Part #73 : Lisa
“Sepertinya Lisa punya saingan di rumah abang…” lemparnya akan topik random kala kami sedang menatap hamparan mesin-mesin dan personil pabrik di hadapan kami lewat balkon tempat mengamati ini. Bising suara mesin produksi sebenarnya menyulitkan komunikasi. Lisa sudah menyesuaikan diri dan agak bersuara keras untuk dapat berkomunikasi di lokasi ini.
Aku memutar mataku, like hell yeah? Sumpeh lo? “Awak ya sainganmu?”
“Abang bukan saingan… Lisa gak pernah menganggap bang Aseng sebagai saingan… Abang adalah fasilitas utama bagi Lisa agar bisa selalu bersama dengan mbak-ku sayang… Ada satu saingan di rumah abang… Sepertinya dia cemburu mengetahui kalo Lisa terang-terangan nembak si-mbak cantik… Sementara ia hanya sembunyi-sembunyi selama ini…” paparnya sangat mengejutkan.
“Siapa maksudmu?” aku jadi penasaran mendengar pengakuannya. Bagaimana mungkin baru satu malam ia menginap di rumah dan kamarku, ia sudah mengetahui hal ini. Pengagum rahasia-kah?
“Baby sitter itu… Tiara…” sebutnya akan satu nama.
“Tiara? Masa dia cembu…ru?” aku kembali kaget. Tiara?
“Apa abang gak ngeliat ekspresinya waktu pertama kali Lisa menyatakan perasaan ke si-mbak?” Lisa mencoba mengingatkanku akan mimik Tiara kemarin sore saat Lisa baru kuperkenalkan pada istriku.
Memang keningnya Tiara sampe berkerut-kerut mendengar penuturan berani, jujur dan mengejutkan itu. Tapi tentu aja aku juga begitu. Itu memang gak wajar kalo nembak seseorang di depan pasangan resminya. Apalagi sesama jenis begini. Dan tadi pagi lagi. Ada pandangan kesal lagi di mimik Tiara saat Lisa baru kembali dari menjemput koper barang-barang miliknya yang baru diantarkan. Lisa dengan entengnya memeluk istriku, cipika-cipiki, saling laga tetek. Mimik itu normal ditunjukkan oleh seseorang yang memergoki kekasihnya sedang berselingkuh.
Tapi ini Tiara yang sedang kami bicarakan. Baby sitter cantik, baik hati dan tidak sombong yang membantu istriku menjaga dan mengasuh anak-anakku. Yang sudah beberapa bulan ini tinggal bersama dengan kami. Apakah ia memendam hal yang serupa dengan Lisa? Suka pada istriku? Suka pada sejenis? Lesbong?
“Merhatiin, kan? Lain kan mukanya ngeliat Lisa?” ulangnya. O-iya… Ada juga peringatan dari Vivi waktu itu. Vivi pernah memberitahu padaku kalo aku harus berhati-hati pada Tiara karena baby sitter kami itu juga memata-matai gerak-gerikku. Saat kutanyakan lebih lanjut, ternyata cara memata-matai versi Tiara berbeda dengan Vivi. Vivi melakukannya secara ghaib dengan Banaspati awalnya, lalu berganti metode menggunakan mata mahluk asing miliknya yang diberi nama Ameng—plesetan namaku.
Cara Tiara berbeda jauh metodenya. Ia ternyata menggunakan alat elektronik untuk memata-matai kami. Ia menyebar beberapa baby monitor, alat kerjanya yang disedianya untuk mengawasi keadaan anak-anakku, menjadi alat spionase berkat adanya kamera dan microphone dengan fungsi seperti CCTV mini. Ada di box bayi anakku di kamar kami dan tentunya di kamar kedua anakku.
Ternyata Tiara bukan memata-matai aku, melainkan istriku…
“Nah… Dari mukanya keliatannya baru ngeh, kan?” tembak Lisa memerhatikan perubahan mimikku yang teringat fakta baru.
Jadi selama ini, ia memperhatikan gerak-gerik orang rumahku ketika sedang berada di dalam kamar. Semua kegiatannya di dalam kamar. Itu pastinya termasuk saat ia berganti pakaian bahkan saat sedang bercinta denganku. Astaga dragon! Tiara menonton kami lagi ngeseks? Apa pake masturbasi Tiara saat itu? Dia kan tidur sekamar sama bu Murni. Tapi enggak juga karena akhir-akhir ini ia sering tidur di kamar Rio ato Salwa. Malam-malam kadang ia membangunkan istriku dengan alasan Salwa minta disusui ASI. Tentu ia melihat langsung proses menyusui itu lekat-lekat dengan mata melotot. Menyaksikan susu jumbo istriku yang mengeluarkan ASI.
Banyak pikiran kotor bermain di kepalaku jadinya akibat baru nyadar begini. Nambah satu lagi masalah padahal masalah anak bos tetek jumbo di dekatku ini aja belum jelas apa maunya.
“What’s up, mate? Kayaknya banyak sekali masalahnya, bang?” goda Lisa menutup mulutnya yang hendak tertawa. Ia melemparkan pandangannya kembali ke hamparan pabrik.
“Kau juga yang nambahin masalah…” sergahku. “Enak gak susu mbak-mu itu? Manis-manis gitu, ya?”
Sontak ia menggeleng-gelengkan kepalanya lalu mengacungkan kedua jempol tangannya. “The best pokoknya…” lalu ia mengecup ujung-ujung jarinya yang dikuncupkan, “Numero uno!”
“Kimak!” aku nyesal sendiri sudah nanyain itu. Istriku harusnya adalah hal yang sakral bagiku. Kenapa aku harus membaginya pada orang lain? Aku udah wanti-wanti ke diri sendiri gak akan mau melakukan hal yang dipraktekkan Julio dan Amei. Menyerahkan istrinya ke pria lain. Aku gak akan mau membagi istriku ke pria lain. Eh… Malah perempuan lain yang berbagi istriku. Kan kimak kali. Baluap-baluap!
“Itu gimana ceritanya, sih? Kok awak gak paham-paham… apa yang membuat Lisa jadi begitu sama mbak-mu itu? Apa yang Lisa rasakan? Sekarang ini gak lagi berdebar-debar, kan?” tanyaku tentu kepo. Ini sebenarnya yang pengen kutanyakan dari tadi.
“Saat Lisa teringat mbak… tiba-tiba jantung Lisa berdebar lagi, bang… Abang sih… ngingetin… Lisa kan jadi kangen pengen cepat-cepat pulang ketemu mbak… Duuh gimana, nih?” mendadak ia panik.
“Gak usah lebay kali-la, Lisa… Awak mo nanyak, nih… Kenapa jadi kek gini? Nyesal pulak awak nunjukin foto keluargaku samamu…” teringatku akan pangkal muasal kejadian ini. Karena aku yang dengan bangga menunjukkan foto kedua anakku. Disana nyempil foto istriku yang sudah berbodi upgrade.
“Lisa-pun gak ngerti, bang… Kenapa Lisa jadi begini… Kalo dipikir-pikir… Lisa sudah banyak ketemu banyak orang… Laki-laki maupun perempuan… Lisa gak pernah merasakan yang begini sebelumnya… Bahkan waktu dulu-dulu jatuh cinta… Cinta monyet-cinta kucing-cinta ayam…”
“Cinta babi…”
“Hi hihihi… Jelek amat… Kayak gitu-lah… Gak pernah Lisa debar-debar seperti ini… Ini-ini baru buat Lisa… Di Sydney sana… abang pasti tau sendiri ada banyak ras campur baur disana… Kaukasia, Asia, Afrika, Arab, Latin… Apa aja ada… Banyak yang cantik-cantik… Yang bodinya kayak mbak-pun banyak… Tapi gak pernah Lisa tertarik seperti ini… Yang pasti Lisa juga bingung… Saat berdekatan sama mbak… Saat bersama mbak… Saat ngobrol bareng mbak… Saat-saat paling bahagia dalam hidup Lisa… Mmm…” ia memandangi layar HP-nya. Pasti sedang memandangi koleksi foto istriku.
Lama ia tak memperdulikanku yang ada di dekatnya. Ia tenggelam mengagumi pesona menyihir istriku. Kepalanya teleng ke kanan, miring ke kiri dan seperti berbicara, ngobrol dengan mesranya. Udah kek orang gilak betul kurasa. Cam iya-iya kali.
“Sana-lah ke kamar mandi… Ngocok dulu sana…” kataku menunjukkan jari yang dikaitkan seolah sedang mengorek-ngorek liang kawinnya yang pasti sudah geli-geli gatal pengen digaruk.
“Hi hihihi… Sori, bang…” ia lalu mematikan layar HP-nya. “Ada apa calon imam masa depanku?”
“Imam-imam? Tetek jumbo-mu itu imam! Awak mau ngomong serius sama Lisa, nih… Tapi Lisa harus janji tidak boleh tersinggung… Bisa?” ujarku memasang muka seserius mungkin. Seperti sedang menghadapi seorang mertua yang tak mengizinkan anaknya dipinang dengan seserahan murah.
“Bisa… Ngomong-lah, bang… Lisa akan coba berpikir jernih agar gak tersinggung…” jawabnya terbuka.
“OK… Janji ya gak bakal tersinggung?” ia mengangguk yakin. “Terlebih dahulu mohon maaf… Apa yang Lisa ketahui soal kematian koko dan cicimu? Robert dan Vanessa…” mulaiku.
Lisa terkesiap kaget aku menanyakan hal ini. Ini sebenarnya hal yang sangat sensitif bagi keluarga besarnya. Robert, anak laki-laki pertama pak Asui tentu saja merupakan kebanggaan keluarganya. Pintar, cerdas, berprestasi, ganteng. Gambaran sempurna seorang pria muda yang digadang-gadang akan menguasai mayoritas usaha orang tuanya. Vanessa juga demikian. Cantik, cerdas dan mahir memainkan beberapa alat musik. Pemenang beberapa perlombaan sains tingkat nasional hingga mendapatkan beasiswa ke Amerika Serikat.
Betapa terpukulnya keluarga besar mereka mendapat kabar yang mengerikan dua putra dan putri kebanggan pak Asui tewas dalam kurun waktu dua tahun berturut-turut.
“Koh Robert karena kecelakaan bermain polo di Inggris… Cici Vanessa karena kecelakaan lalu lintas di Amerika…” jawabnya datar setelah berhasil menguasai dirinya.
“Kami di sini juga dengarnya juga begitu… Robert kecelakaan saat berolah raga polo bersama teman-temannya di Inggris sana… Vanessa kecelakaan lalu lintas saat akan pulang dari kegiatan disertasi Master-nya… Semuanya taunya begitu… Bahkan kak Sandra yang segitu dekat dengan keluarga kalian juga taunya versi itu…” kataku mulai set up infoku.
“Maksudnya?” ia mengernyit meraba-raba jalan pembicaraanku.
“Info dari sumber yang tak disangka-sangka baru awak tau kalo kakakmu… Vanesaa bukan kecelakaan lalu lintas… Dia diperkosa beramai-ramai oleh teman-teman bejatnya saat liburan sampe tewas… Ingat jangan tersinggung…” kuingatkan lagi dia agar tidak meledak.
Mukanya terlihat ketat dan kulit putihnya memerah menahan amarah. Rahangnya mengeras mengatup erat dengan tekanan kuat. “Siapa sumber abang itu?” tanyanya datar. Pasti ia ingin tau sumber kebocoran berita ini. Keluarga mereka pasti sudah membayar mahal agar tragedi ini tidak sampe ke telinga orang-orang yang tak berkepentingan.
“Sebelum awak jawab… Awak mau menunjukkan sedikit dunia lain yang awak geluti selama ini… Ini dunia yang asing dan sangat berbahaya… Perhatikan ini… Trik ini bukan sulap… Fnnngg!!” mandau Panglima Burung tiba-tiba sudah terhunus di tangan kananku. Matanya membelalak kaget melihat kemunculan secara ghaib senjata tajam ini. “Ini namanya mandau… Senjata khas masyarakat dayak… Sebaiknya kusimpan dulu senjata ini…” dan pemberian burung Enggang sang Panglima Burung itu kembali menghilang dalam perbendaharaan senjata Menggala Wasi-ku.
“Awak tau detil berita tentang Vanessa diperkosa hingga tewas itu dari pelaku utamanya… Pelaku utama kejahatan itu bukanlah orang-orang yang telah menyakiti Vanessa… Bukan mereka sumber info ini… Awak yakin kalo semua pelakunya sudah mendapat ganjaran… Tapi info ini dari mahluk yang mengaku sebagai Dewa Kera Emas…” mata Lisa melotot mendengar nama entitas suci di sebut. “Pernah dengar namanya? Pasti pernah…”
“Dewa Kera Emas? Apa hubungannya dengan dewa…?”
“Sebelum awak membasmi Dewa Kera Emas… ia sempat menceritakan kalo dialah yang mengambil tumbal dua anak pak Asui, koko dan cicimu sebagai ganti upah bantuannya selama ini… Jadi ia menyamarkan kecelakaan Robert yang diinjak kuda polo itu saat jatuh… Memberikan pengaruh jahat pada teman-teman Vanessa hingga tega memperkosanya hingga tewas… Padahal mereka berdua… koko dan cicimu itu sudah dimakan olehnya… Dia hanyalah siluman monyet yang mengaku-ngaku sebagai Dewa Kera Emas di pekong yang kerap didatangi pak Asui untuk mencari berkah…”
Lisa melongo mendengar ceritaku. Matanya sesekali mengerjab kaku.
“Kedengaran kek bullshit, ya?” gurauku. Memang aku gak terlalu berharap Lisa akan percaya akan kisahku. “Walo bagaimanapun… siluman monyet itu sudah seharusnya dibasmi… karena sudah menyebabkan banyak kejahatan dan kesedihan dimana-mana… Contohnya di keluarga kalian… Ia selalu mengambil sesuatu yang berharga sebagai harga yang dibayar atas kebaikan yang diberikannya… Tapi tentunya semua itu tak akan sepadan… kalo nyawa yang jadi bayarannya…”
“Dari kecil kami sudah dibawa ke pekong di Pangkalan Brandan itu… Tiap tahun berdoa dan mengharapkan berkah di sana… Maksud bang Aseng kalo Dewa Kera Emas itu palsu?” Lisa berusaha keras untuk tidak sengit.
“Maaf… Awak gak bermaksud SARA… Tapi itulah adanya… Siluman monyet hanya mengaku-ngaku dewa padahal palsu… Dia hanya mencari keuntungan sendiri dengan mengambil tumbal seenaknya… Maaf sekali lagi… Awak gak bermaksud mendiskreditkan kepercayaan kalian… Tapi… ini ada kaitannya dengan apa yang terjadi pada Lisa saat ini… Awak curiga kalo siluman monyet itu sebelumnya sudah melakukan sesuatu pada Lisa juga… Karena ia sempat bilang kalo dia mengincar kalian berdua…” jelasku agak sungkan pada masalah kepercayaan ini. Itu masalah yang sangat sensitif dan aku pelan-pelan merabanya.
“Siluman itu mengincarku dan Anne?! (Anne adiknya yang paling bungsu, yang masih SMA itu)”
“Awak curiganya gitu, Lisa… Awak curiganya kalo kejadian Lisa suka sama istriku sampe berdebar-debar ini yaa… gara-gara siluman itu…” sampeku pada inti permasalahannya. Ini masih kecurigaan dangkal karena aku masih perlu analisa yang lebih mendalam. Karena saat Aseng junior-ku yang sempat masuk menelusup masuk ke liang kemaluannya, tidak terjadi reaksi apa-apa. Seharusnya kalo ada masalah gangguan ghaib, pasti akan langsung bereaksi. Ini tidak ada sama sekali.
“Jadi bang Aseng bisa nyembuhin Lisa?” ia tepat bertanya. Ia jadi antusias akan ceritaku.
“Demi istriku biar gak terus Lisa ganggu… awak akan coba… Mau kita mulai?” setujuku.
“Disini? Apa kita gak sebaiknya cari tempat yang agak tenang?” usulnya karena menganggap tempat ini kurang layak untuk dijadikan tempat mengobati gangguannya.
“Gak pa-pa… Ini tempat yang paling aman… Tunjukkan telapak tangan kirimu…” ia menyodorkan tangan kirinya dengan tapak menghadap ke atas. Aku mengarahkan tapak tangan kananku di atasnya. “Sebentar yaa… Awak deteksi dulu…” Tapak tangan kami hanya berdekatan, tak berdempetan bersentuhan. Aku mengerahkan sejumlah energi Lini untuk mencari potensi gangguan yang mungkin menyerang Lisa. Beberapa lapis jiwanya kutelusuri untuk gangguan sekecil apapun.
Aku berkonsentraasi penuh untuk menemukan apa yang kucari. Tiba-tiba jarak yang kujaga antara tapak tangan kami menyatu merekat. Kami berdua terkaget akan hal ini dan kemudian berdua terseret masuk ke daerah gelap dengan lingkungan tebing batu padas tinggi melingkar. Aku familiar dengan daerah ini karena pernah ada disini sebelumnya. Ini daerah kekuasaan siluman monyet bangsat itu.
“Baang… Ini kita dimana? Apa kita berpindah tempat? Teleport?” kaget Lisa menyadari kami sudah tidak berada di lingkungan pabrik lagi.
“Hati-hati… Kita diundang masuk ke daerah kekuasaan siluman monyet itu…” wanti-wantiku. Kenapa tempat ini masih ada? Bukankah siluman monyet itu sudah kumusnahkan? Daerah kekuasaan semacam ini biasanya akan musnah bersamaan dengan musnahnya sang pemiliknya. Siluman monyet yang mengaku-ngaku Dewa Kera Emas itu pemilik tempat ini, kan? Apa bukan?
“Daerah… siluman monyet?” sontak Lisa menjadi sangat tegang dan tentunya takut. Matanya nyalang memperhatikan sekelilingnya kalo tiba-tiba siluman itu muncul dari salah satu sudut bebatuan.
“Jangan jauh-jauh… Ini siluman yang berbahaya…” ujarku memperingatinya lagi.
“Apa pengobatannya memang dengan cara begini, bang? Lisa takut…” khawatirnya meluap-luap.
“Biasanya enggak begini… Tetapi para iblis ini selalu penuh tipuan dan kejutan… Makanya kita tidak boleh terperdaya oleh mereka… Tetap di belakangku…” mataku juga awas memperhatikan sekeliling kami. Jaga-jaga kalo ada yang akan diam-diam menyerang secara pengecut.
“Aaahhh!!” jerit Lisa. Aku langsung menghalangi tubuhnya. Ternyata dia hanya menunjuk pada satu titik. Ada muncul sesuatu yang nongol dari balik bebatuan. Awalnya hanya satu kemudian menyusul yang lainnya dan bergerak keluar menampakkan dirinya lebih jelas hingga sosok berbentuk monyet-monyet berekor panjang meramaikan tempat ini. Bentuk para monyet ini seperti monyet biasa saja dan jauh dari gambaran siluman monyet bertubuh humanoid besar yang pernah bertarung denganku dan Iyon waktu itu. Apakah mereka ini murni hewan? Karena aku tak merasakan hawa kejahatan dari mereka.
Bergerombol monyet-monyet ekor panjang itu lalu duduk acak tetapi tertib tak membuat kericuhan. Tau sendiri tingkah monyet-monyet liar itu bagaimana. Pasti sudah jalan sana, jalan sini mencari makanan ato mencari masalah.
Lalu terdengar teriakan melengking satu monyet. Kerumunan monyet itu menepi membuka jalan akan kemunculan satu monyet baru yang ukurannya sedikit lebih besar dari kawanannya. Sepertinya ia monyet alpha di gerombolan berekor panjang ini. Dan satu hal yang membuatku segera awas adalah apa yang dipakai di kepalanya. Simpai emas palsu itu. Simpai emas yang pernah dipakai siluman monyet mengaku dewa itu nangkring di atas kepala monyet alpha itu—meniru simpai emas yang dipakai Sun Go Kong. Ia memakainya dengan bangga seolah sebuah mahkota yang mengukuhkan dirinya sebagai raja di kawanan ini.
Jadi setelah siluman monyet itu dihimpit oleh batu-batu besar yang masih berserakan di tengah lingkarang tebing-tebing batu ini, kerjaan si Iyon, simpai miliknya tertinggal di sini dan ditemukan oleh sang monyet yang kemudian menjadi alpha ini. Dan pertanyaan sebenarnya, kenapa ada kawanan monyet di daerah kekuasaan yang pemiliknya sudah musnah ini? Dari mana asal kawanan monyet ekor panjang ini? Aku tak bisa bertanya pada siapa-siapa…
“Hati-hati Lisa… Mereka sangat berbahaya…”
Bersamaan dengan kalimatku berakhir, monyet alpha itu melengking nyaring dan semua bawahannya menerjang maju bak pasukan kavaleri menyerbu pasukan musuh; kami berdua. Lisa menjerit ketakutan melihat gerombolan itu menerjang maju dengan ganas. Aku menghalangi arah datangnya serbuan pasukan monyet ekor panjang itu dengan tepat berdiri di depan Lisa. Mandau Panglima Burung kusiapkan terhunus, untuk membabat apapun yang menerjang menyerang.
“Tetap di belakangku!” peringatan terakhirku sebelum aku mulai menebas monyet pertama yang mencapaiku. Mahluk malang itu mencelat terlempar dengan luka menganga di tubuhnya yang segera digantikan oleh rekannya yang lain, yang juga mendapat luka sejenis di tubuhnya. Serbuan ganas yang mengandalkan kuantitas dibanding kualitas memang akan memakan banyak korban. Karena itu kelompok semacam ini memiliki banyak anggota untuk menyerang lawan.
Taring-taring panjang dan runcing berwarna kekuningan adalah yang mereka andalkan untuk membuatku ciut. Cakar-cakar berkuku kotor juga teracung bermaksud untuk mencakarku. Dua-tiga pasukan monyet ekor panjang ini kembali meregang nyawa disusul empat-lima-enam berikutnya yang terpental dengan posisi luka menganga yang beraneka tempat di tubuh berbulu lebat mereka. Tujuh-delapan-sembilan-sepuluh terkapar menambah jumlah korban yang kena bantai tebasan mandau Panglima Burung yang tajam.
Memakan banyak waktu kalo harus meladeni satu-satu. Aku harus mengeluarkan jurus Pedang Selatan. Kita liat berapa yang tumbang sekali tebas…
“Pedang Selatan Menerabas Ilalang…” kuhembuskan nafas panjang dengan ujung mandau menggesek bebatuan lalu ditarik cepat berputar di depanku. Tebasan lebar terbang menerabas dengan kekuatan yang diperkuat beberapa kali lipat berkat kuda-kuda diperkuat bakiak Bulan Pencak di kakiku. Sekitar 15 ekor monyet di hadapanku hancur menjadi serpihan kulit dan rambut. Puluhan lainnya di belakangnya mendapat luka sobek menganga di tubuh mereka. Sisanya terpental.
“Jyaaahhh…”
Sialan! Aku kecolongan! Lisa diambil secara paksa dari belakang. Saat aku menghadapi pasukan monyet ekor panjang itu secara frontal, ternyata ada beberapa ekor yang bergerilya dan memutar untuk mengendap-endap dari belakang dan berhasil menangkap Lisa.
Panlok itu menjerit-jerit histeris karena diseret dan ditarik beberapa ekor monyet sekaligus. Kakinya terantuk batu beberapa kali saat diseret paksa menaiki tebing batu padas tinggi itu. Aku kelabakan mengejar mereka semua. Monyet yang tersisa juga menghadang dan mengejarku bermaksud menyerang kembali saat aku lengah. Para monyet itu estafet mengoper Lisa dari satu ketinggian ke ketinggian yang lain hingga tak lama ia sudah berada di puncak bukit batu padas ini. Mereka bekerja sama dengan baik.
Beberapa monyet yang mengejarku berhasil kutebas. Beberapa yang lain berhasil mencakar dan menggigitku karena perhatianku terpecah. Mereka terorganisir dengan baik dibawah komando si monyet alpha bersimpai itu. Si alpha terlihat pelan-pelan memanjat dinding tebing batu padas terdekat untuk menghampiri pasukannya yang sudah berhasil menculik Lisa di puncak salah satu dari sekian banyak dinding tebing berbentuk melingkar ini.
Dengan satu salakan, pasukannya yang tersisa beringsut mundur dengan patuh. Pasukan monyet yang masih berjumlah puluhan itu mundur teratur dan dengan lincah memanjat tebing-tebing batu hingga keberadaan mereka sekarang di tempat yang tinggi. Lisa menjerit-jerit histeris disekapan para monyet-monyet ekor panjang itu. Mereka memegangi tangan, kaki dan rambut panjangnya.
“LISAAA!! TENANG, LISAAA!! AWAK AKAN MENYELAMATKANMUUU!! TENANGG!!” jeritku memberi harapan padanya yang pastinya shock berat mendapat kejadian yang sangat mengerikan seperti ini. Pasti taring-taring runcing dan kuku-kuku tajam pasukan monyet itu sangat mengintimidasi sekali saat ini. Ditambah tampang seram dan jumlah yang banyak. Gertakan-gertakan mengancam apalagi. Aku gak bisa membayangkan apa yang akan terjadi padanya setelah ini kalo aku gak cepat-cepat.
Si monyet alpha dengan mudah melompati puncak tebing tempatnya berada ke puncak di sebelahnya. Padahal jaraknya ada sekitar 3-4 meter dan ia dengan cepat sudah mencapai lokasi Lisa berada. Para monyet bawahan itu segera menyingkir begitu sang alpha mendekati mangsa yang sudah berhasil mereka tangkap. Tetapi mereka tidak tak terlalu jauh dan menunggu apa yang akan dilakukan pemimpin mereka.
Dibawah tatapan tajam si monyet alpha, Lisa terdiam hanya bisa menatap dengan ketakutan, tak berani bergerak sedikitpun karena aura seramnya. Dan saat ia menyeringai, memamerkan taring-taring panjang, sontak Lisa berpaling menunduk seperti bersujud, bersikap inferior dan artinya menyerah kalah. Itu salah! Tidak boleh bersikap begitu di hadapannya…
“AAAHHH!!” Lisa menjerit histeris saat sang alpha melompat dan menekan, menunggangi bokongnya.
KIMAK!! Monyet itu mau memperkosa Lisa!
Sang alpha berusaha menyodok-nyodok bokong panlok itu dengan tidak sabar. Padahal masih ada rok lebar yang menghalangi nafsu binatangnya. Tapi tak lama karena rok itu kemudian sobek begitu saja berkat kuku-kuku tangannya. Lisa hanya bisa menjerit histeris ketakutan dan makin menungging. Bokongnya yang tak terlindungi rok lagi hanya tinggal berpenutup celanan dalam minim. Si monyet alpha mengendus-endus bokong Lisa. Pasti ia sudah membaui aroma subur Lisa yang pekat.
Aku gak boleh tinggal diam. Aku harus mencegah. Aku gak bisa membiarkan Lisa diperkosa monyet pukimak itu. Kuperkuat kakiku dengan tambahan lambaran energi Lini untuk sontekan melompat tinggi dengan bakiak Bulan Pencak. Selesai mengumpulkan tenaga…
“HuuAAAHHH!!!” lompatan melenting tinggi kulakukan mengarah ke dinding terdekat yang maksimal dapat kuraih. Selebihnya yang tinggal beberapa meter kujangkau dengan memanfaatkan momentum daya dorong loncatanku dengan cara berlari semampunya di dinding vertikal ini. Monyet-monyet kroco itu menjerit-jerit bising melihat aksiku ini yang sedang berlari pontang-panting di dinding yang sewajarnya gak bisa dipanjat dengan cara ini. Satu tangan kugunakan untuk meraih cerukan bebatuan karena sebelah tangan lainnya bersiap dengan mandau Panglima Burung sebagai senjata penghalau.
“RRrrraaaAAAHHH!!” dengan susah payah, akhirnya sampai juga di puncak tebing batu padas dan aku langsung melonjak ke arah si monyet alpha yang ganas menyodok-nyodok bokong Lisa. “HYYYAAAA!!!” mandau ini langsung kusabetkan ke arah leher si monyet alpha pemimpin.
“TRAAANNKK!!” ia menangkis dengan menggunakan sesuatu di saat-saat terakhir. Getaran nyaring benturan dua logam beradu berisik. Si monyet alpha mundur melompat dengan penis monyet yang mengacung tegang. Kantung pelernya yang besar menggantung berayun-ayun. Kimak! Dia sudah berhasil mencoblos vagina si Lisa dengan kontol monyetnya itu. Terlihat lelehan cairan ada di permukaan vaginanya yang berposisi menungging.
“Baaang… Baaangh… Ampuun, banng…” erang Lisa yang bercampur desahan. Monyet itu sudah berhasil menggasak Lisa dan dari gerakan para monyet kroco-kroco itu, mereka juga meminta jatah. Kimak! Semua monyet yang ada di tempat ini semuanya JANTAN!! Kontol-kontol ngaceng monyet itu mengacung-ngacung. Apa lagi yang lebih berbahaya daripada binatang yang sedang birahi. Mereka rela melakukan apa saja untuk memuaskan syahwat mereka.
Aku berdiri mengangkangi tubuh Lisa yang bagian bawahnya sudah tersingkap telanjang bulat. Celana dalamnya sudah terkoyak juga akibat ulah si monyet alpha yang masih penasaran dengan Lisa. Monyet alpha itu ternyata punya sebuah gada bergerigi milik siluman monyet dulu. Dengan senjata yang aslinya ada sepasang itu, ia menangkis serangan mandau-ku barusan. Ia memukul-mukul permukaan bukit batu ini dengan gusarnya. Air kencingnya menyemprot-semprot, entah spermanya pulak. Kimak memang monyet alpha ini. Aku aja belum sempat ngecrot di Lisa, udah kau aja yang duluan. Mati kau abis ini!
Kuacungkan ujung tajam mandau ini pada setiap monyet kroco yang mendekat untuk mencuri kesempatan menyerang. Lisa masih mengerang-ngerang. Padahal baru sebentar aja ia diperkosa monyet alpha itu, kenapa efeknya sampe begini? “Baangg… My pussy is ticklishh… It’s itchin’ mee… Aahh… My pussyy… Pussyyy… Aahh… Fuck me, please!!” racaunya malah meraba-raba vaginanya sendiri. Ia menggelitik kacang itilnya. Gawat! Lisa sudah jadi terangsang berat. Apa sudah ada pengaruh iblis siluman ini mengenai Lisa? Mengakibatnya segini horny…
Para monyet menyadari kalo mangsa mereka sudah sangat terangsang dan minta dientot. Semua monyet berkumpul di puncak bukit batu padas yang tak begitu luas ini, hanya sekitar 3×6 meter saja. Mereka gelisah tapi tak berani mendekat lebih jauh karena tau betapa tajamnya mandau yang diacungkan pada bagian tubuh vital mereka. Sudah banyak mayat monyet yang bergelimpangan di bawah sana dan mereka bukan hewan yang bodoh.
“Lisa… Lisaa! Sadar, Lisaa… Lawan rasa itu! Jangan diresapi… Lawan rasa itu! Kita ini dalam bahaya!” aku mengguncang-guncang tubuhnya agar ia tersadar dan menepis rasa birahi yang pelan-pelan menguasai tubuhnya.
“Baaang… Fuck my pussy, pleeease… Fuck mee… Oohh…” jari-jarinya makin menelusup masuk dan mengocok liang kawinnya sendiri. Ia menarik-narik aku yang berada tepat di atas dirinya. Ia menyentuh dan menangkupkan tangannya pada Aseng junior yang masih terbungkus celana. Ia seperti tak perduli pada bahaya yang ada di sekeliling kami. Ada puluhan monyet haus seks yang menunggu kesempatan untuk segera memperkosa Lisa dan mencampakkan aku jatuh ke bawah.
Aku menghindari tangan nakalnya dengan berputar-putar mengangkanginya. Si pemimpin alpha sepertinya sudah tidak sabar lagi dan mendorong kroco terdekat dengannya demi ia bisa maju kembali karena tak ada yang berani memulai. Ia mengacung-acungkan gada miliknya dan menjerit-jerit agar bawahannya minggir. Mereka semua menepi dengan patuh.
Kenapa aku harus terperangkap dalam situasi seperti ini? Biasanya kalo aku mendeteksi ada gangguan, hanya aku saja yang masuk ke daerah kekuasaan lawan. Ini kenapa Lisa juga terikut dan terlibat begini? Aku bisa bertarung dengan leluasa kalo sendiri tapi kali ini aku harus memikirkan keselamatan Lisa juga. Bahkan keselamatannya yang paling utama dalam situasi genting ini.
“Glogg… ghlok… Muuaahh…” Aseng junior-ku tetiba terasa enak dan dingin. Ternyata tanpa kusadari, Lisa berhasil mengeluarkan penisku dan langsung mencaploknya. Buru-buru kutarik dan tercerabut dari mulutnya. Kumasukkan lagi.
“Lisa! Apa-apaan, sih? Kita ini lagi genting!… Mere… Wahh!!” aku tak meneruskan ucapanku karena si monyet alpha sudah mengayunkan gada lungsuran siluman monyet itu ke arah kepalaku. “TRAANNKKK!!” kutangkis dengan mandau lalu kubalas dengan sabetan. Ia dengan lincah menghindar. Monyet alpha ini sudah mulai mahir berkelahi. Apakah ia adalah penerus si siluman monyet keparat itu? Memakai simpai dan senjata bekas bisa membuat monyet pemimpin kawanan ini menjadi jago berkelahi dan akhirnya nanti menjadi siluman monyet. Gawat!
Monyet alpha menyeringai mengitariku. Aku tidak bisa jauh-jauh dari Lisa hingga aku hanya berputar-putar di tempat. Dan si Lisa ini juga terus menerus mengincar junior-ku untuk kembali dicaplok. Ia mendesah-desah sange dengan tak terkendali. Perhatianku kadang terpecah karena ia berbaring mengangkang dengan kemaluannya yang terbentang terbuka, basah oleh birahi akibat diperkosa sebelumnya. Siapapun boleh mencoblos dirinya. Aku ato para monyet, welcome…
Handicap-ku sangat tinggi saat ini. Sial!
“Huukk…” si monyet alpha melihat kesempatan dan menyerangku kembali. Ayunan gada itu berputar deras hendak mengincar kepalaku. Pada waktunya aku menghindar dengan menunduk dan ayunan gada itu berbalik dan mengincar posisi lebih rendah. Seharusnya aku bisa menghindar mudah dengan cara mundur tetapi kakiku tersandung. Aku malah jatuh terjengkang karena Lisa memegangi kakiku untuk meraih Aseng junior incarannya. “Huuk!” monyet alpha menghantamkan gada itu ke arah kepalaku yang sedang rebahan di pelataran puncak bukit batu ini.
“GRUUKK!” gada itu menghantam batu padas karena aku sempat menggeserkan kepalaku sedikit menjauh. Permukaan gada bergerigi itu hanya beberapa senti aja dari kupingku lalu digesekkannya ke samping. Kutendang lengan monyet itu lalu kusabetkan mandau-ku. Ia bersalto mundur menghindar bak atlet gimnastik lalu menerjang kembali menghantamkan gadanya ke arah Lisa. Panik aku meraih tubuhnya untuk menghindari serangan curang itu. Tapi panlok satu ini malah memelukku erat dan berusaha menekankan bibirnya pada mulutku.
“BRUUGG!!” hantaman gada itu menghantam batuan padas lagi. Tenaganya cukup kuat karena batu keras itu ada yang retak dan pecah.
“Lisaa! Jangan kek gini!” kesalku karena perempuan ini tak dapat menahan dirinya. Ia menciumi mukaku dan tangannya gerayangan memasuki celanaku. Ia sudah menemukan Aseng junior dan meremas-remasnya dengan nakal. Pipiku dijilat-jilat. Gimana caranya bertarung dalam keadaan kek gini coba? Lisa ngelendot di badanku menggantung. Kedua kakinya dikaitkannya di pinggangku, tangannya dikalungkan di leherku. Apalagi tetek jumbo-nya menekan dadaku sampe aku sesak kesulitan nafas.
“Shhllkk… slkk… slkk…” ia terus menjilati pipiku karena tak dapat menjangkau mulutku. Abis mukaku basah oleh ludahnya. Tangannya yang sudah mendapatkan Aseng junior, menariknya keluar hingga kini ia sudah ada di alam bebas. Posisi aneh menggendong Lisa selagi bertarung begini pikiranku bercabang gilak! Satu sisi aku harus awas akan serangan si monyet alpha dan kawanannya. Sisi satu lagi aku tak pelak lagi merasakan nikmat gesek-gesekan yang diarahkan Lisa pada bukaan vaginanya!
Sempat-sempatnya itu panlok mengelus-eluskan kepala Aseng junior ke vaginanya yang terbentang di posisi digendong mengangkang begini. Kan sembrenget nih namanya. “Waahh!!” aku mengelakkan serangan lanjutan si monyet alpha. Tapi dengan begini aku bisa membawa-bawa Lisa untuk menghindar. Gak ideal, sih. Tapi masih mending daripada terpaku di satu tempat aja. Hantaman gada itu kembali membentur bebatuan padas keras ini. Ada percikan api saat benturan terjadi, sangking kerasnya. “BRAAKK!!”
Aku terpaksa bergulingan menghindar membawa tubuh Lisa yang ngelendot di gendonganku. “Aahhss…” Lisa mendesah saat kuhimpit tubuhnya saat bergulingan tadi. Tiba-tiba dirinya lemas. Kimak! Aseng junior sukses menusuk kemaluannya. Tubuhku menegang karena kami ada tepat di tepian puncak bukit batu padas ini saat bergulingan. “Aaaahhh… Hhssss… Enaak, baaang… Uuhhh…” erangnya malah merasakan nikmat padahal keadaan kami sangat genting kek gini. Bisa-bisa jatuh dari ketinggian ini.
“Rraaahh!!” si monyet alpha menyerang lagi dengan sabetan gada bergerigi itu. Walo kakiku lemas akibat merasakan nikmat yang berasal dari pertemuan kelamin kami berdua yang aneh ini, untung aku bisa menghindar pada waktunya dengan bergulingan ke depan ke pelataran batu yang lebih lega. Beberapa monyet kroco kutebas untuk memberi jalan kami berdua. Lisa makin erat memeluk diriku bak seekor koala yang digendong induknya. Gerakanku yang bermanuver menghindar tak pelak lagi membuat gerakan mengocok yang tak disengaja. Aku belum pernah ada dalam situasi aneh kek gini, bertarung sekaligus ngentot bersamaan.
Lisa mendesah-desah terus menikmati seks-nya walo segini anehnya. Penting mana sih? Nyawa ato ngentot? Suara-suara teriakan bising para monyet kroco yang berjumlah banyak membahana di udara. Aku berhasil menjatuhkan dua ekor monyet kroco itu lagi dari puncak bukit batu padas ini. Tapi yang paling sulit dihadapi tentu saja pemimpin alpha-nya ini. Ia cerdik dan juga pintar membaca situasi hingga bisa belajar dengan cepat. Ia mengitariku lagi sambil menyeret-nyeret gada itu. Ia memperkecil kitarannya hingga memepetku ke pinggiran tebing.
“Ah ah ah ah…” Lisa menggerakkan sendiri tubuhnya agar Aseng junior terpompa di dalam liang kawinnya yang sangat becek.
Aku gak boleh menikmatinya dulu… Pikiranku jadi kabur kalo sempat merasakan kenikmatan penisku menusuk vagina Lisa. Tapi itu sangat sulit. Apalagi Aseng junior sudah sangat menegang keras dan gembira memasuki satu liang sempit yang basah dan nikmat begini. Aku gak bisa lagi berbicara pada Lisa. Ia sama sekali tak menggubrisku. Ia tenggelam dalam kenikmatannya sendiri menggunakan Aseng junior-ku.
Pun-aku gak bisa melepaskan tubuhnya karena aku yang membawanya kemari. Ke dimensi asing ini. Gimana gak asing? Aku menemukan tempat ini secara gak sengaja di antara bilah-bilah memorinya. Tempat ini persis seperti milik si siluman monyet yang telah mengambil tumbal abang dan kakak kandungnya, tetapi tempat ini lebih merupakan kopian yang entah bagaimana caranya bisa terbentuk. Seharusnya tempat ini sudah musnah bersama dengan musnahnya si siluman monyet keparat yang mengaku dewa itu. Mungkin juga si siluman monyet itu sempat melakukan sesuatu hingga tempat ini eksis secara pararel walopun dirinya sebagai pemilik sah tempat sudah tak ada lagi.
Di kejauhan ada semacam area gelap mirip hutan di dunia nyata. Mungkin dari sana kawanan monyet-monyet ini berasal. Jadi daerah kekuasaan spiritual kosong ini tetap eksis karena terhubung dengan dunia nyata. Ini sangat berbahaya!
Aku bergulingan mati-matian tetapi harus tetap menjaga agar Lisa aman tak terluka sedikitpun. Semua usahaku itu mau gak mau malah memberikan kenikmatan yang luar biasa padanya karena tubuhku berusaha sangat optimal untuk mewujudkan itu semua. Ia mengerang-ngerang keenakan, mendesah-desah dengan mata terpejam menikmati—tak perduli apa yang sebenarnya terjadi. Hanya menikmati vaginanya terus disumpal Aseng junior-ku yang bekerja dalam tekanan.
Ayunan bertenaga gada bergerigi itu sambung menyambung menjadi rentetan serangan berbahaya. Si monyet alpha makin mahir menggunakan senjata itu dan gerakan lincahnya membantu semua pembelajarannya menjadi seekor siluman kelak. Ada kemungkinan kedua benda yang dipakainya bekas siluman monyet itu pelan-pelan membentuknya menjadi seperti ini. Berlari-lari di pinggiran dengan menggendong Lisa di depanku, adalah hal yang berat. Berat secara fisikal juga secara seksual. Aku harus menahan beban tubuhku dan tubuh Lisa juga harus merasakan nikmat senggama gak lazim ini sekaligus dalam waktu bersamaan dengan menjaga agar tak terluka.
Monyet kroco yang tak sempat mengelak kusabet dan jatuh ke dasar. Jumlah mereka semakin berkurang banyak. Paling hanya ada belasan monyet yang tersisa sekarang. Sisi tempatku berdiri sekarang tak ada lawan sama sekali, semua berkumpul di belakang pemimpinnya yang berang memukul-mukul landasan batu padas dengan gadanya. Getarannya terasa sampe kemari. Senjata yang dipakainya ternyata kuat dan berbahaya.
Aku akan mencobanya… Jurus pamungkas dengan memakai bakiak Bulan Pencak. Menyalurkan seluruh energi Lini ke kedua kakiku dan dipusatkan ke bakiak kayu berwarna merah berstiker old skool. Aku lompat setinggi kumampu. Lisa mendesah karena Aseng junior menusuk masuk kandas ke mulut rahimnya. “AAAaahhhhsss…”
“GUGUR GLUGUR!!”
“BOOMM!!” Kuhentakkan kekuatan penghancur pamungkas menggunakan bakiak Bulan Pencak ini ke permukaan batu padas padat yang kuperkirakan merupakan retakan yang telah disebabkan oleh pukulan bertubi-tubi monyet alpha selama pertarungan kami.
“Aaaahhh!!” hentakan dahsyat itu juga berpengaruh pada Lisa. Sodokan kuat itu sontak membuatnya orgasme hebat. Tubuhnya kelojotan masih dipelukan gendonganku. Aseng junior serasa diperas-peras oleh liang kawinnya yang menggila. Dadaku terasa sesak oleh desakan tetek jumbo-nya. Belum lagi hentakan menggeliatnya yang mencengkram tubuhku. Kakinya yang mengait di pinggangku serasa ingin mencekikku.
“Drrrkkk…”
Pucuk bukit batu padas itu rengkah memanjang hingga ke sisi samping bukit seperti diciduk pake sendok. Membentuk satu potongan besar yang di atasnya berdiri kumpulan monyet-monyet liar beserta pemimpin alpha-nya. Tunggang langgang mereka semua berusaha menyelamatkan dirinya karena terjatuh di atas potongan batu besar tergelincir dari ketinggian yang lumayan mematikan ini. Semuanya panik bahkan si monyet alpha juga kelabakan menyelamatkan diri. Suara berdebum disertai getaran kemudian terasa menyertai maut yang menyapa sekumpulan hewan liar itu.
Lisa masih terengah-engah di gendonganku dan berusaha tetap merangkulku dengan senyaman mungkin. Gerenyam-gerenyam remasan liang kawinnya masih sangat menggigit batang Aseng junior. Pelan-pelan kakinya melepas kaitannya di pinggangku satu-satu. Tubuhnya masih bergetar saat satu per satu kaki mencecah permukaan batu. “Ahhh… hah hah hah… Ahhh…” Nafasnya berat dan memburu saat ia menarik pinggulnya menjauhiku untuk melepaskan tusukan Aseng junior di vaginanya. “Aahhh… hah hah hah…” ia meneguk ludah berkali-kali tak berani menatapku lalu terduduk lemas di lantai batu puncak bukit padas.
Kucoba mengintip ke bawah, ke arah potongan cerukan bekas rengkahan batu yang baru saja luruh ke dasar. “Urrkk urrkk urrkk!” si monyet alpha bersuara ternyata masih selamat, berpegangan dengan tangan kiri pada salah satu celah sempit batu bak seorang pemanjat tebing ekstrim. Harusnya ia bisa memanjat naik dengan kedua tangannya tapi ia tak mau melepaskan gada itu dari tangan kanannya. Di dasar sana bergelimpangan bangkai monyet-monyet kroco bawahannya yang jatuh terhimpit pecahan batu padas berukuran masif.
Monyet alpha ini sudah sangat terpengaruh alat-alat iblis ini. Kutenggarai, simpai emas palsu dan gada ini yang telah mempengaruhinya. Dengan ujung mandau, kuambil hiasan kepala itu dari sang monyet alpha. Kulambungkan ke udara dan kutebas dengan mandau Panglima Burung di depan matanya yang hanya bisa menatap nanar benda itu hancur berkeping-keping, musnah. Aku mengancamnya, kalo ia tak segera meletakkan senjatanya aku akan menebas lehernya. Dengan terpaksa si monyet alpha yang sudah tak punya pasukan lagi melemparkan senjatanya ke arahku. Gada itu jatuh berdenting hingga primata berekor panjang itu bisa dengan leluasa menggunakan kedua tangan ahli memanjatnya itu untuk segera berlalu dari tempat ini.
Dengan mudah ia turun dan memeriksa anak buahnya tapi sepertinya tak ada satupun yang selamat, ia kemudian berlari menjauh. Aku beralih kepada Lisa. Buru-buru aku memasukkan Aseng junior ke dalam celana lagi setelah sempat kleweran menggantung bebas.
“Lisa…?” sapaku.
“Lisa kenapa, bang? Kenapa Lisa jadi seperti itu?” tanyanya lirih masih terduduk di tempat itu. Aku duduk di sampingnya. Ia berusaha membenahi roknya yang disobek-sobek monyet alpha, untuk menutupi pahanya kembali.
“Mungkin ini ada hubungannya kenapa Lisa jadi begitu sama orang rumah awak… Tau sendiri gimana liarnya para monyet itu… Entah apa yang sudah mereka lakukan pada Lisa… hingga Lisa punya ketertarikan yang gak wajar sama mbak-mu itu…” kataku sambil memperhatikan hutan di kejauhan sana. Aku masih penasaran dengan hutan itu. “Kalo ingat si mbak… apa masih berdebar-debar?” cobaku memastikan lagi.
“Masih, bang… Ini kita sebenarnya ada dimana sih, bang? Gimana cara kita pulang?”
“Ini bukan dimana-mana… Tempat ini ada di dalam memorimu sendiri… Awalnya ini adalah daerah kekuasaan siluman monyet yang sudah mencelakai koko Robert dan cici Vanessa-mu itu… Karena dia sudah berencana meneruskan menumbalkan dirimu… ia sudah menyiapkan tempat ini sebelum dia kuhabisi… Saat awak mencoba mengobati gangguanmu… kita malah sampe disini… Bingung, ya penjelasan awak?” jelasku lalu nanya lagi.
“Dikit-dikit Lisa paham, bang… Pokoknya tempat ini sifatnya spiritual, ya?” ternyata ia lumayan paham.
“Yaa… Begitu keluar nanti… tempat ini akan hilang dengan sendirinya karena tak punya penghuni lagi… Monyet tadi sudah balik ke habitatnya…” tunjukku ke arah hutan nun jauh disana. “Begitu balik… waktu kita tidak akan berkurang sedikitpun… Kita akan balik ke balkon lagi… dan rokmu ini gak akan sobek-sobek begini… Balik lagi ke awal…” kataku menarik sedikit kain roknya yang robek.
“Jadi ini bukan tubuh asli kita?” kagetnya. Aku harus akui kecerdasan dan daya nalarnya yang tinggi. Ia bisa menangkap semua penjelasanku dengan cepat.
“Istilahnya… ini adalah tubuh jiwa kita… Benar… Ini bukan tubuh asli kita… Tempat ini tidak terikat waktu… Tapi kondisi gelap ini menunjukkan kalo pemilik tempat ini ada di golongan hitam hingga langitnya gelap begini…” tunjukku pada langit gelap yang mengitari tempat ini. “Berada di tempat seperti ini membuat orang-orang seperti awak bisa berkelahi bahkan dengan setan dan siluman… Tapi monyet-monyet tadi itu hewan beneran… Mereka hanya menemukan satu celah yang terbuka dan masuk kemari dari hutan tempat mereka tinggal…”
“Kita balik aja, yuk?” Lisa bangkit dan berdiri tegak. Roknya yang sobek menampakkan bagian bokongnya. “Lupa… Kita ada di tempat yang sangat tinggi… Gimana kita turunnya?” ia segera mengingat kalo kami berada di puncak bukit batu yang tingginya sekitar 20 meteran.
“Nanti turunnya sama awak aja… Tapi sebelum balik… Ada sesuatu yang harus awak kerjakan di sana…” tunjukku pada hutan di kejauhan. “Awak harus menutup celah itu agar tempat ini segera hilang begitu kita tinggalkan… Takutnya nanti monyet-monyet itu kembali kemari…” jelasku. Lisa mengangguk-angguk paham.
——————————————————————–
Dengan menggunakan bakiak Bulan Pencak aku melompat turun dan menggendong Lisa di punggungku. Sebuah bongkah bebatuan besar hancur sebagai lokasiku mendarat ditahan bakiak andalanku ini. Lisa gemetaran turun buru-buru setelah sebelumnya merem ketakutan berpegangan erat selama proses loncat yang menegangkan itu. Setelah menenangkan dan bisa menguasai dirinya lagi, kami baru melanjutkan perjalanan.
“Padahal Lisa gak ada tertarik-tertariknya sama bang Aseng-loh…” ujarnya teringat akan kejadian di puncak bukit batu itu.
“Iya… Itu karena pengaruh monyet alpha itu aja, Lis… Jadinya Lisa horny gilak kek gitu sampe gak perduli apapun… Bayangin aja berantem sambil harus gendongin Lisa… Mana pake ngentot lagi…” ucapku vulgar sambil menendangi kerikil-kerikil kecil di jalan menuju celah hutan itu.
“Ishh… bang Aseng bahasanya… Serem, ya?”
“Ya kan namanya memang ngentot…”
“Make love kek? Apa gitu…” usulnya ikut menendangi kerikil bersamaku.
“Make love itu artinya bercinta… Itu yang Lisa liat waktu awak sedang bercinta dengan mbak-mu itu… Itu baru bercinta… Lah… tadi itu gak ada cinta-cintaannya sama sekali, kan?” sanggahku gak setuju dengan usulan penamaan kegiatan tadi. Tetap keukeuh itu namanya cuma ngentot. Aneh pulak lagi, sambil berantem.
“Iya-iya… Terserah abang aja, deh… Tapi memang serem sih… Lisa segitunya terangsang… Untung aja ngen…tot-nya sama bang Aseng… Kalo sama monyet-monyet itu gimana coba?” katanya mengenang. Padahal tadi dia sudah sempat diperkosa si monyet alpha itu. Apa dia lupa? Ato masih shock?
“Mudah-mudahan sudah selesai ya, Lis… Mudah-mudahan memang gara-gara pengaruh jahat tempat ini Lisa jadi segitunya dengan orang rumahku…” kataku lagi. Ia menatapku yang berjalan di sampingnya.
“Tapi Lisa memang benar-benar suka sama mbak… Lisa rela aja kalo harus cerai sama Steven bego itu dan nanti menikah sama abang… Bayangin betapa bahagianya Lisa setiap hari bisa selalu dekat dengan mbak-ku yang cantik…” ungkapnya lagi. Ia masih begitu tergila-gilanya dengan istriku sampai ekspresinya selalu berbunga-bunga setiap mengingatnya.
“Iya… Abis keluar dari tempat ini… semoga Lisa sudah gak ngerasa gitu lagi, yaaa?” harapku. Itu doaku dan mauku. Gilak aja harus berbagi istriku dengan Lisa. “Ini dia celahnya…” Kami berhenti di depan sebuah celah sempit yang cukup terang karena di luar sana, di dunia nyata hari masih siang. Ada juntaian daun-daun pohon Ara dengan buah-buahannya yang masih kecil.
“Kita keluar dari sini, bang?” tanya Lisa menyentuh ranting pohon Ara yang menjuntai masuk.
“Bukan… Kalo kita keluar dari sini… nanti kita munculnya entah di hutan mana… Dari jenis pohonnya ini pohon Ara yang banyak tumbuh di Sumatera sini, sih… Tapi hutan itu entah dimana… Mau kita nongol tiba-tiba di hutan nun jauh di Lampung sana?” jelasku. Lisa mengangguk-angguk paham.
“Trus…”
“Awak akan menghancurkan celah ini agar tak ada lagi hubungan tempat ini dan dunia nyata…” aku kembali menghunus mandau Panglima Burung setelah menyuruh Lisa agar menyingkir menjauh. Akan ada hembusan angin kencang setelah celah ini kuhancurkan dan itu cukup berbahaya untuk orang seperti Lisa.
Berkonsentrasi sebentar untuk mengumpulkan tenaga…
“CLAAKK!” sebuah pedang daun menancap di tanah setelah memancung kepalanya terlebih dahulu. Darah kental terciprat di sekitar tubuh monyetnya yang tak berkepala lagi, ambruk ke tanah. Berkejat-kejat sebentar lalu diam. Gada bergerigi itu jatuh berdenting.
Lisa menjerit histeris melihat kejadian yang terjadi tiba-tiba itu. Si monyet alpha kembali menyerangku dari belakang secara diam-diam. Perkiraanku ternyata benar, kalo ia tidak segera keluar ke hutan lewat celah ini. Ia menunggu, sampe bisa mengambil kembali gada bergerigi itu dari puncak bukit batu padas dan berencana membokongku dengan licik. Ini adalah sifat yang sama dengan siluman monyet waktu itu. Jadi keputusanku sudah tepat memetik satu daun Ara ini untuk menjadi pedang daun dan memancung kepalanya.
Tak menunggu lama lagi kutebas celah sempit penghubung daerah spiritual dan dunia nyata menggunakan mandau andalanku.
“WUUUUSSSSHHHH!!!” berhembus angin kencang menyayat-nyayat akibat rusaknya anomali dimensi ini. Sejatinya tak pernah ada celah begini yang menghubungkan sebuah daerah kekuasaan spiritual dan dunia nyata. Ini pasti kerjaan beliau yang iseng-iseng… Entah siapa tapinya.
Retakan celah itu malah berbalik gerakannya. Menutup rapat hingga tak ada retakan lagi sama sekali. Selesai sudah prosesinya. Hal yang menahan tempat ini tetap eksis selama ini sudah kubatalkan. Jadi begitu kami berdua meninggalkan tempat ini, daerah laknat bekas siluman monyet itu akan musnah untuk selama-lamanya.
“Kaget, ya?” tanyaku mengacak-acak rambutnya. Ia masih shock karena mengira akan diperkosa lagi oleh monyet alpha itu. Ia menatap bangkai monyet yang kepalanya sudah terpisah dari badannya. “Sudah aman… Awak terpaksa gak memberitahu rencana awak… Mahluk-mahluk begini biasanya pendendam tapi awak harus tau pasti dulu asal kedatangan mereka, Lis… Sori ya?”
“Bang Aseng jahat…” jawabnya sambil menyipitkan matanya menatapku sedikit menunduk seakan sedang merencanakan siasat jahat untuk membalasku yang sudah membuatnya deg-degan gak karuan barusan.
——————————————————————–
Lisa mengedip-ngedipkan matanya berkali-kali tak percaya kami kembali begitu saja di balkon pengamatan pabrik seperti semula. Pakaian kami yang tadi acak-acakan kembali normal, seperti tak terjadi apa-apa. Ia memeriksa ulang rok miliknya yang tadinya sudah sobek-sobek parah
“Jadi kejadian itu semua tadi semacam mimpi, bang?” keponya menanyakan soalan ini.
“Semacam itu… Lisa boleh menganggapnya seperti itu… untuk mudahnya…” jawabku akan kesimpulannya barusan. “Coba ingat-ingat lagi mbak-mu… Apa masih terasa debar-debar jantung itu?”
“Mmm… Masih ada bang..***k ada yang berubah… Lisa masih teramat bahagia mengingat si mbak cantik…” jawabnya sambil menggigit bibir. Ia meremas sejangkaunya rok yang dikenakannya. “Jadi di alam mimpi tadi… kita ngentot, bang?” tanyanya agak vulgar.
“Secara teknis sih enggak, Lis… Kalo Lisa menganggapnya sebagai mimpi… anggap aja sebagai mimpi basah…” sesuatu terjadi pada Lisa saat ini dan kalo dicuekin itu adalah hal yang mustahil. “Lisa menganggapnya sebagai apa?” aku mencoba menyamakan persepsi kami sekaligus berusaha mengalihkan pikirannya.
“Lisa masih merasakannya sampai sekarang, bang…” jawabnya dengan muka memerah dan menggigit bibir bawah.
“Merasakan apa?”
“Hhhsss… Tadi Lisa sempat dientot monyet itu, kan?… Lisa jadi sangat horny dan menarik-narik abang, kan? Kita lalu ngentot di sana sambil abang berantem dengan monyet itu… Hsss… Tadi enak bangeeeet, bang…” ia mengeliat gelisah. Tangannya mengepal menarik-narik roknya hingga tertarik separuh pahanya.
Lucu sebenarnya situasi ini. Ia sempat menyatakan kalo ia tak tertarik sedikitpun dengan diriku. Tetapi saat ini ia begini horny-nya dengan keberadaan diriku setelah pengalaman bersetubuh ganjil di alam spiritual yang mirip mimpi tak lama lalu. Hal yang seharusnya dilupakan. Tapi kini itu mempengaruhinya.
“Yaa enak-laa… Namanya juga ngentot… Trus kenapa? Lisa kan cuma tertarik sama orang rumah awak… Kalo Lisa cerita tentang kejadian tadi… pasti Lisa bakalan diusirnya… Pasti itu…” ancamku. Setidaknya aku bisa memanfaatkan perasaan dirinya pada istriku untuk keselamatanku.
Ia menggeleng. “Lisa gak akan cerita apa-apa… Lisa masih mau bersama dengan mbak-ku yang cantik… Lisa bisa patah hati kalau mbak sampe mengusir Lisa… Lisa gak akan cerita apa-apa… Tapi… tapi…”
“Tapi apa? Lisa kok gelisah kek gini? Masih terpengaruh monyet itu lagi?”
“Jantung Lisa berdebar-debar, baaang…” jawabnya jujur memegangi bagian dadanya.
“Teringat sama mbak?” tebakku.
“Teringat kejadian waktu kita ngentot tadi…” sambarnya cepat. “Lisa pengen lagi… Pengen lagi sama abang…”
Bersambung