Part #81 : Batara Kala bergerak lagi

Banyak sebenarnya soalan yang ingin kutanyakan pada si baluap berjuluk Lord Purgatory ini. Banyak sekali sampe mungkin aku harus menuliskannya agar gak ada yang terlewat. Tetapi ia dengan mudah merangkumnya semua dengan kalimat.

“… karena saya bukanlah manusia…”

Baluap gak tuh? Bentuknya manusia kali… Bisa-bisanya dia mengaku bukan manusia? Trus kalo bukan manusia, dia itu apa? Hewan? Jin? Kalo benar jin aku pasti langsung tau dari awal. Tapi dia juga bukan manusia… Lalu dia ini apa? Aku tak merasakan aura jin seperti yang selama ini dihadirkan oleh musuh-musuh ghaib selama kiprahku. Ini mirip dengan apa yang ditampilkan oleh mahluk asing milik Vivi yang dinamainya Ameng. Benar mirip. Tetapi Ameng bentuknya aja udah aneh, asing dan pokoknya sekali ngeliat udah tau itu bukan manusia. Tapi ini, si Lord Purgatory ini bentuknya manusia tapi auranya seperti Ameng. Aneh, kan?

Kalo dia klaim dirinya bukan manusia, aku gak bisa meletakkan azas-azas kemanusiaan padanya seperti hak dan kewajiban untuk menjaga spesies manusia untuk tetap sintas, survive, bukan? Kalo dia bukan manusia, berarti dia boleh melakukan hal-hal yang layaknya dilakukan bukan manusia jamaknya, yang artinya aku gak bisa mendiktenya atas apa yang sudah dilakukannya padaku selama ini. Mengirimkan sekian banyak kenikmatan duniawi berbentuk binor-binor beraneka rasa masalah. Masalah yang mungkin sebagian besar dia yang picu. Apa lagi jangan lupa dengan yang bernama Batara Kala melakukan semacam persiapan serangan. Serangan kepadaku!

Batara Kala adalah jenis mahluk ghaib yang levelnya jauh lebih tinggi daripada yang pernah kuhadapi. Ini kejutan besar karena tanpa persiapan matang aku harus menghadapi mahluk sekelas ini. Memanggil kedua teman-teman Ribak Sude-ku pastinya pilihan logis tetapi pastinya akan merepotkan mereka. Lebih baik kuhadapi semampunya dulu, liat seberapa kuat mahluk Batara Kala ini. Apalagi sekarang aku punya pakaian hitam milik si ratu Tobrut Fatima yang selalu kupakai di dalam tubuhku bersama mahkota permata merah. Akan kucoba seberapa kuat dua benda hasil rampasanku ini setelah melakukan latihan yang kurasa lumayan cukup.

Mahluk itu dapat bergerak cepat walo gemuk dan gempal begitu. Tangan kananya tertarik ke belakang dan siku ditekuk dalam hendak melesakkan sebuah pukulan bogem begitu ia tepat di hadapanku. Mulutnya yang bergigi taring panjang tak beraturan itu menganga.

“WHUUFF!!” hunjaman pukulan bogem itu sangat kuat sekali. Angin yang mendahuluinya saja sudah berhembus kencang, menyambar cepat diikuti massa tinju besar segede kepala menyeruak hendak menghancurkan batok kepalaku. Tentu aja aku gak mau pasrah menerima serangan berbahaya itu. Tentunya aku menghindar dan mengaplikasikan jurus-jurus Mandalo Rajo yang efektif untuk pertarungan jarak dekat.

Dengan mandau Panglima Burung di tanganku sebagai perpanjangan tangan jurus Mandalo Rajo yang selalu mengincar bagian vital lawan, aku langsung menyabet bagian perut buncitnya. Batara Kala itu agak kaget mendapat serangan mendadak saat ia juga menyerangku. Gerakan menghindarku tidaklah hanya menghindar kosong. Sabetan senjata tajamku mengincar perutnya. Ia menghindarinya dengan liat. Pertarungan yang kalo ditilik dari ukuran tubuh seperti pertarungan Daud melawan Goliath. Aku gak seterkenal Daud sih, tapi ukuran tubuh Batara Kala mungkin sebesar Goliath itu.

“WRAAH WRAAH RAAH RAAHH… KAU HEBAT JUGA TERNYATA-HUM… WRAAHH WRAAHH RAHH RAHHH…” gelak suara besarnya yang berisik. Ia berkeliling mengitariku. Tubuh seorang pria yang melintang di depannya ditendangnya hingga bergeser ke tepi ruangan. Apapun yang menghalanginya tanpa ampun akan disepaknya.

Mulai bergerak begini, menyalurkan Lini yang kubutuhkan untuk memperkuat jurus-jurus Mandalo Rajo-ku, mulai membuat tubuhku menjadi hangat. Padahal dari tadi, ruangan ini dingin dan sejuk. Sekarang tubuhku mulai panas. Mulai bereaksi dia.

Batara Kala bergerak lagi. Ia mengulang cara yang sama, merangsek cepat di hadapanku dengan tangan ditarik untuk menyarangkan pukulan bertenaga super kuat itu. Tetapi langkah larinya agak berbeda, lebih pendek. Kembali hunjaman pukulan bertinju besar itu mengarah ke kepalaku. Aku mundur selangkah lalu berkelit tetapi kakinya menyapu ke arah kelitanku. Aku berputar masuk kembali ke arahnya sambil melesakkan mandau-ku ke arah perutnya melalui sisi tubuhku.

“CLABB!!” ujung tajam mandau-ku mengenainya dan langsung kutarik melebar ke arah samping perut buncitnya lalu mengelakkan sapuan kakinya yang lagi-lagi mengincar kepalaku. Saat kakinya mencecah lantai, mandau kutebaskan lagi memutar ke arah lehernya. “HEAA! HEAA!! HEAAHH!!” tiga kali kubacokkan mandau yang sudah kupercaya keampuhan pada lawan-lawanku sebelumnya ke arah leher tebalnya.

“WRAAH RAAH RAHH!! TIDAK MEMPAN, YA?!! WRAAH WRAAH RAAH RAAHH!!” gelaknya begitu dilihatnya aku mundur tak percaya. Sebegitu tebalkah lehernya hingga mandau ini tak mampu menembus kulitnya. Ini kulit badak, kah? Bagian perutnya juga tak terluka saat kutusuk dan kusayat tadi. Seluruh tubuhnya berkulit tebal?! Padahal mandau ini juga bukan sembarang mandau. Ada kekuatan khusus pemberian Panglima Burung di dalamnya.

Perut buncit Batara Kala berguncang-guncang saat ia tertawa senang melihatku bingung tak bisa menembus pertahanan kulit tebal badaknya. “WRAAH WRAAH RAH RAHH!! YANG ADA BADAKNYA!! RAAH RAAH RAHHH…” teriaknya kok tau lelucon itu sambil menepuki perut dan kulit lengannya yang gempal. Badanku makin panas. Ejekannya bermaksud membuatku semakin panas.

Tapi aku tidak terpengaruh itu karena itu adalah salah satu taktik bertarungku untuk memprovokasi lawan. Masa cara itu bisa membuatku panas. Ini bukan karena panas itu. Ini luapan energi Lini yang membanjiri tubuhku. Seperti berfotosintesis, proses pengubahan energi panas matahari oleh tanaman pada bagian daunnya untuk merubah semua nutrisi menjadi energi kehidupannya. Diriku yang kerap menggunakan dedaunan sebagai pedang daun sangat diuntungkan oleh energi matahari yang berlimpah ini.

Akankah kau menjadi korban pertama percobaan yang terukur ini?

“HeeaaaAAHHH!!” aku menghambur maju menggantikannya seolah memang terbakar provokasinya. Mandau kuhunus bersiap disabetkan lagi. Langkah-langkahku panjang. Energi panas membuat gerakanku semakin cepat. Bak lokomotif uap yang bergantung akan panasnya tungku batu bara yang mengubah energi panas menjadi energi kinetik. Tubuhku seakan melenting cepat!

Kembali kucoba menyabetkan pedang Selatan-ku ini berkali-kali ke tubuhnya. Si Batara Kala ini merelakan tubuhnya kubacok dan kusayat berulang-ulang. Ia sangat bangga akan ketebalan dan ketahanan tubuhnya akan serangan begini. Aku lalu mengganti taktik dengan mengincar bagian sendi-sendinya. Biasaya bagian tubuh yang sering tertekuk oleh sendi begini mempunyai bagian yang lemah di bagian balik sudutnya. Seperti bagian ketiak, lipatan siku, selangkangan dan belakang lutut. Sama saja, bagian tubuh itu juga sama tebalnya.

Aku bisa melakukan serangan itu semua dengan cepat berkat tambahan energi panas bak tungku api lokomotif yang membuat gerakanku trengginas bak spur kereta api uap yang galak menerjang dengan hembusan uap berdesis-desis. Ganti taktik lagi dengan cara menusuk. Hanya menusuk. Si Batara Kala itu hanya tertawa-tawa menerima seranganku. Kadang ia mengejekku seolah-olah semua seranganku hanya membuatnya geli-geli aja.

Sesekali ia membalas menyerangku tetapi semua itu bisa kuhindari dengan mudah. Karena sudah kurasa tiba saatnya, aku menyerbu maju lagi. Ia bermaksud menyambut seranganku karena dikiranya hanya mengulang serangan seperti tadi saat dilihatnya tangan kananku melepas mandau itu dan membuka mulutku lebar-lebar.

“WRROOOZZZ!!”

Semburan sinar panas melesat cepat mengenai dadanya. Awalnya mimik mukanya masih hepi-hepi aja. Kemudian mulai panik…

“AAAARRRRRGGGHHHHHH!!!” teriak Batara Kala memilukan. Ia terkaget sampe shock dengan mata melotot besar dan mulut membuka lebar. Dari mulutku meluncur terus tembakan sinar panas yang tepat mengenai dadanya. Batara Kala itu meregang kesakitan merasakan panas yang luar biasa menembus tubuhnya. Rasa sakitnya pastinya sangat tak terkatakan. Rasa panas sepanas lidah badai matahari yang mencapai ribuan derajat celcius. Walo berteriak-teriak macam manapun, aku tak menghentikannya. Mahluk ini pastinya telah banyak menyebabkan kerusakan dan keonaran di muka bumi karena kesukaannya memakan manusia-manusia sepanjang kiprahnya. Pertarungan singkat kami harus berakhir cepat.

Aku menembakkan sejumlah besar sinar thermal yang luar biasa panas itu dan membakar dan melubangi kulit tebal Batara Kala, memasuki tubuhnya dan memanggang organ dalam tubuhnya lalu tembus ke punggungnya. Luka bakar hangus menjalar ke seluruh tubuhnya dan akhirnya tubuh raksasa gempal itu terbakar keseluruhannya begitu tak ada lagi tembakan sinar panas yang keluar dari mulutku. Lidah api menjilat-jilat sekujur tubuhnya yang sangat dibanggakannya dapat menahan serangan bacokan mandau-ku. Kini hangus terbakar menjadi arang. Serangan yang sama yang telah memusnahkan si ratu kuntilanak hitam dari dalam, pemilik awal dua benda yang kini menjadi milikku.

“Anda menggunakan mahkota rubi api dan mantel rubah hitam dengan sangat sempurna… Sangat impresif…” si baluap itu bertepuk tangan kecil dengan menyebalkannya. “Si Fatima itu tak pernah menemukan cara yang tepat untuk menggunakan benda-benda itu dengan baik…” kata si Lord Purgatory masih duduk dengan santainya di tempatnya semula. Ia geleng-geleng kepala mengagumi caraku memakai dua benda yang baru kutau nama resminya. Mahkota rubi api dan mantel rubah hitam.

Ia sama sekali tak memperdulikan mahluk yang disebutnya sebagai teman, Batara Kala kini sudah musnah karena bolong hangus terbakar oleh tembakan sinar panas yang baru saja kulesakkan padanya. Ini senjata yang sangat ampuh sekali untuk menghadapi apapun yang tahan pukul dan tahan bacokan. Serpihan-serpihan abunya yang tersisa lalu pupus sama sekali. Apapun yang bisa terbakar akan tunduk di hadapan senjata terbaruku ini.

“Hentikan semua rencanamu itu, Lord Purgatory!” ancamku dengan berdiri tepat di depannya.

“Rencana apa maksud anda?” ia masih bisa tersenyum. Dia sama sekali tidak terintimidasi oleh serangan mengerikanku sebelumnya yang sudah memanggang temannya. “Saya tak punya rencana apa-apa untukmu saat ini, pak Aseng… Tapi kalau anda mau… saya bisa menyiapkannya untuk anda…” katanya malah senyam-senyum kek wong gendheng.

“Hentikan terormu padaku dan siapapun yang berhubungan denganku… Bobi sudah meninggal dunia… Biarkanlah dia tenang di alam sana! Jangan kotori namanya lebih jauh lagi apapun hubunganmu dengannya…” kataku memberinya ultimatum. “Apapun hubunganmu dengannya… Hormatilah kenangan Bobi… Aku ini temannya… Kami temannya… Kenapa kau melakukan ini pada kami?!”

Ia hanya tersenyum memandangku. “Atau apa? Anda akan membakarku seperti si Batara Kala menyedihkan itu?”

Itu kalimat menantang. “Kalo kau tak menghentikannya… itu yang akan kulakukan padamu!”

“Cobalah…”

Apa?! Kimak! Ia benar-benar menantangku. Aku jadi gusar. Ia berhasil memprovokasiku.

Menggunakan sinar panas ini tak seperti pada si kuntilanak hitam bernama Fatima itu yang memerlukan waktu sekian menit untuk mengumpulkan tenaga charge energi panas dari mantel rubah hitam lalu disalurkan ke mahkota rubi api dan ditembakkan lewat mulut. Padaku, aku tak memerlukan charge sama sekali karena energi panas itu masih meluap-luap di sekujur mantel rubah hitam yang kukenakan secara ghaib karena sumber energinya ada di tempat lain. Matahari. Matahari yang tak pernah dingin.

Untuk menghentikan ini semua. Semua yang telah menimpaku selama berbulan-bulan ini. Orang ini—ralat, mahluk ini harus segera dimusnahkan agar tak banyak membuat ulah lagi. Aku tak ragu walo harus membunuhnya!

“WRROOOZZZ!!”

Mulutku terbuka lebar dan sinar panas itu melesat cepat ke arahnya tanpa ampun.

Lord Purgatory hanya perlu mengacungkan tangan kanannya untuk membuat sebuah energi pelindung dirinya. Energi kehijauan itu membentuk sebuah gelembung yang melindungi dirinya dari sinar panas yang sudah ampuh membasmi mahluk sekelas Batara Kala. Sinar panas dari mulutku ternyata tak mampu menembus gelembung itu. Bias panasnya menyebar berupa lidah api yang membara seperti sayap-sayap burung Phoenix.

Gelembung pelindung itu berasal dari cincin akik hijau yang ada di jari tengah tangan kanannya itu. Ia sudah menguasai cincin milik Bobi itu sedemikian ahlinya. Bahkan lebih terampil dari pemilik aslinya. Aku yang tak berhasil melaksanakan niat awalku, menghentikan serangan sinar panas. Uap asap putih mengepul dari permukaan gelembung hijau itu tetapi tak tertembus sedikitpun. Lord Purgatory lalu menon-aktifkan gelembung itu juga dan ia masih duduk dengan percaya dirinya.

“Anda tak perlu tahu apa yang berikutnya saya lakukan pada anda… karena saya sendiripun tak tau itu… Tentunya anda sangat penasaran siapa saya ini sebenarnya…” ia menengadah seperti berusaha mengingat sesuatu. “Ini sebenarnya masih misteri untuk saya sendiri… Tapi saya-pun tidak bermaksud mencari tau… Hanya saja… satu kata ini yang selalu terngiang-ngiang di telinga fana saya ini… Arc Form… Saya sendiri tak tau apa artinya… Apalagi anda… Cukup itu saja…” dengan malas-malasan ia bangkit dari tempat duduknya.

“Dan satu lagi… Saya ini seperti Ameng tetapi lebih tinggi lagi…” dengan gesture yang mengindikasikan tingkatnya yang lebih tinggi di atas posisi di bawahnya. Setelah mengucapkan itu, ia menghilang seperti ‘Puff!’ begitu saja bagai angin.

“KIMAAAKK!!” makiku sangat emosi sudah dipermainkan seperti ini. Lord Purgatory pergi begitu saja setelah memamerkan kekuatannya yang bahkan tak bisa ditembus oleh kekuatan semburan sinar panas terbaruku. Apa sih maunya? Apa maunya sebenarnya? Mau apa dia dengan semua ini? MAU APAAA?? KIMAAAK!!

Sebuah sofa yang tak diduduki melayang terkena tendanganku dan membentur dinding hingga hancur berkeping-keping akibat terkena sasaran emosiku. Nafasku mendadak berat dan aku tersadar begitu melihat tubuh-tubuh yang masih bergelimpangan di sekitarku. Aku harus keluar dari tempat ini. Orang-orang di belakang layar? Apa orang-orang itu tidak ada?

Ke balik pintu dimana Dito dan perempuan itu muncul yang pertama kali kubuka. Tak ada orang lain di ruangan kecil ini. Hanya ada satu monitor yang menampilkan tangkapan kamera ke ruangan event berlangsung. Tumpukan barang-barang tak jelas, gantungan baju berbagai tema untuk cosplay. Yang pertama kali kusentuh adalah HP milik Dito. Kubuka HP yang tak terkunci dengan benar itu lalu ku-reset hingga semua data-data yang ada di dalamnya hilang. Kemudian harddisk CCTV itu kucabut dari kotaknya dan kubanting beberapa kali hingga aku puas lalu kumasukkan kembali. Ini untuk menghapus jejakku dan semua kegiatan mesum di tempat ini. Aku keluar lagi.

Tak ada yang bangun. Semuanya masih dalam keadaan lemas tak sadarkan diri. Aku gak berani menyentuh untuk memeriksa tanda-tanda vital mereka karena akan meninggalkan jejak diriku. Kalo-kalo ada yang tewas akibat kegiatan ilegal ini, lebih baik aku menghapus semua keterkaitanku di dalamnya. Kaleng bir kosong kuraih, kubawa keluar dari ruangan ini.

“Sudah selesai acaranya, pak…” kataku menyerahkan topeng yang kupakai untuk kutukarkan kembali pada HP-ku yang disimpan pria di depan pintu masuk. Tanpa menjawab apapun ia mengembalikan gadget milikku dan aku bergegas menjauh cepat-cepat dari tempat itu. Kuperiksa apakah ada sesuatu di HP-ku ato pesan-pesan yang belum sempat kubaca. Aku melewati dua penjaga di depan pintu Maintenance itu dengan pura-pura menelpon. Aku tidak memakai lift melainkan lebih memilih menuruni tangga darurat.

Saat menaiki mobilku kembali, beberapa ambulan datang memasuki gedung ini. Mereka sepertinya dalam keadaan panik dan terburu-buru. Ini pasti karena para korban yang ada di dalam ruangan event itu. Aku tak mau menunggu lama-lama dan aku langsung cabut menjauh di jalanan lengang tengah malam begini.

Pikiranku kembali berkecamuk dengan berbagai pertanyaan. Entah ini sisi baik ato burukku. Tetapi aku terlanjur sering melakukan ini tiap aksi yang kulakukan. Apalagi kali ini dengan munculnya Lord Purgatory langsung di hadapanku, malah menimbulkan banyak pertanyaan baru. Dia sendiri tak tau jenis apa dirinya tapi ia sadar kalo dirinya mirip dengan Ameng milik Vivi. Dia bahkan tau tentang mahluk aneh milik Vivi itu. Mahluk kurus dengan kepala berbentuk segitiga, kurus dengan warna abu-abu hampir metalik.

Ameng adalah kata kuncinya dan dia lebih tinggi darinya. Lebih tinggi yang berarti lebih kuat, kah? Ameng punya pemilik yaitu Vivi. Kalo Lord Purgatory seperti Ameng, artinya Lord Purgatory punya pemilik juga. Ato sebaliknya? Tidak. Tidak boleh dibalik karena Ameng=Lord Purgatory. Vivi=??. Apakah aman kalo kusimpulkan si pemiliknya ini adalah Bobi? Bobi adalah pemilik Lord Purgatory. Bila Vivi sebagai pemilik Ameng dan gadis itu bisa menyuruh-nyuruh Ameng sesukanya untuk melakukan hal-hal yang tak lazim, mengekoriku misalnya. Berarti Bobi juga yang menyuruh-nyuruh si Lord Purgatory ini untuk melakukan teror ini?

Tapi Lord Purgatory sendiri sudah mengakui kalo Bobi sudah mati, maaf—meninggal. Apakah ini artinya Lord Purgatory adalah sejenis ronin? Ronin adalah samurai tanpa tuan yang merdeka. Lord Purgatory adalah mahluk bebas tanpa tuan yang bisa memerintahnya lagi tetapi masih menyimpan sesuatu atas kenangan tuannya. Kenangan, warisan ato mungkin dendam.

“Baginda raja…”

“Alamak!” Ciiiit!.

Aku langsung mengerem si Jero tiba-tiba hingga mobil sebesar gaban ini gempar (ngepot) di jalanan sepi. Suaranya melengking tinggi di suasana sepi begini. Aku mengumpat-umpat dalam hati karena kaget bukan buatan. Ini si mambang laut peri rambut merah yang rambutnya sudah kumodif menjadi baju dadakan itu, duduk dengan manisnya di jok penumpang di sampingku. Kemunculan tiba-tibanya mengejutkanku tanpa dipanggil.

“Baginda raja… Maafkan kelancangan hamba… Hamba ingin melaporkan hal yang sangat penting… Tahta kerajaan Mahkota Merah telah dirusak oleh pihak yang tidak dikenal…” ujarnya dengan mimik ketakutan.

“Hah?! Dirusak?!” kagetku. Gak seharusnya juga aku kaget karena aku sama sekali gak tau kalo kerajaan ini punya tahta. Tapi tahta adalah simbol kerajaan. Merusak itu berarti tak menghormati pihak yang menduduki tahta itu. Aku yang seharusnya menduduki tahta itu. “Pihak yang tidak dikenal katamu?” tanyaku. Aku langsung kepikiran Lord Purgatory-lah pelakunya. Memang cuma dia satu-satunya tersangka. Mungkin tidak secara langsung. Mungkin lewat tangan antek-anteknya yang lain.

“Benar baginda raja… Apakah baginda berkenan untuk meninjau kerusakannya?” tawarnya.

“Ng… Jauh gak tempatnya? Dimana sih tahta kerajaan kita ini?” tanyaku sama sekali buta tentang situasi ini.

“Dari sini lumayan jauh baginda… Tempatnya ada di dalam gua kecil di tepian Selat Malaka… Hamba bisa membawa baginda raja kesana bila berkenan?” tawarnya lagi. Ini bukan penawaran sebenarnya tetapi pengabdian. Apapun akan dilakukannya untuk sang raja junjungannya. Bahkan nyawanya kalo kuminta akan diberikan dengan senang hati.

“Mm… Bentar-lah kalo kek gitu… Kupulangkan dulu kendaraan ini ke rumahku… Abis itu kita ke gua itu… Bentar, ya?” aku mulai menjalankan mobil ini kembali menelusuri jalanan sepi di tengah malam. Bisa lebih ngebut dari biasanya sangking sepinya. Tak berapa lama aku sudah sampe di rumahku dan memasukkan si Jero ke basement.

“Kita ke sana dengan cara apa?” begitu aku keluar lagi dari basement. Ia menungguku di depan basement.

“Hamba bisa membawa baginda langsung ke dalam gua dengan cepat, baginda raja…” katanya menunduk-nunduk takut salah bicara. Mungkin takut terdengar seolah menyepelekanku. Aku langsung kebayang ilmu B3 si Iyon yang sangat praktis untuk membawanya pergi ke mana-mana.

“Teleportasi, ya?” tebakku.

“Semacam itu, baginda… Hanya saja terbatas pada target tertentu… Kemampuan saya hanya terbatas berpindah dari karang tempat saya, tahta dan lokasi baginda raja saja…” jelasnya takut-takut akan mengecewakanku.

“Ooh… Begitu… Ayok-lah…” kataku tentu aja gak marah dong. Ngapain mesti marah kalo kekuatannya masih terbatas. Bisa berpindah tempat dengan cepat aja walo terbatas sudah sangat keren menurutku. Dengan kikuk ia menunduk-nunduk di depanku, mendekat. “Ngapain?”

“Silahkan memegang kepala hamba, baginda raja… Hamba akan membawa baginda ke gua tahta kerajaan…” intipnya segan-segan. Tanpa menunggu pemberitahuan apapun lagi langsung kupegang kepala berambut merah bergelombangnya itu. Ternyata rambutnya bisa sehalus ini. “Kita berangkat sekarang, baginda…”

Rasa sensasi perpindahan tempatnya agak berbeda dengan menggunakan jurus B3 si Iyon. Kalo jurus Iyon seperti memasuki sejenis portal yang menyedot tubuh dengan cepat sehingga terasa seolah tiap sel tubuh dipindahkan melalui sebuah selang imajiner yang membawa tubuh ke tempat tujuan dengan sangat cepat dan instan. Tetapi perpindahan tempat oleh peri rambut merah ini seperti sedang di-swipe, digeser aja. Seperti mengganti ke foto berikutnya di gallery HP saja rasanya. Swipe dan sampe di tempat baru.

Tiba-tiba saja aku sudah berada di sebuah tempat baru nan asing. Memang benar ini gua, terlihat dari dinding-dinding karang pembentuknya yang menegaskan kalo lokasinya ada di tepi pantai. Lantainya tergenang air laut di beberapa titik dan ada banyak kerusakan yang terjadi. Tempat ini diterangi belasan obor terang yang berkobar-kobar. Tetapi aku tidak terlalu memperdulikan kerusakan itu melainkan hal lain. Banyak hal yang lain maksudnya. Pada sosok-sosok berambut merah lainnya yang ada di tempat ini yang semua menunduk dengan takzim ke arahku. Inikah 19 lengkap peri rambut merah warga kerajaanku?

——————————————————————–
Ini kali pertama aku bertemu muka dengan mereka semua. Semua warga kerajaan Mahkota Merah-ku secara lengkap. Mereka semuanya berkelamin perempuan. Kenapa semuanya perempuan? Aku juga gak tau jawabannya. Mungkin karena mereka peri, kalo laki-laki jadi peria. Ngaco.

Aku duduk di tahta yang rusak berantakan ini. Masih bisa diduduki sebenarnya. Hanya saja sandarannya tidak ada karena sudah hancur. Beberapa benda-benda inventaris kerajaan ini juga hancur lebur tak ada yang utuh. O-iya. Duduk di tahta ini membuat mahkota di kepalaku dan mantel hitam yang kupakai secara laten, jadi muncul ke permukaan. Menegaskan statusku sebagai raja kerajaan kecil peri berambut merah ini.

Ke-19 peri itu duduk bersila di pasir melingkar di hadapanku. Kalo mau ditanya ngaceng gak ngeliat 19 peri telanjang gak pake baju? Ngaceng gilak-lah! Seksi-seksi kali-ah mereka ini. Kok bisa-bisanya aku jadi raja dari para peri rambut merah yang jumlahnya sangat sedikit begini? Duduk bersila dengan sangat bersahajanya mereka semua tak memperdulikan kondisi tubuh mereka yang kupelototi ketelanjangannya. Ya gundukan tetek dengan pentil, belahan vagina yang tak berusaha ditutupi sama sekali. Pokoknya semuanya telanjang-ah. Rambut merah adalah hal menyamakan mereka semua sebagai satu spesies peri. Disatukan oleh mahkota rubi api yang memerintah mereka dalam satu kerajaan kecil—kerajaan Mahkota Merah.

“Apa diantara kalian ada yang tau siapa pihak yang sudah menghancurkan tahta ini?” tanyaku pada siapa aja yang bisa menjawab.

“Hamba, baginda raja… Karang milik hamba yang paling dekat dengan posisi gua tahta ini… Hamba melihat kelompok peri lautan mendatangi pantai… Kemungkinan besar… merekalah pelakunya, baginda raja…” jawab satu peri rambut merah yang maju menjawabku.

“Peri laut?” bingungku. Ada masalah apa mereka sampe menyerang tahta kerajaanku?

“Apa akhir-akhir ini ada masalah kerajaan kita dengan mereka? Sori nih… aku ini baru aja jadi raja jadi gak tau kejadian-kejadian sebelumnya…” kataku berterus terang aja akan kekuranganku. Aku gak tau harus memanggil apa pada peri yang baru memberi info tentang peri laut barusan karena mereka gak punya nama. Satupun dari mereka tak bernama.

“Baginda ratu sebelumnya… ratu Fatima mengambil sesuatu dari mereka… Kemungkinan besar itu adalah mustika laut biru keramat milik kerajaan mereka, baginda…” jelas peri berambut merah itu menambahkan fakta penting.

“Jadi… Mereka sebenarnya mengobrak-abrik tempat ini untuk mencari mustika keramat itu… Dasar sialan tuh si Tobrut… Udah mati masih aja nyusahin… Mustika ini… dimana benda itu sekarang?” tanyaku lagi padanya. Aku menebarkan pandanganku.

“Tidak ada yang tau, baginda… Kemungkinan ratu Fatima menyembunyikannya… Atau telah menjualnya…” jawab si peri rambut merah yang telah membawaku kemari.

“Siapa yang tau lokasi kerajaan peri laut ini? Aku akan mencoba bernegosiasi dengan kerajaan mereka mengenai masalah ini dan berusaha meluruskan kesalah pahaman fatal ini… Tetanggaan kok pada musuhan…”

“Hamba, baginda… Hamba dan satu teman hamba yang sudah gugur ikut pergi ke sana saat ratu Fatima mengambil mustika laut biru dari tempatnya yang keramat…” jawab dia lagi. Sepertinya ia dan satu peri yang sudah kumusnahkan saat itu sangat diandalkan Fatima untuk menemaninya melakukan kegiatan-kegiatannya. Salah satunya adalah kegiatan kriminal ini. Mencuri harta berharga kerajaan lain.

“Bagus… Tapi kita tahan dulu itu nanti… Saat ini kita harus lebih memikirkan keselamatan kita semua… Sebagai raja kalian, aku yang harus bertanggung jawab atas keselamatan dan kesejahteraan kalian… Kita harus memindahkan lokasi tahta ini segera karena tempat ini sudah tidak kondusif lagi untuk berkarya… maupun bertahta…” aku lalu berdiri di depan tahta rusak ini. “Aku akan segera memindahkannya… ke…”

BLIPS!

“… daerah kekuasaan Menggala-ku…”

Begitu aku mengucapkan itu, kami semua berpindah tempat dan berakhir duduk-duduk di pelataran rumput halus di tepi hutan kecil daerah kekuasaanku. Burung enggang si Panglima Burung melonjak kaget dan terbang menjauh melihat begitu banyaknya mahluk berambut merah yang sekaligus banyak datang bersamaan. Ke-19 peri rambut merah itu melirik pelan-pelan ke sekelilingnya. Berusaha menilai lokasi baru yang kuputuskan menjadi lokasi tahta kerajaan Mahkota Merah ini.

Tempat ini jauh lebih aman dari pada gua di pinggir pantai selat Malaka itu. Ini semua ada di dalam alam kesadaranku jadi tidak akan bisa sembarangan diserang pihak manapun lagi.

“Tempat ini akan menjadi lokasi tahta kerajaan kita mulai sekarang… Tempat ini sangat luas dan bebas… Kita bisa membuat tahta baru di sini… Dan yang penting… tempat ini aman… Jadi mulai sekarang letak kerajaan kita disini…” kataku memberi kode dengan gerakan tangan agar mereka semua bangkit dari posisi duduk bersila yang masih dipertahankan di atas rumput halus. “Ayo semua bangun…”

Ragu-ragu mereka bangkit dari duduknya dengan kepala masih menunduk takut-takut karena kami semua sama-sama berdiri. Harusnya posisiku lebih tinggi tapi aku tidak sepicik itu.

“Sepengetahuanku… ada tiga syarat keberadaan kalian… Karang asal tempat kalian tinggal, tahta kerajaan dan pemimpin kalian… yaitu aku sendiri… Sekarang itu sudah kupersempit hanya dua saja karena tahta kerajaan ada di dalam diriku… dan karang asal kalian sudah tidak aman lagi… Jadi kalian sekarang menetap di tempat ini saja… Paham?!”

Mereka mengangguk paham. Aku puas melihatnya.

“Kalian mungkin ada yang bingung tempat apa ini? Kenapa mataharinya berwarna hitam?” tunjukku pada bentuk bulat hitam di atas sana. Karena kondisi langitnya cerah, pasti langsung diasosiasikan sebagai matahari hanya saja berwarna hitam. “Itu adalah mantel rubah hitam yang kuletakkan di atas sana untuk memancarkan sinar matahari sebanyak mungkin… Dengan kata lain mantel itu menjadi matahari tempat ini… Juga sebagai pemberi nutrisi vitamin langsung bagi pertumbuhan semua tanaman di sini… Hangat yang kalian rasakan ini adalah hangat matahari sebenarnya… Sebelumnya tak ada matahari disini… Sekarang ada…” jelasku. Ini juga menjadi kunci bagaimana aku bisa menembakkan sinar thermal itu berturut-turut tanpa perlu charge kembali karena luapan energi matahari murni yang diserapnya secara langsung.

“Silahkan kalo mau liat-liat sampe puas… Hanya ada satu penghuni sementara tempat ini… Burung Enggang si Panglima Burung… Jangan usik dia kalo gak mau celaka… Lebih baik berbaik-baiklah dengannya…” ujarku mempersilahkan mereka untuk meng-eksplore tempat ini. Awalnya ragu-ragu juga malu-malu mereka memperhatikan tempat baru ini. Rakyatku pantas mendapatkan kehidupan yang lebih baik dari pada ini. Setidaknya aku bisa menjamin keamanan mereka dengan menempatkan mereka semua disini.

Karena mereka mahluk ghaib, mudah bagi mereka untuk menyesuaikan diri mereka dengan tempat ghaib ini. Kerajaan ghaib yang bertahta di dalam daerah kekuasaan sang rajanya. Bukankah itu sangat cerdas sekali. Ini bukan one man show, man-teman. Karena aku berpikir untuk memberi nama dan pakaian bagi mereka semua. Setidaknya nanti kekuatan dan tingkatan mereka akan meningkat dengan pemberian penting itu. Itu artinya kerajaanku akan lebih kuat nantinya. Keadaan mereka yang tak berpakaian sangat-sangatlah berbahaya.

Berbahaya dari mana? Para jin tak berpakaian dan tak bernama itu sudah biasa di dunia ghaib supranatural ini. Berbahayanya tentu aja untuk diriku sendiri sebagai raja mereka. Sebagai satu-satu mahluk berkelamin jantan di kerajaan ini, ngaceng junior-ku tentunya sangat berbahaya bagi rakyatku. Berbahaya karena bisa-bisa aku selalu ngaceng saat melihat penampilan mereka yang tak berbusana sama sekali. Rambut panjang merah yang kumanfaatkan untuk sekedar menutupi bagian tubuh vital tidak begitu banyak menolong karena helai-helainya dengan mudah tersingkap.

Pakaian seperti apa yang harusnya kuberikan pada mereka? Pakaian manusia pada umumnya? Mudah bagiku untuk membelikan mereka pakaian tapi apakah mereka akan cocok memakainya? Lalu masalah nama. Nama apa yang bakalan kuberikan pada mereka?

Aku memperhatikan kegiatan mereka dari atas rumah pohon yang pernah dibuat Agnès di atas pohon beringin ini. Sangat menyenangkan melihat belasan mahluk berwujud perempuan seksi tak berbusana, berambut merah, mengeksplor daerah kekuasaan ke-Menggalaan-ku ini. Beberapa mencoba kesegaran air bening di sungai kecil itu, beberapa berkeliling mengitari hutan kecil ini, beberapa memasuki hutan dan menjelajah rimbunan vegetasi, beberapa melangkah jauh hingga sulit terlihat.

“Siapa mereka ini, anak?” tanya Panglima Burung yang menyempatkan diri turun dan hinggap di tanganku.

“Mereka wargaku sekarang, Panglima Burung… Aku seorang raja dari 19 peri berambut merah ini… Mambang laut penghuni pesisir Selat Malaka…” jawabku masih mengawasi mereka semua sebisaku.

“Raja? Itu menjelaskan mahkota yang sedang anak pakai saat ini… Selamat kalau begitu…” katanya. “Juga hangatnya matahari hitam yang memancarkan sinar matahari yang diserapnya… Itu ide yang sangat luar biasa sekali… Pepohonan ini pasti sangat menyukai limpahan sinar hangat ini… Mereka akan bertumbuh lebih subur dan besar dengan cepat…” komentarnya juga tentang mantel rubah hitam yang kujadikan matahari artifisial di langit itu.

“Makasih, Panglima Burung… Aku nantinya harus melakukan beberapa perubahan di tempat ini agar memadai kepentingan para rakyatku… peri berambut merah itu…” kataku mengutarakan rencanaku.

“Perubahan?” ulangnya.

“Mereka itu mambang laut… Tentunya mereka harus dekat dengan habitat aslinya… Yang mendekati di sini hanyalah aliran sungai kecil itu… dan itu air tawar… Harus ada minimal pantai dan segala hal yang berhubungan dengan lautnya…” kataku.

“Itu perubahan yang besar… Hutan milikmu ini tidak akan tahan dengan kandungan garam air laut, yang anak rencanakan itu… Jaraknya setidaknya harus beberapa meter jauhnya agar resapan air asinnya tak mengganggu pertumbuhan hutan ini…” sahutnya mengenai rencanaku.

“Betul-betul…Nanti akan kumulai dengan menanam pohon bakau di sebelah sana…” cerocosku mengungkap rencana-rencanaku atas tempat ini. Aku mendadak menjadi seorang sarjana teknik sipil yang merencanakan berbagai infrastruktur untuk mengakomodir belasan rakyatku. Aku mendadak menjadi bersemangat begini dengan statusku sebagai seorang raja. Walo hanya raja dari golongan peri berambut merah yang hanya berjumlah 19 peri. Aku jadi pengen mengaplikasikan manajemen bisnis yang baru kupelajari semester ini walo tak begitu relevan. Tapi setidaknya aku bisa mulai me-manage ke-19 peri rambut merah ini. 19 peri yang tentunya punya potensi masing-masing. Potensi besar yang harus digali peluang berkembangnya. Mereka akan dengan patuh menurut apapun yang kurencanakan pada mereka berhubung statusku sebagai raja yang mutlak mereka patuhi tanpa bantah.

Bagaimana merubah tata letak dan ruang di daerah kekuasaan seorang Menggala? Itu sebenarnya bukan pekerjaan yang mudah. Tentunya perlu banyak perjuangan dan usaha. Saat pertama kali menjadi seorang Menggala dari menjadikan bakiak Bulan Pencak menjadi senjata Menggala Wasi-ku dan otomatis mempunya daerah ini, tempat ini hanyalah pelataran tanah kosong. Tempatku awal berpijak adalah pusat semestanya. Waktu itu, aku sudah senang bukan kepalang mempunyai tempat pribadi untuk pertama kalinya. Kek udah ngerasa jadi saudagar tanah yang punya tanah luas sejauh mata memandang.

Pohon perdana yang tumbuh di tempat ini tak lama setelah itu adalah sebatang pohon Asam Glugur ato Garcinia atroviridis. Pohon yang sama persis di dunia nyata dimana aku mendapatkan bahan kayu untuk membuat sepasang bakiak andalanku itu. Pohon yang umurnya sama dengan umurku. Kalo aku berulang tahun, berulang tahun juga pohon itu. Lalu bertambah lagi pohon-pohon lain semakin lama kiprahku di dunia Menggala ini dengan menggunakan daun-daun tanaman yang kemudian tumbuh di sini.

Puluhan tahun, sudah sekian banyak jenis pohon yang kumanfaatkan daunnya sebagai pedang empat mata angin, salah satu teknik tarungku. Lama-lama kelamaan, aku jadi semakin ahli memakai teknik ini dan sekarang hasilnya semakin memuaskan dengan bertumbuh luasnya hutanku. Bahkan dari sana juga aku mendapat ide dalam menggunakan mahkota rubi api dan mantel rubah hitam ini dengan memanfaatkan sinar matahari yang melimpah di dunia nyata sana. Tubuhku dengan mudah menyerap sinar matahari bak berfotosintesis dan menyalurkannya kemari. Semakin subur kelak hutanku.

Hanya saja nanti aku harus meminta maaf pada Agnès karena ia tak bisa menggunakan tempat ini lagi untuk berjemur matahari kesukaannya yang sempat ia nikmati. Sinar ultraviolet matahari yang sekarang ada akan sangat berbahaya bagi tubuhnya. Bisa-bisa vampir cantik itu hangus terbakar terpapar sinar terang pantangannya ini.

“Baginda raja?” satu peri berambut merah ini membuyarkan pikiranku yang menerawang jauh.

“Ya… Ada apa? Ng…?” akan lebih baik kalo aku bisa menyebut nama untuk para mambang laut ini. Di dalam perbendaharaanku, dialah yang pertama kali berinteraksi denganku setelah aku menjadi raja kerajaan Mahkota Merah ini. Yang pertama… Pertama? One. Wan. Satu? Itu, ya? Itu cukup bagus untuk dijadikan nama.

“Apakah ada tugas yang bisa baginda berikan pada kami untuk mengurus tempat ini? Tempat ini perlu banyak perubahan seperti yang baginda katakan tadi… Kami para mambang laut adalah jenis peri kuat yang bisa melakukan banyak hal… Ada yang khusus berlatih untuk pertarungan saja… Ada yang khusus untuk mengumpulkan informasi… Ada yang spesialis untuk membuat peralatan… Bahkan ada empat peri yang bertugas membangun istana gua itu, baginda…”

“Waah… Gitu, yah? Keren kalo gitu… Cak kau kumpulin semua teman-temanmu kemari… Ada yang mau kuumumkan pada kalian semua…” pekerjaanku terasa lebih ringan mendengar penjelasannya barusan. Mereka ternyata terbagi-bagi atas beberapa jenis lagi sesuai spesialisasinya. Ada petarung, ada informan, pemburu, bahkan tukang pengrajin juga ada. Ia membungkuk hormat dan berbalik untuk memanggil semua rekannya.

Tak lama mereka semua berkumpul setelah dia mendekati satu peri rambut merah yang mempunyai sebuah terompet yang terbuat dari kerang. Dengan terompet yang ditiup itu, semua berkumpul atas satu nada panggilan yang membuat mereka berbaris rapi mengitari pohon beringin tempatku bertengger di rumah pohon. Yang jadi perhatianku adalah guncangan-guncangan dada telanjang mereka saat bergegas bergerak tadi.

“Gini… Saya baru aja tau kalo ternyata kalian itu ada keahlian-keahlian tersendiri… Ada yang khusus bertarung… mencari informasi… berburu… Nah… Saya sebagai raja kalian akan memberi kalian kehormatan… Satu kehormatan yang mungkin bagi kalian sangat berarti… Yaitu nama…” kataku mulai memberitahu mereka kabar gembira ini. “… Nama yang akan membuat kalian semua bebas berkiprah di dunia ini…”

Ekspresi mereka semua menjadi sangat sumringah. Semuanya menjadi sangat cerah dan gembira. Bahkan ada dua peri yang berpelukan di belakang sana sangking senangnya. Kalian senang, oom juga senang. Kalian berguncang, oom jadi tegang. He he hehehehe.

“Kabar bagus, bukan?” kurasa mukaku jadi muka mesum kali ngelihat ekspresi berbunga-bunga mereka semuanya. “Ya ya… Ini beneran… Jadi harap kalian berkumpul ke kelompok keahlian yang sama agar proses penamaan kalian lebih mudah, ya?” kataku mulai proses penamaan yang kurasa sangat penting ini. Kalo masalah pendistribusian energi Lini untuk melakukan penamaan ke-19 peri berambut merah ini aku tidak terlalu pusing. Suplai energi matahari yang kupunya lebih dari cukup kalo hanya sekedar memberi nama.

Mereka cepat tanggap dan berkumpul ke kelompok keahlian masing-masing dan ternyata terbagi atas lima kelompok yang terdiri atas 3 sampai 5 peri. Si peri rambut merah pertama itu bergabung dalam kelompok yang terdiri dari 3. Aku manggut-manggut memandangi kelima kelompok peri rambut merah ini dan aku meminta perwakilan dari tiap kelompok untuk menjelaskan apa keahlian yang mereka punya.

“Baginda raja… Kami bertiga adalah peri petarung… Kami berlatih siang dan malam untuk terus mengasah kemampuan bertarung kami demi kejayaan kerajaan Mahkota Merah…” kata si peri pertama yang rambut panjang dikuncirnya kumodif jadi pakaian. Bagus. Ini kelompok petarung. Mereka bertiga terlihat tangguh sebagai petarung. Kelompok selanjutnya.

Kelompok Petarung

“Baginda raja, kami berempat adalah peri pembangun… Semoga kerajaan baru kita akan dapat kami kerjakan dengan baik dengan semua kemampuan yang kami miliki… Percayalah pada kami berlima, baginda…” kata peri yang udah kek mandor kurasa. Ucapannya mantap sangat yakin dengan semua kemampuan yang mereka miliki. Mengingat mereka sudah membangun istana di dalam gua sebelumnya, aku harus percaya. Apa nanti aku bisa menggunakan tenaga mereka berlima untuk renovasi rumahku gak, ya?

Kelompok Pembangun

“Baginda raja… Kami berlima adalah peri pemburu… Apapun yang menjadi target kami akan kami dapatkan dengan cara dan metode apapun… Apapun yang kami cari akan kami temukan dengan sebaik mungkin… Kami berpatokan pada hasil… Proses pencariannya adalah seni tersendiri bagi kami…” ujar satu peri yang mewakili teman-temannya yang lain sesama pemburu. Mereka meyakinkan sekali dengan klaim orientasi hasil buruan. Impresif.

Kelompok Pemburu

“Baginda raja… Kami berempat adalah peri perajin… Kami bisa membuat benda apapun yang dibutuhkan kerajaan ini… Dari senjata, zirah tempur, peralatan berburu, peralatan membangun dan lain sebagainya… Kamilah yang membuat peralatan yang digunakan kelompok lain… Bila baginda raja hendak membuat suatu benda tertentu… dapat memberi perintah pada kami…” kata satu peri perajin yang sepertinya paling senior diantara rekannya yang lain. Wow… Bisa membuat apapun, ya? Tiba giliran kelompok terakhir.

Kelompok Perajin

“Baginda raja… Kami bertiga adalah peri penghibur… Tugas kami adalah memberikan hiburan pada siapapun yang memerlukannya di kerajaan kita ini… Ini karena tugas-tugas rekan peri lain sudah cukup berat dan pastinya memerlukan hiburan yang setimpal…” papar perwakilan kelompok peri rambut merah terakhir tentang tugasnya. Memang ketiga peri ini tampilannya lebih wah dari pada yang lainnya yang sudah cantik-cantik di mataku.

Kelompok Penghibur

Walo berjumlah sedikit, tetapi organisasi mereka cukup solid dan saling mendukung. Aku jadi kagum sendiri punya warga kerajaan walo sedikit begini tetapi semuanya padat karya, kaya akan potensi dan juga bertanggung jawab akan tugasnya. Kemudian aku menyuruh mereka berbaris sesuai kelompoknya. Jadi kelompok petarung pertama, kedua pembangun, pemburu, perajin, dan penghibur terakhir berbaris berjejer lurus di depanku.

“Saya akan mulai menamai kalian satu persatu dimulai dari sini…” Kutunjuk peri pertama itu. Ia menatapku penuh dengan harap dan bersemangat karena setelah sekian lama hidup dan kiprahnya di kerajaan ini, ini saat penting dalam hidupnya untuk menerima sebuah nama resmi yang langsung diberikan oleh baginda rajanya.

“Namamu adalah Eka… Yang artinya pertama…” seruku mulai memberi nama perdana pada salah satu peri berambut merah, warga kerajaan Mahkota Merah yang kupimpin. “Kau adalah peri rambut merah pertama di kerajaan ini yang menerima nama… Sekaligus kau menjadi ketua kelompok petarung….” Terasa hangat tubuhku, berarti ada aliran Lini sangat deras sejumlah besar mengalir ke arah peri rambut merah pertama yang kini resmi bernama Eka.

Peri rambut merah yang sekarang resmi bernama Eka itu memperhatikan kedua tangannya yang terasa penuh dengan energi tambahan yang meluap-luap dengan rasa takjub akibat efek samping pemberian nama ini. Penambahan kekuatan ini mungkin setara dengan berlatih keras puluhan tahun tanpa henti di-short cut dengan pemberian nama yang sakral dari sang pemimpin tertinggi.

“Terima kasih yang setinggi-tingginya, baginda raja! Hamba akan mengabdi sepenuhnya pada baginda raja sampai akhir!” seru Eka sangat terharu dan melakukan sujud syukur padaku.

“Eh… Bangun kau, Eka!!… Jangan menyembahku seperti itu!” risihku diperlakukan kek dewa begitu. Mendengar sanggahan dariku, peri itu gelagapan heran walo bangkit menuruti perintahku tapi masih kebingungan. Mungkin di raja-ratu sebelumnya, mereka tak pernah mendapat perlakuan seperti ini. Raja-ratu sebelumnya hanya minta dilayani tanpa mau mensejahterakan rakyatnya. Beda dong kalo rajanya si Aseng ini.

“Maaf baginda… Hamba bingung…”

“Kalo menghormati rajamu ini sewajarnya aja… Menunduk masih boleh-la… Kalo menyembah kek tadi gak boleh sama sekali… Ingat itu!… Itu juga berlaku untuk kalian semuanya… Dengar?!” kataku memperingatkan mereka. Aku nantinya harus melakukan beberapa perubahan prilaku nantinya. Mereka mengangguk paham. Bagus… Mereka mahluk yang cerdas dan juga cantik.

“Kita lanjutkan, ya? Kau berikutnya…” tunjukku pada peri rambut merah kedua yang ada di kelompok petarung ini. Ia berdiri tepat di samping Eka. “Karena kau yang kedua, namamu adalah Dwi. Kembali terasa aliran deras energi yang tersalur cepat dan mengarah kepadanya. Dwi langsung merasakannya seperti juga Eka tadi. Tubuhnya bergetar merasakan luapan energi besar yang memasuki tubuhnya. Ia takjub dan juga terharu sekaligus.

Benar… Aku bermaksud menggunakan bahasa Sansekerta untuk menamai para peri rambut merah ini menggunakan bilangan angka urutan saja agar mudah diingat. Kata-kata bilangan ini juga keren sebenarnya kalo diaplikasikan sebagai nama. Jadi kalo kamu-kamu punya anak banyak dan bingung menamainya apa, coba aja cara ini.

“Terima kasih banyak, baginda raja!” seru si Dwi hendak melakukan sujud juga. “Hamba sangat…”

“A-a… Ingat? Jangan menyembah? Nunduk aja cukup… Bagus…” kataku langsung mengingatkannya akan ultimatumku tadi soal sembah sujud yang terlalu berlebihan menurutku. Dwi yang sudah menekuk lututnya, urung menjatuhkan dirinya. Berdiri tegak lagi dan hanya menundukkan kepalanya dalam-dalam seolah sedang melakukan hening cipta saat upacara bendera mengingat jasa-jasa para pahlawan kemerdekaan. Peri rambut merah ketiga, sudah tidak sabar untuk mendapatkan namanya.

“Hamba akan mengabdi sebaik-baiknya untuk baginda raja…” lanjut Dwi akan ucapan terima kasihnya yang sempat kupotong.

“Berikutnya masih di kelompok petarung… Ini menjadikan kalian seperti trio petarung di kelompok ini… Kau adalah peri petarung ketiga… Dan namamu adalah Tri… Artinya tiga…” seperti dua sebelumnya. Terasa aliran energi besar deras mengarah pada Tri yang bergetar tubuhnya menerima sejumlah besar energi Lini yang merasuki tubuhnya. Drastis meningkatkan kekuatannya berlipat ganda.

Tubuh dan tangannya bergetar hebat seperti yang sudah dialami dua rekannya sesama petarung. Dari gelagat tubuhnya, ia sudah akan melakukan sujud menyembahku tetapi ia segera ingat akan perintahku sebelumnya untuk hanya menunduk saja. “Terimakasih setinggi-tingginya, baginda raja… Seperti kedua rekan hamba… hamba juga akan mengabdi sebaik mungkin untuk melayani baginda raja dan kerajaan ini…” ucapnya sudah sesuai dengan harapanku yang tak boleh berlebihan.

“Bagus… Kalian bertiga dalam kelompok petarung ini sudah mendapatkan nama… Kalian senang?” tanyaku.

“Sangat senang, baginda raja…” jawab ketiganya sumringah dengan pencapaian baru mereka ini. Aku sampe bertepuk tangan ikut berbahagia dengan mereka bertiga. Kelakuanku diikuti oleh peri rambut merah yang lain. Suara tepuk tangan terdengar sangat meriah yang lainnya ikut senang dengan saudara mereka di kelompok petarung.

“Nah… Kelompok petarung sudah mendapat nama semuanya… Sekarang giliran kelompok pembangun… Kau ketuanya…” tunjukku pada satu peri rambut merah yang tadi bersumbangsih menjelaskan kriteria kelompoknya. “Dan namamu adalah Catur yang artinya empat…” kembali berulang lesakan energi Lini berjumlah besar ke arah peri yang sedang kuberi nama ini. Lalu menyusul hingga keempat anggota kelompok pembangun itu lengkap mendapatkan namanya dariku. Catur, Panca, Sas, dan Sapta. Masing-masing empat, lima, enam, dan tujuh. Kembali kami bertepuk tangan dengan kompaknya setelah nama keempatnya ditabalkan.

Kelompok pemburu yang jumlahnya paling banyak. 5 peri berambut merah. Ketuanya bernama Astha yang artinya delapan. Lalu Nawa, Dasa, Ekadasa, dan Dwadasa. Delapan, sembilan, sepuluh, sebelas, dan dua belas berurutan. Sampe di sini, nafasku mulai ngos-ngosan. Aku menyamarkannya dengan mengajak mereka bercakap-cakap untuk mengatur jalan energi Lini yang sebenarnya sudah melewati batas biasa tubuhku. Banyaknya luapan energi ini terlalu besar untukku. Aku belum terbiasa dengan energi sebanyak ini. Energi alam yang sangat melimpah.

Saat kondisiku membaik, aku melanjutkan menamai empat peri lainnya yang tergabung di kelompok perajin. Trayodasa, Caturdasa, Pancadasa, dan Sadasa. Tiga belas, empat belas, lima belas, dan enam belas. Kembali aku beristirahat dulu untuk kelompok terakhir. Kelompok penghibur. Energi masih sangat banyak, meluap-luap tak terhingga tetapi tubuhku yang seperti menjerit tak tahan. Matahari hitam di atas sana terus menyuplai energi yang sangat banyak.

Dan akhirnya tiba di kelompok terakhir yang hanya berisi tiga peri rambut merah. Kuberi nama Saptadasa, Asthadasa, dan terakhir Nawadasa. Tujuh belas, delapan belas dan sembilan belas. Saat kami semua bertepuk tangan merayakan lengkapnya semua sembilan belas peri rambut merah mendapatkan nama yang berharga, aku duduk di atas rumah pohon ini. Menyaksikan kebahagian kolektif mahluk ghaib yang juga warga kerajaanku merayakan kebahagian yang tak terhingga telah mendapatkan nama.

Ada banyak peluk cium yang terjadi di depan mataku. Kulit-kulit bersentuhan, tetek-tetek kenyal saling berdempetan, cipika-cipiki lazim terjadi, teriakan genit khas perempuan wajar terjadi. Aku hanya bisa menonton dengan mata mengantuk. Mereka tak melihatku turun dari rumah pohon itu dan mengarah ke hammock untuk sekedar berbaring untuk melepas lelah dan akhirnya aku tertidur. Semoga kebugaranku kembali setelah tidur yang cukup. Semoga aja.

Bangun tidur di tempat tidur gantung ini, tubuhku yang kembali segar dihadapkan oleh pemandangan indah belasan peri berambut merah yang kini meramaikan daerah kekuasaanku ini. Dahulu hanya sepi, sekarang sangat ramai oleh mereka-mereka yang tak berbusana ini. Diriku yang sedemikian mesum ini apa bisa lama-lama tahan gak meniduri warga kerajaanku yang sangat patuh ini. Kalo kuminta, kerennya kutitahkan untuk menyerahkan tubuhnya, pasti akan langsung mengangkang aja.

Duh…

Aseng junior beneran menggeliat, kan?

Saat ini mereka ber-19 sedang merayakan sesuatu. Pastinya atas penabalan nama yang sudah tersemat bagi mereka masing-masing. Mereka sangat bangga sekarang sudah mempunyai nama yang artinya derajat mereka juga sudah meningkat selevel lebih tinggi. Itu semua berkatku. Kalo kuminta mereka untuk ehem-ehem… Jangan itu lagi-la, Seng. Jaga wibawa dikit, napa? Kontol aja yang kau ingat tros.

Ketiga peri berambut merah dari kelompok penghibur itu kini yang sedang berusaha menghibur rekan-rekannya. Saptadasa yang memiliki suara merdu sedang bernyanyi melagukan suatu lagu balad yang tak kutau bahasa apa. Ia juga memainkan sebuah kecapi yang entah ia bawa dari mana. Asthadasa dan Nawadasa sebagai backing vokal juga memainkan alat musik. Masing-masing suling dan tetabuhan. Para penonton dari kelompok lain duduk menyebar dan bercampur baur yang menandakan walo mereka dari kelompok yang berbeda-beda tetapi mereka tetaplah berteman.

Mereka menikmati pertunjukan nyanyian yang dibawakan Saptadasa. Karena lagu ini adalah lagu balad yang mendayu-dayu, para penonton mendengarkan dengan tenang. Meresapi tiap syair liriknya. Balad biasanya menceritakan tentang kisah-kisah lama ato kejayaan masa lalu. Mungkin ada sejarah di dalamnya dan mereka sama-sama mengenang hal itu.

Lagu berakhir, ketiganya berdiri berdampingan memeluk alat musik masing-masing dan melakukan salut dengan membungkuk dalam. Ternyata mereka melakukannya untukku karena para penonton lain berbalik ke arahku yang masih duduk berayun-ayun di atas hammock.

“Apakah baginda raja menyukai lagu hamba?” tanya Saptadasa dengan pandangan harap-harap cemas. “Maaf kalau hamba mengganggu tidur baginda raja…” rupanya karena khawatir akan hal ini.

“Sangat suka, Saptadasa…” aku harus menyebut namanya dengan lengkap karena ada peri lain yang yang bernama Sapta yang merupakan urutan ketujuh. Menambah kata dasa (sepuluh) dibelakang bilangan satuan akan mengubahnya menjadi belasan. “Suaramu bagus dan merdu… Saya tidak terganggu… Saya suka suaramu… Tapi kalo boleh tau… itu lagu tentang apa? Maaf saya enggak ngerti bahasanya…” aku bangkit dari posisi berayun-ayun di hammock dan berjalan ke arah kerumunan mereka.

“Lagu tadi judulnya ‘Memori Musim Panas Seribu Tahun’, baginda raja… Terdiri dari 63 lirik syair… Menceritakan tentang sejarah kerajaan Mahkota Merah dari awal terbentuk ribuan tahun lalu dalam bahasa kuno peri… Kejayaan kerajaan kita di masa lalu yang masyur hingga disegani kerajaan-kerajaan lain…” ujar si Saptadasa dengan sangat lengkap. Benar tebakanku. Sejarah di kerajaan ini diceritakan turun-temurun lewat lirik syair lagu seperti lazimnya di masa lalu. Aku duduk bersama mereka semua yang sungkan-sungkan memberi jalan. Duduk lesehan seperti tak ada batas antara raja dan jelata. Sebenarnya aku hanya ingin melihat tubuh telanjang mereka lebih jelas saja di jarak dekat ini.

“Coba terjemahkan liriknya… Aku mau dengar arti liriknya…” aku sebenarnya juga penasaran dengan sejarah kerajaan ini. Mengetahui sejarah kerajaan yang kupimpin pastinya akan lebih memudahkanku melakoninya. Aku memberi kode bagi peri-peri itu untuk lebih merapat lagi di sekitarku seperti sebelum aku bergabung. Segan-segan mereka kembali beringsut mendekat hanya karena kusuruh.

Saptadasa lalu mengurai syair lirik lagu Memori Musim Panas Seribu Tahun dan diterjemahkan ke dalam bahasa yang kupahami. Jadi garis besar ceritanya kerajaan Mahkota Merah ini dimulai dari sebuah cermin emas seorang dewi kahyangan yang hilang dicuri kurcaci dan dibawa lari ke bumi. Di pelariannya ia selalu dikejar-kejar prajurit kahyangan yang diperintahkan untuk menemukan cermin emas ini kembali karena sang dewi tak bisa berhias tanpa cermin indahnya. Di sebuah hutan, kurcaci bertemu babi hutan dan menubruknya. Cermin hancur berkeping-keping menjadi 5 bagian yang masing-masing memiliki sebuah permata penghiasnya. Satu permata terlontar hingga masuk ke dalam kawah gunung berapi, satu permata terlempar ke laut, satu terkubur pasir gurun, satunya lagi tergeletak begitu saja di puncak bukit dan yang terakhir tersembunyi di dalam gelapnya gua.

Dari permata yang masuk ke kawah gunung berapi melahirkan peri berambut merah dengan elemen api yang kuat dengan mahkota rubi api seperti yang sedang kukenakan di kepalaku ini. Yang di laut melahirkan peri lautan berambut biru dengan kalung mustika laut safir biru. Yang terkubur di pasir gurun menjadi peri berambut pirang dengan tongkat opal pelangi. Yang di puncak bukit melahirkan peri berambut putih dengan perisai quarsa moonstone. Dan yang kelima di dalam gua gelap melahirkan peri berambut hitam dengan pedang onyx hitam.

Selanjutnya cerita difokuskan pada kisah peri berambut merah saja dengan mahkota rubi apinya. Ia melanglang buana untuk mencari jati dirinya dan melahirkan peri-peri rambut merah lainnya dari kuasa rubi api miliknya yang kemudian menjadi pengikutnya hingga membentuk kerajaan Mahkota Merah ini. Kerajaan mereka didirikan di kaki gunung yang selalu erupsi sebagai tempat yang seperti surga sebagai azas penciptaan awalnya. Karena pilihan tempat ini, tak ada serangan dari kerajaan lain yang bisa mengalahkan mereka. Lawan selalu dapat dikalahkan ato dipukul mundur dengan limpahan magma panas yang dengan mudah memporak-porandakan pasukan musuh.

Kami semua sangat menikmati penuturan hikayat kerajaan Mahkota Merah yang disampaikan oleh Saptadasa. Aku sendiri ikut terhanyut di dalam ceritanya. Narasi yang diceritakannya dipenuhi bunga-bunga, bernas oleh gesture tambahan, mimik ekspresif memperagakan gerakan. Terbuai dalam keseruan, ketegangan, kepahlawanan dan kadang kesedihan di dalamnya. Aku jadi bisa membayangkan kejadian ribuan tahun yang lalu itu seolah sedang terjadi di depanku terpampang di layar kaca lewat media. Kedua rekan Saptadasa, Asthadasa dan Nawadasa memberikan kontribusi sound effect menggunakan beberapa alat musik untuk mendukung cerita epik ini. Entah darimana mereka mendapatkan instrumen-instrumen itu.

“Sekian, baginda raja… Semoga anda terhibur…” kembali mereka bertiga menunduk dalam, salut para performer setelah menampilkan pertunjukan mereka. Aku hanya bisa bertepuk tangan yang diikuti oleh penonton lain yang merasa puas dengan cerita epos kerajaan Mahkota Merah yang kaya warna tadi. Aku sangat puas dengan caranya bercerita. Sebenarnya aku belum pernah menikmati cara bercerita seperti ini sebelumnya. Aku hanya orang biasa yang tak tau caranya mengapresiasi seni lewat media apapun.

“Luar biasa… Kisah yang sangat luar biasa!” seruku bangkit dan mendekati mereka bertiga sambil terus standing applause. Ketiganya sama-sama menunduk masih sangat kaku karena berhadapan dekat dengan raja. Aku hanya bisa menepuk-nepuk lembut kepala mereka bertiga tanda apresiasi tinggi telah disuguhi pertunjukan yang informatif dan menghibur.

“Kalian benar-benar penghibur sejati… Tak salah ada kelompok kalian di kerajaan ini…” imbuhku. Padahal awalnya aku mengira hiburan yang kelompok ini berikan ke komunitas kerajaan ini adalah tarian striptease. Efek barusan nonton pertunjukan striptease yang berakhir rusuh. Padahal apa yang dipertunjukkan karena dari awal aja mereka udah telanjang? Lagipula semuanya sesama jenis perempuan. Cuma aku doang yang berbatang di sini.

“Apakah baginda raja ingin hiburan yang lain?” tanya Saptadasa menanyakannya masih takut-takut. Ketiganya menunduk dan melirikku menunggu jawaban.

“Kalian bisa melakukan hiburan apa aja?” tanyaku taktis. Jangan bilang jadi perempuan penghibur, ya?

“Bidang seni apapun kami bisa, baginda raja… Kami bisa bernyanyi, bermusik, puisi, bercerita, menari, melukis, mematung… Apa saja bisa, baginda raja…” rinci Saptadasa. Kedua rekannya yang tak kalah cantik dengannya, Asthadasa dan Nawadasa mengangguk membenarkan.

“Hebat… Apa saja bisa… Bagaimana kalo menari?” aku langsung beralih pada kerumunan kelompok lain yang sabar menunggu. “Kalian setuju? Mereka menari?” tanyaku dengan semangat untuk menularkannya.

“SETUJUUU!!!!” seru mereka setuju dengan usulanku.

“Naaah… Menarilah…” aku buru-buru mundur dan balik ke tempat dudukku semula. Diantara Eka dan Catur yang merupakan ketua di kelompoknya masing-masing. Aku sangat excited akan tarian macam apa yang akan mereka pertontonkan dalam kondisi tak berbusana seperti ini. Dalam hati aku berjanji akan memberi mereka pakaian dalam waktu dekat ini.

Saptadasa dan Asthadasa yang akan menari dan Nawadasa akan menggunakan alat musik. Ia menyiapkan suling dan genderang. Sebagai awal ia meniup suling sebagai intro lalu masuk ke komposisi riang dimana kedua penari mulai masuk ke panggung dadakan ini. Dari gerakan-gerakan yang dilakukan keduanya, aku menebak ini adalah gerakan hewan-hewan yang terkenal keanggunan dan keluwesan gerakannya. Seperti angsa, kijang, burung merak. Keduanya saling mendukung satu sama lain dan saling melengkapi.

Aku mendapat kesan ini seperti tarian balet purba karena tarian keduanya luwes dan lentur sekali tetapi bertenaga sekaligus. Kalo saja balet di dunia nyata juga tak berbusana seperti ini, pasti setiap pertunjukannya akan selalu full booked. Guncangan-guncangan tetek, permainan kaki, kemaluan mengintip adalah yang menjadi pemanis tarian yang entah bagaimana tak terasa erotis bagiku. Udah kek penikmat seni betul aku kurasa jadinya. Hanya murni mengapresiasi pertunjukan seutuhnya.

Rasanya aku makin betah aja ada di tempat ini. Aku benar-benar merasa terhibur atas apapun yang ketiga penghibur ini berikan pada kami semua. Semuanya pasti setuju. Kami bertepuk tangan kembali begitu pertunjukan tari itu selesai dan ditutup dengan epik.

Bersambung

Mantan pacar yang sekarang jadi istriku
ibu ibu hot
Liburan ke Eropa bersama ibu ibu sosialita bagian satu
Foto memek basah tante cantik lagi horny
sex saat hujan
Hujan lebat yang menghanyutkan keperawanan ku juga
Foto telanjang anak SMP cantik bisyar
ngocok bareng
Ngocok bareng dengan ibu ibu cantik sampai keluar
Foto model bugil cewek cina yang cantik dan putih
Ngentot dengan calon istri orang
teman cantik
Teman wanita ku yang seorang hyper sexs
Foto toket gede pemandu lagu karaoke cantik
rekan kerja
Menikmati Tubuh Indah Ratna Rekan Kerja Ku
gadis manja
Cerita cewek manja yang punya nafsu gede
guru sexy
Ngentot dengan bu guru yang cantik meskipun sudah berkepala 5
Foto bugil memek berbulu full HD
Emak dan nenek ku ketagihan ngentot denganku
istri binal
Aku Berselingkuh Dengan Pak RT Bagian Dua