Part #88 : Ratu Lawana

Ratu Lawana. Lawana artinya samudra. Harusnya ia yang menguasai lautan ini. Tapi ketiadaan safir biru yang menjadi mustika kerajaannya, ia tak punya kekuatan itu lagi. Padahal harusnya selat Malaka ghaib ini bergelora oleh ombak—alih-alih mati saat ini. Tsunami-pun bukan mustahil bisa diciptakannya tapi saat ini ia tak berdaya. Hanya serangan tiga sosok dari kerajaan Mahkota Merah, ia sudah takluk.

Ratu Lawana

“Ratu Lawana… bukan?” skak mat sergahku padanya. Aku sangat yakin dengan tebakanku. Ini membuatnya semakin gugup. Walo dikelilingi oleh pengikutnya yang setia, walo tak berdaya dalam samarannya. Ia bermaksud menyamar dengan memberikan kerudung identitasnya pada petarung terkuatnya—yang sudah tak berdaya dengan kalungan dua bilah pedang—dan memakai penutup kepala dayang. Menyamar menjadi dayang agar tak diincar oleh musuh yang menyerang.

Tapi kalung tempat bercokolnya mustika safir biru tidak bisa menafikan itu semua. Apalagi ia punya kharisma ratu peri yang tak dapat disembunyikannya walo nyemplung di comberan sekalipun. Gak bisa kau sembunyi dari mataku yang langsung ijo liat barang bagus, ito!

“Ap-apa maksudmu? Saya-saya bukan ratu Lawana…” elaknya.

“Kalung ini buktinya…” aku mengait bandul kalung itu dengan ujung mandau-ku. “Hanya ratu Lawana yang memakai kalung mustika ini…” tembakku langsung.

“Kembalikan mustika safir biru kerajaan kami!” bentak peri yang sudah diringkus Eka dan Astha itu berani. Dia sudah mengenaliku sebagai pemimpin kerajaan Mahkota Merah berkat mahkota yang kukenakan ini. “Dasar kalian pencuri!” bentaknya lagi. Eka sudah hampir menggorok lehernya kalo tidak segera kutahan karena sudah lancang kurang ajar pada rajanya.

“Maafkan kerajaan Mahkota Merah akibat lancangnya pemimpin kerajaan sebelumnya…” kataku.

“Baginda?” kaget Eka karena aku malah meminta maaf pada mereka. Aku menahannya untuk tidak berkomentar lebih lanjut dengan lambaian tangan.

“Aku baru saja mengambil alih kerajaan Mahkota Merah dari ratu Fatima yang sudah mencuri mustika safir biru kerajaan kalian… Untuk itu aku meminta maaf… Saat ini kami dalam perjalanan ke kerajaan kalian untuk mendiskusikannya… Tapi sepertinya… kalian sedang buru-buru pergi dari sana…” aku beralih hanya berbicara langsung dengan ratu Lawana yang berprilaku seperti dayang. Ratu peri Asti terlihat berkali-kali ingin mengutarakan sesuatu tapi urung keluar.

“Baginda raja… ada sesuatu di sana…” hunjuk Astha pada jauh kegelapan sana dengan gerakan kepalanya. Bentuknya seperti gelombang yang bergulung-gulung gelap di mata lamurku.

“Apa itu? Sepertinya sesuatu yang berbahaya…” sadarku.

“Kami buru-buru karena itu…” ujar sang ratu yang menyamar menjadi dayang mulai gelisah larak-lirik belakang.

“Itu penduduk kerajaan Laut Biru yang tak sempat melarikan diri… Yang telah berubah menjadi zombie…” imbuh sang pengendali elemen air tanpa kulirik sama sekali. Dua dayang-dayang lainnya juga gelisah ketakutan. Dua prajurit yang tadi nyemplung, berpegangan pada tepi perahu.

Sumpe loe! Zombie peri Asti? Pukimak bangsat si Lord Purgatory itu! Ia bahkan sudah merambah sampe kemari dan men-zombiefikasi peri-peri Asti cantik ini menjadi zombie! Bener-bener nih!

“Lepaskan dia! Kita harus menggerakkan perahu ini menjauh!” instruksiku agar Eka dan Astha melepaskan pengendali air itu untuk mendorong perahu ini lagi.

“Akh!” satu prajurit bersenjata tombak itu tenggelam ditarik sesuatu. Kami semua langsung siaga tingkat satu melupakan pertikaian sebelumnya. Pengendali elemen air itu langsung menggerakkan tangannya dan perahu ini mulai bergerak lagi. Para dayang membantu prajurit satunya yang tersisa untuk menaiki perahu.

“Mereka ada dimana-mana, baginda…” kata Astha memperhatikan kanan-kiri saat perahu ini bergerak menjauh dari bahaya, meluncur di atas air laut yang menjadi sangat berbahaya. Gak terbayang kalo kami terus menaiki sampan kecil tadi, pasti kami sudah diserang ratusan zombie peri Asti itu. Dan horor itu terus berlanjut. Beberapa benda meluncur kencang bak kawanan hiu yang mengepung mangsa di sekitar kami. Buih gerakan airnya menandakan kalo mahluk itu sangat cakap bergerak di dalam air walo dalam keadaan zombie sekalipun.

Ratu Lawana hanya bisa pasrah dan berpelukan dengan dua dayangnya. Pengendali elemen air itu mengacungkan tangannya ke belakang hingga perahu ini terdorong berkat semburan air dari tangannya. Eka dan Astha plus diriku berjaga-jaga bila ada zombie yang menyerang.

“Wraaahh!!” lengkingan suara tinggi terdengar menyusul lompatan menyambar mahluk zombie itu yang mengincar kami bertiga yang berdiri di atas perahu. Mahluk itu terlihat mengerikan sekaligus menyedihkan. Ada beberapa luka di tubuhnya. Rambut birunya lepek basah kuyup dengan mulut robek lebar hingga kelihatan semua gigi geligi di rahangnya. Ia bermaksud menggigit Eka. Dengan sigap Eka menghindar bahkan mengayunkan pedangnya. Alhasil zombie peri Asti itu terpenggal kepalanya—nyemplung mati ke dalam laut kembali.

Astha juga melakukan hal yang sama. Eka dan Astha bahu membahu saling mengingatkan agar jangan sampe tergigit zombie itu karena pengetahuan luas kalo gigitan zombie bisa menularkan kondisi mengerikan itu lewat liurnya yang berbahaya. Aku juga dua kali melakukan hal yang sama. Menebas putus kepala zombie-zombie itu. Serangan-serangan ini seperti tak ada habisnya. Terus berdatangan seperti wabah.

“AAaahhh!!” jerit entah siapa diantara ketiga peri berpakaian dayang itu. Prajurit terakhir bertombak itu ditarik kemudian digigit oleh zombie yang berhasil menaiki perahu lalu tercebur ke laut kembali. Pengendali elemen itu sekarang menjadi sangat rentan serangan karena ia tidak ada yang melindungi lagi. Aku mendekat padanya untuk menawarkan perlindungan. Mandau Panglima Burung siap sedia kuayunkan pada serangan apapun.

“Kita tidak bisa seperti ini terus, baginda!” seru Eka sembari membabat kepala zombie hingga terbelah dua. “Kita harus mundur! Heaa!!” zombie lainnya terbelah kepalanya.

Aku setuju dengan pemikirannya dan hal berikutnya yang kulakukan adalah memegang perahu khas kerajaan Laut Biru ini karena semua terhubung pada benda ini. Menuju kerajaan Mahkota Merah!

Syuutt!

Keren! Dengan teknik berpindah ini, aku seperti memiliki jurus Bayangan Bunga Bujur milik Iyon yang bisa berpindah tempat kemanapun dia mau. Hanya saja aku hanya bisa kemari, daerah kekuasaanku di dunia ghaib.

Semburan air dari kedua tangan peri pengendali air itu terus memancar dan mendorong perahu ini yang meluncur terseret di atas tanah dan tiba di pantai dangkal. Semburan itu terhenti karena ia terperangah secara sekonyong-konyong muncul di tempat asing ini. Ia tak sendiri karena tiga peri Asti berpenampilan dayang-dayang itu juga kebingungan ada dimana saat ini. Dengan memegang perahu itu, aku membawa semua yang ada di atasnya kemari. Eka dan Astha bahu-membahu membantai satu zombie peri Asti yang sempat berpegangan pada perahu dan terikut masuk ke dalam kerajaanku.

“Kalian aman di dalam kerajaan Mahkota Merah sekarang…” kataku yang turun dari perahu dan menjejakkan kaki di pasir putih sepanjang pantai. “Selamat datang di daerah kekuasaanku…” dan menunjuk pada istana megah yang berdiri megah di hadapan mereka. Berdinding laburan merah dan satu menara tinggi di bagian tengahnya menjulang menunjuk langit dengan gagahnya.

——————————————————————–
Misi kami ke kerajaan Laut Biru tak sepenuhnya gagal walo tak sempat tiba disana karena ada masalah yang sangat mengerikan. Lord Purgatory dan kroco-kroconya beraksi di luar kerajaan peri Asti itu. Pecahan kerajaan peri laut yang masih tak jauh dari pusat kerajaan utamanya, diserang secara terus-menerus oleh pihak musuh. Pecahan yang terdiri beberapa kelompok itu dihabisi secara kejam dan mayatnya kemudian diubah menjadi zombie untuk memberikan efek kejut yang sangat mengerikan pada kerajaan Laut Biru.

Setelah semua kelompok itu musnah, semua zombie menyerbu ke pusat kerajaan dan tentu saja kerajaan yang memang sudah rapuh itu kocar-kacir dihajar serbuan musuh. Kerajaan Laut Biru tak dapat bertahan lagi dan puncaknya dengan eksodusnya sang pemuncak kerajaan itu, ratu Lawana—yang sedang duduk tepat di seberangku saat ini.

Ia duduk dengan anggunnya di busana asli miliknya yang serba biru muda ini. Duduk tegak dengan diapit dua dayang-dayang dan pengendali air setianya di belakang. Tak dapat dipungkiri kalo matanya melirik-lirik kondisi balairung istana ini. Gak tau kagum ato apa tanggapannya.

“Jangan menganggap diri kalian sebagai tawanan karena kalian tamu di sini… Sesama pemimpin peri berelemen… saya dapat memahami kesulitan dan masalah yang saat ini ratu hadapi…” kataku berusaha bijak walo sebenarnya mataku jelalatan menjilati tiap lekuk tubuhnya. “Musuh yang kita hadapi ini sama… Nama pemimpinnya Lord Purgatory… Secara pribadi dia sangat dendam padaku…” ujarku padanya.

“Maaf… Tapi sebelumnya ada yang ingin saya tanyakan… Bagaimana mungkin ada pantai dan laut di tempat ini? Itu adalah hal yang mustahil untuk diciptakan…” tanya sang ratu malah menanyakan hal lain yang sebenarnya tak ada hubungannya dengan topik yang ingin kudiskusikan dengannya setelah ia beristirahat dengan cukup paska kekacauan saat proses eksodusnya. Mereka hampir tidak selamat.

“Mm… Saya mulai dengan menanam beberapa pohon bakau… Aliran sungai yang bermuara kesana perlahan-lahan menjadikannya pantai dan akhirnya laut seperti yang ratu lihat… Waktunya memang tidak sebentar… Saat ini saja lautnya masih sangat dangkal…” jelasku secara singkat aja cara kerjaku.

“Itu hal yang mustahil tanpa campur tangan mustika safir biru kerajaan Laut Biru…” potongnya. Tentu saja itu mengejutkan. Mustahil katanya? Aku sama sekali tak punya mustika itu dan sepertinya ia sangat bersikeras.

“Ratu Lawana… saya sudah jelaskan sebelumnya… Pemimpin sebelumku—ratu Fatima yang telah mencuri mustika safir biru darimu itu adalah kaki tangan Lord Purgatory… Besar kemungkinan kalau mustika kerajaan kalian itu sudah ada di tangan musuh seperti yang saat ini sedang direncanakannya pada kerajaan Istana Pelangi… Untuk mendapatkan opal pelangi itu dari mereka…” kataku.

“Itu hanya perkiraanmu, raja Mahkota Merah… Buktinya saat ini ada pantai dan laut di sini… Seperti juga munculnya gunung berapi di sebelah sana menggunakan rubi api di mahkota anda… Cahaya terang di langit untuk peri Dawala dan kegelapan gua untuk peri Candrasa…” gagasnya terus dengan gigih. Ia sangat yakin dengan pengetahuannya. Picik lebih tepatnya. “Dan angin yang berhembus ini kelak untuk peri Kencana…”

Mm… Sudah lengkap 5 elemen itu ada di kerajaanku ini untuk kebutuhan dasar para peri 5 elemen ini. Artinya… Tunggu-tunggu.

“Jadi menurut ratu Lawana… air laut di luar sana adalah hasil dari mustika safir biru itu?” tanyaku lebih pada penasaran dan tak mengerti.

Ia mengangguk dengan anggun selayaknya bangsawan. Tutur bahasa dan pembawaannya selalu terjaga. Benar juga. Asin air laut itu hal yang berbeda. Tanaman bakau sebanyak apapun tidak bisa menciptakan salinitas pada air sungai yang merupakan representasi aliran lini milikku. Bahkan tanaman bakau hidup dengan memanfaatkan kondisi air asin di pantai sebagai habitat hidupnya. Secara natural, garam yang ada di laut merupakan larutnya berbagai macam mineral yang terkumpul dan mengendap di laut. Dari mana asal garam yang mengasinkan lautku?

“Tapi jujur kukatakan… aku tidak memiliki mustika safir biru itu, ratu Lawana….” kataku lalu menunjuk susunan tiga permata peri di mahkota yang kukenakan melingkar di atas jidatku; rubi api, bidara bulan dan onyx hitam. “Aku hanya punya tiga batu ini… Hanya ini…”

Ratu Lawana lurus menunjuk ke arah jidatku—ke arah tengah dimana rubi api tepat berada. “Dibaliknya… Safir biru ada dibalik rubi api…” sergahnya lebih yakin lagi. “Rubi api dan safir biru selalu berpasangan… Seperti juga bidara bulan berdampingan dengan onyx hitam…” lanjutnya yang tentu saja mengejutkanku. “Yang nantinya disempurnakan oleh opal pelangi di bawahnya…” Heh??

Aku mencari-cari di balik mahkotaku yang hampir berdempetan dengan kulit jidatku. Kuraba-raba posisi di balik rubi api dengan menyelusupkan jari telunjukku dan… Ada! Ada sebuah batu dibalik ini. Jadi selama ini safir biru bersembunyi di balik tabir yang sangat terlindungi sekali. Kepalaku sendiri yang menyembunyikannya dari pandanganku. Hanya saja karena ratu Lawana sebagai pemilik aslinya selama ini dapat merasakan keberadaan batu keramat itu. Hanya saja karena mahkota ini tak dapat kulepas sesukanya, aku tak dapat menunjukkannya pada mereka semua.

“Aku gak tau kalau safir biru itu ada di sana!” bela diriku. Ini jujur murni membela diri karena memang aku gak tau selama ini.

“Tentu saja baginda raja tidak tau itu… Dan tak ada juga yang bisa saya lakukan setelah itu…” katanya ngegantung gitu kek cucian sempak basah.

“Maksudnya?”

“Ratu kerajaan Bukit Putih dan ratu kerajaan Gua Kresna ini juga pasti menyampaikan hal yang sama… bahwa sang batu telah memilih. Memilih pemilik barunya…” kata ratu Lawana sangat yakin dengan ucapannya. Ia sudah lama menjadi pemimpin kerajaan Laut Biru jadi pengalamannya sangat banyak—walopun bentuknya seimut ini. Bagaimana mungkin ratu secantik dia sudah memimpin kerajaan peri selama 100 tahun lebih dan tetap seimut ini kek boneka?

“Ya… Ratu Nirada dan calon ratu peri Candrasa juga mengatakan hal yang sama dengan anda ratu Nawala… Maafkan banyaknya ketidak tahuanku… Mohon dimaklumi karena aku harus banyak belajar…” kataku sebenarnya tak boleh merendah seperti ini. Aku tidak boleh melemahkan posisiku di kerajaan yang mewakili para peri Aruna di hadapan peri-peri lain.

“Tapi kami lebih berterima kasih, baginda raja… Berkat kemurahan hati anda kami selamat dari marabahaya itu dan sampai di tempat aman semegah ini…” ia berhenti sebentar dan berpaling pada ratu Nirada yang duduk di samping peri Candrasa bertangan besi hitam itu. “Apalagi baginda raja sudah menyatukan tiga kerajaan peri sekaligus di tempat yang sangat luar biasa ini… Peri Dawala dan Candrasa memutuskan untuk bersumpah setia kepada baginda raja kerajaan Mahkota Merah… Peri Dawala bahkan sudah menambah jumlahnya dan menjadi pasukan di kerajaan ini bersama peri Aruna… Itu sangat luar biasa sekali… Dan saya tebak… peri Candrasa juga akan menyusul…” ia punya pengetahuan yang sangat luas dari sekedar mengamati saja dan sudah tau semua fakta itu.

“Tidak usah sungkan… Kalian boleh mengungsi di tempat ini sampai waktu yang tak terbatas ratu Lawana…” kataku. Aku sama sekali tak keberatan menerima tamu-tamu secantik mereka. Mungkin kami bisa bekerja sama nantinya.

“Izinkan saya ikut bicara…” ratu Nirada permisi ikut dalam pembicaraan ini.

“Silahkan, ratu Nirada… Waktu dan tempat dipersilahkan…” kuberikan kesempatan padanya.

“Kerajaan kami… peri Dawala sudah hancur… Kerajaan Bukit Putih sudah tinggal kenangan… Seperti juga kerajaan Gua Kresna peri Candrasa… Semua dijadikan pasukan zombie oleh musuh… seperti juga halnya kerajaan anda ratu Lawana… Zombie-zombie peri ini nantinya akan dimanfaatkan musuh untuk menyerang kerajaan Istana Pelangi… Walaupun tak secara langsung… peri Dawala, peri Candrasa dan peri Asti yang berbentuk zombie yang akan berperang melawan kerajaan Istana Pelangi… Terus terang saya sedih sekali… Kerajaanku hancur dan para kaumku menjadi pion musuh… Untung baginda raja Mahkota Merah bersedia menampung kami dan bahkan membuahi dua ratusan telur kami menjadi peri-peri Dawala baru…”

“Harapan baru…” tuntasnya.

Kami mendengar tuturan ratu Nirada dengan seksama. Beda kali kalo ratu yang ngomong ya? Kek ada manis-manisnya gitu.

“Saat ini saya sudah bersumpah setia kepada baginda raja Mahkota Merah dan tunduk pada semua perintahnya… Saya sarankan ratu Lawana juga melakukan hal yang sama…” usulnya. Eh… Ide bagus itu.

Ratu Lawana tetap menatap ratu Nirada dengan wajah imutnya. Aku tak dapat menebak apa yang bakal menjadi tanggapannya di muka seimut itu. Ahh… Andai saja ia setuju, apakah ia akan minta dibuahi juga dan menghasilkan… ratusan peri-peri Asti baru. Ratusaaaan…

“Memang… Kerajaan Laut Biru saat ini sudah cerai berai… Hancur lebur bersamaan dengan dicurinya mustika safir biru itu—ratu kerajaan Mahkota Merah sebelumnya…” ia berbalik dan menujukan kalimatnya padaku. “Peri Asti kini tinggal fragmen-fragmen kecil saja yang berserakan di lautan luas… Bahkan ada yang mengungsi sampai di kerajaan Istana Pelangi… Bahkan dari kami berenam yang melarikan diri dari sisa kerajaan… hanya tersisa empat sahaja… Sangat menyedihkan… Peri Asti yang sebelumnya ada sangat banyak memenuhi Selat Malaka… kini hampir punah…”

Aku masih gak tau ia akan mengarah kemana karena ia masih penuh basa-basi. Kenapa gak langsung aja bilang aku akan bergabung trus kuentot, bertelur ratusan gitu, napa?

“Saya masih punya harapan bahwa baginda raja kerajaan Mahkota Merah berkenan menyerahkan kembali mustika safir biru… Dengan mustika itu… Setidaknya kami masih punya kesempatan untuk mempertahankan diri…” ia langsung menatapku. Ia inferior tetapi ia masih ingin menunjukkan taring kebanggaannya yang tersisa. Sudah kepalang basah mungkin.

“Maaf, ratu Lawana… Itu hal yang tak bisa kulakukan…” aku mengacungkan telapak tanganku ke depan untuk menghentikannya. “Kalau aku bisa melepas mahkota ini… aku dengan senang hati mengembalikan mustika ini pada anda, ratu… Sayangnya tidak bisa…” jawabku.

“Setidaknya saya sudah mencoba dengan cara pertama… Masih ada cara kedua…” katanya. Cara kedua? Apakah cara yang diusulkan ratu Nirada?

“Cara kekerasan…”

Setelah ia mengucapkan itu, peri pengendali air yang berdiri di belakangnya bergerak maju dengan cepat. Kedua tangan bahkan kedua kakinya bergerak lincah melakukan beberapa gerakan dan tak lama terdengar gemuruh… “GRRUUUUUU!!”

Pengendali Air

Aku mendengar suara-suara teriakan panik di luar sana bersama suara bergemuruh itu. Terdengar suara teriakan menyebut air dan ombak. PUKIMAK! Pengendali air ini memanggil air laut di luar sana untuk masuk kemari dengan bergelombang. Kekuatannya sebesar itu. Eka dan Dwi bergerak cepat untuk mencegah pengendali air itu untuk beraksi lebih jauh dengan pedang terhunus tanpa basa-basi.

Pedang keduanya terhalang oleh dinding air yang diciptakannya untuk melindungi dirinya dan ratu serta dayang-dayang di belakangnya. Mereka berempat terbungkus gelembung air sebagai tameng. Permukaan gelembung berputar cepat menahan serangan. Air deras segera memasuki balairung istana. Air berwarna coklat karena bercampur tanah berlumpur. Aku juga melihat beberapa peri Aruna muda terseret masuk secara paksa ke dalam balairung istana. Pasti mereka tadinya sedang beraktifitas di luar istana dan terseret arus air laut yang di-summon pengendali air ini. Beberapa anggota kelompok pemburu juga masuk membantu menyerang.

Ini tidak boleh dibiarkan lama-lama. Para peri Asti ini tidak boleh dibiarkan bertingkah di dalam istanaku. Pandanganku hanya terfokus pada sang ratu dan para pengikut yang melindunginya. Aku melompat melenting mencari momentum kekuatan untuk menghantamkan jurus pamungkas dengan bakiak Bulan Pencak sebelum tempat ini benar-benar dibanjiri air laut.

“GUGUR GLUGUR!!”

Kedua kakiku yang memakai bakiak itu langsung mendarat di gelembung air padat yang melindungi mereka berempat. “FYYASSSHHH!” hanya terjadi cipratan air yang tercabik dan segera tersapu berikut tertepisnya kedua kakiku yang gagal membongkar pertahanan dari gelembung air yang berputar cepat ini. Semua terjadi dengan cepat secepat gerakan pengendali air itu yang menggerakkan tangannya dan sebelah kakiku tersedot ke dalamnya hingga tubuhku yang tertinggal diluar berputar cepat.

Kimak! Aku membentur permukaan air laut yang semakin membanjiri ruang balairung istana ini. Tapi untung ada air ini, kalo tidak mukaku pasti akan terhempas ke lantai batu. Itu pasti akan sakit sekali.

Aku harus berfikir dan bertindak cepat!

“Mandalo Rajo!”

Dengan mengaktifkan Mandalo Rajo–silat harimau-ku–kecepatanku bertambah walo tak sampe mengeluarkan cakar-cakar di sela buku jariku. Aku malah menceburkan diri ke dalam gelembung air itu dan menyerang pengendali air itu di elemennya. Seekor harimau juga perenang ulung dan kucing besar yang tak takut air. Aku bergerak di dalam gelembung air yang tak begitu besar itu dan langsung menyerangnya. Mulai dari bait pertama.

“Rajo nan di ateh… Puak takambang…”

Aku mulai menyerang dari atas dengan pemahaman yang secara harafiah diriku yang benar-benar seorang raja. Raja kerajaan Mahkota Merah yang seharusnya paling berkuasa di istana ini. Raja berada di atas. Kampung tersebar berada di bawahnya. Di bawah pengaruh dan perintahnya. Mereka semua ada di dalam kekuasaanku. Aku menangkap kepala peri Asti pengendali air di ubun-ubun dan rahang kirinya. Mengikuti arus berputar gelembung air ini lewat kakiku yang mencuat keluar, kuputar tubuh peri itu dan kulempar keluar dari gelembung ini.

“Fraasshhh!!” tubuhnya melayang terlempar dari dalam gelembung air. Eka yang ada diluar mengejar tubuh berambut cyan itu yang sebentar lagi menghantam dinding barat balairung istana yang setengahnya diisi air laut. Aku tak berhenti sampe di situ. Dua dayang-dayang yang ada di kanan-kiri ratu Lawana kutendang dan terlontar juga dari dalam gelembung. Biar nanti akan diurus diluar sana entah oleh siapa. Dan terakhir, kakiku terangkat tinggi…

“Maniti jalan ka luhak sabaleh… Parigi bapanuah kiambang…”

Lututku mengait leher sang ratu Lawana hingga peri cantik itu terperangah. Tubuhnya terjengkang ke belakang terjepit kakiku, punggungnya tertahan kakiku yang satunya dan batok kepalanya dicengkram dengan kembangan tangan kananku, siap diremukkan kalo dia masih mau macam-macam.

“Ham-hamba menyerahh!” serunya. Tubuh melengkungnya yang hingga mencuatkan kedua balon susunya tak membuatku iba padanya. Air laut yang menyerbu masuk ruangan utama istana yang luas ini perlahan-lahan surut kembali karena sang pengendali air sudah dibekuk Eka dengan kalungan pedang di lehernya. “Jangan sakiti mereka… Hukum saja hamba…” sambungnya.

Aku tak kunjung melepas kakiku yang membelit lehernya dan kubiarkan ia agak berbaring di lantai kotor penuh lumpur becek ini. Siapa yang harus membersihkan ini semua. Kalo hanya dia yang kusuruh membersihkan ini semua, apa bisa ratu peri yang biasa hidup tinggal memerintah dayang-dayangnya melakukan pembersihan? Seluruh balairung ini centang perenang oleh sisa air laut dan lumpur. Beberapa peri lain termasuk ratu Nirada dan peri Candrasa itu juga basah kuyup, sibuk membersihkan diri mereka. “Kemari…” panggilku padanya. Dengan patuh ia datang mendekat walo masih dengan pakaian basah kuyup.

“Hamba, baginda… Maaf… Hamba dalam keadaan basah kuyup begini…” katanya sungkan-sungkan karena pakaiannya yang sudah seksi begitu jadi makin nyeplak karena basah.

“Tidak apa-apa… Kita semua basah karena ulah mereka… Ratu Lawana ini harus dihukum karena perbuatannya… Kau tau apa hukuman yang tepat untuknya? Hanya kau yang tau… Dengan tanganmu…” lirikku pada tangan besi hitamnya yang bergerak alami seperti tangan asli saja.

Peri Candrasa itu menatapku sebentar lalu pada ratu peri Asti cantik serba biru muda ini. Ia segera tanggap akan apa yang kumau dan patuh mendekati. Aku membantunya memegangi tangan kiri sang ratu, ia menahan tangan kanan dan langsung menyingkap gaun biru muda yang dikenakan ratu Lawana. “Baginda raja harus menarik lidahnya…” pintanya.

“Tidak masalah…” jawabku langsung menjejalkan jari tanganku ke dalam mulutnya.

“Akhh! Apaahhh?? Mbll…” kaget tercekat sang ratu kami berdua memperlakukannya sedemikian rupa. Siapa yang bisa menolongnya di tempat kekuasaanku ini setelah tingkah beraninya tadi. Ini hukuman yang kumaksud. Suaranya tak bisa terdengar jelas lagi karena lidahnya kutarik paksa menjulur dan kemudian disempurnakan dengan tekanan menohok pada bagian solar plexus yang tepat berada di bawah antara payudaranya, lalu ditarik–tekan ke bagian perut.

“Akkhh… akkhh!!” suaranya seperti tersedak merasakan sensasi pemaksaan matangnya telur-telur yang disimpannya. Matanya melotot dan air mata deras mengalir dari sana seperti menganak sungai.

“Ini harga yang harus kau bayar karena tingkahmu tadi, ratu Lawana!” seruku terus menahan tangan dan lidahnya. Kakinya menendang-nendang tapi hanya mengenai ruang kosong karena punggungnya melengkung diganjal kakiku.

“Jumlahnya sangat banyak, baginda… Ini lebih dari tiga ratus… hampir empat ratus butir telur yang tersimpan di dalam tubuhnya…” kata sang peri Candrasa terakhir—ahli pemaksaan matangnya telur dengan teknik khususnya ini.

“Hampir empat ratus… Wah wah wah… Sepertinya kita panen besar kali ini…” kagumku. Mungkin karena masa hidupnya yang sudah sangat lama hingga ia menyimpan segitu banyaknya telur. Mungkin juga selama ini belum ada keinginan dirinya untuk menambah jumlah warga kerajaannya yang memang sudah banyak kala itu hingga bertumpuk-tumpuk menjadi sebanyak ini. “Ini bagus sekali, ratu Lawana… Bagus sekali…”

“Sudah baginda…” peri Candrasa itu sudah berhenti menekan perut langsing dan singset ratu peri Asti itu. Tak dinyana, kalo peri seramping ini menyimpan segitu banyak telur di dalam tubuhnya. Tangan kanannya dilepas dan peri berambut hitam itu menjauh dengan tunduk padaku. “Semua telur milik ratu peri Asti ini dalam keadaan matang sekarang… Siap untuk dibuahi…” Aku tak kunjung melepas kakiku walo tangan kiri dan lidahnya sudah. Peri cantik langsing berdada bahenol ini menggeliat-geliat binal seperti cacing kepanasan. Matanya membeliak-beliak berkat lonjakan yang terjadi pada tubuhnya.

Lonjakan birahi…

Pelan-pelan aku melepaskan kaitan lututku pada lehernya dan mundur menjauh. Ratu peri Asti itu mundur kelabakan terperangah menatap liar ke sekeliling ruangan balairung yang kotor oleh lumpur. Dua dayang-dayangnya diringkus dan diikat menghiba takut dengan rantai oleh dua peri Aruna dari kelompok pemburu sedang sang pengendali air diinjak kepalanya oleh Eka, juga dibelenggu rantai dengan tangan terikat di belakang. Pada siapa ia mau minta tolong. Ia tak dapat menafikan lonjakan birahi yang tiba-tiba menguasai tubuhnya. Liurnya menetes-netes beserta air matanya. Dari tadi aku sudah mencium aroma lembut bunga kamboja dari tubuhnya. Pandangannya menyapu ruangan ini dengan liar. Nafasnya memburu.

“Apa? Apaa… Apa yang kalian lakukan pada tubuhku ini?!” teriaknya. Suaranya menjadi penuh agitasi bercampur tuntutan. Ia memandangi kedua telapak tangannya bergantian lalu pada gundukan payudara yang bergantung sentosa di depan dadanya yang masih terbungkus gaun royalty berwarna biru muda dengan banyak aksen bulu-bulu lembut. Rambut panjang berwarna cyan-nya bergoyang-goyang tiap ia bergerak cepat.

“Telur yang banyak tersimpan di dalam tubuhmu sudah dimatangkan, ratu Lawana…” kataku berdiri di dekat singgasanaku. Trayodasa, ketua kelompok perajin membersihkan lumpur yang menempel di sana lalu mempersilahkanku untuk duduk.

“Telurku? Kurang ajar! Aku-aku menyimpannya untuk nanti saat kebangkitan kerajaanku tiba… Terkutuk kalian!” ia mengumpat-umpat. Tak sesuai dengan imej awalnya yang sangat anggun, ratu Lawana dalam masa birahi sangatlah kasar dan vulgar. Ia tak ragu untuk merusak kode etik kesopanan bangsawannya. Ahh… Pasti akan liar sekali saat kugagahi nanti. Tangannya tak urung lancang dan menyentuh-nyentuh dirinya sendiri. Kedua tangannya meremas-remas sepasang gundukan payudara sentosa itu hingga ia melenguh sendiri. “AAhhhhsss… Kuraaang… ajhaaarrr!!”

Seperti tertuba aprodisiak yang sangat kuat, ratu Lawana bak mabuk kepayang. Beberapa bagian tubuhnya bergetar hebat. Ia tak sanggup melawannya. Pahanya bergetar saat ia berusaha berdiri. Ratu yang konon cinta damai ini berusaha melakukan sesuatu. Mustahil peri Asti yang mempunyai anugrah nama seperti dirinya tak punya simpanan aji kesaktian sedikitpun. Tapi karena ia selalu mengandalkan bawahannya yang siap melindunginya, ia jarang sekali menggunakan potensinya.

Akankah ia menggunakannya? Kalo ya… Aku sudah bersiap. Uap panas sudah mengepul dari punggungku.

Susah payah ratu Lawana menyiapkan sesuatu karena getaran tubuhnya yang mengganggu. Kuda-kudanya goyang. Dua tangannya sedang memutar-mutar sebuah bola air padat seukuran bola pingpong berwarna biru pekat. Agak-agaknya ini kek jurus Kamehameha-nya Son Goku, hanya saja ini elemennya air. Ini pasti akan dahsyat sekali kalo meledak.

Aku tentunya gak mau menunggu sampe bola air itu selesai di-charge sampe maksimal dan menyerang hingga menyebabkan kerusakan lebih parah lagi pada istanaku yang sudah porak poranda begini. “Syyyuushhh…” dengan kecepatan panas yang kudapat seumpama lokomotif itu, aku menyambar maju lalu berhenti di belakangnya. Melambai-lambai pakaian serba biru muda dengan bahan lembut ini. Terlepas dari tubuhnya tanpa bisa dicegahnya sama sekali.

“Aaahhh!” kaget ratu Lawana. Bola air pekat itu meletus kecil dan gagal dipertahankan karena ia kehilangan konsentrasinya. Ratu peri Asti bernama ratu Lawana itu sekarang berdiri bugil dengan kaki bergetar di tengah-tengah balairung kotor ini. Aku berhasil melucuti semua pakaiannya dengan gerakan cepat menyambarku barusan. Ini ternyata keuntungan jadi pria mesum sepertiku yang sudah sering melucuti pakaian banyak binor. Aku jadi tau seluk beluk pakaian yang dikenakan para wanita hingga dapat dengan cepat menanggalkannya secara efisien.

“Kembalikan pakaianku!!” teriaknya menghardik panik. Ia sama sekali tak berbusana lagi dan itu jelas memalukan bagi ratu setinggi dirinya. Ratu yang biasanya megah seperti dirinya yang selalu menjaga penampilan dengan pakaian indahnya. Aku malah melempar pakaian itu ke arah Dwi yang berdiri bersiaga di samping Eka. Ia menangkapnya dengan sigap dan melipatnya menjadi buntalan lalu menyembunyikannya di balik punggung. “Kembalikan!!”

Ratu Lawana yang telanjang dengan susah payah berlari di antara genangan lumpur becek. Apalagi gelayutan payudara sentosanya mengganggu gerakan berlarinya. Ia menuju ke arah Dwi yang menguasai pakaian miliknya. Hanya sebentar aku memperhatikan guncangan susu yang tumpah ruah itu karena perhatianku lebih tertuju pada selangkangannya yang basah. Sangat basah malah hingga ada cairan yang mengalir ke paha hingga betis. Birahinya sudah sedemikian tinggi. Bahkan lebih tinggi dari peri-peri yang pernah kugauli sebelumnya seperti Wingsati, ratu Nirada, pengawalnya dan Tri sekalipun.

Ratu Lawana tak memperdulikan peri pengendali air andalannya yang ditahan Eka karena ia mengejar Dwi yang menghindar menjauh. “Kembalikaaahhnn… Kembaliii… Kembhh… bhhaalikaahhhnn…” suaranya makin parau. Dwi malah mengarah menjauh dan tiba di dekatku.

“Berikan padaku…” mintaku. Peri Aruna nomor dua itu patuh dan menyerahkan buntalan pakaian ratu Lawana itu kembali padaku. “Berhenti di sana atau aku akan menghancurkan gaun kebesaranmu ini… Ini sangat berharga buatmu, kan?” ancamku dengan mengacungkan mandau-ku. Sekali tusuk, pakaian indah ini pasti akan sobek dan rusak. Ia bergeming dan berhenti walo masih dengan tubuh bergetar hebat. Kakinya rapat dan payudara sentosanya memerah matang. Sangat kontras dengan rambutnya yang berwarna biru muda.

“Jangan dihancurkan… A-aku menyerah! Aku akan menjadi hambamu, baginda raja Mahkota Merah… Jangan hancurkan pakaian itu! Itu sangat bersejarah! Hanya itu yang tersisa…” menghiba hatinya. Ia sudah menyerah kalah. Air mata dan liurnya masih mengalir deras seperti juga cairan bening beraroma bunga kamboja dari kemaluannya yang becek banjir. Tak disangka ia malah terlihat lebih menggairahkan seperti ini. Membuatku lebih ingin menggagahinya.

“Baiklah… Kau benar-benar menyerah dan gak akan berulah?” pastiku. Ia mengangguk-angguk cepat untuk menjawab pertanyaanku barusan. “Jawab yang jelas!” bentakku.

“Hamba menyerah! Hamba tidak akan berulah…” jawabnya kini menambahkan tundukan dalam yang membuatku malah lebih fokus ke gandulan payudara sentosa yang sudah pengen aja kujamah trus kuremas-remas…

“Ikuti aku ke atas… Tempat ini sudah sangat kotor karena ulah kalian…” sergahku dan langsung berlalu menuju tangga di samping balairung yang menuju lantai dua istana ini yang berada di sekitar kubah lebar langit-langitnya. Aku tidak menunggunya sama sekali dan aku berjalan dengan santai menaiki tangga yang berputar di sekitar kubah. Aku dapat melihatnya di bawah menyusulku dan diikuti Eka beserta Dwi yang bertindak sebagai pengawalku selalu.

Di semacam balkon di seputar kubah yang dapat melihat bagian balairung dan luar istana aku menunggunya. Air laut yang tadi menggila, kembali surut kembali ke laut. Pelataran di depan istana masih dalam keadaan becek oleh lumpur dan sisa air laut. Taman di depan istana rusak dan beberapa pohon yang masih muda rusak. Kondisi pantai juga sama berantakannya. Pantai yang biasanya berair jernih bening dalam keadaan keruh kecoklatan. Akan makan waktu untuk kembali pulih tapi itu semua rasanya sepadan dengan apa yang kudapatkan sebagi gantinya. Ratu peri Asti yang harusnya sangat lezat.

“Bagindaaa…” sapa terpaksa sang ratu Lawana yang akhirnya mencapai lantai dua ini. Aku memanggilnya supaya mendekat. Tergopoh-gopoh ia mendekat. Aku gak bisa berlama-lama ngeliatin teteknya yang bergantungan liar.

“Liat yang kalian perbuat pada pantaiku…” aku memegangi belakang lehernya dan mengarahkannya untuk memandang pantai dan lautan. Agak kuremas sedikit tengkuknya untuk menegaskan padanya bahwa aku serius dengan semua ucapanku.

“Maaf, baginda raja Mahkota Merah yang perkasa di seluruh penjuru lautan… Hamba mohon ampun… Ham-hamba tidak sanggup, baginda…” katanya keluar konteks.

“Tidak sanggup apa?” tanyaku. Eka dan Dwi juga sudah tiba dan mengawasi.

“Tubuh hamba terasa sangat gerah, baginda… Telur-telur hamba bergejolak minta dibuahi, baginda… Tubuh hamba seperti menjerit… Hamba tidak kuat menahannya… Tolong buahi telur-telur ini, bagindaaa…” ratu Lawana malah menggelinjang dengan binalnya dalam mode birahi ini. Lidahnya menjilati bibir tipisnya yang menguarkan aroma bunga Kamboja semakin kuat.

“Membuahi telur peri Asti?” ulangku.

“Mm… Iya, bagindaahh… Buahi hambaaa…” jawabnya semakin binal. Ia meremas sebelah susunya yang memerah. Bahkan ia mulai menyentuh kemaluannya dan aku yakin itu tadi gerakan menggaruk dengan jari. “Telur-telur peri Asti ini akan menjadi milik bagindaaa uhhh seutuuhnyaaa… Mmmm… Ahhh… Bagindaa… hamba mohooonn…”

“Itukah keuntungan yang akan kudapat? Ratusan peri Asti ini akan menjadi milikku?” tanyaku mengulur. Padahal tanganku udah gatel kali mau ikut membantu menggaruk kacang itilnya. Aseng junior sudah menggeliat aja di dalam celanaku dari tadi sampe kerasa sakit dan gak nyaman di bawah sini.

“Hamba juga… Hamba juga adalah milik baginda raja Mahkota Merah yang perkasa di seluruh penjuru lautan… Semua yang tunduk pada hamba sekarang milik bagindaaahh… Segerakan, bagindaaa…” ia tanpa pikir panjang menyerahkan itu semua. Tunggu dulu…

“Bukannya para peri Asti sudah tidak ada yang percaya lagi pada kepemimpinanmu?… Hingga sekarang kerajaan Laut Biru tercerai berai seperti sekarang ini? Legitimasi apa yang kau punya sekarang? Kau sudah tak berarti…” jawabku makin mengulur.

“Ampuuun, baginda raja…” ia malah menangis pilu dan jatuh berlutut dan memeluk kakiku. Kimaaak… Teteknya kenyal kali-bah… Lembut dan kenyal kek agar-agar. “Apa saja… apa saja akan hamba lakukan agar baginda raja mau membuahi telur-telur hamba ini… Hambaaa-hamba sudah tak kuat lagi…” ia terus memohon. Kalo udah dalam keadaan begini apapun akan dilakukannya.

Kudorong keningnya agar lebih mendongak dan segera sebuah benda gilig berkepala plontos kusodorkan ke arah mulutnya. Kupegangi kedua twin-piggy tail rambutnya dan mulai memompa mulutnya yang terperangah kaget tak bisa mengelak. “Gllokk… gllokk… gllokkhh…” liur kental mulutnya membuat Aseng junior seolah memasuki sebuah gua nikmat yang luar biasa licinnya. Ratu Lawana benar-benar tau cara menyenangkanku.

“Oohh… Ratu Lawana… mulutmu memang tak ada lawannya…” aku kini sedang memperkosa mulutnya yang berbibir tipis. Pipinya kempot berulang-ulang saat menyedot Aseng junior. Pelan-pelan kupompa mulutnya yang kerasa sangat enak sekali dibawah tatapan mengamati dua peri Aruna pengawalku. Dapat kumaklumi gerakan leher meneguk ludah Eka dan Dwi yang menyaksikan adegan erotis ini. Tentunya juga mereka ingin ada dalam situasi ratu Lawana ini. Tapi entah kapan mereka akan masuk masa birahinya.

Liur ratu Lawana mengucur dan menetes-netes bahkan mengenai kakiku. Ia bisa menelan Aseng junior hingga mentok berupa deepthroat itu. Entah memang dia berpengalaman ato karena birahinya aja yang sudah menggunung. Menjadi seorang raja dengan banyak permata peri dan banyak kekuatan baru, tak dipungkiri mendongkrak vitalitasku ke taraf yang luar biasa. Segini enak dan nikmatnya tapi aku pede gak bakalan ngecrot semudah itu. Kurasa aku akan mudah mengatur kapan aku harus ngecrot dan membuahinya.

“Fwaahh… Sudah, bagindaaa… Buahi hamba sekarang…” matanya penuh harap saat kulepas Aseng junior dari mulutnya dan ia langsung merebahkan diri di lantai dan melebarkan kakinya, mengira aku bakalan segera menyemburkan bibit-bibitku ke kemaluannya yang menuju ke telur-telur siap dibuahi di dalam tubuh seksinya.

“Belum… Kita cari tempat yang nyaman… Tempat ini tidak pantas untuk tempat membuahi ratusan telur-telur berhargamu itu… Pasti masih ada kamar kosong di sana…” jawabku memasukkan kembali Aseng junior yang tegang berlumuran liurnya ke dalam celana dan kembali jalan. Penuh sesak tapinya. Di sepanjang lorong panjang lantai dua di belakang balairung ini ada banyak kamar-kamar berukuran besar yang sebagian sudah berisi kelompok peri Aruna dan Dawala muda. Akankah semua kamar-kamar ini nanti penuh berisi.

Dari riuh suara di balik pintu-pintu kayu tebal itu aku tau kalo kamar itu berisi. Sebelah kiri diisi oleh peri Aruna dan sebelah kanan oleh peri Dawala. Eka menunjuk sebuah kamar yang sama sekali kosong di pertengahan lorong. Ahh… Kelak seluruh sisa ruangan ini akan diisi oleh para peri Asti muda. Aku menyuruh ratu Lawana masuk ke dalam. Tergopoh-gopoh peri cantik berambut cyan panjang telanjang itu memasuki kamar.

Saat Eka dan Dwi akan masuk juga, “Bawa bawahan ratu Lawana kemari juga… Biar mereka menyaksikan takluknya ratu mereka di tanganku…” cegahku. Dari mimik keduanya aku tau kalo mereka lebih cenderung untuk menjagaku karena peri Asti ini sudah jelas-jelas melawan tadi. Pastinya mereka khawatir aku kenapa-napa. “Gak usah khawatir, Eka… Dwi… Baginda rajamu ini bukan raja yang lemah… Ikuti saja perintahku, oke?” kataku menepuk dan mengelus kepala keduanya. Akhirnya mereka pergi lagi untuk membawa dua dayang-dayang dan pengendali air itu kemari.

Berduaan saja dengan ratu Lawana, memberi suasana yang berbeda. Terasa lebih bebas dan privat. Langsung kupeluk, kupepet ratu Lawana ke arah dinding dan kupagut mulutnya. Wangi bunga kamboja itu dan sedikit manis membuat rasa tak bosan-bosan bermain-main dengan mulutnya. Apalagi dada sentosanya menggencet dadaku dengan nyamannya. Kenyal-kenyal empuk yang menyenangkan.

Malu-malu ia kubimbing tangannya mengalung di leherku dengan terus kucipok mulutnya. Wajah imutnya sungguh menggemaskan untuk dipermainkan. Aku bahkan berkali-kali menjilati wajahnya dan ia pasrah aja menerimanya. Tanganku tak lupa meremas-remas dadanya. Seperti lumer jari-jariku terbenam di daging lembutnya. Seperi balon yang berisi air kenyal dan lembutnya. Apalagi desahannya kala ia menyodok-nyodokkan kemaluannya ke arah gembungan Aseng junior yang semakin sesak aja. Perutnya membentur-bentur tak sabar ingin segera dibuahi.

“Aaahhh… Enaak, bagindaa… Enaak sekalihh… aahh… Uuhh…” rintihnya kala aku berpindah dan menjilati telinga dan lehernya. Tanganku seperti gak mau pindah dari susu sentosanya. Seakan merekat erat di sana selamanya sangkin kenyal nagihnya. Ia mendongak ketika mulutku melata hingga ke bahu terbukanya dan hidungku terus menghirup aroma wangi bunga kamboja itu di sekujur kulit mulusnya. “AAaahhh…” jerinya manja ketika mulutku tiba di daging payudaranya. Lidah dan mulutku mengganti tugas jari-jariku di puting mungil imutnya. Bagaimana kompleksi seimut loli ini punya tetek segede ini. Ini sangat luar biasa menggairahkan.

Terburu-buru, dengan satu tangan saja aku melucuti celana yang kukenakan karena satu tangan yang lain masih kukaryakan untuk meremas susu sentosa itu. Tak lama Aseng junior kembali terbebas di udara terbuka dan kuarahkan tangan ratu Lawana untuk menggenggamnya yang dilakukannya dengan penuh suka cita. Ia langsung menggesek-gesekkan kepala Aseng junior ke belahan vagina imutnya.

“Jangan buru-buru, ratu Lawana… Waktu masih panjang…”

“Hamba sudah tak sabar, bagindaaahh…” jawabnya. Kepala Aseng junior memang langsung kuyup oleh cairan pelumasnya yang wangi. Ratu Lawana memang udah spaning tinggi dari tadi dan ia tak sabar merasakan Aseng junior mengobok-obok kemaluannya dan akhirnya membuahi semua telur-telurnya. “Semua telur hamba menjerit-jerit ingin terlahir… AAAAaaahhh!!”

Kupotong ucapannya dengan menyedot puting kirinya dan meremas susu kanannya. Ada semacam cairan bening juga keluar menetes dari kedua putingnya. Rasanya lebih manis dari liur mulutnya. Aku semakin kalap memainkan payudara sentosanya dan ia makin menyodok-nyodokkan Aseng junior ke kemaluannya—masih kutahan gak masuk. Aku masih penasaran dengan rasa cairan ajaib yang keluar dari susu ratu Lawana. Apakah ini setara dengan susu pada mahluk normal. Peri tidak menyusui walopun mereka punya sepasang benda menakjubkan ini.

Ratu Lawana menjerit-jerit histeris tubuhnya terus kurangsang dan permainkan sedemikian rupa. Mulutku berpindah kanan kiri menikmati kenyal dan rasa manis cairan bening itu. Kadang kutarik-tarik, kubetot-betot dan cairan itu menyemprot kecil, membuatnya makin menggelinjang dan semakin banjir pula rasanya kemaluannya. Sekujur batang Aseng junior sudah basah oleh kucuran cairan kemaluannya. Sepertinya sekarang waktunya ke sana, untuk membuatnya ngecrit lagi.

Bermain di payudaranya aja, aku sudah membuatnya membahana dalam orgasmenya, apalagi aku langsung ke sumber utama alat reproduksinya. Ratu Lawana yang masih bersandar pasrah dengan lemasnya di dinding hanya sempat beristirahat sebentar saja setelah kugempur susu manisnya karena mulutku bergerilya dan mencaplok vaginanya.

“AAAAAaaahhhh…” erang ratu Lawana malah mengangkangkan kakinya lebar-lebar. Memberiku jalan seluas-lebarnya ke kemaluannya. Vaginanya juga sangat imut basah kuyup, apalagi manis. Mungkin ini nektar bunga kamboja yang baunya menguar bebas dari sekujur tubuhnya. Lidahku menelusup masuk dan menusuk ke dalam liang kawinnya. Hidungku menyundul-nyundul dan menggerus kacang itilnya yang alhasil membuat ratu Lawana semakin menggila menggelinjang seperti kemasukan. Kemasukan lidahku tentunya.

Di sudut mataku, aku melihat bahwa Eka dan Dwi sudah kembali dan membawa tiga bawahan sang ratu Lawana. Dua dayang dan satu pengendali air itu. Dayang-dayang itu di dudukkan bersender di dinding dekat pintu sedangkan si pengendali air dibaringkan menelungkup di lantai masih lengkap dengan ikatan rantai ketat. Khusus buat si pengendali air itu libatan rantai pembelenggunya dibuat dua kali lipat karena ia sangat berbahaya.

Sekarang malah ada banyak penontonnya, ya? Sensasinya jadi berbeda lagi. Ini sensasi baru. Tiga peri Asti plus Eka dan Dwi. Mata ketiga peri itu membelalak melihat ratunya menggelinjang dengan binalnya saat kemaluannya terus kujilat dan sedot. Raungan suara manis manja sang ratu Lawana membahana di ruangan luas yang terbuat dari batu ini. Gema suaranya memantul dengan keras membuatku semakin bersemangat mengobok-obok vaginanya. Jariku mulai bermain, menusuk.

“Ouuhhh… AAaahhh… Aaaahhh…” rintih ratu Lawana kembali yang merupakan puncak kenikmatannya yang kesekian kalinya. Tak dapat ditahannya tubuhnya yang jatuh terkulai, terduduk bersandar di tembok tempat ia bertahan dari tadi. Nafasnya ngos-ngosan naik turun membusungkan payudara sentosanya lebih indah lagi. Mulutnya masih mengucurkan liur manis itu seperti juga dari payudara dan vaginanya. Kakinya mengangkang lebar dengan vulgarnya tak peduli tata krama lagi.

Ini saatnya aku melesakkan Aseng junior dan sesegera mungkin membuahinya. Ratu Lawana sudah sangat kepayahan sekali dan ia tak dapat berbuat apa-apa saat kedua kakinya kutarik, kuseret hingga tubuhnya berbaring di lantai berlantai batu ini. Masih dengan kaki mengangkang lebar, aku mulai merayap ke atas tubuhnya dan menindih. Hal pertama yang kurasakan adalah kenyal payudara sentosanya lagi yang membenamkan mukaku. Aseng junior membentur pangkal pahanya dan dari basah beceknya, aku bisa memperkirakan harus mengarah kemana.

“Bagindaaahh… Sekarang yaaa?” erangnya lemas tapi bahagia. Aku memang menyodok-nyodokkan Aseng junior secara acak aja ke arah selangkangannya dan sesekali memang masuk ke jalan yang benar—jalan kenikmatan. Tapi namanya disodok-sodok asal yaa kecabut lagi dan menyosor ke tempat lain. Wajahku masih lebih senang terbenam di kenyal lembut balon dadanya. “Akkhhhh!!” rintihnya kala sodokanku yang lebih kuat sukses masuk dan menembus kemaluannya.

“Mmm… Lembut niaann…” erangku juga merasakan dinding vagina ratu peri laut ini menggenggam batang Aseng junior di liang kawinnya yang sumpah enak kali. Lembut seperti juga balon susu yang mengembang di mukaku ini. Nyaman sekali merangsekkan Aseng junior di dalamnya. Tubuh langsing bertetek besar ratu Lawana melengkung merasakan apa yang ia dambakan dari tadi kesampaian sudah. Aseng junior-ku sudah memasuki tubuhnya dan sekarang memasuki babak baru, digenjot.

“Ah ah ahh ah ah ah ahh…” rintihnya kemudian mengikuti ritme hentakan menggenjotku. Rasanya sangat luar biasa nikmat tiada terperi. Lembut dan sekaligus menghanyutkan. Aku tak bosan-bosan mengayunkan pantatku memompa vagina pemuncak peri Asti yang minta terang-terangan untuk dibuahi ini. “Bagindaaa… bagiindaaa… Ini nikmaat sekaaali, bagindaaaaahhh… Aahhh…” erangnya sangat binal. Kata-kata erangan yang keluar dari mulut imutnya memenuhi ruangan batu ini.

Apalagi sepasang susu sentosa itu berguncang-guncang berputar saling membentur saat genjotanku menabrak tubuhnya. Selangkanganku dan selangkangannya bertabrakan berulang kali, mengguncang tubuhnya. Wajah imutnya merintih-rintih tak terperi merasakan birahi yang berasal dari matangnya telur yang hampir berjumlah empat ratus itu menurut hitungan kasar sang ahli pematangan telur, peri Candrasa itu. Aku kembali meremas kedua susu sentosa itu, gemas akan guncangan serta kadar kenyal membiusnya. Itu semakin membuat ratu Lawana semakin blingsatan.

Aseng junior-ku benar-benar menikmati kualitas nikmat ratu peri Asti ini semaksimal mungkin. Ia bergerak bagai piston memompa sendiri tanpa lelah. Tegang dan kerasnya benar-benar menjajah isi liang kawin pemuncak peri laut yang tadinya sangat percaya diri akan menyerangku. Begitu semua telur di dalam tubuhnya dipaksa matang, ia jatuh dalam birahi yang membuatnya menyerah menjadi budak nafsu. Ia membiarkanku menggagahinya, menusukkan Aseng junior ke dalam vagina terjaganya, dan menumpahkan semua kenikmatan ini padanya.

Ia pasrah saja kugenjot-genjot seperti ini. Sesekali ia mendapat orgasme nikmat lagi yang katupan menggigitnya mampu mendorong Aseng junior lepas sangking ketat dan licinnya. Cairan manis beraroma bunga kamboja itu menyemprot, crit crit hingga menerpa perutku seperti pipis. Selesai orgasme yang membuatnya lemas dan vaginanya makin becek dan licin untuk disodok, kutusukkan lagi Aseng junior dengan lancar dan kembali kugempur tubuhnya, membuatnya melolong-lolong binal.

Para penonton hanya bisa menatap nanar. Berbagai macam ekspresi tergambar di wajah lima penonton persetubuhan dua bangsawan ini. Tiga peri Asti dan dua peri Aruna andalanku yang bertindak seperti pengawalku. Masak ngentot aja harus dikawal, ya? Tapi ini protokol keselamatanku karena keberadaan dan kehadiran peri asing di sekitarku apalagi aku berstatus raja bagi mereka yang wajib mereka lindungi. Tapi tak pelak wajah Eka dan Dwi memerah melihatku menggasak peri Asti bersusu sentosa di bawahku ini. Ini bukan kali pertama mereka melihatku telanjang dan bertarung nafsu. Dengan peri Padma itu, dengan dua peri Dawala dan dengan rekan mereka sendiri di kelompok petarung yang menghasilkan dua ratusan telur peri Aruna baru.

Dengan gelisah Eka dan Dwi melihatku menggenjot vagina ratu Lawana, meremas, menjilati, menyedot susu sentosanya, dan ato melumat bibir tipis seksi ratu peri kerajaan Laut Biru itu dengan rakus. Matanya membelalak kaget tiap aku melakukan sesuatu hal baru seperti saat aku membalik tubuh langsing ratu Lawana untuk menungging lalu dengan mudah Aseng junior menelusup masuk dan gas pol kembali menghajar liang kawinnya yang membius asaku. Apalagi ketiga peri Asti bawahan sang ratu. Kedua dayang-dayang itu gelisah duduk bersandar di dinding. Miring kanan, miring kiri tak menentu. Begitu juga sang pengendali air yang tergeletak tak berdaya di atas lantai. Kondisinya yang seperti ulat bulu karena terikat ketat itu bergelinjang gelisah.

Apakah mereka terangsang melihat aksiku? Masuk dalam masa birahi, kah? Matangkah telur yang ada di tubuh mereka semua?

“Aaakkhh… aakkhh… agghh… Haaaahhhh… Uh uh uhhh…” kembali ratu Lawana mendapat orgasmenya yang membuat liang kawinnya sangat licin dan melepaskan Aseng junior dari tubuhnya. Berkelojotan berkejat-kejat tubuh langsing berdada besar miliknya. Kuseka cairan yang menempel di sekujur batang Aseng junior dengan sekali tarikan dari pangkal ke ujung dan kucipratkan ke lantai. Cukup banyak cairan basah lengket ini membekas. Hembusan nafas ratu Lawana membuat dadanya membusung naik turun dan matanya terpejam dengan mulut terbuka.

Eka dan Dwi menatapku nanar saat kudekati mereka berdua, hanya mematung dengan nafas berat tak teratur. “Apakah telur milik kalian juga matang?” tanyaku dengan tangan mengulur dan mengelus perut rata keduanya. Mereka bergidik geli tanganku menyentuh kulit perut halus yang kini meremang. Dari balik pakaian dalam yang hanya mereka kenakan saat ini, aku dapat menemukan tonjolan puting yang mengeras, jelas nyeplak di balik bahannya berbentuk bikininya. Aku juga samar-samar mencium aroma mawar. Aroma yang sama saat aku menggumuli Tri, rekan mereka. Di bawah sana pasti sudah basah juga… Keduanya meneguk ludah dengan gugup dan geleng-geleng. Oke tak ada telur yang matang.

“Kalian mau seperti dia? …. Kugauli?” tanyaku mulai menggoda. Aku tau mereka tak akan bisa menolak apapun mauku. Tapi aku mau tau apa maunya mereka.

“Ka-kalau itu yang baginda raja kehendaki…” jawab Eka bisa kutebak. Dwi hanya mengangguk-angguk.

“Apakah kalian pernah merasakan ini sebelumnya? Birahi ini?” tanyaku sembari menelisik tubuh keduanya. Kujilati dengan pandangan lekuk-lekuk tubuh sintal nan seksi dihadapanku. Gerakan-gerakan kecil yang menandakan kalo mereka sedang salah tingkah dengan nafsu yang tiba-tiba menyeruak setelah melihat persetubuhanku yang belum selesai dengan ratu Lawana.

Keduanya hanya menggeleng.

“Mari kalau begitu…”

“Bagindaaahh… Lanjutkaaan, bagindaaahhh…” erang ratu Lawana yang menggelinjang sudah agak pulih dari orgasmenya barusan. Ia merangkak ke arahku bak seekor hewan yang rendah minta dikawini lebih banyak lagi. Aku yang sedang menarik, membimbing Eka dan Dwi langsung berpapasan dengannya. Hal berikutnya yang kulakukan adalah membenamkan Aseng junior sebentar ke mulutnya dan sodok-goyang beberapa kali lalu membalik tubuhnya. Bleeesshh… Aseng junior meluncur masuk kembali ke liang kawin becek itu dan langsung kupompa.

Eka dan Dwi yang bingung harus apa, kutarik mendekat padaku hingga aku diapit keduanya di kanan kiri dan ratu Lawana di depanku mengerang-ngerang gaya doggie. Kedua pasang payudara peri Aruna nomor satu dan dua itu tergencet di tubuhku. Malu-malu keduanya walo aku merasakan nafas berat masing-masing. Kucium kedua pipi mereka bergantian. Tanganku yang mengait pada bagian pinggang meremas-remas dan menekan agar kenyal tubuh kedua peri Aruna yang loyal padaku tergesek enak.

Nikmat ini sungguh luar biasa. Aseng junior sedang menyodok liang kawin lembut peri Asti menungging di depanku, kedua tanganku menggerepe dua peri Aruna berambut merah yang pasrah kuapakan aja. Kuremas-remas bagian bokong Eka dan Dwi yang membuatnya merintih memanggil julukanku, baginda raja. Dan rintihannya berganti menjadi keluhan saat bibir Dwi kupagut dan ia kaget saat lidahku menyeruak masuk ke dalam rongga mulutnya. Lidahku mengacak-acak isi mulutnya dan ia membalas perlakuan lidahku. Bibir bagusnya sungguh nikmat ternyata.

Lalu aku menggilir mulut Eka yang kupagut tak kalah ganas. Bibirnya kusedot-sedot hingga ia kelimpungan dan meremas lenganku. Payudara keduanya yang menempel di sisi tubuhku semakin mengeras. Apalagi terasa putingnya juga mengeras menggerus kulitku dibalik bahan bikininya. Tanganku ambideks bekerja telaten untuk melucuti pakaian yang mereka pakai. Pada Eka agak mudah karena pakaian dalamnya hanya berupa bikini yang relatif mudah ditanggalkan, Dwi yang harus menggunakan teknik khusus. Dan akhirnya, kedua peri Aruna-ku ini sudah telanjang bulat—jauh lebih seksi sebelum dulu kuberikan pakaian yang meng-up grade tubuh mereka menjadi begini.

“Bagindaahh… Aahh…” erang Eka kala mulutku mencaplok payudaranya dan langsung menyedotnya dengan ganas. Tubuhnya tak pelak lagi menggelinjang kegelian. Ditambah lagi tanganku yang menjelajah dan meremas vaginanya yang menggemaskan. Membuatnya merintih dan tubuh bergetar.

Lalu aku beralih memberdayakan mulutku ke payudara Dwi yang membuatnya mengerang tak kurang seru dari Eka barusan. “AAaahhh… Bagiiinndaahhh…” Dua kelamin peri Aruna ini juga kukobel sampe basah hingga aroma bunga kamboja sekarang bercampur aroma mawar seolah bertarung sengit di ruangan kamar ini. Tiga penonton kami di sudut sana juga masih tersiksa.

Ratu Lawana juga semakin berantakan saja keadaannya. Berkali-kali orgasme membuatnya basah kuyup oleh cairan yang berasal dari tubuhnya sendiri. Akankah ia dehidrasi? Tak mungkin, ia pasti punya banyak cairan di tubuhnya sebagai peri laut yang berelemen air. Erangan tiga peri bersahut-sahutan berisik di tempat ini. Satu sedang kuentot dan dua lagi harus puas mendapat perhatian kobelan tangan dan mulutku bergantian.

“Fwwahhhhh…” seperti kencing semburan cairan orgasme Dwi yang kemudian tak lama disusul Eka saat ia mengejan dan berkelojotan menegang saat ia mencapai puncak kenikmatannya itu. Tak sungkan lagi kedua peri Aruna itu memelukku, hal yang sebelumnya tak pernah mereka lakukan padaku. Rasa nikmat yang keterlaluan itu membuat keduanya tak ragu lagi mendusel-duselkan payudara mereka dan menciumi pipi serta leherku. Mereka sudah sedemikian mabuknya dalam birahi ini. Aku tak perduli apakah mereka berdua bakalan bertelur ato tidak. Pokoknya aku akan memuaskan mereka.

Yang tadinya ada di sampingku, kini keduanya mendesak dari bagian depan, hanya dibatasi oleh Aseng junior yang terus tak berhenti menghajar vagina ratu Lawana. Menetes-netes cairan kemaluan beraroma bunga kamboja itu hingga menggenang di lantai. Tunggingan bokongnya menjulang tinggi sementara tubuhnya rebah ke lantai batu dingin. Dua pasang payudara peri Aruna itu kini gencet di dadaku saat keduanya berebutan untuk kugilir kucipok. Tanganku berganti-ganti meremas pantat, mengobel kacang itil atopun memilin puting. Semuanya membuat mereka merintih keenakan.

Ahh… Staminaku sangat luar biasa saat ini. Ini setidaknya udah setengah jam aku menggenjot liang kawin nikmat ratu Lawana. Peri Asti utama itu sudah belasan kali mungkin menikmati puncak tertinggi kepuasan seksnya dan ia semakin lemas. Mungkin ini efek dari matangnya sekaligus hampir empat ratus telur miliknya yang telah disimpan selama ini. Ditambah lagi dua peri Aruna yang harus kuladeni, aku harus menuntaskan ratu Lawana dulu, nih…

Kubalik tubuh ratu Lawana hingga berbalik dari menungging kini berbaring ke gaya paling standar kalo buat anak. Mudah saja Aseng junior masuk menusuk dan ratu peri Asti itu hanya melenguh pelan kala kusodok pompa. Kubiarkan Eka dan Dwi mencumbu pipiku, menjilati telingaku dan menyedot-nyedot leherku. Aku berkonsentrasi untuk rasa nikmat di Aseng junior untuk ngecrot. Aku harus segera membuahi telur-telur berharganya.

Pinggulnya kupegangi erat dan kocokanku semakin cepat. Tubuhku terasa hangat. Rubi api sepertinya memberi efeknya untuk menambah kecepatanku. Ratu Lawana semakin melolong akan gesekan nikmat yang terjadi antar kelamin kami. Kepalanya menggeleng kanan-kiri dengan gelisah. Sesekali ia berkelojotan lagi tapi tanganku tetap menahan tubuhnya tetap menyatu. Ratu Lawana tak bisa protes kala aku terus menggenjotnya karena rasa nikmat itu sudah mulai menggelitikku dan aku mengejarnya.

Raungan dan eranganku bersatu padu membuat ruangan batu ini bergema suara kami berdua yang memacu kenikmatan berdua. Nafasku berhembus kencang bak kuda pacu menggasak betinanya. Panas uap berhembus dari sekujur tubuhku. Eka dan Dwi menikmati panas tubuhku, bahkan ratu Lawana pun tak keberatan asalkan ia terus mendapatkan kenikmatan dari tubuhku. Cairan beraroma bunga kamboja itu menyiprat-nyiprat, bahkan sampe mengenai Eka dan Dwi yang sedang keranjingan menjilati mukaku. Rasanya ini luar biasa nikmat. Nikmat yang tiada tara. Belum pernah aku merasakan sensasi segila ini. Rasa nikmatnya kurang ajar mendera tubuhku dan aku bisa ketagihan.

Dengan hentakan pamungkas, kulesakkan Aseng junior dalam-dalam beserta semburan benihku melalui liang kawin ratu Lawana.

“Croot croott croottt!” sejumlah besar spermaku menyerbu masuk dan langsung menuju kumpulan telur-telur berjumlah ratusan yang dimiliki ratu Lawana. Entah bagaimana cara kerjanya, dimana posisi telur-telur itu, bagaimana bentuk telur sebelum dibuahi? Banyak sekali yang masih aku tak tau cara kerja sistem reproduksi peri ini. Tapi rasa nikmat ngecrot mengalahkan segala-galanya. Kepalaku terasa ringan. Nikmat yang tak terkatakan. Ada rasa plong juga udah berhasil memberi kontribusi untuk mengembalikan populasi peri Asti yang sudah berkurang drastis.

“Nikmatnyaaaaahhh…” erangku memeluk ratu Lawana dan membiarkan Eka dan Dwi di belakangku memeluk. Ratu peri itu tak kurang bergelora juga mendapat semburan sperma pembuahanku. Ini yang sudah dinanti-nantinya dari tadi, rasa menggelitik yang merajai tubuhnya akibat matangnya telur-telur itu. Tubuh kami berdua seakan lebur menjadi satu dalam kesatuan serasi.

Dan tak lama, tubuhnya terasa sangat basah. Lebih basah dari sebelumnya hingga aku merasa risih dan menjauh dari memeluk tubuhnya. Aseng junior yang masih bercokol habis ngecrot terdorong tercerabut oleh semacam energi dorongan dari dalam perutnya.

“Ia akan bertelur, bagindaah…” bisik lirih Eka di telingaku hingga terasa geli. Otomatis aku mundur dibantu Eka dan Dwi yang memegangi kedua tanganku. “Biarkan dia, baginda… Ia akan menemukan jalannya…” lanjutnya setelah ada jarak di antara kami. Ratu Lawana seperti tergenang air yang sangat banyak yang keluar dari tubuhnya sendiri. Tubuhnya bergetar-getar kecil. Matanya terbuka dengan pandangan kosong menatap langit-langit ruangan dan mulut terbuka.

“Aaahhh…”

“Plung-plung-plung…” dari bukaan vaginanya yang becek itu keluar beberapa benda bulat. Hampir persis sama seperti yang pernah terjadi para peri-peri bertelur sebelumnya. Telur-telur ini berukuran kecil seukuran telur penyu. Hanya saja permukaannya transparan seperti melulu berisi air dan ada inti kecil berwarna biru muda di tengah-tengahnya. Genangan air yang menggenang ini ternyata berfungsi sebagai media pelindungnya ketika keluar menggelinding saling bertabrakan didorong telur lain. Aku sangat takjub melihat prosesi istimewa ini. Dan itu semua ada andil diriku.

“Plung-plung-plung…” terus telur-telur itu keluar dan tiap kali meluncur, ratu Lawana menggeliat merasakan telur itu melewati liang kawinnya dan menyeruak dari bibir kemaluan sempit beceknya. Sejumlah air baru bertambah menggenangi lantai karena masih banyak lagi telur yang akan keluar karena ini belum ada setengahnya.

“Eka… Dwi… Lepaskan dua dayang-dayang itu agar mereka membantu ratu Lawana bertelur… Tapi pengendali air itu jangan…” perintahku pada dua peri Aruna yang sebenarnya dalam masa birahi. Patuh keduanya melakukan perintahku dan melepas rantai yang membelenggu dua dayang-dayang itu. Buru-buru mereka mendekati ratu Lawana dan menghiburnya setelah terlebih dahulu berterimakasih sudah dilepas. Peri Asti pengendali air itu menatapku menghiba minta dilepaskan juga, hanya saja mulutnya tersumpal tak bisa berkata-kata dengan jelas.

“Bagindaaa… bagaimana dengan kamiiih?” tanya Eka masih penasaran. Nafasnya masih berat. Begitu juga dengan Dwi. Menatap tubuh keduanya yang telanjang tentu saja menaikkan kembali libidoku, padahal baru aja ngecrot yang sangat banyak pada ratu Lawana. Belum lagi selesai ia mengeluarkan semua telurnya, aku harus memuaskan dua peri Aruna. Salahku ini, sih. Aku yang melibatkan keduanya. Lagipula tadi aku sudah berjanji akan memuaskan semuanya.

Eka

“Kita kesana…” ujarku lalu menarik Eka dan Dwi ke sudut lain ruangan luas yang bisa menampung hingga 10 peri muda ini.

“Plung-plung-plung…” telur-telur transparan itu terus bertambah. Kedua dayang-dayang setia itu mengumpulkan semua telur yang sudah keluar dan menyambut memberi jalan bagi telur yang akan keluar kemudian. Mereka peri laut, mungkin nantinya telur-telur itu akan di bawa ke laut untuk proses selanjutnya. Sepertinya sudah ada sekitar seratusan lebih yang ada di atas lantai basah.

“Hyaammm…” Aseng junior mendadak terasa nyaman lagi. Eka ternyata inisiatif mulai mencaplok kepala penisku. Pinter juga dia. Kuelus-elus kepalanya. Dwi juga berjongkok bersama Eka menunggu giliran menservis Aseng junior-ku. Kucabut dari mulut Eka dan kusodorkan pada Dwi. Dengan patuhnya, ia membiarkan kepala penisku memasuki mulutnya dan langsung disedot. “Haammm…”

Dwi

“Enak kaaali…” desahku bersandar di dinding kamar kosong ini masih terbagi perhatian, antara melihat proses keluarnya semua telur ratu Lawana dan menikmati Aseng junior disepong dua peri Aruan bergantian. Keduanya membagi waktu memberi kenikmatan pada penisku walo sepertinya Dwi lebih mengalah pada Eka karena urutannya yang lebih senior dibanding dirinya. Jadi saat Eka sedang menggelomoh Aseng junior dengan dalam, aku menarik dagu Dwi dan mengarahkannya ke mukaku.

“Hmmm…” kami berciuman. Kupagut bibirnya dan ia sangat menikmatinya. Mulutnya terbuka membiarkanku mempermainkan mulutnya. Apalagi ia mendesakkan seluruh tubuhnya padaku hingga dada mantulnya berdempetan dengan dada telanjangku. Ini surga sebenarnya. Ini kenikmatan. Ada mahluk cantik yang sedang bercumbu mulut dan meng-oral penismu bersamaan. Diseberang sana ratu Lawana masih bertelur, walo dalam keadaan lemas begitu. Akankah kondisi ini berbahaya?

Kedua dayang-dayang itu masih sibuk mengurus sang ratu dan telur-telurnya. Telur peri Asti transparan itu sudah mulai tidak meluncur kencang lagi dari vagina sempit ratu Lawana. Awal-awal tadi bisa berupa berondongan dan sekarang hanya keluar satu-satu yang tetap membuat sang ratu melonjak tubuh langsing berdada sentosa berpaha gempal mengangkang itu. Ini pasti sangat melelahkan. “Aaahh…” desahku sendiri.

Eka menungging di depanku dan melesakkan Aseng junior memasuki kemaluannya dengan usahanya sendiri. Mulutnya terbuka menganga merasakan tubuhnya diterobos kemaluan baginda raja junjungannya. “Bagiiiinndaaaahhh… Enaaakkk…” desahnya menjadi sedemikian binal. Dwi yang ada di sebelahnya sedang berciuman denganku mendesah keenakan juga karena satu susunya kuremas karena kaget. Empuk, hangat dan sempit. Itu impresi pertama yang kurasakan saat merasakan didalam tubuh Eka. Mirip saat dengan Tri saat itu, lebih karena aroma mawar yang harum mewangi.

“Aaahhh… Nikmat sekali, baginndaahhh… Buahi hambaaa…”

Bersambung

kenalan baru
Awalnya dari media sosial akhir nya menginap di hotel
ibu guru muda
Cerita hot terbaru ngentot dengan ibu guru sexy
Foto Tante Toge Mandi Toket Bekas Cupang
Foto bugil model JAV cantik seksi
Foto Tante Cantik Kesepian Ngangkang Sange
janda muda berjilbab
Bercinta Dengan Janda Muda Berjilbab
pengantin baru ngentot
Ga sengaja melihat tetangga sebelah rumah sedang main di kamar
Di ajari Enak Enak Sama Tante Sendiri
janda ngentot
Aku Berselingkuh Dengan Pak RT
500 foto chika bandung memek sempit pecah perawan di foto pacar
bu guru cantik
Memuaskan hasrat ibu guru ku yang cantik
sepupu sexy
Tak bisa menahan nafsu birahi gara-gara tidur sekamar dengan sepupu ku
Foto Bugil Abg Bule Toket Gede Jembut Lebat Ketek Berbulu
cantik sange
I Love You Rini
Foto melihat belahan memek sempit anak sma
Bercinta Dengan Pembantu