Part #82 : Lord Purgatory

“Kenapa? Kok senyum-senyum terus dari tadi?” tanya Lisa. Kuacuhkan pertanyaannya dan terus klik sana klik sini lalu enter.

“Woy? Udah lama, ya?” tetap kuacuhkan pertanyaannya. Dia gak salah nanya kek gitu karena aku gak bisa menghapus senyum licik di mulutku saat ini saat memilih pesanan begini.

“Udah lama gilanya… Iya tau awak pertanyaanmu, Lis…” jawabku baru meresponnya begitu semua proses selesai. “Diam aja dan kerja yang betol di situ… Masih banyak laporannya, kan? Urus aja kerjaanmu dengan baik… Nanti bonusnya awak entot di lapangan bentar lagi…” kataku mengerling padanya kemudian meraih tumpukan laporan yang juga harus kuperiksa. Abis itu baru merevisi jadwal produksi bulanan.

“Ishh… Udah siap dari tadi, kok… Abang aja yang dari tadi mukanya mesum terus…” balasnya dengan menyerahkan laporan yang menjadi bagian miliknya untuk kuparaf tanda sudah ACC. “Lisa udah gak sabar, nih… Yuk, bang?” ajaknya untuk ‘jalan-jalan’ rutin kami di lapangan untuk sekedar secelup dua celup. Lisa bahkan sudah mengenakan helm kuning miliknya dan tinggal mengganti sepatu safety.

“Eh? Udah siap?” menerima laporan miliknya. Aku ketinggalan karena dari tadi sibuk ke shopping online di salah satu rekomendasi Pipit untuk berbagai macam lingerie dan pakaian seksi. Ngomongnya sama Pipit untuk orang rumahku agar diberitau website-nya. Aku kebablasan dan beli banyak kali pakaian dan lingerie seksi. Pastinya ini untuk ke-19 warga kerajaan Mahkota Merah. Aku minta pengirimannya ke kantor aja agar lebih aman gak ada yang berani buka kalo pesanan itu atas namaku. Ini pemesanan keduaku dan seharusnya pesanan pertama itu akan sampe hari ini. Aku tinggal menanti kurier ekspedisi datang mengantarkannya.

Di website itu ada banyak sekali pilihannya. Dari yang normal sampe yang binal juga ada. Dari yang alay sampe ke cosplay juga lengkap. Duit tak masalah besarnya untukku saat ini. Yang penting aku puas dan kebutuhan wargaku terpenuhi. Setidaknya ini yang kurasakan sekarang. Perhatianku cukup teralihkan dengan sibuk bersama warga kerajaanku dan tak terlalu memikirkan tentang Lord Purgatory lagi setiap waktu yang membuat kepala pusing. Memikirkan mahluk bernama Lord Purgatory itu seperti akan selalu tenggelam dalam kegelapan sangking terlalu banyaknya misteri yang menyelubungi eksistensinya.

Setelah setoran pada Lisa di lokasi luar ruang favorit kami untuk bersenggama, kami balik lagi untuk bekerja. Tak lama aku menghenyakkan pantatku di kursi, telepon berdering dari front office yang mengabarkan ada kurier pengantar barang atas namaku hendak mengantarkan barang. Aku buru-buru turun dan mengambil pesananku. Kotak pesananku itu masih ada di dalam mobil box sang kurier dan aku mengarahkannya untuk langsung memindahkannya ke mobilku saja. Supir mengarahkan pantat mobil box itu ke belakang Jero yang pintu belakangnya kubuka untuk mengoper barang pesanan milikku dan voilla semua proses selesai. Tanda tangan dan mereka berangkat lagi.

Aaahh… Aku jadi bersemangat menanti saat aku membagi-bagi pakaian ini pada warga kerajaanku. Seimut dan secantik apa nanti mereka semua memakai semua pakaian yang kusiapkan ini?

Kenapa harus pake lingerie dan pakaian seksi?

Ah… Ha ha hahaha… Ketauan, ya? Secara mereka ber-19 dari Eka ke Nawadasa semua adalah mahluk ghaib berupa peri berambut merah yang tak berpakaian alias telanjang sepanjang hidupnya, akan lebih baik bertahap dari memakai pakaian dalam dahulu, sebagai permulaan. Kalo mereka sudah terbiasa akan meningkat ke pakaian yang lebih lengkap, lebih tertutup.

Ketauan kali ngelesnya, ya?

Kasian-loh mereka sehari-harinya gak pernah pake baju di tempat seterang dan sehangat daerah kekuasaanku yang kini menjadi lokasi kerajaan Mahkota Merah kami. Kelompok pembangun sudah mulai bekerja membangun infrastruktur berupa bangunan dengan terlebih dahulu meratakan tanah keras di depan bagian hutan kecilku. Mereka berencana untuk membangun sebuah istana untuk kerajaan kami dan pondasinya sudah mulai dikerjakan terakhir kali aku menjenguk progres kerja mereka berempat. Empat peri pembangun itu juga tidak melulu hanya bekerja sendiri, kelompok lain juga ikut membantu pekerjaan mereka. Mengingat waktu di dunia nyata sangat tidak sinkron di dalam sana, pastinya sudah ada banyak kemajuan yang sudah terjadi saat ini.

Aku juga berencana akan menyerahkan pakaian-pakaian ini tidak di dalam sana karena benda-benda seperti ini tidak bisa kubawa kesana semaunya. Hanya benda-benda yang menempel di badan saja yang secara organik terikut masuk ke dunia spiritual itu. Sebagai gantinya, aku akan memanggil mereka semua di dunia nyata dan menyerahkan semua pakaian ini hingga saat masuk kembali kesana, pakaian mereka akan ikut serta karena sudah menempel di badan. Aku sampe memikirkan sedetail itu-loh.

Mengenai penambahan elemen laut di daerah kekuasaanku yang sempat kusinggung waktu itu, sudah kumulai. Dimulai dengan menambah tanaman bakau tentunya. Aku bela-belain ke arah pesisir pantai di daerah Belawan dan Percut sekitarnya untuk menemukan jenis tanaman yang tahan akan salinitas tinggi air asin. Ada beberapa jenis tanaman bakau yang kutemukan dan aku langsung mengambil beberapa daunnya untuk kujadikan pedang daun yang kelak akan tumbuh dengan sendirinya di daerah kekuasaanku. Seperti halnya sungai kecil itu yang tiba-tiba muncul saat pertama kali pohon beringin besar tempat rumah pohon, tumbuh. Dari akar-akarnya lebat muncul aliran air yang mengalir deras hingga aku harus bekerja keras saat itu untuk membuat parit-parit berkeliling dan sekarang telah menjadi sungai kecil.

Pohon bakau tumbuh agak jauh dari dari hutan kecil yang sudah ada dan membentuk rimbunan tersendiri jauh di seberang sana hingga membagi area luas ini menjadi bagian baru. Dari menjelmanya hutan bakau, akan mulai munculnya pantai. Hanya cara itu kutau untuk memanipulasi tempat ini dengan caraku untuk menambahkan elemen baru. Jadi istana baru itu dibangun diantara hutan bakau perintis dan hutan kecil. Kebayang nanti kalo daerah kekuasaanku ini jadi bertambah berwarna dengan tambahan elemen baru. Ada hutan dan pantai. Pasti akan menyenangkan.

Tapi dari elemen penciptaannya, peri rambut merah berhabitat asli di sekitar gunung berapi. Hanya saja seiring waktu, mereka tersisihkan dan termarjinalkan sampe jauh dan berakhir di tepi pantai. Para pemimpin, raja ato ratu mereka bahkan bukan lagi dari kalangan peri rambut merah sendiri lagi. Sudah banyak perubahan drastis dari cerita kuno berdasarkan lagu Memori Musim Panas Seribu Tahun itu.

Sudah beberapa hari ini tak ada kejadian apapun yang menghebohkan lagi. Menghebohkan? Ya… Acara striptease yang digelar Dito di gedung itu tentunya berakhir heboh. Untungnya aku sempat kepikiran untuk menghapus semua jejak keterlibatanku di acara itu. Aku me-reset HP milik Dito dan merusak harddisk rekaman CCTV hingga bukti keberadaanku di sana tak ada lagi. Soalnya dari berita yang beredar di media massa kalo ada korban tewas paska event gangbang itu. Tiga pria berusia lanjut yang berumur 60-an tahun ke atas meninggal dunia setelah sempat dirawat intensif di rumah sakit. Empat pria lainnya masih dirawat setelah dirawat di ICU sehari dan masih menjalani perawatan. Sisanya termasuk Dito sudah diperbolehkan keluar rumah sakit. Semuanya yang selamat dijadikan saksi oleh pihak kepolisian sementara Dito yang merupakan pelaksana event menjadi terperiksa.

Batara Kala benar-benar memakan pria-pria tua itu dengan cara menghabiskan cadangan energi hidup mereka yang tinggal sedikit lagi. Kebetulan mereka sudah termasuk uzur hingga sekali sedot langsung modyar. Aku tak berniat sedikitpun untuk menjenguk Dito dan ia sama sekali tak bisa mengaitkanku karena tak ada bukti sama sekali kami pernah berhubungan—dus aku belum pernah melakukan pembayaran apapun untuk hadir di event mesum itu. Yang penting demi apapun, aku tak terlibat di dalam kasus itu.

Tentu aja Dito pasti bingung apa yang telah terjadi di acara yang biasanya berjalan aman-aman saja. Ia sudah rutin melakukan event itu dengan backing banyak aparat untuk mengamankan usaha miliknya ini. Tetapi dengan jatuhnya korban, para backing-nya mundur teratur. Orang bisnis seperti dia pastinya tidak akan menyangka kalo dirinya telah dibajak mahluk kuat sekelas Batara Kala yang suka memangsa anak manusia dengan preferensi tertentunya. Segala macam ontang anting, kedana-kedini dan lain-lain sampe pandawa juga dibawa-bawanya.

Untung aja aku dari awal sudah berketetapan hati untuk hanya jadi penonton yang budiman di event itu. Pun pula aku sudah pernah diruwat juga. Entah bagaimana caranya aku sudah diruwat oleh wanita tua yang sempat merawatku. Kusempatkan menelpon ibuku yang saat ini sedang berada di Surabaya menemani adikku yang menunggu suaminya pulang berlayar. Kutanyakan pada ibuku tentang wanita tua itu. Ibuku hanya mengenal namanya sebagai mbok Juminten, panggilan mbok Jum. Saat itu ia menyewa rumah di dekat rumah kami. Untuk mendapatkan uang tambahan, ia mengasuhku karena ibuku sedang repot-repotnya setelah kelahiran Selvi.

Saat kutanya tentang adakah mbok Jum minta izin untuk meruwatku, ibuku mengatakan tidak pernah. Hanya saja ketika kusinggung tentang wayang, ibu teringat mbok Jum pernah membawaku menonton acara wayang saat dalam masa asuhannya. Kemungkinan besar saat itulah ruwatan itu terjadi. Kemungkinan pagelaran wayang kulit itu adalah acara ruwatan anak Sukerta dengan lakon Murwakala. Kebetulan aku yang masih kecil ada disana, sekalian ikut diruwat.

Sungguh sebuah kebetulan yang luar biasa menguntungkan buatku.

Aku tentu aja sudah memberitau kedua sahabatku di Ribak Sude akan kasus teranyarku ini bareng Lord Purgatory. Membuat keduanya semakin bersemangat untuk segera meneruskan penyelidikan kami akan kasus yang kalo kupikirkan sendiri bisa membuat kepala pecah. Setidaknya ada tambahan dua kepala lagi yang berbagi urun rembug akan masalah yang tentu saja melibatkan mereka berdua juga.

Besok, Sabtu. Setelah semua selesai bekerja, sebenarnya hanya aku sendiri yang bekerja di hari Sabtu, kami akan menyambangi tempat tinggal orang tua Bobi Putranto. Ini tempat pertama yang harus kami datangi. Melakukan cek ulang, klarifikasi dan mitigasi potensi lawan. Sesudah itu adalah makam Bobi Putranto. Kami harus ke makam itu dalam keadaan gelap makanya jadwalnya seperti ini. Nanti pasti pada tau kenapa harus begitu.

Ternyata benar. Lord Purgatory memang mengumpankan perempuan-perempuan beraneka ragam masalah itu padaku. Para binor yang tak bisa hamil akibat berbagai macam gangguan supranatural. Baik pengaruh langsung, maupun perantara pihak ketiga. Bisa dari mahluk ghaib lain atopun bahkan dari suaminya sendiri. Ada juga perempuan yang belum sempat kusentuh seperti Vivi dan Tiara. Untuk kedua gadis ini aku cukup berbangga karena berhasil menahan diriku sedemikian rupa, terutama Vivi. Walopun aku sudah sempat menikmati tubuhnya lewat petting, tetapi belum pernah terjadi penetrasi sama sekali. Bahkan Lord Purgatory berencana memasukkan perempuan 3R itu, Cherni, Neneng dan Aisa di dalam daftar binorku karena spek ketiganya sudah memadai. Tinggal spik spik dikit lagi paling juga dapat-la mereka bertiga.

Tujuan sebenarnya.

Ini masih menjadi misteri terbesarnya. Apa tujuan akhir semua rencana jangka panjangnya ini? Lord Purgatory sudah repot-repot melakukan banyak hal dan tujuan akhirnya apa? Pasti perlu sumber daya materi yang banyak, waktu yang tak sedikit, tenaga yang berlebih untuk menyusun rencana yang sedemikian njlimet untuk menyetir banyak perempuan agar jatuh ke pelukanku dan keras junior-ku.

Lord Purgatory sendiri mengakui kalo hanya sekedar membalaskan dendam Bobi padaku yang berhasil merebut Fatima dari pria itu akan sangat dangkal sekali motivasinya. Aku dianggapnya terlalu menyepelekan alasannya kalo cuma mentok di kesimpulanku itu. Jadi apa sebenarnya mau orang—dia bukan orang, itu. Mahluk aneh seperti Ameng itu tapi lebih tinggi tingkatannya. Arc Form?

Apa itu Arc Form?

Saat kucoba cari di kamus Inggris-Indonesia arti Arc, artinya adalah lengkungan, pelangi, busur. Apa maunya dengan lengkungan, pelangi ato busur. Lalu yang paling dekat adalah Arch yang artinya kuno, yang kata lengkapnya adalah Archaic. Ato mungkin maksudnya Ark yang artinya bahtera, tabut, ato perahu besar. Tambah ngaco, kan? Gimana menautkannya dengan kata Form? Bentuk lengkung, bentuk pelangi, ato maksudnya bentuk busur. Maksudnya senjata? Busur panah… Bingung.

Gimana cara menyimpulkan satu kata yang bahkan dia sendiri tidak paham apa artinya? Memang-la si Lord Purgatory ini, penuh dengan misteri dan teka-teki. Membuatku pusing aja. Lebih baik aku menunggu sampe waktunya tiba aku bertemu kedua sahabat Ribak Sude-ku dan sama-sama mengulik semua petunjuk yang tersedia. Yang nantinya bisa digunakan untuk menghadapi Lord Purgatory.

Menghadapi Lord Purgatory nanti?

Ternyata dia sangat tangguh dan senjata andalannya malah cincin akik hijau Green Lantern milik Bobi. Aku yang percaya diri untuk membakarnya lewat tembakan sinar panas itu dengan mudah dimentahkannya dengan gelembung sederhana dari cincin itu. Ia bisa dengan ahlinya menggunakan senjata Menggala Aga milik Bobi lebih baik dari pemilik aslinya. Mengetahui kekuatan lawan akan sangat bijaksana saat ini. Mungkin kami akan bisa menemukan kelemahan ato cara mudah mengalahkannya kelak.

Karena aku yakin kalo Lord Purgatory adalah musuh terakhir kami di kasus berat ini.

——————————————————————–
“Makasih…” ujarku setelah dua orang security itu membantuku mengangkat kotak kardus berat itu ke ruangan kaca di lantai dua di bangunan kantor SPBU malam ini. Setelah pulang kuliah, aku langsung kemari.

“Sama-sama, pak…” jawab keduanya bersamaan. Keduanya lalu permisi untuk kembali bertugas. Sebenarnya bisa kuangkat kardus paket pakaian dan lingerie ini sendiri ke ruangan, tapi karena statusku yang sebagai direktur tempat ini, itu akan sangat tidak berwibawa dan juga tidak pantas. Suhendra sudah pulang dari tadi jadi tempat ini benar-benar kosong malam ini. Aku bermaksud membagi-bagikan pakaian ini pada warga peri rambut merahku di tempat ini.

Kubuka kardus ini dan memeriksa isinya. Waaah… Sekedar memegangnya aja sudah membuatku memikirkan yang tidak tidak. Dan jumlahnya ada banyak pulak tuh. Sexy dan kinky. Apa pulak arti kata kinky? Binal mungkin lebih tepatnya. Megang kamus nyari arti kata arc membuatku menemukan kata itu di buku tebal yang untungnya ada di dekatku saat itu. Berbagai bentuk lingerie dan pakaian seksi sekarang ada di depan mataku. Sekarang hanya tinggal memakaikan ini di tubuh yang tepat. He he hehehe… *Aku menggosok-gosok tapak tangan dengan senyum mesum lebar.

Aku lalu mempersiapkan ini untuk beberapa lama. Lalu…

“Semua warga kerajaan Mahkota Merah… Berkumpullah di sini… di hadapan raja kalian sekarang juga…” ucapku sebagai titah memanggil mereka semua yang merasa berkepentingan untuk menjawab panggilan resmi dari seorang pemimpin yang mutlak harus mereka patuhi. Aku duduk di balik meja ini dan menanti mereka semuanya muncul. Mereka punya dua kewajiban pada kerajaan dan rajanya.

Satu per satu ke-19 peri rambut merah yang tak punya pakaian itu muncul di hadapanku. Bila kuperhatikan lebih teliti, mereka muncul berbarengan per kelompok. Kelompok petarung, pembangun, pemburu, perajin dan penghibur. Semua lengkap hadir di hadapanku, dari Eka hingga Nawadasa. Ruangan dinding kaca ini jadi terasa sesak oleh hadirnya banyak sosok mereka tetapi karena mereka adalah mahluk ghaib, tentu saja keterbatasan ruang tidak menjadi masalah bagi mereka. Dan lagi pula hanya aku sendiri yang dapat melihat rombongan ini.

“Kami hadir, baginda raja!!” mereka berbarengan menundukkan kepala sedikit membungkuk dan memberiku salam. Saat menunduk tentu aja ada yang menggantung bagus gondal-gandul yang membuat jakunku naik turun meneguk ludah. *Ceguk.

“Bagus… Kalian semua sudah hadir di sini… Tempat ini adalah juga milikku… Aku yang berkuasa di sini… Ada yang ingin kusampaikan pada kalian semua dan kupikir… pasti kalian akan sangat senang nanti…” aku mengalihkan pandanganku pada tumpukan pakaian di atas meja yang kususun berdasarkan kelompok dan jumlah anggotanya. Jumlah pakaian kusesuaikan jadi mereka semua akan mendapatkan jumlah setelan yang sama. Meja ini sengaja kukosongkan untuk kesempatan malam ini. Mereka juga menatap tumpukan pakaian itu tapi tak paham apa yang akan kulakukan.

“Aku sebagai raja kerajaan Mahkota Merah saat ini sudah memberi kalian masing-masing nama yang telah meningkatkan derajat kalian setingkat lebih tinggi… Dan terutamanya adalah bebas dari karang tempat posisi awal kalian berada… Hingga kalian bisa bebas pergi kemana saja walo tetap terikat di kerajaan Mahkota Merah-ku…”

“Dan… malam ini, aku akan memberi kalian satu lagi anugrah… Anugrahnya adalah berupa pakaian-pakaian ini…” tunjukku pada pakaian-pakaian yang susunannya tak begitu beraturan karena tadi kuurai-urai karena bentuknya yang tak begitu lazim.

Mereka semua melongo kaget lalu saling berpandangan tak percaya. Suara-suara berdengung seperti lebah terbang kemudian terdengar. Bagi seorang otoriter suara itu pastinya sangat menyebalkan dan mengganggu. Sebagai mahluk yang bebas, tentunya mereka kuperbolehkan melakukan ini semua walo harusnya dalam batas-batas wajar karena masih ada hiarki yang jelas di sini dimana aku masihlah raja yang harus mereka hormati.

“Kenapa? Kalian bingung, ya? Karena ini pakaian manusia, kan?” tanyaku menjawab salah satu pertanyaan mereka tentang ini.

Mayoritas mengangguk membenarkan kebingungan mereka. “Kami tidak bisa memakai pakaian manusia, baginda raja…” kata Eka setelah mengangkat tangannya minta izin bicara.

“Ya… Paham kalo masalah itu… Tentunya bahan pakaian ini tidak akan bisa menempel di tubuh ghaib kalian… Tapi dengan kuasa yang aku punya sebagai raja kalian… Mahkota rubi api dan mantel rubah hitam… bisa…” Aku memunculkan mahkota di kepalaku dan mantel rubah hitam itu di tubuhku. “Rambut-rambut halus bulu rubah hitam ini kuambil helainya dan sudah kusisipkan di dalam tiap pakaian ini… Itu menjadikan pakaian ini bukan pakaian manusia biasa lagi… Di dalamnya ada mewakili perlambang kerajaan kita dan hanya warga kerajaan Mahkota Merah yang berhak memakainya…” jelasku panjang lebar. Aku lama memikirkan ini dan sepertinya lamunanku berbuah manis untuk mewujudkan salah satu fantasiku.

Memberi mereka pakaian seksi. U-huy.

“Terimakasih, baginda raja! Baginda raja sangat bijaksana dan baik hati!” seru mereka semua serempak dengan sedikit membungkuk masih tak melewati batas.

Aku senang mereka dapat paham dengan cepat begitu kujelaskan. Tentu karena mereka adalah mahluk-mahluk ghaib yang cerdas apalagi masing-masing sudah memiliki nama, berderajat lebih tinggi dari sebelumnya. Wajah-wajah mereka kembali sumringah senang dan ceria mendengar kabar ini. Sinar seolah terpancar dari ke-19 peri cantik berambut merah yang belum berpakaian ini. Warna rambut merah mereka seolah sedang terbakar oleh aura kegembiraan ini.

“Naah… Sekarang saatnya aku membagi pakaian ini pada kalian semua… Eka… Ini milikmu…” ujarku sembari menyerahkan satu set pakaian pada ketua kelompok petarung itu. Satu set itu berarti ada bra, celana dalam dan pakaian. Sehingga mereka kita bisa tertutup tak telanjang lagi. Hanya saja pakaian yang kupilihkan untuk mereka tentu saja seksi, broh…

“Dwi… Ini pakaianmu… Berikutnya… Tri… Ini pakaian untukmu…” mereka bergantian membentuk baris antrian untuk menerima pakaian yang kusebut sebagai anugrah dari raja pada warganya. Mereka semua bergembira menerima setelan pakaian yang langsung kuberikan ke tangan masing-masing. Simbolis bagi mereka ini sangat tinggi artinya. Setelah mendapatkan nama yang berharga kini mendapatkan pakaian. Ini sangat berarti bagi mereka.

Dari peri bernama pertama sampe yang ke-sembilan belas menerima semua pakaian yang sudah kusiapkan. Semuanya sudah mendapatkan secara adil dan sama porsinya; sepasang pakaian dalam dan satu stel pakaian lengkap. Wajah-wajah sumringah mereka sangat menyenangkan untuk dilihat saat ini. Tapi itu tidak lama karena kini berganti bingung.

“Kenapa? Keknya kebingungan gitu…” kataku membaca air muka mereka semua. “Apa gak tau cara makenya, ya?” tanyaku lagi. Mereka semua mengangguk.

Pakaian itu hanya dipegangi saja dan tak tau cara memakainya. ******! Tentu aja mereka gak tau cara make pakaian. Sepanjang hidup mereka, mereka gak mengenal yang namanya pakaian dan tak pernah merasa perlu memakai pakaian. Kali ini, hanya karena sang raja berbaik hati memberi mereka pakaian, benda itu tak tau cara memakainya. Kecerdasan mereka tak ada artinya saat ini karena di dunia ghaib, mahluk yang tak berpakaian adalah hal yang lumrah-lumrah saja karena tatanan sosial, etika sosial dan moral tidak sama seperti dunia manusia.

Aku harus membantu mereka memakainya nih keknya…

“Sini kubantu makenya, ya…” aku mengambil pakaian yang dipegang Eka. Mahluk cantik berwujud peri berambut merah ini pasrah-pasrah aja saat aku mematut-matut bra seksi yang kupilihkan untuknya ini. Dia juga diam aja saat kupaskan cup bra itu di depan payudaranya yang bergantungan indah. Bagian utama payudara itu kini tertutup cup, berupa dua gundukan besar beserta puncak yang berupa puting imut berwarna kemerahan. Ukuran dada milik Eka tak sefenomenal orang rumahku atopun Lisa tapi sangat memadai dan sudah cukup indah. Besarnya sudah pas, tidak ngondoy juga karena gak pernah disangga dengan benar. Bagian tali tipisnya kutambatkan ke bagian bahunya lalu ia kuminta berputar untuk menyempurnakan semua jalinan pakaian dalam yang merupakan bra bikini ini dengan satu simpul ikatan yang kuat di balik punggungnya. “Nah…”

Semua usahaku barusan, tentu saja tak luput dari yang namanya sentuhan-sentuhan yang walopun tak disengaja tapi rasanya… beuh. Juara kali. Kulitnya lembut seperti layaknya perempuan harusnya. Kenyal daging empuknya hangat seperti perempuan harusnya. Aroma tubuhnya menyenangkan wangi seperti perempuan harusnya. Auranya apalagi, seksi abis seperti perempuan harusnya.

Eka yang biasanya tak berpakain alias selalu telanjang sepanjang hayatnya, untuk pertama kali dalam hidupnya mendapatkan pakaian berupa bra. Aku mundur untuk mematut hasilnya. Hasilnya sangat bagus. Payudaranya menyatu rapat membulat dengan sempurna berkat tangkupan sepasang cup bra yang kini menutupi dadanya. Memakaikan bra pada perempuan untuk menutup tubuhnya sensasinya berbeda daripada melucuti untuk menikmati tubuhnya. Ini kebalikan dari yang biasa kulakukan. Ini bentuk dari tanggung jawabku sebagai seorang raja mereka…

“Bagindaa… Baginda rajaa… Apa iniii?” kaget Eka agak merintih dan menahan tepi dadanya dengan lengan. Tubuhnya agak bergetar-getar. Di depan mataku aku melihat sendiri bagaimana tubuh Eka mengalami perubahan. Yang jelas terlihat adalah bagian dada dan pinggulnya. Dadanya lebih membesar ukurannya. Bra yang baru saja kupakaikan padanya bekerja lebih keras sekarang. Tali tipis itu menekan kulit bahunya. Pinggulnya bertambah lebar juga hingga pinggangnya seakan menjadi sedemikian langsing. Begitu juga bagian pahanya yang makin berisi.

Apa ini juga yang telah terjadi pada istriku saat itu? Hanya saja proses terjadinya upgrade ini saat ia sedang tidur dan saat bangun, tiba-tiba saja tubuhnya sudah berubah seperti ini. Secara tak langsung ini karena hubungan Mutee dengan kerajaan Mahkota Merah dengan segala atributnya. Waaahhh… Itu, toh?

“Aahh…”

Dan disana Eka berdiri dengan tubuh barunya yang terupgrade. Upgrade karena sudah memakai satu pakaian yang mewakili semua pakaian yang sudah kuberikan padanya. Teman-teman sesama peri rambut merah juga terperangah melihat perubahan yang terjadi pada tubuh Eka. Peri adalah mahluk ghaib yang tentu saja punya pengetahuan khusus dalam ilmu ghaib tetapi mereka tetap juga dengan kejadian mengejutkan ini.

Eka

“Baginda raja… tubuh hamba berubah… Ini seperti yang terjadi pada ratu Fatima saat pertama kali memakai mantel rubah hitam itu…” kata Eka mengambil kesimpulan. Tapi aku tak mengalaminya… Aku juga memakai mantel rubah hitam dan tak ada terjadi apa-apa padaku. Apakah perubahannya adalah aku bisa memanfaatkan sinar matahari itu?

“Hmm… Begitu, ya? Ngerti-ngerti…” gumamku manggut-manggut mulai paham akan semua fenomena ini. “Bagus sih… Asal nanti semua perubahanmu ini tidak mengganggu tugasmu sebagai petarung, Eka…” kataku lalu mendekat untuk memakaikan satu bagian lagi, yaitu celana dalam yang matching dengan bra yang sudah dikenakannya.

“Baginda?” keberatan Eka akan apa yang akan kulakukan. “Baginda jangan menunduk di hadapan hamba…” katanya karena aku agak menunduk saat akan mengangsurkan satu sisi celana dalam model bikini ini untuk dimasuki satu kakinya dahulu. O-iya… Aku kan raja, ya? Lupa aku…

Serba salah memang. “Gini ajalah… Ini pegang sendiri begini… Ini bagian depannya… Kaki kananmu masukkan kemari… abis itu kaki kirimu kemari…” instruksiku setelah kusuruh Eka memakai bikini bawahan pasangan bra itu sendiri. Masih kaku ia melakukannya hingga masih miring-miring karena bagian mlenuk bibir vaginanya masih mengintip dari samping penutup segitiga kemaluannya. Aku berpindah ke belakangnya dan melakukan koreksi. Tarik sana tarik sana hingga posisinya ngepas. Segitiga surga dan belahan bokongnya tertutup sekarang.

Kupatut hasil kerjaku dengan mundur dan sudah terlihat pas semuanya. Kini Eka tampak lebih sempurna dengan upgrade tubuhnya dan pakaian dalam yang kini menutupi tubuhnya dengan pantas. Ia tak kalah dengan para model Victoria Secret’s. Aku manggut-manggut puas.

“Nah… Kalian semua sudah liat caranya, kan? Tiru apa yang sudah kulakukan pada Eka barusan dengan pakaian baru kalian masing-masing…” kataku memberitau semuanya untuk mulai menurut contoh. Gilak aja aku harus membantu mereka semua memakai pakaian dalam ini. Jadilah Eka sebagai model contoh pakaian dalam yang segera ditiru oleh teman-temannya sesama peri rambut merah yang masing-masing punya setelan pakaian yang sama. Sepasang pakaian dalam dan satu stel pakaian.

Melihat 18 peri rambut merah lainnya memakai pakaian dalam di depan mata adalah pemandangan yang langka terjadi. Mungkin aku satu-satunya manusia yang melihat semua kejadian ini seumur peradaban manusia. Epik mungkin lebih tepat namanya.

Eka terkadang membantu mereka mengkoreksi bila ada teman-temannya yang kesulitan memakai bra dan celana dalam itu. Ada yang kebalik, ada yang kedodoran, ada yang teteknya masih nongol gak tertangkup. Beberapa kali fenomena upgrade itu terulang lagi dan lagi setelah bra itu terpasang dengan pas di tubuh pemakainya. Rambut halus dari mantel rubah hitam yang sudah kusisipkan di dalam tiap potong pakaian itu rupanya yang telah menyebabkan upgrade ini. Lebih tepatnya adalah langsung ato tidak langsung; energi besar yang mengalir secara konstan dan melakukan perubahan upgrade ini. Sampe-sampe orang rumahku kena getahnya juga.

Di depanku, di dalam ruangan kaca, ruangan direktur SPBU ini, 19 peri berambut merah yang hanya terlihat oleh orang yang punya kemampuan saja, berdiri berbaris telah memakai pakaian dalam secara lengkap. Bra dan celana dalam beraneka rupa. Sexy and kinky. Tubuh-tubuh seksi yang mungkin merupakan body goals idaman para wanita, yang baru saja terbentuk akibat proses pakai baju untuk pertama kali ini. Aku yang hidup di dua alam; alam manusia dan alam ghaib spiritual harus bisa menerima ini semua dengan pikiran terbuka. Tapi karena aku sudah melakukan ini puluhan tahun, segala macam kejutan macam ini bisa kuterima dengan lebih mudah.

Berikutnya aku mengarahkan mereka untuk melanjutkan memakai sisa pakaian yang belum terpakai. Setelan baju luar… Kali ini mereka lebih paham, padahal baru saja masih kebingungan gimana mengancingkan bra, meleset memasukkan gundukan dada ke mangkuk bra, mengepaskan agar nyaman tersangga di dalam tangkupan cupnya tapi pentilnya nongol. Kini mereka lebih supel mengenakan pakaian-pakaian itu.

“Terimakasih, baginda raja atas kebaikannya memberikan semua pakaian ini pada kami hamba-hambamu…” seru mereka semua serempak dengan menunduk tak berlebihan. Menunduk sekedar menekuk leher saja.

“Ya-ya ya ya ya… Semuanya nyaman, kan memakai pakaiannya? Nanti aku akan bawakan pakaian-pakaian lain untuk kalian…” kataku merespon ucapan terimakasih tulus mereka. Cantik-cantik dan tambah seksi mereka walo tak lagi telanjang, vulgar seperti sebelumnya. Tak salah aku repot-repot memilih ini semua. Lama aku hanya terdiam, hanya memperhatikan tubuh mereka yang tersaji tepat di depanku. Mereka hanya bangga telah mendapatkan anugrah ini berupa pakaian. Mereka berbangga telah mendapatkan anugrah ini langsung dari raja mereka.

Kelompok Petarung

Kelompok Pembangun

Kelompok Pemburu

Kelompok Perajin

Kelompok Penghibur

“Bagaimana perkembangan pembangunan istana kerajaan kita, Catur?” tanyaku langsung pada ketua kelompok peri pembangun. Peri itu maju ke depan lalu menunduk sebentar.

“Pembangunan istana kerajaan kita sudah menyelesaikan bagian pondasi dan bagian pendukungnya, baginda raja. Kami berempat dibantu kelompok perajin dan kelompok lain, sudah menyelesaikan jalan-jalan batu dari bagian hutan melewati sungai yang sudah diperlebar ke arah hutan bakau… Hutan bakau sudah berkembang pesat hingga air laut mulai membentuk pantai…” lapor Catur yang seolah menjadi pimpro pembangunan istana yang kugagas ini. Mereka menggali bebatuan dari dalam tanah untuk semua keperluan pembangunan ato mencarinya di sekitar lokasi pembangunan. Disini perlu kerjasama mereka dengan kelompok lain.

“Pantainya sudah mulai terbentuk?” ulangku.

“Benar, baginda raja… Bagian tanah berpasir di dekat hutan bakau mulai lembab… Tak lama lagi pantainya akan terlihat berkat pencampuran air tawar dari hutan dan hutan bakau… Seperti yang baginda raja rencanakan…” lapornya lebih lengkap. Biasanya air dari sungai kecil itu hanya hilang begitu saja ke dalam tanah dan kini mulai bermuara di hutan bakau untuk membentuk pantai.

“Bagus kalo begitu… Kira-kira kalo kalian memakai pakaian ini saat bekerja… apa tidak mengganggu keleluasaan kalian?” tanyaku akan pendapatnya. Mereka yang biasa bekerja keras, akankah terhalang oleh batasan pakaian ini?

Ia memperhatikan pakaian yang saat ini dikenakannya lalu pakaian yang dipakai rekannya yang lain. “Mohon maaf, baginda raja… Hamba kurang tau sebelum kami mencoba memakai ini semua saat bekerja…” jawabnya diplomatis.

“Kalo kira-kira terganggu… lepas aja dan cukup memakai pakaian dalam saat bekerja… Senyamannya aja saat bekerja… Lagipula kita belum akan bergerak dalam waktu dekat ini ke kerajaan peri lautan itu… jadi kita punya banyak waktu di dalam kerajaan… Kelompok petarung dan kelompok pemburu… apa kegiatan kalian selama ini?” aku beralih pada dua kelompok itu.

“Kelompok kami hanya berlatih dan terkadang membantu pembangungan istana, baginda raja…” jawab Eka.

“Kelompok kami juga sama, baginda raja… Kami masih menelusuri keadaan di sekeliling kerajaan kita dan semuanya dalam keadaan aman…” lapor Astha. Aku puas dengan jawabannya. Saptadasa yang berada di kelompok penghibur sepertinya ingin ditanyai juga.

“Ya, Saptadasa… Aku tau… Kelompok penghibur harus terus menjaga semangat kelompok-kelompok lainnya… Beri mereka hiburan saat mereka butuh apalagi di kerajaan kita selalu dalam keadaan terang benderang… Seperti gak ada waktu istirahat karena selalu siang… Kalian harus mengingatkan kalo mereka harus istirahat dengan cara memberikan hiburan… Paham?” ujarku pada kelompoknya.

“Baik, baginda raja…”

“Sekarang kalian semua kembali ke kerajaan… Semua yang ingin kusampaikan sudah disampaikan… Selamat bekerja bagi masih bertugas… Silahkan semua kembali…” tuntasku akan pertemuan di malam ini. Mereka semua lalu pergi menghilang untuk kembali ke daerah kekuasaanku yang merupakan lokasi kerajaan Mahkota Merah berada. Di ruangan berdinding kaca yang tadi rame oleh belasan peri rambut merah kini sepi.

Kecuali satu sosok yang masih tertinggal. “Siap mendapatkan perintah, baginda raja…” ia menundukkan kepala patuh akan kode yang tadi kuberikan padanya sebelum semuanya benar-benar pergi.

“Terimakasih sudah tinggal sebentar… Ada tugas yang akan kuberikan padamu sebagai salah satu pemburu… Siap mendengar perintahmu?” tanyaku menanyakan kesiapannya untuk menjalankan tugas dariku.

“Hamba Astha… Ketua kelompok pemburu siap menerima tugas…” ia menunduk lagi dengan sigap. Siap menerima tugas.

Astha

——————————————————————–
“Silahkan dimakan kuenya, anak-anak…” ujar perempuan tua itu yang mungkin udah mencapai 70-an tahun. Dulu ia cantik berkat status keuangannya yang bisa mempertahankan kekencangan dan elastisitas kulitnya. Sekarangpun masih tetap cantik walo tak dapat memungkiri keriput-keriput dan kulit yang mulai melar. Terutama pada bagian kantung mata dan lehernya yang bergelambir. Apalagi seluruh rambutnya kini memutih dan ditata dengan elegan.

“Ya, tante…” jawab kami.

“Bobi sudah dipanggil si-mbak… Kalau sedang main… itu bocah susah sekali untuk dilepaskan dari mainannya…” katanya lagi.

Kami bertiga hanya bisa lirik-lirikan tapi kami langsung memakluminya kondisi dementia-nya setelah melihat gelengan kepala seorang perempuan yang duduk mendampinginya. Kami sudah diperingatkannya untuk memaklumi perangai perempuan tua yang kami temui ini.

“Kalian bertiga masih seperti dulu, ya… Kamu yang Jawa Deli… Iyon? Kamu dulu sering nginep di rumah kalo malam minggu, toh?” ia masih sangat ingat pada Iyon. Saat itu Iyon memang yang paling akrab dengannya karena duduk berdampingan di kelas. “Saya seneng kalo kamu main ke rumah… Bobi jadi ada temennya… Dia selalu saja kesepian… Untung ada nak Iyon…” cerocosnya. Iyon yang dimaksud hanya bisa manggut-manggut.

“Saya dulu kira waktu pertama kali sampe di Medan itu semua orangnya Batak kabeh… Tak taunya onok wong Jowo juga… Lah kamu juga tak kira wong Cino malah wong Padhang…” lalu ia beralih padaku. Aku juga meniru tingkah Iyon yang manggut-manggut.

“Lah ini baru Batak beneran…” katanya pindah ke Kojek.

“Iya, tante… Margaku Hutagalung, tante… Panggilanku Kojek…” sahutnya udah gatal pengen ngomong. Logatnya tetap seperti dulu sampe sekarang dan tentu saja itu yang membuatnya mudah diingat tante Grace sampe sekarang. Tapi walo begitu, ia sampe sekarang tak bisa terima kalo putra semata wayangnya sudah tiada. Masih menganggap Bobi masih ada dan sedang berada di kamarnya.

Perempuan tua itu sumringah sekali mendapat kunjungan dari teman-teman anaknya yang pernah sempat meramaikan rumahnya saat Bobi kesepian tak punya teman. Ia ingat semua detail tingkah polah kami waktu itu rusuh membuat rumah mewah mereka bising tetapi tak membuatnya marah. Ia malah senang rumahnya rame kek pajak (pasar) kami bikin.

“Opo’o kuwi kabeh gak pernah tekan kene lagi-heh? Bobi nungguin terus, loh?” kata perempuan tua itu pake logat Suroboyoan yang nyampur-nyampur. Ia lalu terus nyerocos ntah hapa-hapa lagi. Segala macam anak kucing yang lahir tiga ekor betina semua tetapi mati karena kepalanya digigit oleh kucing pejantan yang bukan bapaknya gara-gara pengen segera mengawini mamaknya. Kami harus sabar-sabar aja mendengarkan segala macam tentang layang-layang milik anak tetangga yang nyangkut di kabel listrik depan rumahnya berjuntai-juntai dengan benang gelasannya.

“Ayo minum obatnya dulu, budhe…” ujar perempuan yang selalu mendampinginya itu. Ia memapahnya pelan-pelan untuk beranjak ke arah kamarnya yang berada tak jauh dari tempat kami berada. Rumah sebesar ini terasa sangat kosong dan suram walopun diisi dengan furniture mahal dan mewah sekalipun. Kami harus menunggu lagi sampe perempuan itu kembali lagi, setelah ia menidurkan si tante.

Kami bertiga hanya lirik-lirikan saja. Jauh-jauh kami datang ke kota Pasuruan hari Sabtu sore ini dimana perempuan yang kami panggil sebagai tante Grace, ibu dari Bobi itu menetap sekarang. Ini adalah rumah lama mereka sebelum pindah ke Medan waktu itu. Tentunya kami kemari menggunakan jasa kekuatan jurus B3 Iyon yang memudahkan kami pergi kemana-mana. Hari sudah menjelang Maghrib di sini waktu kami sampe dan akan kembali terang kalo abis ini kami balik ke Medan.

Karena gak ada orang lain disekitar kami, Iyon iseng mencomot satu kue dan memakannya. Aku dan Kojek kemudian mengikutinya. Seteguk dua teguk teh manis hangat juga untuk melancarkan leher yang seret.

“Maaf menunggu lama… Begitulah budhe Grace sehari-harinya… Sebetulnya secara keseluruhan dia sehat-sehat saja… Hanya saja ia tidak mau terima kalo Bobi sudah tidak ada… Saya masih ingat dengan kalian bertiga… Kalian teman-teman Bobi… Yang paling dekat dengannya… Apa ada yang ingin kalian tanyakan?” tanya perempuan yang mengurus tante Grace. Sebenarnya dia masih saudara perempuan itu dan yang perduli dengannya.

“Mm… Gini mbak… Kami sekedar ingin tanya-tanya saja… Juga sekalian pengen ziarah juga ke makam Bobi… Yang disini kami gak tau lokasinya…” kata Iyon menjelaskan maksud kedatangan kami.

“Oh, tentu… Dulu itu Bobi kan dimakamkan di Medan… Trus karena kami semua pindah kemari lagi… jadinya kami memindahkan makam Bobi… Tempatnya gak jauh dari sini, kok…” jelasnya dengan senang hati.

“Selain kami… apa ada yang pernah datang kemari menanyakan tentang Bobi? Orang yang mungkin tidak mbak kenal…” tanyaku.

“Ada beberapa… Ngakunya teman-teman sekolah dia dulu disini… Teman SD sama SMP…” jawabnya masih dengan nada standar aja. Ia pastinya tau apa-apa yang terjadi di rumah ini.

“Apa ada pria yaaang… aneh begitu?” tanyaku lagi. Mungkin Lord Purgatory pernah datang kemari. Ia terdiam sebentar, mencoba mengingat-ingat. Dari ekspresi wajahnya sepertinya ada yang mengganggu hatinya.

“Semenjak peti Bobi kami pindahkan ke pemakaman di sini… ada seorang pria yang selalu mendatangi makam Bobi… Ia selalu pergi begitu kami mendekatinya… Tante Grace menganggap kalo pria itu adalah Bobi… Sampai-sampai ia berkesimpulan kalo Bobi masih hidup… Juga terkadang ada suara-suara di dalam kamar Bobi… Sewaktu dibuka tidak ada siapa-siapa… Tante Grace beranggapan itu adalah Bobi yang sedang beraktifitas di kamarnya…”

Penjelasan perempuan ini membuat kami kembali lirik-lirikan.

“Boleh kami melihat kamar Bobi, mbak?” pinta Iyon.

“Boleh… Ayo silahkan…” katanya memperbolehkan kami. Kamarnya ada di lantai dua dan kami mengikutinya ke sana. Kami beriringan ke sana hingga tiba di depan sebuah pintu. “Silahkan…” katanya mempersilahkan kami masuk. Masuk ke dalam kamar ini, bagi kami seperti memasuki kamar seorang anak gadis. Rapi, bersih dan teratur tertata dengan indah. Sebuah poster Beatles bahkan dibingkai dengan apik. Ini tidak seperti kamar seorang pemuda yang kami kenal di Medan waktu itu. Entah kalo keluarganya merombak susunan asli kamar ini menjadi begini.

“Budhe Grace minta agar kamar Bobi tidak diganggu gugat selamanya… Bahkan robot-robotannya saat masih kecil tetap di sana di dalam lemari itu…” tunjuknya pada semacam lemari display dari kaca yang menampilkan beberapa koleksi mainan Bobi. Keknya Gundam nyampur sama Voltron gitu robotnya. Ternyata ini masih susunan aslinya.

“Tidak ada barang-barang Bobi yang hilang kan, mbak? Saya paling ingat dengan cincin besar batu hijau yang sering sekali dipakai Bobi waktu itu… Saya ingat Bobi tetap memakainya waktu dimakamkan…” kata Iyon. Kami sempat menjenguk jenazahnya sebelum petinya ditutup dan dimasukkan ke liang lahat. Kami bertiga saksi ia memakai cincin itu. Ia sangat tampan dan gagah dengan jas dan bunga-bungaan.

“Tidak ada… Tidak ada yang hilang… Tentu saja dipakai… Siapa yang menginginkan benda itu…” jawabnya. Akan sangat tabu mengambil barang-barang kesayangan orang sudah meninggal. Kami bertiga hanya bisa manggut-manggut sambil terus jelalatan menelisik tiap sudut kamar ini seteliti mungkin tapi tak ada yang mencurigakan selain dari atmosfernya yang terlalu rapi mengingat kepribadian Bobi. Kamarnya sewaktu di Medan dulu tak serapi ini.

Puas melihat-lihat kamar lama Bobi kami lalu diberi alamat tempat pemakaman Bobi berada beserta blok dan nomornya juga. Kami bergegas menuju tempat itu berbekal instruksi arah ke makam itu. Perempuan itu agak heran kami akan mengunjungi pemakaman itu malam-malam begini. Tempat itu terang dan bersih tapi sungguh tak lazim berziarah malam-malam begini.

Berjalan kaki saja kami sudah sampai di tempat ini. Tempatnya luas dengan gapura besar. Tempat ini merupakan pemakaman premium tempat orang kaya yang pastinya harga booking-nya sangat mahal. Kami segera mencari-cari blok dan nomor nisan Bobi dan kami menemukannya di sayap Barat lokasi pemakaman ini.

“Rest In Peace… Bobi Putranto…” dengung Kojek membaca nisan penanda makam Bobi lengkap dengan tanggal lahir dan tanggal wafatnya. Kami bertiga berdiri tepat di depan nisannya. Ada seikat bunga di atas nisannya. Bunganya masih cukup segar seperti baru tadi pagi diletakkan disini.

“Teman… Dimanapun kau berada saat ini… Hari ini kami mengunjungi makammu… Maafkan kalo baru malam ini kami menyempatkan datang mengunjungimu lagi setelah sekian lama… Ada sedikit masalah yang mengganjal yang masih membawa-bawa namamu, teman… Kami sepakat beranggapan kalo itu mendeskreditkan namamu… Merusak memorimu… Mencederai persahabatan kita… Maaf kalo kami akan melakukan ini… Kami akan sebaik-baiknya memperbaiki apa yang telah dirusak ini…” kata Iyon maju pertama kali seperti berbicara langsung pada jasad yang terkubur kaku, dingin mengering di kedalaman tanah ini.

Giliranku…

“Bobi… Ini aku Aseng… Awak langsung aja minta maaf karena secara tidak langsung membuatmu menjadi begini… Awak telah merebut Fatima-mu… Tapi itu semua pilihannya… Kau berhak untuk bahagia dan itu pilihanmu juga… Ada seseorang… entah apa dia… mengaku bernama Lord Purgatory… Ia tau semua tentang detail dirimu bahkan memakai cincin yang persis mirip dengan cincin Green Lantern-mu… Ia sudah menyebabkan banyak kesulitan padaku dan bahkan pada Fatima-mu… Hari ini… malam ini kami akan memastikannya…” kataku dengan memegangi nisannya. Sekarang giliran Kojek.

Kojek komat-kamit sebentar membaca doa dengan lirih. “Untuk lae-ku… Tuhan Yesus, oleh karena dukacita yang Kau alami dalam sengsara-Mu di Taman Getsemani, di dalam penganiayaan-Mu dan permahkotaan-Mu dengan duri di jalan Kalvari, di penyaliban-Mu dan kematian-Mu, berbelas kasihanlah kepada jiwa-jiwa di Api Penyucian, dan terutama kepada mereka yang paling terabaikan; mohon bebaskanlah mereka dari penderitaan yang mereka tanggung. Panggillah mereka dan terimalah mereka kepada rangkulanMu yang termanis di surga… Amin…” Kojek malah berdoa yang cukup panjang dengan suara lirih. Yang paling kuingat adalah kata Api Penyucian. Itukah arti Purgatory sebenarnya?

“Udah, Jek?” tanya Iyon yang bersiap-siap.

“Udah… Ambil, Yon!” jawabnya yang sama-sama denganku mundur mengambil jarak aman.

Mendengar itu pertanda Iyon sudah mulai bisa bekerja dan ‘blips’ ia hilang begitu saja sekedipan mata dan kembali dengan cepat membawa sebuah benda besar berbentuk peti mati yang berat dari kedalaman tanah menggunakan jurus Bayangan Bunga Bujur andalannya. Peti jenazah yang terbuat dari kayu berwarna putih dengan banyak hiasan salib di seluruh dinding dan tutupnya. Bentuknya masih bagus dan rapi tanda ada kerusakan sedikitpun. Masih tertutup rapat, tak ada tanda pernah dibongkar secara paksa saat kami inspeksi kondisi peti jenazah teman kami ini.

“Kita buka?” tanya Iyon pada kami berdua. Aku harus menunggu persetujuan Kojek karena dia perwakilan yang paling paham kalo masalah agamanya walo tak 100% sama. Sebab Kojek Protestan, sedang Bobi ini menganut Katolik.

“Buka… Agar kita tidak penasaran siapa yang mencemarkan nama Bobi selama ini…” jawab Kojek yang kemudian mengikat sebuah sapu tangan lebar untuk menutupi mulut dan hidungnya dari aroma yang mungkin akan menguar dari dalam peti jenazah. Kami mengikuti langkahnya. Walo jenazah sudah di-treatment dengan menggunakan pengawet, tetapi pasti masih akan ada aromanya.

Kami lalu bersama-sama membuka paku yang berbentuk semacam sekrup ulir dengan pangkal besar berbentuk salib. Semua paku dilepaskan dan kemudian sama-sama menghitung untuk membuka tutup peti itu.

“Krriiieeett…” suara engsel yang mulai berkarat berderit mendahului udara terperangkap di dalamnya keluar. Kami tertegun menatap jenazah Bobi yang terbujur kaku. Dulu jas yang dipakainya pas di tubuhnya. Kini menyusut bersamaan dengan mengeringnya tubuhnya. Aku yang dikode Iyon untuk memeriksa jari tengah tangan kanan Bobi dimana cincin Green Lantern itu terakhir berada.

Aku menekan bagian hidungku dan menahan nafas lalu melongok. Tangan kanannya di atas menangkup tangan kiri dan tak ada cincin sama sekali di jarinya yang kurus kering. Aku menggeleng yang harusnya bisa dilihat oleh dua sahabatku.

“Pfaahh… Cincinnya tidak ada…” kataku laporan pada mereka berdua. Mereka juga ikut melongok, ikut memastikan kesaksianku. Kojek malah lebih berani dan memeriksa ke jari tangan kirinya dengan terlebih dahulu mengangkat tangan kanannya sedikit. Kami lalu menutup peti kembali dan memasang paku-pakunya ke tempat semula.

“Kita semua sudah menyaksikan… Cincin itu tidak ada di jenazah Bobi… Berarti cincin yang kau liat dipakai Lord Purgatory itu asli, Seng…” kata Iyon masih di depan peti jenazah ini. “Itu artinya… si Lord Purgatory itu telah mengambil cincin itu… Entah bagaimana caranya dan menurut ceritamu waktu itu… ia sudah menguasai cincin itu bahkan lebih ahli daripada Bobi…” perhatian kami lalu diinterupsi oleh munculnya beberapa buah gelembung berwarna kehijauan. Awalnya kecil-kecil dan bertambah lama semakin besar.

Benda mirip gelembung sabun itu mengambang dengan lembutnya berarak. Sontak kami bertiga menoleh ke arah datangnya gelembung-gelembung ini teringat akan bagaimana Lord Purgatory menahan serangan sinar panasku sewaktu di event gangbang itu menggunakan gelembung sejenis ini.

“Akhirnya kalian datang juga ke tempat ini…” sapa pria itu. Benar! Itu si Lord Purgatory!

Dia berdiri sendirian sejauh dua baris nisan dari kami sekarang. Itu artinya sekitar 4-5 meter jauhnya. Ia baru saja memposisikan tangan kanannya di samping tubuhnya setelah selesai menciptakan gelembung-gelembung kehijauan ini. Kami bertiga menghadapinya dengan hati-hati. Mahluk ini bisa ada dimana-mana juga ternyata. Apakah ia memiliki kemampuan seperti para peri itu? Ato punya jurus sejenis B3?

“Ah… Kalian mau melihat cincin ini? Silahkan lihat… Dari jauh saja, ya…” katanya lalu mengacungkan tinju tangan kanannya agar Iyon dan Kojek dapat melihat dengan jelas cincin itu. “Ini asli milik Bobi Putranto… Tidak perlu saya ceritakan detilnya tapi cincin ini milik saya sekarang…” sesumbarnya.

“Apa hakmu mengambil cincin itu dari Bobi? Itu merupakan pencemaran nama baik Bobi… Apalagi kau tidak menggunakannya untuk kebaikan… Kau menggunakannya untuk teror!” sergah Iyon.

“Ushh… Stt… st… Tenang… Jangan terbawa emosi…” ia malah berusaha menenangkan Iyon yang terlihat mulai terbakar emosinya akan sosok asing tak dikenal ini. Memang benar. Apa hak sosok ini atas milik Bobi. Kalo kami bertiga mungkin lebih berhak untuk berang karena pencemaran nama Bobi oleh ulahnya. Si Lord Purgatory ini meletakkan jarinya di bibirnya sendiri, mendesis agar Iyon tidak berisik.

“Kalian bertiga Menggala bukan? Pendekar Menggala? Tentu kalian tidak asing dengan yang namanya Menggala Aga… Kekuatan Menggala yang berasal dari bebatuan spesial yang memiliki kekuatan ini… Bobi Putranto memilih jenis Menggala ini… Kalian tau itu semua… Kekuatan bebatuan ini sangat luar biasa… Saya hanya meneruskan kiprah Bobi Putranto di dunia Menggala ini… Dan dapat saya pastikan kalau saya sangat berhak atas cincin ini lebih dari siapapun…”

“Lebih berhak?” desis Iyon sinis.

“Karena aku berasal dari Bobi Putranto sendiri…” paparnya. Ia melakukan sesuatu pada bebatuan kecil yang ada di sekeliling batu utama lonjong berwarna hijau itu. 18 batu berbagai warna itu berputar mengelilingi batu utama dan dihentikannya dengan menekan pada satu batu kecil berwarna merah.

Plup! Plup! Plup!

Gelembung-gelembung kehijauan berbagai ukuran yang mengambang di sekitar kami meletus hampir bersamaan dan dari dalamnya melesat berbagai macam serangan yang membuat kami bertiga tunggang langgang menghindar. Ada ratusan anak panah, puluhan tombak yang melesat cepat seperti hujan yang menyerbu deras. Aku sendiri melindungi tubuhku dengan memapas semua serangan itu dengan mandau Panglima Burung-ku. Iyon menggunakan sebuah cambuk yang diputarnya seperti gasing memblok serangan itu. Kojek mengeraskan tubuhnya dengan teknik Nabirong.

Ketika kami disibukkan oleh serangan senjata yang dilontarkan yang entah bagaimana bisa muncul dari dalam gelembung berukuran kecil dan sedang, gelembung berukuran besar juga meletus. Dari dalamnya melompat tiga sosok tubuh berwarna merah keseluruhan yang segera kukenali sebagai peri. Berbeda dari peri-peri dalam kerajaanku yang hanya berambut merah, ketiga peri ini kulitnya yang merah.

Aku tak bisa berlama-lama menilai fisik ketiga peri ini karena dengan ganas salah satunya sudah mengayunkan kapak besar yang dibawanya ke arah kepalaku. “SWAAASSHH!!” aku pontang-panting menghindari serangan cepatnya. Kapak sebesar dan seberat itu diayunkannya dengan mudah seperti sebatang ranting saja layaknya. Sebuah nisan yang terkena sabetan kapak itu terbelah dua dengan bersih.

“Clank!” aku menangkis serangan peri berkulit merah dan hasilnya aku terjajar mundur. Dengan sayap yang dimilikinya, ia dengan mudah memasuki teritori bertahanku dan mengayunkan kapak berbahaya itu lagi dari bawah mengincar daguku. Aku mundur sebisanya dan ia terus mengejar dengan kelincahan dan kecepatannya yang luar biasa. Kusabetkan mandau-ku untuk membuatnya mengganti arah serangan namun dielakkannya dengan lugas dan liat. Aku seperti hanya melihat beberapa bayangannya yang berkelebat cepat menghindar lalu kembali menyerang. Ia memanfaatkan kecepatannya dengan sangat baik.

Tapi kecepatan yang dipamerkannya tak akan ada artinya kalo dibandingkan kecepatanku yang kubuat meningkat dengan penambahan suhu tubuh. Uap panas mengepul dari tubuhku pertanda mantel rubah hitam mengeluarkan panasnya. Hantaman mandau Panglima Burung-ku menghantam keras kapak yang dipegangnya, menyebabkan suara benturan dua logam saling bertabrakan dengan desing memekakkan telinga. “DDOOOWNGGG!!”

Saat tangannya kesemutan oleh efek benturan itu, kakiku berputar dan menghantam sisi perutnya. Peri berkulit merah itu terlempar searah lontaran seranganku tetapi tetap kukejar. Peri itu menghantam sebuah nisan dan merobohkannya. Kubisikkan satu nama agar datang…

Peri itu tak berkutik gak bisa bergerak lebih jauh karena ujung sebilah pedang tajam sudah disodorkan ke lehernya. Pelakunya adalah peri lain, yang berambut merah dan memakai bikini two pieces berwarna ungu. Kakinya menginjak bagian perut peri berkulit merah tak berbusana itu hingga tak bisa macam-macam lagi akan ancamannya. Eka memandang kejam pada lawan yang ditahannya dengan ancaman ujung pedang tajamnya.

Aku mengalihkan perhatianku pada dua sahabatku yang menghadapi peri berkulit merah bagian lawannya. Berturut-turut Iyon dan Kojek menyelesaikan keduanya dengan berbagai serangan kuat hingga peri-peri itu hilang pupus di gelapnya malam di pemakaman elit ini. Mereka mencak-mencak di sana karena lawan utama kami kembali menghilang melarikan diri setelah mengirimkan masing-masing satu lawan sebagai pengalih perhatian. Lord Purgatory lagi-lagi berhasil melarikan diri.

Tidak bisa tepat disebut melarikan diri karena ia sendiri yang muncul, berbaik hati menyamperi kami yang sedang berkumpul di depan makam Bobi. Kesal karena Lord Purgatory sudah pergi, Iyon dan Kojek menghampiriku yang tengah memperhatikan peri berkulit merah bagianku. Eka masih menahan peri itu.

“Kau berhasil menahannya, Seng?” saat Iyon datang. Cambuk miliknya menyusut dan hilang di tangannya. Tapi tak pelak ia melirik pada bodi montok Eka.

“Kek pernah liat yang ini, Seng… Tapi kok lebih montok, ya?” tanya Kojek terus terang aja ceplas-ceplos ngomongnya. Ia mempelototi tubuh aduhai Eka yang entah kenapa muncul hanya memakai bikininya aja? Mungkin ia sedang melakukan sesuatu hingga perlu melepas pakaiannya dan hanya memakai pakaian dalam saja saat kupanggil.

“Ini yang waktu itu kita tanyain itu-loh…” kataku mengingatkan mereka akan interview kami padanya. “Awak udah ngasih nama sama pakaian sama mereka semua… Makanya agak-agak berubah dia…” kataku memperingan istilah ‘montok’ si Kojek. Aku memungut kapak besar dan berat milik peri bertubuh merah, bertanduk dan bersayap itu. Ternyata benar-benar berat. Beratnya sekitar 20-25 kiloan gitu. Heran juga peri selangsing ini bisa mengayun-ayunkan senjata seberat ini dengan mudah. Tapi lagi-lagi aku harus maklum karena yang kami hadapi ini adalah peri, mahluk ghaib yang tak bisa disamakan dengan manusia fana.

“Kurang ajar si Lord Purgatory itu… Lagi-lagi kabur menggunakan kekuatan mahluk lain…” ujar Iyon yang masih kesal. Ia sepertinya belum puas dengan membasmi salah satu utusan Lord Purgatory. Ia berdiri di samping Eka dan menatap peri berkulit merah itu dengan berang. “Darimana asalmu?!” hardiknya. Eka sampe harus melirik padaku minta petunjuk bagaimana harus bersikap. Aku menggeleng agar ia membiarkan apapun yang dilakukan Iyon tapi tetap menahannya agar tidak kabur.

Peri berkulit merah itu diam saja dengan muka sengit tak mau menjawab pertanyaan Iyon.

“DARIMANA ASALMU!!” tanpa tedeng aling-aling Iyon menjejak muka peri itu. Diinjaknya wajah peri itu dan ditekannya kuat hingga agak terbenam di tanah berumput ini. Iyon cenderung kasar kalo sudah berurusan dengan interogasi lawan. Eka sampe mengernyitkan keningnya karena membayangkan rasa sakit yang dialami oleh peri yang sedang ditahannya ini.

“Jangan kasar-kasar gitu, Yon…” Kojek datang menyelamatkan wajah cantik peri berkulit merah itu dari disakiti lebih jauh lagi. Ia menarik Iyon menjauh dan berbisik-bisik menasehati. Bukan… Bukan itu yang terjadi. Kami bermain Good Cop-Bad Cop. Polisi baik-Polisi jahat. Kojek dengan wajah seramnya selalu berhasil berperan sebagai polisi baik dan Iyon sebagai polisi jahat dengan muka kalemnya. Aku biasanya berperan sebagai tukang ngantar galon.

“Jangan membuat temanku itu marah… Kalo dia sudah mengamuk… kau bisa berakhir seperti dua temanmu itu…” Kojek mengingatkan peri itu tentang dua temannya yang sudah musnah. Padahal ia salah satu pelaku pemusnahan itu. Kojek berjongkok di depan wajah peri itu sembari membersihkan kotoran yang menempel bekas diinjak Iyon tadi. Iyon masih uring-uring tak jauh di sana sambil menendang-nendang rumput pendek yang tak berdosa.

“Tuanmu itu… Lord Purgatory sangat jahat, bukan? Kalian pasti sudah disuruhnya melakukan banyak hal yang bertentangan dengan hati nurani kalian, kan?” bujuk Kojek berusaha berbaik-baik dengan tawanan kami yang masih berbaring di tanah dengan leher terancam ujung pedang Eka.

“Aku lebih baik mati…” jawabnya lirih dengan muka ketat.

“Ahh… Itu? Sayang sekali…” ia menggeleng-geleng menyayangkan keputusan peri berkulit merah ini. “Seng… Apa ada tempat untuk kita bisa melakukan interogasi dengan nyaman?” tanya Kojek beralih padaku.

“Interogasi? Ini peri-loh, Jek… Kurungan apa…? Oh… OK… Kita bawa dia ke kerajaanku…” jawabku segera mendapat ide. “Eka… Tahan dia sampe kubawa ke kerajaan…”

“Baik, baginda raja…” jawab patuh Eka yang segera melakukan gerakan cepat membalik tubuh peri berkulit merah itu, menelikung kedua tangannya dan menariknya hingga berdiri tetapi belakang lututnya kemudian ditendang hingga terduduk dengan kaki berlipat.

“Awak mau bawa dia ke tempatku… Kalian harus ikut…” kataku mengajak mereka memasuki daerah kekuasaanku. Keduanya cepat tanggap dan dengan segera masuk ke daerah kekuasaanku yang baru dirombak ini setelah sebelumnya Iyon mengembalikan peti mati Bobi dengan jurus B3-nya ke dalam liang lahat abadinya.

“Whoaahh… Gilak, Seng!” kaget mereka berdua melihat perubahan besar-besaran yang telah terjadi di tempat ini. Sebuah istana berukuran lumayan besar yang sedang dalam tahap pembangunan sudah mulai berdiri dengan megahnya. Entah sudah berapa ratus jam kerja kelompok pembangun dibantu kelompok lain mengerjakan semua ini. Aku sendiri cukup kagum dengan kecepatan kerja mereka. Tiap aku kembali kemari, selalu ada update signifikan atas kemajuan pembangunan istana ini.

“Itu pantai, Seng?” tunjuk Iyon pada jauh di seberang sana. “Waahh… Kau sampe buat pantai, yaaa…” tentunya ada banyak kejutan di tempat ini. Terakhir kali aku kemari, itu dua hari lalu, pantai itu masih berupa genangan pasir becek saja dan kali ini airnya sudah setinggi mata kaki. Mungkin setelah bertahun-tahun waktu normal akan terbentuk lautan luas nantinya.

“Masih belum lengkap ini… Di sana aku sedang memilih tempat untuk menumbuhkan gunung berapi… Warga kerajaanku ini peri api ternyata, walopun selama ini terbiasa hidup di tepi pantai…” jawabku lalu memberi memberi kode agar Eka menggiring peri berkulit merah itu ke arah istana. Pasti di sana akan ada tempat untuk menahannya. Kami mengikuti arah bergeraknya Eka membawanya ke dalam istana yang masih dalam proses pembangunan. Catur sebagai pimpinan proyek pembangunan ini sedang memasang sebuah pintu kayu yang sangat tebal lagi kokoh di arah masuk istana. Eka bertanya adakah tempat yang bisa digunakan untuk menahan tawanan ini.

Beberapa peri berambut merah lainnya yang berseliweran di sekitar kami memberi salam lalu lanjut bekerja. Rata-rata yang sedang sibuk bekerja, hanya memakai pakaian dalam saja. Itu artinya hanya memakai bra dan celana dalam saja. Iyon dan Kojek geleng-geleng kepala melihat kesibukan dan kecuekan para peri rambut merah ini dalam penampilannya hingga tak memperdulikan bagian sensitif tubuhnya dipelototi orang asing.

“Awas matanya kelilipan…” peringatku pada kedua sahabatku yang malu-malu ketauan mupeng.

Di bawah tanah istana, bahkan ada sebuah ruang khusus untuk menahan para tawanan. Mereka, terutama kelompok pembangun memikirkan sampe ke hal-hal begini ternyata. Dan di ruangan utama yang mungkin bisa disebut ruang interogasi, bagian dari penjara ini, kami sedang memandangi bagaimana Eka mengikat peri berkulit merah itu dengan erat. Sayap-sayapnya juga dibuat tak bisa bergerak.

“Silahkan, baginda raja…” Eka memberiku kesempatan pertama kali untuk menginterogasi tawanan.

Menatap peri tak berpakaian bukan yang pertama kali bagiku tetapi aku aku tetap gak tahan menahan godaan menatap gundukan montok dadanya yang membusung dan lipatan indah kemaluannya. Kusamarkan dengan berpikir apa yang akan kutanyakan. Aku seorang raja sehingga pertanyaanku haruslah berbobot dan mengesankan.

“Siapa pemimpinmu?” tanyaku singkat. Mahluk tak berpakaian ini tentunya tak punya nama sehingga sia-sia menanyakan itu. Yang paling logis adalah menanyakan siapa pemimpinnya. “Lord Purgatory, kah?” tonasi pertanyaanku tidak kutekan menuntut. Hanya ingin tau saja.

“Maharaja Lord Purgatory untukmu!” jawabnya dengan berani.

“BUGHH!!” sebuah bogem mentah mendarat di pipinya hingga wajahnya terlempar kesamping dan darah terciprat. “Jaga mulutmu di depan raja kami!!” Eka berang peri yang kami tawan ini tak sopan menurutnya. Direnggutnya rambut peri itu hingga kepalanya menengadah. “Jawab pertanyaan baginda raja Mahkota Merah atau kau bernasib seperti dua temanmu itu…”

“Seeeng?” desak Kojek.

“Cukup Eka… Cukup…” leraiku hingga ia melepas rambut hitam peri malang yang tak tau dikasihani ini, karena ia bersikap menantang walo kondisinya benar-benar rentan. Kalo orang Medan bilangnya metengkelek kali.

“Yaa… Maharaja Lord Purgatory adalah pemimpinmu… Kamu tentu pengikut setianya… beserta ratusan peri berkulit merah seperti dirimu ini…” kataku menyeka darah yang membekas di bawah bibirnya, bekas dihajar Eka barusan.

“Aku adalah peri Padma terakhir… setelah dua saudaraku kalian bantai!” serunya sengit penuh dendam.

Aku beralih pada Eka untuk mengetahui arti kata ‘Padma’ yang baru disebutkannya. “Peri Padma adalah peri teratai merah, baginda raja… Ada beberapa jenis peri berelemen api di dunia ini… Seperti kami yang merupakan peri Aruna—peri fajar merah… Makanya hanya bagian rambut kami saja yang berwarna merah…”

“Katanya peri Padma terakhir, Seng… Hampir punah berarti…” kata Iyon tiba-tiba maju menyeruak. Pandangannya seperti menyesal telah membantai peri Padma yang menjadi lawannya tadi. “Maaf aku sudah membunuh saudaramu…” sambungnya lagi.

“Aku juga…” Kojek juga ikut menyesal. Keduanya menunduk di hadapan peri Padma yang masih terbelenggu itu. Mukanya terlihat kaget tak percaya kalo lawan yang telah membantai dua saudaranya meminta maaf dengan cara seperti ini. Alisnya bergerak-gerak menahan emosi. Mulutnya bergetar seakan hendak memuntahkan semua kemarahannya.

“PERMINTAAN MAAF KALIAN TIDAK AKAN MENGEMBALIKAN SAUDARAKUUU!! TIDAK SEKARANGGG!! TIDAK NANTIII!!” ledaknya dengan suara lantang. Eka bawaannya udah mau menghajar peri Padma terakhir ini aja karena berlaku lancang, tereak-tereak di depan rajanya. “HANYA BILA KALIAN SERAHKAN MAHKOTA RUBI API YANG DAPAT MEMBALASNYA!!” lanjutnya lagi membuka motif aslinya. Kami bertiga tersenyum lebar pelan-pelan.

“Kedoknya terbuka…” gumamku.

Bersambung

Jembut lebat pembantu
Main Dengan Pembantu Sebagai Balas Budi Bagian Dua
Mantan pacar yang sekarang jadi istriku
Gara gara cukur jembut jadi ngewe dengan teman sendiri
tante semok
Kenikmatan yang di berikan tante semok di kamar hotel
cewek lagi masturbasi
Menikmati masturbasi di kamar mandi waktu di rumah gak ada orang
Ngentot gadis bugil
Wanita Setengah Baya Yang Selalu Ku Inginkan
Foto Bugil Artis Bokep Jepang (JAV)
Nikmatnya Bercinta Dengan Tante Yola
janda muda
Cerita dewasa ngentot janda muda yang kaya raya
Foto Bokep Mahasiswi Ngentot di Hotel
sma ngentot
Cerita ngentot di toilet waktu istirahat sekolah
Cerita ngentot pacar baru ku yang masih perawan dan lugu
Foto Tante Bohay Nungging Sebelum Ngentot
Foto Bugil Cewek Korea Cantik Toge
tante genit
Tak kuasa menahan rayuan tante ginit yan super sexy
onani nikmat
Cerita ngocok waktu di rumah sendirian