Part #87 : Amei Sedih

Tak terbayangkan bagaimana kalut dan sedihnya Amei mendapati suaminya tewas dalam kecelakaan lalu lintas di saat ia hamil muda begini. Ia terpuruk dalam kesedihan yang begitu dalam hingga ia tak sanggup melihat jenazah Julio yang bersimbah darah di ruang Pemulasaraan rumah sakit setelah dievakuasi dari TKP kecelakaan.

Polisi menghubungi Amei setelah mendapat laporan dari masyarakat yang menjadi saksi mata bagaimana kecelakaan tunggal itu merenggut nyawa pria itu saat mobilnya menabrak pembatas jalan lalu terguling. Pecahan kaca bertaburan dimana-mana. Air bag keluar dengan sempurna tapi luka fatal malah ada di bagian samping kepalanya, terbentur material pulau jalan yang tak terjangkau oleh side impact beam, melalui kaca mobil yang pecah. Sepertinya Julio pulang terburu-buru sehabis kuliah hendak pulang sesuai jalur yang diambilnya menuju rumah. Amei meneleponnya di awal, lagi pengen dibelikan sesuatu. Julio dengan senang hati mengabulkan permintaan sang istri yang sedang hamil muda. Ngidam mungkin.

Amei berulang-ulang menangisi permintaannya itu hingga yang pertama kali dihubunginya adalah aku. Malah aku. Bukan kerabat terdekatnya, orang tua Julio ato malah orang tuanya sendiri—malah aku. Tentu aja para kerabatnya bertanya-tanya kenapa ini yang disergapnya begitu muncul malah orang yang bernama Aseng yang gak seberapa ini? Dengan bercucuran air mata ia menangis memelukku. Pelukannya erat sekali. Tak ada yang bisa kulakukan selain memeluknya kembali. Aku minta bantuan, dukungan pada Cherni yang menyertaiku ke rumah duka ini bersama Neneng dan Aisa.

Malam ini berjalan sangat lambat bagiku. Tetapi tidak bagi Amei. Ia berkali-kali pingsan memanggil-manggil Julio yang akan disemayamkan di sebuah rumah duka yang nantinya akan melanjutkan prosesi keagamaan sebelum ia dikremasi. Ruang jenazah rumah sakit ini masih dipenuhi oleh kerabat Julio dan Amei.

Aku? Tentu aja sangat suntuk. Merasa sangat bersalah juga. Ini pasti takdir dari yang Kuasa tentunya. Tapi melalui tanganku juga ia mendapat musibah ini. Lewat perjanjian sakral yang tak dapat dipenuhinya sendiri. Perjanjian yang harusnya tak pernah kuikatkan pada mereka berdua. Perjanjian tiga pasal yang kalo dilanggar bisa menjadi berbahaya seperti ini.

“Apa ini gara-gara Julio membocorkan perjanjian kalian?” tanya Cherni takut-takut.

Aku tak ingin menjawabnya. Aku hanya diam karena jawabanku akan mengulangi kesalahan yang sama dan hal yang menimpa Julio juga bisa mengenaiku.

“Cukup ingat saja perjanjian milikmu, Cher… Ini hanya sebagai pengingat…” kataku mengajak mereka untuk meninggalkan tempat ini. Ini malam yang sangat melelahkan. Walopun aku kentang dalam menggauli Cherni dan dua perempuan yang menyertainya, aku tidak begitu bersemangat lagi. Mereka tentunya juga sangat paham dan pasrah aja diantar sampe depan rumah lalu aku terus pulang.

Di pembaringan, mataku tak bisa dipejamkan. Aku terus memikirkan, apakah ini bagian dari habisnya keberuntunganku yang terkuras habis. Tak pernah sebelumnya aku mendapat sial segini apesnya. Aseng junior udah berhasil masuk bercokol di liang senikmat binor panlok Cherni, harus batal karena kabar duka meninggalnya Julio. Betapa sedihnya Amei yang sedang mengandung. Entah itu anakku ato anak Julio. Tapi aku yang sudah berkali-kali menikmati tubuhnya tentunya harus bisa merasakan pedih kehilangannya.

Aku jadi membayangkan kalo orang rumahku sendiri yang mengalami hal ini.

Saat ini ia terlelap dengan damainya. Saat aku menaiki ranjang tadi, ia bangun sebentar menelusupkan tangannya setelah kukecup keningnya dan kembali lelap. Aku hanya bisa memandangi wajah damainya saat tidur. Aku sudah begitu jahatnya berbuat hal yang menghianati pernikahan dan cinta kami berulang kali.

Apa sebenarnya yang kumau? Mau apa kau, Seng? Mau punya banyak anak? Noh… Udah 14 binor yang kau hamili, kan? Kurang puas lagi? Ini udah kau buat lagi perjanjian baru dengan tiga binor 3R malang itu. Mau kau donasikan lagi sperma suburmu itu untuk mereka. Gak osah enak ngentot aja yang ada di otak kau itu! Itu lakik orang mati cemana jadinya?!

Apa yang harus kau bilang sama Amei?! Apa, hah?! Lakiknya mati karena gak bisa menjaga mulutnya dan membocorkan perjanjian tiga pasal klen? Tau kau kan membuat perjanjian denganmu itu berbahaya? Berbahaya sampe fatal begini. Kenapa masih kau tawarkan perjanjian semacam itu? Apa jaminannya kalo yang lain-lain gak akan ember? Apa gak mangkin banyak nanti korban-korban lain yang berguguran?

Tega kau melihat Aida, Yuli, Iva, Pipit dan yang lain-lainnya mendapat bala kek Julio?

Mereka bukan Menggala kek kau, Seng. Mereka gak akan punya keteguhan hati kek kau. Mereka gak tau bahayanya mengikat janji dengan dunia ke-Menggala-an ini, biar kao tau!

Cobak! Apalah jaminannya mereka enggak akan ember kek Julio?

Gak usah kao salah-salahin si Lord Purgatory pukimak itu. Kau sendiri yang bodoh-paok terjebak dalam permainan kotornya. Kao sendiri yang tenggelam dalam permainannya. Tau kau ini semua gak beres tapi kao teroskan jugak, kan? Kao enak-enak’in ngentotin binor sampe segitu banyaknya. Kao buntingin semuanya. Puas kao? Bangga kao? Bilang kalo kao bangga ke Amei! Ucapkan itu di depan Amei dan mayat Julio!

Udah bagus-bagus dinasehati pak Santoso kalo keberuntunganmu udah abis, Seng. Udah abis! Masih bebal jugak kepala otak kao itu…

——————————————————————–
Puas memarah-marahi diri sendiri, pelarianku tentu saja para peri yang ada di kerajaan Mahkota Merah. Ini safe haven-ku.

Telur milik Tri, ratu Nirada dan Dawala pengawal itu belum juga menetas sampe saat ini. Aku lebih baik menghabiskan banyak waktu saja di sini sebelum benar-benar siap menghadapi dunia nyata yang pedih di luar sana. Mungkin akan lebih menyenangkan kalo aku bisa menyaksikan lahirnya peri-peri baru yang kelak akan menjadi warga kerajaanku.

“… setelah kau mengucapkan sumpah setia pada kerajaan Mahkota Merah… kau kuberikan nama Wingsati yang artinya dua puluh…” ujarku pada peri Padma berkulit merah yang telah menghasilkan tiga peri Padma baru. Ia senang bukan kepalang mendapat anugrah ini. Lalu berturut-turut keturunannya juga kunamai Ekawingsati, Dwiwingsati dan Trayowingsati yang artinya 21, 22 dan 23. Mereka bertiga juga otomatis menjadi warga kerajaanku karena lahir disini.

Kemudian mereka juga mendapatkan pakaian seperti para peri Aruna hingga tubuh mereka juga ikut berubah semok. Mereka bertugas untuk merawat gunung berapi yang makin lama semakin tinggi saja. Gunung berapi yang merupakan perlambang kerajaan Mahkota Merah tentu saja sangat tepat berada di tangan pihak peri Padma. Perihal peri Dawala dan peri Candrasa yang juga sudah menyatakan sumpah setianya padaku masih menunggu waktu dulu. Apalagi mereka masih terikat pada insting tugas menjaga telur-telur mereka. Pada waktunya setelah telur itu menetas akan lebih kulakukan prosesi itu.

“Mekanismenya sangat rumit dan kompleks…” gumamku setelah melihat-lihat hasil pekerjaan peri Candrasa itu untuk membuat tangan palsunya. Urat dan otot tangannya yang terpotong akan disambung manual dengan tangan besi hitam itu. Ia dibantu para peri Aruna kelompok perajin memasang dan menyambung bagian tubuh organiknya dan bagian tubuh artifisialnya. Jari-jarinya bisa bergerak dengan sempurna dan fleksibel. Jempol dan keempat jarinya bisa digerakkan sesuai dengan keinginannya. Seperti teknologi robotik yang sangat canggih semuanya berjalan dengan lancar. Tak heran kalo peri Candrasa punya kecakapan setinggi ini.

“Dengan begini… hamba bisa fokus untuk menyiapkan telur-telur di dalam tubuh hamba, baginda raja…” tunduknya di hadapanku. “Saat ini… telur hamba sudah berjumlah 73 buah, baginda raja…”

“Apakah kau butuh sesuatu untuk membuatmu semakin nyaman memperbanyak telurmu…” tanyaku.

“Hamba peri Candrasa yang lahir di gua yang gelap, baginda raja… Akan sangat banyak membantu kalau hamba tinggal di tempat yang gelap dan lembab seperti tempat asal hamba… Bila diperkenankan… hamba akan menyiapkan sendiri tempat itu, baginda raja…” pintanya.

“Kau akan menggali sebuah gua?” tebakku.

“Benar, baginda raja… Dengan demikian hamba akan dengan optimal memperbanyak telur hamba di lingkungan yang sesuai dengan habitat asal hamba…” jawabnya.

“Oh… Nanti aku akan menyuruh kelompok pembangun untuk membantumu… Sepertinya mereka sudah hampir selesai membangun istananya…” kataku lanjut. Tentu saja kalo dikerjakan berame-rame akan lebih cepat selesai. Gak mungkin peri Candrasa ini melakukannya sendirian saja. Ia mengatakan kalo ia berencana membangun gua itu di dekat hutan saja karena kandungan air sungai dan kelembaban tempat itu sangat cocok untuk gua incarannya.

Setelah itu aku memanggil Catur, ketua kelompok pembangun untuk keperluan itu. Ternyata kelompok pembangun saat ini sedang konsentrasi untuk menyelesaikan menara yang saat ini sedang dihuni oleh dua peri Dawala itu. Tetapi ia bisa menugaskan Sas yang tubuhnya paling kuat di kelompok pembangun untuk memulai membuat lubang gua itu. Di awal pembangunan, Sas-lah yang banyak berperan mengeluarkan bebatuan besar dari dalam tanah sebagai bahan baku pembangunan istana.

Aku benar-benar gak mau balik dulu ke dunia nyata. Aku mau berlama-lama di sini aja dan membiarkan tubuhku tidur malam ini begitu saja. Kalo aku sudah puas di sini dengan segala macam perkembangannya, aku baru balik lagi ke tubuhku dan meneruskan hari-hariku. Lagipula, kalo aku balik setahun ato dua tahun lagi juga, waktunya masih tetap segitu aja di dunia nyata. Keknya dengan segini banyak penghuni daerah kekuasaanku, bening-bening dan cantik-cantik, aku gak akan bosan di kerajaan ini.

Para peri Aruna yang mendominasi tempat ini sekarang sudah seperti bidadari-bidadari surga di istana sebesar ini. Walopun jumlahnya tidak begitu banyak tetapi sebentar lagi mereka akan berlipat ganda dengan lahirnya dua ratusan peri baru dari telur Tri. Para peri Aruna ini senang beristirahat di satu ruangan besar di istana ini. Daerah kekuasaanku yang selalu dalam keadaan terang benderang ini selalu siang, gimana mereka beristirahatnya? Tentu aja mereka punya jam biologis tersendiri. Mereka selalu tau kapan harus beristirahat, kapan harus beraktifitas.

Saat ini mereka sedang bobok cantik beramai-ramai di ruangan ini. Berbaring berhimpitan bersusun seperti ikan gembung rebus berderetan rapi tanpa ada urutan yang jelas. Dalam kondisi ini, tidak ada perbedaan kelompok ato tugas lagi di antara mereka. Hanya ada satu kesamaan, rambut merah saja. Rumput gelagah kering yang diambil dari tepi sungai menjadi alas tidur mereka yang nyaman. Apa bedanya kamar istana dengan sel tahanan kalo begini ceritanya. Sayang kali kulit halus mulus begini harus bersentuhan dengan rumput gelagah kering yang cenderung kasar dan kadang berduri. Kelompok perajin belum menemukan waktu yang tepat untuk menciptakan benda yang lembut sebagai alas tidur karena masih disibukkan pekerjaan lain.

Saat ini peri kelompok pembangun dan kelompok perajin yang paling sibuk dengan pekerjaannya. Kelompok pembangun seperti gak pernah punya waktu nganggur di waktu kerjanya. Ada saja yang harus mereka bangun dan dirikan. Begitu juga dengan kelompok perajin, ada saja yang harus mereka hias dan siapkan setelah kelompok pembangun selesai dengan satu bagian.

Kelompok petarung yang kini tinggal berdua saja; Eka dan Dwi karena Tri sekarang sedang berkonsentrasi dengan telur-telurnya, lebih banyak fokus berlatih dan hanya berlatih bertarung. Kelompok pemburu lebih sering menyebar berkeliling daerah kekuasaanku ini untuk memeriksa perbatasan yang aku sendiri belum pernah capai. Dimana ujung tempat ini? Kelompok pemburu mengatakan kalo ada dinding transparan yang tak dapat ditembus di batas terjauh yang kira-kira jauhnya 100 km jauhnya dari pusat kerajaan. Jauh sekali. Dari laporan mereka juga aku tau kalo air laut sudah mulai mencapai batas itu hingga pelan-pelan seperempat daerah kekuasaan kerajaan Mahkota Merah ini mulai digenangi air laut. Walo masih dangkal.

Kelompok penghibur yang seharusnya lebih santai, tidak bisa santai juga karena mereka harus memberi semangat dengan cara menghibur rekan-rekan peri Aruna-nya. Ada saja yang mereka lakukan untuk menghibur. Kapan hari mereka bertiga mempersembahkan patung Tri yang terbuat dari pahatan batu pualam yang sangat indah agar Tri bersemangat untuk mengawasi telur-telurnya. Berikutnya mereka membuat lagu yang bernada ceria dan penuh semangat untuk memacu semangat kelompok pembangun agar tak bosan membangun istana sebesar ini. Dikala berikutnya mereka menawarkan keahlian yang menurutku agak melenceng, memijat keempat anggota kelompok perajin. Memijat tangan-tangan terampil mereka agar tetap luwes berkarya. Mereka memang penghibur sejati. Pastinya semua tindakan mereka dibicarakan secara matang.

Tau kalo mereka bertiga bisa mijat, aku tak mau kalah mau memanfaatkan kemampuan mereka ini. Jadilah aku duduk di kursi pantai kebesaranku, di tepi pantai menikmati angin sepoi-sepoi, menikmati tangan-tangan lincah ketiga peri seksi itu memijat dan mengurut tubuhku. Gak usah klen bilang pasti nanti ada plus-plusnya? Enggak! Saptadasa, Asthadasa dan Nawadasa melakukan tugasnya dengan profesional sekali. Mereka gak perduli dengan erangan keenakanku, gelinjang geliku, atopun ngatjengnya Aseng junior-ku. Mereka tak perduli itu. Tetap memijat seperti yang diminta.

Pernah klen dipijat sama tiga perempuan seksi? Pake bikini minimalis yang keliatan mentul-mentul semua? Kulit terbuka yang keliatan semua yang mulus-mulus bebas dijamah? Itu yang kualami. Mereka gak perduli mataku melotot. Gak sekalipun ada nada protes ato keberatan. Apalagi kala gelayutan montok susu yang menyenggol-nyenggol bagian tubuhku membuat Aseng junior makin meronta-ronta. Apalagi paras cantik yang terlihat sangat innocent ketiga seniman itu sangat menyempurnakan semua kemampuan yang mereka miliki.

Benar-benar hanya pijat saja…

Selesai pijat oleh tiga peri Aruna dari kelompok penghibur, tubuh jiwaku segar tapi Aseng junior merana.

Kenapa gak kugarap aja tadi sekalian mereka bertiga? Gak akan nolak pastinya. Apalagi ini masih malam di waktu dunia nyata. Wahh… Kemana mereka bertiga tadi? Dapat ide begitu mereka udah pada pergi jauh mencari kegiatan lain, siapa yang butuh hiburan berikutnya. Trus… Ini Aseng junior gimana? Kimbek…

Mendinginkan kepala yang panas aku menjejakkan kaki ke dalam deburan ombak di pantai. Sudah mulai ada ombaknya? Berarti sudah mulai ada angin yang terbentuk di sini. Semua ekosistem sudah lengkap di dalam daerah kekuasaanku ini. Angin dapat berhembus karena perbedaan tekanan udara yang disebabkan perbedaan suhu. Udara lembab yang berasal dari air laut menyebabkan pergerakan udara menuju daratan yang kering. Angin terbentuk dan otomatis menyebabkan ombak di laut juga. Pohon di hutan juga mulai bergoyang-goyang daunnya oleh tiupan angin.

Sejuk dan damai merendam kaki air laut berpasir putih. Aku berjalan menelusuri garis pantai yang semakin lebar saja dari waktu ke waktu. Seketika aku udah gak sange seperti tadi. Tak ada satupun peri di dekatku saat ini. Kalo mau memaksakan, hanya ada ratu Nirada di atas sana berdua dengan pengawalnya sedang menjaga ratusan telurnya di menara yang menjulang tinggi. Para peri lain pasti sedang disibukkan dengan aktifitas mereka masing-masing.

Karena enggan keluar dari sini dan balik ke dunia nyata, tak ada salahnya kalo aku berlama-lama di sini dengan berlatih. Apalagi sekarang aku punya dua permata peri baru; moonstone putih dan onyx hitam. Aku harus bisa menggunakan kedua permata ini dan memanfaatkan kekuatannya. Pastinya akan sangat berguna di pertarungan nanti dan peperangan yang akan kami hadapi kelak.

Aku berlari-lari kecil di sepanjang garis pantai sendirian saja. Tahanan pasir basah membuat langkahku menjadi berat. Memang kusengaja untuk semakin memperkuat kaki dan staminaku. Butiran pasir menahan langkahku yang agak tenggelam, meninggalkan jejak panjang di deburan air laut yang kemudian pupus. Langkah berat yang berasal dari benaman kaki di pasir basah membuat jogging-ku di terang terik di pantai semakin optimal. Ini latihan yang bagus.

Panjang garis pantai semakin jauh membawaku menjauh dari istana Mahkota Merah yang kini hanya terlihat menara tingginya saja. Ada cahaya terang di puncaknya yang merupakan cahaya dari ratusan telur peri Dawala yang berproses matang. Istana yang dominan berwarna merah dari laburan di dindingnya dengan latar belakang hijau hutan yang semakin luas. Target jogging kali ini adalah mencapai batas terjauh yang bisa kutempuh. Kalo bisa aku mencapai jarak 100 km itu dan menemukan perbatasan transparan itu.

100 km ternyata sangat jauh sekali kalo harus ditempuh dengan berjalan kaki ato jogging. Nafasku sudah ngos-ngosan mencapai jarak yang paling-paling baru 10-15 km. Terbentang tanah kosong sepanjang mata memandang. Untuk apa daerah seluas ini bagi kami para Menggala? Tiap-tiap Menggala punya daerah kekuasaan yang bervariatif luasnya. Mungkin ada Menggala yang daerahnya lebih luas lagi daripada milikku ini. Untuk apa kami memiliki daerah kosong begini kalo hanya melompong. Kebanyakan hanya berisi di tengah-tengah saja yang lagi-lagi variatif tergantung spesialisasi Menggala itu. Aku yang banyak menggunakan pedang daun, menumbuhkan pohon ato tanaman yang daunnya baru saja kupergunakan sebagai pedang daun. Ada Menggala yang mempunyai hutan bambu, makam keramat, bukit kecil dan lain-lainnya.

Apa para peri nantinya kusuruh bertani aja di lahan kosong ini? Bertani apa tapinya? Buah-buahan di hutanku itu aja gak bisa dimakan. Eh… Aku pernah melihat beberapa buah di dalam sel yang diperuntukkan untuk tawanan. Belum dimakan, sih… Tetapi pastinya para peri Aruna yang menyuguhkan buah-buahan itu pada tawanan, peri Padma yang kemudian kuberi nama Wingsati. Apakah efek buah-buahan itu tidak berarti buat para peri ini? Aku belum pernah menanyakan perihal ini. Sebaiknya aku bertanya saja.

“Hamba menghadap, baginda raja…” Eka secara cepat muncul dihadapanku.

“Ah… Bagus kau sudah datang… Ikut jalan bersama denganku, Eka…” kataku berjalan santai saja. “Cuma mau nanya-nanya hal yang gak kumengerti aja, kok… Udah pernah sampe kemari?” tanyaku. Aku cuma memakai celana pendek saja melakukan jogging ini karena semua pakaianku kutinggal di balik dinding istana saat mulai tadi. Badanku berkilauan karena keringat.

“Belum pernah, baginda… Ini pertama kalinya hamba sampai sejauh ini… Sebelumnya paling jauh sampai gunung berapi saja…” liriknya pada gunung berapi yang arahnya berlawanan dari tempat kami berada. Hanya asapnya yang terlihat dari sini.

“Saya kepikiran… dari luasnya daerah kerajaan kita ini yang hanya kosong tidak apa-apa… Seluas ini hanya tanah kosong melompong… Sebentar lagi kita akan kedatangan peri-peri baru… Dari peri Aruna… dan peri Dawala… Ratusan jumlahnya… Sementara ini nantinya masih bisa ditampung di dalam istana… Bagaimana kalo nanti bertambah lagi?… Bagaimana cara memberi makannya? Bagaimana mengurus warga kerajaan sebanyak itu?” kataku sambil terus berjalan. Eka mengikuti langkahku dan mendengar pemaparanku.

“Buah-buahan di hutan di dekat istana… Setau saya… itu buah-buahan yang berbahaya… Saya pernah memanfaatkannya untuk menghukum orang jahat yang suka menyengsarakan orang lain dengan buah dari hutan itu… Mata bathinnya terbuka lebar sampe berkali-kali lipat hingga yang dilihatnya adalah bentuk yang mengerikan dari mahluk-mahluk ghaib seperti kalian… Mahluk ghaib juga menghindari buah-buahan ini… Tetapi kalian tidak. Bisa kau jelaskan?”

“Bagi mahluk ghaib… buah-buahan itu memang tidak bisa dikonsumsi, baginda raja… Karena buah-buahan itu tidak asli… Hanya representasi dari benda sebenarnya yang ada di dunia nyata… Hanya buah tiruan… Malah beracun bagi kebanyakan mahluk ghaib… Tetapi kami… para peri… terutamanya yang memiliki elemen murni… bisa melewati elemen racun itu, baginda raja… Tetapi tetap saja itu bukan makanan yang baik untuk dikonsumsi oleh para peri…” jawab Eka walo masih membuatku bingung.

“Jadi kalian peri Aruna… peri berelemen api tidak terluka ketika memakan buah itu? Tapi mahluk ghaib lainnya… katakanlah siluman, kuntilanak dan kawan-kawannya akan terluka, begitu?”

“Benar, baginda raja… Begitupun peri Dawala, peri Candrasa itu… Pun buah-buahan itu tetap bukan makanan yang baik, baginda raja…” jawabnya menegaskan. Aku manggut-manggut pelan-pelan paham.

“Jadi makanan utama kalian adalah…” aku menatap matahari hitam yang ada di atas kami, yang menaungi langit terang, yang merupakan mantel rubah hitam yang menyerap sinar matahari, menyalurkan dan menyebarkannya di sini. “… panas matahari itu?”

“Benar, baginda raja…” ia mengangguk dalam. “Seperti peri Dawala yang cukup dengan sinar terang ini dan peri Candrasa yang memakan bayangan gelap…” ia menambahkan dua contoh sekaligus dari dua jenis peri tamu yang kini mendiami istana kami.

“Peri Padma itu memakan magma cair?”

“Mereka terlebih dahulu menampungnya dan mencetaknya… Saat dalam kondisi setengah mengeras adalah kondisi paling enak kata Wingsati, baginda raja…” imbuhnya lagi. Oo… Kalo makan steak mungkin tingkat kematangannya adalah well-done gitu, ya? Gitu-gitu…

Banyak yang kami bicarakan dengan jalan berduaan aja kek lagi pacaran menelusuri garis pantai sampe jauh. Ada banyak yang kami diskusikan. Dari menanyakan pendapatnya tentang rencanaku ke kerajaan peri laut, peperangan dengan kerajaan Istana Pelangi, pasukan zombie. Juga ideku untuk mengembangkan pertanian untuk pemanfaatan lahan yang menganggur luas ini, penerimaan peri-peri lain ke kerajaan ini juga dan masa depan kerajaan Mahkota Merah ke depannya.

Terkadang ia sangat visioner dan jauh cara pikirnya, terkadang ia juga sangat moderat. Ia masih kaku kalo mengenai protokol status rajaku. Ia tak berani sama sekali membantah apapun yang kusampaikan walo itu mungkin salah. Apalagi saat kusinggung tentang Tri. Tri yang kini punya status ratu walo belum sepenuhnya resmi. Peri nomor tiga itu sudah menelurkan 200-an telur peri Aruna dan menurut kebiasaan, hanya ratu yang bisa menelurkan telur diatas 200 butir sekaligus. Hal tersebut membuat Tri otomatis memiliki status sebagai ratu. Sementara ini, hal itu belum resmi.

Eka berpendapat lain, suksesi kepemimpinan di kerajaan Mahkota Merah tradisinya masihlah berpindahnya mahkota yang sedang kupake ini ke pemilik baru yang dengan sahih menjadi pemimpin baru. Seperti yang sudah kulakoni saat itu dengan ratu Fatima. Ia hanya mengakui cara itu.

Aku mendesaknya terus dengan 200-an telur Tri yang secara umum dipakai kerajaan peri lain sebagai ratu ato pemimpin mereka. Contoh kuatnya adalah ratu Nirada dan 200-an telurnya juga. Aku sama sekali gak bisa menghasilkan telur seperti mereka.

“Ampun beribu ampun, baginda raja… Apakah baginda raja bermaksud meninggalkan kami… dengan menjadikan Tri sebagai ratu?” ia menatap mahkotaku yang kini bertahtakan tiga buah permata peri. “Bahkan baginda raja tak bisa melepaskan mahkota itu dari kepala baginda sendiri… Bagaimana baginda melakukannya?”

“Ini masih rencana, Eka… Kau jangan bilang-bilang dengan yang lain…”

——————————————————————–
Berlama-lama di daerah kekuasaanku, kerajaan Mahkota Merah, aku bisa menyaksikan lahirnya peri-peri baru. Telur milik Tri yang terlebih dahulu menetas. Aku takjub menyaksikan menetasnya 215 butir telur yang terakhir sudah seukuran bola dengan diameter kurang lebih 100 cm itu, rengkah dan dengan spektakulernya membarakan api yang bergelora dengan hembusan yang luar biasa. Dari dalam cangkangnya keluar peri muda (tak berbusana tentunya) bentuknya sudah sempurna berbentuk wanita muda. Sedang api yang membara tadi merupakan rambutnya yang kini tergerai agak kusut.

Masih dalam keadaan linglung, bingung dan tak tau arah, sekarang adalah tugas para peri-peri Aruna yang ada untuk membimbing mereka. Tri terlihat sangat terharu sekali melihat ratusan peri baru yang terlahir melalui dirinya telah berhasil menetas dengan selamat. Ia memeluk semua peri Aruna baru itu dengan penuh perasaan satu per satu. Pada akhirnya mereka diminta memberi hormat padaku, tradisi baru yang cukup hanya menunduk, tidak sampe bersujud.

Peri yang baru menetas punya kebiasaan untuk membawa potongan cangkang telur bekas mereka. Ada yang hanya perlu pecahan kecil sampe besar berukuran setengah parabola. Mungkin itu yang memberi mereka kekuatan sementara dan kami harus memaklumi hal tersebut. Jadi ratusan peri yang baru menetas ini langsung digiring menuju istana Mahkota Merah setelah sempat beristirahat. Para peri Aruna senior tentunya yang menjadi pengawas saat mereka digiring.

Istana seakan penuh dengan peri berambut merah yang memenuhi tempat yang awalnya sangat sepi ini. Bila awalnya 19 peri Aruna menggunakan satu ruangan maka 215 peri baru memerlukan 11 ruangan. Untungnya kelompok pembangun entah kenapa membangun banyak ruangan kamar di istana ini sehingga bila nanti telur peri Dawala yang berjumlah 263 menetas nanti, mereka memerlukan 14 kamar.

“Hamba, baginda raja…” hatur hormat Catur di hadapanku yang kupanggil setelah semua peri Aruna baru itu masuk ke ruangannya masing-masing. Aku menginstruksikan padanya untuk menyiapkan ruangan baru kalo-kalo dibutuhkan. Sepertinya istana ini perlu ruangan yang sangat banyak di masa depannya. Jaga-jaga kalo nanti ada peri yang mendadak birahi butuh dibuahi dan itu artinya akan ada penambahan jumlah peri lagi.. Ia segera tanggap dan menyiapkan timnya untuk segera bergerak disamping Sas yang sedang membantu membuat gua untuk peri Candrasa.

Tak berapa lama kemudian, aku mendapat laporan kalo telur milik peri Dawala juga segera akan menetas juga. Tapi karena puncak menara itu sempit, gimana caranya telur-telur yang menetas itu akan muat disana? Eka menyarankan agar aku menunggu di bawah saja dan benar saja, saat-saat krusial itu, puncak menara setinggi 15 meter menjulang tinggi terang benderang oleh cahaya dari telur-telur peri Dawala yang baru menetas. Telur sebanyak 263 butir itu melesat ke udara setinggi-tingginya seperti kembang api membumbung ke angkasa.

Kami yang menyaksikan itu tentu saja kagum bercampur kaget. Apalagi ada ledakan yang mengingatkan pada kembang api beneran. Hanya saja ini terjadi di terangnya siang hari. Saat gelap pasti akan lebih spektakuler. Ledakan cahaya terang itu berjumlah ratusan silih berganti. Aku tak bermaksud menghitungnya karena jumlahnya harusnya 263 kali. Sisa ledakan berakhir dan ada benda bercahaya lainnya yang mengambang turun perlahan dengan keadaan berputar-putar seperti memiliki parasut. Aku segera mengenali untaian-untaian rambut yang mengembang mengikut gravitasi. Rambut putih yang cemerlang seperti perak.

Ratusan peri Dawala muda yang tak berpakaian itu mendarat dengan sempurna di tanah di hadapanku. Berputar-putar mendarat silih berganti dengan keindahan tubuh yang langsing dan rambut berwarna putih yang sungguh unik. Seolah sekumpulan butir salju yang mendarat di siang bolong yang terik begini. Kulit mereka yang cerah dan rambut yang juga cerah seperti bersinar. Mereka benar-benar memanfaatkan benar limpahan cahaya di tempat kekuasaanku ini. Ini memang tempat yang paling pas buat mereka.

Tapi yang namanya baru lahir ato netas itu tentunya masih dalam keadaan lemah dan tak berdaya awalnya. Peri-peri Dawala muda itu langsung jatuh terkulai memegangi bagian atas cangkang telur mereka yang dijadikan parasut saat mengambang turun tadi. Cangkang telur yang semi transparan itu dipeluk erat-erat seperti bantal saja layaknya. Mengingat hanya ada dua peri Dawala dewasa di tempat ini, akan ada banyak pekerjaan yang harus dilakukan peri Aruna yang merupakah tuan rumah kerajaan ini. Mereka patuh akan perintahku.

“Mereka baik-baik saja, bagindaaa??” ratu Nirada dan pengawalnya datang terburu-buru setelah sempat berlari-lari. Dari sudut sana sampe ambang ruang balairung ini, aku sangat menikmati guncangan-guncangan tubuh keduanya, terutama susunya yang tumpah ruah sentosa tanpa pembungkus. Tentunya keduanya khawatir akan keadaan peri-peri Dawala muda yang barusan menetas itu. Para peri Aruna sampe bolak-balik beberapa kali memapah dua peri Dawala muda ke ruangannya. Hari ini hari yang sangat sibuk. Tadinya aku pengen bantu-bantu memapah, tapi mengingat statusku sebagai raja, kuurungkan niat modusku itu.

“Tenang… Tenang… Mereka baik-baik saja… Kalian berdua sebaiknya beristirahat bersama mereka juga…” rangkulku sebaik mungkin pada keduanya. “Kalian pasti sangat lelah… Berputar-putar di menara itu sekian lamanya…” Modusku berasa sekali manfaatnya. Tubuh montok keduanya terlalu enak untuk didekap. Apalagi keadaan keduanya yang tanpa busana membuatku bebas merasakan bokong empuk nan kenyal menempel di Aseng junior. Lengan padat yang mulus. Aroma wangi kayu manis itu juga masih terasa.

Haru yang juga dirasakan dua peri Dawala dewasa ini. Keduanya yang sama-sama telah menelurkan telur generasi penerus peri Dawala dari kepunahan yang mengerikan. Setidaknya sejarah peri Dawala akan selamat hari ini. Mereka menitikkan air mata saat memeluk satu per satu peri Dawala muda yang bengong bingung gak tau permasalahan apa yang tengah merundung spesies mereka saat ini. Setidaknya mereka aman di sini.

“Terima kasih banyak, baginda raja…” tiba-tiba ratu Nirada dan pengawalnya bersujud yang kemudian secara mengejutkan juga diikuti oleh semua peri Dawala muda itu. Bayangin aja dua ratusan lebih peri cantik berambut putih yang telanjang bersujud-heh! Kalo dari depan begini, pantatnya menungging terlihat jelas punggungnya. Kalo dari belakang… beuh… Pasti kelihatan belahan bokong beserta lepit menggiurkan selangkangan yang mengundang untuk segera dicoblos. Aseng junior menggeliat bangun. “Berkat kemurahan hati baginda raja, peri Dawala terhindar dari kepunahan… dengan lahirnya peri-peri Dawala baru ini di kerajaan yang baginda raja pimpin… Hamba… kami semua bersumpah setia pada baginda raja…” lanjutnya.

“Ya-ya-yaa… Bangun! Semuanya berdiri… Ayo!” aku sampe bertepuk tangan menyuruh mereka semua untuk bangkit dari posisi bersujud seperti ini. Jengah kali aku diperlakukan begini. Bukan dewa aku, apalagi Tuhan. “Tidak ada yang boleh bersujud padaku… Semuanya berdiri… Ratu Nirada… kamu harus berdiri yang pasti diikuti semua anak-anakmu ini…” takut-takut ia bangkit yang benar saja diikuti oleh peri-peri muda itu. Peraturan ini kubuat sama pada siapapun di kerajaan ini. Tak ada yang boleh menyembahku seperti ini. Menunduk saja sudah cukup.

“Nah… Begitu…” aku senang kondisi seperti ini, semuanya berdiri. Ratusan peri Dawala telanjang berdiri tegak di hadapanku. Aku berdiri di posisi yang lebih tinggi dari siapapun di ruangan utama istana ini dapat melihat dengan sangat jelas bodi-bodi semok dan seksi para peri Dawala yang bugil. Payudara yang menonjol dan kulit bersih mulus tanpa penutup, apalagi segitiga dahsyat di bagian selangkangan. Damage-nya sangat parah padaku.

“Kalian semuanya diterima disini… Ini adalah kerajaan Mahkota Merah… Kedudukan kalian sama di kerajaan ini… Aku pastikan tidak ada perbedaan antara kalian dan peri Aruna atau peri-peri lainnya di sini selama aku pemimpinnya… Kalian semua mengerti?!” kataku memberi titah yang kutujukan pada siapapun yang dapat mendengarku. Ini juga kutujukan pada peri Aruna yang hadir di balairung istana ini untuk menyampaikan hal ini untuk rekan-rekannya yang tidak hadir.

“Semua kedudukannya sama di hadapanku… Sangat disayangkan kalau harus ada kepunahan di kalangan peri Dawala… atau peri apapun… Apalagi bila ditelaah dari asalnya… kalian semua dan peri Aruna—penghuni asli kerajaan Mahkota Merah datang dari tempat yang sama… Tinggallah di sini dengan nyaman dan aman di sini… Ini kerajaan baru kalian sekarang…” titahku. Balairung istanan yang seluas ini begitu penuh oleh dua ratusan peri Dawala, juga ada dua ratusan lain peri Aruna di kamar-kamar sebelumnya. Sebentar saja, istana ini sudah rame oleh empat ratusan peri, dan kelak akan bertambah.

Merawat peri-peri muda yang baru lahir, aku buta sama sekali. Aku gak tau apa-apa tentang mereka selain montok dan seksi tubuh seperti remaja bongsor mereka. Peri seperti mereka terlahir langsung seperti itu. Aku tidak tau alasan penciptaan mereka, jadinya aku gak bisa berlama-lama menatap tubuh telanjang mereka tanpa jadi terangsang sendiri. Lagipula, aku ada wibawa yang harus kujaga untuk tidak memandang mereka dengan nafsu. Supaya gak keliatan kali-lah pokoknya kalo awak ini mesum kali.

Keknya aku harus membeli banyak pakaian untuk para peri baru ini. Gak mungkin pulak aku membiarkan ratusan peri secantik mereka berseliweran di sekitarku tak berpakaian. Bisa-bisa aku yang selalu puyeng di tempat ini sebagai satu-satunya pejantan.

“Baginda raja… Tri dan ratu Nirada hendak menyampaikan sesuatu…” ujar Eka yang datang mendekat padaku saat aku sedang leyeh-leyeh di atas rumah pohon, berteduh di rimbunnya tajuk pohon beringin. Angin dari laut luas di sana bertiup sepoi-sepoi membuat mengantuk. Eka sudah naik ke atas rumah pohon dan peri lainnya masih menunggu di bawah. Aku memberinya kode agar mereka naik saja keatas sini.

“Ada apa?” tanyaku begitu mereka sudah naik dan ikut duduk denganku di pelataran kayu yang sudah diperkuat kelompok pembangun. Rumah pohon tak berdinding ini sudah mirip pesanggrahan pribadiku di hutan ini. Tri duduk di samping Eka sedang ratu Nirada bersama pengawalnya. Kedua peri Dawala itu sudah mendapatkan kembali pakaian mereka hingga aku sedikit bisa bernafas lega menatap keduanya, walo masih tetap seksi abis.

“Ampun baginda raja… Maafkan kelancangan hamba… Ada hal penting yang ingin hamba sampaikan mewakili peri-peri Aruna muda…” kata Tri sedikit menunduk ketika berbicara walo kami sama-sama duduk lesehan.

“Ampun baginda raja… Hamba juga menghaturkan beribu maaf kalo yang hamba akan sampaikan nanti tidak berkenan untuk baginda…” kata ratu Nirada juga melakukan hal yang sama.

“Gak usah takut… Aku akan mendengar apapun yang akan kalian sampaikan… Sampaikan saja…”

“Baik, baginda raja… Sebagaimana yang baginda raja dan kita semua ketahui… peri Aruna mendapatkan energi hidupnya dari berbagai sumber panas… Selama kami—19 peri Aruna awal—yang pertama ada… kami cukup mendapatkan energi itu dari panas matahari hitam yang ada di atas sana, baginda raja… Tetapi bagi peri Aruna baru yang terlahir di kerajaan Mahkota Merah… sepertinya mereka masih membutuhkan tambahan energi lain, baginda…” papar Tri.

“Tambahan energi lain?” ulangku dengan kening berkerut. Tri mengangguk. Ratu Nirada juga ikut mengangguk membenarkan. “Itu juga yang terjadi pada peri Dawala mudamu, ratu Nirada?” aku beralih bertanya padanya.

“Benar, baginda raja… Cahaya terang yang berlimpah di kerajaan ini seharusnya sudah lebih cukup bagi kami peri Dawala sebagai energi hidup… Tapi bagi peri Dawala muda itu sepertinya mereka masih membutuhkan tambahan… Cangkang sisa telur yang mereka pegang dengan cepat akan habis… Hamba khawatir mereka akan kekurangan energi… dan mengganggu pertumbuhan mereka…” papar ratu Nirada.

“Kekurangan energi? Apakah mereka butuh tambahan makanan?” tebakku lalu melirik pada Eka yang duduk tepat disamping Tri. Aku mendadak teringat akan diskusi kami sebelumnya tentang buah-buahan yang ada di hutan ini.

“Itu yang belum kami ketahui, baginda raja… Peri Dawala sebelumnya tidak pernah mengalami hal ini…” jawab ratu Nirada.

“Begitupun dengan peri Aruna, baginda… Peri Aruna tak pernah mengalami ini sebelumnya…” kata Tri juga.

“Apakah sudah ada yang pernah memakan buah-buahan yang tumbuh di hutan ini?” aku memandang keempatnya bergantian. “Buah-buahan di hutan ini selalu dalam keadaan matang siap dimakan kapanpun tetapi tidak ada yang pernah memanfaatkannya… Dari diskusiku dengan Eka sebelumnya… buah-buahan ini sebenarnya tidak baik untuk mahluk ghaib karena jadi semacam racun tetapi tubuh kalian bisa menetralkan racun itu berkat elemen yang kalian miliki… Kenapa tak kita coba untuk memberi makan peri muda itu dengan buah ini?” usulku.

Keempatnya terlihat ragu tapi gak berani mengungkapkan keberatannya. Mereka malah jadi lirik-lirikan. Aku tau masalahnya. Mereka gak mau menjadikan keturunan mereka menjadi kelinci percobaan teoriku ini. Mereka hanya diam saja menunggu instruksi berikutnya.

“Aku tau apa masalahnya… Ayo kita diskusikan… Aku bukan raja yang otoriter, kok… Aku tau kalian keberatan kalo kalian harus mencoba buah-buahan itu… apalagi peri-peri muda itu… Kalian tidak akan terluka jika memakan buah itu walopun beracun, kan? Tapi kalian ragu apakah tetap sama pada peri-peri muda itu… Benar, kan?” tanyaku membuka diskusi.

“Sepertinya begitu, baginda…” jawab Eka yang sepertinya lebih mulai luwes karena sering kuajak ngobrol sebelumnya. Semoga ia bisa menularkannya pada yang lain. “Pada kami mungkin tidak ada pengaruh… walau kami juga tidak mau mencobanya…”

“Begitu… Sebentar, ya… Kupanggil dulu satu rekan diskusi kita…” ujarku kemudian menengadah. Aku sudah lama gak ngobrol dengannya. Tak lama kepakan sayapnya menyeruak menembus kanopi rindang dedaunan lebat dan meluncur turun dan hinggap di tanganku. “Selamat datang, Panglima Burung… Silahkan ikut urun rembug kecil kami ini…”

“Ada hal khusus yang sedang anak bicarakan dengan para peri ini?” tanya burung Enggang keramat ini.

“Panglima Burung adalah mahluk ghaib seperti para peri ini… Apakah ada makanan khusus yang Panglima Burung konsumsi selama ini… selama berada di daerah kekuasaanku ini?” tanyaku melibatkannya dalam diskusi ini. Ia hanya sementara saja di tempat ini, menunggu waktu yang tepat untuk kembali ke garis keturunan pemilik sebelumnya.

“Ahh… Masalah itu… Buah-buahan yang ada di hutan ini memang sangat menggiurkan… Tetapi sebagai mahluk ghaib yang sudah tahu seluk beluk kehidupan tentunya saya tidak akan mau memakannya… Apakah para peri muda ini mencoba memakannya?” tanyanya menoleh pada sekumpulan peri muda berambut merah yang berkumpul bergerombol, mencoba menjelajah.

“Itu yang sedang kami diskusikan, Panglima Burung… Ini masalah memberi makan para peri muda itu… Sepertinya karena lahir di tempat ini… metabolisme mereka agak berbeda dengan peri berelemen biasanya… Peri Aruna harusnya cukup dengan panas matahari… Peri Dawala harusnya cukup dengan sinar terang saja… Tetapi saat ini mereka tidak cukup… Tumbuh kembang mereka sedang terhambat…” jelasku padanya.

“Lahir di tempat ini merubah mereka… Apalagi mereka lahir dari bibitmu… Sepertinya begitu…” gumamnya mengangguk-angguk.

“Bagaimana, Panglima Burung?” aku masih gak ngerti apa yang dimaksudkannya.

“Kalian harusnya mencari wawasan pada peri berambut hijau… Kabarnya kaum peri itu sangat piawai dalam mengolah berbagai macam tanaman semacam ini untuk dikonsumsi, tentunya ada beberapa tahapan untuk hal itu…” pungkasnya tentang peri jenis ini.

“Peri berambut hijau?” gumamku mengulang. Peri jenis barukah? Berambut hijau. Tidak ada di dalam lima jenis peri yang berasal dari pecahan cermin dewi kahyangan itu. Rambut merah, biru, pirang, putih dan hitam yang ada seharusnya, kan? Kenapa ada yang berambut hijau?

“Peri berambut hijau atau peri Wanadri saat ini berpihak di kerajaan Istana Pelangi, baginda raja…” imbuh Eka menambah informasi.

“Eh? Beneran ada peri rambut hijau?” heranku. Berarti masih ada peri-peri berambut warna-warni lainnya. Benar juga… Penyihir yang disebut ratu Nirada dan peri Candrasa itu berambut kelabu.

“Ada, baginda raja… Mereka saat ini sepertinya hanya mencari perlindungan di sana… Peri Wanadri ini biasanya adalah peri pencinta damai…” tambahan lagi dari Eka.

“Peri Wanadri… Peri hutan berambut hijau… Mereka pasti cocok tinggal di hutan ini…” kataku melirik ke hutan di sekelilingku. Aku semakin yakin dengan tujuan muliaku yang pernah terbersit saat itu. Menyatukan semua peri dalam satu tempat saja.

“Baginda raja… peri Wanadri sebenarnya adalah cabang dari peri Asti dan peri Kencana… Mereka bisa hidup bersama peri laut dan peri emas itu… Suatu saat di masa lalu entah bagaimana ada percabangan di silsilah peri dan menciptakan peri baru ini…” ratu Nirada berbicara. Itu suatu tambahan yang sangat berharga.

“Seperti peri kelabu itu juga?…. Cabang dari peri Dawala dan peri Candrasa? Begitu?” tebakku. Antara putih dan hitam, tentunya akan menjadi warna abu-abu—kelabu.

Ratu Nirada hanya mengangguk dalam membenarkan tebakanku. Peri-peri baru ini menciptakan segmen baru di kehidupan mereka dan sepertinya peri berambut kelabu ini memfokuskan keahlian mereka di bidang sihir hingga bisa menciptakan sihir zombiefikasi yang mengerikan itu. Kalo ceritanya seperti itu, berarti akan ada variasi warna lain di peri-peri ini, orange, pink, coklat, ungu.

“Karena itu kerajaan peri Kencana (emas) dinamakan Istana Pelangi, baginda… sebab di dalam kerajaan itu ada banyak jenis peri yang bermukim di sana… Yang paling utama tentunya adalah peri Kencana… lalu peri-peri berbagai jenis lainnya yang merupakan rakyat jelatanya…” jelas ratu Nirada. Tentu ia tau persis kerajaan itu karena ia sudah merambah kesana saat melarikan diri dan mendapat perlindungan juga tugas.

Oo… Pelangi karena ada berbagai macam warna ada di sana. Membuatku ingin cepat-cepat menuju kesana aja—ke kerajaan Istana Pelangi. Tapi terlebih dahulu aku harus ke kerajaan Laut Biru sesuai rencana. Sejauh ini kerajaan peri Kencana sudah memulai konsepku untuk menyatukan banyak peri di dalam kerajaannya, tetapi masih terbatas pada peri berwarna saja. Konsepku lebih lengkap keknya.

“Eka… Siapkan dirimu… Panggil juga Astha… Kalian berdua ikut denganku ke kerajaan Laut Biru…” kataku menuntaskan diskusi kami ini dengan keputusan untuk segera berangkat menuju kerajaan yang sudah tercerai berai berkat si kuntilanak hitam ratu Fatima itu.

“Siap, baginda raja!!” jawab Eka dan Astha yang langsung muncul di belakangnya menunduk hormat dengan sigap. Petualangan baru akan dimulai dari sini.

——————————————————————–

Astha

Eka

Sebagai mata-mata yang sudah sempat memasuki kerajaan Laut Biru di tugasnya sebelumnya, Astha menjadi penunjuk jalan bagi kami bertiga. Eka sebenarnya bisa menjadi penunjuk arah karena ia juga sudah pernah ke kerajaan ini saat bersama dengan rekannya dan ratu Fatima, masuk dan mencuri mustika safir biru kerajaan ini yang menyebabkan kehancurannya.

Astha yang menjadi penunjuk jalan lebih karena kami harus masuk secara diam-diam alias menyelinap dengan cara menyamar. Tentunya menyamar menjadi penghuni kerajaan itu agar tidak menarik perhatian. Menyamar menjadi peri tidak terlalu kukhawatirkan karena hanya perlu memakai aksesoris-aksesoris tertentu saja agar menyerupai peri berambut biru. Yang terberat adalah perjalanan ke sana menurutku.

Sebagai mahluk astral, perjalanan Eka ato Astha kesana sebelumnya bisa dikatakan mudah karena materi tubuh mereka yang ghaib, hingga lebih mudah berpindah tempat. Dengan membawaku, sebagai beban tentunya, mereka harus mengganti metode perjalanannya karena beberapa keterbatasan yang menghalangi. Perjalanan harus dilakukan secara konvensional.

Dan tentunya yang melanglang buana ini masihlah tubuh jiwaku. Tubuh ragaku masih tetap di tempat tidur seperti terakhir kali kutinggalkan.

“… sekitar semalam suntuk waktu normal, baginda raja…” kata Astha menjelaskan tentang waktu yang akan kami habiskan untuk menuju kerajaan Laut Biru. Kami saat ini ada di tepi pantai. Di ceruk karang-karang di tepian selat Malaka yang dahulunya adalah pintu masuk ke istana lama kerajaan Mahkota Merah yang sudah tak terpakai. Eka dan Astha bahu membahu mengeluarkan sebuah sampan kecil dari dalam gudang istana yang menurut Astha adalah milik peri laut yang sudah ditinggalkan pemiliknya, melarikan diri dari kerajaan Laut Biru.

“Kami berdua yang akan mengayuh sampan ini, baginda…” kata Eka mempersilahkanku untuk naik. Sampan ini memang hanya cukup untuk dinaiki maksimal tiga penumpang saja karena ukurannya sangat kecil. Aku agak was-was dengan ukurannya, karena walopun namanya selat tetap saja ombaknya tentu tinggi-tinggi dan besar. Bagaimana mungkin sampan sekecil ini bisa mengarungi lautan seluas ini? Tapi sepertinya Eka dan Astha sangat yakin dengan cara ini. Sepertinya mereka sudah pernah melakukan ini. Aku jadi… apa ya namanya? Pasrah mungkin.

Tak lama kami sudah mengarungi lautan selat Malaka ini menumpang sampan kecil ini. Eka dan Astha mendayung di depan dan belakang sementara aku duduk manis di tengah. Astha yang mengarahkan kemana sampan ini menuju karena ia yang duduk di belakang—memanfaatkan dayungnya sebagai kemudi. Gelapnya malam yang tak berbintang seolah melengkapi penyusupan yang akan kami lakukan ke kerajaan Laut Biru. Dan herannya, laut tak bergejolak hebat seperti seharusnya. Aku jadi heran, apakah ini selat Malaka yang sama yang di dunia nyata? Ato malah ini adalah selat Malaka versi ghaib-nya? Tentu ghaib karena kerajaan peri laut tentunya adalah kerajaan ghaib.

“Ini memang normal begini lautnya-kah?” tanyaku pada siapa aja dari keduanya.

“Seharusnya tidak begini, baginda raja… Semenjak kerajaan Laut Biru tak memiliki kekuatan untuk mengendalikan laut ini karena tak adanya mustika safir biru itu… Laut ini seperti mati dan berprilaku seperti kolam yang teduh saja…” jawab Astha. “Dengan begini, kerajaan Laut Biru malah lebih rentan karena mudah diserang dari sudut mana saja, baginda…”

Benar juga. Laut setenang ini memang tidak wajar. Seharusnya pihak berwenang kerajaan Laut Biru dengan mudah bisa mengusir siapapun yang membahayakan kerajaan dengan sapuan ombak yang gila-gilaan sekalipun. Apalagi hanya sampan kecil seperti yang kami naiki saat ini, tentu akan dengan mudah diombang-ambingkan lalu terhempas dan tenggelam ke dasar laut. Andai saja perjalanan ini bisa lebih cepat daripada semalam suntuk mengarungi lautan tenang yang membosankan ini.

“Fuuh…” dengusku merasa bosan. Hiburanku saat ini hanya menatap punggung, rambut merah dan lekuk tubuh Eka yang ada di depanku. Keduanya masih saja dengan tekun mendayung dan sampan bergerak sangat lamban karena seperti tak ada kehidupan sama sekali di lautan ini. Apalagi sampan seperti ini memang tidak mungkin dipasangi layar karena tak ada angin juga. “Eehh…” kagetku. Sampan ini melaju lebih cepat. Eka dan Astha juga menyadarinya karena mereka berdua sedang mengangkat dayung dari dalam air hingga daya dorong ini bukan dari kayuhan mereka.

“Sepertinya ada daya yang mendorong sampan kita ini, baginda raja…” kata Astha yang melongok ke belakang. “Hamba tak dapat melihat apa itu tapi kita bisa memanfaatkan ini agar lebih cepat menuju tujuan kita, baginda…” lanjutnya yang tak merasakan bahaya. Beda dengan Eka yang sudah menghunus pedang miliknya, bersiap menghadapi apapun yang mungkin terjadi. Apalagi ia ingin melindungiku—rajanya.

Sampan melaju lebih cepat, sekitar 40 km per jam-an gitu kecepatannya. Ini sebenarnya keuntungan tetapi sangat membingungkan sekali, daya apa ini gerangan? Arah yang dituju dorongan ini sudah sesuai dengan yang kami inginkan–kerajaan Laut Biru yang berada di tengah laut selat Malaka, versi ghaib.

Karena Eka tak kunjung melepaskan kewaspadaannya dan tetap menghunus pedangnya, Astha juga jadi ikut-ikutan begitu karena mungkin ingin menunjukkan bakti padaku dengan menjaga baginda rajanya sebaik-baiknya. Menghabiskan waktu, aku hanya mengajak kedua peri Aruna dari dua kelompok berbeda ini ngobrol-ngobrol ringan saja.

“… nanti kalau telur milikmu sudah siap dibuahi… jangan ragu-ragu untuk datang padaku, Astha ya?” kataku lebih mirip godaan. Peri bernomor delapan itu malah senyum-senyum penuh arti hampir tertawa. Mungkin geli membayangkan momen itu bila tiba nanti. Ia hanya menjawab sekadarnya saja. “Eka juga… Ya?” desakku karena keduanya tak menjawabku dengan lugas.

“Apa kalian berdua belum pernah bertelur?” tebakku dari mimik malu-malu keduanya.

“Be-belum pernah, baginda…” jawab keceplosan Eka.

“Birahi saat telurmu matang juga belum pernah?” desakku. Aku menatap keduanya bergantian.

Eka hanya menggeleng. “Belum pernah, baginda…” hanya ada jawaban dari Ashta. Dua-duanya belum pernah merasakan nikmatnya momen itu ternyata. Apakah ini penyebab jumlah peri Aruna sangat sedikit dibanding dengan peri elemen lainnya? Karena para peri Aruna sangat jarang mendapat birahi untuk memperbanyak jumlah mereka. Lalu kenapa Tri yang notabene sama dengan yang lainnya tiba-tiba punya potensi menjadi ratu peri yang bertelur dua ratusan butir sekaligus? Random-kah? Ato apa?

Tri waktu itu hanya kutugaskan untuk memanaskan peri Dawala pengawal itu agar siap kubuahi pada waktunya. Malah dia jadi ikut-ikutan birahi karena telur miliknya tiba-tiba matang dan jumlahnya dua ratusan pulak! Entah parameter apa yang menyebabkan kedua hal itu. Entah karena faktor pengaruh peri Dawala-nya, faktor nafsu ato faktor tempatnya. Apa aku perlu meminta bantuan peri Candrasa itu untuk memaksakan matang telur peri seperti yang sudah dilakukannya pada ratu Nirada dan pengawalnya? Caranya tidak sulit, kurasa aku sendiripun bisa melakukannya. Tinggal menekan bagian solar plexus lalu ditarik-tekan ke bawah saat lidahnya ditarik keluar.

Tapi apa jaminannya kalo Eka atopun Astha juga punya potensi ratu seperti Tri itu? Gak ada, kan? Jadi kasus Tri adalah kebetulan yang sangat kebetulan sekali. Jangan-jangan nanti mereka berdua ini hanya seperti peri Dawala pengawal dengan 54 butir telur itu, ato juga seperti Wingsati yang hanya bisa menelurkan 3 butir telur peri Padma.

Segera kubuang jauh-jauh pemikiranku itu. Lagian ini di atas sampan kecil, Seng. Ngapain kao mikirin membuahi dua peri ini? Ngentot aja di otakmu. Bukan gitu-loh. Hanya bersiap-siap aja. Kalo yang namanya perang itu gak jauh-jauh dari jumlah pasukan. Saat ini punya pasukan yang besar akan sangat lebih menguntungkan. Bisa menjadi nilai gedor bagi lawan saat mengetahui jumlah pasukanku yang juga tidak sedikit. Warga kerajaanku sudah bertambah berlipat ganda dalam sekedipan mata dengan hadirnya ratusan peri Aruna dan Dawala muda.

Saat ini Dwi yang tertinggal di kerajaan bersama anggota kelompok pemburu sedang melatih para peri Aruna muda itu. Sementara peri Dawala muda harus ditangani langsung oleh ratu Nirada dan pengawalnya yang sudah kurasakan ketangguhannya. Dari latihan dasar itu nantinya bisa diketahui potensi peri-peri muda itu, apakah mereka cocok untuk menjadi prajurit ato akan diarahkan ke bidang lain.

“Baginda… ada perahu di sebelah sana…” Eka membuyarkan lamunanku. Di gelapnya malam, ia bisa melihat pergerakan sebuah perahu yang ukurannya lebih besar dari sampan yang kami naiki ini. Eka dan Astha lebih waspada sekarang dengan senjata digenggam. Perahu bergerak berlawanan arah dan sepertinya sebentar lagi akan berpapasan dengan kami. Sepertinya juga datang dari tempat kami menuju.

“Mereka peri Asti, baginda raja…” imbuh Eka yang langsung memakai samaran miliknya yang berupa beberapa helai juntaian rumput laut untuk menutupi kepala dan rambut merahnya. Astha bahkan lebih ekstrim penyamarannya dengan menjadi nenek tua bungkuk dengan baju lusuh compang-camping. Aku hanya perlu menutupi kepalaku, untuk menutupi mahkota di keningku.

Ada beberapa peri cantik berambut biru muda yang ada di atas perahu itu. Sekitar 6-7 peri Asti yang tak berpakaian, hanya tertutup kain-kain lepas seperti kerudung. Aku bisa melihat tubuh telanjang mereka dengan jelas walo keadaan gelap begini. Begitu juga dengan senjata berupa tombak yang dipegang dua peri berambut biru muda itu. Mungkin para prajurit yang mengawal. Kami mengangguk berlagak inferior di hadapan mereka karena mereka semua menatap aneh pada kami. Mungkin gini, ‘Ngapain mereka ini pada menuju kerajaan Laut Biru? Kami aja meninggalakan tempat itu’.

Momen berpapasan itu hanya terjadi beberapa saat aja karena kami masing-masing punya kecepatan di kendaraan air ini. Astha berpesan agar jangan ada yang melihat ke belakang. Aku paham kenapa, agar para peri Asti itu tidak curiga dan malah menyerang kami.

“Whooi!!”

Sialan! Mereka menyadari sesuatu. Dayungnya! Eka dan Astha dari tadi ternyata tidak berusaha pura-pura mendayung dan gerakan luncuran sampan yang bergerak mandiri membuat mereka curiga.

“Mereka berbalik, baginda! Mereka mengejar!” sergah Eka yang langsung menoleh begitu teriakan itu terdengar. Ia dan Astha sekarang terang-terangan menghunus senjata dan membuka penyamaran yang mereka pakai yang bisa mengganggu kegesitan saat bertarung nanti. Ada dua peri Asti bersenjata di perahu tadi, sepertinya akan pas berhadapan jumlahnya menghadapi kedua pengawalku.

Perahu itu bisa bergerak dengan sangat luwes walopun aku gak melihat apa alat penggerak kendaraan air itu. Tapi mereka peri laut, seharusnya itu bukan masalah besar. Aku harus lebih fokus pada serangan mereka saja. Perahu itu berputar cepat dengan dua peri Asti bertombak itu di bagian depan, bersiap tempur melihat kami juga sudah bersiap. Gelapnya malam tak kurang membuat mataku yang lamur begini jadi tambah parah. Tapi aku bisa melihat gerakan tangan peri laut yang duduk paling belakang karena tiba-tiba perahu itu berhenti mendadak hingga sentakannya menyebabkan dua peri bertombak di depan itu melesat, terlontar.

Kedua peri Asti menyerang dari sisi samping sampan kecil kami. Kami sangat tak berdaya di medan seperti ini. Keduanya melompat dengan cepat dan tombak itu berkelebat cepat dikibaskan dari bawah. Air laut yang dikibaskan meluncur menjadi semacam sabetan pedang air! Eka dan Astha tak tinggal diam dan menyongsong serangan dua peri Asti itu, keduanya melompat maju menebas cipratan air itu dengan pedang mereka hingga buyar menyebar hancur. Benturan keempatnya ternyata tak berhenti sampe di situ karena senjata saling berdesingan terantuk.

“Clank clank clank clank!”

Seru sekali pertarungan mereka di atas permukaan air. Eka dan Astha dengan gesit seperti terbang menari-nari bagaikan beberapa ekor capung yang mencelupkan ujung ekornya. Teknik meringankan tubuh kedua peri Aruna rakyatku itu sangat tinggi hingga tak basah ato malah tercebur ke dalam air. Kalo kedua peri laut itu tak perlu ditanyakan lagi piawainya berkiprah di atas air karena lingkungan ini adalah habitat elemennya hingga mereka tentu saja dengan mudah berdiri bahkan berlari-lari di atas air bak kunoichi.

Aku berhenti mengagumi pertarungan antar peri itu takkala mata lamurku menangkap lagi gerakan tangan dari peri Asti yang duduk paling belakang di perahu itu. Entah bagaimana caranya, ada ombak yang semakin membesar hendak menggulung ke arah sampan kecilku ini. Kalo aku tersapu ombak besar ini, kedua peri Aruna-ku juga pasti tergulung.

Kukumpulkan semua energi yang kupunya dalam jumlah besar untuk menyelamatkan kedua pengawalku dalam misi penyamaran ini dari terjangan ombak yang semakin membesar saja seperti ombak yang sering muncul saat badai. Idaman para surfer kalo diliat dari bentuk bergelombangnya yang masif.

“BWWAAAAAAHHHHH!!!”

Selarik sinar panas meluncur dari mulutku ke arah ombak besar itu, menyapu. Panasnya yang luar biasa dengan cepat menguapkan massa air berjumlah besar itu hingga hanya meninggalkan kabut putih tebal dari vapor air laut yang menyublim tiba-tiba. Eka dan Astha yang sudah tau persis kekuatanku memanfaatkan kabut itu untuk menghajar kedua prajurit peri laut itu hingga terjengkang, terbanting-banting di permukaan air lalu tenggelam ke dalam lautan.

Aku juga memanfaatkan keadaan kacau yang terjadi dengan cepat, melompat menggunakan daya lenting bakiak Bulan Pencak dan mendarat setelah salto berputar di atas perahu yang masih diawaki beberapa peri laut lainnya. Aku fokus pada sosok yang ada di posisi paling belakang perahu yang dari tadi sudah melakukan beberapa kali gerakan yang mencurigakan. Dia pastinya yang sudah menggerakkan perahu ini dan yang sudah menyebabkan ombak besar barusan.

“Salam kenal, peri Asti dari kerajaan Laut Biru… Hentikan semua serangan kalian!” desakku mengancam dengan menodongkan mandau Panglima Burung ke arah sosok peri berambut biru yang memakai kerudung mirip renda yang sangat elegan hampir menutupi seluruh tubuhnya.

“Pemimpin Mahkota Merah…” aku mendengar suara lembut dari sosok yang sangat tenang menghadapi hunusan senjata tajamku. Kedua tangannya yang ada disamping tubuhnya, menghunjukkan dua jari masing-masing—telunjuk dan jari tengah, lalu dibalik cepat dan mengait kemudian mengepal.

“WRAAASSHH!!” ombak yang tak wajar tiba-tiba meloncat tinggi dari kanan dan kiri perahu hendak menerpa perahu ini. Ini bukan serangan kamikaze-nya karena efek samping serangan ini tentunya akan sangat minimal bagi semua peri Asti yang ada di atas perahu. Ombak setinggi tiga meter tepat ada di atas kepalaku dua lapis, tempiasnya terasa titik-titik basah. Ini gak main-main.

“Pedang Selatan Menembus Badai…”

Mandau Panglima Burung yang menghadap ke depan mengikuti gerakanku yang berputar lembut hingga berputar tepat di depan dadaku, menciptakan gelombang yang menghalau semua air laut berbentuk ombak dalam jumlah besar yang hendak menghempas padaku. Gerakan berikutnya yang berupa putaran lebar sejauh maksimal jangkauanku melontarkan semua air itu menjauh—jauh-jauh dari arena pertarungan ini.

Kibasan jurus Pedang Selatan-ku barusan menyibak kain kerudung panjang yang menutup wajahnya hingga rambut berwarna cyan cerah terlihat jelas kemudian wajah cantiknya.

“Le-lepaskan dia… Dia-dia tidak tau apa-apa…” seru gugup satu peri Asti di belakangku saat peri yang sudah menyerangku dengan jurus-jurus air tadi sudah dikalungi dua buah pedang Eka dan Astha dan todongan ujung mandau-ku. Peri Asti itu memakai penutup kepala yang serupa seperti tiga peri Asti lainnya. Hanya sekedar penutup kepala berwarna putih kebiruan yang tak dapat menutupi ketelanjangan tubuh mereka sama sekali plus beberapa aksesoris yang menempel. Tebakanku mereka adalah semacam dayang-dayang di istana. Dayang-dayang? Berarti ada anggota kerajaan di atas perahu ini.

“Lalu kau tau apa?” tanyaku beralih padanya.

“Sampan kita sudah sangat jauh, baginda…” pungkas Eka mengingatkanku kalo sampan kami terus melaju dan menghilang di kegelapan malam. Sudah tak mungkin mengejarnya.

“Kau tau apa?” aku malah mendekat pada dayang yang sudah sempat menegurku tadi, mengulang pertanyaanku. Dibanding dua dayang lain yang ketakutan dan hanya bisa menunduk, peri Asti cantik ini punya aura dan kharisma yang berbeda. Telah mengenal ratu Nirada, aku mendapati kharisma yang sama di diri peri Asti satu ini. Ia menatapku tegak walo masih dalam keadaan duduk di atas perahu ini. Aku tau ia takut tapi ia tak punya pilihan lain. Terus kudesak dirinya untuk menjawab.

Dan aku segera mendapat jawabannya.

Ia punya satu aksesoris yang berbeda dari dua peri Asti dayang-dayang lainnya. Sebuah kalung yang terbuat dari emas bertaburkan banyak batu mulia beragam warna dengan satu indentasi kosong tempat meletakkan satu permata.

“Maafkan prilaku kasarku… Ratu Lawana… bukan?”

Bersambung

ngentot teman
Kenikmatan ketika aku sedang DIJARAH dua teman lelakiku bagian 2
Cerita Sexs Menikah Dengan Seorang Pramugari
Cewek horny
Menikmati cumbuan cowok yang baru ku kenal waktu lembur
Perselingkuhanku dengan gadis pemandu karaoke yang tak akan pernah terlupakan
gadis binal cerita
Demi Memuaskan Nafsu Binal Sahabatku
sustwr abg
Cerita hot perjakaku di ambil oleh perawat sexy yang merawat ku
Foto Hot Sex Kilat Mahasiswi di Kost
gadis telanjang
Menikmati keindahan tubuh mulus yang telanjang di sampingku
dukun cabul
Cerita dukun cabul yang menikmati tubuh pasien nya bagian satu
toket gede
Tidur Bareng Sama Pembantuku Yang Lugu Bagian Dua
Abg IGO Cabe2an Pamer Memek Jembut Lebat
Polwan mesum
Bercinta Dengan Polwan Cantik Dan Sexy
Foto Ngintip Abg Cantik Mulus Pipis di Toilet Umum
abak pembantu
Anak Pembantu Ku Yang Penurut Bagian Dua
sma hot
Cerita sex di rawat oleh suster yang nakal dan sexy
Foto bugil Rin Hinami no sensor