Part #90 : Istana Mahkota Merah

Semua perkembangan berkesinambungan bertautan dari satu tahap ke tahap berikutnya.

Istana Mahkota Merah telah rampung pembangunannya, tetapi yang namanya membangun itu tidak ada henti-hentinya karena setelah selesai-pun, kelompok pembangun terus menambahkan ruangan-ruangan baru untuk peri-peri baru di masa mendatang. Sehingga bagian belakang istana semakain panjang dan lebar saja dengan bangunan baru berisi kamar-kamar beserta infrastruktur pendukungnya. Begitu juga dengan ruangan kamar bagi peri Candrasa yang posisinya di bawah tanah, di bawah halaman istana. Ruang luas buat peri yang betah di kegelapan itu terhubung langsung dengan dungeon, ruang sel dan interogasi yang memang ada di bawah tanah. Hingga aku bisa dengan mudah meninjau ke kegelapan tempat itu dari dalam istana saja.

Begitu juga dengan telur-telur peri Aruna dan peri Asti yang jumlahnya kalo digabung, akan sangat banyak sekali jumlahnya. Telur milik Dwi sejumlah 122 butir plus 387 butir telur ratu Lawana sudah menjadi 509 butir. Dan itu semua menetas hampir bersamaan waktunya. Kesibukan luar biasa terjadi di kerajaanku karena kelahiran lima ratusan peri baru yang makin menyemarakkan kerajaan Mahkota Merah. Para peri muda yang sedang berlatih dilibatkan untuk membantu membawa peri yang baru lahir ini ke ruangan agar lebih nyaman.

Saat peri Asti itu keluar dari cangkang telurnya, terjadi ombak besar akibat gelombang yang dihasilkannya. Pecahnya hampir bersamaan hampir empat ratus telur peri Asti hanya bisa kuperhatikan dari bibir pantai yang bergolak. Air laut pecah ke garis pantai berdebur-debur karenanya. Kesibukan yang luar biasa heboh. Memapah 122 peri Aruna muda dari kaki gunung cukup merepotkan ditambah lagi menjemput 387 peri Asti muda dari tengah laut lebih merepotkan lagi.

Tetapi tidak dengan 6 butir telur berukuran besar milik Eka. Telur-telur yang dari awal sudah berukuran besar itu belum kunjung menetas. Padahal telur peri Aruna yang sudah menetas sudah mencapai ukuran awal telur calon ratu itu, sebesar bola basket. Sekarang telur calon ratu itu jauh lebih besar lagi sekarang, dengan diameter 50 sentimeter kurang lebih. Lima telur lainnya sedikit lebih kecil tetapi masih tetap lebih besar dari telur peri Aruna biasa. Keenam telur itu tetap bertengger di puncak gunung berapi dan dijaga Eka bersama para peri Padma juga.

“Segera pelatihan peri Aruna dan peri Asti muda yang baru lahir akan dimulai lagi… Dengan begini kekuatan kita sudah dapat mengimbangi musuh… Pada saatnya tiba… kira-kira telur-telur ini akankah siap?” tanyaku.

“Beribu ampun, baginda raja… Jikalau nanti waktunya tiba kita berangkat ke pertempuran telur-telur hamba ini tak kunjung menetas… hamba mohon izin tidak ikut serta, baginda… Sebagaimana baginda juga ketahui kalau ini adalah insting kami… Insting bertahan hidup kami… Insting ingin memastikan kalo kami bisa selamat dengan cara ini… Perlindungan tanpa henti…” katanya menunduk. Rambut panjangnya berkibar-kibar oleh hembusan angin yang lebih kencang di ketinggian puncak gunung ini.

Kami tengah memandangi keenam butir telur yang diletakkan di bibir pinggiran kawah untuk meresapkan panas gunung yang luar biasa. Magma cair di dalam kawah menggelegak dengan gelembung yang terkadang pecah, mengirimkan asap tebal hingga membumbung tinggi ke langit terang. Asap ini sekarang berhembus menjauh dari arah laut. Apa tidak ada cara untuk mempercepat menetasnya telur-telur besar ini, ya? Para peri Padma masih bercengkrama di dalam panasnya kawah, berenang-renang dengan riangnya seolah itu adalah kolam yang sejuk nyaman aja.

“Ddrrrtt…” terasa getaran. Tidak terlalu kuat. Ini sebenarnya wajar saja karena lesakan magma cair yang mendesak keluar dari dasar gunung berapi. Dengan begitu tinggi gunung ini terus bertambah dengan mengerasnya magma lama menciptakan lapisan baru di atasnya. Tetapi getaran itu berakibat lain pada telur-telur itu yang didudukkan bersender pada bebatuan di tepi kawah. Oleng…

Tanggap Eka melesat menyelamatkan satu telur yang bergerak berguling dari posisi awalnya. Diperbaikinya posisi telur itu dengan mengganjalnya dengan serpihan batu agar tak bergerak lagi. Lalu ia berpindah ke telur lainnya yang berjarak dua meteran dari telur pertama, diganjalnya juga. Terjadi getaran lain. Kali ini lebih kuat dari yang tadi.

“Wingsati!” seruku memperingatkan peri Padma yang ada di dalam kawah untuk tanggap. Eka tak sempat mengurus satu telur yang menggelinding jatuh ke dalam kawah. Dengan sigap peri Padma indukan itu menangkap telur yang jatuh ke dalam kawah sebelum nyemplung ke dalam magma cair yang menggelegak. Eka bisa bernafas lega melihat telur yang tak sempat ia selamatkan itu berhasil ditangkap Wingsati yang bersama tiga peri Padma lainnya, bermain sekaligus berjaga di dalam kawah.

Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Entah kenapa gunung berapi ini sering berulah saat ini dengan bergetar terus secara periodik. Getarannya semakin kuat hingga ganjalan batu yang dilakukan Eka pada telur-telur itu bergeser, menyebabkan tiga buah telur sekaligus menggelinding jatuh ke dalam kawah. Eka hanya bisa memegangi dua buah telur dengan tangannya. Salah satunya adalah telur terbesar—telur calon ratu peri Aruna itu. Keturunan Wingsati yang jadi penyelamat kali ini. Sigap ketiganya menangkap telur-telur itu dan nyemplung ke dalam kolam kawah magma cair.

Jadi, para peri Padma ini sangat berjasa bantuannya kali ini. Mereka menjunjung telur-telur itu di atas kepalanya dan mulai mengepakkan sayap untuk keluar dari kolam magma untuk mengembalikannya ke posisi awal.

“E-eh?” kaget Wingsati yang mulai mengudara membawa satu telur di atas kepalanya. Sayapnya mengepak-ngepak cepat seperti kesulitan untuk menambah ketinggiannya. Ia berusaha keras. Ia tak sendiri, ketiga peri Padma muda itu juga mengalami kesulitan yang sama. Terutama yang memegang telur calon ratu peri Aruna itu. Mereka tak lagi menjunjung telur-telur itu di atas kepala, melainkan mendekapnya di bagian bawah perut, seakan mengangkat beban yang sangat berat.

“Wingsati?? Kenapa?!” seruku mendekat sampe di bibir kawah. Eka juga sangat khawatir tetapi ia tak dapat melepaskan dua telur di tangannya.

“Ini sangat berat, baginda… Uhh… Tiba-tiba menjadi sangat berat…” seru Wingsati berteriak karena harus melawan suara deru hembusan uap gas yang menjadi asap di sekelilingnya. Sayap mereka mengepak lebih cepat untuk menambahkan daya angkat untuk melawan sensasi berat tiba-tiba itu.

“Bagindaaa… Yang ini juga menjadi berat dan demikian kerasss… Sepertinya telur-telur ini tertarik untuk memasuki kawah… Mmhh…” seru Eka memberitahuku hal yang serupa. Dua telur yang ditahannya seperti bergerak hendak menceburkan bentuk bundar bolanya ke dalam panas magma cair menggelegak di bawah sana.

Aku jadi bingung tentunya. Apa yang sedang terjadi sebenarnya?

“Apa jadinya kalo telur-telur ini masuk ke magma? Apa bahaya?” seruku gak tau harus mikir apa.

“Tidak tahu, bagindaaa! Hamba tidak tauuu!” jawabnya berusaha keras. Ia memeluk kedua telur itu dengan lengannya agar tak menggelinding masuk kawah tetapi sepertinya telur-telur yang terlihat lemah dan rapuh itu punya kekuatan yang sangat luar biasa kuat. Aku mencoba mendekat untuk membantu Eka. Insting manusia mengatakan kalo api panas itu berbahaya dan itu yang menggerakkanku.

“Aah…” kaget Eka. Karena seperti punya keinginan sendiri, kedua telur yang dipegangnya melompat dari dekapan tangannya dan jatuh ke dalam kawah, sebelum aku sempat ikut membantu. Aku langsung cepat beralih ke keempat peri Padma yang juga sedang berusaha menyelamatkan telur bagian mereka. Idem—sama.

Peri muda yang memegang telur calon ratu itu bahkan tercebur keras ke dalam kolam magma, menyebabkan cipratan besar. Keempat telur itu jatuh ke dalam kolam magma cair menggelegak. Mulutku menganga tak percaya. Eka menatap tak percaya juga, sama menganga kaget denganku. Wingsati dan ketiga peri Padma muda itu menyelam ke dasar kawah dan tak terlihat untuk beberapa lama.

Seberapa dalam kolam kawah magma ini?

Berturut-turut keempat peri Padma itu muncul keluar dan Wingsati yang terakhir. “Ghuuaahh…” ia membuang nafas. Uap tipis mengepul dari sekujur tubuh telanjang mereka. “Telur-telur itu tidak bisa diangkat dari dasar… Sangat berat…” kata Wingsati menjelaskan kondisi di dasar kawah yang mereka diami.

“Tapi mereka tidak apa-apa? Tidak pecah… meleleh?” tanya khawatir Eka.

Keempat peri Padma itu berpandang-pandangan. Kimak! Abis telur punya Eka larut di dalam sana.

“Tidak apa-apa… Keenam telur itu baik-baik saja di dasar sana… Sepertinya mereka bahkan lebih kuat dari telur peri Padma…” jawab Wingsati yang langsung membuat Eka dan aku lega. Lebih kuat dari telur peri Padma? Telur peri Padma hanya mengapung di permukaan magma cair dan keenam telur ini malah berendam di dasar kawah.

“Mereka luar biasa…” desis Eka berubah menjadi kagum setelah tadi sempat khawatir. Walopun begitu, kami tak bisa menyaksikan secara visual kondisi keenam telur-telur itu karena pekatnya magma cair ini diperparah dengan asap tebal mengepul. Beberapa kali getaran-getaran terjadi lagi dan akhirnya berhenti sama sekali.

Karena tak ada yang bisa dilakukannya lagi, Eka ikut denganku pulang ke kerajaan. Dwi dan Tri tentunya akan sangat butuh tenaganya untuk melatih para peri Aruna muda yang baru netas. Dan benar saja, setengah perjalanan kami bertemu rombongan peri Aruna yang sedang berlari-lari kecil, menerima gemblengan. Eka langsung bergabung begitu saja di latihan fisik itu. Mereka jogging berkeliling.

Kimbek-kimbek… Udah sempat senam jantung aku tadi ngeliat keajaiban enam telur itu. Peri Aruna macam apa yang akan lahir dari telur ajaib itu? Keluar dari tubuh Eka aja udah ngerepotin, tambah lagi aksi barusan yang lumayan heboh. Abis sport jantung begini yang paling enak… ngadem. Terik matahari hitam di atas sana membuat kerajaan di daerah kekuasaanku ini jadi panas. Aku jadi pengen cepat-cepat sampe ke daerah hutan yang diteduhi rimbunnya pepohonan dimana rumah pohonku menunggu. Pasti segar sekali berteduh di sana, ditingkahi angin sepoi-sepoi.

Di perjalanan kembali ke istana dari gunung berapi, aku bertemu dengan ratusan peri Asti yang juga sedang latihan fisik. Mereka dibagi menjadi empat bagian yang mengisi tanah lapang luas ini. Sang pengendali air itu yang memimpin latihan fisik ini. Ia berdiri paling depan yang gerakannya diikuti semua para peri Asti muda berambut cyan itu. Pemandangan indah saat mereka sedang melakukan lari di tempat yang membuat guncangan-guncangan di dada mengkal bergantungan itu. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala melihat keindahan dalam jumlah bilangan besar itu.

Mendekati istana dan hutan, aku melihat para peri Dawala sedang melakukan pemanasan. Sepertinya mereka akan melatih fisik mereka dengan berenang. Karena para peri muda Dawala itu belum memiliki pakaian, mereka tentunya akan berenang telanjang saja. Hanya bagian rambut panjang mereka saja yang diikat ekor kuda untuk kepraktisan gerakan. Ratu Nirada berdua bersama pengawalnya yang memimpin para peri muda ini latihan juga tak berpakaian. Luar biasa melihat ratusan peri itu menceburkan diri ke air laut setelah sebelumnya berlari bersamaan mencapai pantai.

——————————————————————–
Puas tidur, aku kini menyambangi kelompok perajin. Mereka sangat sibuk saat ini dengan banyaknya deadline yang harus disiapkan. Berupa…

“Sudah siap berapa?” tanyaku.

“Dengan yang ini… masih 93 bilah, baginda…” jawab Trayodasa yang memberikan sentuhan akhir dengan polesan yang sekaligus semakin menajamkan sisi tajam pedang yang sedang dikerjakannya. “Pedang ini milik peri Dawala… Nanti tambahan untuk peri Aruna baru akan dilakukan setelah ini semua selesai, baginda… Lalu kemudian senjata buat peri Asti…” jawabnya rinci.

Ruangan ini bising oleh suara peralatan mereka. Dentang-denting logam beradu, desis logam panas dicelupkan ke air, suara besi diasah berisik. Apalagi semburan api panas yang khusus dikerjakan oleh Pancadasa. Jilatan api panas kebiruan memancar deras dari telapak tangannya ke arah onggokan bijih besi yang ditampung pada wadah. Mulut Pancadasa sampe monyong-monyong mengeluarkan api panas itu dari mulutnya. Berkat dirinya, suhu tempat yang lumayan luas ini cukup gerah jadinya.

Di saat aku melihat-lihat perbedaan pedang milik peri Aruna dan Dawala, ada personil baru masuk. Dia adalah Sas dari kelompok pembangun. Peri Aruna bertubuh kuat dan besar itu memikul sebuah buntalan berat di bahunya. Ia lalu menjatuhkan bawaan berat itu di lantai dekat Pancadasa bekerja setelah terlebih dahulu menunduk hormat dan menyapaku. Ternyata ia membawa bijih besi baru. Katanya, kelompok pemburu yang menemukan lokasi penambangan bijih besi ini saat berpatroli berkeliling kerajaan. Ada tambang bijih besi ternyata di sini.

Sas yang banyak berkontribusi dalam melakukan penggalian pondasi, mengeluarkan bahan-bahan batu dari dalam tanah, membuat gua bawah tanah untuk peri Candrasa dengan kekuatan besar fisiknya. Ia lalu membantu membersihkan bijih-bijih besi mentah ini di dalam wadah berisi air untuk memisahkan logam dan kotoran yang menempel lalu ia sendiri yang membakar bijih-bijih besi itu untuk mendapatkan logam yang lebih murni. Api miliknya yang memancar dari bagian tinjunya memang tidak sepanas milih Pancadasa, tapi cukup memadai.

“Apa yang kau pisah-pisahkan itu, Sas?” tanyaku saat peri Aruna ahli penggali itu melemparkan bongkahan besar kecil yang tak mempan dibakar ke wadah lain.

“Batu-batu mulia, baginda… Tidak seperti permata peri tetapi batu itu indah dan cocok sebagai hiasan…” katanya mengambil sebongkah batu yang masih berbentuk kasar. Berwarna putih kekuningan, mirip seperti bongkahan gula batu dengan guratan batu karang masih menempel di pangkalnya.

“Alamak! Ini berlian…” gumamku menyambar benda itu. Kuamati lekat-lekat. Tentu mereka tak begitu perduli betapa berharganya benda ini di dunia manusia. Mereka hanya tahu ini batu mulia yang bagus untuk dijadikan hiasan. Seperti yang sudah dipakai untuk menghiasai tahta dan ranjang kerajaanku. Ternyata berasal dari tambang ini juga. Waah… Gilak-yaaaa…

Kenapa ada berlian di daerah kekuasaanku? Bukannya ini daerah supranatural yang merupakan representasi tubuh serta aliran lini-ku? Berarti berlian-berlian ini tidak nyata adanya. Hanya berlaku di sini saja dan tak bisa dibawa keluar. Hampir aja aku kegirangan jadi miliuner karena menemukan potensi yang luar biasa ini. Sekali waktu aku harus mengunjungi tambang itu. Jangan-jangan batu-batu mulia ini adalah deposit mineral di dalam tubuhku sendiri. Bisa keropos bodiku nanti digerogoti terus menerus.

Pasti itu…

Misalnya bijih besi ini. Bisa jadi ini adalah kandungan zat besi ato Ferrum (Fe) di dalam darahku. Bisa-bisa aku kena anemia karena zat besiku terus-menerus ditambang secara semena-mena begini. Weit e minit… Jadi itu jawabannya kenapa peri-peri muda ini terhambat tumbuh kembangnya karena kekurangan ini. Karena elemen-elemen yang mereka konsumsi ini secara langsung tidak asli karena harus melalui tubuhku terlebih dahulu. Secara kasat mata memang cukup secara elemen; panas, cahaya dan air, tetapi karena mereka juga berasal dari bibit organik-ku, ada jejak DNA manusia-ku di jaringan mereka, menyebabkan mereka butuh asupan organik juga. Dan karena itu menemukan peri Wanadri berambut hijau itu begitu krusial demi kelangsungan hidup mereka.

Tidak semudah itu ternyata semua kenyamanan ini.

“Sas… Apa pendapatmu tentang tambang itu?” tanyaku membawanya keluar dari workshop kelompok perajin ini. Aku mengajaknya mengunjungi tambang yang dimaksudnya. Letaknya kata Sas lumayan jauh.

Sas

“Tentang tambang itu?” ia berpikir sejenak sembari jalan bersamaku sambil memikul peralatan bertukangnya. Ada berbagai jenis palu, linggis, pasak, pahat dan macam-macam lainnya. “Tambangnya masih darurat, baginda… Hanya lubang kecil yang cukup untuk hamba masuki saja… Di dalamnya sudah agak melebar dengan banyak lorong-lorong untuk hasil batu yang berbeda… Yang paling melimpah tentu saja adalah bijih besi, baginda…”

“Jadi gini, Sas… Apa ada kemungkinan untukmu menggali di lokasi tambang baru?” tanyaku.

“Lokasi baru? Hamba tidak ahli menemukan lokasi seperti itu, baginda… Mungkin lebih tepatnya baginda memerintahkannya pada kelompok pemburu… Sepertinya lokasi tambang ini… Ekadasa yang menemukannya saat sedang berpatroli sendiri…” jelasnya sambil terus berjalan bersama-sama denganku. Kami sudah cukup jauh meninggalkan area belakang hutan.

“Apa yang kau ketahui tentang lokasi kerajaan kita ini, Sas?” tanyaku.

“Lokasi kerajaan kita ini, baginda? Sepengetahuan hamba… tempat ini adalah daerah kekuasaan pribadi milik baginda raja sebagai seorang Menggala… Karena itu kami semua aman di dalam sini dari gangguan musuh…” jawabnya pelan-pelan.

“Tepat sekali, Sas… Baginda rajamu ini seorang Menggala dan ini semua ada di dalam daerah kekuasaanku… Tempat ini ghaib dan ini sangat tepat bagi kalian para peri yang juga ghaib…” kataku kemudian. “Tetapi walaupun ghaib… tempat ini sebenarnya masih sangat dekat denganku… Karena lokasi asli daerah kekuasaan para Menggala itu berbeda-beda… Ada yang yakin kalau tempatnya di fikiran… di dalam otak… Ada yang bilang di aliran lini miliknya… Ada juga yang percaya berada di angan-angan yang selalu dekat dengan pemiliknya…”

“Tapi lihat hutan di belakang kita… yang sudah kita tinggalkan… Pohon-pohon yang tumbuh di sana adalah tanaman yang pernah kugunakan sebagai senjata… Setelah dipakai, tanamannya akan langsung tumbuh di sini… Itu artinya… daerah kekuasaanku ini ada di dalam tubuhku, bukan? Karena pengalaman yang terjadi pada tubuhku di luar sana… hadir disini…” paparku terus agar ia paham apa yang ingin kubicarakan. “Ada kemungkinan tambang yang selalu kau eksploitasi itu adalah isi dari bagian tubuhku, Sas…”

“Bijih besi dan batu-batu itu adalah bagian tubuh baginda raja?!” kaget Sas.

“Itu masih kemungkinan, Sas… Untuk itulah kita ke tambang sekarang ini… untuk memastikannya…”

Untuk beberapa lama, kami hanya terdiam walo terus melangkah. Tanah keras melulu datar sedikit berpasir adalah yang melulu kami injak. Kehijauan hutan sudah lama kami tinggalkan di belakang sana. Menara istana masih terlihat menjulang di sana. Lengkung bumi yang biasanya menjadi bentuk lanskap dunia tidak berlaku di sini. Para pendukung bumi datar pasti akan semakin yakin kalo planet yang kita tinggali ini adalah bentuk datar yang mengapung di semesta, sampe ke ujung akan terjatuh di pinggirnya. Tapi ini bukan bumi, tiruan mungkin.

“… Apakah akan lebih baik kalo hamba mulai menambang di luar saja, baginda?” cetus Sas memecah kebuntuan komunikasi kami.

“Tetapi keamananmu tidak terjamin, Sas…” jawabku langsung ke masalah utamanya. “Musuh saat ini sedang mengincar peri-peri sepertimu untuk tujuan perang mereka… Aku tak bisa membiarkanmu dalam bahaya seperti itu…”

“Kami biasa hidup dalam bahaya, baginda… Tapi… baginda raja sangat berbeda dengan pemimpin-pemimpin kami sebelumnya…”

“Dan kenapa itu?” tanyaku ikut berhenti karena ia mandeg sebentar, berdiri di tempat.

“Pemimpin-pemimpin kami sebelumnya tak pernah perduli akan keselamatan kami… Egois bahkan… Tapi kami tak pernah bisa membangkang… Kami selalu patuh… Istana kerajaan peri Aruna selalu berpindah-pindah… Dalam sejarah… istana pertama peri Aruna ada di kaki gunung… Tempat yang sangat aman dan nyaman bagi kami peri Aruna… Setelah beberapa generasi kepemimpinan, muncul ratu baru yang tak suka atau bosan dengan kaki gunung itu dan memutuskan pindah… Masih tetap bertema gunung tetapi bukan gunung berapi aktif hingga rentan diserang… Ratu baru itu gugur dengan cepat di sana dan para peri Aruna kelabakan… tanpa pemimpin…” ia menatapku. “Baginda raja tau kelanjutannya…”

“Ya…” aku melangkah lagi dan ia mengikutiku. “Mulai dari itu… pemimpin peri Aruna selalunya bukan lagi dari kalangan peri Aruna sendiri… tetapi siapapun yang bisa mendapatkan mahkota merah ini…” ujarku sesuai dengan hikayat tercantum di lagu ‘Memori Musim Panas Seribu Tahun’ itu. “Selama itu pula jumlah kalian terus berkurang dan jarang bertambah…”

“Lonjakan terbesar populasi peri Aruna ada di kepemimpinan baginda raja… Dari perbincangan kami para peri Aruna yang telah baginda raja beri nama dan pakaian… kami sangat senang dan bangga bisa bertahan hidup sampai saat ini… Kami yakin kerajaan Mahkota Merah akan berjaya di tangan baginda raja… Mencapai kegemilangannya seperti dahulu lagi…”

“Semoga saja ya, Sas…”

“Sebelum aku… Apakah ada pemimpin laki-laki juga sepertiku, Sas?” tanyaku lebih pada penasaran. Siapa tau kalo ada, dia juga sama sange-nya seperti diriku melihat keseksian mereka ini.

“Pernah beberapa kali, baginda… Tapi raja-raja itu lebih menganggap kami sebagai budak hina, baginda…” katanya menunduk dalam dengan gelisah. Mungkin ia teringat pengalaman yang menyakitkan. “Berbeda dengan baginda sekarang…”

“Apakah mereka menyiksa kalian? Melecehkan kalian?” aku malah memikirkan yang tidak-tidak. Aku malah membayangkan raja-raja itu memperkosa peri-peri cantik ini untuk melampiaskan birahinya walo mereka tidak dalam masa birahi matangnya telur.

“Ada yang demikian, baginda raja…” jawabnya jujur. Aku jadi geram juga jadinya. “Ada juga yang menjadikan kami sebagai alat tukar ke pihak lain…”

“Alat tukar?” kagetku. Udah kek barang? Apa semacam barter?

“Bahkan ratu Fatima juga melakukan hal yang sama… Ia menyerahkan 12 peri Aruna pada pihak lain sebagai tanda kerjasama…”

“12 peri Aruna ke pihak lain? Sinting!” umpatku. Bukannya memperbanyak jumlah warganya, si Fatima bondon itu malah menyerahkan 12 warganya ke pihak lain. “Apakah pihak lain itu… si Lord Purgatory?” tebakku. Sas mengangguk. Makin geram aku sama si Fatima itu. Mungkin setelah itu dia mendapatkan nama Fatima yang disandangnya. Untung aku sudah membasmi si kuntilanak hitam pukimak itu. Ada banyak hal yang kami bicarakan. Sas lebih jujur dan terbuka dari Eka di hal yang berbeda karena dari anggota kelompok pembangun ini aku banyak tau sisi-sisi mendalam lain tentang sejarah kerajaan ini.

Ia santuy aja cerita bagaimana peri-peri yang urutannya ada jauh di atas Eka disetubuhi para raja-raja itu tanpa menghasilkan telur. Raja-raja pekok itu tak memikirkan seharusnya ia bisa menambah jumlah warganya sejalan dengan nafsunya. Sambil menyelam buang pejuh gitu. Untung segera mampus raja-raja gak ada ahlak itu kenak suksesi kepemimpinan berikutnya. Aku mendapat kesan kalo raja-raja itu hanya sepintas lalu saja memimpin kerajaan ini. Hanya sekedar dan lebih bersenang-senang semata saja. Tak ada keterikatan bathin dan tanggung jawab sama sekali.

Aku harus rajin-rajin kuliah manajemen-nih ceritanya kalo begini karena aku harus memimpin kerajaan yang sudah mis-manejemen ini. Banyak hal yang harus dibenahi dan diperbaiki. Ish… Banyak kali pun kalo dipikir-pikir. Bagaimana memberi makan ratusan peri muda ini, tempat tinggal mereka, kesejahteraan mereka, keselamatan mereka. Bukan hanya peri Aruna, berikut peri Padma, peri Dawala, peri Asti dan nantinya peri Candrasa juga. Mungkin nanti warga kerajaan ini akan tembus 1000 penduduk, yang terdiri dari campuran berbagai jenis peri elemen.

Singkat cerita kami sudah sampe di tambang itu. Hanya berupa lubang di tanah yang ditandai dengan sebuah gagang kayu bekas cangkul yang sudah patah. Benar saja, lubang ini sempit karena hanya bisa dilalui satu tubuh saja yang bergantian masuk. Tubuh besar Sas dengan mudah masuk menyelinap. Gelap lubang ini segera diterangi oleh rambut merah Sas yang menyala berpendar, digunakan sebagai alat penerang. Sangat praktis ternyata. Aku tak mau kalah dan menciptakan sebuah bola api sebagai penerangan pribadiku yang kugunakan untuk menerangi langkahku ato memeriksa permukaan dinding lorong.

Benar saja, di sepanjang lorong ada banyak gurat bijih besi di dinding. Lorong panjang ini sudah seperti urat nadi yang banyak mengandung zat besi yang dengan mudah ditambang untuk mengambil kandungan besi di dalamnya. Mengingat itu, badanku terasa ngilu sendiri. Sas juga menunjukkan gurat-gurat batu mulia di beberapa lorong lainnya. Berlian putih kekuningan itu banyak di sana. Kadang ada juga yang berwarna hijau kehitaman juga. Entah zat apa itu kalo ini benar di dalam tubuhku.

“Ini bagian lorong yang terakhir yang baru hamba temukan, baginda… Mungkin baginda raja berkenan melihatnya…” kata Sas menunjukkan satu lorong baru yang terlihat fresh guratan bijih besinya. Kami harus bersusah payah memasuki lorong sempit ini dan kemudian tiba di semacam cerukan agak lebar dengan satu permukaan dinding kemerahan yang sangat besar. Tetapi aku merasa ngeri saat melihat bentuk kemerahan ini…

“Sas… Apa kau tau apa yang kupikirkan?” tanyaku mencoba menyentuh dinding batu berwarna kemerahan ini. Ini bukan tipe batu rubi atopun jenis batu lainnya yang berwarna merah. Sas menggeleng tak mengerti. Saat menyentuh dinding itu dengan telapak tangan kananku, aku meletakkan tangan kiriku di dadaku sendiri. “Detaknya sama…”

Mulutnya sedikit terbuka tak percaya.

“Maksudnya ini adalah jantung baginda raja?” kagetnya sendiri akan apa yang ditangkapnya. Aku hanya bisa mengangguk dengan tangan tetap menempel. Memastikan kalo kesimpulan ini benar. Tetapi, aku memang merasakan detakan yang sama dari dinding batu kemerahan ini dengan detak jantung milikku. Ternyata daerah kekuasanku ini memang benar-benar tubuhku sendiri. Dan kami berdua sedang berada di daerah vitalku—jantung.

“Hamba akan segera menutup tambang ini, baginda… Ini sangat berbahaya…” putusnya dengan wajah takut.

“Ya… ya… Itu yang terbaik…”

——————————————————————–
“Terima kasih atas sumpahmu, Sas… Hanya kau yang tau rahasiaku ini… Terima kasih atas baktimu…” ujarku setelah kami menutup lubang masuk ke dalam tambang itu bersama-sama dan menutup semua keberadaan jejaknya hingga samar sama sekali dengan sekitar.

“Itu sudah jadi kewajiban hamba, baginda raja…” jawabnya menunduk takzim. Ia bersumpah untuk menjaga rahasia kelemahan fatalku ini dan tak akan memberitahunya kepada siapapun atas alasan apapun walo nyawa menjadi harganya. Ia sadar betul walo semua peri yang ada di kerajaan Mahkota Merah menghambakan diri dan menganggapku sebagai raja yang kedudukannya tertinggi, tetapi siapa tau akan ada agenda-agenda tertentu entah oleh siapa dan pihak mana. Apalagi dengan semakin beragamnya jenis peri yang mendiami tempat ini.

Segala kemungkinan harus diminimalisir.

“Hamba harus segera menemukan sumber bijih besi baru untuk bahan baku senjata, baginda… Untuk saat ini… bijih besi hanya cukup untuk membuat sekitar 50-an bilah pedang saja…” katanya. “Dan hamba harus menemukannya di luar kerajaan…”

Aku tak bisa langsung berpikir jernih saat ini. Aku masih sangat khawatir. Semoga saja Sas tak menangkap pikiran jelekku tadi. Aku sempat mempertimbangkan untuk melenyapkan Sas untuk membungkamnya. Tapi itu sangat tidak adil dan aku cepat-cepat membuang opsi kejam itu. Aku bukan raja yang otoriter dan aku bukan pribadi yang sekejam itu. Lagipula ini semua tidak disengaja.

“Fiuhh… Aku cukup kaget tadi, Sas… Berarti bijih-bijih besi itu adalah kandungan zat besi di dalam tubuhku sendiri… Untung kita berdua segera menemukan masalah ini… Kalo enggak… bisa-bisa jasadku keropos di luar sana…” aku menyuarakan kegelisahanku. Agak mendingan sekarang setelah curcol begini. “Benar… kau harus menemukannya di luar kerajaan… Kita tak bisa membuat tambang lagi di dalam kerajaan… Berbeda dengan mengambil bebatuan yang digunakan untuk membangun istana karena tidak perlu diolah sedemikian rupa… Hanya perlu dibentuk saja dan tempatnya tetap ada di dalam kerajaan…” simpulku.

Sas hanya menatapku, seolah ingin bertanya, ‘beneran gak apa-apa, baginda?’

“Kalo ingin diselidik lebih jauh… batu-batu kapur bahan pembangun istana berasal dari tulang-belulangku…” aku mengakui ini walo terasa ngilu gimana gitu saat mengatakannya. Bayangkan aja, batu-batu berukuran besar itu dikeluarkan, dipotong-potong dan dibentuk sesuai ukuran untuk membentuk istana yang kini berdiri megah. Berapa persen total tulangku yang sudah dipergunakan untuk proyek pembangunan itu? Setidaknya zat kalsium dan kalium yang digunakan…

“Bagaimana kalo hamba ke lokasi istana awal Mahkota Merah… Kabarnya ada banyak bahan tambang yang bisa didapatkan di sana, baginda…” usul Sas yang terdengar sangat brilian untukku. Aku buru-buru dan kelepasan mencium pipinya kanan kiri berulang-ulang. Berterimakasih akan ke-brilian-an usulnya yang cemerlang. Mungkin bodoh, tapi kami cuma berdua saat ini dan aku gak menyesalinya.

“Muah-muah-muah…” aku menatap wajah kokohnya yang masih kupegangi. Ia dengan kikuk menatapku balik dengan malu-malu dan pipi memerah. “Itu sangat cerdas, Sas… Aku gak bisa mengekspresikan bagaimana senangnya mendengar hal itu… Itu luar biasa…” malah gemas dan kupeluk tubuh padatnya yang bahkan lebih besar dari tubuhku sendiri. Makin merah pipinya karena sungkan juga kagok. “Sori-sori… Kelepasan, ya… He he hehehe…” aku malah malu sendiri.

“Hamba akan segera ke sana, baginda…” ia mengucapkan ini sambil menunduk untuk menyamarkan detak jantung dan wajah memerahnya.

“Apakah kau butuh bantuan? Teman ato apapun?” tawarku.

“Sepertinya cukup hamba sendiri, baginda… Gunung berapi ini sudah lama mati dan tak ada yang menempati… Jadi aman untuk hamba sendiri aja… Lagipula tidak baik kalau baginda… tidak jadi, baginda…” ia berhenti dan makin menunduk dalam.

“He-hei? Tadi mau ngomong apa? Kau mau aku yang menemanimu?”

“Hamba tidak berani, baginda… Tidak baik-tidak baik…” makin menunduk ia. Gak pantes kali tubuh sebesar ini bersikap imut begini. Aslinya tubuh Sas gak berkembang pesat begini sebelum mendapatkan pakaian dariku waktu itu. Seiring waktu dan pekerjaan kerasnya menjadikan tubuhnya sedemikian bulky begini. Seperti binaragawati yang rajin bulking whey protein untuk meningkatkan masa otot.

“Ayolah… Aku tau kau itu selalu jujur Sas… Bicara saja…” aku memintanya untuk speak up dan mengutarakan pikirannya.

“Tidak baik kalau baginda ikut pekerjaan kasar seperti yang hamba kerjakan ini, baginda…” ia melanjutkan kalimatnya yang terpotong tadi.

“Tapi kau berharap aku ikut, kan? Apa kira-kira yang ingin kau lakukan kalo hanya berdua denganku?” desakku. “Hmm?” desakku lagi. Ia makin salah tingkah.

“Tidak berani, baginda… Tidak berani…” ucapnya berulang dengan malu-malu yang anehnya imut.

“Sepertinya kita harus menghabiskan waktu berdua aja, nih…” kataku mendapat ide. Ini sekaligus memberiku kesempatan untuk mengetahui lokasi istana Mahkota Merah pertama yang sudah ditinggalkan sejak lama. Mungkin beratus-ratus bahkan ribuan tahun lamanya. Kugandeng tangannya dengan mimik bingung setengah idop. Lucu juga dia…

“Ba-baginda rajaaa…” cicitnya bingung. Tangannya yang besar gempal memang tak sebanding denganku. Sekali tempeleng pasti aku bisa kebanting dengan mudah, tapi tak dilakukannya itu. Gandengan tanganku makin erat hingga aku sekilas dapat merasakan empuk daging bagian dadanya. Aku pasti udah pasti kek oom-oom genit saat ini.

“Sekarang bawa aku ke sana…” perintahku gak menunggu ia mulai protes walo ia gak bakalan juga.

“Baik, baginda…” jawabnya lemas dan kami keluar dari daerah kekuasaanku ini dan tiba di suatu alam asing yang tak kutau ada dimana. Pohon-pohon tinggi kering meranggas adalah pemandangan jamak. Langitnya kelabu dengan awan putih tipis yang berarak cepat seperti berlomba-lomba menjauh dari tempat ini. “Kita harus berjalan ke arah barat-daya dari sini, baginda…” katanya masih menunduk karena aku tak kunjung melepas tangannya. Tangannya yang satu masih memikul semua peralatannya. Itu semua pasti berat dan aku akan kecapekan membantunya.

Tempat ini masihlah alam ghaib. Aku bisa merasakan aura mistisnya yang kental. Hampir mirip saat aku bersama dua peri Aruna pemandu menuju kerajaan Laut Biru yang ada di tengah Selat Malaka. Aku sama sekali tidak mengenali tempat ini. Kilatan-kilatan cahaya terlihat silih berganti berkali-kali. Sepertinya itu hanya kelebatan beberapa mahluk astral yang sama sekali tak ingin menganggu, hanya sekedar lewat. Mahluk astral rendahan pastinya karena aura milik Sas bahkan milikku telah mengintimidasi mereka semua.

“Dimana posisi gunung berapi purba ini? Setauku… di dekat-dekat sini hanya ada beberapa gunung berapi saja…” kataku bertanya pada anggota kelompok pembangun dengan nomor urut 6 ini. Ia bungkam seribu bahasa, mungkin grogi kuperlakukan seperti tadi.

“Mm… Kalau di dunia permukaan… mungkin baginda akan mengenalinya sebagai danau yang sangat luas sekali dengan sebuah pulau di tengahnya…” jawabnya.

“Danau Toba?”

“Benar, baginda… Dunia permukaan menyebutnya sebagai danau Toba…”

“Bukannya ada kerajaan ghaib yang cukup besar dan kuat di sana… Tadi katamu gak ada yang menempati… Bisa ribut besar nanti kalo kita masuk ke sana tanpa permisi…” kagetku. Kalo benar-benar harus ke danau Toba, setidaknya aku harus membawa artileri cukup berupa Ribak Sude. Harus ada si Kojek di barisanku.

“Dimensinya berbeda, baginda raja… Lokasi gunung berapi itu berada di dimensi yang sama sekali berbeda… Hamba jamin kita tidak akan bersinggungan dengan kerajaan yang baginda maksud tadi… Hamba juga tidak ingin bertikai dengan mereka…” papar Sas yang sedikit membuatku lega. Cari mampus namanya kalo berurusan dengan kerajaan ghaib sekaliber penguasa danau Toba.

“Tapi setauku… danau Toba itu dulunya gunung berapi juga konon kabarnya?” tanyaku penasaran. Penelitian para ahli tepatnya. Kalo menurut hikayat dan dongeng beda lagi versinya.

“Dalam dimensi yang berbeda memang benar, baginda… Rubi api yang masuk ke dalam kawahnya membuat gunung berapi kecil itu berkembang pesat dengan sangat cepat… Itu masa-masa gemilang peri Aruna di masa lalu, baginda…” jelas Sas. Oo… Jadi di dimensi yang berbeda, gunung purba yang kelak menjadi danau Toba adalah lokasi kerajaan awal peri Aruna. Aku mafhum ada beberapa lapisan dimensi dunia supranatural ini. Ternyata kelebatan-kelebatan yang tadi kulihat sekilas adalah sedikit penampakan mahluk astral di antara dimensi ini. Seperti lapisan tipis yang tak bisa ditembus.

Kemungkinan besar lagi, kalo kelebatan itu adalah penghuni kerajaan ghaib danau Toba itu. Mungkin mereka mulai merasakan keberadaan kami tetapi tak dapat menemukannya dimana-mana karena perbedaan frekuensi dimensi. Seperti band radio yang berlapis-lapis yang tak saling tumpang tindih antara AM1, AM2, AM3 dan FM. Mungkin kurang begitu akurat perumpamaannya, tapi kira-kira begitulah. Lagipula, para peri Aruna ini hanya bisa berpindah tempat ke lokasi tertentu saja, yang kini kurestriksi hanya dua saja saat ini untuk menjamin keselamatan mereka. Antara lain istana kerajaan dan aku sendiri sebagai rajanya. Istana kerajaan lama ternyata masih masuk hitungan juga seperti juga istana di tepi Selat Malaka itu.

Pohon-pohon tinggi meranggas itu habis di belakang kami dan kemudian memasuki daerah baru semakin lama kami melangkah. Perjalanan lebih menanjak sekarang dan ada awan ato kabut tebal di depan sana. Tak ada tanaman sama sekali sekarang di sekitar kami.

“Hanya peri Aruna yang bisa masuk kemari, baginda… Karena baginda memiliki rubi api… tentunya baginda adalah pengecualian…” kata Sas yang kemudian mendahuluiku menembus kabut tebal itu yang secara ajaib menguak memberi jalan. Benar juga. Aku juga bisa melakukan hal yang serupa dengannya. Makanya tempat ini sangat terlindungi. Bayangkan kalo bukan peri Aruna ato aku yang tanpa rubi api, pasti akan tersesat di dalam tebalnya kabut ini dan…

“Wow…”

… akan nyemplung ke jurang yang sangat terjal ini. Ada jurang yang sangat dalam dan sangat lebar di pinggiran daratan ini yang membatasi akses ke gunung berapi purba yang sudah mati ini.

“Di sini jalan masuknya, baginda…” kata Sas mengarahkanku pada gundukan batu yang tersamar bersama tumpukan batu lain. Ada lorong rahasia di baliknya yang merupakan jalan masuk ke dalam gunung itu. Di belakang sana kabut tebal tepat menutupi arah untuk menuju kemari. Tempat ini benar-benar terjaga keamanannya. Kenapa dulu pemimpin kerajaan Mahkota Merah sebelumnya sampe mau meninggalkan tempat ini?

Rambut merah menyala Sas kembali menjadi alat penerang jalan kami menelusuri lorong rahasia ini. Terbayang dahulu ada banyak peri Aruna yang keluar masuk lorong rahasia ini untuk menuju ke kaki gunung berapi besar yang terlihat menjulang hitam penuh dengan gelora magma panas membara—yang kini hening tak berpenghuni. Benderang rambut merah Sas menerangi dinding-dinding lorong ini yang terdiri batu padas keras. Lorong menurun menukik adalah rute yang paling banyak kurasakan. Kuperkirakan kalo kami akan menuju perut gunung berapi purba ini.

Suasananya dingin karena tak ada lagi gelora panas bumi yang keluar dari gunung berapi ini. Gelap, dingin dan sunyi.

Sas yang jalan di depanku berhenti dengan tangan terkepal yang segera kukenali sebagai tanda berhenti. Ia sepertinya sedang mencoba mendengarkan sesuatu di kejauhan sana. Aku juga mendengarnya. Kami yang tak lagi melangkah dengan suara derakan langkah kaki yang beradu dengan bebatuan keras semakin memperjelas apa yang terdengar.

“… tink… raahhhrrr…”

“Ada sesuatu di dalam sana, baginda…” bisik Sas menjadi awas dan siaga. Ia mengeluarkan sebuah tongkat mirip linggis sebagai senjata dari buntalan yang dibawanya. Melihat itu, aku juga menghunus mandau Panglima Burung. “Seharusnya tempat kosong… Tapi ada yang sedang melakukan sesuatu di dalam sana… Kita hanya berdua di sini baginda… Haruskah hamba memanggil bantuan?”

“Kita hanya harus melihat dulu siapa mereka… Kalo berbahaya… kita tinggal kembali ke kerajaan, Sas…” bisikku. Ia mengangguk setuju dan bergerak maju kembali dengan mengendap-endap. Siapa yang bisa melewati dimensi ini dan perangkap kabut tebal itu? Apakah ada kelompok sempalan peri Aruna lain selain yang ada di kerajaanku? Seharusnya hanya peri Aruna yang bisa mengakses tempat ini.

Setelah melewati lorong ini kami akan segera tau jawabannya.

Celingak-celinguk sebentar untuk memastikan kalo penyusup itu tidak sedang menjaga mulut lorong ini. Aman. Sas dan aku menyelinap ke balik bebatuan karang runcing yang banyak bertonjolan di sana-sini. Tanpa mengeluarkan suara, hanya kode anggukan dan tangan kami bergerak bersama menuju sumber suara hingga kami tiba sebuah tempat yang merupakan bagian dalam istana purba kerajaan Mahkota Merah yang secara mistis diterangi cahaya pendar yang berasal dari puncak gunung yang berlubang besar. Langit-langit bolong ruang besar ini luas sekali seukuran lapangan bola dengan dinding curam menjulang tinggi ke atas…

Sas memberi kode arah kemana aku harus melihat. Tetapi mata lamurku menyulitkanku untuk melihat jelas apa yang dimaksudkannya. Aku hanya bisa melihat ada semacam kursi tempat duduk di tengah ruangan. Berarti itu semacam tahta. Ada sesosok tubuh yang tengah duduk di atasnya. Aku tidak terlalu gila pada tahta hingga aku tidak mempermasalahkan kalo ada yang sedang duduk di tempat yang tidak semestinya. Tapi aku benar-benar kesulitan untuk mengetahui dengan jelas siapa yang sedang duduk di tahta itu.

“Empat?” bisikku melihat kode jari tangan Sas memberitahuku jumlah sosok yang ada di sana. “Tambah satu… Lima?” total ada lima sosok yang sedang berada di semacam balairung lama kerajaan ini. “Yang empat berambut… merah? Bertanduk?” Berambut merah dan bertanduk? Sas tadi memberi kode membentuk tanduk di kepalanya. Peri Padma berkulit merah dan berambut hitam juga bertanduk. Ini bukan peri Padma karena rambutnya yang merah dan bertanduk. Ini kebalikan peri Padma. “Dan… yang satunya… bersayap, bertanduk dan berambut hitam…” aku selesai mengurai kode yang diberikan peri Aruna bertubuh besar itu. Walo dari kelompok pembangun, tetapi keterampilannya ternyata cukup banyak.

Siapa mereka ini? Berhakkah mereka ada di tempat ini? Peri berambut merah dan bertanduk itu apakah bagian dari peri Aruna atokah peri jenis lain? Aku diarahkan Sas untuk bergerak menjauh dari mereka semua. Agar jauh juga dari kegiatan mencurigakan mereka.

“Siapa mereka itu, Sas?” tanyaku. Kami sudah memasuki lorong untuk menuju tempat ini kembali. “Aku tak dapat melihat mereka dengan jelas…”

“Sepertinya mereka adalah peri… Baginda raja tidak dapat mereka dengan jelas?” ia menatap wajahku. Lebih tepatnya bagian mataku. “Sudah berapa lama?”

“Lumayan…” jawabku pendek tak ingin mengungkap lebih banyak kelemahanku padanya. Sudah cukup ia tau tentang posisi jantungku di daerah kekuasaanku. Seingatku petaka ini dimulai saat aku bertarung dengan kuntilanak hitam bernama ratu Fatima itu. Saat istriku yang dirasukinya menghajar mukaku habis-habisan. Saat itulah mataku mulai lamur dan bertahan sampe sekarang.

“Sebelum atau sesudah bertemu kami?” cecarnya masih menatap mataku.

“Kau curiga ada sesuatu yang terjadi di kerajaan yang mempengaruhi mataku ini?” tebakku paham arah jalan pikirnya setelah ia tau kalo unsur tubuhku sangat kental di daerah kekuasaanku. Ia membenarkan terkaanku ini dengan mengangguk.

“Persisnya tepat sebelum aku mengenal kalian para peri Aruna… Secara gak langsung ini karena dihajar oleh si ratu Fatima itu…” tunjukku pada bagian tulang pipiku. “Karena satu dan lain hal aku gak bisa menahan semua pukulannya itu dan menjadi begini…”

“Apa tidak sebaiknya kita memeriksanya? Mungkin kita bisa menemukan sumber masalahnya… Mungkin kita bisa menemukan posisi kerusakan mata baginda seperti posisi… ‘itu’…” pada kata terakhir itu aku paham maksudnya adalah jantungku. “Sebagai pemimpin kerajaan… akan lebih baik kalo baginda raja dalam keadaan yang prima dan sehat bugar…” lanjutnya lagi dengan semacam bujukan agar aku mau setuju dengan pendapatnya.

“Lagipula… baginda adalah satu-satunya…”

“Teruskan aja, Sas… Jangan ngegantung gitu… Maksudmu satu-satunya yang bisa membuahi kalian, kan?” kataku lagi yang masih bersembunyi di lorong tersembunyi ini bersamanya. “Kita dalam keadaan bersembunyi begini… kau malah mengungkit masalah itu…” kataku merapatkan tubuh padanya. Ia terjajar mundur rapat ke dinding batu padas—tergagap.

“M-maaf, baginda… Bukan itu maksud hamba ini…”

“Ya, sudah… Aku paham, kok… Tapi kita harusnya lebih fokus dulu pada kelima mahluk yang sedang secara tidak sah ada di istana lama peri Aruna ini… Setuju?” kataku lalu merenggangkan jarak lagi kek physical distancing gitu. Mengintip—tepatnya berusaha mengintip ke arah tadi karena mataku masih kabur untuk melihat apapun secara detil. Sosok kelima mahluk itu masih ada di tempatnya. Sedang melakukan sesuatu.

“Mereka peri?”

“Benar, baginda… Yang berambut hitam adalah peri Anaga dan yang berambut merah adalah peri Agni…” jelas Sas yang ikut mengendap-endap mengintip para penyusup itu.

“Peri Agni? Bukan Aruna?” bingungku. Bukan peri Aruna yang berambut merah dan berkulit normal seperti dirinya. Hanya saja bertanduk.

“Peri Agni adalah tingkat tertinggi dari kasta peri Aruna, baginda…” jelasnya yang sontak membuatku kaget bukan buatan.

“Kasta tertinggi?” ulangku menatapnya dengan mata melotot. Peri muda, peri dewasa tak berpakaian, berpakaian dan kemudian Agni. Aku baru menyadarinya sekarang tahap-tahap perkembangan para peri ini. Semacam level ato evolusi begitu. Bisa dipastikan kalo musuh kali ini punya pucuk pimpinan yang mumpuni hingga bisa meningkatkan para peri ke tingkat tertingginya.

“Hamba mengenali keempatnya sebagai peri Aruna yang diserahkan ratu Fatima waktu itu, baginda… Mereka adalah senior-senior hamba…”

——————————————————————–
12 peri Aruna yang telah diserahkan ratu Fatima bondon itu pada Lord Purgatory kini telah berubah menjadi peri Agni—kasta tertinggi di kalangan peri Aruna yang berelemen api. Empat dari 12-nya ada di tempat ini sekarang bersama satu peri Anaga yang berambut hitam dan bersayap-bertanduk juga. Tebakan ngasal-ku ini adalah bentuk lanjutan dari peri Candrasa.

Kalo masalah sumber daya yang penting bagi kerajaan Mahkota Merah aku tak dapat mentolerirnya demi kemaslahatan kerajaan yang kupimpin. Aku tak mau mikir panjang tentang asal-usul keempat peri Agni yang sudah pasti sekarang berpihak pada Lord Purgatory saat ini. Mereka pastinya sedang mengemban misi melakukan sesuatu di istana kerajaan lama ini oleh pimpinannya dan itu merupakan pelanggaran buatku sebagai pemilik kerajaan ini sekarang. Hanya aku yang berhak di sini sekarang dan rasanya tidak benar juga kalo sebagai pemilik resmi tempat ini, malah aku yang bersembunyi.

“Pemimpin resmi kerajaan Mahkota Merah memerintahkan kau untuk segera enyah dari tahta itu sekarang juga…” kataku datar setelah berjalan tanpa gentar menghunus mandau Panglima Burung andalanku. Peri Anaga yang petentengan (sok jago) di atas tahta pemimpin kerajaan itu tak bergeming dan tetap duduk dengan sembarangan malah dengan kaki mengangkang.

Peri Anaga itu sepertinya membangkang dengan tertawa-tawa melengking tak sedikitpun takut akan peringatanku barusan. Keempat peri Agni yang ada di sekitarnya berhenti beraktifitas dan berkumpul di sekitarnya. Keempat peri berambut merah dan bertanduk itu menggunakan rantai hitam ketat mirip choker di bagian lehernya. Dan dari aktifitas keempatnya, aku baru sadar apa yang dari tadi mereka lakukan. Mereka sedang menghancurkan lantai, menggalinya dengan beberapa alat—seperti sedang mencari sesuatu.

 

(Bentuk umum peri Agni)

“Ah ha hahahahaha… Muncul juga raja Mahkota Merah dari kalangan manusia ini!” serunya tetap tertawa menyebalkan. “Maharaja Lord Purgatory sudah memperingatkanku akan kemungkinan munculnya mahluk rendah ini… Kalian dengar itu? Tunjukkan kekuatan kalian sekarang!” ia malah menghardik ke arah empat peri Agni itu.

Peri Anaga

“Rrraaahhh!!” secara bersamaan keempat peri Agni itu menerjang ke arahku yang sebenarnya sudah bersiap. Tapi incaranku bukan keempat peri Agni ini melainkan peri Anaga itu. Sesenyap dan selentur mungkin aku menghindari sapuan dan hantaman berbagai jenis serangan bertenaga kuat empat peri Agni menggunakan jurus-jurus Mandalo Rajo-ku. Keempat peri Agni itu patuh pada perintah sang peri Anaga. Sepertinya, mereka sedang melakukan tugas penggalian di sini dan peri berambut hitam dan bertanduk itu sebagai pengawasnya.

“Clap!!” mandau Panglima Burung kulemparkan dengan cepat dan penuh tenaga. Ia sempat menghindar dengan melompat dan melayang menjauh dengan kepakan sayap hitam lebarnya. Mandau-ku menancap menembus sandaran tahta yang terbuat dari batu berukir itu.

“Ah ha hahahahaha… Raja Mahkota Merah ternyata sangat pemberang… Mereka tak akan segan-segan padamu, Aseng! Ah ha hahahahaha…” si peri Agni itu tertawa mengejekku. “BUGHH!! Uuhh…” peri berambut hitam bertanduk itu terdorong oleh sebuah hantaman kuat di punggungnya. Sebuah tongkat panjang seperti linggis telak menghajar punggungnya. Untung ia bisa menguasai diri dan melayang menjauh dengan beberapa kali kepakan sayap. Sas yang menghantam punggungnya.

“Kurang ajar!!” berangnya dan mengalihkan perhatiannya pada pembokong dirinya yang bertubuh besar dan otot gempal. Aku tak tau perbedaan kekuatan keduanya tapi semoga Sas dapat setidaknya mengimbangi peri Anaga ini. Sebelumnya aku harus terlebih dahulu melumpuhkan keempat peri Agni yang masih tak kutau posisinya dimana. Musuh ato apa?

Konsentrasi pertarungan terbagi dua.

Keempat peri Agni bertanduk ini memakai senjata sejenis palu godam besar yang tadi digunakan untuk menghancurkan lantai. Sebagai senjata, tentunya palu sebesar itu akan sangat mengerikan bila terhantam benda itu. “Wushh… Wiusshh…” angin yang mengikuti kelebatan empat palu godam yang mengincarku aja udah kerasa serem. Konon lagi kalo kena.

Walo secepat apapun mereka berusaha menghajarku dengan senjata kelas berat itu, benda sebesar itu tak mudah untuk diayunkan sesuka hati. Dari pengamatanku setelah mencoba menghindari serangan itu, sekali ayun–palu godam disandarkan di lantai lalu diayunkan kembali setelah terlebih dahulu mengumpulkan tenaga. Hanya saja karena ada empat peri Agni yang bahu membahu menyerangku bersamaan, serangan itu sepertinya tak ada habisnya dan terlihat sangat mengerikan.

Tapi dengan pengalaman bertarungku selama ini, keroyokan begini dengan cepat bisa kubaca polanya. Mundur teratur dengan sigap terus menghindari gempuran senjata palu godam segede itu untuk menyiapkan serangan balasan yang ampuh mengejutkan lawan.

“Heaaarrgghh!!” peri Agni yang di urutan kedua mengangkat palu godamnya setelah rekannya yang didepan selesai mengayunkan senjatanya, yang kini tergeletak–tersandar di tanah, masih dipegangi erat. Bagian berat palu godam itu mulai terangkat saat ia mengerahkan seluruh tenaganya untuk mulai mengayunkannya menyerangku kembali. Kakiku meninggalkan lantai dengan cepat sebelah dan mengincar sikunya.

“Spak!” akibatnya pegangan tangannya yang menggenggam erat gagang panjang palu godam itu terlepas karena usaha berlebihnya. Dengan kaki yang sama kembali menghantam menyengat ke arah iganya. “Spak!” tubuhnya bergeser sedikit setelah gagal melakukan ayunan senjatanya. Matanya berkernyit menahan sakit menyengat di sisi tubuhnya yang baru kutendang. “Spak!” tendangan ketiga menghantam belakang lutut sisi tubuh yang sama hingga ia jatuh bertongkat lutut kehilangan keseimbang.

Tiga tendanganku bersarang dengan telak padanya dan kuselesaikan dengan sebuah tendangan lutut ke arah kepalanya yang kini berposisi lebih rendah di bertongkat lutut ini. “SPAAK!!” peri Agni itu terjungkang mundur dengan sangat cepat dan menubruk rekannya yang ada di belakang hendak menyambung serangan dengan palu godam miliknya. Tidak kuteruskan padanya karena aku mengincar pada peri Agni pertama yang bergeser memberi tempat.

“BOUGH!” kuhadiahi sebuah sapuan sikut berputar yang telak menghajar rahangnya, membuatnya berayun menjauh. Tulang keringnya kusapu dengan tendangan yang menyebabkannya terjungkal jatuh. Saat ia berguling di tanah berbatu kasar, kakiku merangsek maju dan mengincar mukanya. “JEBBLAAGG!” bergulingan lagi ia mengaduh memegangi mukanya yang terkena cedera parah.

Peri Agni keempat yang belum mendapat bagian berkesempatan mengayunkan palu godamnya ke arahku yang baru saja menyelesaikan rekannya. Dengan gerakan yang sangat presisi, kakiku menelusup ke arah ayunan senjata berbahaya itu dan mendahului menghantam bahunya berupa tendangan drop kick. Dengan up-grade kecepatan dan kekuatan dari beberapa permata peri sekaligus, serangan keempat peri Agni ini sangat mudah kuantisipasi. Aku bahkan segera tau, seperti ada yang memberitahu bak insting kalo di belakangku mengayun serangan palu godam hendak menghantam punggungku.

“SPANNK!!”

Sebuah benda berbentuk perisai kinclong melindungi punggungku. Perisai quarsa tanpa moonstone itu menutup pertahanan belakangku dengan sangat sempurna. Ratu Nirada menggunakan perisai ini lebih ahli dariku karena ia menggunakannya sebagai perlindungan sekaligus serangan. Ia kaget karena perisai itu tiba-tiba muncul dan melindungi punggungku yang sudah sedikit lagi kena gempuran palu godamnya. Serangan senjata biasa seperti itu walo ukurannya sangat masif seperti bukan tandingan bagi senjata pusaka milik peri Dawala ini.

Aku memutar tubuh memanfaatkan momen kaget dirinya dan menyabetkan mandau Panglima Burung yang sudah kembali ke tanganku ke arah pegangan palu godam. “SPPANK!!” bunyi nyaring kembali terdengar beradunya dua senjata logam ini. Gagang panjang palu godam itu berdengung akibat bergetar hingga ia melepaskan cengkraman tangannya pada senjata itu. Terasa serangan lain mengincarku dan kulakukan salto sommersault ke atas hingga ayunan palu godam dari peri Agni lainnya menyapu tempat kosong.

“GUGUR GLUGUR!!”

Lepas salto, aku memanggil bakiak Bulan Pencak dan merapalkan jurus pamungkas andalanku. Aku menghantamkan jurus ini pada permukaan palu godam yang baru saja menyerangku dan sedang bersandar di lantai. “BOOOMM!!

Lesakan tekanan ledakan Gugur Glugur pada palu godam itu sangat luar biasa efeknya. Terjadi ledakan dahsyat yang menghantam semuanya yang ada di episentrum eksplosifnya, termasuk aku sendiri yang cepat-cepat berlindung dengan menyilangkan perisai quarsa itu di depan dadaku beserta mandau Panglima Burung. Tak ayal aku terlempar, tepatnya terdorong keluar dari medan tarung kami berlima. Sepertinya Gugur Glugur-ku mencapai level kekuatan baru bersama kenaikan tenagaku.

Yang terparah tentu saja yang menimpa dua peri Agni terdekat dengan ledakan barusan. Terlontar, terbanting berguling-guling dan terhenti saat membentur tonjolan batu karang yang banyak berserakan di sana sini. Yang satu malah terperosok ke dalam lubang galian yang sudah mereka lakukan sebelumnya dan nyungsep nungging di dalamnya. Keduanya mengaduh mengerang kesakitan. Dua peri Agni lainnya hanya terdorong dan bertahan dengan bertumpu pada senjata mereka yang berat. Aku dengan mudah bersalto dan mendarat tanpa kurang satu apapun.

“FWWAAARRRHHH!!” tak cukup sampe di situ aja aku langsung menyemburkan sinar thermal itu ke arah peri Agni terdekat. Terkaget ia melihat semburan sinar panas itu dengan deras menuju dirinya dan mungkin refleks mengayunkan palu godam itu sebagai pelindung dirinya. Ditahannya sinar panas ini dengan senjata berat itu sekuat tenaga karena bobotnya senjata tidak memungkinkan untuk diangkat berlama-lama. Aku menyemburkan terus sinar thermal yang bersumber dari panas matahari ini terus hingga mengakibatkan cahaya silau.

Dimana ada cahaya terang, pasti akan ada bayangan. Aku memakai kemampuan menghilang dalam bayangan peri Candrasa berkat onyx hitam.

Aku menghilang dari hadapan peri Agni dengan palu godam yang mulai meleleh itu. Logam sekuat itupun kalo dibakar sinar sepanas matahari akan lebur juga tentunya. “JEBBLAAGG!!” aku tiba-tiba muncul dan menendangkan telapak bakiak Bulan Pencak dengan tenaga penuh tanpa bisa dicegahnya. Palu godam rusak yang dipegangnya terlempar tak tentu arah sebagaimana dengan dirinya yang juga terlontar dan telak menghantam dinding terluar balairung istana purba ini. Dindingnya sampai berlubang menampung dirinya, sangking kuat dan bertenaganya seranganku tadi.

Tinggal satu peri Agni yang tersisa dan terperangah melihat rekannya tiba-tiba diserang sedemikian rupa entah dari mana. Aku melompat tepat di depannya seakan hendak menyabetkan senjata tajamku padanya dan ia siap bertahan, padahal aku hanya menggebrak perisai quarsa ini dengan mandau-ku. “PRAAANKK!!” menimbulkan suara bising menyakitkan telinga. Tentu saja kilau kinclong perisai peri Dawala ini menyilaukan kala digebrak barusan membuatnya berpaling sebentar.

“BRRAATTZZ!!” sebuah sabetan panjang melintang di bagian dadanya. Merah darah segera terciprat dimana-mana dengan mata terbelalak kaget. Jangan berpaling dari lawanmu saat bertarung. Itu bisa menjadi akhir hidupmu. Peri Agni terakhir itu ngeblak jatuh dengan genangan darah kental yang ditelungkupinya.

“WRAAAOOOHHH!!” aku mendengar suara memekakkan telinga bersamaan dengan bergetarnya ruangan di dalam perut gunung berapi ini. Ini suara binatang buas! Dan jawabannya adalah Sas yang lari tergopoh-gopoh ke arahku dengan membawa senjata mirip linggisnya itu. Dadanya yang besar berguncangan saat berlari tunggang langgang. Ada beberapa luka di tubuhnya. Sepertinya luka sayat ato cakaran.

“Naga, baginda!!” serunya hendak ngumpet di punggungku. “Peri Anaga itu berubah menjadi naga!” nafasnya ngos-ngosan habis berlari barusan. Gimana caranya ia mau ngumpet di belakang punggungku secara badannya aja segede gambreng itu.

“Naga apa?”

“Dia dari klan naga!”

Peri Anaga bentuk Naga

“WRRROAAAARRRHHHH!!” benar saja seekor naga hitam menyeruak keluar dari sudut dinding yang dijebolnya karena menghalangi pergerakannya. Sayap hitam dan tanduknya memang mengingatkanku akan benda yang sama di tubuh peri rambut hitam bersayap itu. Mulutnya menganga lebar memamerkan barisan gigi taring runcing. Siap mengunyah lawan-lawan yang dihadapinya.

Apa benar, peri Anaga itu adalah bentuk lanjutan peri Candrasa? Ini sangat mengerikan!

Naga hitam itu bergerak merangsek apapun yang menghalanginya. Dinding dan langit-langit perut gunung purba itu beberapa rubuh dan ambruk diterjangnya. Dari gerakan kepalanya ia menemukan empat peri Agni bawahannya sudah terkapar berserakan. Makin murka dirinya.

“WRROOOOAAAAHHHH!!”

Lord Purgatory pukimak!. Bisa-bisanya dia mengumpulkan kekuatan yang mengerikan seperti ini. Sumber daya pasukannya selalu selangkah lebih maju dan kuat dari apapun yang kucoba kumpulkan. Jumlah banyak ia sudah punya dari ratusan pasukan zombie yang tak takut mati. Kaliber peri penyihir yang bisa melakukan sihir mengerikan seperti zombiefikasi itu. Ditambah lagi peri Anaga yang ternyata benar-benar merupakan klan naga.

Entah ada berapa peri Anaga seperti ini?

Apa jadinya kalo peri-peri muda kerajaanku harus berhadapan dengan naga-naga sebesar ini? Bisa habis semua peri muda cantik dan imutku. Itu tidak boleh terjadi…

“Awas, bagindaaa!!” seru Sas yang melompat menghindar ke kanan. Naga hitam itu menyemburkan sinar gelap yang juga hitam dengan aksen ungu pekat. Aku lompat ke arah kiri, ikut menghindar. Sinar hitam itu menerpa lantai bebatuan keras dan hasilnya sungguh mengerikan. Bebatuan kasar itu seperti melunak dengan cepatnya seperti lumpur. Pukimak! Sinar macam apa itu?! Aku bisa-bisa koit kena serangan semacam itu.

Aku berlari menghindar bersama Sas yang terus dikejar naga hitam itu. Berkali-kali ia menyemburkan sinar gelap itu yang kembali merusak bebatuan yang diterpanya. Tiang-tiang batu karang yang banyak di dalam perut gunung berapi purba ini menjadi tempat kami berlindung, tanpa ampun diseruduk, dihantam naga hitam besar itu hingga hancur. Naga sebesar itu bisa bergerak dengan lincahnya. Hanya saja ia belum bisa memanfaatkan sayapnya untuk terbang karena ruangnya tidak memungkinkan untuk itu. Langit-langit tempat ini tidak cukup tinggi untuknya mengangkasa.

Yang bisa kulakukan bersama Sas hanya berlari menghindar. Sas yang dari tadi menyertaiku, kusuruh berpencar agar kami bisa berusaha menyusun rencana bagi yang berhasil meloloskan diri. Peri Aruna keenam itu patuh dan memisahkan diri dariku. Naga hitam itu mengejarnya dan itu artinya akulah yang harus menyusun rencana untuk mengalahkannya. Otakku gak bisa dengan cepat menemukan cara karena pandanganku malah teralih pada tubuh peri Agni yang tergolek lemah di dekatku. Ini adalah salah satu dari mereka yang kuhajar dengan ledakan Gugur Glugur-ku di awal tadi.

Tubuhnya berguling lemah setelah sebuah tonjolan karang menahan tubuhnya. Ia bermaksud menyerangku kembali dengan palu godam yang masih dipegangnya, tapi tak punya cukup tenaga untuk mengangkat senjata berat itu. Determinasinya sangat kuat untuk melakukan perintah yang telah diberikan padanya—untuk melenyapkanku.

“Kau sudah tak punya tenaga lagi untuk bertarung…” kataku menilik luka-luka di tubuhnya. Banyak luka memar dan luka berdarah di tubuhnya. Kemungkinan besar ada bagian tubuhnya yang patah sehabis terbanting berkali-kali akibat ledakan dahsyat Gugur Glugur-ku yang telah menghancurkan palu godam milik rekannya. “Diam saja disana…”

“Kkkeh… Uhh…” ia bersikeras hendak bertarung lagi. Kutendang palu godam di genggaman tangannya yang lemah. Senjata berat itu terlepas dengan mudah. Kutancapkan mandau di tanah dan memungut senjata yang lumayan berat itu. Alamak… Berat kali. Aku harus menggunakan dua tangan memegang gagang panjangnya untuk dapat mengangkat palu godam ini. Ia menatapku pasrah.

“Apa? Awak gak akan membunuhmu dengan senjatamu ini… Walo gimanapun… kau itu bekas penduduk kerajaan Mahkota Merah, kan?” kataku. Itu rupanya arti tatapan pasrahnya. Dikiranya mau kupecahkan kepalanya dengan palu godam ini. “Awak cuma penasaran dengan senjatamu yang berat ini… Ternyata berat kali rupanya… Kuat kali kau ternyata, ya…” kataku mengagumi kekuatannya yang mampu mengangkat dan mengayunkan senjata seberat ini.

“Loh? Kok nangis kau?” kagetku melihat air mata yang meleleh di pipinya. Tersentuh ya dia dengan kebaikanku. Padahal tadi kami sudah bertarung nyawa dan aku melewatkan kesempatan emas untuk membunuhnya. Aku gak kek gitu orangnya…

Tangan lemahnya bergerak bergetar ke arah lehernya. Ia berusaha merenggut choker rantai yang melibat lehernya. “Jayalah baginda raaaja…” ucapnya lemah. Tangannya yang memegang choker seketika membara terbakar. Ia berusaha melepas kalung itu?

Tak disangka, ada percikan petir berwarna hitam berkelebat bersumber dari lehernya berulang-ulang. Peri Agni itu menjerit melengking penuh kesakitan. Aku tau itu bukan dari panas api itu melainkan dari petir hitam yang berpijar menyengat. Ia berusaha keras melepas kalung choker yang mengikat lehernya? Dia bisa mati karenanya.

“AAAAAKKKKKHHHH!!”

Jeritnya terus tetapi ia tetap berusaha melepas rantai itu. Lehernya mulai menghitam. Energi hidupnya berkurang dengan sangat drastis.

Kurang ajar! Siapa yang memasang rantai ini pada lehernya?! Ia berusaha keras melepasnya walo tau itu akan membahayakan hidupnya. Apa ini semacam alat pengendali agar selalu patuh dengan ancaman petir hitam yang berulang kali menyengat ini?

“Awas!” kutepiskan tangannya yang membara. Kuacuhkan rasa menyengat dari petir hitam itu. Kedua tanganku merenggut rantai hitam di lehernya dan kubuka mulutku. “FWAAAARRRRHHH!!” sinar thermal panas itu melesak cepat berfokus pada rantai itu. Petir hitam itu berbalik dan menyerangku. Mantel rubah hitam melindungi tubuhku. Kita lihat, kekuatan siapa yang lebih besar.

Empat permata peri milikku ato petir hitam pukimak ini?

Teess…

Segera kulemparkan rantai hitam itu sembarangan. Masih ada percikan petir hitam itu di sisa rantai dan tanganku yang segera hilang. Aku tak perdulikan apapun. Peri Agni itu terlihat sangat lemah dan dalam taraf sekarat. Lehernya hangus hitam terbakar dan nafasnya berat satu-satu. Urat-urat darah kehitaman menjalar di sekujur tubuhnya.

“Bagiiinda raajaahh…” ia memaksakan menyapaku.

“Jangan ngomong dulu…” aku duduk bersimpuh di dekatnya. Aku tak tau harus apa karena keadaan lehernya sangat parah sekali. Keji sekali yang telah memasang rantai hitam pada peri Agni ini. Apa mereka meragukan loyalitasnya hingga harus menggunakan alat pengendali seperti ini? Apa karena peri Agni ini berasal dari peri Aruna kerajaan Mahkota Merah. Pikiran peri Aruna sangat sederhana. Bila ia diperintahkan untuk patuh pada tuan barunya, pastinya mereka akan bersungguh-sungguh menjalankan perintah itu.

Mengingat petir hitam itu sangat mirip dengan semburan sinar naga hitam itu, aku berkesimpulan bahwa peri Anaga itulah yang telah memasang rantai ini. Sementara Sas masih meladeni naga itu untuk menjauh dariku.

“Terimakasih, baginda… Akkh…” ucapnya parau.

“Jangan ngomong dulu kubilang!” hardikku yang bingung gimana cara menyelamatkannya. Tanganku ragu-ragu tak tau apa yang harus kulakukan. Masih ada tiga peri Agni lain yang bernasib sama dengannya, memakai kalung rantai hitam yang sama.

“Terimakasih… Rantai itu terbuat dari besi hitam yang sangat langka… dan baginda bisa melepaskannya… Ukkhh…” suaranya makin parau dan lemah. Energi hidupnya semakin melemah. Lini miliknya semakin terkuras drastis untuk mempertahankan hidupnya.

“Jangan mati! Aku perintahkan kau jangan mati!” teriakku tak tau lagi.

“Hamba bukan warga kerajaan baginda lagi… Sekali lagi terimakasih…”

“EKAAAA!!”

Entah kenapa dari sekian banyak peri Aruna, nama Eka-lah yang kupanggil. Patuh peri Aruna nomor satu itu langsung muncul di hadapanku. Ia tentu saja bingung dengan pemandangan yang tersaji di depannya. Ia segera mengenali peri Agni yang terkapar tak berdaya di hadapanku.

“Bawa peri Agni ini ke kerajaan! Tolong dia sebaik mungkin!” perintahku dengan muka ketat yang pasti tak akan berani dibantahnya.

“Dia sudah mati, baginda… Maafkan hamba…”

Mati?

Kupungut palu godam itu dan kuseret sepanjang jalan menuju keriuhan berdebum-debum di sana. Naga hitam itu pasti sedang membombardir Sas dengan sinar hitamnya. Di jalan aku memungut palu godam kedua. Kuseret keduanya dengan kepala penuh amarah. Kalian sangat kejam, bangsat. Aku bisa jadi iblis kalo kek gini cara klen memperlakukan peri Agni itu.

“HEEEEAAAAARRRRGGGGHHHH!!!” tubuhku melesat cepat berkat ledakan Gugur Glugur, meninggalkan kepulan asap tebal yang menyeruak secepat kilat. Sas yang bersembunyi di balik tiang batu karang kaget melihat aksiku begitu juga dengan naga hitam itu.

Tapi tak lama karena ia langsung membuka mulutnya dan menembakkan sinar hitam itu tepat ke arahku. Aku tak mau mati konyol dan menembakkan juga sinar thermal dari mulutku sebagai tandingannya. Sinar hitam itu terburai begitu juga sinar panasku. Tubuhku terus melesat cepat dan jarak kami semakin dekat dan pendek. Bagaimanapun, sinar itu terlalu berbahaya untuk tersentuh tubuhku. Dan untuk itu, kugunakan dua palu godam di tangan kanan kiriku begitu jarak memungkinkan. “Syuuutt…”

Kuayunkan kedua palu godam milik peri Agni itu hendak menghantam kepalanya dari dua sisi. Gepeng-gepeng kepalamu!

“Shllaakk!!” naga hitam itu menghalangi hantaman kedua palu godam berat itu dengan bentangan sayap hitam lebarnya. Membran tebal berbentuk kulit itu cukup kuat namun fleksibel untuk menahan serangan ayunan senjata pemukul ini. Aku kehilangan momentum karena ia kemudian menggerakkan sayapnya, sadar kalo senjata itupun dengan susah payah kugunakan, membuatku tak bisa menggunakan keduanya lagi—terpaksa kulepas.

Aku melentingkan tubuhku mundur dan menyiapkan satu serangan baru yang sebenarnya masih dalam tahap coba-coba karena selama ini aku hanya pernah melakukannya dalam sesi latihan. Walo tak memiliki pijakan kuda-kuda saat melayang begini, kutarik tanganku ke samping kanan. Ini pose seperti yang dilakukan ratu Lawana saat hendak menembakkan serangan Kamehameha versi air itu. Melakukan ini, mustika safir biru yang ada dibalik rubi api mengirimkan energinya ke kedua tanganku dan juga memancarkan cipratan air yang menyejukkan kepala juga sebagian besar tubuhku. Konsepnya adalah tembakan air yang sangat cepat ini perlu pendinginan spontan untuk mengimbangi pancaran energi yang meluap-luap berlebih.

Begitu kedua kakiku menjejak tanah kembali, seketika itu juga kusorongkan kedua tanganku mendesak cepat. “BANATIRTA!”

Tembakan panah air melesat sangat cepat melebihi ekspektasiku. Cipratan air berhenti, berhasil mendinginkan kembali tubuhku. Naga hitam itu menggunakan sayapnya lagi untuk menangkis serangan Banatirta-ku. Tapi, alhasil tubuh besarnya terdorong mundur dengan asap panas mengepul dari dua buah lubang tembus dari membran kulit sayapnya. Ada sebuah kepulan asap tipis lain di batu stalagtit yang sudah rontok jatuh. Ia beruntung tembakan panah air tadi tak menembus lehernya, meleset dan jauh menghantam target di belakangnya.

Ia mendengus kesal.

“Baginda raja…” pungkas Sas yang mendekat padaku dengan membawa senjata linggisnya itu. Eka juga datang membawa pedangnya.

“Kalian jangan ikut campur dulu… Kali ini pertarungannya sangat pribadi…” kataku memerintahkan mereka agar menjauh.

Bersambung

500 foto chika bandung bangun tidur capek habis ngewe semalam
ayu
Menikmati memek ayu gadis cantik berkerudung
Pembantu sange
Terpesona Dengan Pembantu Muda Yang Cantik Bagian Satu
Foto anak SMA igo Indo telanjang sange jilat memek bugil
Foto Bokep Mahasiswi Ngentot di Hotel
Pembantu binal
Seorang Pembantu Binal Yang Haus Sexs
pembantu polos
Menikmati orgasme dengan pembantu yang polos
Foto Bugil Jilbab Super Cantik Tetek Super Gede
boss cuek dan sombong
Selingkuh dengan boss cantik yang cuek dan sombong
Pembantu baru
Tidur Seranjang Dengan Menantu Waktu Di Kapal
Foto Tante Cantik Kesepian Ngangkang Sange
Ngentot Istri Orang Di Kereta Api
500 foto chika bandung bugil telanjang di hotel sambil ngangkang
Tante girang hot
Tubuh Mulus Tante Girang Bikin Aku Teggang
abg nakal
Wisata unik di jogja, mencoba three some dengan tiga gadis abg
ibu guru mandi
Gairah Sex Bu Firdha, Guru Biologi Berjilbab Yang Alim