Part #86 : Neneng , Cherni Dan Anisa

Ada empat Padma yang berenang-renang dengan riangnya di kawah magma cair ini. Tiga peri Padma muda itu cantik-cantik dan bentuknya hampir sama persis dengan peri Padma yang sudah menelurkan telurnya sebelumnya. Bersayap, rambut hitam dan tanduk merah, tentu saja kulit yang keseluruhannya merah. Ia tidak bertindak seperti ibu atopun induk. Lebih seperti senior yang lebih dahulu ada hadir di dunia ini. Mereka da-dah da-dah padaku dengan cerianya, menikmati rasa nyaman menggelegaknya panas magma cair itu.

“Berapa lama telur-telur Tri akan menjadi peri Aruna?” tanyaku yang sudah turun gunung dari volcano setinggi 6 meter itu. Medan terjalnya makin curam walo sekarang ada jalur pendakian yang sudah disiapkan untukku sewaktu-waktu aku ingin meninjaunya seperti barusan. Bersamaku saat ini ada Eka dan Tri sendiri. Tri sebenarnya sedang menjaga telur-telurnya langsung di kaki gunung berapi ini setelah selesai beristirahat. Ia berkeliling mengitari kaki gunung ini bersama dengan telurnya yang menggelinding berkeliling.

“Sampai telur-telur itu mencapai ukuran kira-kira segini, baginda raja…” kata Eka lalu membentuk bola imajiner dengan gerakan tangannya. Dari gerakan tangannya sekitar sebesar bola kaki. Telur-telur itu kini tak berbeda jauh dari ukuran awalnya yang sebesar bola tenis. Anehnya bola-bola berwarna keabu-abuan yang terlihat rapuh, sejumlah 215 itu menggelinding dengan tangguhnya di tanah berbatu di kaki gunung berapi. Berputar mengelilingi gunung berapi ini berlawanan arah jarum jam sehingga membentuk jalur tersendiri di jalannya.

“Dan… Tri memang harus ikut keliling juga bersama telur-telurnya ini?” tanyaku lagi. Ratu Nirada dan peri Dawala pengawal itu juga melakukan hal yang sama dengan telur-telurnya di bawah puncak menara, berkeliling mengikuti gerakan telurnya. Bukankah itu melelahkan? Menjaga seperti itu?

“Itu insting-nya, baginda raja… Setiap peri yang menelurkan telurnya akan merasa berkewajiban untuk menjaga telurnya dengan cara-cara begini… Hamba…” ia berhenti. Aku menunggu lanjutannya.

“Lanjutkan… Jangan berhenti… Ucapkan saja…”

“Ham-hamba akan melakukan hal sama… jika bertelur… juga~~” suaranya melemah ke ujung kalimat. Mungkin malu. Apakah ia membayangkan kalo aku juga akan membuahi telurnya suatu saat nanti jika telurnya matang.

Kutepuk lembut kepalanya yang menunduk. “Aku akan membuahimu nanti, Eka…” cetusku lalu melangkah berkeliling mengikuti gerakan menggelinding telur-telur berbentuk bola ini. Aku hanya jalan pelan-pelan saja masih didampingi Eka yang senyum-senyum sendiri. Bahkan Tri bisa menyusul kami. Ia menunduk saat berpapasan dengan senyum lebar yang sangat manis. Aku sangat ingat gairahnya saat kugenjot saat itu. Ia sangat manis, semanis saat ini.

Aku gak bisa bilang kalo telur-telur ini adalah anakku karena secara teknis telur peri hanya butuh dibuahi tak perduli dari jantan manapun. Seperti penjelasan Eka saat itu kalo telur peri Padma akan menjadi peri Padma, telur peri Dawala akan menjadi peri Dawala dan telur peri Aruna akan menjadi peri Aruna, saat menetas tiba. Seperti yang ada di kawah magma di puncak gunung di atas sana. Tak ada yang namanya setengah manusia setengah peri. Aku hanya pemicu pembuahan, seperti juga seharusnya bisa dilakukan oleh pejantan lain.

“Lelah tidak, Tri?” tanyaku menjajari langkahnya mengikuti gelindingan telur-telurnya. Telur-telur itu bergerak konstan seperti mempunyai energi magis yang tak kunjung habis hingga akhirnya menetas nanti.

“Tidak, baginda raja… Hamba hanya merasa harus tetap bersama mereka sampai masanya tiba… Hamba tidak merasa lelah, kok…” jawabnya dengan sangat manis sekali. Rasanya pengen tak cipok kalo gak ingat-ingat aku lagi puasa. Ini masih siang hari di dunia normal walopun di sini selalu siang hari dengan matahari yang hangat. Untungnya saat aku menggauli peri-peri ini, di waktu malam dunia normal. Jadinyaa… Gitu deh.

Jadi gimana dengan jargon ‘Zinah no! Taubat yes!’-ku waktu itu?

Eits… Siapa yang zinah? Tunggu dulu… Mereka ini, peri-peri ini mengaku sebagai hamba-hambaku ya, kan? Hamba sama artinya dengan budak. Tuan pemilik budak berhak untuk menggauli para budak miliknya. Ada itu di kitab Suci. Baca deh…

Pande-pande kau aja-nya itu, Seng-Seng.

Eh… Cemana pande-pande-ku pulak? Bukan aku yang buat ayat di kitab Suci itu. Resmi itu ada di sana. Gak akan berubah sampe akhir masa. Pede aku yakin kalo ini lebih legitimasi daripada UUD 45. Kalo yang kemaren sama binor-binor itu jelas zinah sudah. Gak akan kubantah sampe kapanpun. Berdosa kali aku kalok yang itu. Tapi yang ini… Tidak kawan. Ini legal.

Walopun mereka setara dengan budak statusnya, aku gak memperlakukan mereka seperti budak, kok. Gak ada mereka kupaksa-paksa kerja. Apalagi sampe ku-rudapaksa yang maknanya diperkosa. Tak ada sama sekali. Bahkan dari beberapa kasus yang telah terjadi, malah mereka yang minta. Baginda raja-baginda raja… Entot hamba. Entot hamba. Kira-kira begitu. Gak persis begitu, sih. Tapi intinya tak ada pemaksaan. Malah suka sama suka.

Mereka butuh dibuahi, aku suka ngecroti.

——————————————————————–
“Kau lagi buat apa?” tanyaku.

“Buat pengganti tangan hamba, baginda raja…” jawabnya masih berusaha melebur bahan besi hitam itu.

“Pengganti tangan? Memang bisa?” aku membayangkan tangan boneka kaku yang terbuat dari besi hitam, bekas dua pedang hitam yang pernah ditancapkan di potongan tangannya. Peri Candrasa ini meminjam tempat bekerja para peri Aruna kelompok perajin untuk melakukan pekerjaan pribadinya ini. Tentunya tidak gratis juga karena para kelompok perajin minta transfer pengetahuan juga tentang teknik pembuatan senjata yang tersohor milik peri Candrasa yang terkenal. Mereka berempat; Trayodasa, Caturdasa, Pancadasa dan Sadasa juga berkerumun menyaksikan peleburan besi hitam yang ternyata tidak mudah dilebur.

“Naikkan lagi suhunya… Kurang panas… Naikkan dua kali lipat…” besi hitam yang masih berupa dua buah pedang hitam tanpa gagang itu masih tetap berwarna hitam yang seharusnya memerah menyala. “Dengan kemampuan peri Candrasa, hamba bisa membuat tangan palsu dari besi ini, baginda raja… Memakan waktu tetapi saya cukup sabar untuk melakukannya… Kalian semua siap belajar?” tanyanya pada keempat peri Aruna perajin itu. Ia sekilas melirik pada mahkotaku lalu beralih kembali pada besi hitam yang hendak dileburnya.

“Siap!” jawab mereka serempak.

“OK kalo begitu… Jangan terlalu memaksakan diri… Istirahat yang cukup… Ingat dengan targetmu yang 200 telur itu untuk membangkitkan lagi kejayaan peri Candrasa, ya…” kataku menepuk-nepuk kepalanya. Ia tersenyum senang. “Kalian berempat juga…” aku juga melakukan hal yang sama pada keempat peri perajin itu.

Aku meninggalkan ruangan besar lokasi kerja peri Aruna kelompok perajin berkarya. Setidaknya peri Candrasa punya tempat yang menerimanya disini. Walopun saat ini ia hanya sendirian, ia punya harapan dengan statusnya sebagai calon ratu peri Candrasa yang bisa menampung ratusan telur untuk mengembalikan kejayaan peri Candrasa yang nyaris punah dengan berubahnya mayoritas warga kerajaan Gua Kresna menjadi zombie. Semoga semua kemelut ini segera berakhir dengan baik.

Semoga…

“Baginda raja…” sapa dua peri Dawala itu hampir bersamaan dengan sedikit menunduk. Aku berdiri bersandar di ambang pintu yang menuju teras sempit menara yang dapat memandang sampe ke ujung horizon daerah kekuasaanku ini. Dari tempatku sekarang aku bisa melihat kilau butir gumpalan cahaya itu yang berputar-putar di atap kerucut menara. Jumlahnya 263 telur dengan rincian 209 telur milik ratu Nirada dan 54 telur sang pengawal. Tapi saat ini semuanya bercampur menjadi satu dan mereka menjaganya bersama-sama.

“Semua baik-baik saja?” tanyaku jikalau ada yang ingin mereka keluhkan. Pegal ato lelah ato apapun. Bermanja-manja mungkin. Ehem… *maunya.

“Semua baik-baik saja, baginda raja…” jawab ratu Nirada. Sang pengawal itu hanya mengangguk-angguk dengan senyum dikulum. Mungkin teringat akan keintiman kami saat aku membuahinya waktu itu. Ia sangat bergairah dan menjerit-jerit bahagia karena sudah digantung sedemikian rupa. Tapi walo mendapat kesempatan terakhir, tak kurang membuatnya kelojotan nikmat yang tiada tara.

Guncangan payudara keduanya yang berkeliling atap menara ini sungguh menggoda iman karena mereka masih dalam keadaan tak berbusana. Pakaian lingerie milik mereka berdua masih disita sampe waktu yang belum bisa ditentukan. Pakaian putih milik ratu Nirada sangat mencurigakan karena motif dan bentuknya sama persis seperti yang berwarna hitam yang dipakai pengawalnya.

Menurut kisah mereka berdua, saat mereka melarikan diri setelah semua rakyat kerajaan Bukit Putih di-zombiefikasi oleh pasukan musuh, beberapa hari kemudian mereka secara tidak sengaja bertemu dengan ratu kerajaan peri Candrasa yang sekarat, penuh dengan luka parah. Sang ratu di ambang kematiannya, meminta tolong agar pedang onyx hitam itu diserahkan pada pewarisnya yang akan muncul kelak. Tak lama ia mati dan musnah dengan wasiat yang dibebankan pada ratu Nirada. Pakaian sang ratu peri Candrasa yang tertinggal diberikan pada sang pengawal beserta pedangnya agar mempermudah kiprah mereka.

Mereka bersumpah atas nama biduri bulan (moonstone) yang menghiasi perisai lambang kerajaan kalo pakaian yang dimiliki sang ratu Nirada kebetulan sama persis motifnya dengan milik ratu peri Candrasa, hanya berbeda warna sesuai warna elemen mereka. Aku tidak terlalu memperdulikan itu sebenarnya. Apalagi mereka sudah bersumpah setia padaku. Aku punya rencana untuk mereka berdua setelah telur-telur ini menetas semua.

“Dua permata baru itu… sangat cocok di mahkota baginda raja…” puji ratu Nirada.

“Benarkah?” jawabku melirik ke atas. Ke arah mahkotaku yang nangkring di atas kepalaku yang tak bisa kulepas, apalagi melihatnya. “Entah kenapa mereka memilih pindah ke situ?” pungkasku. Permata baru? Benar. Dua permata, biduri bulan (moonstone) dan onyx hitam itu secara ajaib memindahkan dirinya sendiri ke kanan kiri rubi merahku. Kejadian itu sangat mengejutkan peri-peri yang menyaksikannya saat itu. Mereka terperangah kaget dan tak percaya itu bisa terjadi. Perisai kinclong mengkilat dan pedang hitam sakti ini kehilangan keindahan utamanya yang berupa esensi kekuatannya. Kedua permata itu berpindah saat aku sedang memperhatikannya sekaligus, dekat di depan mataku yang lamur. Fyupp… Keduanya berpindah begitu saja.

“Kamu gak keberatan… biduri bulan ini pindah ke mahkotaku…” tanyaku saat ia melintas lagi di depanku.

“Sepertinya ia menemukan pemilik sejatinya, baginda raja… Ia memilih siapa yang disukainya… Sepertinya peri Candrasa itu juga tak keberatan seperti juga hamba… Demikian, baginda raja…” jawabnya diplomatis. Dua batu ini memilih berdampingan dengan rubi api yang menempel di mahkota yang terbuat dari besi hitam di kepalaku ini.

“Dan senjata-senjata ini?” maksudku perisai dan pedang itu. Walopun tanpa permata-permata itu, senjata ini masih terhitung hebat. Haruskah aku mengembalikannya ke pemilik awalnya.

“Sepertinya mereka juga punya pemilik baru… Mereka hanya senjata biasa saja di tangan kami… Tapi di tangan baginda raja yang memiliki permatanya… mereka menjadi yang sangat kuat…” jawab si pengawal yang melintas di depanku sambil menunduk. Tetek berlingkaran puting besarnya berguncang-guncang bagus saat ia berjalan. Seeeng? Jaga matamu.

“Hmm… Begitu, ya…” dengan pikiran yang sebenarnya kosong. Hu-uh… “Berapa lama telur kalian akan menetas?” aku malah nanya hal lainnya.

“Telurnya akan menetas saat ia siap untuk menetas, baginda raja… Dengan berlimpahnya cahaya yang terang benderang seperti ini sepanjang waktu… waktunya akan lebih cepat dari seharusnya…” kata ratu Nirada dengan senyum lebar. “Terima kasih atas kerajaan baginda raja yang luar biasa ini…”

Aku harus balik lagi ke dunia nyata karena sepertinya sudah cukup aku meninjau kerajaanku siang-siang begini. Godaan terbesar tentu saja harus melihat tubuh seksi peri-peri itu. Peri Aruna semuanya sudah berpakaian walo masih terbuka, tapi peri Padma, peri Dawala dan peri Candrasa itu masih belum, masih dalam keadaan telanjang bulat. Ada sih pakaian milik ratu Dawala dan ratu Candrasa, hanya masih disita dahulu.

——————————————————————–
“Jangan diliatin gitu kali… Lagi puasa kok ngeliatin orang makan? Mau?” godanya.

Aku menggeleng-geleng dan melemparkan penglihatanku akan topik lain. Lisa makan siang dengan entengnya di depanku karena memang ia tak puasa apalagi dalam keadaan hamil begini

“Lisa makan untuk dua orang, bang… Jadi harus banyak makan… Biar Aseng junior di dalam perutku ini cepat gede…” waduh, masak jabang bayi itu namanya sama dengan kontolku. Sori ya, dek. Bukan awak yang ngasih panggilan itu. Mamak panlokmu ini yang punya urusan.

“Gak ada kejadian yang aneh-aneh lagi kan, Lisa?” tanyaku padanya. Padaku tidak kejadian apapun. Semoga pada semua binor yang sudah kuhamili juga demikian. “Gimana kabar ilmu Rogo Sukmo itu? Masih pernah ngalamin lagi?”

“Aman, bang… Gak ada kejadian apa-apa lagi… Semuanya aman…”

Jam perkuliahan agak digeser lebih malam untuk memberi kesempatan bagi yang berbuka puasa lebih menikmati waktunya bersama keluarga. Sehingga jam kuliah dimulai jam 19:30. Hanya saja, yang biasanya taraweh jadi tidak bisa melaksanakannya. Tetapi karena untuk memenuhi jam kuliah, ini terpaksa. Apalagi taraweh cuma ibadah sunah.

“Enak tinggal bertiga aja?” tanyaku pada perempuan-perempuan 3R itu; Cherni, Neneng dan Aisa. Julio sedang asik teleponan sama biniknya sedang pak Ferdi mengambil sesuatu di mobilnya yang ketinggalan. Mungkin cemilan buka puasa.

“Enak, dong… Walo bukan muslim… Cherni sama Aisa ikut sahur juga-loh…” katanya ceria. Aisa juga mengangguk membenarkan.

“Malah Cherni yang paling seneng makanan berbuka…” kata Neneng.

“Ishh… Abisnya enak-enak gitu kan takjil buka puasa… Gak tiap hari-li ada yang jualan begitu di bulan lain… Ya, kan?” kata panlok itu membayangkan kelezatan berbagai hidangan khas buka puasa yang kerap muncul dadakan di bulan suci ini.

“Iya… Jarang ada deretan satu jalan isinya orang jualan takjil semua… Kita bisa bebas mau milih yang mana…” kata Aisa yang merogoh sesuatu di dalam tasnya.

“Waktu sahur… siapa yang masak?” tanyaku yang mencomot satu gorengan yang dikeluarkan Aisa dari dalam tasnya untuk kucicipi. Waduh… Ada cabe rawit di dalamnya. Pedas gilak! Mereka bertiga mentertawakanku.

Ternyata mereka bertiga ganti-gantian masak untuk masalah dapur karena mereka tinggal serumah sekarang. Apalagi mereka sudah saling paham satu sama lain, saling tau perasaan satu sama lain. Aku dapat kesan kalo mereka tidur satu ranjang bersama-sama. Pastinya juga udah ehem-ehem… ihik-ihik tentunya. Tiga perempuan dewasa yang kehidupan seksnya aktif tentunya juga butuh penyaluran ke arah sana.

Kalo saja Lord Purgatory masih aktif menguras keberuntunganku, pasti ia sudah mengumpankan ketiga perempuan ini padaku. Dan aku akan di-gangbang ketiganya.. Mungkin dengan alasan ingin punya anak—punya anak bertiga yang pastinya akan lucu jadinya. Bayangkan mereka bertiga hamil bersamaan dan melahirkan bersamaan. Repotnya dan cerianya rumah itu nanti.

Tapi itu tinggal khayalan dan cuma khayalan. Lord Purgatory tak lagi meneruskan premise pengaruhnya pada perempuan 3R ini walo sudah sempat masuk agendanya. Pasti dia sedang menyiapkan pasukannya matang-matang untuk menyerang kerajaan Istana Pelangi untuk mendapatkan opal pelangi milik kerajaan itu. Ia meninggalkan semua rencana jahatnya padaku dan beralih ke rencana terbarunya; mengumpulkan semua permata peri.

Sejauh ini ia hanya punya satu permata dari kerajaan Laut Biru—safir biru. Aku malahan sudah punya 3 buah. Padahal aku sama sekali tidak berencana mengumpulkannya. Dari diskusiku bersama dua sobat Ribak Sude, lebih baik aku mendahului rencana jahat Lord Purgatory dan menyerang kerajaan Istana Pelangi. Tetapi pasukanku masih belum lengkap. Ada dua ratus lebih telur peri Aruna dari Tri plus dua ratus lebih juga telur peri Dawala. Kalo disatukan jumlahnya akan lebih dari cukup untuk menjadi pasukan yang mengalahkan pasukan kerajaan Istana Pelangi yang berjumlah 200 peri saja.

Tapi kendalanya, telur-telur itu entah kapan menetasnya. Mereka sendiri tak yakin kapan waktunya. Untung saja, waktu di daerah kekuasaanku tidak sinkron dengan dunia nyata. Bisa berhari-hari, bisa berbulan-bulan waktu terlewat di sana. Kalo aku menunggu selama sebulan aja, katakanlah begitu, lalu aku keluar waktu tetap lanjut dari titik dimana aku masuk.

Apalagi peri Candrasa yang juga merupakan penerus ratu kerajaannya juga sedang mengumpulkan telur miliknya. Ia juga minta dibuahi saat sudah cukup mengumpulkan 200 butir telur untuk mengembalikan kejayaan kerajaannya yang sudah digilas musuh. Peri dari dua kerajaan diubah menjadi zombie pasukan Lord Purgatory. Kerajaan peri Dawala dan peri Candrasa secara de facto sudah punah walopun ada sempalannya yang kini bergabung di kerajaanku. Dua figur ratu; ratu Nirada dari peri Dawala dan calon ratu tak bernama dari peri Candrasa.

Saat semuanya siap, kerajaan Mahkota Merah akan sangat kuat dengan sekitar 600 peri yang merupakan gabungan dari tiga jenis peri. Peri Aruna, peri Dawala dan peri Candrasa. Di atas kertas, pasukanku akan dengan mudah menguasai kerajaan Istana Pelangi. Tentunya terlebih dahulu, peri-peri yang baru lahir ini harus menjalani pelatihan sebagai prajurit.

Untungnya peri tidak seperti manusia yang harus melalui banyak fase kehidupan. Dari bayi, balita, anak-anak, remaja lalu dewasa. Fase mereka hanya tiga saja secara umumnya. Fase telur, peri muda dan peri dewasa yang sudah bisa menyimpan telur juga di tubuhnya. Saat fase peri muda inilah pelatihan dilakukan untuk menentukan spesialisasi peri-peri ini. Akan diarahkan kemana saat dewasa kelak. Seperti lima kelompok di peri Aruna. Petarung, pembangun, pemburu, perajin ato penghibur. Ada banyak jenis spesialisasi lainnya tetapi saat ini yang kami sangat butuhkan adalah peri petarung untuk berperang.

Jadi kelak, peri-peri yang belum menetas ini akan diarahkan untuk menjadi peri petarung…

“…mau gak, bang?”

“Eh? Apa tadi?” kagetku ditanyai begitu. Ketiganya duduk mengitariku. Cherni membalik kursi di depan menghadapku, sementara Neneng dan Aisa di kanan-kiriku. Aku dikurung mereka bertiga. Para penghuni kelas malam ini membentuk kelompok-kelompok ngobrol menunggu kelas berikutnya.

“Ishh… Udah panjang lebar Cherni ngomongnya… abang rupanya sedang ngelamunin yang lain?” kesal Cherni yang merasai dikacangi.

“Sori-sori…. Awak tadi keingat hal lain… Ulangi-laa… Awak dengarin sekarang, ya?” kataku meyakinkannya agar gak merajuk.

“Yang paling berumur itu kan ci Cherni nih, bang… Tau sendiri kalo perempuan itu ada masanya… Setelah itu gak akan ada kesempatan lain… Makanya di masa-masa begini harus dimaksimalkan… Kami juga gak bisa begini-begini terus… Intinya harus punya keturunan…” kata Neneng yang ada di sebelah kananku.

“Siapa nanti yang mengurus kami saat kami pensiun dan tua nanti… Kami juga tidak bisa mengurus yang lainnya kalo keadaannya juga sama… Sama-sama uzur… Itu yang kami sering diskusikan saat hanya bertiga…” sambung Aisa.

Maaaak? Kenapa ini terjadi lagi. Aku gak harus jadi seorang jenius untuk segera tau ini ujungnya kemana. Keturunan, usia, diskusi. Fix mereka minta dihamili. Ternyata tanpa campur tangan Lord Purgatory, kejadian ini selalu berulang dengan alaminya. Kini aku seperti mengundang binor-binor bermasalah ini untuk datang padaku minta solusi. Seperti solusi keturunan yang mengemuka ini. Aku kini diminta untuk menghamili Cherni…

“… Pilihan kami jatuh pada bang Aseng… Bang Aseng subur dan juga baik… Cuma nama bang Aseng yang muncul saat ide ini datang… Nama-nama lain cuma artis Internasional ato lokal aja… Gak mungkin-ya kami minta pada mereka…” ujar Cherni. Kedua temannya membenarkan dengan cekikikan pelan. “Gak mungkin juga kami minta sama pak Ferdi… Udah di-vasektomi… Julio apalagi… Terlalu liar dan Cherni gak suka dia… Yang paling klop cuma bang Aseng…”

Goodbye pada keberuntunganku yang tinggal secuil, seiprit ini.

“Kalian udah pada gilak, ya? Minta hamil?” kujaga suaraku agar tidak terlalu kuat. Hanya cukup agar mereka bertiga bisa dengar karena jaraknya cukup dekat. “Awak ini ada anak-istri, wek-cewek…” seperti di ‘man-teman’. “Gimana aku ngehadapi mereka? Gimana aku menjelaskan ke mereka kalo ada perempuan yang lakiknya gak jelas ada dimana minta dihamili sama suaminya—sama bapaknya?” aku memandang mereka bergantian.

“Jangan tau, dong merekanya…” gampang Aisa. Keduanya membenarkan. “Kalo abang kasih tau orang rumah, gak bakalan diizinin, kan?”

“Jadi kalian memintaku untuk selingkuh gitu?” aku duduk bersandar.

“Gak maen hati-lah…” usul Neneng.

“Pake kelamin aja…” sambung Aisa yang segera membuat ketiganya kembali cekikikan geli.

“Gilak kelen semuanya… Lakik entah dimana… malah ngajak lakik orang… Gilak!” kataku belum memberi keputusan apapun. “Trus klen berdua cemana? Apa klen berdua nyusul gitu? Abis Cherni baru gantian klen juga?” tanyaku. Ini hampir mirip seperti yang kupikirkan tadi ternyata. Hanya saja lamunanku tadi mereka sekaligus gitu bunting, ralat—hamilnya.

“Kami nyusul tahun berikutnya…” jawab Aisa. “Repot harus ngurus tiga bayi sekaligus-loh…”

“Jadi gimana-li?” desak Cherni.

“Kalo awak nolak gimana? Apa awak mau klen perkosa di sini?”

“Kalo perlu…” ancam Aisa.

“Kami culik bang Aseng… Kami ikat… Kami telanjangi… Pasti nembak ujung-ujungnya…” kata Neneng menambah-nambahi serem keinginan mereka. Sudah bulat sekali ternyata keputusan mereka.

“Klen gak ada mikir-mikir dosa apa gitu?…”

“Enggak!” barengan ketiganya.

“OK…”

“OK apa?” tanya Cherni gak sabar.

“Awak OK kalo klen bertiga-tiga sekaligus… Gak usah nanggung-nanggung nunggu tahun depan segala… Terus tahun depannya lagi… Kita lakukan kalo awak menghamili kalian bertiga sekaligus… Setuju?” kataku terperangkap. Sekalian aja kunikmati. Persetan dengan keberuntunganku. Nanti kubeli aja di kede.

“Sanggup tiga sekaligus?” kaget Neneng.

“Boleh dicoba…”

“Eh? Ngomongin apa sih… Seru kali keknya?” Julio muncul sambil memasukkan HP-nya ke kantung celananya abis telponan sama Amei. Pak Ferdi juga datang membawa satu kantung plastik kresek berisi makanan. Untung diskusinya sudah mencapai tahap ini. Mendapat suplai makanan baru, kami lebih menyerbu takjil yang dibawa pak Ferdi. Ketiga perempuan 3R itu mengetik sesuatu di HP-nya dan terasa tiga kali getaran notifikasi pesan masuk. Ini pasti jawaban mereka.

Ne2ng: let’s go!

Aisa: ribak (hajar)

Cherni: yuuuk

Kukantungi lagi HP-ku dengan senyum yang kukulum sambil mengunyah gorengan lagi. Kimbek! Kenak cabe rawit lagi. Double strike! Ini keberuntunganku benar-benar habis keknya. Jangan sampe kunyahan berikutnya ternyata ada kecoak di dalamnya. Kimbek ada karet gelang rupanya. Pantesan kenyal.

Jadi seusai kelas terakhir, ketiga perempuan 3R itu pulang denganku. Naik apa? Bukannya Pajero-nya udah koit? Pake Jazz punya orang rumahku, dong. Sampe sekarang dia belum mau menyentuh mobil matic yang dihadiahkan Lisa untuknya ini. Jadi dari pada mubazir gak dipake, aku aja yang bawa. Agak terasa lebih kecil jadinya setelah terbiasa bawa mobil segede gambreng kek Pajero. Kami berempat pas ada di dalam mobil ini.

“Mobil baru nih?” saat Cherni duduk di depan, menghenyakkan pantatnya di jok. Matanya menelusur seantero mobil dan setuju dengan perkataannya sendiri kalo ini mobil baru. “Yang biasanya mana-li?”

“Ini punya orang rumahku… Platnya aja masih putih–plat showroom… Masih running (inreyen), nih…” sahutku mulai menghidupkan mesin. Neneng dan Aisa menyamankan diri duduk di baris belakang. “Mobil yang lama udah gak ada… Belum dat…” aku menghentikan omonganku sebelum terdengar kek pamer.

“Penggantinya belum datang tuh…” tebak Aisa. Tau aja dia aku masih menunggu inden pengganti Pajero yang sudah terbelah dua itu. Sama polisi mungkin mobil itu dibuang ke rongsokan karena setelah terbelah lalu terbakar hangus.

“Cam banyak kali duit awak?” jawabku ngeles. “Awak aja ke kantor naek Supra itu, kok…” kendaraan ini mulai bergerak meninggalkan parkiran kampus dan menelusuri jalan. Di mesjid di sepanjang jalan yang kami lintasi, masih terdengar suara lantunan ayat suci dari yang tadarus.

“Pada yakin nih semuanya?” tanyaku mengisi kekosongan karena tak ada yang ngomong. Padahal biasanya mereka ini berisik, tumben ini hening kek kuburan.

Kriik kriik kriik kriik…

Aku menepikan city car ini ke tepian jalan. Lalu lintas tak begitu ramai malam ini. Hanya beberapa anak bermain petasan di kejauhan yang meramaikan jalan. Aku berhenti di depan rumah orang yang sudah tutup pintu. Rasanya aman. Kuposisikan tubuhku menyamping agar dapat melihat mereka bertiga. “Yakin?” tanyaku lagi. “Kalo tidak yakin lebih baik tidak usah kita lanjutkan… Tidak ada yang rugi… Karena sekali kita lakukan… tidak ada jalan kembali…”

“Cherni yakin, kok… Hanya saja…”

Aku menunggu ia menyelesaikan kalimatnya.

“Dua hari lalu Cherni baru aja selesai halangan… Belum masuk masa subur… Apakah langsung bisa?” bingung si panlok. Kirain apaa?

“Aisa malah seminggu lagi harusnya… Sudah gak subur…” sahut si ito boru Siahaan.

“Jadi Neneng sendiri yang subur, dong…” sambar si Neneng dengan senyum lebar.

“Jadi klen benar-benar serius?” tanyaku gak tau harus senang ato hepi. Sama aja itu. Pokoknya Aseng junior dapat mangsa baru malam ini. Langsung tiga, cuy. Ini bukan yang pertama. Pernah dengan 3 istri ajo Mansur tapi tidak sekaligus seperti ini juga. 4 malah pernah dengan para inong. Ahh… Aku jadi teringat mereka. Apa kabar mereka berempat?

“Serius, dooong…” jawab Cherni. “Malah gak sabar lagi…”

“Kenapa kok yakin klen bisa hamil sama awak? Sama lakik klen dulu gak hamil-hamil…” tanyaku. Benar juga, aku belum menanyakan ini. Apa faktor yang membuat mereka menawarkan ini padaku. Kalo alasan tadi aku lelaki terdekat yang mereka percaya saat ini setelah sempat curhat-curhatan waktu itu kurang begitu kuat. Di kehidupan pertemanan mereka yang beragam, pasti banyak lelaki lain yang lebih menarik dan dekat.

“Bang Aseng kan subur pake banget, ya?” kata Cherni bersemangat sekali.

“Hah?”

Cherni, Neneng dan Aisa, ketiganya sama-sama menganggu kuat kek sedang headbang menikmati musik Metal. Wajah ketiganya terus berseri-seri sangat yakin kalo aku sangat subur pake banget.

“Tau darimana awak subur kali… pake banget? Anakku cuma dua… Bukan dua belas… Itu biasa-biasa aja-nya…” tanyaku.

“Julio… Julio yang ngasih tau kami kalo abang itu subur pake banget… Abang juga yang menghamili istrinya, kan?” ujar Cherni membeberkannya.

JEGEERR!!

Julio? Pukimak! Orang itu ember juga mulutnya. Apa dia gak ingat dengan perjanjian tiga pasal yang sudah kami buat bersama-sama. Pasal kedua di setiap perjanjianku berisi tidak boleh memberitau siapapun atas alasan apapun tentang hubungan ini. Dia jelas-jelas melanggar pasal kedua dengan memberitau perempuan-perempuan 3R ini. Memberi ide gila pada mereka bertiga untuk minta dihamili juga.

“… karena itu juga Julio gak masuk kriteria… Bang Aseng memang yang paling tepat…” sambung Cherni. Mereka sudah tau gimana bejat dan tingkah polah Julio di luar sana karena mereka lumayan terbuka membicarakan hal-hal semacam ini. Apakah lakik si Amei itu keceplosan dan membongkar rahasia kami ini.

“Tuuutt… tuuutt… tuuutt…” telponku gak diangkat-angkat si borjong itu juga. Lagi ngapain sih itu orang? Apa lagi ngeloni Amei, ya? Bukannya istrinya lagi hamil muda? O-iya, Amei gak ada masalah seperti itu dan baik-baik saja kalo harus melayani hubungan suami istri. Lebih baik nanti kuhubungi lagi nanti dia. Gak enak juga mengganggu orang lagi indehoy. Aku aja bete kalo diganggu.

“Ck… Gak diangkat-angkat-nya telponku-pun…” keluhku.

“Nanti-nanti aja marahin Julio-nya… Jadi gak ini?” desak Neneng merasa yang paling kemungkinan besar bisa hamil sebab dalam masa suburnya. Kalo seperti peri, mungkin ini masa birahinya.

Masih berasa dongkol, gondok, aku menyalakan mesin mobil kembali dan nyetir lanjut ke arah rumah Cherni, dimana mereka bertiga tinggal bersama beberapa minggu belakangan ini. Awas aja si Julio kimak itu nanti aku repetin karena ingkar janji untuk merahasiakan perjanjian kami.

“Wek-cewek… Dengerin ini, yaaa? Mau tidak mau nanti klen harus mau membuat perjanjian denganku… Tapi harus dipatuhi… Jangan kek si Julio! Dia sudah mengingkari perjanjian kami dengan memberitau klen bertiga… Siapa lagi yang dia ceritain? Pak Ferdi tau?” tanyaku rombongan sekaligus.

“Enggak… Cuma kami bertiga aja waktu itu… Aman pokoknya… Tapi kami gak tau kalo Julio-nya cerita ke orang lainnya, kan?” jawab Neneng. Lalu ia cerita waktu mereka pernah berkumpul aja di pantry perusahaan mereka dan di saat itulah Julio keceplosan ngomong, membocorkan perjanjian kami. Aku hanya khawatir kalo Julio bakalan kena getahnya karena melanggar janji pada seorang Menggala itu konsekwensinya berat. Perjanjian ato kata-kata sumpah yang keluar dari mulutku sebagai seorang Menggala tidak bisa dianggap remeh. Mudah-mudahan aja gak terjadi apa-apa padanya.

Iya. Semoga tidak terjadi apa-apa padanya karena dialah yang telah mengingkari perjanjian kami. Aku sudah beberapa kali menyaksikan akibat ato konsekwensi dari mengingkari perjanjian. Hasilnya sangat tidak bagus, sangat tidak sehat dan sangat menyakitkan. Bahkan ada yang meminta nyawa juga pernah. Aku sendiri pernah mengalaminya walo tarafnya masih janji sederhana.

Cherni, Neneng dan Aisa turun dari mobil dan bahu membahu membuka gerbang depan, pintu utama dan menyalakan semua lampu rumah. Aku memarkirkan mobilku di halaman dan menutup gerbang kembali. Aku masuk ke dalam rumah dan duduk menunggu di ruang tamu. Mereka semua masuk ke dalam rumah dan sibuk akan sesuatu. Tak lama aku disuguhi minuman dingin dan beberapa biskuit. Katanya mereka mau mandi dulu. Bersih-bersih dulu, gitu.

——————————————————————–

Cherni

Neneng

Aisa

“Jadi… perjanjiannya sama untuk klen bertiga, ya? Ada tiga pasal…” mulaiku mengacungkan tiga jari pertanda jumlah pasal yang akan kuajukan sama untuk mereka semua. “Dengerin…” mereka mengangguk. Mereka bertiga sudah mandi dan terlihat segar di ruang tamu ini. Mereka bertiga kompak memakai kimono tidur yang matching satu sama lain. Hanya berbeda warna yang sama-sama pastel.

“Pasal pertama… Hubungan awak dan klen bertiga hanya sekedar ini saja… Hanya sekedar awak menghamili klen satu persatu… Tidak akan berkembang lebih dari itu… Tidak akan ada cinta-cintaan… Sayang-sayangan… Pacar-pacaran… Hanya sekedar menghamili saja… Jangan berharap lebih karena awakpun tidak akan berharap… Paham, ya?” kataku tentang pasal hubungan ini.

Mereka bertiga lirik-lirikan awalnya lalu pandang-pandangan yang berkembang pada senyum lebar pertanda paham. Bagus mereka mengerti ini.

“Pasal kedua… Rahasia… Awak harus menekankan ini lagi pada klen bertiga… OK kalian bertiga tau tentang masalah ini… plus awak jadi berempat. Hanya kita berempat yang tau tentang masalah ini, perjanjian ini… Jadi atas dasar apapun jangan memberitau siapapun, atas alasan apapun sampe orang lain tau, atas cara apapun jangan sampe orang lain mengetahui masalah ini… Ini hanya rahasia kita berempat… Paham ini, ya?” lanjutku ke pasal kedua tentang rahasia.

“Jangan seperti Julio…” gumam Cherni yang diamini dua perempuan lainnya.

“Pasal ketiga… Yang terakhir tentang masa depan… Karena tujuan hubungan sesuai pasal pertama ini adalah untuk menghamili klen bertiga… awak tegaskan anak-anak itu tidak ada hubungannya dengan awak… Tidak ada hubungan sama sekali… Bahkan jangan memberi petunjuk bahwa awak adalah ayah biologisnya… Entah bagaimana ini adalah anak klen dengan suami-suami klen yang entah dimana itu… Terserah gimana klen mau membuat cerita apapun… Yang penting jangan sangkut pautkan kepada awak… Ini masa depan… Masa depan klen dan bakal anak-anak itu kelak…” tuntasku akan ketiga pasal yang menjadi dasar pedomanku dalam menggauli banyak binor selama ini.

Sejauh ini para binor tak ada yang berulah. Malah dari pihak suami yang berulah. Dari belasan skandalku, hanya dari empat kasus yang melibatkan para suami di dalamnya. Ajo Mansur, Suhendra, pak Ferdi dan Julio. Di nama terakhir malah yang menyalah dan membocorkan perjanjian kami yang kemudian merembet ke skandal berikutnya ini. Tiga binor sekaligus, yang notabene adalah teman sekelasku yang minta tolong dihamili.

“Cherni paham-li semua, bang…”

“Neneng juga paham…”

“Aisa paham perjanjiannya…”

“Salaman…” aku mengulurkan tangan yang segera disambut Cherni, kemudian gantian dengan Neneng lalu pindah ke Aisa. Masing-masing kuguncang tangannya. Menyegel perjanjian kami dengan saling mengerti isi perjanjian yang kusyaratkan. “Sudah sah… Perjanjian efektif mulai dari sekarang dan seterusnya…”

“Trus?”

“Ayo kita mulai…” jawabku sudah bersiap dari tadi. Aku sudah menunggu ini dimulai untuk mengetahui bagaimana kinerjaku kalo menggumuli tiga binor sekaligus pasca memiliki kekuatan baru ini. Kekuatan tiga permata peri, mantel rubah hitam dan kekuatan api di tubuhku sebagai seorang raja kerajaan Mahkota Merah yang (mungkin) perkasa. Saat itu aku bisa mengatasi ratu Nirada, Tri dan pengawal peri Dawala itu tiga kali berturut-turut. “Dimana?”

Ketiganya menunjuk pada pintu kamar utama rumah ini. Mereka langsung masuk ke kamar itu dan aku menyusul segera di belakang. Kamar utama ini lumayan luas dan satu-satunya furnitur di sini adalah ranjang berukuran besar untuk bisa menampung mereka bertiga tidur bersama. Selain itu tak ada apa-apa lagi yang menjadikan ranjang itu sebagai pusat segalanya di kamar ini. Pintu di sebelah sana pastinya menuju kamar mandi dan segala urusannya.

Mereka bertiga duduk berdempetan di pinggiran ranjang kek wayang nunggu giliran dimaenkan sang dalang. Karena mereka bertiga cantik-cantik, gambaran wayang kuganti dengan boneka barbie. Yang sendi kaki dan tangannya bisa ditekuk-tekuk. Apalagi pakaiannya bisa diganti-ganti. Tiga barbie cantik yang sebentar lagi akan dilepas pakaiannya…

Entah grogi, malu ato takut yang terlihat di wajah mereka bertiga. Terlalu banyak pesan yang tersirat di wajah mereka. Cherni berusaha tegar dengan cara mencoba menatapku, tapi pandangannya melantur dan malah kini menghitung banyaknya ubin yang terpasang di lantai kamar ini. Seperti, ubin ukuran 40×40 isi sekotaknya 6 keping untuk coverage 1 meter persegi. Jika kamar ini seluas 5 x 5 meter yang artinya 25 meter persegi, butuh berapa kotakkah? Lain lagi dengan Neneng yang menyipitkan matanya. Itu harusnya mata alaminya Cherni. Entah apa yang sedang dimaksudkannya dengan melakukan itu. Biasanya mata dirapatkan begitu untuk memfokuskan pandangan yang mulai lamur, seperti mataku ini. Ternyata ada seekor cicak di dinding di belakangku yang diam-diam merayap, datang seekor nyamuk—hap! Lalu ditangkap. Lain mereka berdua, lain pula si ito Aisa. Ia sedang menggigiti ujung kuku. Mungkin ini cara mengatasi masalah groginya. Tapi menggigiti kukunya agak lebih bersemangat, karena mungkin tonjolan kuku ini sering mengganggu dan nyangkut di pakaian.

“Bisa kita mulai?” tanyaku memecah kebuntuan. Kulakukan dengan melepas kancing teratas kemeja lengan panjangku dengan berdiri tepat di depan mereka bertiga. Mereka menatapku dengan tatapan aneh. Ada sedikit nanar, menyelidik dan penasaran dengan kelanjutan terbukanya kancing-kancing kemejaku.

“Apakah klen pernah selingkuh sebelumnya?”

Mereka bertiga geleng-geleng.

“Dengan laki-laki tentunya… Karena secara teknis klen dalam keadaan begini aja udah selingkuh sebenarnya… Apa yang klen rasakan sekarang… melihat seorang laki-laki berdiri di depan seperti ini… membuka baju? Ini bukan kolam renang… juga bukan pantai… Jadi tidak wajar seorang pria membuka baju di depan mata klen… kalo bukan untuk tujuan selingkuh…” kataku.

Mereka hanya diam, hanya menatap.

“Ngentot…”

Mata ketiganya bergerak mengernyit.

“Nah… Awak sudah mendapat perhatian klen bertiga…” kataku senyum-senyum sendiri mengingat mengucapkan kata saru tadi. “Kita ini mau ngentot, kan?” ulang sekali lagi. Semua kancing kemejaku sudah lepas dan kusisihkan dua bagian depannya melewati bahuku.

“Bang Aseng ngomongnya jorok… Eh… Kereen… Sixpack perutnya…” kaget Neneng setelah bajuku benar-benar terlepas dari tubuhku. “Gak pernah tau kalo bodi abang kek gini…” pujinya. Aku makin bertambah ompak’an (dibuat-buat, panas) dengan mengetat-menekan-flexing seluruh otot di tubuhku yang katanya keren. Cherni dan Aisa juga setuju dengannya. Aku makin pamer otot pada mereka. Belum juga Aseng junior yang kupamerkan. Ada juga otot-otot keras junior-ku.

“Keren, ya? Mau pegang?” aku mendekat dan ketiganya malah histeris saat aku menyodorkan perutku. Tapi tak urung ujung jari tangan mereka menjulur dan mencoba menekan-nekan roti sobek yang nempel keras di perutku. Entah hapa-hapa aja yang mereka tanya, latihannya apa, makannya apa, gym-nya dimana, pelatihnya siapa, dengan siapa, semalam berbuat apa.

“Ihh… Beneran keras, ih…” “Sui…” “Amangoi…” komentar ketiga setelah menyentuh perutku yang kini keras sesuai latihan yang sering kulakukan. Enggak ngentot aja kerjaku ya, woy. Pake latihan juga aku, ya. Klen kira aku bisa bante segala macam setan sama demit pake apa? Pake AK47? Pake Grenade Launcher? Pake jurus Mandalo Rajo, kan? Pake Gugur Glugur, kan? Pake pedang daun, kan? Itu semua perlu dilatih dan terus diasah setiap hari biar gak tumpul, biar makin tajam dan mumpuni karena lawan-lawanku semakin hari semakin gawat aja levelnya.

“Biar gak apa kali… gimana kalo kita… saling buka baju… Fan service dikit-la sama awak ini… Pembuktian juga kalo klen memang benar-benar serius… Terus terang aja nih… Awak bingungpun juga gimana cara mulainya dengan klen bertiga… Biasanya kita cuma ketawa-ketiwi… canda-candi… jalan sana-sini…”

“Apalah canda-candi? Ngasal!”

“Intinya gitulah… Apa awak aja yang ngebukain… er… kimono yang klen pake ini?” tanyaku mengenai pakaian kompak yang mereka masih kenakan.

Cherni yang duduk di tengah lirik-lirikan dengan Aisa yang ada di kanannya. “Boleh, bang… Keknya harus bang Aseng yang bukain, deh… Kalo enggak… kita gak akan kemana-mana, nih…” malah diputuskan Neneng. “Cowoknya yang harus lebih agresif, ya…”

“OK… Awak tambahin…” kataku semakin terbakar. Tanganku langsung melonggarkan sabukku, melepaskan kancing celana, menurunkan zipper-nya dan membiarkan bagian atas celanaku melorot hingga sampe di mata kaki, bergulung. Aseng junior sudah menggunung di balik celana dalamku yang berasa sesak dari tadi, antisipasi tiga mangsa baru di depannya.

Mata mereka bertiga membelalak melihat tonjolan di celana dalamku. Kukais-kais hingga celanaku lepas sama sekali dari kakiku dan ngelongsor entah kemana. Aku sekarang berdiri di dalam kamar ini hanya memakai sempak doang. Semoga mereka bukan lagi nge-prank aku. Ini sebenarnya sangat memalukan. Pandangan mata mereka hanya terpaku pada bagian bawah perutku, pada tonjolan Aseng junior yang segera minta keluar. Aku mengambil satu langkah maju.

“Besar…” “Gede…” “…” komentar mereka mengenai Aseng junior yang menonjol. Mata ketiganya jelalatan di jarak sedekat ini. Muter-muter kemana-mana dan berhentinya ke satu titik saja. Ke kalapiah, ke pidong—Aseng junior saja.

Tanganku menjangkau, dan menemukan pipi Neneng dan Aisa di kanan-kiri. Kuelus kedua pipi binor malang yang ditinggal masing-masing lakiknya itu. Dan untuk Cherni, jawilan di dagu lancipnya. “Awak sebenarnya bingung gimana mau memulainya… karena bingung mulai dari siapa dulu… Takutnya kalo awak mulai dari yang satu… yang dua bakalan cemburu, gak?”

“Ci Cherni aja duluan…” sanggah Neneng. Sebagai perempuan 3R yang menyayangi binor panlok itu, Neneng cukup berjiwa besar memberikan sang tersayangnya untuk kusentuh. Ia meyakinkanku. Aisa mengangguk membenarkan. Ia yang disayangi Cherni juga setuju dengan cara ini. Jadi sudah sepakat kalo aku mulainya dari Cherni dulu.

“Ayo…”

Satu tangan kuulurkan pada Cherni dan ia menyambutnya untuk berdiri. Ia tersenyum manis sekali. Tinggi tubuhnya hanya sehidungku hingga ia harus sedikit mendongak saat kami bertatapan. Mata kecil sipit dan hidung bangirnya memenuhi pandanganku lalu bibir tipis merahnya. Kurengkuh tubuhnya agar lebih rapat. Ia mengembik kaget saat dadanya rapat ke perutku.

“Sudah siap belom?” tanyaku pelan. Aku hanya fokus padanya. Tak memperdulikan dua binor lainnya yang juga menyaksikan skandal yang sedang kami bangun ini. Matanya berkerjab-kerjab. Sepertinya belum sepenuhnya siap, terlihat dari gugupnya. Ia hanya seorang perempuan biasa yang tentunya punya kebutuhan khusus tentang belaian kasih sayang. 5 tahun ditinggal suaminya bekerja di Jerman tentunya akan sangat kering sentuhan dari seorang lelaki. Hanya saja akhir-akhir ini kedua perempuan yang awalnya mereka teman akrabnya, masuk ke kehidupan pribadinya, mulai mengisi hatinya dan memberi secercah kenikmatan.

“Dengan Neneng… dengan Aisa udah ngapain aja?” tanyaku berusaha cuek dan menarik bagian depan lipatan kimono hingga bagian dadanya lebih terbuka. Ia masih memakai bra di baliknya hingga aku dapat melihat strap putih di bahunya. Dua sisinya kulonggarkan. Hanya saja tali yang mengikat di bagian pinggang masih menahan bentuk pakaian berbahan lembut ini.

“Ma-macem-macem…” jawabnya gugup. Tangannya akan bergerak mencegahku tapi urung. Tentu karena refleks. Perlindungan diri.

“Jelaskan macem-macem itu gimana…” tanyaku lagi mendekatkan mulutku ke mulutnya tetapi kutarik lagi menjelang bersentuhan. Ia penasaran dan mengejar bibirku yang menjauh. Aku mau jawabannya. “Pegang-pegangan… Saling sentuh?” contohku akan kegiatan ‘macem-macem’ itu.

“Yaa… Cium-aahhann…” suaranya mengayun saat lehernya kuelus hingga ia bergidik. Sepertinya lehernya sangat sensitif. Telinganya juga mungkin. “Elus-eluuuss… uhh…” saat kata-kata itu, aku melepaskan ikatan pita tali yang mengatupkan kimononya hingga pakaian ala Jepang yang panjang hingga selutut itu merenggang, mengungkap harta karun yang ada di baliknya.

“Wow… Neneng dan Aisa yang sama-sama perempuan aja bisa tergila-gila sama Cherni… apalagi laki-laki kek awak…” ujarku menatap tubuhnya yang sekarang terbuka. Dibalik kimono itu ia hanya memakai bra dan celana dalam yang senada. Strap putih bra yang berwarna maroon. G-string bertali putih dan secarik thong berwarna maroon juga. Perutnya rata dengan belly button imut melubangi. “Mungkin lakikmu udah diganyang sama Neo-Nazi di Jerman sana… Lupakan aja dia, ya?” Cherni mengangguk-angguk. Kimono itu masih tetap disana, tak meninggalkan tubuhnya.

“Neo-Nazi rasissAaahhh…” erangnya saat aku menjamah punggungnya, melewati bukaan kimononya. Kulitnya terasa meremang.

“Kulitmu sangat halus, Cher… Hmm… Boleh?” permisiku mendekatkan wajahku padanya. Sebagai jawaban, ia hanya memejamkan matanya dengan sedikit membuka mulutnya. Bibirnya yang merah merekah membuka. “Cup…” Kukecup bibirnya dan matanya mengintip sedikit. “Lagi?” Ia merem kembali dan mempertahankan bibir tetap terbuka sedikit.

“Srrpp…” kali ini tak sekedar dikecup melainkan dicium. Bibirnya kupagut membuat mata sipitnya membuka kaget dengan kejutan yang kulakukan. Rekahan bibirnya menjadi jalan masuk bagi lidahku yang menjilati ujung lidahnya. Bibir tipisnya menjadi bulan-bulananku. Tanganku yang berada di atas pinggangnya mendekapnya hingga rapat tubuh kami berhimpitan.

“Umm… umph… ummh…” lenguhnya. Rasanya masih enggan dan ragu tapi aku harus tetap memanaskannya. Sudah kepalang basah begini. Kedua tangannya sedikit terangkat tapi ragu dan bingung hendak diarahkan kemana. Hendak balas memelukku ato menolakku? Hanya gantung tak tau harus apa.

Seng. O-Aseng. Gimana jargonmu kemarin itu? ‘Zinah no! Taubat yes!’ Ini berzinah lagi-pun kau. Tiga pulak tuh laginya. Maruk kau, ya? Biarpun ini cuma malam Ramadhan, gak kau ingat masalah ‘luck’-mu yang terkuras habis itu? Mau sampe kering betul?

Persetan? Yakin mau menafikan semua itu? Udah cukup banyak pahala yang kau bikin-heh? Udah ngerasa sok jago mentang-mentang gak kerasa panas karena mantel rubah hitam itu? Kao kira api neraka kurang pan…

“Ahhmm…” Cherni mulai tenggelam memeluk kepalaku sehingga pergulatan mulut kami memasuki babak baru. Ia tak sungkan-sungkan lagi mendesakkan tubuhnya padaku. Susunya tergencet digesek-gesekkan padaku, sangat terasa kenyal dan empuknya walo masih terbungkus bra. Lidahnya juga masuk menjelajah masuk ke mulutku, mengajaknya bergulat maut. “Aahh… Sllhhk… Uhhmm… Hhssss…”

Tangannya meremas-remas otot punggungku, menjalar ke lenganku, balik lagi ke samping perutku dan meraba-raba intens. Aku juga melakukan hall yang serupa, menjelajah tubuhnya. Binor seksi yang belum punya anak ini selalunya berpakaian yang selalu menarik perhatian. Memamerkan kulit putih bersih turunannya. Sungguh menyenangkan bisa menyentuhnya di kesempatan yang ia pinta sendiri.

Cherni tak menghalangi ketika aku meloloskan kimono itu dari bahunya dan kain lembut itu jatuh di kakinya membuatnya setengah telanjang di pelukanku. Ia tak lagi sungkan karena dari gerakannya, ia sudah terbakar nafsu. “Kamu cantik sekali kalo begini, Cher… Mereka berdua juga bilang begitu, kan?” kusisihkan rambut yang berjuntaian di keningnya.

Ia tak menjawab apa-apa malahan menarik tubuhku ke arah ranjang dan menjatuhkanku di atasnya dengan mudah. Dengan nafas berat, ia mulai menghimpitku. Nafsu menguasai alam sadarnya dan itu artinya dominasi. Dihimpitnya tubuhku dengan beratnya yang tak seberapa dan kusambut dengan suka cita. Itu artinya dua gundukan susunya tumpah ruah ke dadaku sementara ia tak puas-puasnya bermain dengan mulutku. Bertukar ludah sudah seperti lazim saja. Aku meraih strap bra-nya kanan-kiri dan menariknya ke samping lalu mudah melepas kancingnya di belakang. Cherni sendiri yang menyingkirkan penutup dada itu dan melemparkannya ke lantai.

“Uuhh…” rintihnya saat dengan berani ia menjejalkan kedua susunya pada mulutku untuk dipermainkan. Cherni mendongak dan memejamkan mata, sangat menikmati perlakuanku pada susunya. Kuremas-remas dan juga kusedot-sedot dengan lihai. Pentilnya kupermainkan dengan lidahku kala pucuk dadanya masuk ke dalam mulut. “Uuuhh… Ahhsss… Baaahhngg…” tangannya tak lupa juga balas meremas dadaku. Berganti-ganti susu kanan dan kiri menjadi permainan mulut dan tanganku. Kenyal dan empuk menjadi satu.

Bagian bawah tubuhnya tak kalah binal. Apakah selama 5 tahun LDR-an dengan suaminya, ia sama sekali tak pernah mendapat belaian pejantan? Ahh… Sayang sekali benda bagus seperti ini diterlantarkan selama itu. Paok kali suaminya itu. Mudah-mudahan benar-benar mampus dia dibante Neo-Nazi di sana. Pantatnya geol-geol menggesek-gesek Aseng junior yang njedul di balik sempakku. Ini seperti petting dengan Vivi yang masih memakai celana dalam. Ujung Aseng junior menyundul-nyundul empuk gundukan depan selangkangannya yang tertutup G-string maroon, membuat Cherni semakin menggila.

Tangannya makin kuat mencengkram otot lenganku yang keras bersamaan dengan suara lenguhannya yang kian menjadi. Mulutku masih rakus mencucupi susu empuknya yang tumpah ruah di mukaku. Geol-geol bokongnya makin menjadi di bawah sana. Ia benar-benar sangat binal malam ini. Memafaatkan apapun untuk memenuhi nafsunya malam ini. Apalagi keras Aseng junior menyundul kemaluannya dengan intens. Mereka berkenalan sebelum masanya.

Tanpa menggunakan tangan, aku terus menikmati susunya karena tanganku merayap ke bawah. Menemukan dua bongkah bokongnya. “Aaahhnn…” lenguhnya kala dua daging itu kupisahkan menjauh saat kuremas. Tali tipis yang penyambung lingeris seksi berwarna maroon ini yang menjadi satu-satunya pelindung bagian analnya yang mengembang terbuka dan kusodokkan Aseng junior. “Uuhh…” rintihnya. Pasti belahan vaginanya sudah basah oleh cairan pelumasnya. Karena kain tipis sempakku merasakan basahnya titik itu dari tadi. Jariku mengait tali tipis itu dan menariknya menjauh, di bawah sana, vaginanya pasti kini terekspos terbuka.

Kusodokkan Aseng junior yang masih terbungkus sempak sekali lagi. “Aaahh…” jeritnya tak sabar.

Cherni tak bisa protes apa-apa saat kaki-kakinya kutarik mendekat ke arah wajahku. Mimiknya bertanya-tanya tetapi patuh dan menurut saja saat ia kini duduk tegak di depan mukaku. Kutarik kembali G-string itu ke samping dan memampangkan harta karun apa yang tersembunyi di baliknya. Lidahku segera menjulur, aroma vaginanya sudah menguar dan meracuni otakku, menyesap dari rongga hidungku dan diterima semua reseptor otakku sebagai vagina perempuan yang lezat.

“OOuuhhhhh…. Oohh… Ohhh…” jeritnya histeris saat lidahku brutal memakan kemaluannya. Kemaluan yang sangat indah lagi lezat. Rambut-rambut pubisnya jarang dan rutin dipotong pendek. Kulit putihnya ada di sekujur tubuhnya termasuk sampe ke vaginanya ini yang isi dalamnya sangat kontras, merah merekah dan sangat mengundang. Aku suka ini! Apalagi cairan sekresinya mengucur deras yang kusedot tanpa ampun. Cherni meremas-remas rambutku dan semakin menekan kepalaku dengan kemaluannya. Minta semakin dibuat enak, minta semakin dibuat nikmat. Dikunyah-kunyah-pun gak apa-apa.

Tanganku meremas-remas pangkal pahanya. Lidahku berkelebat-kelebat di dalam vaginanya. Menyambar-nyambar cepat semua gerinjal permukaan kemaluan panlok ini. Walopun di antara mereka bertiga sesama perempuan 3R ia yang tertua, tak mengurangi kualitasnya. Apalagi tubuh langsingnya dan juga rasa lezat vaginanya. Kacang itilnya kujepit dengan bibir lalu kusedot-sedot membuatnya melolong puas yang sepertinya berhasil melambungkan orgasmenya sekalian. Sejumlah cairan mengucur deras lagi dan membasahi mulutku. Semanis madu.

“Okhh… okhh… akhh…” erang Cherni yang menikmati sisa-sisa kepuasannya. Ia menggigiti bibir bawahnya berulang-ulang dengan mata terpejam. Sukurlah dia menikmati ini semua. Aku mengelus-elus sisi perut hingga iganya lalu nangkring menikmati kenyal susunya. Cherni memegangi pipinya sendiri yang saat ini kemerahan. Mungkin ia merasakan kepanasan saat ini. “Enaaak…” ia berujar. Sepertinya kepada Neneng dan Aisa yang tak jauh dari kami berdua. Aku mendengar suara cekikikan mereka bertiga.

“Lanjut?” tanyaku langsung menatap matanya. Cherni mengangguk pasti dengan wajah berseri. Pasti ia mau lanjut setelah orgasme barusan. Ini sudah kepalang basah. Penetrasi menjelang.

Ia clingak-cliguk sebentar menunggu apa yang sedang kulakukan. Aku hanya sedang beringsut naik sekaligus melepas celana dalamku, pakaian terakhirku. Dengan kaki, sempakku-pun lepas melayang, bersamaan dengan Cherni yang kini ada di posisi pangkuanku, masih di posisi terakhirnya duduk manis. Dengan riang ia paham dan melepas G-string yang masih melekat di pinggangnya. “Ahh… Keras…” tangannya tak segaja menyentuh Aseng junior dan mendapatkan keras batangnya.

Neneng dan Aisa ternyata ada di kanan kiri kami. Keduanya mendekat untuk menyaksikan sendiri. Ini perdana untuk Aseng junior terlihat bagi mereka bertiga. Ukuran Aseng junior gak terlalu hebat-hebat kali. Seharusnya masih ukuran normal orang Indonesia termasuk tebalnya juga. Hanya saja jam terbangnya sudah terbantahkan lagi prestasinya. Termasuk istriku, sudah 15 perempuan kuhamili dan lain-lainnya yang sudah terpuaskan juga. Ada tiga calon lainnya yang akan menyusul.

“Hei-hei… Klen jangan ikut campur dulu… Sana! Jauh-jauh!” usirku akan dua binor yang masih dalam masa ngantri ini. Neneng dan Aisa merengut tapi patuh dan memberi kami ruang. “Nah… Cherni keknya suka di atas… Lanjut masuk ato gimana?” tanyaku. Aku sih terserah dia aja maunya kek apa.

“Masuk, bang…” jawabnya pendek masih memegangi pipinya yang semakin merah oleh rangsangan dan tensi yang semakin tinggi oleh keputusannya. Harusnya masih bisa 69 dulu tapi terserah, sih. Pucuk susunya juga semakin merah yang tak ada hubungannya dengan keganasanku sebelumnya. Ini murni karena nafsunya yang sudah menggelegak tak tertahankan lagi. Ia mengangkat tubuhnya sedikit untuk memberi jalan bagi Aseng junior menepatkan jalan masuknya. Penisku yang dari tadi tertahan di belakang bokongnya kini berada di bawah tubuhnya. Kini aku bisa merasakan lembut kulit vaginanya secara langsung tanpa pembatas. Dan itu sumpah enak kali rasanya. “Mmpphh…”

Cherni menggunakan tangannya untuk mengepaskan ujung kepala Aseng junior yang lembut kenyal untuk memasuki dirinya. Yang ada, ia mengoles-oleskan kepala Aseng junior dulu. Menyiapkan dirinya terlebih dahulu. Tes-tes kecil dilakukannya dengan menurunkan tubuhnya sedikit dan alhasil Aseng junior sedikit demi sedikit menusuk membelah kelaminnya panlok cantik ini. Ia semakin menggigiti bibir bawahnya dengan gelisah.

Kepala Aseng junior sudah terasa basah kuyup hingga terasa panas dingin. Panas oleh degup nafsuku dan dingin dari cairan yang merembes dari Cherni. “Pelan-pelan aja, Cher… Kalo sudah siap… tinggal masuk aja…” ujarku sok bijak padahal aku kembang kempis mengetatkan Aseng junior untuk memancingnya segera melesakkan masuk ke dalam tubuhnya.

“Mmm… Muat gak sih, bang? Cherni udah lama…” ragunya karena itu ternyata.

“Pelan-pelan aja… Mau awak bantuin?” tawarku sedikit menaikkan pantatku hingga Aseng junior sedikit terdorong masuk. Cherni meringis dan kutarik lagi. Memang harus pelan-pelan ternyata. Aku memegangi pinggulnya, tepat di sendi pangkal pahanya yang mengangkang lebar. Aku bisa melihat dengan jelas vaginanya terbelah lebar dengan kacang itil mungil dihiasi jembut jarang. Labia minora-nya hanya mencuat sedikit, terbelah oleh kepala Aseng junior yang berusaha masuk.

“Ci Cherni chayo! Semangat!” itu suara si Neneng.

“Ayo sayang… kamu bisaa…” Aisa juga memberi semangat padanya.

“Mmpphhh…” Bleeesshh! Nekat Cherni menghunjamkan tubuhnya turun dan mengakibatkan Aseng junior menyeruak masuk tanpa aba-aba. Alamak! Ini sempit kali. Wadidaw…

Tak ada suara keluar darinya walo mulutnya terbuka lebar, menganga. Satu tangannya mendekap perutnya dan satunya mencengkram pahanya sendiri. Matanya terbuka menutup membelalak dengan panik. Dia bukan perawan, kan? Kok lupa? Rasanya memang sangat sempit dan menggigit. Ini bisa dibilang kualitas perawan kalo segini menjepitnya. Aku memegangi lututnya dan mengelus-elusnya, memberinya penguatan agar senyamannya menikmati ini semua.

“Aahh… Baanghh… Masuukk… Masuk semuanyaa…” ujarnya yang mirip gerutuan. Terasa gerenyam-gerenyam liang kawinnya memijat batang Aseng junior yang dibalut sempurna. Cherni mendesah-desah merasakan sumpalanku dan berusaha menyesuaikan dirinya. OK… Sudah 5 tahun gak pernah dijebol jadi segini sempit. Kita maen pelan-pelan aja, ya? Neneng sepertinya bergerak turun dari ranjang. Aisa sepertinya lebih fokus menonton kami.

“Cherni mulai aja kalo udah siap…” kataku memberinya semua kesempatan ini. Aseng junior-ku udah bisa masuk aja udah bagus kali. Merasakan pijatan-pijatan ritmis yang bersumber dari degup jantungnya yang berpacu. “Apa, Neng?” perhatianku diinterupsi Neneng yang tiba-tiba merebahkan dirinya di sampingku. Mungkin dia pengen gabung di pergumulan ini.

“HP abang dari tadi geter-geter trus… Ada banyak telpon dan pesan masuk… Mungkin penting?” katanya malah menyodorkan HP-ku yang diambilnya dari kantung celanaku yang berserakan di lantai. Benar ada puluhan miss call dan ratusan notifikasi pesan BBM masuk, SMS juga ada. Dari Amei.

“Siapa, bang? Istri abang?” tanya Neneng. Cherni juga sepertinya ingin tau juga. Padahal Aseng junior masih menancap di kemaluannya belum bergerak sama sekali.

“Dari biniknya Julio…” jawabku. Dengan usaha menghubungiku sebanyak ini, pasti ada masalah penting. Tiba-tiba aku deg-degan. Apa ada masalah yang gawat. Aku memilih nomornya untuk ku telpon. “Aku telpon dulu dia, yaa?” HP-ku bergetar kembali pertanda ada panggilan masuk sebelum aku sempat menghubungi Amei. Ini dia yang menelponku lagi. “Halo?”

“krrsskkk… skk… diangkat?… hiks… Bang Aseng… Tolongin, bang… Julio… Julio kecelakaan…”

“Amei?”

“Julio meninggal, bang… Huuuu huuu huhuuuu…”

“???”

Aku lemes.

Bersambung

Foto Bugil Ngentot Memek Tembem Gif Bergerak
Foto bugil cewek thailand cantik telanjang di mobil
gadis lugu
Cerita dewasa memaksa anak ibu kost yang pendiam dan masih perawan
gadis chinese
Kisah Ku ML Pertama Kali Dengan Pacar
cewek masturbasi
Menikmati tubuh mulus tetangga kost ku waktu dia tidur
Kisah Nyata Awalnya Sih Cuma Jadi Bahan Akhirnya Jadi Kenyataan
500 foto chika bandung bugil di luar kamar hotel jembut lebat
toge cantik
Pacarku Tega Menjual Tubuh Ku
Cerita sex di ajarin ngentot oleh tante
cewek cantik
Cerita dewasa melayani dua om om ganteng
Foto bugil Rino Sakura gadis cantik tanpa sensor
Terima kasih Bu Yena
jilbab binal
Penisku dikerjai 3 orang gadis cantik berjilbab sekaligus
Pembantu cantik
Nikmatnya ngentot pembantu cantik yang masih perawan
istri binal
Aku Berselingkuh Dengan Pak RT Bagian Dua
cerita sex foto model bugil
Audisi Jadi Model Yang Mengharuskan Ku Foto Bugil