Part #89 : Eka dan Dwi merintih-rintih bersamaan
Saat ini, momen ini, kudedikasikan untuk memuaskan peri Aruna yang sedang termehek-mehek dihadapanku ini. Dengan menunggingkan bokongnya yang lebar, kusodokkan Aseng junior dengan cepat, membuat kecipak becek vagina sempitnya mengucurkan cairan beraroma mawar yang amat harum wanginya. Disampingku, peri Aruna satunya sedang memainkan mulutnya di sekitar mulutku yang sibuk membalas kuluman bibirnya.
Eka dan Dwi merintih-rintih bersamaan. Eka karena kemaluannya kucoblos dan kusodok-sodok dengan keras mengacungnya Aseng junior-ku yang meradang tegang. Padahal ia tak lama lalu ngecrot dalam jumlah banyak ke rahim—sebut aja begitu—tempat reproduksi peri Asti yang masih saja menelurkan ratusan telur miliknya. Dalam keadaan lemas dan kepayahan begitu, sejumlah besar telur itu masih saja terus berlomba-lomba keluar dari vagina sempit beceknya.
Rakusnya diriku akan kenikmatan yang telah kukecap darinya masih ingin kurasakan lagi padahal aku sedang menikmati kenikmatan lainnya dari vagina peri yang tak kalah kualitas nikmatnya. Pemandangan keluarnya telur-telur itu dari lubang sempit becek ratu Lawana sangat dahsyat kerusakannya pada nafsuku. Aku menggenjot Eka dengan kecepatan penuh lebih pada penasaran. Rasanya sama nikmatnya–apakah bisa lebih nikmat lagi.
“Aaahh… bagindaaa… Uuhh…” erang Dwi yang vaginanya tak lepas kukobel dari tadi. Kacang itilnya kukulik-kulik hingga kemaluannya banjir juga. Satu jari mengutik klitorisnya, satu jari lain menusuk dan bercokol merojok liang kawinnya yang tak kalah sempit menjepit. Mulutnya kucaplok agar bungkam, lidahnya kusedot dan menghirup liurnya yang manis beraroma mawar, bibir tipisnya bergesekan dengan bibirku dengan intens tak ada kesenjangan. Mungkin ia sudah lupa bahkan dengan siapa ia sedang bercumbu ini—baginda raja yang sangat dijunjung tinggi dirinya.
Mulutku bergelut dengan mulut Dwi dan bagian bawah tubuhku terus menggenjot Eka yang merintih-rintih keenakan mendapatkan tusukan nikmat dari Aseng junior-ku yang mengisi kemaluan beraroma mawar miliknya. Di sebelah sana, di seberang–ratu Lawana terus saja menelurkan telur-telurnya. Ia sama sekali hanya bernafas untuk melanjutkan hidupnya sementara telur-telurnya keluar dengan usahanya sendiri. Luar biasanya, katupan sempit mulut vaginanya masih aja sempit seperti awal. Membuka melebar hanya saat telur itu keluar menyeruak dari sana dan menyempit kembali dengan elastis ajaib saat menunggu telur berikutnya menunggu giliran.
Kedua dayang-dayang itu yang praktis yang sibuk mengurus telur-telur rapuh itu. Menyusunnya berderet-deret dengan bantuan cairan yang menggenang di lantai untuk menjaga kelembabannya. Sang pengendali air itu masih berbaring tak berdaya, dibelenggu erat dengan rantai andalan kelompok perajin yang relatif kuat. Aku tak dapat berlama-lama mengalihkan perhatianku karena dua peri Aruna ini sungguh membuatku blingsatan keenakan dengan kenikmatan tubuh mereka.
Dwi kuposisikan mengangkangi tubuh Eka yang masih menungging bokong tinggi dijejali Aseng junior. Kemaluan beceknya digesek-gesekkannya dengan sadar ke punggung Eka selagi aku mempermainkan payudara sekal montoknya. Aseng junior terus menggenjot disemangati suara desahan, erangan dan rintihan dua peri Aruna nomor satu dan dua ini. Tak sungkan Dwi meremas dan bahkan menjambak rambutku mengekspresikan rasa nikmat yang menjalari tubuhnya, membuatnya lupa tata krama. Kalo di situasi normal, mungkin dia sudah dibante Eka karena berbuat kurang ajar padaku.
“Baaagiiinddaaahhh… Akh! Akh! Akhh…” tergial-gial tubuh berpeluh Eka yang rebah akibat mendapatkan puncak kenikmatannya kali ini. Rebahan telungkup di kamar kosong ini dengan tubuh bergetar-getar sisa ekstase kenikmatan seksual yang baru saja menyergap tubuhnya. Aroma mawar semakin menyeruak meracuni otak sebagai aroma sensual. Aseng junior terlepas dari katupan sempit vagina Eka dengan untaian benang cairan yang menjadi bukti pernah ada hubungan sangat erat antar dua kelamin kami.
Dwi yang berdiri mengangkang lalu kudorong rebah juga di lantai dan langsung kutempelkan Aseng junior di bukaan becek vaginanya setelah ia membuka kakinya lebar-lebar dengan antusias. Matanya berkilat-kilat sesuai dengan warna rambut merah menyalanya. Aroma mawar dari tubuhnya juga sangat kuat. Dari mulut dan vaginanya terutama. “AAhhhh…”
Aseng junior terbenam di liang lembut peri lagi. Punggung Dwi melengkung merasakan batang kemaluan rajanya menusuk masuk dirinya. Ia membiarkan serangan ini menembus dirinya. Dirinya yang piawai berpedang dengan pasrah vaginanya ditembus lawan. Aku tak perlu mencari-cari apa perbedaan antara enak liang kawin Tri, Eka ato Dwi kali ini. Hanya satu kesamaannya. Sama-sama nikmatnya. Sama-sama sempit menggigitnya. Sama-sama membuat Aseng junior dan diriku seperti terbang ke awang-awang.
Licin akibat terangsang yang memproduksi banyak cairan pelumas yang mempermudah dirinya dicoblos batang kemaluan pejantan, memudahkanku untuk membuahinya. Aseng junior langsung kugenjotkan cepat menikmati hangat dan sempit liang kawinnya. Kupeluk tubuhnya hingga dada kami bergencetan. Kujilati wajah cantiknya dan ia balas menjulurkan lidahnya yang alhasil kusedot-sedot, merasakan rasa manis liurnya yang sedang birahi. Pergumulan kelamin kami juga sangat lancar walo sempit.
“Bagindaaahh… Hambaaa belum selesaaii, bagindaahhh…” rengek Eka yang sepertinya bangkit kembali setelah pulih dari orgasmenya. Ia memepetkan tubuh montoknya padaku, menciumi telingaku. Payudaranya bergesekan di lenganku. Kulepas cumbuanku pada mulut Dwi dan kutarik tubuh Eka ke arah rekannya ini, gantian dia yang menindih Dwi. “AAaaahhhsss…” erang Eka yang merasakan lidah Dwi menyapu-nyapu kemaluannya sebab kusuruh. Lidah Dwi dengan telaten dan lincahnya menari-nari di sekitar kemaluan seniornya. Suara seruputan mulutnya di vagina Eka menambah warna pergumulan kami ke tingkat berikutnya. Mereka tak sungkan harus memuaskan peri lain ternyata.
Kedua peri Aruna ini mengerang-erang sekseh berbarengan mendapat rangsangan dariku dan satu sama lain. Aseng junior terus merambah dan menjajah kemaluan sempit Dwi dengan kecepatan yang mengocok dalam, sepanjang batang Aseng junior mampu capai. Tanganku menggerayangi tubuh Eka dan menciumi mulutnya dengan ganas juga. Kuremas-remas dadanya dan ia membalas dengan melakukan hal yang sama, meremas-remas otot tubuhku. Kemudian perhatianku pindah ke bagian dadanya yang menggemaskan. Kembali keduanya merintih-rintih menggairahkan.
Mulut dan tanganku bekerja sangat giat. Lidahku menyentil-nyentil puting Eka dan sesekali mengenyot kuat berganti cucupan lalu bermain lidah lagi dengan berbagai kombinasi. Gak di manusia gak di peri, sama aja mahluk betina ini senang sekali dirangsang bagian teteknya. Aku tentu senang sekali mendapatkan payudara sekenyal dan seempuk ini menjadi mainanku. Gemas kuremas-remas dan kusedot-sedot dengan terus memompakan Aseng junior menggasak kelamin Dwi yang merintih lirih memainkan vagina Eka juga.
Sementara di sebelah sana, ratu Lawana sepertinya sudah berhenti bertelur dengan tak ada laginya telur yang keluar dari vagina sempitnya. Kedua dayang-dayang itu masih sibuk menyusun ratusan telur itu berkelompok yang terdiri 8 kelompok yang masing masing berisi 50 butir telur transparan itu. Kedua dayang itu cukup teratur dan rapi pekerjaannya. Sangat terlalu telaten bahkan. Mungkin itu kebiasaan yang selalu mereka lakukan di istana kerajaan Laut Biru selama ini.
Dwi yang saat ini kugenjot vaginanya terus merintih-rintih sembari terkadang meng-oral vagina Eka juga. Tapi ia lebih banyak menikmati rasa nikmat yang merasuki tubuhnya. Eka harus cukup puas dengan servisku yang merangsang payudaranya dengan tangan dan mulutku. Suara rintihan dan erangan kedua peri Aruna ini yang kini penuh mengisi ruangan kamar batu yang cukup luas ini. Cahaya yang masuk dari empat buah jendela tanpa penutup di dinding luar menerangi aksi kami semua.
“Baginndaahh… Oohh… Oohh… Ohhg… Oh oh oh…” begitulah teriakan Dwi yang barusan mendapatkan puncak kenikmatannya di sodokan batang kemaluanku yang terasa diremas-remas gilak ketatnya. Tubuh peri Aruna nomor dua ini jadi agak lemas karenanya dan aku melepaskan dirinya. Kakinya yang mengangkang, tetap terbuka dengan kejat-kejat keenakan habis orgasme. Eka tanggap dan membaringkan diri di samping Dwi yang terbaring lemas. Lekas-lekas dibukanya kakinya selebar mungkin untuk kucoblos.
Tak langsung kusodokkan Aseng junior-ku, kugesek-gesekkan jariku terlebih dahulu ke belahan vaginanya yang membuat Eka menggelinjang berdesis-desis seperti ular. Kemudian setelah itu Aseng junior yang giliran kugesekkan ke bagian kacang itilnya. Eka semakin menggelinjang melengkungkan punggungnya. Dwi yang berbaring di sana menatap wajahku dengan ekspresi birahi yang ingin dipuaskan kembali tapi ia sadar diri harus mengantri dengan Eka.
“Apakah telur kalian ada yang siap dibuahi?” tanyaku sembari terus hanya menggesekkan Aseng junior ke belahan vagina Eka, menggodanya. Juga melakukan hal yang sama ke vagina Dwi yang sama blingsatannya dengan seniornya. Keduanya mendesis-desis tak sabar. Tadi katanya gak ada telur yang matang hendak dibuahi, kan?
“Adaa, bagindaaahh…” jawab keduanya serempak. Eka mengangkat pantatnya agar Aseng junior terpeleset masuk ke dalam kemaluannya. Dwi mengaitkan tangannya yang bersentuhan dengan lengan Eka, payudara kenyalnya jadi tergencet. Ada ternyata. Apa gara-gara permainan barusan tadi membuat telur-telur mereka jadi matang. Aku diberitahu kalo tiap peri dewasa menyimpan telur di dalam tubuhnya yang bervariasi waktu matangnya. Peri muda yang baru menetas dari telurnya perlu mencapai bentuk dewasanya dahulu untuk memiliki telur juga.
“Ada berapa telurmu… Eka… Dwi? Cukup banyakkah seperti milik Tri? Cukup banyakkah untuk memperbesar jumlah pasukan peri Aruna kita?” tanyaku terus menggoda mereka. Aseng junior masih dioles-oles hingga basah kuyup berdenyut gak sabar sebenarnya. Jariku mengulik kacang itil Dwi yang mengeras merah itu. Kalo Eka dan Dwi seperti Tri yang memiliki telur matang sampe dua ratusan, jumlah peri Aruna pastinya akan melonjak drastis.
“Seratus dua puluh duaaahh, bagindaahh… Itu cukup banyaakk…” jawab Dwi cepat-cepat tapi ia kemudian tertegun karena Eka seperti berpikir. “Ekaa… Beraapa telurrrmu? Uhh…” ia heran kenapa Eka tidak berusaha mendahuluinya untuk menyebutkan jumlah telur yang ia miliki di dalam tubuhnya.
“Berapa jumlah milikmu, Ekaa… Jawab agar kita lanjutkan ini…” tanyak juga ingin tau.
“Hanya enam, bagindaahhh… Maafkan hamba, baginda raja…” sesalnya menyebutkan jumlah telur miliknya yang bisa kubuahi. Hanya enam? Tapi masih lebih banyak daripada telur peri Padma waktu itu. Bolehlah…
“Tidak usah sedih begitu, Ekaa… Heghh…” kataku berusaha menghiburnya dan tiba-tiba menekankan tubuhku padanya hingga Aseng junior menerobos masuk liang kawinnya yang sudah basah becek dengan lancarnya.
“Aahhh…”
Eka terhenyak dengan kejutan yang kuberikan dan hanya bisa menjerit kaget kemudian hanya bisa menikmatinya. Menggoyang tubuh Eka, aku juga tetap mengkaryakan tanganku di kemaluan becek peri Aruna lain di sampingnya. Keduanya mendesah-desah keenakan. Sepertinya Eka sudah tak terlalu memikirkan jumlah telur miliknya yang hanya 6 butir dibanding milik Dwi yang 122 butir. Tidak sebanyak milik Tri yang berjumlah 215 tapi cukuplah untuk membuat jumlah peri Aruna terdongkrak naik. Tapi tidak bisa dibandingkan juga dengan jumlah telur ratu Lawana yang hampir 400-an butir.
Memikirkan itu membuatku jadi bisa berlama-lama menggumuli kedua peri Aruna kepercayaanku ini. Keduanya menjerit-jerit silih berganti menikmati rasa enak bersetubuh dengan rajanya yang bermaksud membuahi telur-telur di tubuh mereka. Keduanya terus berbaring berdampingan saling bergandengan tangan jari bertautan, saling mendukung bila mendapat giliran ditusuk penis rajanya karena aku berganti-gantian menggagahi keduanya. Dari Eka aku pindah ke Dwi hanya perlu beringsut ke samping dan tusuk. Genjot-genjot sampe kira-kira dia orgasme, pindah lagi ke samping dan tusuk kembali.
Peri-peri Asti yang ada di seberang sana hanya diam duduk terpekur—menunggu. Kedua dayang-dayang itu duduk melipat lutut menunggu sementara ratu Lawana masih berbaring di cairan yang tergenang di lantai bersama telur-telurnya. Peri pengendali air itu terikat masih seperti tadi, tak ada usaha dari dua dayang itu untuk melepaskan rantai pengikatnya. Telur berjumlah ratusan itu disusun rapi berkelompok. Jauh lebih banyak dari peri manapun di kerajaanku ini.
“Uuhh…” erangku. Sepertinya aku sudah mencapai batas ketahananku. Aseng junior jadi sedemikian sensitifnya setelah sekian lama menggesek nikmat dua liang kawin sempit dua peri Aruna nomor satu dan dua ini. Setelah tadi ejakulasi untuk membuahi hampir empat ratus telur peri Asti, kini aku harus membuahi dua peri Aruna lagi sekarang.
“Bersiaapphh… kaliaaann…” desahku yang mengocokkan Aseng junior lebih cepat di liang kawin Eka yang semakin erat mengepit batang penisku. Kuhentak-hentakkan selangkanganku yang bertepukan dengan selangkangan Eka. “Plok plok plok plok…” keringat bercucuran deras. Ada kepulan asap tipis juga dari tubuh kami. Aku hanya memegangi pangkal paha Eka dan membiarkan Dwi sendiri dulu.
“Aakkhh…” erangku dengan kepala menengadah. Rasa enak dari desakan spermaku yang mendesak keluar sudah terasa. Hentakanku makin kasar dan cepat. “Akh…” keluhanku makin pendek.
“Yaaahh yaaahh yaaaah…” Eka dan Dwi menjerit-jerit bersamaan. Dwi menggesek-gesek vaginanya sendiri dengan binalnya.
“Ahhh…” ada perasaan lega yang plong gimana gitu rasanya begitu beban enak itu meluncur bebas. “Crooott… crooott… crooott…” semburan deras itu memasuki liang kawin Eka dan meluncur masuk. Segera kutahan begitu sejumlah besar sperma sudah kudermakan pada Eka dan buru-buru aku berpindah posisi, kulebarkan lagi paha Dwi, kusodok kemaluannya dan melepaskan beban enak itu kembali di dalam liang kawin yang tak kalah nikmatnya. “Crott crott croott…”
“Uuhh…” nikmat kali-baaaah…
Aku ambruk memeluk tubuh Dwi, tanganku juga kujangkaukan lebar hingga mencapai Eka hingga aku memeluk keduanya sekaligus. “Ahh… Peri-peri Aruna-ku yang cantik…” gumamku memuji keduanya. Rasa nyaman memeluk tubuh montok, hangat dan kenyal keduanya. Kulit halus feminim yang gak pernah membuatku bosan. Kuciumi pipi, bibir keduanya bergantian dengan gemas. Aseng junior tercerabut sendiri dari liang kawin Dwi karena sedang bermanja-manja memeluk keduanya.
Lupa aku…
Begitu dibuahi, para peri akan langsung bertelur. Itu makanya mereka berdua tak ada merespon cuddling-ku barusan. Sepertinya Eka dan Dwi sedang berkonsentrasi—bersiap mengeluarkan telur yang sudah dibuahi ini untuk merasakan dunia bebas. Dunia di kerajaan Mahkota Merah. “Bagindaahh… Awass…” lirih rintih Eka mengingatkanku.
Aku langsung mundur dan sekejab kemudian tandem dua peri Aruna bernomor satu dan dua itu menyala diselubungi kobaran api. Api murni yang berasal dari tubuh peri Aruna yang berelemen api yang panas.
“Aaaahhh….”
“Aaaauuhh… Mmm…” rintih keduanya silih berganti. “Plung…” sebutir telur pertama milik Dwi menyeruak keluar dari vaginanya yang sudah sama sekali kering dari kondisi basah becek barusan. “Plung…” menyusul yang kedua lalu ketiga. Dwi berbaring mengangkang bergoyang-goyang mengernyit kepayahan saat mengejan mengeluarkan telur yang telah kubuahi itu. Ukurannya sama persis seperti ukuran telur milik Tri sebelumnya, seukuran bola tenis. Berwarna abu-abu dan terlihat rapuh dan ringkih. Telur sebesar itu keluar terus silih berganti, menyeruak dari mulut vagina Dwi yang sesempit itu…
Tunggu…
Milik Eka kok gak kunjung keluar?
Eka berguling-guling menjauh dan merintih-rintih menungging seperti kesakitan. Aku tau vaginanya memang sempit. Tapi sama sempitnya seperti juga Dwi dan Tri. Sebelas dua belas sempitnya. Tapi kenapa ia kesulitan mengeluarkan telurnya. Menungging dan memegangi perutnya seperti sangat menderita dengan meraung-raung. Lebih memilukan daripada jeritan Dwi yang melengking tiap kali telur itu meluncur keluar dari bukaan kemaluannya.
Kobaran api yang menyelimuti tubuh Eka ternyata jauh lebih besar dan warnanya cenderung biru. Berbeda dengan kobaran api milik Dwi yang berwarna jingga kemerahan. Kenapa Eka berbeda?
“Aaahhh… Aaauuhh… Mmmmghh… Ghhh… Ahh…” erangnya terus.
Tanpa pikir panjang aku langsung merangkul Eka. Kusandarkan tubuh telanjangnya di tubuhku. Ternyata api yang membara panas dari tubuhnya hanya terasa hangat padaku. Mungkin ini karena aku selalu memakai mantel rubah hitam yang menjadi pelindungku dan matahari daerah kekuasaanku. Aku sebenarnya bingung aku bisa apa untuk menolong peri Aruna nomor satuku ini.
“Eka! Ekaa… Kau kenapa? Kenapa telurmu belum keluar??” tanyaku agar berseru agar aku mendapat perhatiannya karena rasa sakit yang kini mendera tubuhnya. Ia terus mendekap perutnya.
“Bagindaaa… Sakit, bagindaa… Telur hambaaa… susah keluaaarrr… Aauhh…” jeritnya menyedihkan. Sebagai seorang lelaki yang juga suami yang sudah dua kali menemani istri yang melahirkan plus Aida waktu itu, insting pejantan bertanggung jawabku berdenting. Apalagi ini aku juga yang membuahinya hingga saat ini akan bertelur—tapi kesulitan.
Kubaringkan lagi tubuhnya dan aku bertindak, berperan sebagai bidan dadakan, menghadap bukaan kakinya lagi. Kali ini bukan untuk menyetubuhinya lagi, melainkan membantunya bersalin. Kutatap bukaan vaginanya yang sedikit mengembang dan menguak juga. Lubang sempit yang tadi kunikmati agak lebih memuai dari sebelumnya. Kalo mengikuti kebiasaan yang sudah kulihat dari persalinan Tri dan Dwi yang masih berlangsung, harusnya Eka sama saja. Apa yang berbeda?
Perutnya keras sekali!
“Aaahhh… Bagindaa… Ini sulit sekali, bagindaaa… Apakah hamba akan mati?!” erangnya lebih mirip mengumpat. Ia mungkin kesal karena tak paham apa yang terjadi pada tubuhnya. Kenapa ia sulit mengeluarkan telurnya. Tidak seperti dua rekannya.
Ada beberapa tonjolan yang terasa di bagian perut Eka. Tepat di bawah pusarnya. Itukah keenam butir telur itu?
“AAaakkhh! Sakit, baginda! Akkhh!” jerit Eka sangat memilukan. Ia meronta kanan kiri sementara kakinya tetap kutahan lebar. Dwi tak jauh di sana masih terus sibuk dengan telur-telurnya sendiri. Kalo kuhitung cepat mungkin ada 50-an butir jumlahnya.
“Apa yang harus kulakukan?!” sergahku agar aku tau yang bisa kubantu untuk mengurangi rasa sakitnya ini.
“Keluarkan telur hamba, bagindaaa… AKKHHH! Potong perut hamba! Potong saja!!” jeritnya tak tahan. Kimak! Dipotong? Cesar maksudnya? Operasi? Gilak aja aku disuruh memotong dan membuka perut Eka? Apa gak malah bisa mati Eka jadinya kalo aku pande-pandean memotong perutnya untuk mengeluarkan telur-telur ini. Itu terlalu beresiko.
“Gunakan tangan baginda saja… Masukkan tangaan baginda…” aku mendengar suara dari seberang sana. Itu suara ratu Lawana. “Terkadang ada kasus seperti ini, baginda raja…” masih berbaring lemas di lantai basah ia memberitahuku instruksi ini. Mata lamurku tak begitu jelas melihat wajahnya. Hanya rambut berwarna cyan-nya yang terlihat mendominasi, beserta susu sentosa dan barisan ratusan telurnya. “Keluarkan telurnya dengan tangan…”
“Pakai tangan?” gumamku menatap tanganku sendiri. Fisting… gitu?
“Akh!!” geliat tubuh Eka kala kumulai menyentuh daging vaginanya lagi. Kali ini dengan menggunakan jari-jari tanganku. “Sakiiitt… Uuhhh… Ahhkk…” Eka berusaha untuk berguling untuk meredakan rasa sakit hebat di perutnya yang mungkin setara dengan manusia yang melahirkan. Jauh berbeda dengan yang sedang dialami Dwi yang relatif mudah saja menjalani persalinan telur-telurnya.
Aku menahan agar ia tidak berguling karena jariku menyeruak masuk dan ternyata benar… Jariku bisa masuk jauh ke dalam hingga aku menambah jumlah jariku. Eka terus menjerit-mengerang kesakitan. Jari-jari tanganku semakin dalam masuk. Bukan bermaksud untuk merangsang tetapi untuk mengeluarkan telurnya. Ia tidak kesakitan jari-jariku masuk begini? Apa lebih sakit rasa mules telur-telur yang harusnya keluar ini?
“AKkkkhhh… Akkkhhh!! Sakit, bagindaaa! Sakiitt…” serunya terus. Jariku semua sudah masuk. Bahkan saat jempol coba kutambahkan, liang kawinnya ikut melebar dan menyambut tanganku, menyelimutinya, membiarkannya menelusup masuk seperti penis raksasa. Tanganku dengan lancar masuk ke liang kawinnya yang terasa hangat dan lembut. Begini ternyata tekstur lembut yang sudah membuat Aseng junior-ku muntah tadi. Di dalamnya ada gerinjal-gerinjal kecil yang begitu terasa di kulit tanganku…
“???”
Ini dia telurnya! Ujung jariku menemukan benda keras di ujung liang kawinnya. Setelah kuraba-raba bentuknya bundar bulat lebih besar dari bola tenis—ukuran standar telur peri Aruna yang dicontohkan Tri dan Dwi. Jadi… aku harus mengeluarkan telur ini secara manual dengan bantuan tanganku? Gerakan tanganku terlihat bergerak-gerak di perut Eka yang seperti bergerinjal-gerinjal aneh.
Kugenggam telur yang pertama kali kusentuh itu lalu pelan-pelan kutarik… “OOooouuhhhhh…” Eka melolong memilukan merasakan telur bergeser dan bergerak keluar sepanjang liang kawinnya dengan bantuan tangan sang baginda rajanya yang bertindak sebagai bidan dadakan. Pelan-pelan dan selembut mungkin kutarik tanganku keluar membawa sebutir telur yang terasa hangat itu. Tapi Eka terlihat sangat menderita karenanya. Ia hanya bisa melolong kesakitan dan berusaha berguling menjauh.
“Plungg…”
“Whuuuussshh…” ada hembusan angin mengiringi kobaran api biru seperti yang berasal dari tubuh Eka di telur di genggamanku ini. Ukurannya memang lebih besar dari telur peri Aruna biasanya. Sebesar bola baseball. Entah bagaimana benda sebesar ini ada di perut langsing yang tetap terlihat langsing itu? Mungkin karena mereka mahluk ghaib jadi masalah ukuran tidak bisa disamakan persepsi dimensinya dengan mahluk dunia nyata. Warna dan teksturnya tetap sama, keabu-abuan. Kobaran api itu lalu padam dan hanya menyisakan hembusan asap tipis.
Satu sudah keluar, tinggal lima lagi tersisa. Eka masih mengerang-ngerang kesakitan memegangi perut ratanya. Kuletakkan telur pertama Eka begitu saja di atas lantai batu. “Tahan Eka… Akan kukeluarkan lagi yang lainnya…” ujarku melebarkan lagi pahanya yang dikatupkan rapat setelah telur perdananya berhasil kukeluarkan. Jariku mencoba menelusup masuk lagi.
“Akkhh…” erangnya saat jariku menerobos masuk lagi. Dwi di sana berbaring terengah-engah dengan ratusan telur yang berserakan di sekitarnya. Ia sepertinya sudah selesai dengan semua telurnya dan hanya bisa berbaring lelah. Dada membusungnya naik turun tak berdaya walo rekannya kini dalam keadaan susah seperti ini. Ia hanya bisa menatap ke arah kami dengan pandangan kosong kelelahan. Seharusnya ia bisa membantu, tetapi dirinya sendiri dalam keadaan lelah yang luar biasa paska mengeluarkan ratusan telurnya. Hanya pasrah.
Bolak-balik Eka menjerit melolong saat kembali kukeluarkan telur-telur yang bercokol di dalam perutnya. Tanganku masuk sampe lebih dari batas pergelangan tangan dan telur kelima kutarik keluar seperti yang sudah-sudah. Eka menggeleng-geleng merasa sakit dan tak nyaman dengan semua prosesi ini. Ini pengorbanannya bagi komunitas peri Aruna. Setara dengan pengorbanan ibu?
Keringatnya bercucuran hingga tubuhnya basah berikut asap tipis yang juga mengepul dari beberapa sudut tubuhnya. Rasa panas hanya terasa hangat saja bagiku saat kutarik telur segenggaman tanganku keluar dari dalam perut melewati liang kawin sempitnya. Dan telur kelima akhirnya menyusul empat telur yang sudah kukeluarkan. Telur berbentuk bulat seukuran bola baseball itu hanya tergeletak begitu saja.
OK… Tinggal satu yang tersisa.
Alamak?! Yang keenam ini kenapa segini besar? Bahkan tanganku tak dapat memegangnya tanpa tenaga berlebih yang mungkin malah merusaknya. Cangkang telur peri Aruna terlihat rapuh walopun sebenarnya sangat kuat karena berisi energi murni untuk pertumbuhan peri muda di dalamnya. Kala kuraba-raba, ukuran telur terakhir ini sudah sangat besar. Seukuran telur peri Aruna yang dekat masa menetasnya setelah melakukan putaran berkeliling di kaki gunung berapi, seukuran bola basket.
Tapi kenapa perut Eka tidak menggembung karenanya?
“Yang terakhir ini sangat besar, Eka…” kataku memberitahunya tentang kesulitanku. Perutnya tetap aja rata seperti biasa. Harusnya perutnya membesar seperti wanita hamil—ini tidak.
“Saaaakit, bagindaaahh… Keluarkaaann… Tolong hambaaa, bagindaa…” jerit memilukan Eka. Ia yang biasanya gagah berani melawan semua musuhnya, kini takluk oleh rasa sakit yang mendera tubuhnya karena hendak mengeluarkan telur miliknya. Aku tak sampe hati jadinya. Tanganku masih bercokol fisting di liang kawinnya. Hanya bisa menyentuh telur sebesar bola basket itu di dalam rahimnya yang ghaib. Aku bingung…
“Ratu Lawana?! Apa yang harus kulakukan sekarang? Telur terakhir ini terlalu besar untuk dikeluarkan… Ini berbahaya, ya?” sergahku ke seberang sana. Pada ratu peri Asti itu masih berbaring lemas. Kukeluarkan tanganku dari vagina Eka dan buru-buru menghampiri ratu itu. Aku tak memperdulikan cairan becek agak lengket yang menjadi media ia berbaring dan ratusan telur-telurnya.
“Ratu Lawana! Katakan sesuatu! Jangan tidur dulu…” aku mengangkat kepalanya dan menyandarkannya ke pahaku. Ia memejamkan mata, beristirahat setelah tadi sempat memberi tips cara mengeluarkan lima telur sebelumnya. Matanya sayu dan berat terbuka. Aku menepuk-nepuk pipinya agar ia lebih sadar.
“Bagindaaa…” lemah suaranya masih kelelahan.
“Telur terakhirnya terlalu besar untuk dikeluarkan… Besarnya segini…” kucontohkan ukuran telur yang sempat kusentuh itu menggambarkan bulatan seukuran bola basket. “Aku tak bisa mengeluarkannya dari tubuh Eka kalo besarnya segitu… Apa kau tau bagaimana caranya?” aku malah berteriak-teriak karena lumayan panik. Aku takut Eka jadi kenapa-napa.
“Telur ukuran sebesar itu… biasanyaaa… adalah peri calon ratuuu, bagindaa… Diriku dulu juga berasal dari telur seperti itu… Harus ada pengorbanan dari peri yang menelurkannya…” ujar ratu Lawana berayun-ayun nada suaranya karena lelah.
“Pengorbanan?!” aku tercekat mendengar kata itu. Aku langsung memalingkan wajahku ke arah Eka yang berguling-guling kesakitan di tempatnya. Ia sampe menungging-nungging untuk meredam rasa sakit yang berpusat di bagian perutnya akibat telur besar yang mengisi perutnya. “Telur calon ratu?” ulangku akan kata itu. Pengorbanan kata ratu Lawana? Berarti sewaktu telur miliknya dahulu keluar, peri Asti yang mengandung telurnya itu akhirnya mati… Itu terlalu kejam!
Eka mengandung telur calon ratu di tubuhnya? Lalu lima butir telur yang lebih besar dari ukuran normal telur peri Aruna tadi akan menjadi apa? Jendral? Kimak kok jadi jendral? Jadi gimana nasib Eka? Apakah dia harus mati karena tugas mulianya ini? Menelurkan enam telur luar biasa yang salah satunya merupakan calon ratu peri Aruna.
Enggak! Aku gak mau! Aku gak mau kehilangan lagi. Setelah kehilangan Julio, aku gak mau kehilangan Eka juga. Peri Aruna pertama di kerajaanku. Ini salahku. Aku yang memancing birahinya untuk bersenggama denganku tadi. Kalo aku enggak menyuruhnya mendekat, ia gak akan mengalami nasib tragis seperti ini.
“AAAAHHHH!!” jerit Eka meradang menyadarkan lamunanku. Ia kini dalam keadaan berjongkok untuk menekan rasa sakit di perutnya. “Bagindaaaa!! Tolong akuu!! Ini terlalu sakitt!!” erangnya menyedihkan menggapai-gapai ke arahku. Ia lalu bangkit berdiri tapi terhuyung saat coba melangkah. “Pedangku! Aku akan memotong sendiri perutku…” tekadnya tak pikir panjang. Ia berusaha melangkah ke arah tumpukan pakaiannya dimana ada pedangnya juga.
“Jangan Eka!” aku menepis tangannya yang hendak memungut senjata tajam itu. Kupeluk dirinya erat-erat. Tak kupedulikan tatapan keempat peri Asti di dekatku. Aku memeluknya agar ia mengurungkan niatnya untuk memotong perutnya untuk mengeluarkan telur yang terlampau besar itu. “Tenanglah dulu, prajurit andalanku… Kita bisa mencari jalan keluarnya… Aku gak mau kehilanganmu juga…” bisikku di telinganya. Suara bisikanku bahkan parau.
“Buka belengguku… Aku bisa membantu mengendalikan air di dalam tubuh prajurit baginda raja untuk melancarkan jalan keluar telur itu…”
Itu suara si pengendali air. Ia menatapku walo masih tergolek tak berdaya dengan belenggu rantai yang melumpuhkan pergerakannya. Mengendalikan air untuk melancarkan… Water-birth?
——————————————————————–
Aku membopong tubuh Eka turun ke lantai dasar, melewati balairung dan keluar menuju pantai. Terus aku masuk ke dalam air dengan membawa Eka serta. Pengendali air dari peri Asti itu juga ikut di belakangku. Aku sudah membuka belenggu tubuhnya. Usaha apapun akan kulakukan untuk menyelamatkan Eka. Apapun caranya.
Termasuk dengan resiko ini.
Dari tadi aku mendapat kesan kalo pengendali air ini masih dendam padaku setelah aksinya menyerang kerajaanku atas perintah ratu Lawana di balairung tadi. Ia men-summon air laut dalam jumlah besar untuk membanjiri istana kala kami bertarung yang berakhir dengan kekalahan pihak mereka.
Ternyata tidak sama sekali.
Ia tidak mendendam. Bahkan ia menawarkan diri untuk membantu persalinan telur terlalu besar Eka dengan kemampuannya mengendalikan air. Air di dalam sejenis rahim dimana telur besar itu berada, semacam air ketuban, akan coba dikendalikannya. Dan untuk itu ia perlu lingkungan yang kondusif juga. Air laut yang banyak ini tentunya jauh lebih dari cukup.
“Disini saja…” katanya menghentikan langkah berat terhalang air tergesaku yang menggendong tubuh telanjang Eka di kedua tangan. Di bibir pantai, para peri Aruna dan Dawala rame-rame berkumpul, memenuhi batas air, kebingungan akan apa yang terjadi. Kami berhenti di bagian pantai yang airnya sudah mencapai setengah pahaku. “Duduk dan pegangi dia menghadap ke arahku…” instruksinya. Kulakukan apa yang diucapkannya.
Aku berbasah-basahan di air laut ini, duduk di atas pasir, terendam air laut sebatas dada, menyandarkan tubuh Eka di dadaku dan pengendali air itu melebarkan kakinya seluas-luasnya. Hanya sebagian dada dan lututnya yang terlihat menyembul keluar di air jernih bening ini. Si pengendali air itu juga duduk di dalam air dan mulai bergerak melakukan keahliannya.
Tangannya terbentang lebar ke samping dengan jari telunjuk dan tengah mengacung. Lalu ia mengibas-ngibaskan tangannya ke beberapa arah hingga terasa arus berputar seperti sedang diaduk berlawanan arah jarum jam membentuk semacam kerucut yang menampilkan tubuh Eka dan dirinya tak terkena air lagi sebagiannya. Tangan kanannya menunjuk ke arah perut Eka sementara yang kiri terbenam di pusaran air yang berputar-putar di sekeliling kami.
“AAAAAKKKHHH!!!” Eka menjerit memilukan lagi dan kueratkan pelukanku pada kedua bahunya agar ia tidak banyak bergerak. Si pengendali air terus menunjuk ke arah perut Eka dengan jari bergetar. Perut Eka bergerak-gerak.
Byung…
Perut Eka tiba-tiba membuncit. Besarnya seukuran bola basket yang kurasakan itu. Ini sudah persis seperti manusia hamil tua. Tubuh Eka mengejang. Otot-ototnya mengeras. Apa sanggup aku menahannya. Aku harus mengeluarkan tenaga ekstra jika diperlukan. Ini pasti akan sangat sakit sekali.
“AAAKKKHHHHH!!!!” jeritnya semakin nyaring. “SAAKKKIIITTT!!!”
Eka berusaha meronta dengan tenaga kuat yang tak terkira dan tak terkendali. Aku peluk bahunya sekuat tenaga. Aku harus tetap menahannya. Ini harus berhasil. Ini demi Eka juga.
Aku memandangi pengendali air itu dan perut buncit Eka bergantian. Perutnya bergerak turun. Aku bisa melihat ada sejumlah air bercampur darah yang mengucur dari vagina Eka. Tak terperi lagi rasa sakitnya. Pengendali air itu berusaha menggunakan cairan di dalam tubuh Eka untuk memudahkan kelancarannya mengeluarkan telur sebesar itu. Cairan bisa berupa cairan sekresi vaginanya beserta darah. Benar darah!
Urat di bagian leher dan pelipis pengendali air itu terlihat mencuat. Mukanya memerah kontras dengan rambut cyan cerah-nya. Jangan ditanya bagaimana Eka? Lebih parah. Otot-ototnya menegang dan urat-urat darahnya bertonjolan di beberapa bagian tubuhnya.
Tak terasa aku menahan nafas melihat perjuangan Eka mengeluarkan telur besar calon ratu ini yang dibantu sang pengendali air.
“Fwaahh…”
Sebuah telur bercangkang warna abu-abu meluncur keluar dari vagina Eka. Semburan api yang terkandung di telur itu diantisipasi si peri pengendali air dengan tameng sejuknya air laut. Aku tau kesulitannya hingga aku langsung menjulurkan tangan dan menampung telur itu dengan satu tangan saja sementara tangan lain menahan tubuh Eka agar tak tenggelam di air laut yang sudah tak berputar lagi.
Eka pingsan…
Ini hari yang sungguh-sungguh melelahkan.
——————————————————————–
Eka, Dwi dan ratu Lawana masing-masing diistirahatkan di ruangan untuk memulihkan diri. Telur-telur peri Aruna dari Dwi sudah dibawa ke kaki gunung untuk meneruskan pertumbuhannya. Telur milik Eka yang hanya berjumlah 6 butir saja ternyata mendapat perlakuan yang berbeda. Tetap di gunung berapi tetapi tidak di kakinya melainkan di letakkan di puncak gunung. Sementara ini akan dijaga empat peri Padma.
Katanya untuk mendapatkan panas maksimal gunung berapi di dekat magmanya. Perlakuannya khusus karena telur-telur ini memang sangat spesial.
Telur milik ratu Lawana berjumlah 387 butir setelah kuhitung sendiri dan saat ini ada di air laut agak jauh ke tengah. Dua dayang-dayang dan pengendali air itu yang bertugas menjaga ratusan telur mewakili ratu Lawana yang masih belum pulih. Di dalam air 387 butir telur-telur peri Asti itu mengambang dan berputar berlawan arah jarum jam. Bila diperhatikan dengan seksama, akan terlihat ada putaran air seperti tornado di permukaan air laut yang jernih. Sepertinya memang harus begini.
Setelah menjenguk, Eka, Dwi dan ratu Lawana di ruang pemulihan mereka aku keluar dan jalan-jalan meninjau kerajaanku lagi. Di lapangan luas di sebelah selatan istana, para peri muda sedang mendapat pelatihan. Biasanya Eka dan Dwi ada disini bersama Tri untuk melatih peri-peri Aruna muda ini cara bertarung. Sekarang hanya ada Tri disini, memberi bimbingan teknis langsung pada ‘keturunan’nya sebagai bagian dari kelompok trio petarung.
215 peri Aruna muda itu sedang berbaris rapi, berbanjar berderet-deret sedang memperagakan gerakan jurus-jurus bela diri khas peri Aruna. Gerakan mereka serentak, mantap dan bertenaga kala menendang, memukul dan bergerak berkelit seolah menghindar. Sebelum-sebelum ini aku juga sering melihat mereka berlari-lari berkeliling sepanjang garis pantai untuk menguatkan fisik. Peri-peri muda berambut merah yang sepenuhnya telanjang tak berpakaian. Aku juga belum memberi mereka nama.
“Gimana perkembangan mereka?” sapaku yang langsung berdiri di samping Tri.
“Baginda…” ia menunduk sekilas padaku lalu memberikan laporan perkembangan peri-peri muda ini. Secara garis besar, mereka semua berbakat menjadi prajurit tingkat rendah. Semua kemampuan dasar pertarungan tangan kosong dan bersenjata sudah mereka kuasai. Sebagian besar karena faktor genetis sebab mereka berasal dari indukan peri Aruna petarung juga yang membuat insting belajar bertarung mereka mudah diasah. Saat ini yang diperlukan adalah pengalaman dan pengasahan mental yang berguna saat nanti di medan perang betulan.
Tri punya rencana sendiri untuk masalah itu dan untuk masalah itu ia masih harus menunggu pulihnya Eka dan Dwi karena ia tidak bisa melakukannya sendiri.
Hal yang sama juga kudapati di tempat pelatihan para peri Dawala muda yang dilatih ratu Nirada dan pengawal setianya. Teknik pelatihan mereka juga mirip-mirip. Gak jauh-jauh dari gemblengan fisik, penguasaan jurus bertarung tangan kosong dan penggunaan senjata. Ratu Nirada juga mengutarakan rencana yang sama dengan sudah disebutkan Tri tadi. Apalagi jumlah peri muda Aruna dan Dawala hampir seimbang. Dan sangat tepat jika nanti akan dilakukan simulasi pertarungan dan peperangan antar kedua pihak peri yang berbeda elemen ini.
Peperangan peri Aruna dan peri Dawala.
Tentunya bukan perang beneran. Cuma latihan. Ya itu tadi untuk meningkatkan kepercayaan diri mereka, memupuk pengalaman dan pengasahan mental karena medan perang bukan tempat main-main. Kematian dapat dengan mudah menyapa mahluk bernyawa.
——————————————————————–
“Kamu merasa nyaman di tempat seperti ini, Cayarini?”
“Nyaman, baginda… Hamba terbiasa hidup seperti ini beserta peri Candrasa lainnya…” jawabnya. Cayarini adalah nama yang kuberikan padanya yang berarti cahaya yang tajam, setajam jurus-jurus berpedangnya. Peri Candrasa satu-satunya di kerajaanku ini sedang membersihkan gua lembab miliknya ini dari sisa tanah yang baru selesai digali dan menumpuknya di satu sudut ruangan utama gua ini untuk nantinya dibawa ke atas. Tangan palsu yang terbuat dari besi hitamnya sangat cekatan dipakai buat bekerja layaknya tangan organik asli saja.
“Bisa keliatan apa di tempat segelap ini?” tanyaku lagi karena satu-satunya sumber cahaya adalah bias cahaya dari mulut gua yang ada di atap gua yang bisa dinaiki dengan mendaki tangga tanah melingkar yang telah diperkuat lempengan batu. Dinding gua masih berupa tanah lembab dan beberapa akar-akar pohon masih berjuntaian di langit-langit setinggi 4 meternya. Aku samar-samar melihat kelanjutan gua ini lebih dalam.
“Kalau hamba sudah biasa, baginda raja… Mungkin bagi baginda atau peri lain akan kesulitan… Ini ada obor… Apakah baginda ingin melihat lebih dalam?” kata Cayarini menyalakan sebuah obor yang dipendam sumbunya dan kemudian hanya perlu ditiup agar kembali menyala. “Sas memakai penerangan ini saat membantu hamba membuat lorong gua ini…” dengan obor yang menyala terlihat lorong gelap yang jauh ke menembus lebih dalam.
“Lorong ini sepertinya menuju istana, ya?” tebakku mengingat arah di dalam gua ini.
“Benar, baginda… Hamba sudah menyiapkan ruangan-ruangan bagi peri-peri Candrasa muda nantinya akan lahir… Seperti yang baginda ketahui… peri Aruna dan Dawala sudah mengisi ruangan-ruangan di istana… Kami yang terbiasa dalam gelap tentunya masih bisa ada di istana walau di bawah tanah sekalipun… Sas juga setuju dengan pemikiran hamba ini… Apalagi kita juga kedatangan peri Asti yang telurnya sebanyak itu… Kami cukuplah di bawah sini aja…” katanya merendah.
“Hmm… Begitu, ya… Tapi apa gak dingin disini? Lembab dan berair begini…” tanyaku lagi. Lorong ini juga melewati sungai yang ukurannya sudah diperbesar. Pasti ada air yang merembes dari atas sana. Benar aja, saat melewati lorong gelap ini ada bagian atapnya yang menitikkan air. Terang api obor yang dipegang Cayarini terpercik air tapi tak sampe memadamkannya.
“Tidak mengapa, baginda… Ini kondisi yang ideal bagi peri Candrasa… Gelap dan lembab…” jawabnya. Berduaan saja dengan menelusuri lorong gua ini sebenarnya bikin deg-deg ser. Seksi tubuhnya walo sudah berpakaian sedikit menggelitik birahiku. Siluet-siluet bayangan tubuhnya di kondisi gelap temaram yang hanya diterangi cahaya api obor memberikan sugesti seksi yang amat sureal. Gurat-gurat lekuk tubuhnya jadi begitu menonjol saat temaram begini. Aku memberinya pakaian setelah memberinya nama hingga statusnya sudah lengkap walopun ia satu-satunya peri Candrasa di kerajaan Mahkota Merah ini—calon ratu peri Candrasa. Dan kutanyakan adalah…
“Bagaimana telur-telurmu?” malah pertanyaan itu yang keluar dari mulutku. Telur-telurnya? Maksudmu kalo matang, mau kau buahi?
“Belum mencapai dua ratus, baginda… Baru hampir mencapai seratus, baginda…” jawabnya malu-malu sambil kami terus melangkah menyusuri lorong. Aku gak ngerasa kalo Cayarini sedang mengulur-ngulur waktuku karena harusnya menyiapkan banyak telur hingga mencapai targetnya yang 200-an telur peri Candrasa itu pastinya memakan waktu. Apalagi ia masih disibukkan menyiapkan ekosistem yang tepat bagi peri jenisnya yang secara alami tidak ada di kerajaanku ini hingga gua gelap lembab ini seperti ini aja udah merupakan kemajuan sangat pesat. Aku lebih baik tidak menyinggung masalah itu dulu. Kalo sudah cukup pasti ia memberitahuku.
Lantai lorong gua ini sudah diberi alas berupa lempengan batu serupa dengan jalan yang ada di permukaan sana. Dirinya dan Sas pasti sangat bekerja keras untuk semua ini. Cayarini menunjukkan beberapa ruangan yang belum sepenuhnya selesai terbentuk. Tanah yang tadi dikumpulkannya di ruangan depan berasal dari ruangan ini. Lalu kami tiba di sebuah ruangan yang ukurannya hampir mirip dengan ruangan tadi. Cayarini mengatakan kalo ini posisinya ada di belakang istana sebab aku udah kehilangan arah di tempat ini karena kondisinya yang benar-benar gelap. Kemudian kami tiba kembali di sebuah lorong dengan banyak pintu di kanan kirinya. Ini seperti lorong yang menuju ruangan kamar di atas sana.
“Ini adalah ruangan-ruangan bakal para peri Candrasa muda, baginda raja…” ujar Cayarini memberi penjelasan padaku menunjuk satu lubang pintu di dinding dan sekaligus meneranginya. Ternyata itu merupakan lorong lagi. Apa ini sejenis labirin? “Ooh… Untuk menuju ruangan itu… harus melewati lorong juga, baginda… Masih menurut Sas… kalo ruangannya berada tepat di bawah istana… lubang besar seukuran ini malah akan melemahkan struktur pondasi istana yang ada di atas… Jadi hamba menurut saja pada ahli pembangunan seperti yang dikatakan Sas… Kamar ini jadinya ada di bawah halaman… Masih dibawah istana intinya, baginda…” jelasnya karena ia tau aku pasti bingung.
Kami lalu masuk ke satu ruangan sebagai contoh tempat bakal beristirahatnya para peri Candrasa nanti. Ruangan ini sama persis ukurannya dengan ruangan di atas sana. Hanya saja karena keadaannya gelap gulita, aku kesulitan menaksir ukuran sebenarnya. Cayarini menunjuk beberapa lubang ventilasi yang mengarah ke atas sebagai sarana pertukaran udara hingga tempat ini tidak terasa pengap.
Kapan waktunya tiba, ya… Saat aku bisa membuahi peri Candrasa berambut hitam ini. Warna rambutnya yang hitam legam membuatnya sangat mirip identik dengan manusia. Setidaknya orang Asia yang mayoritas berambut hitam. Mirip dengan para binor yang telah banyak kugauli. Sabar ya, Seng… Tinggal nunggu waktu aja. Pokoknya kalo sudah cukup, pasti dikasih tau-la.
——————————————————————–
Berlama-lama di tempat ini tak sedikitpun membuatku bosan. Selalu saja ada hal menarik perhatianku. Yang terutama adalah pemandangan indah tak jemu-jemu ratusan peri berkelamin perempuan muda bertubuh seksi tak berpakaian yang berseliweran di sekitarku. Baik yang sedang berlatih bertempur, berlari-lari keliling lapangan luas itu, bermain-main di pantai ato hanya sekedar senda gurau bercengkrama sesamanya.
Peri Aruna muda dan peri Dawala muda yang lahir hampir berdekatan waktunya bisa mulai berbaur satu sama lainnya. Terkadang aku melihat ada sekelompok peri Aruna bergabung dengan sekelompok peri Dawala lainnya sedang entah melakukan hal yang menarik di satu sudut hutan di kala senggang istirahat. Kadang ada dua peri berambut merah dan putih itu duduk berdua saja berbincang akrab satu sama lain. Persatuan seperti ini yang kuharapkan pada akhirnya tanpa melihat perbedaan asal mereka. Mereka sama kedudukannya di kerajaanku ini.
Berlama-lama berdiam di kerajaanku—yang merupakan safe haven indahku. Menjauh sebentar dari perihnya dunia nyata di luar sana. Melarikan diri sebentar paska kematian Julio. Akibat tak sanggup menjaga janjinya untuk tak memberitahu siapapun di luar perjanjian yang telah kami buat bertiga; aku, dirinya dan Amei.
Berlama-lama di sini, bila waktu normal akan setara dengan 3 minggu lebih aku menghabiskan hari di kerajaanku ini. Bila lelah dan mengantuk aku bisa tidur beristirahat dimanapun. Bisa di atas rumah pohon, hammock-ku, kamar pribadiku di dalam istana, kursi pantai favoritku—dimana saja. Kelompok pengrajin sudah mulai agak lowong waktunya dan mengerjakan hal-hal detil seperti empuk kasur dan tempat duduk. Tentu saja dengan memanfaatkan kelembutan buah pohon kapuk randu yang ada banyak di bagian selatan hutan. Dari sana mereka memanen banyak sekali kapuk yang disulap menjadi kasur empuk dan bantalan kursi. Tentunya yang terbaik disiapkan untuk kenyamananku, raja mereka.
Masalah makanan yang masih belum juga dipecahkan masih menggangguku. Masih banyak hal yang harus menunggu waktunya tiba seperti menemukan peri berambut hijau itu. Peri hutan yang konon kabarnya bisa memanfaatkan buah-buahan melimpah di hutan untuk diolah menjadi makanan buat peri-peri mudaku yang perlu makanan tambahan. Buah-buahan ajaib yang tak pernah habis bila dipetik hanya selalu mubazir percuma, tak tau cara mengolahnya. Peri Wanadri itu saat ini adanya di kerajaan Istana Pelangi dan aku belum bisa bergerak sebelum pasukanku sudah siap untuk memasuki medan pertempuran yang menentukan nantinya.
Apalagi aku masih harus menunggu menetasnya telur-telur milik Eka, Dwi dan ratu Lawana yang kuperkirakan akan menetas hampir bersamaan. Tambahan jumlah peri Asti berjumlah hampir empat ratus akan semakin mendongkrak daya gedor pasukanku nantinya. Apalagi telur berukuran besar yang dihasilkan Eka itu. Aku gak sabar menunggu seperti apa nantinya peri Aruna yang keluar dari sana.
“Baginda…” sapa ratu Lawana saat aku mendekati lokasi keempat peri Asti itu menjaga 387 telur bercangkang transparan itu. Ia, pengendali air dan dua dayang-dayangnya bertugas tanpa henti menjaga telur-telur yang berputar di air laut hingga menyebabkan pusaran itu. Aku duduk di depan perahu khas peri Asti yang didayung Astha dan Nawa, dari kelompok pemburu. Pusaran air karena telur-telur itu membuat gelombang hingga merepotkan kedua peri Aruna-ku yang sibuk menstabilkan perahu. Dua dayang-dayang berambut cyan itu membantu memegangi perahu ini agak tak terlalu berguncang.
“Kalian baik-baik saja?” tanyaku basa-basi sebenarnya. Mereka berada di elemennya sendiri. Apa yang bisa membahayakan mereka di lingkungannya?
“Kami baik-baik saja, baginda… Terimakasih sudah memberi kami kesempatan ini…” jawabnya dengan sangat sopan sekali. Ia agak menunduk sambil terus mengapung berayun-ayun dilamun ombak kecil akibat pusaran itu. Kedalaman air laut di sini sudah setinggi dua meter lebih. Bertambah dalam dengan signifikan tiap waktunya mengisi tiap cekungan menurun hingga ke batas terjauh di sana. Para peri Asti ini mengapung dengan elegannya seperti tanpa usaha sama sekali.
Ratu Lawana sampe sekarang belum berpakaian hingga aku bisa melihat susu sentosanya seperti menjadi pelampung berayun-ayun indah diterpa ombak. Seperti juga ketiga bawahannya yang sama telanjang dengannya. Pakaiannya masih kusimpan sampe nanti masanya tiba, masih kusita. Aku menjatuhkan diri dan nyemplung ke dalam air gaya diving—plung…
Tak kurang Astha dan Nawa kelimpungan kaget melihatku menceburkan diri ke dalam air. Sebagai pengawal perjalananku kali ini tentu mereka berdua sangat terkejut melihat aksiku barusan. Tapi karena aku segera muncul lagi ke permukaan air dengan selamat, mereka urung ikut menceburkan diri juga. Aku memberi mereka tanda kalo aku baik-baik saja dan barusan itu kusengaja. Kudekati ratu Lawana.
“Punya mustika safir biru ini membuatku bisa bergerak bebas di air laut seperti ini, ratu Lawana…” kataku menyadari fakta terbaru ini. “Ahh… Itu juga sebabnya…” aku ingat hal lainnya. “Sampan kecil yang kami gunakan saat akan menuju istana Laut Biru… Sampan itu bergerak karena kekuatan mustika ini ternyata…” ingatku akan hal itu. Aku baru menyadarinya sekarang. Aku bisa bergerak bebas semauku di dalam air ini. Ini sangat praktis sekali.
“Saat itu… hamba juga merasakan kehadiran mustika safir biru di sampan kecil yang baginda raja tumpangi… Karena itu kami mengejar sampan baginda raja dan pertarungan itu terjadi… Sekali lagi hamba mohon ampun…” katanya menunduk lagi sangat menyesal akan insiden di pertemuan perdana kami itu walo ada insiden berikutnya yang menyusul.
“Lupakan itu…” aku menepuk-nepuk bahunya dengan sedikit elusan modus. Aku sangat ingat sekali kelembutan dan nikmat tubuhnya. Sentuhan seperti sedekat ini sepertinya tak mengapa. Tak kurang gerakan ombak membuat tubuh sintalnya membenturku sekali-sekali. “Putaran yang dilakukan telur-telur ini sepertinya sama semua, ya?” pungkasku mencoba mengalihkan perhatiannya. Tanganku mengikuti gerakan berputarnya yang melawan arah jarum jam.
Ratu Lawana dan pengendali air itu melirikku tak paham yang kubicarakan.
“Di kerajaan Mahkota Merah ini sudah menetas peri Aruna dan peri Dawala… Sebelumnya telur-telur itu juga berputar-putar seperti ini… Arah putarannya counter-clock wise begini… Melawan arah jarum jam… Ke arah sini…” aku memutar jariku mengikuti arah perputarannya agar mereka paham istilah yang kupakai. “Ini pasti karena kalian berasal dari asal yang sama… Seperti juga peri Candrasa dan peri Kencana… Aku yakin kalo telur mereka juga akan berputar seperti ini…”
“Lawan yang kita hadapi ini tidak perduli dengan keberlangsungan hidup peri, ratu Lawana… Ia sudah menghancurkan tiga kerajaan besar sejauh ini… Peri Dawala, peri Candrasa dan kerajaan peri Asti—kalian… Beruntung kalian bisa ada di sini sekarang dan meneruskan hidup…”
“Untuk itu hamba sangat berterimakasih, baginda raja… Walaupun kesalahan yang telah hamba lakukan sebelumnya itu sangat berat… baginda raja berkenan memaafkan kami… dan bahkan menerima kami di kerajaan Mahkota Merah ini… Setidaknya kami peri Asti bisa bertahan hidup sampai sekarang berkat bantuan dan kemurahan hati, baginda raja Mahkota Merah…” katanya menunduk lagi. Aku gak perhatikan gerakan kepalanya, melainkan gerakan susu sentosanya yang mengapung terombang-ambing. Sesekali putingnya yang imut juga mencuat. Aseng junior tak kurang menggeliat mengingat kenikmatan yang pernah direguknya dari tubuh ratu ini.
“Ahh… Kalian para ratu ini paling pintar bicara…” kataku gemas dan mengelus kepalanya yang berambut cyan itu. Ia agak kaget kuperlakukan akrab begitu tapi tak berani menarik kepalanya yang kusentuh.
——————————————————————–
“Ada apa?” hentiku mengelus kepalanya.
“Baginda raja belum juga menghukumku…” katanya takut-takut. Ia melirikku sedikit di dalam pelukan eratku. Ia mengira aku memanggilnya khusus kemari karena aku akan menghukumnya. Aku dari tadi hanya merangkul tubuhnya erat-erat, merasakan tubuh montoknya yang ternyata cukup lembut untuk direngkuh. Susu montoknya menekan erat dadaku. Ternyata tubuhnya belum cukup rileks, cenderung tegang tak rela. Tadi ia hendak melawan ketika masuk ke kamar ini lalu kupeluk, setelah diantar Astha. Ketua kelompok pemburu itu patuh meninggalkan kami berdua saja, tanpa protokol ketat seperti yang sering dipraktekkan Eka.
“Menghukum? Siapa yang menghukummu?” tanyaku masih terus mengelus-elus rambut indah berwarna uniknya ini. Sejauh ini, peri Asti yang berambut cyan ini memang terlihat sangat berbeda. Warna rambut ini paling ada di anime Jepang. Kalo rambut merah, pirang ato silver sekalipun di dunia manusia pun ada warna rambut seperti itu. Rambut berwarna biru muda ini lembut dan cukup harum.
“Menghukumku…” jawabnya. “Apakah ini hukuman itu?”
“Tidak ada yang ingin menghukummu, cantik…” jawabku menegaskan ini dengan menarik hidungnya yang berusaha ditariknya menjauh karena jengah. Ia tetap merasa gak nyaman dengan perlakuanku ini padanya. Tangannya tetap lurus sejajar tubuhnya walo aku berusaha mengarahkannya untuk merangkulku juga yang sedang berduaan saja di peraduan khusus raja ini. Dia peri pertama yang kubawa ke ranjang istimewa ini. Kelompok perajin mencurahkan semua keahlian mereka untuk membuat ranjang kerajaan ini untukku istirahat. Kokoh dan kuat sekaligus indah.
“Aku peri Asti yang sudah lancang menyerang raja kerajaan ini… Menyebabkan peri Aruna itu kesakitan saat mengeluarkan telur ratunya… Aku tentunya pantas mendapatkan hukuman itu…” katanya agak menekuk wajahnya agar tetap ada jarak dari wajahku yang sangat dekat dengannya. Aku bahkan bisa merasakan hembusan nafasnya kala ia berbicara.
“Karena kau berbeda…” potongku. Keningnya berkernyit. Mulutnya bergerak mengulang kalimatku tanpa suara dan pandangan awas.
“Ya… Kau berbeda, cantik…” ulangku. “Ada ratusan peri di kerajaanku ini… Peri Aruna, peri Padma, peri Dawala, peri Candrasa dan kalian peri Asti… Semua takluk dan patuh padaku sebagai baginda raja… Ratu Lawana bahkan menambahkan ‘yang perkasa di seluruh penjuru laut’… Semua menunduk… dan menyebut dirinya sebagai hamba… Tapi kau tidak…” imbuhku dan menyentuh ujung hidungnya.
Matanya tak kurang menyipit belum paham.
“Sewaktu aku menggauli ratumu… Dua peri pengawalku… dan dua dayang-dayang itu juga bahkan ikut terangsang dan birahi… Saat itu kau kukira juga sama seperti mereka… Sama-sama birahi juga… Ternyata tidak… Bahkan tidak sama sekali… Peri-peri yang telah menghambakan diri padaku akan pasrah aja akan kuapakan… Tapi kau sepertinya menolak…” tanganku mengelus kulit lengannya yang terbuka bebas.
“Tentu saja aku menolak…”
“Dengar sendiri, kan? Semua peri disini menggunakan kata hamba saat bicara denganku… Baginda raja yang perkasa di seluruh penjuru laut kata ratumu… Tapi kau tidak… Ada sesuatu yang berbeda padamu… Aku gak tau apa itu tapi pokoknya berbeda aja… Tidak seperti hamba-hambaku yang lain…”
“Apakah baginda raja memperlakukan semua peri di kerajaan ini seperti ini?” potongnya. Dia tidak menganggap statusku sebagai raja berarti sesuatu yang sangat mulia. Ia bahkan berani memotong ucapanku.
“Seperti ini?” elusan tanganku merambat hingga mencapai pinggulnya lalu meremasnya. Daging pinggulnya yang kenyal sangat lembut. Aku harus segera membungkusnya dengan pakaian nanti agar lebih berkembang pesat. Ia menarik dan menepis tanganku. Aku makin yakin dengan anggapanku dan tantangannya semakin meningkat. Tanganku yang sudah tertepis malah berpindah dan mencengkram bongkah bokongnya dengan terlebih dahulu menarik lalu menjepit tangannya hingga terjepit kakinya sendiri yang telah juga kuhimpit. Ia terkunci tak bisa menepis tanganku yang bebas.
“Tidak… Hanya kau yang pernah kubawa kemari… Bukankah itu menyenangkan?” tawarku akan keutamaan itu. Keningnya kembali berkerut heran.
“Harusnya baginda raja marah… terhadap pembangkang sepertiku…”
“Tidak… Aku gak marah sama sekali… Kurasa kau sangat menggemaskan…” ujarku makin mendekatkan wajahku. Ia tak dapat menghindar kala kudaratkan kecupan cepat ke bibirnya. Lebih mirip patukan bebek nyosor. Matanya membelalak. Malah makin indah. “Ha ha ha hahahaha…”
Pengendali air itu buru-buru menggerakkan tubuhnya, berguling menjauh dan turun dari ranjang kerajaan megah ini, ia berhasil membebaskan tubuhnya dari dekapanku, karena sengaja kukendurkan. Di keempat tiang utamanya ada empat buah lingga bertaburkan permata warna-warni dan lebih banyak lagi di kepala ranjang yang berupa kepakan sayap burung yang kata Trayodasa, itu adalah perlambang burung Enggang sang Panglima Burung, penghuni pertama tempat ini. Jendela besar dengan pemandangan laut dan gunung berapi di kejauhan menjadi penerang utama bias sinar kamar ini.
“Dari mana asal pembangkang sepertimu ini? Kukira kau adalah abdi yang sangat setia pada ratu Lawana… Apa kau benar-benar peri Asti?” tebakku tetapi menjilati tiap lekuk tubuhnya dengan mataku yang haus. Berinteraksi dengan ratusan peri tiap waktu, tiap menit dan detik, dilayani oleh peri aku jadi lebih banyak tau tiap saatnya akan persoalan ke-peri-an. Apalagi sebagai seorang raja kerajaan Mahkota Merah membuatku dilimpahi banyak tanggung jawab begitu banyak sekarang.
“Apa maksud, baginda? Asalku? Tentu saja aku peri Asti…”
“Aroma tubuhmu berbeda dengan peri Asti lainnya… Katakanlah ratu Lawana-mu itu sangat wangi… Aroma bunga kamboja yang sangat wangi… Dua dayang-dayang itu juga beraroma yang sama walopun tidak sekuat ratu Lawana… Tapi kau tidak…” tembakku langsung. Lagi-lagi keningnya berkerut bingung.
“Aku tidak beraroma peri Asti?” ia lalu membaui lengan telanjangnya sendiri.
“Tentu ada bau kamboja itu menempel di tubuhmu… Tapi itu bukan berasal dari dalam tubuhmu sendiri… Mungkin karena bersentuhan dengan mereka…” kubiarkan kalimatku menggantung agar ia berfikir juga apa yang sedang kubicarakan. Karena sepertinya ia menyangkal ato malah tidak tau. Tentu saja ia harus menyangkal karena bentuknya aja peri Asti sekali, rambut biru muda dan tubuh seksi telanjangnya. Apalagi kemampuannya adalah pengendalian elemen air yang sangat luar biasa hebat. Ratu Lawana saja tak ada apa-apanya tanpa mustika safir biru.
Aku duduk saja santuy di atas ranjang empuk kerajaan ini sementara peri Asti pengendali air mengendus-endus bagian tubuhnya yang kukatakan tak ada aroma kamboja aslinya, hanya aroma sisa yang menempel dari peri Asti lain. Sepertinya ia mulai setuju dengan pendapatku ini karena aku nyerocos memberitahunya aroma-aroma khas dari berbagai peri berelemen yang kuketahui. Peri Aruna yang beraroma mawar, peri Padma yang beraroma nektar manis teratai merah, peri Dawala yang beraroma kayu manis dan peri Asti beraroma kamboja.
Dia tak memiliki aroma itu…
Ia berdiri kebingungan dengan kondisi dirinya sendiri di tepi ranjangku. Gemas dan geli juga lama-lama melihat peri Asti telanjang itu kebingungan dengan keadaannya yang berbeda dari rekan-rekan sesama pengabdi ratu Lawana. Ia coba mengendus lagi lengan, pergelangan tangannya bahkan ketiaknya sendiri untuk memastikannya. Tetap aroma asli tubuhnya tak ia temukan.
“Mau tau aroma apa yang bisa kubaui dari tubuhmu?” tawarku. Ia menatapku. Tatapannya persis seperti anak kucing yang bingung memasuki rumah baru sekali didatanginya. Antusias, takut, bingung dan pengen segera muntah. Matanya membulat besar.
“Naik kemari…” aku menepuk kasur empuk berisi kapuk tebal yang merupakan tempat tidur kerajaanku. Kelompok perajin bekerja sangat optimal mengerjakan ini semua. Keknya enak genjot-genjotan, kuda-kudaan di atas empuk-empuk begini. Ia ragu karena sifat membangkangnya itu menguasai egonya saat ini. Tapi keingintahuannya juga besar. Dua sifat itu pasti sedang berkelahi, setidaknya berargumen sekarang.
Kakinya bergerak satu-satu dan ia menaiki ranjang kerajaan yang lebar ini. Ia sudah naik di tepi ranjang. Masih ada jarak dari posisi yang kutepuk tadi. Aku mau dirinya ada di tempat yang kuinginkan. Tepat di depanku.
Masih ragu-ragu ia beringsut maju. Pelan-pelan dengan tatapan mata tajam dan awas memperhatikanku bak seekor elang. Aku tau kemampuannya sangat mumpuni dengan pengendalian elemen airnya. Tapi ia juga ia akan dalam kesulitan besar jikalau ia berani menyerangku. Ia ada dalam dilema sebenarnya. Pelan-pelan dan kadang sama sekali berhenti, tak terasa ia sudah ada di posisi yang kuinginkan—tepat di depanku.
“Benar mau tau aroma apa yang ada di tubuhmu?” tanyaku mengulurnya. Ia langsung mengangguk cepat. Tanganku terangkat, terulur ke arah pipinya. Ia dengan refleks memundurkan kepalanya. Berusaha menghindar tapi tanganku tak kunjung kutarik. Pelan-pelan ia memajukan kepalanya lagi. “Aku akan membisikkannya padamu… Mau?” tawarku lagi.
Klen boleh bilang ini cuma modusku. Klen boleh bilang aku buaya darat karena dua-duanya betul. Ponten seratus untuk klen semua. Tapi buktinya keingintahuan pengendali air ini yang menang dan ia memajukan lebih jauh bagian telinganya, membiarkanku untuk membisikinya informasi yang sangat ingin ia ketahui ini. Tak pernah ada yang membahas ini padanya karena tak ada yang pernah mempermasalahkannya sebelumnya. Rambutnya berwarna biru muda–cyan cerah seperti peri-peri Asti lainnya. Itu artinya ia peri Asti seperti kaumnya. Tapi aku mendapatkan fakta yang berbeda.
“Aromamu adalah… aroma bayi manusia…” bisikku sangat dekat di telingaku. Hembusan hangat nafasku pasti menggelitik indra pendengarannya, ditandai dengan bergidiknya bahu di bawah telinganya.
Matanya melotot lebar mendengar info yang baru kusampaikan padanya. Aku hanya menatapnya, menegaskan kalo itu aroma yang kubaui dari tubuhnya.
“Bayi manusia?” ulangnya pelan. Tentunya ia kaget mendengar ini. Aku juga sebenarnya bingung kenapa ia bisa beraroma bayi manusia. Lebih tepatnya campuran bedak bayi dan semacam aroma minyak kayu putih. Tentunya aku sangat hapal aroma ini karena aku pernah pagi dan sore hari rutin menggendong bayi kecilku keliling dari pangkal ke ujung gang. Hanya saja mungkin merk aroma bedak bayi dan minyak kayu putih ini berbeda dengan yang dipakaikan orang rumahku pada anak-anakku, tetapi aku sangat yakin ini aroma bayi manusia.
“Apa aku dulunya manusia?” ujarnya mengagetkan. Entah kenapa ia tiba pada kesimpulan itu. Dulunya manusia? Apa bisa begitu? Reinkarnasi gitu? Apa waktu masih bayi meninggal dan lahir kembali menjadi peri Asti? Harusnya aroma saat ia berbentuk bayi manusia itu tidak ikut ke garis kehidupannya sekarang.
“… Kurang tau juga… Tepatnya aku tidak tau masalah itu… Banyak sekali misteri yang tak terpecahkan mengenai kalian para peri berelemen ini…” kataku mencoba bijak walopun tanganku berusaha mengelus kulit lengannya yang halus. Kali ini ia tidak menepisku. Ia tekun mendengarkan apa yang kubicarakan. “Benarkah kalian semua berasal dari cermin milik dewi kahyangan?… Dari batu-batu permata ini?” tunjukku pada kumpulan batu mulia di mahkotaku. Tanganku yang satunya tetap mengelus-elus lengannya lebih naik hingga bahu.
“Mungkin seumur hidupku yang singkat inipun aku tidak akan dapat mengetahui jawabannya… Seperti juga banyak rahasia dan misteri di alam ini…” kataku terus mengelus kulit lembutnya. Tanganku sudah mencapai tengkuknya. “Sebagaimana juga bagaimana bisa ada beberapa penyimpangan warna di peri-peri lainnya… Ada yang hijau, kelabu dan mungkin warna lainnya… Itu peri Padma di dalam kawah gunung berapi itu saja sudah beda dengan peri Aruna… Padahal sama-sama berelemen api… tapi kulitnya berbeda, warna rambutnya juga berbeda…” jari-jari tanganku mulai menyisir rambut cyan bergelombangnya. Aroma bedak bayi dan minyak kayu putih itu kembali menguar dari tubuhnya.
“Seperti juga perbedaan aroma tubuhmu ini dengan peri Asti lain yang beraroma bunga kamboja itu… Tidak jelek sebenarnya… Imut bahkan… Menggemaskan sebenarnya… Di dunia luar sana ada juga wanita dewasa yang suka memakai bedak bayi apalagi kalo cuma minyak kayu putih…” kulit tengkuknya berasa meremang dengan bulu kuduknya yang berdiri karena rasa geli–mungkin nikmat juga.
“Mhh…” ia mulai mendesah kecil.
“Tidak apa kalau kau jadi pembangkang… Jadilah dirimu sendiri… Hanya saja liat-liat kondisinya… Ratumu yang kau junjung tinggi saja sudah takluk padaku… Baginda raja Mahkota Merah yang perkasa di seluruh penjuru laut… Ratu Lawana-mu mengerang-ngerang keenakan saat kusetubuhi dirinya dan kemudian menelurkan ratusan telur transparan itu… Apa kau waktu itu juga merasakannya? Hmm…” rayuku.
“Iyaa, bagiindaa…” jawabnya bergidik. “Aku juga merasakannya… tapi kutahan sekuat tenaga… Sekuat-kuatnya hingga sumpalan mulutku bisa tergigit putus…” jawabnya menggeliat geli. Tanganku merayap hingga tiba di dagunya, kujawil.
“Kau cantik sekali… Aku menjulukimu sebagai pengendali air… Kemampuanmu ini sangat luar biasa… Pada saatnya nanti… aku akan menganugrahimu nama dan juga pakaian…” kataku melepaskan semua sentuhanku padanya. Nafasnya mulai berat dan gantung.
“Benarkah, baginda?”
“Tentu saja… Aku sudah menamai semua peri Aruna awal… Calon ratu peri Candrasa itu… Tentunya kau dan juga pengawal ratu Nirada juga pantas untuk itu…” jawabku beringsut mundur menjauhinya. Tapi gestur tubuhnya seperti hendak mengejarku. Mungkin penasaran akan sentuhan-sentuhanku barusan, kenapa gak diteruskan?
“Mm…” ia bingung dan kikuk.
“Baiklah… Aku sudah selesai denganmu… Silahkan keluar…”
Ia seperti kaget karena tak menyangka akan berujung begini. Mungkin kentang. Tapi ia bukan budak ato hamba bagiku hingga aku tidak bisa semena-mena padanya. Kikuk dan grogi ia turun dari ranjang kerajaan ini, membungkuk sebentar dengan kakunya dan permisi keluar.
“Eh… Sebentar…”
“I-iya, baginda…” ia berhenti dan berbalik dan akan mendekat lagi.
“Suruh masuk Saptadasa ketua kelompok penghibur di depan sana… Sekarang gilirannya…” kataku menunjuk-nunjuk ke arah pintu yang tertutup rapat.
Dengan lemas ia menunduk lagi. “Baik, baginda…” lalu berbalik dan menuju pintu beranjak keluar dan memanggil peri Aruna yang kumaksudkan tadi. Tak lama peri ketua kelompok penghibur dengan banyak bakat kesenian itu masuk kamar dengan extravaganza-nya, baik berkat kostum dan pembawaan dirinya. Tak lupa postur tubuhnya yang bohay abis dengan sex-appeal yang kuat.
“Ada yang bisa hamba hibur, baginda raja?” tanyanya dengan riang.
“Saptadasa bisa fela…”
Bersambung