Part #72 : Rayuan Vivi

“Maaf, Vi… Awak tetap gak bisa…” aku masuk lagi ke dalam kamar itu. Aku kini berdiri tepat menghadap padanya.

“Vivi tetap sabar, bang… Vivi tetap sabar menunggu… Walau Vivi yang pertama kali bertemu dengan abang… tetapi mereka yang abang dahulukan… Vivi meminta-minta… mengemis-ngemis cinta abang… Mereka yang abang dahulukan… Apa abang dendam karena Vivi sudah menyerang abang dengan Banaspati waktu itu? Vivi minta maaf… Vivi menyerahkan seluruh jiwa raga ini untuk abang memaafkan Vivi kalau abang memang dendam… Tapi asal abang tau aja… Vivi melakukan ini semua dengan tulus… Ikhlas, bang…”

Aku menggeleng untuk membantahnya. Aku tak pernah dendam padanya walo aku sudah babak belur saat itu karena tiga Banaspati ganas waktu itu. Lalu aku terdiam untuk beberapa saat.

“Beri awak waktu…”

“Waktu untuk mempertimbangkan Vivi bisa diterima?” potongnya langsung.

“Bukan… Awak akan cari tempat baru untuk mereka berempat… Mereka harus mulai hidup mandiri…” putusku. Aku bisa mencarikan rumah kontrakan ato malah membeli rumah khusus untuk mereka berempat untuk mengembangkan kemandirian mereka tanpa harus membebani orang lain. Pastinya bakalan repot di awal tapi seiring waktu pasti bakalan bisa. Karena memang mereka berempat murni tanggung jawabku. Apalagi setelah aku sudah menggauli mereka berempat. Aku harus bertanggung jawab pada mereka. Tanggung jawab… Bukankah itu tugas seorang suami?

Tidak! Aku menghindari konsep pikiran itu.

Seorang suami tentu wajib menafkahi istri dan keluarganya. Bagiku hanya ada satu istri di hidupku dan aku sudah punya itu di rumahku. Istri yang sudah melahirkan dua anakku. Itulah istriku. Selain itu, mereka bukan istri karena tak pernah ada pernikahan resmi—ijab kabul yang sah.

Jadi apapun mau mereka, para perempuan-perempuan ini, bila belum pernah terucap ijab dan kabul tersebut, ikatan mereka tak pernah menjadi seorang istri. Sesakral itu harusnya. Baik ucapan pada walinya ato wali hakim yang mengesahkan; saya nikahkan engkau pada si fulan binti fulan bla bla bla…

“Jangan, bang Aseng… Vivi gak mau mereka keluar dari rumah ini!” katanya tegas membawaku balik dari lautan fikiranku sendiri. Aku menatapnya yang masih berjubahkan balutan selimut untuk menutupi tubuh telanjangnya. “Mereka berempat punya satu sama lain… sedang Vivi tidak… Jangan pisahkan kami… Please?”

Aku masih gak ngerti jalan fikiran perempuan satu ini. Ia bisa berbelit-belit dan bisa lurus tiba-tiba ato berbelok mendadak. Memang ternyata fikiran lebih dalam dari samudra sekalipun. Palung-palungnya penuh dengan misteri yang tak terpecahkan. Bisa saja muncul gelembung yang muncul beriak ke permukaan, berasal dari manakah gelembung itu? Dengkuran seekor monster yang sedang tertidur atokah riak gurat retakan inti panas?

“Vivi gak mau mereka kemana-mana… Mereka berempat tetap disini… Abang kalo mau datang ke kamar mereka… datang aja… Vivi gak akan menghalang-halangi… Asal mereka tetap di rumah ini… Vivi juga akan bertanya yang macam-macam… Vivi gak akan mengorek keterangan apapun dari mereka… Tetap begini aja…” dan ia memutuskan jalan ini. Ia sangat yakin dengan semua ucapannya barusan.

“Apa ini karena petting itu?” tebakku. Satu-satunya perjanjianku dengannya hanyalah keberadaan keempat inong itu diganti dengan sesekali melakukan petting. Apakah sepenting itu petting denganku baginya? Hingga ia harus menahan egonya sendiri. Empat perempuan yang baru hadir di kehidupannya, mengambil semua highlight yang ia sulit ia peroleh dariku. Aku bahkan baru saja menyetubuhi mereka semua, di depan matanya—lewat Ameng. Hal yang tak kuberikan, kulakukan padanya.

Vivi diam sebentar mengumpulkan kata-kata juga alasannya. “Sebagian kecil iya… Karena petting itu… Selebihnya karena kami berlima semua sama… Sama persis bahkan… Vivi hanya sedikit beruntung bisa begini… sekolah, kuliah dan punya uang… sementara mereka tidak… Untungnya kami semua bertemu bang Aseng… Bang Aseng yang menyelamatkan kami…” sesekali ia masih memperhatikan kukunya yang sebenarnya tak ada masalah apa-apa. “Kalau kami… Vivi tak bertemu bang Aseng… Entah bagaimana hidup kami ke depannya…”

“Jangan kek gitu ngomongnya, Vi… Awak ini apa-lah… Jangan! Gak mau awak dianggap kek gitu…” tolakku mentah-mentah. Cam apa kali aku dibuatnya.

“OK… Gini aja, bang… Vivi gak akan mendesak-desak bang Aseng untuk balik menyukai Vivi… Apalagi sampai mencintai Vivi… Jadi Vivi gak akan memaksa abang agar kita pacaran kayak-kayak gitu lagi… Asal abang berikan hak Vivi…” katanya lalu menatapku dengan pandangan tegas.

“Hak? Hak apa?” aku sampe memiringkan kepalaku tak mengerti apa yang dibicarakannya.

“Tiduri Vivi seperti abang meniduri mereka berempat…” ia membuka lebar-lebar selimut yang dari tadi dipakainya sebagai jubah. Terbuka lebar memampangkan keindahan tubuh seksinya bagai seekor merak. Koreksi merak dengan ekor panjang indah itu adalah merak jantan. Apa perumpamaan yang tepat? Sebuah lengkungan pelangi mungkin lebih pas.

Kupeluk tubuh mungilnya setelah terlebih dahulu menutup lagi selimut pembalut tubuhnya. Kurengkuh tubuhnya dan kukecup keningnya.

——————————————————————–
Mobil Lisa masih terparkir di depan pintu basement. Belum pulang juga tuh anak? Ini udah hampir jam 11 malam-loh. Apa masih ngobrol-ngobrol ia dengan orang rumahku? Seberapa seru sih obrolan mereka? Apa mereka lagi ngerumpiin apa gitu sampe asik menjelang tengah malam begini. Tempat yang pertama kali kuperiksa adalah pelataran kolam renang. Tempat itu enak buat ngobrol karena ambien suasananya magis di waktu terang dan gelap. Bayangan air memantul di dinding juga menenangkan. Kosong.

“Tiara… Kakak dimana?” tanyaku saat melewati kamar Salwa. Baby sitter kedua anakku itu bertepatan baru keluar membawa botol susu milik bayiku dan alat monitor-nya. Ia agak kaget karena kusapa saat baru nongol begitu.

“Eh… Di kamar tadi sepertinya, bang…” jawabnya agak gelagapan masih kaget.

“Sama cewek tadi ke kamar?” ulangku. Tiara mengangguk membenarkan. Ngapain dibawa sampe ke kamar segala si Lisa-nya? Ngapain, sih? Instingku berdenting-denting mengatakan sedang terjadi sesuatu di sana. Aku berterima kasih pada Tiara dan bergegas menuju kamarku. Aku buru-buru pulang dan menolak tawaran Vivi demi ini ternyata. Vivi sudah tak mau mendesakku untuk pacaran dan rela ditiduri tidak demi apapun. Hanya untuk menyamakan dirinya dengan keempat inong yang diasuhnya itu. Tapi aku lebih memilih pulang dari pada merengkuh tubuh perawan lagi.

Rumah ini hanya dua lantai tapi besarnya nauzubillah karena merupakan dua buah rumah kompleks mewah yang dipugar disatukan menjadi sebuah rumah jauh lebih mewah begini. Dari tempat aku bertemu Tiara tadi menuju kamar tidur utama rumah ini dimana aku tidur bersama istriku, harus nyetop angkot! Enggak, ding. Canda aja kau, Seng. Sok iyes kali kau.

Pikiranku tentu aja berkecamuk akan apa yang akan kutemukan nanti di sana. Apakah aku hanya akan menemukan mereka sedang berbincang-bincang saja. Setidaknya me-review bangunan rumah ini. Mungkin Lisa mau membangun rumah juga dan mencari referensi dari rumah kami ini. Ato mereka lagi asik nonton sinetron. Mungkin, kan? Yang paling ekstrim terlintas di benakku adalah mereka lagi cakar-cakaran, jambak-jambakan berebut Aseng sehelai.

Sesenyap mungkin kuputar tuas pintu kamarku dan aku segera masuk. Keadaan penerangan kamar dalam keadaan redup seperti keadaan sedang tidur. Apakah mereka berdua sedang tidur? Tidak ada sosok satupun di atas ranjang. Pintu kututup rapat kembali agar orang luar tidak tau apa yang sedang terjadi di dalam kamarku. Kamar utama rumah ini berukuran sangat luas sebagai master bedroom. Ada beberapa bagian terpisah dimana lemari pakaian dan juga kamar mandi berada. Ruangan sebesar ini hanya ada satu ranjang berukuran besar dan satu box bayi milik Salwa. Sebuah sofa panjang ada di dekat jendela besar menghadap ke jalan dengan gorden penutupnya.

Aku geleng-geleng kepala mendapati apa yang kucari. Orang rumahku duduk bersandar di tengah sofa. Baju bagian atasnya tersingkap hingga payudara masif jumbo-nya menyembul keluar. Lisa di lain pihak berjongkok di antara kaki istriku, sepertinya ia tertidur, duduk bersimpuh memeluk pinggang langsing istriku dengan erat. Mukanya ada di lembah payudara istriku. Sesekali jarinya dengan tak sadar meremas kenyal jumbo milik istriku. Apa yang sedang terjadi disini? Kenapa Lisa harus melakukan ini? Ada sejumlah pakaian yang berserakan di lantai.

Kenapa harus telanjang?

Tanpa suara orang rumahku meletakkan jari telunjuknya di depan bibir agar aku enggak bising. Lalu memberi kode agar aku keluar, menyingkir aja dari kamar ini. Tentu aja aku geleng-geleng. Setengah bercanda aku menunjuk gembungan celanaku yang terangsang melihat posisi bersimpuh Lisa dengan bodi semok telanjangnya. Lalu kulakukan pantomim sedang menggenjot bokongnya dari belakang. Ia mendelikkan matanya bercanda juga dengan gerakan tangan menyayat leher pertanda ia bisa membunuhku kalo aku nekat melakukan itu di depan matanya.

Masih dengan gerakan kode-kodean kami berkomunikasi. Ia menyampaikan kalo si Lisa ini tidur setelah tadi nangis-nangis minta begini. Begini maksudnya itu ndusel-ndusel di payudara montok yang dikaguminya. Dikabulkan istriku setelah rayu sana rayu sini dan ia jadinya tidur pulas begini. Walo sepertinya tak nyaman tapi terbukti ia bisa tidur dengan nyenyaknya. Khawatir pulak nanti anak bos sampe masuk angin tidur di tempat sejuk begini dalam keadaan telanjang.

Dengan bahasa Tarzan aku menanyakan, apa tidak sebaiknya Lisa dipindahkan ke atas ranjang aja? Kalo udah dipindahkan, biar nanti aku yang tidur di tempat lain aja, di sofa itu misalnya. Orang rumahku setuju agar Lisa dipindahkan aja tapi ia memintaku membungkus tubuh perempuan ini dengan selimut terlebih dahulu agar aku tak menyentuhnya. Ia menunjuk-nunjuk Aseng junior yang mengacung akibat kelamaan memandang punggung dan sebagian bokong telanjang Lisa.

Tubuh berbalut selimut itu agak menggeliat protes ketika kubopong ke atas ranjang. Orang rumahku mengelus-ngelus rambutnya agar tetap tidur seperti sedang menina bobok-kan anak sendiri. Ia langsung berbaring di samping Lisa lagi dan membiarkan perempuan itu mencari kenyamanan di belahan dada istriku yang jumbo. Lisa kembali tidur dengan nyamannya di pelukan istriku dan kenyal payudara jumbo yang dihadapinya.

Kimak panlok satu ini. Padahal itu adalah posisi favoritku kalo tidur kelonan malam-malam. Membenamkan muka di payudara jumbo istriku pastinya sangat nyaman. Aku tau itu pasti karena aku juga sering melakukannya. Kelonan di belahannya yang kenyal. Hu-uuh.

Trus aku bobo dimana, cobak? Tanyaku masih pake bahasa Tarzan. Hidup bertahun-tahun bersama membuat kami saling ngerti apa yang dimaksud walo tak memakai bahasa isyarat yang baku. Ia menunjuk posisi di sampingnya karena masih ada banyak ruang yang tersisa untukku berbaring. Hanya saja ia berbaring miring memunggungiku karena istriku sedang fokus pada Lisa saja. Jadilah istriku tidur di antara diriku dan Lisa.

Ya sudahlah… Mau dibilang gimana lagi. Mau cemburu gimana? Orang rumahku gak punya bibit-bibit lesbi jadi aku gak perlu pulak cemburu dia sedang beginian dengan perempuan lain. Lain kalo sosoknya lelaki. Udah kubalok kepalanya dari tadi. Lagipula… dibanding dengan apa yang sudah kukerjakan selama ini, ini gak ada seujung kuku. Istriku melakukannya terang-terangan di depan mataku sedang aku bisanya cuma ngumpet. Ini hanya untuk menyenangkan hati Lisa aja yang sedang galau, begitu aku ngomong pada diri sendiri.

Setelah membersihkan diri, terutama menghilangkan jejak-jejak kegiatan enak-enakku sebelumnya, aku lalu berbaring di samping istriku. Sialnya tangan dan kakiku yang berusaha merangkulnya, ditepis. Pasti takut mengenai Lisa yang juga melakukan hal yang persis sama dengan rencanaku. Kesel sebenarnya tapi apa boleh buat. Tai kambing bulat-bulat, dimakan jadi obat, disimpan jadi jimat, dibungkus janur jadi ketupat. Tubuh lelah dan bermaksud istirahat tak lama aku sudah terlelap.

Entah jam berapa aku terbangun, kamar masih dalam keadaan temaram, aku kaget akan sosok perempuan yang menindih tubuh istriku yang tertidur lelap. Istriku kalo tidur kadang suka kek kebo. Entah ada gempa ato ada barongsai lagi perform dia gak bakalan bangun. Sosok itu tak lain dan tak bukan Lisa tentunya. Ia sedang mengenyot-ngenyot puting payudara jumbo orang rumahku dengan semangatnya disertai dengan remasan-remasan gemas akan tekstur kenyal besarnya.

Lidahnya lancar bermain, menari-nari menikmati bentuk payudara yang kini menjadi kebanggaan istriku. Pakaian yang tadinya hanya tersibak, kini terbuka lebar hingga hanya ada celana dalam yang masih melekat di tubuhnya. Lisa duduk tapi tidak menekan perut istriku hingga gangguan yang dilakukannya tak menyakitkan. Tubuh telanjang Lisa juga terlihat jelas siluet indahnya. Aku bisa melihat jelas payudaranya yang juga termasuk dalam ukuran jumbo itu bergantung indah tumpah ruah di perut istriku.

Sesekali ia menciumi bibir istriku, menjilati wajahnya, lalu balik lagi ke payudara jumbonya. Melihat semua itu membuat Aseng junior-ku tentu aja menggeliat bangun dan mulai mengacung di balik boxer-ku. Tetapi aku tetap berbaring diam, pura-pura masih tidur. Pelan-pelan Aseng junior mencuat dan membentuk tenda Indian berbentuk kerucut. Kembali ia menciumi bibir istriku dengan ganas walo cuma ciuman satu pihak saja karena istriku sama sekali tak merespon, hilang di dunia mimpinya yang indah sampe tak menyadari ada orang yang sedang melecehkan tubuhnya begini rupa.

Lisa kemudian beringsut turun, berusaha untuk melucuti celana dalam yang tersisa. “Jangan…” desisku harus angkat bicara menahan tangannya untuk urung melaksanakan niatnya yang semakin nekat. Kaget ia menoleh padaku mengira aku juga tidur lelap seperti istriku. Ia menarik tangannya yang kutahan tadi. “Aku suaminya… Jadi aku tau… dia bakalan bangun kalo Lisa main-main disana… Itilnya sangat sensitif… Apakah Lisa siap kalo dia bangun?” desisku lagi.

“Tidurlah lagi… Kelonan aja kek tadi… Kalo kek gitu dia gak pa-pa…” lanjutku bermaksud untuk berbalik memunggungi mereka. Membiarkan Lisa meneruskan kecuali menyentuh area genital istriku yang sensitif. “Apa mungkin Lisa kentang?”

Di temaramnya malam di kamar ini, aku bisa melihatnya membuang muka setelah sebelumnya melirik pada gundukan Aseng junior di dalam boxer-ku yang sudah bangun sempurna akibat menyaksikan aksi satu pihak Lisa barusan pada istriku. Ia merebahkan badannya kembali ke samping istriku dan menelusupkan wajahnya ke ketiak ibu anak-anakku itu hingga tak terlihat lagi terhalang gundukan jumbo dari pandangan.

Karena masih ngantuk, aku kembali tertidur—lupa tadi bangun kenapa.

“Hu-uhh…” aku bangun lagi karena alasan yang gak jelas. Pokoknya ada sesuatu yang mengganjal aja. Enak juga ada terasa. Aseng junior terasa basah oleh cairan. “Maa…” sadarku siapa yang sedang mempermainkan Aseng junior-ku yang telah tegang. Ternyata istriku sedang menyepong batang kemaluanku dengan gencar sampai tegang sekeras tonggak. Kuelus kepalanya dan ia tersenyum nakal. Ia mengangguk-anggukan kepalanya mengocok Aseng junior dengan mulutnya.

“Ghlok… ghlokk.. glokk…” suara gelomohan mulutnya yang memasukkan seluruh penisku di dalam mulutnya, basah oleh ludah dan sedotan yahudnya. “Aahhh…” lidahnya menjulur dengan liur yang mengucur. “Siapa tadi ngobel-ngobel itil mama trus pura-pura tidur? Hhsss… Tanggung jawab…” bisiknya dengan gundukan jumbo menggantung padat di depan mataku. Daging kenyal padat dijejalkannya ke mukaku. Tentu aja aku gelagapan harus meladeni nafsunya yang tiba-tiba naik.

“Maa… Ada Lisa di situ…” bisikku mencegahnya agar ingat-ingat kondisi saat ini.

“Biarin… Orang dia lagi tidur pulas begitu, kok…” balas bisik lagi dan terus menjejalkan payudara jumbo-nya agar kurangsang sementara ia beringsut naik ke pangkuanku. “Mama lagi hot kali nih, paa… Papa sih ngobelin itil mama…”

Waduuuh… Ini pasti kerjaan si Lisa. Ia nekat dan terus menggerepe-gerepe istriku sampe ke kemaluannya. Benar aja kan yang kubilang, langsung on begitu kacang itilnya disentuh. Aku yang jadi kena sasaran. Panlok itu pasti pura-pura tidur saat ini. Dari sini aku bisa melihat matanya bergerak-gerak. Ini orang rumahku kok gak ada hujan gak ada panas malah berani nekat bercinta di sekitar orang lain yang dikiranya tidur. Kemajuan ato apa?

“Aaahhh… Uhhmm… mm… Aahh…” erangnya saat Aseng junior-ku meluncur masuk dan langsung tenggelam di liang kawin paling sah milikku. Ia langsung aktif bergerak di posisi seks favoritnya ini; WOT. Naik turun ia memompakan tubuh singset padatnya mengocok Aseng junior yang tentu aja merasakan nikmat yang amat sangat. Tubuh upgrade istriku sangat luar biasa sekali akhir-akhir ini. Aku selalu kelimpungan harus menghadapinya. Aku hanya menandinginya semampuku aja. Tetapi di posisi ini ialah pemimpinnya dan aku harus bertahan mati-matian selalu. Prinsipnya aku gak boleh keluar duluan sebelum dia. Kalo bisa sampe dua kali.

Kucari kesibukan dengan mempermainkan payudara jumbo luar biasanya dengan sesekali melirik kondisi Lisa yang berbaring tak jauh—berbaring menghadap ke arah kami. Tubuhnya yang terbungkus selimut melamurkan gerakan tangannya yang pasti sedang menyenangkan dirinya sendiri di balik sana. Suara seksi istriku yang sedang keenakan pastinya yang menjadi pemicunya. Apakah ia sedang menikmati pemandangan istriku yang sedang bersenang-senang? Sedang menikmati geliat-geliat seksi tubuh istriku saat bergerak naik turun mengejar kenikmatan?

Orang rumahku seperti tak perduli apapun. Ia bergerak liar seperti biasa, menunggangi Aseng junior-ku seperti tak ada orang lain di sini. Apakah ia bermaksud pamer? Pamer ato pemberitahuan kalo ia adalah perempuan yang sama sekali normal, hanya mau pada lelaki saja. Tentu saja suaminya sendiri. Bukan doyan pada perempuan seperti yang diinginkan Lisa.

“Paaa… Enaak kali, paaa… Aahh… Ah ah ahhh…” tubuhnya bergetar-getar orgasme sekali dan berhenti sebentar lalu bergerak lagi mengejar hal yang sama. Aku yang harus mati-matian bertahan menahan guncangan tubuhnya, sempit liang kawin ber-IUD-nya, ganas gocekan dan goyangannya.

Kutarik tubuhnya dan kupagut bibirnya yang dibalasnya dengan ganas. Lidah kami sesekali saling belit dan pagut bibir. Pinggulnya tak berhenti bergerak memompa Aseng junior dengan kecepatan konstan. Aku mulai tak memperdulikan Lisa juga dan asik masyuk tenggelam dalam percintaanku dengan istriku sendiri. Aku menyambut gerakan pinggulnya dengan hentakan Aseng junior juga. Kami berdua bergerak memompa bersama. Hentakan istriku kubalas dengan sodokan hingga percintaan kami ini semakin panas dan liar.

“Papa… Papaaa… Mau keluar laaagihh… Uhh…”

“Sama, maaah… Uuhh…”

Berkejat-kejat tubuhnya sekaligus denganku yang ngecrot dengan sangat nikmatnya. Kupeluk tubuh singsetnya dengan gemas. Kuremas-remas bokong montoknya selagi kami berciuman lagi dengan selangkangan bergesekan memeras semua kenikmatan yang tersisa. Cuddling selepas bercinta begini kerap kulakukan dengannya. Kubiarkan ia berbaring di atas tubuhku untuk beristirahat. Sesekali kukecupi kening dan pipinya. Ia bermanja-manja di pelukanku dengan sesekali mengecup bibirku.

“Enak, paah… Mama dapet dua kali…” bisiknya setelah menciumi rahang dekat telingaku. “Masih keras tuh keknya…” katanya menyadari Aseng junior yang masih belum lepas dari dalam liangnya masih dalam kondisi primanya.

“Masih mau? Ayo aja… Apalagi memang enak kok…” jawabku mempersilahkan ia kalo masih mau lagi. Biar ia memuas-muasin dirinya. Nafkah yang harus kuberikan padanya. Istriku bangkit dari posisi saling rangkul dan duduk masih dipangkuanku. Aseng junior masih bercokol di dalam dirinya. Istriku dengan tubuh upgrade yahudnya sangat seksi sekali saat ini. Kala ia mengangkat kedua tangannya untuk merapikan rambut pendek selehernya, kedua payudara jumbo miliknya bergelayut maksimal, membusung indah mencuat menggoda. Tanganku menjangkau.

“Gede ya, pa?”

“Gede… Mantap kali ini, ma…” jawabku lirih meremas-remas payudara jumbonya. Gak bosan-bosan menguleni dua daging kenyal ini. Sementara istriku mulai bergerak pelan-pelan naik turun. Kocokan masih terjadi pendek-pendek saja. “Sstt..” kataku berbisik pelan memberi kode akan sosok yang pura-pura tidur di samping kami. Kualitas ranjang ini sangat paten kali kurasa. Ngentot kencang-kencang seperti yang kami peragakan barusan, Lisa yang ada tak jauh dari kami gak goyang sedikitpun. Ini harganya mahal kali. Jadi kalo masih make sampo sachetan dibagi dua kali pake, MINGGIR!

Istriku hanya geleng-geleng kepala gak perduli. “Dia masih bobok, kok…” katanya terus bergerak. Aseng junior semakin mengeras di dalam liang kawinnya. Dibiarkannya aku terus menjamah payudra jumbonya sementara ia menopangkan tubuh singsetnya dengan tangan di dadaku. Gerakannya semakin lancar dan cepat. Bibir bawahnya digigit pertanda ia mulai merasakan lagi nikmat percintaan ini. Kami hanya fokus satu sama lain saja.

Gerakannya semakin cepat dan kami sama-sama merasakan nikmat yang setara dari gesekan-gesekan kelamin kami yang saling beradu. Posisi cowgirl favoritnya ini membuatnya mendominasi percintaan kami. Aku hepi-hepi aja ia menikmati seks-nya ini karena aku juga merasakan nikmat yang tiada tara juga. Apalagi menikmati guncangan-guncangan hebat payudara jumbo yang berputar-putar bergelantungan memanjakan mataku. Bebas disentuh ato diapain aja. Ia meracau keenakan kala menggerakkan tubuhnya maju mundur saat membenamkan Aseng junior mentok. Ehh…? Apa itu?

Orang rumahku lambat mengantisipasi pelukan seseorang dari belakang tubuhnya yang langsung menjamah payudara jumbo-nya lalu menciumi tengkuknya. “Aahhh…” ia kaget ada sentuhan tubuh lain di punggungnya dan ia langsung menoleh. “Lisa…?” ia sontak berhenti bergerak mengetahui siapa yang merangkulnya ini. Ngapain tuh cewek udah main nangkring aja di belakang binikku? Betul kan dia pura-pura tidur…

Lisa

Lisa

“Mbaaak…” ia mengeong kek anak kucing di belakang istriku. Pelukannya erat meremas payudara jumbo telanjang istriku. Ia berusaha menjilati telinga binikku yang mengelak kegelian. Geli bukan karena enak tapi lebih ke menghindar. Sudah kusebut di atas tadi kan kalo istriku gak ada bibit-bibit lesbi jadi tentu aja ia risih kala ia lagi enak-enaknya bercinta denganku ada mahluk lain yang nimbrung mengganggunya.

“Lisa! Awas-ihh…” ia menepiskan tangan nakal perempuan itu yang meremas payudara jumbonya. Ditepis? Tadi apa kerjaan mereka hingga Lisa tidur sambil memeluk pinggang sempitnya? Kepalanya terbenam di antara payudaranya? Bukannya tadi ia tak keberatan? Kenapa baru sekarang?

Ia terus menghindari Lisa. Aku bingung harus bagaimana. Istriku beringsut maju hingga Aseng junior lepas dari liang kawinnya akibat gerakan menghindar itu. Ia sekarang duduk di bagian perutku sambil terus berusaha menghindari perempuan yang sama-sama baru kami kenal ini. Berkali-kali ia menepis tangan Lisa yang terus berusaha menggapai ke arah payudaranya. Lisa ngotot mau terus mencumbu istriku dan mengejar. “Akkhh…” erangnya.

Alamak!

“My pussy… Uuhh…”

“Maa… Lisaa, nih…” kagetku karena Aseng junior menelusup masuk ke liang asing yang tak disangka-sangka akibat kejar-kejaran kedua perempuan di atas tubuhku ini. Ini tentunya cibay panlok anak bos-ku; si Lisa! Siapa lagi. Aku spontan memanggil istriku sangking kagetnya. Aseng junior menusuk masuk sampe kandas akibat licinnya liang itu. Hangat dan becek. Terasa ada kremut-kremut memijat yang ritmis. Apakah ini debar-debar jantungnya itu. Dan apa saja yang sudah dilakukannya sampe segini basah?

“Lisa!” istriku juga kaget bukan buatan melihat junior milikku bercokol di dalam vagina perempuan itu. Dengan kasar ia mendorong tubuh perempuan itu hingga terjungkang turun dari tubuhku. Lepas juga Aseng junior dari liang basah yang diperolehnya secara gak sengaja ini. Istriku langsung mendorong tubuhku juga untuk menjauh dari perempuan gendheng itu. Aku bergulingan menjauh.

“Apa-apaan sih kamu ini? Kamu udah keterlaluan! Keluar sekarang dari kamar ini!” teriak istriku sangat berang. Ia menunjuk-nunjuk pintu keluar. Wajah murkanya sangat menakutkan saat ini. Mata belo-nya melotot besar. Giginya gemeletuk saling bergesekan. Hidungnya melebar bersamaan dengan ekspresi marahnya.

“Maaf, mbaaak… Lisa salah, mbaakk… Lisa sayang banget sama mbaaak… Huu huhuhuu huuu huuu…” muka mewek Lisa sangat memilukan pertanda ia sangat menyesal akibat kejadian barusan. “Lisa minta maaf banget, mbaaak… Maafin Lisa, mbaak… Lisa gak sengaja, mbaak… Lisa janji… Lisa janji akan nurut semua kata-kata mbaak… Asal jangan diusir, mbaaakk… Biarkan Lisa di dekat mbak terusss… Huuu huuu huhuh hhuu…”

“Maa… Ini ada apa sih sebenarnya… Dia ngomong apa?” aku tentunya bingung apa yang telah terjadi. Belum ada penjelasan juga kenapa Lisa dibiarkan tidur di kamar ini, aku udah diajak ngentot aja sama istriku di depan Lisa. Dia yakin Lisa tidak akan tau apa yang sedang kami perbuat saat bercinta, eh… malah jadi kejadian aneh seperti ini buntutnya. Mana Aseng junior sempat secelup lagi di cibay beceknya Lisa.

“Jadi gini pa… Si Lisa gilak ini katanya tergila-gila sama mama… Gilak, kan?” singkat kali penjelasannya.

Aku bengong mendengarnya. Tergila-gila. Ini jadi siapa yang waras?

“Aaa… Trus… Kalo dia tergila-gila sama mama… kenapa? Kenapa dia dibolehin ada di kamar kita? Kenapa dibolehin tidur di tempat tidur kita? Kenapa dia dibiarin ngeliatin kita lagi main seks gini?” banyak sebenarnya pertanyaanku. Apa saja yang sudah mereka bicarakan selama aku pergi tadi sampe pulang tiba-tiba aku mendapati Lisa sedang kelonan dengan binikku di sofa.

“Ya… itu tadi… Dia tergila-gila sama mama… Dia cuma mau dekat sama mama… Jantungnya terus berdebar-debar gitu… Masih berdebar-debar ya, Lis?” tanyanya pada perempuan itu. Tapi nadanya tak ada kemarahan lagi. Seperti sudah menguap saja layaknya.

“Masih, mbaak…” ia beringsut mendekat padanya dengan manja yang langsung mengangsurkan tangannya ke bagian jantung yang katanya berdebar-debar. Dua orang perempuan dewasa telanjang dengan payudara jumbo sedang saling sentuh di atas ranjang denganku. Tentu aja pemandangan itu membuat Aseng junior-ku mengeras alang kepalang. Urat-urat kasar bertonjolan di seputaran batangnya. Kepalanya membengkak keras. “Tuh, kan? Masih berdebar-debar terus… Lisa sayang banget sama mbaak… Lisa boleh disini aja, yaaa?” dengan manja yang tak dibuat-buat ia menjatuhkan kepalanya ke dada istriku lagi. Ndusel-ndusel lagi seperti bayi raksasa yang kurang ajarnya seksi sekali.

Istriku dengan tak disangka terima aja diperlakukan begitu. Kemana tadi amarahnya yang meluap-luap? Udah kek mau dimakannya si Lisa tadi karena kecelakaan enak barusan. Dimana Aseng junior secara tak sengaja mampir ke cibay-nya. Lisa memeluk pinggang langsing istriku dengan erat dan menikmati waktunya dengan mata terpejam. Istriku lalu merebahkan tubuhnya yang diikuti Lisa dengan patuh. Mereka kini berbaring di sisi kebalikan awal tidur tadi.

Tinggal aku sendiri…

“Maa?… Ini gimana, maa? Masih nanggung nih, maa?” rengekku merujuk pada Aseng junior yang kentang masih ngatjeng sengatjeng-ngatjeng-nya.

Ia menoleh manyun seolah tak bersalah. Bukan aku yang memulainya. Dia yang mulai duluan membangunkan Aseng junior. Aku tadi lagi tidur dengan damai, kan? Ia melirik pada Aseng junior yang memang masih kentang.

“Lisa… tadi mbak lagi main sama bang Aseng… Lisa gak pa-pa, kan? Lisa kelonan aja trus, yaa?” bisik istriku pada Lisa yang memeluk erat seolah takut dipisahkan lagi.

“Iya, mbaak… Lisa gak perduli…” jawabnya.

Kimak memang nih orang. Udah menginvasi kamar dan binikku. Sok-sokan gak perduli. Tadi siapa yang tereak ‘My pussy… Uh…’? Anak bos ya anak bos! Tapi ini masih binikku! Bebas mau kuapain aja, gak perlu permisi juga sama wong gemblung kek dia.

Istriku yang sangat pengertian, memundurkan bokong semok semlohay-nya ke arahku. Satu kaki bawah lurus, kaki atas ditekuk hingga aku bisa mengakses vaginanya di posisi favoritku ini; menyamping. Dengan begini ia masih bisa kelonan dengan Lisa yang wajahnya tepat di belahan dada jumbo-nya. Kuselipkan Aseng junior dengan sedikit merenggangkan belahan bokongnya yang sekal padat sampe bisa menusuk masuk ke liang kawin sempitnya.

“Aahhh…” perutku lekat dekat bokong padatnya dan mulai kugoyang-goyang nikmat. Di posisi ini, aku bisa dengan jelas melihat kedua perempuan itu berpelukan erat. Aku gak bisa berpikir dengan jernih saat ini karena efek kentang yang membuat otakku berkabut. Mungkin abis ngecrot nanti aku baru bisa berpikir lebih jernih. Aku sangat menikmati posisi menyamping ini. Udah sempit ditambah beban menghimpit beban pinggulnya yang lebar hingga Aseng junior tercekik di liang kawin legit-nya.

Goyanganku semakin cepat dan tentu itu menyebabkan tubuh istriku yang juga sedang menikmati genjotanku, bergoyang-goyang. Aku tak memperdulikan efeknya pada Lisa yang lebih mementingkan kelonan manja di payudara jumbo istriku. Aku dapat melihat lidahnya keluar dan menjilat-jilat kulit dada di depannya secara rahasia selagi istriku masih asik keenakan kugenjot. Tangannya perlahan meraba turun dari punggung, ke pinggang, sampai ke bokong merasakan halus kulitnya—meremas-remas kenyal padatnya. Lalu beringsut ke pangkal paha dan menelusup masuk hingga menuju selangkangan.

Lisa melakukan itu semua dengan menatapku dengan mata yang dipicingkan menyipit. Tangannya sampe ke permukaan vagina istriku. Mengelus-elusnya dengan bebas tanpa bisa dibedakan lagi oleh istriku. Ujung jarinya menemukan kacang itil istriku dan memainkan jarinya lagi-lagi dengan bebasnya. Istriku yang sedang mendesah-desah keenakan oleh sodokan Aseng junior tak dapat lagi membedakan stimulasi siapa yang mengobel kacang itilnya—hanya menikmatinya dengan gelinjang liar.

“Paaahhh… Ahh ahh… Ah ah…” ia tak lama meledak dan kususul dengan ledakan menyemprot sepuas-puasnya di dalam liang kawinnya. Spermaku sampe meleleh keluar dari liang kawinnya yang masih dijejali Aseng junior-ku. Aku ambruk di atas pinggulnya dan reflek mencari pegangan ke payudara jumbo istriku. Kimak! Tanganku dipukul dan ditepis menjauh gak boleh megang sama si Lisa. Apa pulak hak betina satu ini melarang-larang aku nyentuh punya binikku sendiri?

Berbaring dengan tangan dan kaki lebar abis ngentot puas begini enaknya. Menatap langit-langit gelap dan meresapi rasa lelah abis olahraga kelamin barusan. Gak kerasa mata mulai berat lagi. Ini sekitar dini hari, jam 3-4 gitu. Masih cukup untuk tidur lagi. Aku gak mau pusing akan urusan Lisa saat ini. Biarin aja dia nyenang-nyenangin diri. Menikmati masa berdebar-debar saat kelonan di payudara jumbo istriku.

Zzzz…

Dari dengkuran halusnya, aku tau istriku sudah terlelap di alam mimpi lagi. Beberapa kali mengalami orgasme tentu membuatnya puas lahir bathin hingga berakhir kelelahan. Ia peluk Lisa sebisanya seakan itu adalah aku yang sedang kelonan di dadanya. Kurasa perempuan itu rasanya kek udah masuk surga mungkin. Apakah ini semua fetish idamannya? Tapi dia sempat bilang kalo ia bukan lesbi. Hanya pada istriku ia jadi begini alias belum pernah sebelumnya.

Kaaan? Jadi gak bisa tidur aku jadinya mikiran si Lisa gilak ini.

“Hei? Ngapain kau, Lis?” tegurku yang bangun sehabis memakai celanaku kembali dan memergoki Lisa yang sedang menjilat-jilat, mencucup-cucup pentil istriku dengan rakusnya. Ternyata dia belum tidur juga dan asik menikmati istriku sepuas-puasnya. Tangannya juga tak tinggal diam, mengelus-elus vagina istriku tanpa menyentuh kacang itilnya kali ini. Bekas cairan basah dari vagina istriku itu lalu dioles-oleskannya dan dijejal-jejalin ke vaginanya sendiri. Jarinya menusuk masuk ke dalam liang kawinnya. Sisanya dijilat-jilatnya dengan rakus.

Lisa tak memperdulikanku walo kutegor kek gitu. Ia menikmati istriku sesuka hatinya.

“Lisaa… Jan kek gitu kau… Bunting kau nanti…” tegorku lagi. Bukan apa-apa ya kan, woy. Tadi Aseng junior tadi udah sempat kecelup di cibay-nya. Itu tadi aku abis ngecrot di binikku. Belum sempat dibersihkan eh masuk ke dia. Pasti masih ada banyaklah sisa-sisa spermaku di batang Aseng junior berselemak—masuk pulak ke dalam cibay-nya. Lah ini malah sengaja dimasuk-masukin bekas cairan vagina istriku bercampur spermaku ke vaginanya sendiri. Udah senget kali kurasa anak pak Asui ini.

“Biarin… Biarin Lisa hamil… Dengan begitu abang bisa mengawini aku nanti…” jawabnya tak perduli.

“Ah! Dah gilak betol kau, Lis… Jan-lah kek gitu mainnya… Awak ni subur kali pulak, Lis… Bisa bunting kau nantik…” gusarku tambah gelisah. Hamil binik orang yang satu ini agak repot kurasa. Aku belum ada persiapan apa-apa sama sekali. Kenal pun baru hari ini. Belum ada kukondisikan apa-apa. “Suamimu… Suamimu itu ada dimana dia sekarang?” tanyaku. Aku belum sempat tanya-tanya masalah pribadinya seperti suami siapa. Hanya saja aku tau ia belum punya anak.

“Ada di rumah…” jawabnya masih menjejal-jejalkan jari bersalut cairan sperma bekas di vaginan istriku ke kemaluannya sendiri dengan asiknya.

“Di rumah kalian di Australi?” pastiku. Gawat juga kalo suaminya masih di seberang benua sana. Bunting biniknya, abis aku.

“Di rumah papa… Dia ikut nganterin Lisa pulang ke Medan…” jawabnya masih santuy aja, aku yang kelimpungan.

“Abis ini Lisa cepat pulang… Gak pa-pa masih gelap begini… Langsung minta jatah sama suamimu… Kalo bisa nembak yang banyak-banyak di dalammu… Biar nanti kalo Lisa beneran bunting… itu anak suamimu…” aku berusaha memberinya pengarahan.

“Kenapa harus begitu? Lisa udah gak ada minat lagi sama Steven… Minta jatah pula sama dia? Gak sudi…” tolaknya mentah-mentah dan terus melakukan apa yang dari tadi dilakukannya. Nama lakiknya Steven.

“Jan gitulah, Lisaa… Itu yang kau masuk-masukin ke cibay-mu itu ada spermaku… Bibitku… Lisa bisa hamil kalo kek gitu caranya… Kalo itu bukan anak suamimu… Abis aku nanti di pabrik bapakmu…” kataku langsung aja terus terang akan ke khawatiranku yang mendasar. Apa nanti yang dikatakan pak Asui kalo aku menghamili putrinya? Apa gak minta digantung namanya.

“Too much confidence, heh?” cengir Lisa mengejek. Tentu aja ia meragukan keampuhan bibit milikku. “Sperma bang Aseng ini udah diluar tubuh lebih dari setengah jam… Pasti sudah pada mati semua bibitnya… Lagipula… Lisa bukan mau sperma bang Aseng… Lisa cuma mau mau punya mbak… Punya mbak-ku sayang yang paling berharga di sini…” ia kembali mencolek seulas cairan kental dari vagina istriku lalu memjejalkannya kembali ke cibay-nya. Vagina miliknya sudah berselemak spermaku, tidak seperti anggapannya. Seberapa banyak sih cairan yang bisa keluar dari istriku dibanding sperma kentalku yang nyata-nyata viscositas-nya lebih kental dari cairan vagina. Tapi ada benarnya juga, sih soal waktu sperma tadi.

“Dan… Lisa udah menyampaikan ini pada mbak waktu abang kuliah tadi… Kalo abang menikahi Lisa… abang bisa langsung jadi direktur di pabrik… Asik, kan? Jadi abang gak usah susah-susah jadi Factory Manager dulu menggantikan ci Sandra…” paparnya.

Heh?

Segitunya? Ia bahkan sudah memikirkan sampe ke sana. Bahkan menjadikanku direktur di perusahaan manufaktur milik bapaknya setelah cerai nanti. Asal ia bisa selalu dekat dengan istriku. Kegilaan apa ini? Dan benar, pihak mereka sudah mengendus skenario kak Sandra untuk suksesi dirinya denganku. Benar Lisa yang diproyeksikan untuk men-counter skenario yang diam-diam diramu kak Sandra.

“Dan apalah katanya?”

“Mbak gak mau abang poligami… Makanya Lisa menawarkan ini pada abang… Pasti abang Aseng akan tertarik dengan jabatan itu… Bayangkan uang yang akan abang dapatkan kalau menjadi direktur… Tidak susah, kan? Ini hanya agar Lisa bisa selalu dekat dengan mbak…” ia sekarang bangkit dari posisi berbaring kelonan dengan istriku, duduk bersimpuh dan meremas-remas mesra payudara jumbo istriku. “Abang pasti bisa membujuk mbak untuk menerima penawaran Lisa ini…”

“Pertama… Benar… Awak gak bisa mem-poligami dia… Itu artinya awak gak akan bisa menikahimu, Lisa… Tidak bisa… Istriku yang Lisa panggil mbak inipun tau itu… Kedua… Makasih atas tawarannya… Tapi menceraikan suamimu agar bisa menikah dengan awak tidaklah logis… Kalo masalahnya cuma uang… awak udah punya banyak uang, Lisa… Lisa liat sendiri rumah ini… Tentu Lisa bisa memperkirakan berapa harganya… Dan juga awak gak mau menyombongkan sumber keuangan awak yang lain… yang perbulannya bahkan jauh lebih besar dari gaji direktur di pabrik kita… Jadi jawabannya tidak…” aku menolak semua proposal menggiurkannya.

Ia terdiam untuk beberapa saat. Lisa tentunya pintar terbukti dari caranya bekerja dan sistem akademisi yang meluluskannya. “Bahkan jika Lisa menawarkan ini…?” ia merenggangkan kakinya lebar-lebar di hadapanku. Walo kamar ini temaram, aku bisa melihat dengan jelas bentuk vagina montok yang berbentuk indah dengan bikini line hasil wax. Kemaluan yang basah oleh berbagai jenis cairan itu tentunya sangat menggoda untuk dicoblos Aseng junior. Apalagi pada bagian payudaranya yang bisa dibilang berukuran jumbo juga. Sebelas-dua belas dengan milik orang rumahku. Tetapi harganya sangat mahal. Banyak yang harus dikorbankan untuk aku bisa menikmatinya. Aku masih mau berkarier di tempatku bekerja sekarang.

Dan jawabannya tetap tidak. Aku menggeleng.

“Tetap tidak, Lisa… Awak udah udah bertahun-tahun meniti karier di pabrik pak Asui… Dan awak gak mau berakhir seperti ini… Maaf…” jawabku tegas.

“Lisaaa… Ayo kelonan lagiii…” tak dinyana istriku mengigau dan menarik tangan Lisa hingga tubuhnya menubruk tubuhnya yang berbaring menyamping membelakangiku. Dengan cekatan ia mengunci dan memeluk tubuh panlok itu dalam dekapannya. Gantian sekarang istriku yang ndusel-ndusel di payudara jumbo-nya. Mata Lisa membelalak kaget mendapat serangan seperti ini. Kaki istriku melingkar dan mengait pahanya. Lisa tak bisa pergi kemana-mana untuk saat ini.

“Met malam Lisa… Selamat tidur… Semoga mimpi indah…” cetusku memberi hormat salut padanya.

——————————————————————–
“Lisa-nya mana, ma?” tanyaku saat sarapan. Rambutnya masih basah abis keramas mandi wajibnya. Salwa berlari-lari dengan imutnya sedang dikejar-kejar Tiara untuk makan ransum bagiannya di sekitar kolam renang rendah ini. Sedang Rio sedang memutar-mutar ban sepedanya yang dibuat terbalik.

“Tadi keknya ke depan, pa… Ngambil pakaian ato apa gitu…” jawabnya cuek mengaduk-aduk nasi putih berlumur kecap dengan telor ceplok yang udah dipotong-potong buat sarapa anak sulung kami yang sibuk sendiri dengan sepedanya.

“Ngambil pakaian? Pulang?”

“Nggak… Ada yang nganterin koper pakaian sama peralatan dia sehari-hari…” sembari menyuapi Rio dengan sarapan paginya.

“Sehari-hari?”

“Yaa… Dia akan tinggal dengan kita…” lalu mengejar Rio yang menjauh dengan sepedanya ke arah kolam dewasa.

Tinggal dengan kami? Jadi yang tadi malam itu belum berakhir. Menjawab itu semua, Lisa muncul dari sudut sana menyeret koper besar beroda dengan ekspresi riang menghampiri orang rumahku. Ini anak pindahan ceritanya ke rumahku? Ke kamarku?

“Mbaaak… Makasih yaaa… Lisa udah diijinin tinggal disini bareng mbak… Mbak cantik baik, deeh… Peluk dulu… Muaah…” ia malah memeluk istriku dengan mesra bak kekasih. Tapi mataku malah menemukan dua pasang payudara jumbo mereka saling menekan, menghimpit dan lumer satu sama lain. Hidungku terasa basah… Apa mimisan? Kimak! Sukurlah cuma ingus…

Bersambung

Ngentot Gadis Desa Yang Masih Polos
Ngentot Gadis Desa Yang Masih Polos
senyum manja bikin terangsang
Senyuman Manja Yang Membuatku Terangsang
penjaga kantin genit
Belahan dada mbak merry, penjaga kantin yang genit
cewek lagi masturbasi
Menikmati masturbasi di kamar mandi waktu di rumah gak ada orang
Cerita hot merawanin baby sitter
500 foto chika bandung ngentot dengan pacar di hotel
memek cantik
Dapet ngentot gratis gara-gara dari sms nyasar
Awalnya penasaran akhirnya keterusan
frida hot
Cerita sex menikmati memek frida yang nikmat
Berbuat mesum di warnet waktu mati lampu
sex saat hujan
Hujan lebat yang menghanyutkan keperawanan ku juga
stw hot
Wisata unik di jogja, makan di temani STW yang cantik
Cerita Dewasa Belajar Enak-Enak Dari Tante Lilis
mama muda hot
Memuaskan nafsu Siska yang gak pernah puas dengan suaminya sendiri
mama papa ngentot
Memuaskan pacarku yang lagi horny berat bagian 2
Foto bugil ABG SMA cantik toket gede pamer memek pink