Part #85 : Melakukan kebaikan

Lakukan kebaikan. Selalu lakukan kebaikan.

Apalagi lagi ini sedang bulan Puasa. Bulan Ramadhan. Banyak hal yang bisa dijadikan ladang amal. Seperti membagikan makanan bagi yang sahur dan berbuka. Banyak-banyakin sedekah. Sekedar senyum pun berpahala. Aku banyakin senyum sampe gigi terasa kering. Ini semua hanya demi agar Luck-ku kembali. Dikitpun tak apa-apa. Kalo bisa pulih kembali.

“Duh, lelaki idaman banget, deh bang Aseng… Meleleh adek, bang…” ucap Lisa yang ngeliat aku berbaik-baik ria pada para penghuni pabrik. “Pajero mana, bang… Disedekahkan ke panti asuhan gitu ya, bang?” tanya binor itu akan keberadaan si Jero yang udah almarhum. Aku abis menerima beberapa puluh bungkusan nasi kotak yang akan dibagi-bagikan pada karyawan yang bubaran pulang kerja sore ini untuk buka puasa. Berupa nasi plus lauk pauknya, es campur, beberapa potong kue dan kartu nama minta dukungan agar dipilih di Pilkada nanti. (*boong yang terakhir itu)

“Mau ganti suasana aja, Lis… Lisa aja gak pernah ke rumah lagi abis bunting begini…” kataku melirik perutnya yang masih kempes sebenarnya. Masih belum keliatan hamilnya. Jumlah paket yang akan dibagikan sudah pas sesuai pesanan dan siap dibagikan sebentar lagi.

“Kan bulan puasa, bang… Masa Lisa gangguin abang yang lagi getol ngumpulin pahala… Lagian si Steven udah resign dari kerjaannya di Australia, bang… Katanya dia mau bikin start-up bareng teman-temannya di Singapur… Jadi mudah bolak-balik kemari…” jawabnya. Kami balik lagi untuk meneruskan pekerjaan.

“Tapi ada jarak juga masih… Kenapa gak buat di Indonesia aja start-up-nya?” saat kami berdua menaiki tangga menuju ke cubicle kerja. “Gak kangen apa sama misua-mu?” kudahulukan dirinya memasuki pintu kaca yang telah kubuka.

“Masih merintis yaaa begitu, deh… Lisa bakalan ke Singapur tiap weekend ato gantian dia yang kemari…”

——————————————————————–
Aku sudah berada di dalam dungeon, sel bawah tanah ini lagi, bermaksud menginterogasi peri-peri tawanan kami. Saat ini aku memandangi wajah zombie peri Candrasa yang tubuhnya terbungkus seperti mumi. Bukan oleh libatan kain tapi rantai.

“Kamu zombie?” tanyaku agak bodoh. Tapi aku hanya berdua saja dengannya. Peri Aruna lainnya sedang ada di luar sel sedang mengerubungi dua peri Dawala itu, tengah interogasi juga. Zombie sepengetahuanku tak punya intelijensia yang tinggi. Hanya tau bergerak random menyerang apalagi bila berkelompok keroyokan. Tapi zombie peri Candrasa ini bisa berkelahi dengan taktis dan cukup merepotkan sepasang peri Dawala yang sangat kuat itu. Suatu keberuntungan kami bisa meringkusnya seperti ini. Sepasang bilah pedang yang dijejalkan dan diikat di pergelangan tangannya yang buntung sudah dilucuti.

 

“Bukan~~!” jawabnya.

“Bukan? Penampilanmu zombie… Luka-lukamu seperti zombie… Persis seperti informasi yang kudapatkan kalo warga kerajaan Bukit Putih dan kerajaan Gua Kresna telah dirubah musuh menjadi zombie untuk menjadi pasukan tempurnya… Gimana kau bisa membantah itu?” kataku dekat dengan dirinya. Aku bisa mencium aroma tubuhnya yang mulai membusuk.

“A~ku adalah pewaris pedang onyx hitam yang sejati… Karenanya aku mengejar peri Dawala yang menguasai pusaka kerajaan Gua Kresna~~ itu… Semua penghuni kerajaan Gua Kresna telah dikutuk menjadi zombie ini agar tak ada yang bisa menuntut balas… Hanya aku sendiri yang memiliki kutukan yang berbeda… Aku hanya setengah zombie dan masih bisa disembuhkan…” jelasnya. Entah bagaimana aku bisa mempercayai itu. Ada yang namanya setengah zombie? Tapi memang mengherankan, zombie seharusnya tidak bisa berkomunikasi seperti ini. Jadi ada benarnya juga kalo ia nge-klaim dirinya setengah zombie-setengah peri Candrasa.

“Bisa seperti itu?” tanyaku. Aku hanya sekedar iya-iya aja gak terlalu mau termakan omongannya. Ia mengangguk-angguk dengan susah payah. “Dengan apa kau disembuhkan?” tanyaku sambil memperhatikan kulit pucat agak kebiruan tubuhnya yang penuh bekas luka. Apa bisa rusak parah seperti ini disembuhkan?

“Dengan onyx hitam itu~~!” ujarnya dengan kepala yang bergerak-gerak random.

“Maksudmu ini?” kuacungkan pedang besi hitam yang memiliki permata onyx hitam di ujung gagangnya. Matanya membeliak melotot melihat pusaka kerajaannya ada di tanganku.

“Ya~~! Yaa~~! Tolong sentuhkan onyx hitam itu ke keningku… ~~Itu~~ Itu akan menyembuhkanku…” pintanya seperti menangis. Tetapi tubuh zombie dan matanya tak mampu mengeluarkan air mata. “Tolong sentuhkan~~!” pinta terus berulang-ulang dengan menggeliatkan tubuhnya seperti ulat bulu dibelenggu belitan rantai.

“Begini?” kataku sebenarnya kasihan juga melihat zombie yang mengaku hanya setengah aja, minta disembuhkan dengan pusaka kerajaannya. Kutekankan bagian permata onyx hitam itu ke jidat zombie peri Candrasa itu. Selarik cahaya memancar dari bagian bilah pedang ini. Untuk beberapa saat, pedang besi hitam ini berkilauan dan ada semacam sentakan kecil yang menyebabkan setengah zombie peri Candrasa itu terhenyak sampe tubuhnya melonjak seperti mendapat kejut listrik pemacu jantung.

Matanya kosong tak terlihat korneanya untuk beberapa saat dan ada asap hitam kecil membumbung naik dari jidatnya berputar-putar lalu hilang. Dan sekonyong-konyong ia menyedot nafas panjang. Udara deras tersedot masuk ke dalam mulut dan hidungnya. Seperti ada gas hitam berjelaga yang merasuk masuk ke alat pernafasannya dan ketika kulihat asalnya ternyata dari bayangan gelap melingkupi tempat yang berada di bawah tanah ini. Sela-sela ruangan, sudut, bayangan jerjak yang diterangi cahaya matahari dari luar. Dari sana asal bayangan itu mendatangi tubuhnya.

Apakah ini kekuatan dasar para peri Candrasa ini? Bayangan gelap sesuai tempat asal muasal mereka bermula—gua yang gelap pekat seperti onyx hitam. Kekuatan peri Candrasa adalah bayangan gelap. Kulitnya tidak lagi pucat membiru, lebih merona cenderung sangat putih sangat kontras dengan rambut hitam legamnya. Ini karena mereka banyak menghabiskan waktunya di tempat minim cahaya hingga kulitnya sangat putih jarang terkena hangat matahari. Luka-luka di wajahnya juga secara ajaib menutup mengering sendiri lalu sembuh sama sekali. Kecantikannya kini terlihat sangat kentara sekarang.

“Tsng! Tek tek tekk…” rantai panjang yang membelenggu seluruh tubuhnya putus tanpa ampun. Padahal kelompok perajin peri Aruna-ku sangat bangga akan kekuatan rantai yang mereka buat ini. Sudah beberapa kali dibuktikan dengan mengikat tawanan sebelumnya. Peri Candrasa itu sudah bebas sekarang. Di belakangku, Eka, Dwi dan Tri sudah menghunus senjata mereka bersiap akan segala kemungkinan terburuk. Aku memberi mereka kode untuk menunggu apa yang akan terjadi.

Peri Candrasa itu bangkit lalu duduk bersila dengan mata terpejam melakukan semacam meditasi. Mungkin melakukan penyembuhan dirinya lebih lanjut. Aku memindai sekujur tubuh telanjangnya yang mulus tanpa noda bekas luka sedikitpun. Padahal sebelumnya, tubuh itu penuh luka sayat, luka sobek, lebam dan berbagai cidera lainnya. Sekarang mulus-lus kek agar-agar. Tubuhnya seindah para peri Aruna-ku saat belum mempunyai pakaian seingatku. Hanya saja ia mungkin tak dapat menyembuhkan tangannya yang sudah dibuntungkan.

“Ayo… Kita tinggalkan dia beristirahat sekarang…” perintahku pada trio kelompok petarung yang menjadi bodyguard-ku saat ini. Saat mundur tak ayal aku bersentuhan dengan gelantungan dada mereka yang tertutup bra bikini karena tempat ini lumayan sempit. Ketiganya sama sekali tak bergeming, padahal aku gak sengaja-loh. Suer. “Sudah tinggalkan dia sendirian… Ayo Eka, Dwi, Tri… Tinggalkan peri Candrasa malang itu sendiri… Dan tutupi kisi-kisi jerjak sel ini dengan apapun biar tak ada cahaya yang masuk ke dalam sana…” perintahku dan mereka bertiga patuh menurutiku.

Ketiga peri Aruna dari kelompok petarung itu mengambil gelagah rerumputan kering dari sel sebelah yang sedianya sebagai alas tidur tawanan dan menumpuknya di depan sel peri Candrasa yang sedang bermeditasi itu sehingga tak ada sinar terang yang masuk ke dalam sel itu. Semoga dengan begini, ia bisa menyembuhkan dirinya lebih optimal. Mungkin-mungkin seperti cicak yang bisa menumbuhkan ekornya yang putus, tangannya bisa tumbuh lagi. Semoga aja.

“Kalian membiarkannya dalam kegelapan? Itu seperti memasukkan harimau ke dalam rumahmu sendiri…” ejek sinis peri Dawala berambut putih panjang itu. Padahal mereka berdua sudah disiksa sedemikian rupa oleh trio kelompok petarung untuk mengungkap jati diri mereka. Ia menatapku dengan sikap menantang. Itu pandangan yang sama saat kami bertarung di dunia nyata malam itu. Ia dan perisai quarsa moonstone itu benar-benar kombinasi yang sempurna, pertahanan berpadu dengan serangan.

“Sepertinya kamu tau informasi yang bagus tentang peri Candrasa, ya?” ujarku lalu mendekat padanya. Aku mengelus pipinya yang agak bengkak karena dihajar berkali-kali oleh interogator-nya, para kelompok petarung. Kedua peri Dawala ini sudah menjadi samsak hidup untuk melatih pukulan. “Seperti… kekuatan mereka berasal dari bayangan gelap?” kataku membalik wajahnya ke sisi lainnya, ada luka sejenis. Ia masih tetap saja sinis.

“Cih…” ludahnya melecehkanku. Itu cukup menjadi sebab ia mendapat bogem mentah sekali lagi dari Eka. Kepalanya terjengkang ke belakang dan terantuk dinding dimana tubuhnya diikat kuat dengan pasak besi dan rantai. Apalagi mereka berdua tanpa ampun ditelanjangi. Benar man-teman, kedua peri Dawala ini telanjang. Pakaian putih dan hitam yang mereka miliki sudah dilucuti sebagai bentuk kekalahan dari sesama peri yang berpakaian. Pergelangan tangan, lengan, leher, perut, lutut dan pergelangan kaki semua sudah dibelenggu kuat. Keduanya seperti dua huruf X besar di dinding. Dua daging mentahhh…

Peri Dawala satunya hanya diam saja, bungkam walo ia tak kurang mendapat siksaan. Rambut putihnya yang pendek menjadi pembeda dirinya dengan rekannya ini. Aku menuju dirinya. “Bagaimana kau bisa memiliki pusaka peri Candrasa ini? Apa kau mencurinya?” tanyaku tetap dengan nada baik-baik. Gaya interogasiku tak pernah berubah dari dulu sampe sekarang. Ia bungkam saja, pun tak menatapku balik. Ia hanya menatap ke arah lain yang tak ada siapa-siapa di sana dengan cueknya.

“Kau tak sopan pada baginda raja kami! JAWAB!! JDUUGG!!” Eka menghajarnya dengan cara yang sama. Kepala peri Dawala berambut pendek itu terantuk dinding dibelakangnya, tetapi tetap bungkam. Hidungnya mengucurkan darah.

“Sayang sekali…” aku mengelus hidungnya yang berdarah. “Kalian berdua menolak bekerja sama… Padahal teman-teman kalian sama aja seperti para peri Candrasa saat ini… Menjadi zombie untuk pasukan musuh…” tatapku pada matanya yang memandang arah lain. Mataku tentu aja lirik-lirik pada sepasang gundukan indah yang menggantung di dadanya dengan puting yang menggemaskan. Aerolanya lebar tetapi warnanya lebih muda dari warna payudaranya. Mengingatkan akan toketnya kak Sandra yang aerolanya terang tetapi pentilnya gelap.

“Tidak ada juga untungnya bagi kalian untuk tetap bersikeras bungkam begitu karena saat ini… aku punya tiga pusaka dewi kahyangan di tanganku…” aku menunjukkan perisai quarsa moonstone di tangan kiri, pedang onyx hitam di tangan kanan dan mahkota rubi api di kepalaku. “Sementara lawan kalian… dan juga lawanku… hanya punya mustika safir biru… Sementara pihak yang menyuruh kalian berdua menyerangku punya permata terakhir… opal pelangi… Jadi menurut kalian berdua… siapa yang lebih kuat?” paparku.

Aku menikmati momen-momen wajah kaget mereka berdua yang sok-sokan tegar tetapi dibelejeti semua kesombongannya di depan pahitnya fakta. Fakta bahwa manusia yang ada di depan mereka kini secara matematis lebih kuat posisinya dari pada siapapun dalam perseteruan ini.

“Yaa… Tentu aku tau siapa yang sudah menyuruh kalian berdua untuk menyerangku… Tidak susah… Kerajaan Istana Pelangi sedang mempersiapkan pasukannya untuk menghadapi gempuran dari pihak mana saja… Terutama dari pasukan zombie gabungan peri Dawala dan Candrasa… Kalian tidak mungkin dari pihak Lord Purgatory karena tak mungkin ia membiarkan kalian pergi dengan membawa dua pusaka ini… Hanya tinggal ratu Istana Pelangi tentunya satu-satunya yang tersisa…” aku jalan mondar-mandir di depan kedua peri Dawala telanjang itu dan membeberkan fakta.

“Ada satu kemungkinan untukmu…” tunjukku pada peri Dawala berambut panjang itu. Keningnya mengernyit. “Kau adalah ratu kerajaan Bukit Putih yang meloloskan diri sebelum kutukan zombifikasi itu dikenakan pada semua warga kerajaanmu… Itu menjelaskan kenapa kau sangat mahir menggunakan perisai hebat ini… Tapi kau memperkenalkan diri pada kerajaan Istana Pelangi sebagai peri Dawala pelarian saja… Benar, kan?” aku masih mondar-mandir di depan keduanya lalu berhenti di kalimat terakhir. Kepalaku condong padanya dengan tatapan skak-mat. Dia menerapkan poker face, pura-pura tidak perduli apapun terkaanku tentang statusnya. Suka atiku aku mau nerka apa, kan?

“Daaan dia…” aku beralih ke yang satunya, yang berambut pendek. Ia masih membuang pandangannya ke arah lain. “Apa ceritamu? Hmm…”

Yang kulakukan mungkin akan membuat keduanya kaget, tapi aku tidak perduli. Aku menekan-nekan otot lengan peri Dawala berambut panjang itu dengan ujung jariku lalu membandingkannya dengan yang berambut pendek. Ototnya lebih liat dan keras. “Kemungkinan besar dia ini adalah pengawal setiamu… Prajurit andalan utamamu yang entah bagaimana mendapat warisan pedang onyx hitam ini dari pemimpin peri Candrasa sebelumnya… Ada banyak skenario bagaimana itu bisa terjadi tetapi intinya untuk sementara pedang ini dititipkan padamu sampe pewaris sebenarnya datang memintanya kembali…” aku menatap keduanya bergantian. Mereka selalu bungkam, tidak menyanggah atopun membenarkan terkaanku. Tidak perduli kalo salah juga akunya.

“Tidakkah kau sebagai pemimpin peri Dawala yang masih hidup di pelarian tidak ingin membalaskan dendam wargamu yang sudah menjadi zombie oleh kutukan musuh jahat ini? Aku pastikan itu yang masih membuatmu tetap hidup saat ini…” kataku merapatkan wajahku pada peri Dawala berambut panjang yang kuterka sebagai pemimpin, hingga kening kami menempel erat. Mata kami saling menatap. Tentu saja aku bisa merasakan kenyal dan lembut payudaranya menekan dadaku. Akal-akalanku aja-nya ini sebenarnya. Udah pengen kali kuremas-remas dada montoknya ini.

“… Entah apa rencana yang sedang kau susun saat ini di otakmu sampe mau merendahkan diri menjadi suruhan kerajaan Istana Pelangi…” aku dapat merasakan hembusan dan tarikan nafasnya. Aromanya cukup segar dan wangi ternyata. “Itu cukup mengesankan…”

“Tidakkah kau ingin membalaskan dendam rekan-rekanmu yang kini meraung-raung tak tentu arah sebagai zombie… Mayat hidup yang menyedihkan?” aku berpindah dan bergeser pada peri Dawala satunya yang berambut putih pendek. Payudaranya gak kalah kenyal dan lembut dengan pemimpinnya ini. Matanya masih menatap ke arah lain.

“Mau dengar rencana bagus?” aku mundur dari merasakan degub jantungnya yang berdebur kencang saat dada kami menempel erat. Sebenarnya gak rela cepat-cepat melepaskan kenyal montok payudara sekalnya tapi jangan keliatan kali mesumnya, ya?

“Pasukan Lord Purgatory yang terdiri dari ratusan pasukan zombie dari dua peri Dawala dan Candrasa tidak bisa dibiarkan begitu saja menggilas kerajaan Istana Pelangi… Katakanlah kekuatannya 1000… melawan 500 peri Kencana… Masih kalah jumlah kalo dihitung secara logis… Taktik pemimpin Istana Pelangi sudah lumayan bagus mengirim kalian berdua untuk mendapatkan rubi api ini dariku… hingga secara kalkulasi nantinya dia punya dua permata peri untuk menghancurkan pasukan musuh…”

“Dia tidak tau kalo dua peri Dawala yang dibayarnya untuk mengambil rubi merah ini dariku ternyata punya dua permata lainnya… Rencana kalian… setelah mendapatkan rubi api-ku, kalian akan mengambil opal pelangi milik kerajaan Istana Pelangi itu bila keadaanya tepat… Hingga aliansi terselubung kalian ini bisa berhasil membalaskan dendam para peri Dawala yang sudah menjadi mayat hidup… dengan menggunakan empat permata peri melawan satu…”

“Jumlah pasukan masih menjadi isu penting bagiku… Tak bisa dipungkiri kalo 1000 pasukan itu terlalu jomplang dibandingkan 500 peri pelangi yang mereka andalkan… Makanya setelah ini aku akan ke kerajaan Laut Biru… Mengumpulkan lagi pasukan yang telah tercerai berai itu dan membawa mereka ke pertempuran di kerajaan Istana Pelangi nanti… Itu akan menyeimbangkan jumlahnya… Bagaimana menurutmu?” kataku berdiri tepat di depannya, sang pemimpin peri Dawala yang sedang menyamar.

“BRAAKK!!” jerjak sel dimana peri Candrasa itu ditahan, tiba-tiba terlepas dari dindingnya dan menghantam dinding di depannya. Kami semua menjadi siaga. Apalagi tiga peri Aruna kelompok petarung yang berada di tempat ini untuk menjagaku. Peri berambut hitam tak bertangan itu keluar dari dalam sana dengan garangnya.

“Peri Dawala terkenal sangat keras kepala… Baginda takkan bisa mendiskusikan ini dengan baik tanpa memaksanya…” ia berjalan dengan tegap dan sigap tak memperdulikan tiga peri Aruna yang siap-siap mencincangnya begitu ia bertingkah membahayakan rajanya.

Peri Candrasa yang mengaku sebagai pewaris kepemimpinan kerajaan Gua Kresna itu sudah sangat prima kembali. Ia tidak memperdulikan cacat kedua tangannya yang sudah buntung, tak menjadi penghalangnya walo luka buntung itu belum sembuh sempurna. Luka-luka tubuh zombie-nya sudah tak ada lagi, kembali mulus seperti seharusnya. Tak ada gunanya sebenarnya mengurungnya di dalam tahanan itu karena malah aku sengaja memberinya waktu untuk memulihkan diri dengan memberinya kegelapan. Kegelapan yang merupakan energi utamanya.

Ia berdiri tepat di depan kedua peri Dawala telanjang itu dengan ketelanjangan dirinya juga. Tiga peri telanjang berhadapan dengan tiga peri Aruna bersenjata plus diriku.

“Baginda raja kerajaan Mahkota Merah dengan rubi api-nya yang perkasa… Sudilah kiranya membantu hambamu ini untuk membalaskan dendam para peri Candrasa yang hampir punah ini? Hamba akan mengabdi sepenuh hati dan jiwa raga untuk membantu baginda raja mengalahkan semua musuh-musuh baginda raja…” ia lalu menunduk dalam, menekuk lutut lalu menjura menyembahku. Aku membiarkannya. Dia bukan wargaku. Aku bukan rajanya. Aku diam saja.

“Maksudmu?” aku melirik pada tunggingan pantatnya yang menjulang. Kalo disodok dari belakang sana pasti bakalan enak kali. Seng! Matamu!

“Baginda raja sudah menguasai pedang onyx hitam pusaka kerajaan Gua Kresna… Hamba hanya bisa mengikuti keinginan onyx hitam yang memilih untuk berpihak pada baginda raja kerajaan Mahkota Merah…” jawabnya masih tetap menyembahku di lantai. “Hamba sekarang menjadi beban di kerajaan baginda raja…” ungkapnya menegaskan posisinya yang pasrah.

“???” maksudnya apa? Aku beralih pada Eka dan dua temannya. Aku bertanya tanpa lisan pada mereka.

“Peri Candrasa ini minta bergabung di kerajaan yang baginda raja pimpin…” jawab Eka tak kurang kaget sebenarnya.

“Oo… Begitu rupanya… Kau mau bergabung di kerajaan Mahkota Merah?” tanyaku padanya secara langsung aja apakah itu benar keinginannya. Mengabdi sepenuh hati, jiwa dan raga?

“Benar, baginda raja…” jawabnya singkat.

“Boleh begitu, Eka? Kukira kerajaan Mahkota Merah ini hanya untuk peri elemen api saja?” tanyaku sedikit berbisik pada Eka yang ada di belakangku dengan menolehkan kepala sedikit. Tiba-tiba aku teringat pada peri Padma yang sedang menunggui ketiga telurnya di kawah magma cair. Lebih baik ia juga kujadikan warga kerajaan ini karena elemennya sama-sama api.

“Itu hak baginda raja… Baginda raja sendiri adalah manusia… Tak ada hubungan sama sekali dengan peri Aruna sebelumnya tetapi sekarang adalah raja kami…” jawab Eka lugas sedikit menunduk. Hak prerogatif ternyata. Suka-sukaku ternyata. Kalo aku menjadikan semua peri yang tercerai berai dalam lima kerajaan yang terpisah ini menjadi satu juga boleh kalo gitu.

Mendadak aku jadi punya tujuan yang sangaaaaaaaaaat mulia.

“Bolehkah, baginda raja?” tanya peri Candrasa itu malah mendesak tetap di posisi menyembahnya.

“Bangkit dan berdiri… Warga kerajaanku tidak ada yang menyembahku seperti itu… Cukup hanya berdiri menunduk saja…” kataku memberi kode gerakan tangan agar ia lekas berdiri. “Ayo berdiri, peri Candrasa…” Takut-takut ia bangun dan berdiri. Persis seperti para peri Aruna saat pertama kali kutitahkan jangan menyembahku. “Yaa… Begitu… Bagus… Jangan sekali-kali menyembahku… Tundukkan aja kepalamu dikit… Naah…” pujiku irit saat ia patuh mengikuti instruksiku.

Ia agak tersenyum terpaksa dengan pujianku. Ia melirik pada Eka, Dwi dan Tri yang berdiri di belakangku, masih waspada pada dirinya walo tak lagi menghunus pedangnya.

“Bagaimana tanganmu? Siapa yang memotongnya?” tanyaku. Aku harus tau kondisinya lebih karena ia sekarang adalah warga kerajaanku. Kutarik kedua tangannya dan meneliti kondisi potongan tangan itu. Potongannya bersih dan rapi. Pasti ayunannya cepat dan menggunakan senjata tajam yang sangat presisi. Tentunya keahlian penggunanya juga mumpuni.

“Salah satu pengikut setianya… Diantara beberapa pengikutnya yang tentu tak akan kulupa wajahnya untuk selama-lamanya, baginda raja…” jawabnya. Suaranya tidak sekeras tadi karena jarak kami sedemikian dekat dan intim. “Serta yang melakukan zombiefikasi pada semua warga kerajaan Gua Kresna, baginda…” air matanya menetes. Bukan karena kehilangan kedua tangannya tetapi kehilangan semua teman-temannya sesama peri Candrasa. Ia ingin meneteskan air mata sebelumnya tadi saat dalam keadaan setengah zombie, tapi tak bisa. “Penyihir berambut kelabu itu… akan mendapatkan balasannya kelak!”

“… berambut kelabu yang sama…” gumam si peri berambut putih panjang. Ia kaget sendiri keceplosan seperti itu yang membuat kami semua yang ada di ruangan bawah tanah ini mengarahkan pandang padanya. Peri Dawala berambut pendek itu memutar matanya, be like: Hello? Keceplosan, jeung?

“Pasti penyihir itu juga yang mengubah semua peri Dawala menjadi zombie… bukan begitu, ratu Nirada?” sembur peri Candrasa yang sudah menjadi wargaku. Ratu? He he hehehehe… Bukankah ini tangkapan yang saaaaaaaangat bagus sekali.

“Well-well?” aku beralih padanya yang berusaha mengeraskan wajahnya bersiap mendapat serangan lagi. “Tebakanku ternyata tepat sekali… Ratu peri Dawala yang mencari persembunyian di kerajaan Istana Pelangi… Nirada… Nirada artinya awan… Awan putih… Yang menurunkan hujan… Namamu indah sekali, ratu…” sahutku kembali mondar-mandir melirik pada tonjolan montok dadanya yang menggiurkan lagi.

“Dia dan pengawal kepercayaannya ini melarikan diri dari istana Bukit Putih saat pasukan peri Candrasa yang sudah menjadi zombie menguasai kerajaan itu, baginda raja… Dia hanya melihat dari kejauhan saat semua pasukan dan warganya berubah menjadi zombie dan sekarang menjadi pengikut musuh!”

“Kau kira itu perkara mudah?!” berang ratu peri Dawala itu. Mantan mungkinkah tepatnya? “Ratumu juga melarikan diri dari kerajaan Gua Kresna dan menyerahkan pedang onyx hitam itu ke pengawalku…” ia membalasnya dengan membeberkan tentang ratu kerajaan peri Candrasa itu. Ratu itu juga melarikan diri. Mungkin lebih tepatnya menyelamatkan diri bermaksud untuk mengumpulkan kekuatan dahulu ato mencari bantuan.

“Dengan sebelumnya memberikan perlawanan yang sangat sengit…”

“… dan kemudian mati dengan menggenaskan!” sambar ratu peri Dawala itu.

“Setidaknya dia berjuang tid…”

“Jangan berbantah-bantahan di depan baginda raja kalian berdua!” sergah Eka tegas maju melerai. “Kau! Jangan mentang-mentang sudah menjadi bagian dari kerajaan Mahkota Merah sehingga berani sembarangan di depan raja… Dan kau! Bersikaplah yang sepantasnya sebagai tahanan… Nyawamu dipertaruhkan disini… Berbaik-baiklah kalo mau tetap hidup… Kecuali kau memang mau mati!” hardik Eka panjang lebar. Keduanya kontan terdiam, klekep, kek keték ketulup. “Maafkan hamba, baginda raja…”

“Sudah-sudah… Gak usah ribut-ribut… Jadi pedang onyx hitam ini diserahkan ratu peri Candrasa yang sudah tiada itu kepada pengawalmu… untuk nantinya diserahkan pada pewarisnya, kan? Kau mengaku sebagai pewarisnya… Apa buktinya?” tanyaku mengalir dari ratu peri Dawala ke peri Candrasa itu.

“Ratu peri dapat mengatur jumlah telur yang dimilikinya dan kapan harus mematangkannya…” ujarnya sebagai jawaban. Ia mengatakan itu dengan sangat percaya diri walopun menunduk untuk menghormatiku.

“Dan kau bisa melakukan itu?” kagumku manggut-manggut. Aku jadi kepikiran untuk membuahi telur yang dimilikinya. Pastinya, enyak-enyak-enyaaak!

“Saat ini hamba sedang mengumpulkan telur milik hamba sebanyak-banyaknya, baginda raja… Sekarang baru terkumpul 34 butir saja… Target hamba adalah 200 butir…” ujarnya mengagetkan. 200 butir telur peri Candrasa? Ia bisa menyimpan telur sebanyak itu di dalam tubuhnya? Aku menoleh pada Eka tempat bertanya terpercayaku saat ini. Peri Aruna nomor satu itu hanya mengangguk membenarkan.

“Dan…” lanjutku ragu sebenarnya.

“Ratu Dawala ini menyimpan 200 telur siap dibuahi di dalam tubuhnya, baginda raja… Saya dapat mengetahui itu karena kami sama-sama punya status ratu…” lanjutnya berusaha keras membuktikan padaku akan status dirinya. Tangannya menunjuk dengan mantap ke arah ratu Dawala telanjang berambut putih panjang itu. Sebaliknya, muka putih dan cantik peri yang dituding itu seketika menjadi pucat.

“200 telur… Tentunya bila menjadi peri 200 Dawala baru akan sangat cukup untuk menjadi pasukan yang kuat…” gumamku pada diriku sendiri. Mungkin mereka akan mendengarnya.

“Hamba bisa membuatnya siap dibuahi sekarang juga, baginda raja…” sergah peri Candrasa tak bernama itu bersemangat sekali hendak berbakti padaku setelah mendengar gumamanku tadi. Aku juga ikut bersemangat. Tetapi tidak dengan ratu peri Dawala pelarian itu. Pengawal setianya juga terlihat cemas. “Dan yang ini memiliki 50 telur di dalam tubuhnya…” ia ketahuan menyimpan rasa cemas itu karena rahasianya terbongkar. Peri Candrasa, warga baru kerajaanku benar-benar ingin berbakti padaku, mengungkap rahasia sebesar-besarnya.

“Caranya?” kataku. Kuatur sewibawa mungkin nada suaraku agar gak ketahuan kali sange-nya.

“Begini, baginda raja…” ia bergegas mengarah pada ratu Nirada dan berdiri di sampingnya. “Bisa bantu aku?” ucapnya pada Eka dan lainnya. Aku memberi kode agar ia dibantu dengan demonstrasi pematangan telur peri Dawala di tubuh ratunya ini. Eka, Dwi dan Tri bergerak bersamaan. “Tahan tubuhnya agar tidak banyak bergerak… Buka mulutnya dan tarik lidahnya…” Dwi dan Tri memegangi tubuh ratu Nirada, Eka yang bertindak membuka mulut peri Dawala itu dan menarik lidahnya keluar. Peri Candrasa bertangan buntung itu kemudian menggunakan ujung tangan buntungnya itu untuk menekan titik solar plexus ratu Nirada lalu ditarik ke bawah menuju perut.

“Ggggaaaahhhaaahhh!!” jerit sang ratu Nirada.

Selama proses itu, ratu Nirada tentu saja menjerit-jerit tak jelas karena lidahnya ditarik keluar oleh Eka dari dalam rongga mulutnya. Air mata dan liurnya mengucur deras selama proses itu. Dan satu spot lagi yang deras mengeluarkan cairan; kemaluannya.

“Lepas… Giliran dia…” kata peri Candrasa. Sehabis ini, aku harus memberinya nama. Mereka beralih ke pengawal ratu Nirada yang berambut pendek yang kini seperti ketakutan. Ini ekspresi jujurnya selama ini. Tak dapat bergerak dengan bebas, ditahan dan dibekap sedemikian rupa dengan mulut dibuka paksa untuk mengeluarkan lidah kemudian solar plexus diurut ke arah perut… ia mengalami apa yang sedang melanda ratu Nirada—birahi.

Dua peri Dawala yang sedang diikat erat di dinding itu menggeliat-geliat seperti cacing kepanasan. Ini reaksi yang sama seperti yang dialami peri Padma itu sehabis berenang di dalam kawah magma tempat kesukaannya. Kedua peri itu banjir pada bagian kemaluannya yang telanjang. Peri Candrasa yang selesai melakukan pematangan telur kedua peri Dawala ini menatap puas usahanya berbuah hasil. “Hamba persembahkan dua peri Dawala yang sedang birahi untuk dibuahi, baginda raja…”

Dibuahi? Sedang birahi?

“Dan bila masanya tiba… hamba juga akan mempersembahkan diri hamba untuk baginda raja buahi… Sesuai jumlah target telur yang hendak hamba hasilkan… Semoga nantinya peri-peri dari dua Dawala ini dan dari hamba nantinya akan memperbesar jumlah pasukan baginda raja…” ia menunduk dalam dan hikmad.

Alamak. Lepas dari binor-binor yang lezat, aku kini nyemplung ke peri-peri seksi.

Aku menatap kedua peri Dawala yang diikat ke dinding membentuk dua huruf X kapital, telanjang dan birahi. Kemaluan keduanya banjir oleh cairan vagina yang bersiap untuk dimasuki—dibuahi. Persis kondisinya sama seperti peri Padma waktu itu. “Apakah ratu dan pengawalnya ini siap untuk dibuahi?” tanyaku pada kedua peri Dawala itu yang bimbang harus memperturutkan rasa ato emosi. Rasa birahi dari matangnya telur-telur di dalam tubuhnya sangat membuat kemaluannya terasa gatal ingin digaruk. Ato emosi, marah dan tak terima diperlakukan seperti ini oleh pihak yang menawannya.

“Kami permisi, baginda… Tri yang akan bertugas menjaga baginda raja selama proses pembuahan ini…” kata Eka permisi bersama Dwi. Sementara anggota ketiga kelompok petarung ditugaskan berjaga. “Kau? Apa yang akan kau lakukan?” tanya Eka pada peri Candrasa itu.

“Hamba minta waktu untuk mempersiapkan telur-telur hamba, baginda raja… Untuk itu hamba harus berdiam diri di tempat yang gelap…” katanya padaku.

“Eka… Berikan dia ruangan gelap untuk itu… Penuhi kebutuhannya… Kalian boleh pergi semuanya sebenarnya… Tak perlu ada yang menjagaku… tapi terserah juga… Tri… berjaga yang benar, ya?” kataku memberi perintah dan mereka pergi meninggalkan satu sentry saja yang mengawalku untuk melakukan pembuahan pada kedua peri Dawala ini. Tri, petarung paling junior di trio itu menunduk bersiap melakukan tugasnya.

Sebenarnya rasanya agak aneh juga dijaga waktu mau ngentot. Tapi saat Eka yang melakukannya, ia melaksanakan tugasnya dalam diam saat aku sedang memacu nafsuku pada peri Padma. Selagi tak ada bahaya yang dirasanya bisa menimpaku, ia tak melakukan apapun. Hanya sekedar menyaksikan saja sampe akhir. Kuharap Tri juga bisa berlaku begitu.

Ini malam Ramadhan yang kesekian, aku yang harusnya taraweh, malah ada di dungeon—ruang bawah tanah, ruang interogasi ini—menghadapi dua peri Dawala berambut putih cantik, telanjang, dengan ratusan telur siap dibuahi di dalam tubuhnya dan kemaluan becek—bersiap sedia. Dikawal Tri, salah satu peri Aruna dari kelompok petarung. Aku melucuti semua pakaianku. Aseng junior sudah tegang maksimal, antusias ingin beraksi.

“Jaa-ngaan!” suara sang ratu Nirada parau saat tanganku menjangkau kemaluannya. Basah dan hangat. Walo tak sepanas milik peri Padma itu. Lebih ke rasa nyaman. Kubenturkan dada kami berdua. Jariku melebarkan bukaan bibir vagina perinya. Akan seperti apakah rasa peri Dawala ini. Akankah ia mempunyai nektar seperti peri Padma yang merupakan peri teratai merah yang tumbuh berkembang di kawah magma cair? Maniskah?

Ratu Nirada

Menghindari mulutnya, mungkin ia akan menyerangku dengan mulutnya, aku mengincar lehernya, kupingnya. Bibirku mengulum cuping telinganya. “Aaghhh…” erangnya seperti tak rela. Tubuhnya bergetar-getar, entah karena mulutku atokah jariku yang menggesek-gesek isi belahan vaginanya. Semua alat stimulan di tubuhku kugunakan semaksimal mungkin. Dua tangan menjamah dua tempat berbeda; vagina dan memerah payudara menawannya. Mulutku memainkan telinganya. Bahkan Aseng junior kusodok-sodokkan membentur perutnya.

Bukan buatan ratu Nirada mengerang-erang seksi mendapat berbagai stimulasi sekaligus. Apalagi saat mulutku berpindah rakus ke arah payudaranya. Lidahku berputar-putar memainkan putingnya yang mengacung keras. Payudara sebelahnya mendapatkan perlakuan tanganku, dipelintir-pelintir, dipilin-pilin hingga ratu Nirada menjerit-jerit histeris keenakan. Kenyal payudaranya menempel di pipiku dan dari posisi ini, aku dapat melihat pandangan sange dari sang pengawal terpercayanya juga salah tingkah. Tubuhnya juga sudah memanggil-manggil ingin dijamah juga. Tapi dia harus menunggu gilirannya. Sang ratu dahulu yang harus dibuahi.

Mata ratu Nirada sudah sayu terbuai nafsu birahinya. Seperti sudah pasrah untuk segera dibuahi. Mulutnya mangap-mangap tak terarah, hanya bisa menikmati apapun yang kulakukan padanya. Jari-jari tangannya mengepal-membuka-menegang dalam keadaan masih terbelenggu. Begitu juga dengan jari kakinya. Otot-otot tubuhnya mengejang berulang-ulang merasakan nikmat yang kuberikan padanya.

“B-Baginda raja… Baginda rajaaa… Buahi aku sekarang j-juga-ahhh…” parau suaranya semakin menjadi.

“Apa? Kau minta apa?” pancingku. Kusodok-sodokkan Aseng junior ke belahan vaginanya yang becek.

“B-buahi telurku, baginda…”

“Aku bukan rajamu… Kau sendiri seorang ratu…” tolakku tapi rasa enak gesekan kelamin kami sangat sedap sekali rasanya. Nikmatnya sungguh-sungguh luar biasa. Jantungku terasa berdegup kencang. Aku mengulurnya agar nafas dan jantungku lebih teratur.

“A-aku tak punya kerajaan lagi… A-aku akan bergabung…”

“Maksudmu?” aku pura-pura tak perduli dan malah berpindah pada sang pengawal yang tepat menempel di dinding, disampingnya. Kucebik bibirnya yang terlihat pulen dan ia pasrah tak melawan saat kupagut. “Huummm… Ashh…” aku malah berciuman dengan peri bawahan sang ratu. Rasa mulut dan liurnya seperti aroma kayu manis. Ada pedas-pedas dikit lalu terasa manis di akhir. Payudara montoknya tak lepas dari remasan nakalku. Kuraba-raba seluruh tubuh telanjangnya. Kulitnya tak kalah halus dari sang ratu tetapi tidak selicin peri Padma. Aku malah mencucup-cucup nikmat payudara pengawal ratu ini yang membuatnya mengembik keenakan.

Ia mendesak-desakkan perutnya yang tak dapat bergerak bebas ke arahku, berharap mendapat perlakuan lebih dari tubuh bagian bawahku juga. Aseng junior hanya menggelitik-gelitik bagian pinggangnya. Puting dengan aerola besar dan puting mungilnya yang membuatku kalap. Puting uniknya membuatku betah bermain-main tetek dengannya. Kusedot-sedot rakus kek berharap akan ada yang keluar dari sana sampe pipiku kempot. “Aaaahhh… Enak, ya?” tanyaku mengelap liur dari pipiku sendiri lalu meraih pipinya, kuelus.

“Mau kulepas?” saat tanganku singgah ke lehernya. Ia mengangguk kecil.

“B-baginda? Hamba-h-hamba tulus bergabung dengan kerajaan baginda raja…” sang ratu nyerocos lagi bernyanyi, mengatakan apapun agar aku kembali beralih padanya, memberikan kenikmatan itu kembali padanya.

“Kau tidak jujur, ratu… Katakan saja apa yang kau inginkan saat ini dengan jujur… Kau hanya ingin dibuahi, bukan? Tidak ada urusannya dengan kerajaan ato apapun juga… Kau hanya ingin ini…” genggamku erat pada pangkal batang Aseng junior yang tegang, mengarah tepat ke belahan vagina pengawalnya, “… ke kemaluanmu dahulu, kan?” Kuoles-oleskan kepala pejal Aseng junior, mengutik-utik kacang itil pengawal itu. “Apa kau sudah punya nama?” bisikku selembut mungkin.

Sang pengawal peri Dawala berambut putih pendek itu menggeleng pertanda ia belum mempunyai nama. “Cup… Harusnya peri secantik dan sekuat kau ini mempunyai nama…”

“B-baginda-baginda raja… buahi telur hamba!” tukasnya. Aku menoleh. Ia berhasil menarik perhatianku. Aku mengecup bibir si pengawal tak bernama itu lalu beralih pada ratu Nirada.

“Jujur lebih plong, bukan? Ulangi dan katakan dengan lengkap!” aku berdiri berkacak pinggang di hadapannya. Aseng junior mengacung dengan gagahnya bak pedang terhunus siap menusuk. Matanya nanar menatap senjata utamaku.

“Baginda raja kerajaan Mahkota Merah… tolong buahi telur-telur hambamu ini…” katanya lebih lengkap dan rinci. Senyum lebar terpatri di mukaku. Aku maju lebih rapat kepadanya hingga tak ada jarak lagi antara kami berdua. “A-aahhmm…” mulutnya yang kutuju sebagai awalan. Lidahku menyeruak masuk dan menemukan rasa yang kuat di dalam mulutnya. Aroma kayu manis miliknya lebih tajam saat pasrah ia membiarkan aku menyedot-nyedot lidahnya. Ia biarkan apapun yang kusuka kulakukan pada tubuhnya. Inikah bentuk penyerahan dirinya?

Belenggu yang mengekang lehernya lepas. Lalu menyusul pada bagian perutnya. Ia tak menunjukkan tanda-tanda agresif sama sekali. Entah kalo dia berpura-pura sampe semuanya terlepas–entah juga. Tapi aku harus tetap berhati-hati. Aku berhadapan dengan ratu sebuah kerajaan ghaib di sini.

Lepasnya belenggu pada leher dan perut, membuat ratu Nirada lebih leluasa berekspresi. Ia menyorong-nyorongkan perutnya kepadaku dan alhasil Aseng junior tergesek-gesek menemukan lawan main. Kusodok-sodok sedikit vaginanya mengajak berkenalan. Aku bolak-balik bermain-main dengan mulut dan tetek montok kenyalnya. Gak abis-abis gemarku bermain di sana. Rasa tajam aroma liur mulutnya dan kenyal payudaranya menjadi magnet yang menarikku ke sana berkali-kali.

Kepala Aseng junior sudah kuyup oleh lendir birahi ratu Nirada. Berkali-kali aku udah mencelup-celup, cuma ngetes aja karena aku juga pengen ngoral si ratu ini. Gimana sih rasanya? Dan aku berjongkok di depan bukaan kakinya yang mengangkang lebar, masih terbelenggu. Vaginanya indah tak terkatakan. Mungil dan terlihat sangat lezat. Ada sejumput rambut halus berwarna putih yang berkilat, tidak seperti uban. Lebih seperti pirang—silver blonde gitu.

“Sluuurrrpp… Ahh…” jilatku. Hasilnya, si ratu Nirada mengejang, melonjak dengan punggung melengkung, menjauhkan pangkal pahanya dari mulutku.

“AAaahhhh, b-baa-bagindaaa… Apa yang b-baginda lakukan?” tanyanya was-was. Matanya nanar menatapku lalu pada Tri yang mendekat.

“Baginda? Baginda raja seharusnya tidak berjongkok di depan tawanan ini… Ini memalukan bagi baginda raja…” ujar Tri yang gusar melihat tingkahku yang menurutnya menjatuhkan martabat raja yang berjongkok.

“Sstt… Kau diam aja, Tri… Kau udah pernah dijilat belum di sini-mu?” tunjukku pada bagian menggembung celana bikini yang dikenakannya. Ini pertama kali aku menyentuh bagian intim peri Aruna ini. Tapi karena aku lagi konak, aku merasa biasa aja. “Ini enak, tau?” gundukan itu terasa empuk.

“B-belum pernah, baginda raja… Belum pernah…” jawabnya jujur tetapi gugup.

“Nah… Coba kau jilat-jilat kemaluan pengawal itu… Kau mungkin akan menyukainya… Ini perintah…” kataku padanya. Matanya berkerjab-kerjab seperti tidak percaya ia mendapat tugas seaneh ini. Tapi ia patuh dan beringsut mendekat ke bagian selangkangan peri Dawala pengawal itu. Dan dengan patuh juga ia mulai menjilat-jilat vagina peri Dawala berambut pendek itu. Menjerit-jerit lirih keenakan yang terdengar kemudian peri berambut pendek itu. Membuat senyumku makin lebar ke arah ratu Nirada. “Nikmati aja…” bisikku dan menarik panggul lebarnya.

“Slluuuurrrpp… slrrrpp… sslllrrruupp…” suara melengking-lengking keenakan terdengar bersahut-sahutan dari dua peri Dawala cantik telanjang ini. Satu takluk oleh lidahku sendiri, satunya oleh lidah Tri. Di luar sana, bagi yang tau kondisi sebenarnya di bawah sini, mungkin mereka akan mengira sedang terjadi penyiksaan sadis. Dua peri Dawala yang berstatus tawanan sedang disiksa habis-habisan sehingga berteriak sekencang itu.

Kuremas-remas bokong lebar ratu Dawala yang tak kalah montok dan kenyal dari payudaranya dengan gemas. Lidah dan mulutku semakin liar bermain dengan vaginanya. Terkadang kugelomoh semua permukaan lembut menggemaskan itu ke dalam mulut lalu kusedot-sedot. Terkadang pula semua-mua mukaku kugosok-gosokkan saja ke permukaan vagina becek itu, hingga mukaku berselemak cairan manis birahinya yang terus mengucur. Lidahku menusuk-nusuk gemas hingga bermaksud mendahului Aseng junior yang belum merambah kedalamannya.

Bagaimana suaranya? Berdua mereka sangat bising sekali seperti ada konser dua vokalis band rock yang sedang adu lengkingan suara siapa yang lebih merdu, siapa yang lebih tinggi. Tri ternyata menjiwai sekali tugas yang kuembankan padanya untuk mengoral pengawal ratu itu. Ratu Nirada lebih leluasa dengan tubuhnya untuk berekspresi. Ia tak malu ato sungkan lagi menyodorkan kemaluan hausnya untuk ku-jilmek selalu. Liurnya menetes-netes sebanjir kemaluannya. Ia seperti tak sadar siapa diri dan statusnya lagi.

“Baginda… Peri pengawal ini mengencingi hamba… Bolehkah hamba menghukumnya?” tanya Tri tetiba dengan muka meringis. Rambutnya memang basah, sebagaimana muka dan sebagian dadanya. “Ia sudah menghina hamba dengan air kotor ini…” ia memegang gagang pedangnya siap untuk ditebaskan.

“Jangan Tri… Dia tidak bermaksud begitu…” cegahku. Gila aja gara-gara squirt harus meregang nyawa. Kau aja yang terlalu bringas nge-jilmek-nya sampe peri Dawala itu ngecrit begitu. “Kau yang membuatnya sedemikian… apa namanya… terangsang… Ya… Terangsang hingga dia sampe terkencing-kencing begitu… Itu bukan hal yang jahat… Katanya rasanya sangat enak…” lalu aku kembali menikmati suguhan vagina enak ratu Nirada.

“Oouuhh… oohh… Nikmat sekali bag-bagindaaa… Aaahh…” erangnya menikmati permainan mulutku di vagina perinya. “Telur-telur hamba makin siap untuk dibuahi, bagindaaaAAaahhh!!” berkejat-kejat tubuhnya dan mendapatkan puncak orgasmenya. Vagina itu menempel di mukaku tanpa ampun. Digosok-gosokkan dengan brutalnya saat ia menikmati rasa melayang ke langit ke tujuh. Mukaku penuh dengan aroma kayu manis cairan sekresi tubuhnya yang membuatku semakin bringas dan semangat.

Aku bangkit dan memeluk tubuh telanjangnya. Aseng junior tanpa ampun menempel di titik sasaran tembaknya. Kuciumi mulutnya dan dibalasnya dengan lemah akibat kenikmatan yang barusan. Kubidik liang kawinnya dengan bantuan sebelah tangan. Kepala kenyal Aseng junior menemukan belahan vaginanya yang sangat licin oleh lendir, untuk mempermudah jalan masuknya. Ini akan sangat nikmat…. Membuahi ratu peri Dawala dengan ratusan telur siap menunggu bibit.

“AAaaahhhh…” erang ratu Nirada saat Aseng junior mulai menerobos masuk ke dalam tubuhnya lewat liang kawin vagina perinya. Rasanya luar biasa nikmat. Ia pasrah saja tubuhnya kuterobos, apalagi dalam keadaan terbelenggu begini. Aseng junior meluncur masuk dengan lancar dan tak perlu usaha yang terlalu bertele-tele, sudah mentok dan menemukan jalur terdalamnya. “Haahh… haahh… haahh… B-bagindahh… bagindaa… Ini-ini terlalu nikmat baginda… Sudah masukkah, bagindaaa… Buahi telur-telur hambamu ini, bagindaa… Hanya bagindaa yang pantasss uhhh… Aahhh…” cerocosnya ngomong melantur.

Bagian bawah tubuh kami menyatu dalam harmoni yang sangat indah sekali, persatuan kelamin. Kelamin manusia dan peri yang pasrah menggagahinya. Aseng junior dengan gagahnya menerobos liang kawin sempit ratu Nirada dan mulai kugerak-gerakkan. Tiap tarikan selalu menarik sejumlah cairan pelumas beraroma kayu manis itu. Tangan dan kakinya yang terikat erat di dinding tak dapat berbuat banyak, perutnya yang berperan penting dalam menyambut sodokan-sodokan penuhku. Batang becek bergelimang cairan manis Aseng junior menyodok-nyodok ratu peri Dawala ini, dengan kami saling berpandangan. Wajah cantik ratu Nirada bermata sayu menikmati sekali penyerahan dirinya. Mulutnya megap-megap untuk udara dan alatnya berceloteh keenakan.

Ia nyerocos pasrah aku membuahi semua telur-telur yang ada di dalam tubuhnya untuk penambah jumlah pasukanku kelak. Nafsu birahi membuatnya ngomong sembarang apapun. Bahkan tata krama standarpun dilanggarnya. Ia memuji-muji betapa nikmatnya batang kemaluanku yang menodai kemaluannya. Kusumpal mulutnya yang sebecek vaginanya agar ia tak nyerocos hal-hal yang memalukan lebih jauh.

Sekarang Aseng junior memompa pendek-pendek. Tanganku meremas-remas seluruh bagian tubuhnya yang menggemaskan. Kunikmati mulutnya dan diterimanya semua dengan pasrah. Ahhh… Aku gak akan puas-puas menggauli peri-peri montok semacam ini.

“BaagindaaaAAAaahh… Uhm… uhh uhhh… uhh…” sepertinya ia mendapat orgasmenya lagi. Gila nih staminaku sekarang. Aku bisa membuat peri sekelas ratu seperti ratu Nirada orgasme berkali-kali. Dibandingkan aku sebelumnya yang dibuat keok berkali-kali oleh Mutee saat menguras energi kehidupan dariku. Kini kebalikannya, aku yang membuat mahluk ghaib ini keok, sampe termehek-mehek. Ratu Nirada berkejat-kejat seperti epilepsi. Otot perutnya mengejang, meremas batang Aseng junior yang tertanam di dalam sana.

Berlama-lama di dalam dungeon ini adalah pilihan tepat sejauh ini. Ada dua peri Dawala yang siap untuk dibuahi. Sekarang ini, aku harus puas-puasin sama ratu Nirada lebih dulu. Setelahnya aku beralih pada pengawalnya yang ternyata punya cukup banyak telur di tubuhnya; 50 butir. Bila dijumlahkan, akan mencapai 250 peri Dawala kelak. Berikutnya adalah giliran peri Candrasa itu yang sedang memupuk 200 telur juga. Rasa-rasanya aku tak perlu lagi ke kerajaan Laut Biru untuk mendapatkan tenaga pasukan mereka yang sedang tercerai berai.

Tak disangka, Tri saat ini sedang bercumbu mesra dengan peri Dawala pengawal itu. Keduanya berciuman dengan berangkulan mesra bak adegan lesbi yang sangat hot. Menyaksikan itu, aku tambah semangat menggenjot ratu Nirada. Pompaan pendek-pendek penuh tenaga. Cairan kental manisnya menetes-netes di lantai dungeon ini. Kedua peri itu bertukar ludah lalu berpagutan meniru apa yang sudah kulakukan pada ratu ini. Pemandangannya tak dapat kutahan lagi. Aseng junior harus segera mengeluarkan semua bebannya. Ngecrot kita, boy?!

“Ugghh… Uhh…” ejanku melesakkan Aseng junior sedalam sekandas mungkin. Menyemburkan bibit-bibit suburku sudah terbukti bisa membuahi peri Padma itu hingga membuahi tiga telur peri teratai merah itu. “Crooottt cprooott crooottt” cukup banyak sperma yang kuhasilkan di alam ini di kali kedua.

Ratu Nirada menjerit melengking merasakan terjangan deras spermaku menyemprot ke-entah rahim ato apa namanya, organ reproduksi spesial sang ratu ini. Rahim dimana ia bisa menampung sampai 200 telur siap dibuahi. Kepalanya menengadah dan matanya membelalak tanpa bisa terlihat korneanya. Tangannya mengepal erat.

Bagaimana cara peri Dawala melakukan reproduksinya? Apakah dengan cara yang sama dengan peri Padma itu? Peri Dawala elemen dasarnya adalah sinar terang. Hampir sama dengan metodeku yang menyerap panas sinar matahari, peri Dawala hanya perlu cahayanya aja. Dengan cahaya terang yang ada di daerah kekuasaanku ini, seharusnya ia bisa mendapatkan kekuatan dan energi besar untuk bereproduksi.

Benar saja. Pilar-pilar cahaya berhamburan dimana-mana. Tubuhnya bercahaya terang seperti petromaks. Seperti transparan ia bisa melepaskan semua belenggu yang menahan tubuhnya dan secara tak sadar ia mengambang dan berusaha mencapai pusat cahaya yang ada di luar dungeon ini. Tubuhnya melayang-layang masih berbalutkan cahaya terangnya itu. Buru-buru aku memakai celanaku kembali dan mengikutinya keluar. Beberapa peri Aruna yang memergoki tubuh peri Dawala yang mengapung di udara kuperintahkan untuk membiarkannya.

Tubuhnya terus mengambang bahkan bisa menembus langit-langit kubah balairung istana dan menuju lantai dua dimana ada sebuah menara setinggi 15 meter yang sedang dikerjakan oleh beberapa anggota kelompok pembangun. Aku mengikutinya terus menanjak menaiki tangga spiral yang masih belum selesai sepenuhnya ke puncak menara. Sas yang sedang memahat sebuah batu kapur besar dengan tubuhnya yang kuat berhenti saat melihatku yang bertelanjang dada menapaki tangga.

“Baginda raja? Peri Dawala itu hendak kemana?” herannya melihat peri berbalutkan sinar itu terus mengambang ke puncak menara. Ia masih memegangi palu dan pahat batunya. Aku hanya bisa menggeleng. Ia mengikutiku.

Keluar di puncak, ada balkon kecil di atas sini yang bisa digunakan untuk mengawasi sampe titik terjauh daerah kekuasaanku. Saat ini, ini titik tertinggi di kerajaan yang belum dilampaui bahkan oleh gunung berapi itu. Ratu Nirada bahkan sudah lebih tinggi lagi, di puncak atap kerucut ia berdiri tegak, bermandikan cahaya matahari artifisial yang merupakan mantel rubah hitamku yang merefleksikan sinar matahari dari dunia nyata. Peri Dawala itu makin bersinar terang sampe taraf menyilaukan…

“FWUUSSHHH….” lesakan sinarnya meletup kecil dan ledakannya menyebar cepat membentuk radius luas dan menghilang di ujung horizon.

“E-e… Sas! Tangkap dia!” tubuh ratu Nirada limbung tak bercahaya lagi jatuh dari ketinggian puncak menara ke arah yang membahayakan. Jatuh setinggi 15 meter ini hasilnya aku gak berani membayangkan. Dengan sigap, peri pembangun bertubuh kekar itu menangkap lalu menarik kemudian memeluk tubuh lunglai ratu peri Dawala itu dan merangkulnya dengan aman.

“Baginda… Itu telur-telurnya…” kami sama-sama menatap pada atap kerucut dimana ratu peri Dawala itu tadi berada, ada beberapa buah cahaya, ratusan butir-butir cahaya tepatnya, seukuran kepalan tangan mengapung-apung berputar mengelilingi atap. “Telur peri Dawala…” gumam Sas. Terdengar beberapa langkah kaki lainnya menaiki tangga batu secara tergesa-gesa. Ternyata Eka dan Dwi menyusul kami ke puncak menara ini setelah menyadari ada ledakan minor barusan yang berpusat di puncak menara ini. Mereka juga menatap takjub pada ratusan butir titik cahaya yang bergerak sinkron satu sama lain memutari puncak menara berlawanan arah jarum jam.

“Tri? Tri dimana, baginda raja?” tanya Eka tak menemukan anggota ketiga peri Aruna petarung itu.

“Dia masih di ruang bawah tanah…” jawabku ingat. Apakah mereka berdua masih bercumbu? Aku ingat masih harus membuahi pengawal ratu itu. Saat ini ia masih diladeni oleh Tri yang kutugaskan untuk sekedar memanaskan dan memuluskan jalanku kelak. “Rawat ratu Nirada ini di tempat yang layak… Dia pasti kelelahan bertelur sebanyak itu…” ujarku lalu beranjak turun. Mereka tak protes akan keputusanku.

“Apa yang akan kita lakukan pada telur-telur peri Dawala ini, baginda raja…” tanya Eka yang mengikutiku dengan tatapan matanya. Dwi masih menatap takjub kilauan ratusan titik cahaya yang merupakan telur yang dihasilkan ratu Nirada.

“Biarkan saja di sana…” jawabku lalu turun.

Menuruni ratusan anak tangga tak sesulit menaikinya tadi karena hanya mengikuti gravitasi dan langkah saja. Aseng junior yang kumasukkan asal-asalan aja di dalam celanaku menggeliat karena tau masih punya kesempatan untuk memasuki liang sempit lainnya. Peri Dawala pengawal ratu yang memiliki 50 butir telur di dalam tubuhnya.

Sampe di ruang bawah tanah—dungeon—aku disuguhi pemandangan erotis yang mengejutkan. Tri sedang menikmati payudaranya dikenyot-kenyot dengan mesranya oleh peri Dawala berambut pendek yang masih terikat erat di dinding itu. Ia merintih-rintih. Ia sudah melepaskan semua pakaiannya dan menyisakan celana dalam saja. Tangannya tak diam, meremas-remas payudara peri Dawala itu. Keduanya mengerang bersamaan. Ini pemandangan yang sangat erotis. Tri benar-benar memanaskan peri Dawala itu, liang baru bagi Aseng junior-ku.

“Terima kasih, Tri… Biar baginda rajamu yang meneruskannya dari sini…” tepukku di bahunya. Ia agak melonjak kaget dan memegangi dada montoknya seolah menutup karena malu ketahuan. Aroma kayu manis memenuhi tempat ini bersama aroma baru. Ini seperti aroma air mawar. Aku mengendus pada wajah Tri. Aroma mawar ini berasal darinya. Lalu mataku secara tak sengaja melirik pada selangkangannya yang masih ditutupi bikini hitam bertali coklat. Basah kuyup. Aroma mawar yang berasal dari sana sangat kuat.

“Apakah kau juga sedang birahi, Tri? Telurmu siap dibuahi?” tanyaku menatap wajahnya yang manis tak bosan dipandang dengan semu merah khas lagi konak.

“Hmm… I-iya… Sepertinya iya, baginda…” jawabnya takut-takut karena ini tidak seperti yang kutugaskan padanya tadi. Bermain-main dengan peri Dawala, yang awalnya hanya kumaksudkan untuk menemaninya sementara malah menyebabkan telur yang dimiliki Tri menjadi matang siap dibuahi. Ini malah membuat hasratku berpaling pada rakyatku sendiri. Hasrat seorang pejantan tangguh yang pantang mundur sebelum ngecrot!

“Tenang aja… Biar kubuahi dirimu kalo begitu…” jangkauku pada lengannya agar mendekat. Kutepikan tangannya agar tak usah menutupi dadanya lagi. Toh sebelum mempunyai pakaian aku sudah puas memelototi semua bagian tubuhnya yang telanjang bersama kawanan peri Aruna lain.

“Dia bagaimana?” maksudnya pada peri Dawala yang rencana awalnya mendapat giliran seharusnya.

“Dia bisa menunggu… Kau lebih penting…” kataku merapatkan tubuh kami hingga aroma tubuhnya yang beraroma mawar ini semakin keras. Kenapa baru selama ini aku baru tau, aroma birahi peri Aruna, anggota asli kerajaan Mahkota Merah beraroma air mawar yang wangi.

“Ahh-m…” desahnya ketika kukecup bibirnya. Ia pasrah saja saat tubuhnya kurengkuh, kudorong dan kubaringkan di tumpukan rumpun gelagah di salah satu sel. Kulumat bibirnya dan aroma mawarnya menguar dengan intens. Seluruh tubuhnya wangi oleh aroma mawar. Aku saat ini mabuk oleh aroma wangi yang sangat keterlaluan kuat ini sehingga kepalaku terasa ringan menjilat-jilat wajah manisnya, leher mulusnya, bahu lalu tiba di dadanya.

“Bagindaaa… Seharusnya itu hambaaaa, bagindaaa!” jerit menagih dari peri Dawala yang terbelenggu tak berdaya di dinding dengan tubuh basah oleh luncuran berbagai cairan birahi yang beraroma kayu manis. Ia memanggil-manggil mencoba menarik perhatianku. Siapa saja yang bisa menuntaskan rasa birahi akibat matangnya telur peri Dawala yang dimilikinya.

Aku tak perduli.

Tri

Aku lebih menikmati Tri yang menggelinjang-gelinjang manja di bawahku. Kulepaskan ikatan tali yang membentuk celana dalam bikini miliknya hingga ia kini polos bugil kembali seperti keadaan awalnya, tak berpakaian. Rambut panjang merah gelapnya terurai liar di atas hamparan alas gelagah, tak perduli apapun lagi. Tak menjaga rasa hormatnya pada baginda raja junjungannya. Tangannya secara tak sopan menjambak-jambak rambutku yang sedang asik menikmati rasa manis yang banjir memenuhi vagina indahnya. Yang kubuka lebar-lebar. Lidahku rakus menikmati rasa manis aroma mawar yang dihasilkannya.

Biasanya hanya serangga semacam kupu-kupu dan kumbang yang menyicipi manis nektar mawar, kali ini sosok seberat 68 kilogram ini sedang mengais-ngais cairan lezat melimpah itu dari sebongkah kemaluan indah yang imut menantang terbuka, menyuplai terus-menerus nektar manis itu. Tri melengking-lengking menjerit, mendesah dan mengerang merasakan nikmat permainan nakal rajanya. Ia tak perduli norma kerajaan yang biasanya dijunjungnya dengan patuh. Sekarang ia hanya menggeliat-geliat, bahkan menyuruhku ke titik tertentu yang dirasanya lebih kuat rangsangannya.

Tiap kali orgasme, cairan kental manis bening itu mengucur deras dan kucucup rakus. Rasanya sangat melenakan dan memuaskan. Manis menagih. Tubuhnya melengkung dengan bokong mencuat tinggi hingga mukaku terbenam dalam di permukaan vaginanya. Saat terjatuh kembali ke alas gelagah, lunglai dengan nafas terengah. Aku buru-buru melepas celanaku lagi.

“Baginda raja… Telur peri Dawala itu sejumlah…” terdengar suara Eka yang baru menuruni tangga dan tiba di ruangan utama penjara bawah tanah ini. Ia berhenti di depan sel yang terbuka, yang sedang kupakai menggumuli Tri. Ia berhenti melaporkan temuannya. “… dua ratus sembilan buah telur cahaya…” lanjutnya setelah aku melirik padanya untuk meneruskan laporan itu. “Telur peri Padma itu juga sudah menetas menjadi tiga peri Padma baru, baginda raja…”

“Baiklah… Nanti kita urus itu… Sekarang aku sedang sibuk… Uhhh…”

“AAhhhhh…” jerit Tri mendongak melengkungkan tubuhnya kembali saat Aseng junior menyeruak, menembus tubuhnya. Aku yang telah mengambil ancang-ancang di antara bukaan gempal paha peri Aruna ketiga itu, menusukkan batang penisku dalam-dalam. Rasanya nikmat sekali. Nektar manis kentalnya melancarkan jalan masuk Aseng junior menerobos masuk ke liang kawinnya.

“Ada lagikah yang ingin kau laporkan?” tanyaku pada Eka sembari menggasak teman sekelompoknya ini. Rasanya gimana ya gitu? Ngentoti sesosok mahluk cantik begini sambil diliatin sama sesama temannya yang juga menawan? Rasanya aku jadi rakus ingin menikmati tubuh Eka juga berikutnya. Apalagi sensasi diliatin tanpa mereka bisa melakukan apapun untuk mencegah, apalagi melarang. Seperti aku yang paling berhak melakukan apapun di tempat ini. Memang ini adalah daerah kekuasaanku, kerajaanku. Segitu absolutnya-kah kekuasaan seorang raja? Hingga aku bisa menggauli siapapun sesukaku seperti ini?

“Ratu Nirada dan peri Candrasa itu sudah kami tempatkan di kamar yang berhadapan, baginda raja… Ratu peri Dawala itu dengan jendela terbuka lebar dengan banyak cahaya sedang peri buntung itu dengan keadaan gelap gulita seperti yang ia suka… Dwi berjaga di depan pintu dua kamar itu…” lapornya rinci dan tentu aja bisa melihat apapun yang sedang kulakukan pada rekannya.

“Bagus…”

“Hamba akan berjaga di sini, baginda… Tri sepertinya tidak bisa mengawal anda dengan baik untuk saat ini… Umm…” ia mengalihkannya perhatiannya pada peri Dawala pengawal itu yang masih berisik ingin mendapatkan perhatian dariku. Tak kuperdulikan lagi dirinya dan hanya fokus pada mahluk indah dan manis di bawahku, yang sedang merintih-rintih oleh genjotan Aseng junior-ku yang perkasa.

Guncangan payudara Tri berputar-putar, saling menampar akibat gerakan sodokanku. Wajah manis Tri yang merona merah sange sangat menakjubkan. Racauan keenakan merasakan dirinya hendak dibuahi sebenarnya sangat memalukan dan juga membuat risih Eka yang sangat ketat menerapkan protokol kerajaan tapi ia tak bisa berbuat banyak. Sepertinya, dirinyapun paham penyebabnya.

“Yang iniiihh… Iniihhh jugaa… Oohhh… Ouhhh.. Uhhh… Aaahhh… Yaaa…” erang merintih Tri yang melonjak-lonjak akibat sodokan bertenagaku yang menumbuki tubuhnya berulang-ulang. Ia tak segan memintaku untuk memainkan pentilnya yang mengacung keras. Ia tak memikirkan tata kramanya terhadap raja. Ceceran cairan manisnya membekas di lantai dan alas gelagah yang sebenarnya jauh dari kata empuk. Tapi bila berbicara tentang nafsu birahi semua itu dapat dimaklumi. Tak lama ia menjerit lagi akibat orgasme dengan tubuh lemas setelah berkejat-kejat gelinjang pelan.

Eka seperti berusaha untuk membungkam suara berisik peri Dawala yang menuntut pelampiasan juga dariku. Tangannya membekap agar tak ada suara yang keluar dari mulut cerewet peri cantik yang sedang birahi tinggi itu. Bahkan ia menggunakan sebatang kayu menyumpal lalu mengikatnya agar tak bisa bersuara. Eka sangat kreatif kalo sudah urusan menyiksa sepertinya.

Kubalik tubuh montok Tri agar menyamping dan kutelusupkan Aseng junior dan masuk dengan sukses berkat becek licin vaginanya yang bisa mencengkram erat kemaluanku. Ini kesukaanku, posisi ini bisa membuatku tak dapat bertahan lama untuk segera ngecrot kembali untuk kedua kalinya. Kupeluk pinggulnya yang menggunung montok. Entah bagaimana caranya mereka bisa bergerak lincah dengan tubuh sebohay ini sekarang. Sekarang aku gak bisa memandang mereka dengan biasa aja tanpa membayangkan nikmatnya tubuh mereka kalo digenjot seperti ini. Ada banyak pulak ‘lahan’ yang bisa kugarap…

Dengkulku mendadak lemas saat kusemprotkan spermaku yang meledak-ledak beberapa kali, menginjeksikan bibit untuk membuahi telur milik Tri yang mendadak matang. Semprotan-semprotan susulan memberikan kenikmatan tambahan yang tak kalah memabukkan. Tri hanya bisa melolong menerima curahan semua bibit pembuah telur miliknya. Tubuhnya meremang kemerahan dari biasanya. Seperti aura api yang sangat kuat membara di sekujur tubuhnya. Apalagi pada bagian rambut merahnya.

“Hash hash hash hash…” nafasnya tersengal-sengal saat Aseng junior kucabut pelan-pelan. Spermaku yang banyak mengucur keluar bercampur dengan cairan vagina beraroma mawar itu, kental malah berubah seperti warna susu strawberry. Kuurut-urut Aseng junior untuk menguras semua sisa sperma yang tersisa dan kuoleskan ke bibir vaginanya yang becek.

“Baginda… mundur, baginda… Ia akan terbakar sebentar lagi…” pungkas Eka dari belakangku. Hah? Terbakar?! Aku buru-buru mengikuti sarannya dan mundur. Aura merah itu bakal api?

“Wuuurrrrhhh…” benar saja. Api panas berwarna jingga kemerahan menyeruak tiba-tiba di tubuh Tri yang berbaring masih menyamping. “Plung-plung-plung…” berturut-turut sejumlah bola merah keluar dari vaginanya. Tak hanya satu dua ato tiga. Aku sudah tak dapat menghitung lagi saat di jumlah 14 butir. Bola-bola yang hanya seukuran bola tenis itu berkali-kali membuat vagina sempit peri petarung Aruna itu membuka lebar. “Plung-plung-plung…” terus keluar lagi dan lagi bola-bola merah itu sampe banyak sekali.

“Luar biasa, baginda… Tri ternyata bisa bertelur sebanyak itu… Itu sudah mencapai 156 butir dan terus bertambah… Ini kualitas ratu, baginda raja… Hanya kalangan ratu yang mampu menghasilkan telur sejumlah banyak ini sekaligus… Seperti ratu peri Dawala itu…” kagum Eka yang ternyata terus menghitung tanpa tertinggal.

“Plung-plung-plung…” telur-telur peri Aruna itu terus meluncur keluar dari vagina Tri yang bergetar-getar tiap telur itu keluar dari tubuhnya. Ratu peri Aruna? Ternyata Tri punya kualitas status ratu di tubuhnya. Eka menghitung sudah 212 butir dan kemudian berakhir di 215. Tri lemas dan sepertinya tertidur, mungkin juga pingsan kelelahan menelurkan sedemikian banyaknya telur sekaligus. Api yang tadi berkobar-kobar di sekujur tubuhnya hingga membakar, menghanguskan alas rumput gelagah, sudah padam. Hanya gerakan nafas lemah yang tersisa di tubuhnya yang lelah.

“Baginda… hamba akan memanggil peri Aruna yang lain… Telur-telur ini harus segera dipindahkan… Tri juga harus segera dipindahkan ke tempat yang nyaman…” bergegas ia bergerak lalu berhenti lagi. “Apakah baginda raja tak apa-apa hamba tinggalkan sendirian saja dengan peri Dawala ini?” ternyata ia mengkhawatirkan keselamatanku. Ia melirik pada peri pengawal ratu Dawala itu yang mulutnya terbungkam.

Aku hanya menggeleng karena gak ngerti harus berkata apa. “Aku gak apa-apa, Eka… Aku bisa melindungi diriku. Urus dulu Tri dan telur-telur berharga ini…” jawabku. Ia lalu berlari dengan cepat menaiki tangga untuk memanggil peri Aruna lainnya. Aku hanya bisa mengumpulkan semua pakaian Tri dan berusaha memakaikannya ke tubuh peri Aruna nomor tiga ini. Aku gak boleh terangsang melakukan ini walo Aseng junior menegang merasakan sentuhan tubuh seksinya. Udah lelah dia, Seng. Itu aja yang kao embat…

“Bagindaaa… bagindaaa… Sekarang giliranku… Te-telurku juga butuh dibuahi… Aku-aku-hamba sudah tak tahan lagi… Ratu Nirada sudah bersumpah setia padamu… Hamba juga demikian adanya… Sembah dan bakti hamba hanya untuk baginda raja kerajaan Mahkkota Merah… Buahi hambaaa…” rengek peri Dawala itu minta segera dibuahi ternyata berhasil melepas bungkaman mulutnya.

“Sebentar…” tanganku mengacung menghentikannya. Aku memakai celanaku kembali. Lucu juga kalo nanti semua peri Aruna datang kemari dan melihat sang baginda rajanya sedang telanjang dengan junior gondal-gandul begini. Gak wibawa kali, pulak. “Selesai mereka mengurus peri Aruna dan telur-telurnya ini… giliranmu akan tiba… Sabar, ya?” kataku menenangkannya. Ia berkali-kali meneguk ludah tak sabar. Banjir di kemaluannya masih mengucur pertanda ia masih dalam masa birahi.

Tak lama para peri Aruna datang berbondong-bondong menjenguk keadaan Tri dan telur-telur berjumlah ratusan ini yang tergeletak begitu saja di lantai kotor. Aku tak berani menyentuhnya karena sepertinya permukaannya cukup panas. Saat kutanyakan pada Eka, ia mengatakan kalo telur-telur ini harus diletakkan di kaki gunung berapi untuk menyempurnakannya. Sementara Tri akan dibawa ke kamar khusus untuk dirawat. Para peri Aruna itu lalu meraup butir-butir telur itu dengan hati-hati dan dengan penuh rasa kasih sayang. Seperti mengangkut bayi saja. Karena di dalamnya ada calon peri-peri Aruna yang sudah dibuahi dan siap menetas lewat perlakuan khusus.

Satu peri mengangkut lebih dari sepuluh butir di tangannya dan sepertinya mereka tidak kepanasan tersentuh butir telur itu. Harusnya aku juga tahan tapi aku ragu. Lebih baik tidak. Eka sendiri yang menggendong dan membawa Tri ke kamar perawatannya dan mereka berbondong-bondong naik lagi keluar dari ruang bawah tanah ini untuk membawa telur ke kaki gunung berapi.

Dan… hanya kami berdua yang tersisa di tempat ini.

 

“Bagindaaaa… saatnya…” serak parau suaranya yang menagih janjiku. Aku berdiri tepat di depannya.

Bersambung

Tante hot
Cerita Ku Dengan Cindy Waktu Di Kapal
500 foto chika bandung bugil telanjang di hotel sambil ngangkang
pemerkosaan
Reporter cantik yang malang di perkosa di gerbong kereta api
dukun cabul
Cerita dukun cabul yang menikmati tubuh pasien nya bagian satu
rekan kerja
Menikmati Tubuh Indah Ratna Rekan Kerja Ku
Tante sexy
Tante Ku Yang Telah Mengajari Jadi Haus Sex
gadis suka ngentot sejak kecil
Kakak Kandungku Sendiri Yang Telah Mengajari Sex
tante sexy
Ngentot tante sexy selingkuhan bule kaya raya
pembantu genit
Aku di bikin konak oleh pembantu genit tetanggaku
Nikmatnya Bercinta Dengan Tanteku
gadis alim
Nadya, Gadis Alim Yang Tergoda
Foto bugil jepang susu jumbo Satomi katayama
Foto bugil anak sma bispak montok memek masih sempit
tantehot
Perselingkuhan Ku Dengan Tante Yang Kesepian Bagian Satu
Terpaksa Menikahi Gadis Berjilbab Yang Masih SMA
Pose Bugil Abg Jilbab Cantik Tidak Perawan