya? Dengan segala macam rencananya… gak mungkin kalo dia gak tau rubi api di mahkota itu yang dia cari… Rubi merah sebesar itu pulak…” sadar Iyon juga.
Aku hanya bisa menatap mereka dengan melongo. Berbagai skenario berseliweran di dalam kepalaku seperti kilatan-kilatan blitz kamera. Rentetan kejadian yang sudah kualami. Runtutan peristiwa yang menimpaku. Tidak mungkin itu semua hanya kebetulan belaka. Pasti ada maksud dan makna di dalamnya. Plak! Ide masuk ke kepalaku.
“Mungkin memang dia tidak tau…” gumamku. Gantian mereka berdua yang melongo.
Aku memaparkan teori out of the box tentang Lord Purgatory yang tiba-tiba merasuk ke dalam otakku yang biasanya berisi program harian produksi, laporan harian produksi, daftar inventory bahan baku, daftar barang keluar-masuk dan sedikit mesum dengan binor. Lengkap dengan fakta dan bukti yang mendukung teoriku.
Dari ucapan Lord Purgatory sendiri yang mengatakan agar jangan menyepelekan motifnya, aku mendapat kesan kalo awal-awal kiprahnya, dia sendiri tidak yakin apa tujuannya melakukan ini semua. Awalnya ia hanya ingin menghancurkan keluargaku dengan membuatku berselingkuh dengan perempuan pertama; Aida (Namanya tidak kusebut pada mereka berdua). Saat aku lagi hanyut-hanyutnya di dalam affair yang menyebabkan binor itu hamil… BOOM! Ia meledakkannya dengan membocorkannya pada orang rumahku.
Rumah tangga mana yang bisa bertahan dari skandal seperti itu?
Tapi ia mengulurnya… Ada 3 bulan masa jeda setelah Aida positif hamil dan suguhan godaan binor datang lagi bergelombang. Tiga binor menyergapku sekaligus. Yuli, Iva dan Pipit (Nama ketiganya juga tidak). Di sini dan seterusnya rencananya sudah berubah. Lord Purgatory ingin membunuhku secara tidak langsung melalui tangan berbagai entitas mahluk ghaib yang semakin lama semakin kuat dan semakin berbahaya saja. Aku dan kedua teman Ribak Sude-ku juga sempat babak belur di tangan beberapa musuh. Mungkin kalo rencananya ini berhasil, dirinya akan langsung menemui istriku—menggantikanku.
Lord Purgatory adalah mahluk yang oportunis dan fleksibel. Gagal dengan cara satu, ia berpindah ke rencana lainnya.
Selama ini ia sudah menjalin banyak relasi dan kolega di dunia ghaib/supranatural dengan status dirinya yang aneh. Berbagai macam tokoh dan jin tentunya akan penasaran dengan dirinya yang berbeda dari entitas biasa yang sering kontak dengan mereka. Ia bahkan bisa berteman dengan tokoh sekelas Teuku Amareuk dan Batara Kala. Untung saja kami masih beruntung bisa terbebas dari itu semua.
“Jadi maksudmu… Masalah permata peri ini-pun sebenarnya dia baru tau?” tak kurang Iyon melipat-lipat kulit keningnya.
“Ya… Gak ada lagi binik orang yang datang padaku… Bahkan yang udah masuk dalam daftarnya aja sekarang dibatalin… gak diurusin lagi…” kataku mengenai binor bermasalah di 3R itu; Cherni, Neneng dan Aisa. “Harusnya ada 3 perempuan lagi yang direncanakannya untuk kugarap… tapi sekarang mana?… Gak ada gerakan sama sekali… Mereka juga sekarang adem ayem aja… Awal-awal dulu… beuh… Ku-spik-spik dikit lagi aja pasti pada ngangkang…” paparku.
“Jadi dia baru tau tentang 5 permata peri itu dan mengalihkan targetnya ke sana untuk mengumpulkannya semua?” simpul Kojek mengangkat satu butir kacang itu tak kunjung masuk ke mulutnya—malah jatuh. “Belum lima menit…” dipungutnya dan masuk ke mulut.
“Untuk apa kalo kelima permata peri itu udah terkumpul?” tanya Iyon. Seperti ini harusnya diskusi yang membangun dan seperti inilah kami dari dulu.
“Menguasai dunia mungkin?” tebakku.
“Bah! Klise kali maunya…” sinis Iyon. “Gak pilem super hero ini…”
“Menghidupkan Bobi…”
Aku dan Iyon sontak menatap tajam pada Kojek dengan melotot. Benar juga. Itu motif yang sangat kuat. Menghidupkan tuannya yang sudah mati itu. Kalo dia benar-benar seperti Ameng yang bertuankan Vivi, tuan Lord Purgatory adalah Bobi. Jadi sangat masuk akal kalo tujuan akhirnya adalah menghidupkan kembali tuannya. Menghidupkan Bobi Putranto kembali.
Itu sihir kelas dewa.
“Cermin milik dewi kahyangan bisa menghidupkan orang mati?” gumam Iyon hampir tersedak. Buru-buru ia mensesap kopi miliknya dan serbuk kasar kopi tubruk itu malah mengotori tenggorokannya. Sampe terbatuk-batuk.
Itu sihir yang menyalahi kodrat. Yang sudah mati tidak bisa dihidupkan kembali.
Benarkah?
Tak ada angin dan tak ada hujan. Bumi seperti terjungkang gonjang-ganjing. Tubuhku terasa melayang juga berbagai benda di sekitarku. Meja plastik dan taplak lusuhnya beserta beberapa gelas kecil berisi kopi pesanan terlontar, menumpahkan isi cairan hitam dan bubuk lembabnya. Iyon berputar-putar di depan mataku dengan mata kaget melotot. Belum lagi si Kojek yang menuju ke arahku dengan mulut terbuka. Mataku bergeser cepat dengan horor. Jangan sampe kami french kiss kek hombreng di kecepatan yang mengejutkan ini.
Mataku yang lumayan terbiasa dengan kecepatan begini walo masih rabun tak menyangka akan terjadi begini. Ada semacam kekuatan yang luar biasa kuat sedang menyapu—menyerang kami semua berikut kede kopi dan semua penghuninya.
Suara bising benda-benda pecah, rusak, keluhan orang-orang kesakitan berbarengan dengan umpatan membahana di tempat ini. Tenda terpal yang menjadi atap kede kopi sederhana ini terbang melayang menabrak pohon besar yang tumbuh di tepi jalan. Berbagai perabotannya berantakan tunggang langgang. Ada yang patah, terutama perabotan kayu. Ada yang pecah terutama kaca steling (etalase display) kede kopi dan gelas-gelas sajinya. Tak terbayang berapa kerugian yang dialami si empunya usaha ini. Belum lagi yang terluka.
“Awas kao, Jek!” dorongku. Kami berdua meludah-ludah dan menggosok mulut karena cipokan biadab yang kek kimak barusan. “Sial kali aku, Jek! Kimak!” makiku. Kami berdua ada di bawah meja. Baju kami berdua bernoda kopi lengkap dengan bubuknya.
“Kimak! Aku-pun sial jugak!” umpat Kojek berguling meludah ke sana kemari.
“Itu!” seru Iyon menunjuk pohon besar yang banyak tumbuh di sekitar jalan ini. Ada sebuah taman yang asri di depan kampus ini. Ada sebuah potongan martabak manis di atas kepalanya yang segera ditepisnya bersamaan dengan munculnya sebuah cambuk di tangannya. Ada sesosok bayangan gelap di atas pohon yang dengan cepat melompat menyabetkan senjatanya lagi.
Gila! Serangan tak berbentuk semacam itu yang sudah menyebabkan ini semua tunggang langgang?
Kami bertiga sontak menyelamatkan diri. Tapi tak bisa menyelamatkan puing-puing kede kopi yang searah dengan posisi kami yang sudah luput. “WUUuuuttt… SPPAARRR!!!” Iyon menyempatkan diri melecutkan cambuk senjatanya pada energi serangan cepat. Alhasil Iyon malah terlempar jauh sekali karenanya dan hilang di gelapnya malam.
Aku dan Kojek berpencar untuk mengepung penyerang kami itu. Kami sama sekali gak memperdulikan sekitar kami karena kalo dibiarkan, penyerang ini bisa menyebabkan masalah yang lebih serius pada lingkungan dan masyarakat.
Kojek mengeluarkan kekuatan terbarunya itu dan muncul sayap di punggungnya. Ia bergerak secepat sinar dan melesat ke arah penyerang pengecut itu. Aku menunggu momen yang tepat untuk bergabung dalam pertarungan dan segera insting petarungku mengatakan kalo lawan bukan hanya satu dan benar saja. Mandau-ku berdenting saat kutangkis sebuah serangan yang menyasarku dari samping. Gerakan dua sosok ini sangat cepat. Hanya berupa kelebatan bayangan kabur saja.
Habis menyerang, ia langsung mundur. Serangannya tidak sedahsyat temannya, padahal aku sudah mengerahkan energi lini semaksimal mungkin untuk menahannya. Aku hanya mundur terseret satu langkah saja. Mataku segera menangkap siluet putih bagian kepalanya yang memakai topeng. Mungkin itu rambutnya yang berkibar saat bergerak cepat. Aku langsung teringat peri rambut putih. Peri Dawala?
Aku berputar di udara setelah melenting dan menyiapkan satu serangan pamungkasku dengan menggunakan kaki. Kedua kaki sekaligus. “Syuuutt…”
“GUGUR GLUGUR!”
Sosok berambut putih itu berhenti di jalur gerakannya. Sesaat aku bisa melihat dengan jelas sosok tubuhnya. Tubuh peri berpakaian putih-putih dan rambutnya seputih salju. Ia memakai topeng.
“WUUFFF!!”
Sial. Gugur Glugur-ku tak membuahkan hasil. Kedua kakiku yang memakai bakiak Bulan Pencak membentur sebuah perisai kecil yang berkilat seperti terbuat dari besi krom di motor Ninja. Berkilauan kinclong. Ini jarang sekali terjadi. Jurus andalanku dengan bakiak ini ditahan dengan sukses. Tenaga dahsyatnya seperti diredam dengan mudah. Apa ini perisai quarsa moonstone itu?
Aku melenting mundur dan menyiapkan satu serangan lagi begitu ia bergerak. “GUGUR GLUGUR!!” lebih pada penasaran.
Seranganku menerpa ruang kosong dan dengan cepat ia berputar dan mengibaskan perisai itu ke arah kepalaku. “SPAANKK!!” mandau Panglima Burung kusilangkan di depan leher dibantu ditahan dengan tangan dari menghantam mukaku dengan telak. Tetapi tenaga lontarannya sangat kuat dan aku tak dapat menahannya dengan sempurna. Aku terhentak dan melayang, terhempas.
“Uaakkhh…” aku bersalto memecahkan momentum lontaran itu dan menjejakkan kakiku ke tanah. Ini aspal, kimak! Aku mendarat di tengah jalan. Sebuah mobil yang melaju di jalan tiba-tiba mengejutkanku dengan sinar headlamp-nya yang menyilaukan. Ini pasti lampu LED yang dilarang polisi itu. Kukibaskan mandau dengan lambaran jurus pedang Selatan untuk menyelamatkan diri. Siapa yang mau tertabrak dan pasrah-pasrah aja.
Aku enggak…
“Pedang Selatan Mengiris Lautan…”
Bagian moncong mobil Kijang itu langsung hancur berantakan. Fender depannya yang mencium aspal menghentikan lajunya membuat kendaraan roda empat yang banyak wara-wiri di seantero Indonesia ini terjengkang ke depan. Bagian belakangnya terangkat 45° sebentar lalu jatuh kembali menghantam aspal.
“Bugghh!” sebuah lontaran tenaga yang kuat menyapuku dari tengah jalan. Sumpah rasanya jauh lebih sakit kalo dibandingkan ditabrak Kijang tadi. Ini seperti diseruduk tronton puluhan ton yang lagi drag-race dengan mesin jet pengganti tenaga geraknya. Entah apa yang saat ini kutabrak sampe beberapa kali karena ada beberapa kerusakan yang terjadi di sekitarku. Samar-samar di kegelapan dan cahaya mercury lampu jalan dan lampu taman, sebuah pohon besar di tepi taman tumbang, mungkin itu pagar beton pembatas taman di depan kampus.
Saat ini aku masih kebingungan karena terduduk di samping puing bangku taman yang terbuat dari beton. Si penyerangku entah kabur kemana. Dadaku terasa sakit saat kuraba. Jangan sampe ada yang patah. Untunglah semua masih utuh. Serangan tadi lumayan dahsyat. Kepalaku masih puyeng tetapi untung tidak ada yang luka. Apakah mantel rubah hitam ini yang memperkuat tubuhku? Bakiak Bulan Pencak-ku lepas entah dimana, tapi aku tak khawatir. Benda itu bisa melindungi dirinya sendiri.
Kelebatan cepat berdesing di atasku. Kilau perisai kecil itu yang segera tertangkap netraku. Peri berambut putih itu melakukan gerakan Full body impact yang tak lazim menggunakan perisai tangguh itu. Kedua tangan dan kedua kakinya ditumpukannya ke balik perisai itu ditujukan untuk menghantam. Empat tenaga tekanan yang luar biasa dari peri itu ditambah kesaktian perisai menambah parah kerusakannya nanti.
Siapa yang mau mati kontol? Konyol maksudnya.
“WROOOZZZZ!!”
Dari mulutku kutembakkan sinar panas itu langsung ke tengah perisai itu. Tak disangka, aksiku ini menahan serangan yang akan menghancurkanku dengan tenaga dahsyatnya. Benda itu beserta mahluk yang memakainya mengapung di udara kehilangan momentum lesakan terjangannya. Bias sinar thermal ini terpecah menjadi bagian-bagian kecil, buyar tetapi menahan lawan di udara. Dari kilau terang itu, aku melihat gerakan mengintipnya dan terjadi sesuatu pada perisai itu…
Ada sebuah mekanisme yang membuka sebuah kisi kecil berisi sebuah batu berwarna putih yang segera berbenturan dengan sinar thermal-ku. “WYYUUUuuutt!!” sinar panas ini memantul dan menghantam puncak sebuah pohon beringin yang tumbuh di tengah taman.
“DHHHARRR!!” suara ledakan dahsyat menggelegar dan tembakan sinar thermal ini kuhentikan. Deras peri berambut putih dan bertopeng itu menerjang ke arahku. Saatnya mencoba jurus baruku. Mandau Panglima Burung kulepas. Kedua tinju tanganku mengeluarkan api. Terasa energi menggelegak serupa magma gunung berapi di kerajaan Mahkota Merah yang baru bertumbuh.
“HYYYAAAAAA!!!” teriakku sekencang mungkin sambil menghantamkan pukulan dua tinjuku yang diperkuat kuda-kuda memakai bakiak Bulan Pencak yang kupanggil kembali pada tubrukan perisai berkilau ber-permata putih yang hendak menghantamku itu. Tanah tempatku berdiri rengkah, menekuk dengan serpihan tanah meletus tak tahan. Kupertahankan kekuatan kakiku dengan Kuda Besi, kuda-kuda silat dasar. Benturan yang terjadi antar tinjuku dan perisai itu sangat luar biasa. Senjata ini sangat kuat ternyata. Sebagai alat defensif juga efektif sebagai senjata ofensif. Daun-daun dan ranting pohon di sekitar kami tercabik-cabik oleh lesakan energi.
Dorongannya maju mendesakku, lebih karena satu tanganku kutarik membarakan api panas yang lebih besar.
“DDOOOUNGG!!” kuhantam perisai itu hingga berbunyi nyaring. Paving blok penutup tanah taman ini tercerai berai saat energi luar biasa terlepas membentuk radius 4 meter. Orang pertamanan Pemko Medan pasti bakalan bingung dengan kerusakan yang kusebabkan ini. Suara nyaring bak memukul gong itu berhasil mendorong peri Dawala itu mundur. Ia hanya melentingkan badannya bersalto ringan dan bersiap untuk menyerang kembali bertumpukan perisai berbentuk seperti lambang sila di dada burung Garuda Pancasila itu.
“Kyaaaaaaaa!!” dari kejauhan terdengar teriakan suara wanita. Suara itu mengalihkan kami berdua, terlebih dirinya. Ia kelihatan gusar dan tak lagi memperdulikanku. Ia meninggalkanku dalam keadaan kentang begini. Padahal aku sudah bersiap-siap untuk seru-seruan, kalo perlu habis-habisan. Apakah Kojek berhasil mengalahkan teman peri rambut putih itu?
“WOOOYYY!!” teriakku sekuat-kuatnya untuk mencegahnya pergi lebih jauh. “KAU MAU KEMANA?! AYO TARUNG LAGI!! INI BELUUUM SELESAI!!” jeritku kek orang senget (gila). Peri itu hanya melengos dan tak memperdulikanku, terus pergi menuju suara teriakan temannya itu. Kukejar dia kemanapun ia pergi.
Sepertinya ada kekacauan dimana-mana. Aku sudah menghancurkan sebuah mobil Kijang yang hampir menabrakku, pagar taman, bangku taman, paving block dan membakar pucuk pohon beringin besar di taman ini. Mobil itu masih ada di tengah jalan dan dikerumuni banyak orang. Di kejauhan juga ada kekacauan lain yang berada di simpang 4 jalan. Ada titik api yang berasal dari kebakaran. Sepertinya ada beberapa mobil yang terbakar. Kerjaan siapa ini? Kojek ato Iyon?
“JDDDHHHARRR!!!” diperparah lagi dengan ledakan dahsyat. Ledakan dari satu mobil menyebabkan ledakan pada mobil lain yang juga terbakar. Waduuuh…
Aku menekadkan diri mendekat ke pusat kekacauan. Panas api yang berkobar-kobar tak terlalu kupedulikan. Aku melihat peri rambut putih bertopeng itu lari ke arah sini. Kepalaku celingak-celinguk mencari tanda-tanda dirinya. Sinar silau dari kobaran api menyilaukan pandanganku.
“Seng! Sstt.. Piwiiit…” panggil satu suara dari balik tiang lampu merah. Itu Iyon! Dimana Kojek? Ia sepertinya bersembunyi di situ. Ia menunjuk-nunjuk pada seberang jalan, di pulau jalan yang membatasi dua jalur jalan. Kojek ada di balik sebuah bak beton tanaman hias. Kenapa mereka harus bersembunyi seperti itu?
Aku jadi ikut-ikutan bersembunyi bersama Iyon di balik tiang lampu lalu lintas ini. “Ada apa? Kok klen sampe berondok (sembunyi) kek gini?”
“Gawat ini, Seng… Gak segan-segan orang itu ngancur-ngancurin mobil masyarakat…” jawab Iyon.
“Orang siapa?”
“Peri! Maksudnya peri itu… Rambutnya putih, baju hitam dan pake pedang hitam… Cukup kuat jug… Awas!!” seru Iyon menarik tubuhku agar lebih menelusup di balik beberapa tiang ini. Sebuah bangkai mobil yang sedang terbakar terlontar begitu saja disamping kami, berguling-guling lalu diam dan terus membara, mengepulkan asap hitam.
“Siapa yang bertarung dengannya?… Tadi kudengar suara teriakan perempuan… Eh?” Iyon menarik tubuhku buru-buru menjauh dengan tunggang langgang. Setelah menjauh dengan melompati pagar bangunan di dekat trotoar di samping kami, baru aku bersyukur mengurut dada setelah tau alasannya. Sebuah mobil lain menghantam tiang lampu merah itu hingga tumbang. Mobil itu tidak terbakar tetapi keadaannya tentu ringsek.
“Bapak-bapak, ibu-ibu… adek-adek… Ngumpet aja dulu disini ya sampe aman… Ini sangat berbahaya… Mungkin ini teroris ato apa gitu… Pokoknya kita cari aman aja, ya?” Iyon memberi instruksi pada beberapa orang yang ternyata juga bersembunyi di balik pagar beton ini. Iyon kalo sampe melakukan demikian berarti ini memang sangat gawat. Pertarungan peri malah sampe melibatkan warga di dunia nyata. Tapi mereka berdua melawan siapa?
Ketika kuintip, peri berambut putih dengan perisai itu terlontar dari tengah kekacauan. Ia melentingkan tubuhnya bersalto untuk mendarat di aspal dengan mulus kembali. Ia menerjang kembali dengan gagah beraninya. Aku masih bingung dan terjawab ketika dari dalam bayangannya yang tercipta dari lampu jalan di belakang, muncul peri lain. Berambut putih juga, tetapi pakaiannya hitam dan menghunus pedang berpamor hitam. Keduanya bersisian berlari menuju simpang 4.
Peri baju putih itu menggerakkan perisai kilapnya dan peri baju hitam itu menghilang. Sudut bayangan miliknya berganti akibat kilapan cahaya perisai dan peri baju hitam yang baru menghilang itu muncul kembali di ujung sana, keluar dari ujung bayangannya. Ia langsung menyabetkan pedang hitamnya. Dua mobil terbakar yang dekat dengan tebasannya itu terbang melayang seperti menghembus kertas tipis saja layaknya. Lalu dua mobil malang itu tercincang-cincang dengan mengenaskannya.
Aku hanya bisa menganga kaget.
Ada peri lain yang sedang mereka hadapi. Berambut hitam panjang tetapi kondisi tubuhnya tidak lazim. Sayap aneh berupa asap hitam, tangannya juga aneh dan banyak luka-luka di tubuhnya. Apakah ini definisi zombie peri Candrasa itu?
Aku pernah diberitahu Eka kapan hari kalo arti lain dari Candrasa adalah pedang sehingga peri Candrasa adalah para ahli pedang terbaik di kalangan peri. Mentang-mentang ahli pedang, si Lord Purgatory bangsat itu harus memotong kedua tangannya dan menggantinya dengan pedang?! Hilang semua esensi keindahan yang seharusnya dimiliki peri Candrasa itu.
“Tadinya kami cuma bertarung dengan peri rambut putih baju hitam itu aja… Sekonyong-konyong nih… zombie itu muncul entah darimana meminta pedang hitam yang dipakenya… Liat ancur-ancuran semua jadinya, kan?” jelas Iyon tentang kejadian sebelumnya.
“Kita harus menghentikan pertarungan itu… Bisa-bisa kekacauannya malah tambah meluas… Bentar-bentar lagi polisi pasti datang kemari… Dan mereka pasti gak akan bisa melihat sumber kekacauan ini… Cuma kita bertiga yang bisa melihat ini semua…” kataku gak sabar.
“Makanya kami berondok, Seng… Terlalu banyak saksi mata di sini… Kalo mereka semua melihat kita lompat-lompat… lari-lari teriak-teriak… pasti kita yang jadi tersangkanya… Liat aja itu… Ada yang ngerekam segala pake HP-nya…” tunjuk Iyon pada satu sudut jalan. Tak hanya satu, ada banyak yang mengabadikan kejadian ini dengan kamera HP mereka, pengen viral.
“Jadi cemana?”
“Panggil peri merahmu… dan seret ketiga peri yang sedang bertarung itu ke daerah kekuasaanmu… Di sana mereka ribut sampe mampus juga aman, kan?” jelasnya cerdas.
“Setuju-setuju…” aku segera memanggil Eka, Dwi dan Tri untuk tugas berbahaya itu. Mereka hanya perlu menarik ketiga peri hitam-putih itu untuk memindahkan lokasi pertarungan seru mereka. Sementara Iyon memanggil Kojek agar bergabung dengan kami di tempat ngumpet ini. Dengan mudah Kojek berpindah tempat dengan kecepatan sinarnya.
“Kalian paham tugas kalian? Tidak perlu bertarung dengan mereka… Cukup hanya sentuhan yang membawa mereka ke kerajaan kita… Ke lapangan luas di dekat gunung berapi kalo bisa kalian usahakan karena mereka bertarungnya brutal dan cenderung merusak… Mengerti?” briefing-ku pada mereka bertiga yang paham dan patuh atas instruksiku. Ketiganya langsung mengendap-endap untuk mendekati target mereka. Pas jumlah anggota kelompok petarung dengan jumlah pengacau kota saat ini. Mereka yang paling tepat untuk tugas ini.
“Ngiri aku, Seng ngeliat kau punya warga kerajaan kek gitu… Udah kau apain aja?” tanya Iyon.
“Paling udah dikentotnya juga-nya itu… Kontolnya mana bisa diam ngeliat yang bening kek gitu gak dicucuk-cucuk…” Kojek ikut menimpali.
“Mana ada kuentoti mereka…” jawabku sengit. Peri Aruna belum ada yang kuentot. Peri Padma aja-nya. Entah bagaimana perkembangan tiga telurnya saat ini.
“Eh, itu!” tunjuk Kojek. Ketiga peri Aruna dari kelompok petarung langsung menyergap target mereka yang lumayan kaget dengan serangan mendadak ini dan langsung membawanya pergi menghilang menuju kerajaan Mahkota Merah. Sukses!
“Yuk-yuk-yuk!”
Aku juga membawa kedua sobatku itu ke daerah kekuasaanku yang kini meningkat menjadi kerajaan Mahkota Merah. Dan langsung muncul di kaki gunung berapi dengan penambahan penggunaan energi lini untuk menentukan arah. Ketiga peri hitam-putih itu kembali meneruskan pertarungan mereka yang cukup keras dan brutal. Serangan-serangan mematikan silih berganti dilancarkan. Aku tau betul kekuatan dua peri berambut putih itu karena aku sudah merasakan pertarungan keras dengan salah satunya.
Kedua peri Dawala berambut putih bertopeng ini tarafnya sudah setara dengan 19 peri Aruna-ku karena sudah memiliki pakaian. Entah siapa yang memberi keduanya pakaian lingerie ini pada mereka. Sepertinya mereka baru mulai memperhatikan sekelilingnya karena semua warga kerajaan Mahkota Merahku sudah berkumpul disini. Perhatian mereka agak terpecah dengan begitu banyaknya lawan yang harus mereka hadapi nanti.
Sedangkan zombie peri Candrasa itu sama sekali cuek saja. Apalagi kondisi tak berpakaiannya hingga luka-luka sayat di tubuhnya terlihat dengan sangat jelas. Zombie peri Candrasa itu tidak seperti zombie yang bergerak asal-asalan saja untuk memperturutkan rasa laparnya semata. Zombie ini dapat bergerak efektif, bisa bela diri tingkat tinggi dan sadar akan tujuannya. Kedua bilah pedang itu di jejalkan di pergelangan tangannya yang putus lalu diikat dengan tali kulit dengan erat. Pedang kualitas terbaik dari besi hitam peri Candrasa diasahkannya berulang-ulang satu sama lain untuk menjaga ketajamannya.
Zombie itu merangsek maju lagi dan peri Dawala berpakaian hitam itu yang selalu diincarnya. Gerakannya cepat tetapi polanya sangat acak tetapi arahnya pasti ke peri Dawala baju hitam itu. Pedang yang merekat di tangan kanannya disabetkan dengan cepat dengan gerakan yang luar biasa tangkas lalu menyusul pedang di tangan kiri dari arah putaran sebaliknya. “Kembalikan~~…” erangnya dengan suara parau berulang-ulang.
Peri Dawala berpakaian hitam itu menangkis dengan pedang besi hitam miliknya. Pada pangkalnya berkilauan sinar yang indah, seperti ada sebuah batu mulia yang melekat di sana. Tunggu dulu, peri Dawala berpakaian putih memiliki perisai kuarsa moonstone itu dan rekannya yang berpakaian hitam memiliki pedang onyx hitam? Bukannya pedang itu harusnya dimiliki oleh kerajaan peri Candrasa?
Dan zombie itu bilang ‘kembalikan’. Apakah zombie ini meminta pedang onyx hitam itu dikembalikan pada pemiliknya. Apakah zombie ini adalah pemimpin para peri Candrasa? Masuk akal ia bisa menandingi semua kedahsyatan dua benda pusaka yang mengeroyoknya. Lord Purgatory punya zombie kelas super di barisan tentaranya kalo begitu.
“Yon… Jek… Kita harus menahan zombie itu… Bagaimanapun caranya… kita harus menahannya untuk kita cari keterangannya…” bisikku pada kedua sobat Ribak Sude-ku.
“Siapkan juga wargamu… Ini akan rusuh…” kata Iyon mengulurkan sebuah senjata cambuk miliknya di tangan kanan dan muncul satu lagi di kiri. Jarang-jarang ia menggunakan dua cambuk sekaligus. Ia melirik pada Kojek yang tersenyum lebar.
“Yaa… Saat ledakannya menggema… kita mulai pestanya…” kata Kojek sudah memakai tabung gas peledak di punggung. Sayap besar seperti malaikat itu juga sudah muncul di punggungnya.
“Liat nanti aja gimana berjalannya ini… Kita gak tau apa kisahnya, pertarungan mereka ini gimana ceritanya…” kataku dan Whuuuzzz! Kojek sudah berlalu dari hadapanku dengan cepatnya. Aku gak bisa mengimbangi kecepatan itu karena bau gas busuk yang berasal dari tabung di punggungnya sudah tercium. Aku dan Iyon mundur mengambil jarak aman. Kuberi kode juga pada semua warga peri Aruna-ku untuk mundur ke jarak aman.
Hanya memerlukan sebuah pemantik untuk meledakkan ini semua. Bisa berupa percikan akibat beradunya dua logam ato sekedar gesekan korek api. Kedua peri Dawala itu sepertinya sudah membaui gas busuk itu tetapi zombie peri Candrasa terus mendesak keduanya hingga mereka terpaksa abai dan terus bertarung dengan sengit. Iyon dengan kecepatan tingginya sudah berputar-putar menebarkan gas itu dengan rata pada radius yang cukup. Decitan suara kakinya yang berhenti tepat di posisinya semula.
“Fire in the hole…” desisnya saat zombie peri Candrasa itu menyabetkan pedangnya dan ditangkis oleh peri Dawala baju hitam. Ada percikan yang terjadi, beradunya dua senjata besi hitam. Crk!
DHHHUUUUUAAAAAARR!!!
Sebuah ledakan dahsyat menggelegar merembet beruntun dari terbakarnya gas berbau busuk di pelataran luas yang menjadi arena pertarungan tiga peri asing itu. Apinya membumbung tinggi seperti cendawan dan topping asap hitam menekan, membakar apapun yang ada di sekitarnya.
“Lambung monster ini gak habis-habis mengeluarkan gas busuk meledaknya…” gumam Kojek yang berdiri tepat di depan kami, ia melepas topeng gas yang digunakannya agar tidak silau saat ledakan semacam ini terjadi. “Ayoo!” serunya lalu menghambur ke hadapan pada target kami bertiga. Perlu kami berdua; aku dan Iyon untuk meringkus zombie peri Candrasa itu dan Kojek sendirian menangkap kedua peri Dawala yang secara mengejutkan, masing-masing senjata mereka terlempar akibat ledakan barusan.
Iyon menggunakan kedua cambuknya untuk membelit kedua tangan berpedang zombie peri Candrasa lalu menekuknya di belakang punggung. Zombie dengan banyak luka itu tak dapat bergerak karena lehernya kutekan dengan kaki saat ia duduk bersimpuh dengan leher mendongak. Beberapa peri Aruna datang membawa rantai dan mengikat tubuhnya sampe seperti mumi. Zombie itu menggeliat-geliat berusaha melepaskan rantai yang membelenggu sekujur tubuhnya yang hanya bisa tergeletak di atas tanah. Rambutnya yang hitam legam berkilauan karena sinar matahari palsuku. Dilihat secara dekat, zombie peri Candrasa ini ternyata masih tetap cantik.
Bagaimana dengan Kojek? Ia juga berhasil menangkap kedua peri Dawal berambut putih itu. Ia menggunakan dua tangannya yang diperbesar dengan teknik Nabalga-nya. Aku dan Iyon baru tau kalo ia bisa hanya memperbesar tangannya saja. Bentuk tubuh Kojek jadi sedemikian ganjilnya—badan kurus tinggi kerempeng, lengan kurus lalu mulai siku tangannya membesar dan semakin besar pada bagian tapak tangannya yang mampu menggenggam seluruh tubuh dua peri Dawala itu bak tangan raksasa. Ia tersenyum penuh kemenangan karena keinginannya berhasil terpenuhi.
Kedua peri berambut putih itu tentu saja berusaha menggeliat melepaskan cengkraman tangan Kojek yang menggenggam kuat. Erangan mereka terdengar resah karena kaget berhasil ditangkap dengan cara mengecoh seperti ini. Bahkan senjata keduanya juga terlepas. Aku sudah memerintahkan pada peri Aruna untuk membawa zombie Candrasa itu ke sel di bawah tanah. Dan sekarang urusan Kojek dengan dua peri Dawala ini.
“Lepaskan aku!” geram peri Dawala berbaju hitam itu menggeliat kasar. Rambut putihnya pendek diluar topeng yang dikenakannya.
“Lepaskan kami berdua!!” teriak yang berbaju putih.
“Enak, Jek?” tanya Iyon. Maksudnya adalah kenyal-kenyal tubuh kedua peri yang menggeliat-geliat berusaha lepas. Kojek pasti dapat merasakan di jari-jarinya kenyal tetek kedua peri yang tubuhnya aduhai itu dan bagian tubuh montok lainnya.
“He hehehe… Enak… Padat dan mooontok!” pujinya akan kualitas bodi ginuk-ginuk dua peri Dawala yang secara kurang ajarnya digrepe-grepe dengan tangan raksasa jurus Nabalga-nya. Sempat-sempatnya Kojek menggerakkan ujung jari raksasanya untuk menowel-nowel gundukan dada mancung kedua peri berambut putih itu sambil terkekeh-kekeh gembira.
“Jeek… Jangan kelewatan kali gatalmu…” ingatku padanya sembari memegangi dua senjata pusaka yang barusan diserahkan padaku oleh satu peri Aruna-ku. “Biarpun mereka tawanan tapi jangan dilecehkan pulak…” sambungku juga memeriksa dua batu permata yang ada di perisai kinclong ini dan ujung pegangan pedang besi hitam ini.
“Mulus kali peri ini, Seng… Iya kan, Yon?” sahutnya yang bersama-sama Iyon sedang mengelus paha jenjang padat peri Dawala berbaju putih. Si Iyon cuma cengengesan aja membenarkan perkataan Kojek. Siapa suruh juga dua peri itu memakai pakaian seseksi itu sehingga memantik sifat usil Kojek dan Iyon untuk ngisengin mereka. Pakaian manusia berbentuk lingerie one piece full renda berbentuk baju renang transparan. Motifnya hampir mirip hanya berbeda warna saja.
“Udahla, woy… Kasian, woooy…” kataku mencoba menghentikan keduanya dari melecehkan lebih lanjut kedua peri itu. “Mereka gak pantas diperlakukan begitu… Teman-temannya yang lain semuanya udah jadi zombie kek yang itam tadi… Mungkin mereka berdua ini saja yang masih tersisa…” lanjutku lagi.
“Iya-iya…”
Aku lalu membuka topeng penutup muka kedua peri Dawala itu. Ternyata memang cantik-cantik, secantik bodinya yang aduhai. Iyon berkomentar mungkin gak ada peri yang jelek kali, ya? Kojek juga membenarkan itu. Padahal kami belum bertemu peri biru dan pirang. Entah mereka cantik juga ato tidak.
“Apakah kalian punya nama?” tanyaku pada siapa saja diantara dua peri Dawala itu. Reaksi mereka tidak senang tetapi bungkam. “Bukan bermaksud apa-apa… Aku hanya ingin berkomunikasi dengan mudah pada kalian berdua… Namaku Aseng… ini Iyon dan yang sedang menahan kalian berdua ini namanya Kojek…” lanjutku memperkenalkan siapa-siapa saja yang ada di sekelilingku. “Yang ini namanya Eka… Dia ketua kelompok petarung kerajaan Mahkota Merah… Yang ini…” lanjutku memperkenalkan tiap peri Aruna yang tersisa di sini. Tapi sepertinya mereka berdua hanya tetap bungkam gak mau membocorkan apapun.
“Kita hanya perlu menyiksanya seperti peri Padma itu, baginda raja…” kata Eka dengan muka ketatnya di hadapan peri Dawala itu.
“Itu tidak terlalu perlu Eka… Bagaimana kabarnya peri Padma itu di dalam kawah?” lirikku pada puncak gunung yang semakin tinggi saja sekarang. Asap dari puncak gunung masih membumbung tinggi.
“Telurnya belum menetas, baginda raja… Warnanya belum sepenuhnya merah… Masih ada semu putih… Mungkin beberapa waktu lagi…” jawab Eka memberi update terbaru tentang peri Padma yang sedang menjaga dengan tekun ketiga telurnya di kawah magma cair di atas sana. Terakhir kali kali kubuahi peri Padma, yang awalnya tawanan, kini malah jadi penghuni gunung berapi yang baru tumbuh itu.
Ada satu hal yang membuatku penasaran—lebih tepatnya dua.
“Apakah ini biduri bulan (moonstone) peri Dawala?” tanyaku pada peri yang berbaju putih dengan menyodorkan bagian depan perisai yang bagian tengahnya ada permata transparan berbias biru elektrik. “… dan apakah ini onyx hitam peri Candrasa?” sodorku bagian ujung gagang pedang besi hitam itu dengan permata hitam yang sangat berkilat pada yang satunya lagi.
Dari ekspresi kedua peri Dawala itu, aku bisa tau jawabannya.
——————————————————————–
Kami berpisah di tempat yang sama terakhir kali kami berada. Iyon membawa Kojek pulang ke rumahnya di Porsea sana. Sementara aku harus pulang cepat-cepat karena kekacauan ini sudah mulai mengundang polisi. Sepanjang jalan menuju mobilku yang diparkir disana, aku menemukan kehancuran. Sebatang pohon besar yang tumbuh di tepi jalan tumbang, terpotong bersih melintang di tengah jalan. Beberapa mobil dan motor yang diparkir di pinggir jalan terbakar.
Mampos aja! Pajero-ku juga ikut terbelah dua dan terbakar…
Kekhawatiranku menjadi nyata. Mobil mahal yang diberikan padaku oleh kak Sandra terpotong dengan indahnya di bagian tengah. Ini pasti karya si peri Dawala berbaju hitam itu dengan kekuatan pedangnya. Aku harus memastikan dia mendapatkan hukuman atas perlakuannya ini.
Tapi anehnya aku tidak sedih. Sedih karena kehilangan mobil mahal ini. Sebelumnya aku tidak punya mobil dan aku bisa beraktifitas mengendarai Supra X 125-ku dengan lancar. Bukannya tidak menghargai pemberian kak Sandra sebagai ‘upah’-ku menghamilinya, mungkin lebih karena aku tidak membelinya dengan uangku sendiri. Ini sekedar pemberian orang. Jangan terlalu terikat dengan harta yang bukan kau beli sendiri. Bukan juga berarti boleh terikat pada benda yang sudah mati-matian kita perjuangkan untuk miliki dan menjadikannya sebagai idola pujaan. Aku bisa dengan mudah membeli pengganti Pajero ini dengan uang kumiliki sekarang. Tapi apa gunanya?
Sebagai warga negara yang baik, aku terpaksa harus ikut memberikan keterangan di kantor polisi terdekat. Lebih karena kendaraanku ikut menjadi korban dalam kekacauan yang telah terjadi ini. Tak ada yang tau apa yang telah terjadi dan siapa pelakunya. Polisi meminta keterangan padaku tentang apa yang sedang kulakukan di tempat itu, dari jam berapa, bersama siapa, surat kendaraan itu. Mereka bukan bermaksud curiga, hanya mengumpulkan dan mencocokkan data. Aku paham. Hanya saja mereka tidak tau apa-apa dan aku juga tidak bisa memberitau mereka apa-apa.
Kecuali orang yang satu ini…
Ia menghentikanku di depan pintu juper lalu menyeretku menepi agar tidak menghalangi jalan orang lain yang baru keluar sambil nangis-nangis karena mobilnya hancur terbakar jadi bangke. Dan setelah kuingat-ingat, aku tidak mengenal orang ini.
“Ada apa, ya?” kepoku pengen tau apa maunya.
“Keberuntunganmu sudah habis…” ujarnya.
“Keberuntunganku? Habis?” ulangku hampir mau tertawa. Keberuntungan? “Maksudnya?”
“Keberuntunganmu sudah dikuras habis akhir-akhir ini untuk hal-hal yang tak kamu butuhkan… Kamu sudah tak punya keberuntungan lagi sampai akhir hayatmu…” jelas pria paruh baya dari etnis Tionghoa ini. “Kamu tidak merasakannya?”
Merasakannya? Apakah terbelah dan terbakarnya Pajero-ku adalah bagian dari habisnya keberuntungan itu? Jadi sial?
“Mobil awak terbelah dua dan terbakar… Apakah itu?” tanyaku.
“Yaa… Seperti juga kamu sudah menghancurkan mobil saya tadi… Saya lihat jelas sekali-woh… Kamu mengayunkan pedang itu ke mobil saya… Saya tadi hampir jantungan-woh…”
KIMAK! Ini pemilik mobil Kijang yang kuhancurkan tadi. Ini bagian sialku kalo begitu. Aku tertangkap basah oleh pemilik mobil yang sudah kuhancurkan tadi. Aku tentunya gak bisa beralasan kalo dia hampir menabrakku karena salahku ada di tengah jalan dan ia sudah berusaha mengerem. Aku mengayunkan mandau Panglima Burung untuk menghentikan mobilnya yang akan menabrakku. Ia bisa melihatku dan ingat akan mukaku saat insiden itu terjadi. Lampu LED silaunya berfungsi dengan sangat baik ternyata yang berguna untuk mengenali orang yang akan ditabraknya dan malah menghancurkan mobilnya.
“Kamu harus mengganti mobil saya…” katanya. Aku tidak kaget mendengarnya.
——————————————————————–
Aku dibawa pria paruh baya yang kutaksir umurnya sudah 55-60-an tahun gitu ke rumahnya. Kami berdua naik taksi dan dia yang bayar. Wah baik sekali, ya? Dan di sini aku duduk sekarang di ruang tamu rumahnya. Duduk sendirian sementara dia masuk ke dalam rumah. Mungkin menjelaskan pada istrinya kenapa ia pulang sedemikian telatnya. Rumah ini cukup mewah. Di garasinya yang besar pasti ada beberapa mobil lainnya. Dengan mataku yang lamur begini, aku tidak begitu jelas ada berapa orang yang ada di dalam foto keluarga itu.
Apakah mataku yang kembali rabun ini adalah bagian dari habisnya keberuntunganku—berganti dengan kesialan.
“Pak Aseng… Ini istri saya… Ini dia orangnya, ma…” pria itu muncul lagi membawa istrinya yang kira-kira sebaya dengan dirinya.
“Malam, bu…” aku berdiri dan menyalami perempuan itu. “Pak Santoso… awak akan mengganti mobil bapak dengan yang persis sama tipenya, warnanya dan pastinya tahun terbaru… Tidak usah khawatir…” kataku memandangi mereka yang mengambil tempat duduk untuk berbicara denganku.
“Ha ha hahahaha… Jangan terlalu sungkan, pak Aseng… Saya juga Menggala-woh…” sahut pak Santoso. “Saya tentu tidak akan melaporkan bapak ke polisi karena itu akan membocorkan keberadaan kita… Tenang aja, pak…”
Aku melongo.
“Pak Aseng yang anggota Ribak Sude itu kan, ya?” ujarnya lagi. “Saya gak sempat datang waktu pertarungan di hutan gunung Leuser itu… Maklum saya sudah tidak begitu aktif akhir-akhir ini… Pasti waktu itu seru sekali kan, ya?” wajah akrab dan riang yang kini tergambar di wajahnya. “Sebagai sesama Menggala dari golongan terang tentu kita harus saling menolong…”
Oo… Ternyata pria ini seorang Menggala juga. Mungkin dia seangkatan dengan abah Hasan mengingat umurnya yang sudah lumayan berbilang. Ia ngoceh di sana ngalor ngidul tentang kiprahnya selama ini yang lebih banyak berfokus di bidang fengshui yang sebenarnya sedikit berkorelasi dengan kemampuan Menggala-nya yang membaca lini pasien. Nasehat-nasehatnya kurang lebih sudah banyak membantu banyak orang melewati berbagai masalah. Tetapi tak dapat mengatasi masalahnya sendiri.
“Anak kami mendapat gangguan…” kedua pasangan tua ini saling menggenggam tangan untuk saling menguatkan menghadapi masalah yang mereka alami. Anak?
“Jin jahat merekatkan dirinya pada tubuh anak kami hingga sakit hingga bertahun-tahun… Bermula dari pemotretan untuk pernikahannya lima tahun lalu… Foto pre-wed itu berakhir bencana karena jin itu mengatakan mereka telah mencemarkan hutan bambu tempatnya tinggal… Sukma anak kami dibawanya hingga… hiks… hingga anak kami seperti boneka tanpa nyawa…” kisah pak Santoso mulai menangis bersama istrinya. Level keilmuan pak Santoso tak sanggup menghadapi jin jahat yang cukup kuat ini. Ia juga sudah meminta pertolongan pada pihak lain tetapi tetap tak ada yang sanggup.
“Hu-uff…” aku menghembuskan nafas. “Biar awak tebak… calon suaminya meninggalkannya karena kondisinya ini… lalu pak Santoso berniat menyerahkannya ke awak aja…” jawabku malas-malasan. Kedua suami-istri sepuh itu mengangguk-angguk membenarkan.
“Terserah dengan pak Aseng saja… kami pasrah…” keduanya berupaya manampilkan wajah tegar dan senyum legowo walopun harus menyerahkan anaknya pada seorang pria yang tentu saja berbeda keyakinan dengan keluarganya, berbeda budaya. Belum lagi masalah hati. “Begini pak Santoso… ibu juga… Tadi bapak sudah menyebutkan kalo ada sesuatu yang sudah menguras keberuntungan awak habis-habisan… Sampe akhir hayat awak… awak tak mempunyai keberuntungan lagi… Lalu ini apa?”
Mereka berdua seperti kebingungan akan maksudku.
“Mendapatkan seorang wanita dengan cara seperti ini bukannya semakin menguras keberuntungan awak? Rasanya memang benar awak terlalu sangat beruntung akhir-akhir ini… Keberuntungan yang keterlaluan besar… Untung awak bukan seorang penjudi… Dan bapak dan ibu bermaksud semakin menguras keberuntungan yang mungkin masih secuil tersisa ini untuk jodoh anak bapak dan ibu Santoso…”
“Maaf, pak… sisa yang sedikit itu berarti nafas penyambung nyawa… Awak tak bisa…” tegasku.
“Hu huu huu huhuhu…” sang ibu tua menangis pilu harapan untuk kesembuhan anaknya sirna lagi. Pak Santoso menenangkannya. Gurat-gurat tua semakin menguras semua kecantikan yang dulu pernah dimilikinya karena garis nasib yang memperdaya keluarganya.
“Apa tidak bisa dipertimbangkan lagi, pak Aseng?” tawar pak Santoso.
“Tidak… Tidak-bukan begitu maksud awak… Awak tetap akan menolong anak bapak dan ibu tetapi tidak dengan pilihan mengambilnya… Ini bagian dari tugas awak untuk menyingkirkan setan-setan laknat itu… Setelah sembuh nanti… dia tentu harus meneruskan hidupnya… Tapi bukan dengan awak… Paham, ya?” aku menatap keduanya yang kembali mendapatkan sinar harapan itu kembali. “Dimana dia?”
Mereka berdua membawaku ke kamar anaknya di lantai dua. Sepanjang jalan ia bercerita kalo Jennie (anak perempuannya) adalah anak tunggal mereka berdua. Saat ini umurnya sudah mencapai 31 tahun. Calon suaminya dulu, memutuskan pertunangan dan beberapa tahun lalu sudah menikah dengan wanita lain. Beberapa foto Jennie saat masih sehat memenuhi dinding di samping tangga. Ia perempuan yang cantik dan sehat. Aku tak bisa membayangkan keadaannya saat ini setelah ditunggangi jin jahat. Pastinya mengenaskan.
“Jennie…” sapa sang ibu pada sang anak yang duduk terpekur di atas ranjangnya. Perempuan itu duduk diam menatap kosong lekukan lututnya. Kamar ini terjaga bersih. Pasti secara teratur dibersihkan. Pandanganku kembali terpaku padanya karena gangguannya ada pada tubuhnya. Ada banyak gangguan yang terjadi pada dirinya. Dan ketika kuaktifkan mata bathin, segera mahluk itu terlihat memeluk punggungnya sehingga seolah-olah tubuhnya agak membungkuk oleh beban bobot mahluk keparat itu. Dipeluknya erat dengan kaki melingkar di pinggang hingga perut, tangan mengalungi leher bersilangan. Tak mau lepas sekejap-pun dari perempuan malang ini.
“Hei, kau bajingan!” panggilku.
Kepalanya yang ditempelkan di leher belakang perempuan itu menoleh mencari asal suara yang memanggilnya. Entah itu memang namanya. Sok imut dan manja seperti anak yang menggendong pada ibunya. Sangat memuakkan dan untuk itu, seharusnya ia pantas mendapatkan ini.
“WRRRAAAAHHHH!!!” kubuka mulutku lebar-lebar dan sinar thermal itu meluncur deras dan tanpa ampun menghantam kepalanya.
“AAAAAAHHH!!” hanya sebentar setan bajingan itu terpekik bersuara kesakitan dengan kepala berlubang dan tubuh bergetar hebat. Meregang nyawa lalu hilang pupus begitu saja dari tubuh perempuan ini. Aku tak perlu tau segala macam alasannya untuk mengganggu korbannya ini karena biasanya hanya alasan yang dibuat-buat semata.
“Hrraaahh…” Jennie mendongak dengan punggung lurus untuk pertama kalinya selama 5 tahun belakangan ini dengan perasaan sangat lega. Beban yang menggayuti punggungnya sudah pergi. Matanya sipitnya mendelik dan memanggil, “Mamaaaa??” perempuan tua itu langsung menyambut anaknya dengan suka cita. Diciuminya anak gadisnya dengan penuh cinta kasih dan ucapan syukur yang tak terkira. Pak Santoso juga bergabung di luapan kebahagiaan itu.
——————————————————————–
“Sudah ya, pak Santoso… Yakin nih… mobilnya tidak usah awak ganti?” tanyaku sebenarnya sudah mengantuk.
“Pak Aseng… mobil segitu tidak ada artinya dengan kesembuhan anak kami… Dia harta kami yang paling berharga… Jennie… ucapkan terima kasih pada pak Aseng…” katanya. Mereka mengapit Jennie di tengah-tengah mereka yang kini lebih berwarna dan terlihat lebih segar daripada sebelumnya. Kecantikannya belum hilang. Harusnya ia bisa move on dan mengejar ketertinggalannya.
“Te-terima kasih, bang Aseng…” katanya sedikit menunduk mengatakan itu dengan malu-malu. Aku hanya bisa tersenyum terpaksa mengingat kedua orang tuanya hampir menyerahkan perempuan secantik ini padaku. Apa yang mau kubilang sama orang rumahku nanti tiba-tiba pulang nge-warkop bareng Iyon dan Kojek bawak binik panlok baru gantinya mobil. Bisa-bisa dibata kepalaku.
“Sama-sama… Saya permisi pak Santoso… bu… Jennie… Sehat-sehat, ya? Semangat!” aku langsung berdiri gak mau mengulur banyak waktu lagi. Pak Santoso bersikeras mengantarku pulang sampe rumah dengan mobilnya yang lain. Setidaknya itu yang bisa dilakukannya untuk menunjukkan rasa terima kasihnya yang tak terkira. Kami ngobrol-ngobrol lagi sepanjang perjalanan.
“Jadi… Sebenarnya keberuntungan awak benar-benar habis ato gimana, pak?” tanyaku lagi selagi menyusuri jalanan sepi.
“Tau konsep pesugihan itu, kan?” ia mencari pembandingnya. Pesugihan adalah cara instan untuk mendapatkan harta dengan cara yang gak benar. Caranya ada bermacam-macam metode. Aku mengangguk tentu paham sekali dengan konsep pesugihan.
“Konsepnya adalah pelaku mengumpulkan semua total harta yang seharusnya didapatkan dirinya dan keturunannya di masa depan hanya untuk dirinya di masa sekarang… Saat ini dia kaya raya dan banyak harta karena sesungguhnya itu adalah rezeki anak cucunya beberapa generasi ke depan… Sehingga kelak mereka nanti akan melarat sepanjang hayatnya karena sudah diambil secara rakus oleh pelaku tadi di masa lalu… Hanya memikirkan dirinya sendiri dan menyengsarakan garis keturunannya…” papar pak Santoso. Aku pernah dengar dan gak kaget mengetahui ini karena itu memang tipu daya para iblis laknat untuk menyesatkan manusia.
“Itu juga yang sedang menimpa pak Aseng… Hanya saja bukan rezeki untuk harta benda yang disasarnya… melainkan keberuntungan milik pak Aseng…” lanjutnya.
“Huuff…” aku hanya bisa mendengus kesal. Kimak memang si Lord Purgatory ini. Dia sampe segininya melakukan segala macam hal padaku. Besar kali dosaku kurasa ke Bobi hingga ia membuatku susah seperti ini. “Tapi setidaknya masih ada sisa-sisa sedikit keberuntungan itu, pak Santoso… Buktinya bapak sempat-sempatnya mau menyerahkan Jennie ke awak… Tidak awak ambil yang berarti masih ada tersisa… Walo sedikit…” kataku menghibur diri.
Mungkin karena ini juga tak ada binor baru datang menghampiriku untuk minta jatah enak dan anak. Karena faktor keberuntunganku sudah menipis ato malah habis. Dikuras semaksimal mungkin untukku mendekati, meniduri dan menghamili belasan binor sebelumnya. Kalo dipikir-pikir memang itu semua perlu keberuntungan yang sangat tinggi. Lord Purgatory dengan pintarnya menguras ‘luck’ ini dengan sesuatu yang sulit kutolak. Gimana cobak cara buaya nolak bangke? Walopun sudah kenyang, buaya tetap akan mengganyang bangke baru. Gimana caranya seorang Aseng menolak binor cantik rupawan? Walopun sudah ada binik di rumah yang semlohay, masih terpesona dan buka celana untuk binor baru. Uhuy.
Berarti ini jawaban untuk pertanyaan, untuk apa Lord Purgatory mengirimkan semua gelombang binor lezat itu padaku? Bila keberuntunganku—luck-ku habis—aku akan sulit dalam banyak hal. Banyak hal bisa membuatku sial. Misalnya lagi jalan-jalan santuy di depan rumah, eh kepijak e’ek doggie. Lagi kerja serius, eh ada yang miss ato malah salah. Ngitung duit sejuta, ternyata sejuta seratus. Lagi berantem, malah kesandung–jatuh. Nge-warkop, Pajero kebelah dua.
Lord Purgatory menghitung dengan cerdas, bukan kekuatan ato kecepatan ato keampuhan ilmu digdayaku yang dikurasnya, melainkan luck ini. Kekuatan bisa didapatkan kembali dengan berlatih, kecepatan bisa diasah dengan dengan berlatih dan ilmu sakti bisa didapatkan dengan berguru. Tetapi dimana mendapatkan Luck?
Mungkin jawabannya hanya dengan bertaubat?
Aseng featuring Aseng junior bertaubat? Cam betool aja? Memang hanya dari restu Ilahi saja aku bisa mengembalikan luck pada keseharianku karena itu memang salah satu rahmat-Nya. Rahmat yang baru kusadari setelah sekian lama berkubang dalam jeratan dosa. Dosa yang kulakukan dan kunikmati selama ini. Yang telah menguras luck-ku. Memperolehnya kembali dengan cara kebalikan dari yang selama ini kulakukan. Tidak berzinah lagi…
Zinah no! Taubat yes!
Mampukah dirimu, Seng? OK para binor tak meminta apa-apa karena tujuan utama mereka sudah tercapai—hamil. Mereka semua sudah hamil anak yang mereka idam-idamkan selama ini. Dan dengan begitu, aku tak perlu menjamah mereka lagi karena perjanjian kami pasal tiga sudah tercapai juga, bila ada anak yang hadir dalam hubungan itu, anak itu adalah buah hati binor dan suaminya. Tanpa campur tanganku mengenai statusnya.
Daaaaan. Tak ada binor baru. Tak ada binor baru yang minta dihamili juga. Bisa-bisa kalo misalnya ada, saat kondisi luck habis, Aseng junior gak mau naek, aku kenak grebek, masuk TV, orang rumah ngeliat, dihubungi polisi ke rumah untuk menjamin. Bisa runyam hidupku. Kelar sudah.
“Untung saya ketemu dengan pak Aseng… Biarpun saya juga Menggala… tapi spesialisasi saya bukan bertarung seperti bapak… Saya hanya bisa memberi nasehat dan peringatan seperti ini… Terima kasih sekali lagi, pak Aseng…” katanya.
“Untung?” ulangku mengulang awal kalimatnya. “Apakah dengan saya melakukan kebaikan seperti ini… keberuntungan saya bisa kembali?” tanyaku. Sepertinya ada secercah harapan untukku memupuk kembali apa yang sangat berkurang. Melakukan banyak bantuan pada orang-orang yang mendapat kesulitan seperti keluarga pak Santoso seharusnya berbuah pahala. Tentunya perbuatan baik selalu diganjar dengan pahala juga.
Makanya, Seng… jangan buat dosa aja kau…
Bersambung