Terpesona Dengan Pembantu Muda Yang Cantik Bagian Dua
Setelah lama dielus-elus oleh Ijah batang penisku berserta buah zakarnya, aku ingin melaju di langkah berikutnya. Aku semakin berani dan tidak sungkan-sungkan lagi. Sambil berbaring kutatap wajah cantik dan manis Ijah.
“Ijah …” kataku.
“Emmm …” jawab Ijah singkat.
“Saiki gantian yo … (Sekarang gantian yah)” kataku.
“Gantian yo opo? (Gantian gimana?)” tanya Ijah.
“Hmmm … ngene … saiki gantian aku … teko mau Ijah wis delok manukku mbek endokku … sek dielus-elus maneh … saiki gantian aku seng delok tempik’e Ijah (Hmmm … gini … sekarang gantian aku … dari tadi Ijah dah liat burungku ama buah zakarku … dan dielus-elus lagi … sekarang gantian aku yang liat memek Ijah” kataku tanpa basa-basi.
“Emoh mas Anton … isin aku … ojok mas Anton … (Ngga mau mas Anton … malu aku … jangan mas Anton)” tolak Ijah.
Penolakan Ijah yang setengah hati itu membuatku makin penasaran dan makin bernapsu. Aku beranjak dari ranjang, dan memaksa lembut Ijah untuk merebahkan tubuhnya di atas ranjangku. Setelah berhasil merebahkan tubuhnya Ijah langsung bertanya.
“Mas Antonnn … kate diapakno aku? (Mas Antonnn … mau diapain aku?)” tanya Ijah pasrah.
“Menengo wae Ijah … ora aku apak-apak’no kok … mek arep delok tempik’e Ijah … ora adil lek teko mau manukku tok seng didelok (Diam aja Ijah … ngga bakalan aku apa-apain kok .. cuman pengen liat memek Ijah aja …ngga adil kalo dari tadi burungku saja yang diliat)” kataku bohong. Padahal dibalik benakku banyak hal yang aku ingin lakukan terhadap Ijah, terutama terhadap tubuhnya.
Aku sekap roknya, dan aku tarik celana dalam dibalik roknya. Ijah berusaha menahannya, tapi usahanya sia-sia, karena dia menahannya dengan setengah hati alias tidak dengan sekuat tenaga. Kelakuan Ijah ini seperti lampu hijau untukku. Seakan-akan pasrah saja mau diapain olehku.
Setelah berhasil melepas celana dalamnya, aku tarik roknya ke atas perutnya, agar supaya aku bisa melihat jelas memeknya. Secara reflek Ijah menutup memeknya dengan tangannya.
“Wes mas Antonnn … isin tenan aku … (Udahan mas Antonnn … malu banget aku …)” kata Ijah.
“Durung Ijah … ojok mbok ditutupi tok tempik’e … ora ketokan … (Belon Ijah … jangan ditutup terus dong memeknya … ngga keliatan)” kataku protes.
Aku kemudian tarik tangannya yang sedang menutupi memeknya. Ijah langsung menutup mukanya dengan kedua tangannya, dan kedua pahanya menyilang. Ijah masih terus berusaha menyembunyikan memeknya dariku. Bisa aku maklumi perasaan malu yang sedang Ijah alami. Aku mencoba merayu dan menyakinkan Ijah apa adanya.
“Ojok isin-isin Ijah … ora ono sing ndelok kok … men aku tok wae … (Jangan malu-malu Ijah … ngga ada siapa-siapa yang bisa liat kok … cuman ada aku saja …)” rayuku lagi.
Kini Ijah mulai pasrah, dan kedua pahanya yang tadinya menyilang, sekarang sudah mulai kendor. Segera saja aku ambil kesempatan ini untuk mengendorkan pertahanan Ijah. Setelah aku berhasil membuka selangkangan Ijah … alamak … aku langsung menelan ludah.
Memek Ijah begitu indah dan subur ditumbuhi oleh jembut-jembut yang masih lembut. Aku yakin jembut-jembut ini tidak pernah sekalipun Ijah cukur sejak pertama kali tumbuh, sehingga masih tampak halus lembut.
Kucoba lagi membuka selangkangan Ijah lebih lebar lagi, aku ingin sekali menemukan biji etil Ijah. Aku merasa kesulitan menemukan biji etil Ijah dengan mata terlanjang. Ketika aku mencoba membuka bibir memek Ijah untuk menemukan biji etilnya, Ijah langsung protes.
“Mas Anton … ojok mas … (Mas … jangan mas …)” pinta Ijah. Aku semakin gemas dengan nada penolakan pasrah Ijah.
Aku tidak mengubris permintaan Ijah, dan semakin gencar bergerilya mencari biji etilnya. Ternyata tidak susah menemukan biji etilnya dengan mencari pakai tangan. Aku mainin biji etilnya dengan gemas.
“Mas Anton … wes mas … uisin tenan aku … (Mas Anton … udahan mas … malu banget aku)” mohon Ijah.
Otakku sudah gelap, dan tetap memainkan biji etilnya. Ternyata tidak perlu memakan waktu lama untuk membuat memek Ijah basah. Mungkin ini pertama kalinya Ijah merasakan nafsu birahi alias horny. Dia seperti tidak tau harus bagaimana menghadapi situasi saat itu.
Kedua tangan tidak lagi menutup wajahnya. Tangan kanannya bersembunyi di balik bantal, dan tangan kirinya meremas guling. Ijah menggigit bibir bawahnya, seolah-olah menahan geli. Tidak kudengar suara desahan dari mulut Ijah, tapi nafasnya kini sudah berubah menjadi memburu. Aku berasumsi bahwa Ijah masih belum bisa atau belum terbiasa mendesah.
“Ijah … tempik mu wis buasah tenan saiki … (Ijah … memekmu dah basah banget sekarang)” pujiku.
“Masss … masss … wes masss … Ijah mbok opok’no … jarene mbek delok tok … saiki kok di dolen tempik ku (Masss … masss … udahan masss … diapain Ijah … katanya cuman mau liat aja … sekarang kok dimainin memekku)” protes Ijah pasrah.
“Aku wes kesengsem karo tempikmu iki … gemesi wae … tak elus-elus malah dadi buasah … (Aku dah jatuh cinta ama memekmu … bikin gemes aja … dielus-elus malah jadi basah) … ” kataku sambil bercanda.
Belum selesai aku melanjutkan kalimatku, Ijah secara reflek tiba-tiba menjerit “Mas Antonnn … massssss …”. Ijah orgasme di atas ranjangku.
Aku biarkan Ijah mengambil nafas dulu biar sedikit tenang.
“Ijah sek tas mau kok bengok … loro tah? (Ijah barusan aja kok teriak … sakit?” tanyaku pura-pura bego.
“Ora loro mas … sek tas-an Ijah koyok kesetrum … rasa’e koyok nang surgo … uenak tenan … atiku saiki sek dek-dekan (Ngga sakit mas … barusan Ijah kayak kena setrum … rasanya seperti di surga … enak banget … jantungku sekarang masih deg-degan)” jawab Ijah.
Kini saatnya giliranku untuk orgasme. Kontolku sudah sejak tadi tegang melihat kelakuan Ijah. Pekerjaanku masih belum tuntas. Aku bingung apa yang harus aku katakan ke Ijah bahwa aku ingin menyodok kontolku ini ke dalam memeknya yang masih perawan itu.
Akhirnya aku memutuskan untuk tidak bertanya atau berkata apapun. Aku mencoba untuk langsung main terobos saja. Aku kembali membuka selangkangan Ijah, dan mencoba mengarahkan kontolku ke mulut memeknya. Ijah protes lagi.
“Mas Anton arep opo? (Mas Anton mau apa?)” tanya Ijah heran.
“Oh … aku gelem kesetrum sisan … koyok Ijah seng mau (Oh … aku juga mau kesetrum … kayak Ijah tadi)” jawabku spontan.
“Lah … terus laopo manuk’e mas kate mlebu nang tempikku? (Lho … trus kenapa burung mas mau masuk ke memekku?)” tanya Ijah heran.
Ijah benar-benar masih bau kencur di dalam urusan seperti ini. Mungkin tidak ada orang yang pernah mengajarinya teori tentang hubungan seks atau biasanya disebut dengan hubungan pasutri (pasangan suami istri).
“Aku baru iso kesetrum lek manukku mlebu nang tempikmu (Aku baru bisa kesetrum kalo burungku masuk ke memekmu)” jawabku gombal.
“Ojok mas … engkuk loro … jarene wong-wong (Jangan mas … nanti sakit … katanya orang-orang)” katanya.
“Ojok wedhi Ijah … tak mlebu pelan-pelan wae … tak jamin ora loro (Jangan takut Ijah … dimasukin pelan-pelan aja … dijamin ngga sakit)” rayuku.
Ijah diam saja dan pasrah.
Aku kemudian mengarahkan ujung penisku ke bibir vagina/memek Ijah. Ijah memejamkan matanya, dan kini giginya kembali menggigit bibir bawahnya.
Tangan kananku memegang pangkal penisku agar batang kontolku tegak dengan mantap, dan tangan kiriku berusaha membuka bibir vagina Ijah, supaya aku bisa melihat lubang memeknya. Karena Ijah masih perawan, ngga mudah untuk menembuh pintu masuk gadis perawan.
Hal ini sudah aku alami sekali dengan pacar lamaku. Aku ngga ingin melihat Ijah nantinya menangis seperti yang dialami oleh mantan pacarku yang dulu, setelah aku paksa masuk batang kontolku ke lubang memeknya yang masih perawan.
Pertama-tama aku basahi terlebih dahulu ujung penisku dengan air ludahku biar menjadi pelumas sementara, kemudian aku dorong masuk ujung penisku kira-kira sedalam 2 centi. Setelah berhasil masuk kira-kira kedalaman 2 centi, aku diam sejenak, kulihat Ijah sedikit meringis menahan perih.
“Perih Ijah?” tanyaku iba.
“Rodok perih mas (Rada perih dikit mas)” jawab Ijah yang kini matanya kembali terbuka memandangku.
“Tak mlebu alon-alon yah … lek perih ngomong’o … ojok meneng ae … (Aku masukin pelan-pelan yah … kalo perih bilang aja … jangan diam aja) …” suruhku.
Suasana kamarku makin panas saja rasanya. Aku lepas bajuku, sehingga kini aku sudah terlanjang bebas. Kondisi Ijah masih lengkap, hanya roknya saja yang terbuka.
Batang penisku yang dari tadi sudah masuk 2 centi itu masih tampak keras saja. Aku kini tidak lagi memegangi batang kontolku, karena dengan menancap 2 centi saja di dalam memek Ijah dalam kondisi amat tegang, mudah untukku menembus semua batang kontolku. Tapi kini aku harus memasang taktik biar Ijah nantinya juga menikmati. Perih adalah maklum untuk gadis perawan yang sedang diperawani.
Kedua tanganku kini menahan tubuhku. Aku membungkuk dan menatapi wajah Ijah yang cantik. Ijah masih terlihat sedikit merintih karena rasa pedih yang dialaminya.
Aku menekan lagi batang penisku, masuk sedikit, kira-kira setangah sampai 1 centi. Ijah meringis lagi.
Aku mainkan pinggulku maju dan mundur agar batang penisku maju mundur di dalam liang memek Ijah. Batang kontolku cuman mentok sampai kedalaman kira-kira 3 centi. Tapi aku terus bersabar sampai nanti tiba nanti saatnya yang tepat. Aku teruskan irama maju mundur batang kontolku di dalam memek Ijah.
Perlahan-lahan suara rintihan Ijah semakin memudar, dan wajah Ijah tidak lagi merintih. Ujung penisku terasa basah oleh cairan yang kental. Aku yakin cairan ini bukan air liurku yang tadi, melainkan cairan murni dari memek Ijah.
Sekarang batang kontolku bisa masuk perlahan-lahan lebih dalam lagi, dari 3 centi maju menjadi 4 centi, kemudian dari 4 centi masuk lebih dalam lagi menjadi 6 centi.
“Sek perih Ijah? (Masih pedih Ijah?)” tanyaku. Ijah menggeleng-gelengkan kepala pertanda tidak lagi sakit.
Napas Ijah kini kembali memburu dan terengah-engah, dan tidak lagi menggigit bibir bawahnya. Tangan kanannya meremas sarung ranjangku dan tangan kirinya meremas selimutku.
Goyangan pinggulku aku percepat sedikit demi sedikit, memberikan sensasi erotis terhadap memek Ijah. Dalam sekejap kini aku bisa membuat batang kontolku kini terbenam semuanya di dalam lubang kenikmatan milik Ijah.
“Sek perih Ijah? (Masih pedih Ijah?)” tanyaku sekali lagi. Ijah kali ini tersenyum malu sambil menggeleng-gelengkan kepalanya lagi.
“Tempik mu wis uenak maneh? (Memekmu dah enakan lagi?)” tanyaku bercanda. Ijah mengangguk.
“Ijah … buka en klambimu … mosok ga kroso panas tah? … buka en ae cekno adem (Ijah … buka dong bajumu … masa ngga merasa panas? … buka aja biar sejuk)” kataku. Aku sebenarnya ingin memperawani Ijah dalam keadaan benar-benar terlanjang.
Nanti menurut saja, dan kemudian dia melepas kaos bersama BH-nya, dan masih membiarkan roknya, karena batang kontolku masih sibuk menari-nari di dalam lubang memeknya. Tampak payudara Ijah yang merekah dengan ukuran 32C menurut tafsiranku. Tidak terlalu besar, dan juga tidak terlalu kecil. Pas untuk ukuranku. Puting susunya berwarna coklat gelap.
Typical atau khas payudara wanita asli Indonesia. Melihat puting susunya yang menantang seperti itu, membuatku gemas rasanya. Aku mencubit sambil memelintir puting susunya, dan Ijah protes atas tindakanku tersebut.
“Masss … loro masss … (Masss … sakit masss …)” protes Ijah lembut. Aku pun kemudian senyum padanya, dan langsung menghentikan tindakanku tersebut.
Aku merasa sudah lama aku menggenjot tubuh Ijah siang itu. Tapi aku masih belum menampakkan tanda-tanda akan datangnya klimaksku. Aku sejak tadi berpikir antara iya atau tidak nantinya aku memuncratkan air maniku ke dalam memeknya.
Sejujurnya aku berkeinginan hati untuk menyirami memek Ijah dengan air maniku, tapi aku juga rada kuatir akan konsekwensinya bila terjadi apa-apa dengannya, alias hamil nantinya.
Nafas Ijah semakin memburu saja, tapi wajahnya tampak makin gelap saja. Darah Ijah seakan-akan memanas dan terkumpul di atas kepalanya. Kali ini Ijah tak kuat untuk menahan genjotan-genjotan dan gesekan-gesekan nikmat yang diberikan oleh batang kontolku. Mulut Ijah kini tak terkontrol. Untuk pertama kalinya mulut Ijah mendesah atau merintih basah.
“Uhh … ohhh … masss … masss … kerih (geli) masss …” rintih Ijah.
“Aku kerih sisan Ijah … Ijah wis arep ngoyo? (Aku geli juga Ijah … Ijah sudah mau pipis?)” tanyaku penasaran melihatnya sudah seperti cacing kepanasan. Leher Ijah sudah mulai berkeringat. Sekujur badanku juga tidak kalah keringatnya. Semakin berkeringat, semakin seru saja aku menggagahi tubuh Ijah.
Seperti tau apa yang aku maksud dengan kata ‘pipis’, Ijah pun menganggukkan kepalanya. Ijah sudah akan memasuki tahap orgasme yang kedua kalinya.
Tidak sampai hitungan 2 menit, Ijah tiba-tiba memekik sambil tangan kanannya meremas biceps-ku.
“Masss … ampunnn masss … kerih mbanget … arep ngoyo ketok’e … aahhh … (Masss … ampunnn masss … geli banget … ingin pipis rasanya … ahhh …)” pekik Ijah dengan tangan kanannya yang masih meremas biceps-ku.
Tidak salah lagi, Ijah telah mencapai orgasme keduanya. Memeknya semakin basah saja. Aku berhenti menggenjotnya dan mendiamkan batang kontolku tertanam dalam-dalam di dalam memeknya yang basah nan hangat. Kurasakan setiap denyutan daging-daging di dalam memek Ijah.
Setelah buruan nafasnya mereda, aku cabut batang kontolku keluar dengan maksud untuk melepas roknya yang masih menempel di tubuhnya. Aku ingin melihatnya bugil tanpa busana apapun.
Saat kutarik batang kontolku, aku melihat sedikit bercak darah di tengah-tengah batang kontolku, dipangkal kontolku, dan di daerah bulu jembutku. Kuperawani sudah Ijah, dan ini adalah bukti keperawanan Ijah yang telah aku renggut darinya.
Ijah kini bugil tanpa selembar kain apapun. Aku kembali memasukkan batang kontolku ke dalam memeknya. Masih terasa basah liang memek Ijah.
“Ijah … saiki aku sing kate ngoyo … siap-siap yo (Ijah … sekarang aku yang harus pipis … siap-siap yah)” kataku.
Ijah seperti tidak mengerti apa yang aku katakan, tapi kepala mengangguk saja (hanya menurut saja). Aku kembali menggenjoti liang memeknya lebih cepat dari biasanya. Kupercepat setiap hentakan-hentakan, dan bisa kurasakan kenikmatan gesekan-gesekan terhadap daging-daging di dalam memek Ijah. Memberikan sensasi yang luar biasa dasyatnya.
Wajah Ijah kembali memerah, dan kini nafasnya kembali memburu lagi. Kali ini Ijah sudah tidak malu-malu lagi untuk mendesah dan merintih nikmatnya bercinta.
“Ijah … kepenak temenan nyenuk karo Ijah … tempik-mu gurih tenan (Ijah … enak/senang banget ngentot ama kamu … memekmu gurih banget)” pujiku sambil terus menggenjot memeknya.
“Masss Anton … masss … aku arep ngoyo maneh … ahhh masss … (Masss Anton … masss … aku pengen pipis lagi … ahhh masss …)” desah Ijah.
“Iku jenenge arep teko Ijah … ora arep ngoyo (Itu namanya mau datang Ijah … bukan mau pipis)” jawabku sambil tertawa renyah dan Ijah pun tersenyum bingung. Mungkin baginya istilah ‘datang’ masih terasa aneh.
Sekujur tubuhku berkeringat dan tergolong basah kuyup. Sudah berapa tetes keringatku yang jatuh di perut dan dada Ijah. Posisiku menyetubuhinya masih tetap berada di atas. Sejak tadi aku belum menyuruhnya merubah posisi. Mungkin bagiku lebih nyaman untuk Ijah digagahi dengan posisiku di atas. Ijah masih termasuk bau kencur dalam masalah beginian.
Batang kontolku makin lama terasa makin mengeras. Lahar mani di dalamnya ingin segera meletup keluar. Aku sudah tidak mampu untuk berpikir dengan akal sehat kembali.
Otot-otot disekujur batang kontolku sudah tidak mampu lagi membentung lahar panas yang ingin segera menyembur keluar. Aku sudah tidak perduli lagi dengan rasa kuatirku tadi. Aku hanya ingin menyemburkan lahar panas ini secepat mungkin. Isi otakku sudah gelap rasanya.
“Ijah … aku arep teko iki … ora iso di tahan maneh … saiki Ijah … saikiii … Ijahii … (Ijah … aku mau datang nih … ngga bisa ditahan lagi … sekarang Ijah … sekaranggg … Ijahii)” aku mengerang keras diiringi oleh semburan lahar panas dari batang kontolku yang mengisi semua liang memek Ijah.
Semburan panas dari batang kontolku mendapat sambutan hangat dari Ijah. Aku memeluk erat tubuh Ijah, dan Ijah membalas memelukku sambil memekik memanggil namaku.
Aku hanya dapat menduga bila Ijah mendapatkan orgasme-nya yang ketiga kali. Batang kontolku berkali-kali memuntahkan lahar panasnya di dalam lubang kenikmatan milik Ijah. Mungkin sekarang liang memek Ijah penuh sesak oleh lahar maniku.
Aku diam sejenak, mengatur nafasku kembali. Tubuhku masih menindih tubuh Ijah. Kini semua keringatku bersatu dengan keringat Ijah. Aku memeluk Ijah, sambil menciumi lehernya. Batang kontolku masih menancap di dalam memek Ijah. Aku masih belum ingin mencabutnya sampai nanti batang kontolku sudah mulai meloyo.
“Ijah … terima kasih … ” bisikku dalam bahasa Indo. Ijah hanya diam saja. Tak lama kemudian, aku mendengar Ijah menyedot ingusnya. Ternyata mata Ijah tampak berkaca-kaca. Aku menduga kuat Ijah ingin sekali menangis, dan tampak penyesalan di wajahnya.
Melihat tingkah laku Ijah, aku berusaha memberinya comfort (kenyamanan), dan rayuan agar membuatnya lega atau tidak sedih kembali. Aku mengatakan kepada Ijah bahwa ini adalah rahasia kita berdua, dan mengatakan bahwa aku sayang kepadanya.
Aku berjanji padanya bahwa ini adalah untuk pertama dan terakhir kalinya aku menyetubuhinya. Ijah begitu menurut dengan kata-kataku dengan polos dan lugu.
Aku sedikit ada rasa penyesalan telah memperawani gadis cantik dan imut seperti Ijah. Aku meminta maaf kepadanya karena aku khilaf dan tidak dapat menahan keinginanku itu karena sejak lama aku memantau dan melihat sosok dirinya dari kejauhan. Begitu dekat dengannya, aku tidak mampu lagi menahan nafsu birahiku.
Selama liburan musim panas tersebut, aku sering sekali mencuri-curi waktu dan tempat untuk bersetubuh dengan Ijah. Sejak pertama kali memperawaninya, agak susah untukku untuk menggagahi tubuh nikmatnya lagi. Ijah selalu menolak dengan alasan takut sakit atau apa gitu. Tapi dasar lelaki yang penuh dengan akal muslihat, aku tetap berhasil menikmati tubuhnya dan memeknya berkali-kali.
Untung saja, makin lama Ijah semakin menyukai berhubungan badan denganku. Banyak teknik yang aku ajarkan kepadanya, dari BJ, HJ, dan posisi bercinta yang lain (doggy style, woman on top, gaya menyamping, dll). Aku kadang meminta Ijah memberikan BJ atau HJ di ruang keluarga sambil aku menonton TV disaat tidak ada orang di rumah.
Sejak saat itu pula, aku selalu memakai kondom untuk mencegah sesuatu yang tidak diinginkan. Aku tidak ingin aib ini sampai tercium oleh anggota keluargaku yang lain.
Sudah sering kali aku bermain cinta dengan Ijah di liburan musim panas ini. Aku sempat mengganti tanggal pesawatku kembali ke Melbourne agar aku bisa lebih lama di Indonesia. Aku kembali ke Melbourne untuk melanjutkan studiku lagi sekitar akhir Februari.
Semenjak kembali ke Melbourne lagi, aku kangen dengan Ijah, dan rindu bercinta dengannya. Kadang-kadang aku menelpon rumah di waktu siang hari (waktu Indonesia) untuk mengobrol dengan Ijah. Dan seputar obrolan kami adalah tentang ‘gituan’ aja.
Studiku tinggal 1 semester lagi. Aku sudah tidak sabar untuk menyelesaikan studiku ini, agar aku bisa kembali ke Indonesia bertemu kembali dengan Ijah. Sebenarnya aku sendiri tidak tau bagaimana masa depanku dengan Ijah.
Tapi aku berkeinginan untuk tetap tinggal di Malang, paling tidak melanjutkan atau bekerja di kantor perusahaan papa. Dengan ini aku bisa senantiasa dekat dengan Ijah. Biarlah nanti waktu yang akan menentukan nasibku dengan Ijah.
TAMAT