Part #71 : Cut Cahya Orgasme
“Jyaaaahhh…” jerit Cut Cahya yang berkejat-kejat sekujur tubuh bongsornya akibat orgasme yang baru saja menyergap tubuhnya. Kakinya mengatup berulang-ulang tanpa bisa dikendalikannya. Jari tangannya mencengkram erat bahuku kala Aseng junior diperas-peras dahsyat di dalam liang kawinnya. Aku sampe harus menahan nafas agar mengurangi rangsangan luar biasa ini.
“Hah hah ha ha hah…” berat nafasnya dengan tatapan mata nanar saat ia beringsut menjauh dari pangkuanku. Aseng junior membal sekeras kayu saat lepas dari sarang yang baru dua kali dimasukinya itu. Berkilat-kilat oleh cairan licin sisa Cut Cahya. Perempuan muda itu lalu rebah di lantai tanpa pikir panjang, mengistirahatkan tubuh lelahnya yang barusan mendayuh kenikmatan bersamaku.
Posisinya segera akan diambil alih oleh Cut Riska dan kucegah. Tentunya ia kebingungan melihat keenggananku yang malah berdiri lalu melepaskan pakaian yang kukenakan. Dengan cepat aku sudah bugil seperti mereka berempat. Aseng junior masih mengacung keras, mengangguk-angguk saat aku melangkah ke arah salah satu ranjang besar di kamar ini. Aku menepuk springbed-nya, memberi kode agar Cut Riska naik kemari. Matanya langsung berbinar-binar lagi.
Ia berdiri di atas lututnya bingung harus bagaimana. Kupandangi tubuh telanjangnya untuk beberapa lama, menikmati visualnya sekenyang-kenyangnya. Kemudian kupegang kedua bahunya lalu kurebahkan di tengah ranjang luas yang sebenarnya cukup untuk tiga orang sekaligus ini. Tangannya kuarahkan untuk menggenggam Aseng junior dan mengocoknya pelan-pelan. Lucu sebenarnya melihat ekspresi bingungnya. Pengalaman seks yang ia miliki sangat berbeda seperti yang seharusnya. Seks-seks awalnya penuh dengan horor dan juga paksaan. Bahkan awal bersamaku aja juga merupakan sebuah keterpaksaan. Terpaksa daripada nyawa melayang hilang diganyang hantu Wewe Gombel.
Saat ini yang kuberikan padanya, kulakukan selembut mungkin. Kulakukan dengan memagut bibirnya yang menggemaskan. Sebelah payudaranya kuremas-remas dan tanganku sebelah lagi bergerilya di perut hingga mencapai kemaluannya yang berjembut lebat itu. Ia bergidik geli selagi berciuman denganku. Lidahku menyeruak masuk membelit lidahnya, memberikan pelajaran yang belum sempat kuberikan waktu itu. Kulakukan dengan selembut mungkin, memberikan pengalaman yang jauh berbeda dari yang pernah menghantuinya.
“Bang… Kapan masuknya?” tanya Cut Riska seperti tak sabar merasakan junior-ku memasukinya.
“Ssstt… Sabar… Belum saatnya… Riska nikmati aja, ya?” bisikku agar menikmati proses foreplay ini. Aku tau persis liang senggamanya masih sangat sempit. Perlu waktu untuk melumaskan semua jalan nikmat kami berdua ini. Aku beringsut turun ke arah dadanya. Putingnya sudah mencuat saat terangsang begini, menegang menantang. Mulutku langsung mencucup pucuknya dengan lidah basah.
“Eenngghhh…” erangnya menggeliat geli sementara dada sebelahnya kuremas-remas lembut membagi kenikmatan itu sama rata. Tubuhnya merinding disko mendapat rangsangan ganda dari mulut dan tanganku. Apa yang dapat masuk ke dalam mulutku yang terbuka lebar, masuk lalu disedot sebisanya. Cut Riska makin menggelinjang. Apalagi tanganku yang semakin gencar mengelus-elus selangkangannya.
Kakinya membuka lebar tak sadar. Memberiku akses seluas-luasnya untuk membelai kemaluannya yang sudah lembab. Jariku mengelus-elus kuncup labia minora penutup liang kawin dan saluran kencingnya. Rangsangan full dari beberapa titik membuat Cut Riska menggelinjang semakin liar. Sepasang payudaranya dan terlebih kemaluannya mendapat stimulan yang membuatnya mengerang-ngerang gelisah. Bergantian kanan-kiri payudaranya mendapat perhatian lidah dan mulutku. Mulutku berdecap-decap menikmati kenyal dan tegang puting susunya.
Saat kulirik ke sekitar kami ternyata inong-inong yang lain sedang berdesakan menonton dengan seksama. Ikut menikmati apa yang sedang kami lakukan. Bahkan Cut Cahya yang baru selesai gilirannya juga ikut di tepian ranjang ini. Ketiganya tersenyum lebar. Cut Masita terlihat sudah tak sabar ingin merasakan ini juga. Cut Intan juga apalagi.
Cut Riska menatap gerakanku turun dengan nanar. Mungkin mengira aku akan segera melakukannya. Tapi belum, belum saatnya. Aku tiba di depan vaginanya yang terbuka lebar tanpa penghalang lagi. Aku bisa menatap detail bentuk kemaluannya face to cunt. Dan lidahku menjulur saat mata kami bertatapan. Mulutnya menganga seakan ingin protes. “Aaakhh… Joroook, baang… Ahh…” Lidahku menyeruak masuk ke liang sempitnya.
Tak bisa masuk sepenuhnya karena memang sangat sempit. Mungkin hanya jari dan Aseng junior yang benar-benar bisa masuk ke kedalaman liang nikmat ini. Jadi lidahku kini hanya bermain-main di permukaannya saja dan sesekali mencoba menyeruak masuk. Jangan ditanya gimana Cut Riska saat ini. Seperti cacing kepanasan tubuhnya menggelinjang, menggeliat liar. Meliuk sana meliuk sini. Beberapa kali tubuhnya menggigil kala lidahku menggelitik kacang itil mungilnya. Sesekali tangannya menggapai kepalaku dan menekan agar kemaluannya lebih dipuaskan.
“Aaakhh!!” erangnya final. Punggungnya melengkung, pantatnya terangkat, kepalaku terikut. Terasa ada cairan berdecit-decit keluar dari liang kawinnya. Sejumlah cairan menambah basah kemaluannya yang segera kucucup rakus. Tubuhnya berbanting lemas kembali ke atas ranjang. Ada beberapa titik keringat yang membasahi tubuh polos indahnya. Saat kuseka mukaku dari cairan pelumas Cut Riska dan duduk tegak, aku menoleh pada para penonton. Mereka semua melongo. Pasti mereka belum tau trik ini. Trik yang sepertinya sangat nikmat hingga membuat Cut Riska termehek-mehek orgasme hanya dengan menggunakan mulut.
“Baaang… Nanti Intan… digituin juga, ya?” cetus Cut Intan masih terpana tetapi masih ingat untuk mengatakan ini. Wah… Mereka penasaran dengan rasanya di-oral.
Aku mengangguk menyanggupi. “Iya… Nanti Cut Masita juga, kok…” jawabku sembari menepatkan posisi tubuhku di antara bentangan kaki Cut Riska yang masih ngos-ngosan bernafas berat. Berkali-kali ia meneguk ludah lalu bernafas.
“Lon?” tagih Cut Cahya yang belum sempat kuperlakukan begitu tapi bagiannya keburu lewat. “Saya?” ulangnya.
“Iya… Nanti Cahya juga, kok… Sabar, ya? Riska belum nih…” kataku menatap mereka bergantian dengan menggesek-gesekkan Aseng junior ke belahan vagina Cut Riska yang menganga. Kucelup-celupkan hingga kepala Aseng junior basah terkena becek liang kawin inong cantik ini. “Tadi Cahya udah dimasukin, kan? Ini giliran Riska duluu…” sambil kucoba mendorong masuk. Duuuh… Sempitnya liang ini. Cut Riska mengulum kedua bibirnya bersamaan dengan mata terpejam meresapi rasa yang menyeruak masuk ke dalam tubuhnya.
Kusodok-sodok perlahan dengan posisi tubuh 45° terhadap tubuhnya, tanganku menopang dengan gerakan pinggul selentur mungkin. Aseng junior menusuk-nusuk perlahan padahal liang kawin ini sudah cukup basah tetapi karena jam terbangnya masih sangat rendah, setara dengan pengantin baru hitungan hari saja abis belah duren. Berkerut-kerut dahinya menahankan rasa perih yang bercampur dengan nikmat yang mungkin ada saat Aseng junior-ku menerobos masuk dan mulai meraja di dalam sana. Rasa sempit menggigit membuatku harus bernafas dengan teratur saat mulai memompanya.
“Egghhh… Hegghh… Euhhh… Uuhh… Ah ah ah ah…” erangnya saat kumulai menusuk pelan dan pendek saja. Begitu saja ia sudah mengerang dengan tangan mencari-cari pegangan berupa kepalan sprei ranjang. Ia menemukan tangan Cut Intan yang membantunya menguatkan diri. Keduanya berpegangan tangan sementara kemaluannya kugempur pelan-pelan. Aku menikmati ekspresi wajah cantiknya dengan mata terpejam menikmati seks denganku untuk kali kedua. Mulutnya meringis-ringis, dadanya berguncang-guncang, rambut panjang tebalnya awut-awutan. Dengan dua jempol aku mempermainkan kedua putingnya.
“Iyaahhh… Ah ahh ah ah ah…” erangnya terus menerus merasakan sama-sama nikmat berdua. Aseng junior juga terasa dimanjakan maksimal di dalam liang kawin sempit ini. Ahh… Rasanya sangat nyaman sekali meniduri perempuan-perempuan muda ini. Eksklusif hanya untukku. Ada empat inong cantik yang hanya tersedia untukku. Tersimpan dengan aman tak jauh dari rumahku. Aman dijaga oleh satu pasal pengorbananku untuk hanya sekedar petting dengan induk semang mereka.
Setelah ronde pertama tadi di WOT Cut Cahya yang berakibat dirinya orgasme, kini aku sedang memompakan nafsuku pada inong kedua. Haruskah aku ngecrot di keempat Cut ini? Apa jadinya nanti kalo mereka hamil? Akan sangat memberatkan proses belajar mereka ke depannya. Apalagi tentunya merepotkan Vivi pasti. Lain cerita kalo mereka punya suami seperti para binor yang selama ini kugauli. Ada barisan para suami yang akan mengurus sisa-sisa perbuatanku.
Habis kupermainkan payudara kenyalnya, aku balik lagi memagut mulutnya yang asik mendesah seperti kepedasan. Lancar disambutnya mulutku dan saling kulum dan silat lidah berbelit. Aseng junior terus lancar menggoyang liang kawinnya yang semakin terasa enak dan licin. Sudah terasa geli-geli enak itu di kepala Aseng junior dan gelegak bibitku memberontak ingin segera bebas keluar. Kupercepat sodokanku masih di posisi awal, MOT misionaris ini. Suara plak-plak-plak tepukan kulit kami semakin keras. Tautan tangan Cut Riska dan Cut Intan makin erat. Kepalanya terbanting kanan-kiri.
“Oooaahh… Ahh… ah ah ahh…” ia meledak lagi dan cepat-cepat kucabut Aseng junior dari liang sempit nikmatnya. Kukocok beberapa kali di atas perutnya yang berkedut-kedut belum pulih dari orgasme itu. Aseng junior sudah dalam keadaan merah padam, becek berkilat-kilat dan…
“Croot crooottt croott!!” sejumlah besar spermaku tumpah di atas perutnya. Kepalaku terasa ringan sekali saat kukocok-kocok terus untuk mengeluarkan semua simpanan stokku hari ini. “Ahh ahh… ahh… Hmm…” Rasanya sangat puas bisa mengeluarkan spermaku malam ini setelah tadi sudah ditahan-tahan dari petting bersama Vivi, belum saatnya bersama Cut Cahya. Akhirnya jebol juga bersama Cut Riska.
“Jeh peue, bang?” tanya Cut Intan menunjuk noda sperma kental di perut temannya. “Apa itu, bang?” ulangnya. Aku hanya menggeleng-geleng agar ia tak usah menanyakan itu.
Tentu saj ketiga inong di tepian ranjang terperangah melihat tumpahan spermaku di perut Cut Riska. Sesekali mereka menatap ekspresi puasku dan Aseng junior yang mengangguk-angguk dengan sedikit tetesan cairan kental itu di ujungnya. Kugesek-gesek sisanya di perut Cut Riska sampe benar-benar bersih. Aku menggeleng-geleng puas terduduk masih lelah mengejar nafas. Aku menunjuk-nunjuk tisu yang ada di meja kecil diantara dua ranjang besar ini. Cut Masita yang paling dekat mengambilkannya untukku. Kuambil beberapa lembar dan kubersihkan cairan kental itu dari perut Cut Riska yang masih berbaring lemas, kaki mengangkang dan liang kawin sedikit menganga becek.
“Riska udah selesai… Cut Masita sekarang, yah?” ujarku agak terbata-bata karena nafas kurang lancar. Aku beringsut ke samping, ke tepian ranjang agar nanti giliran berikutnya bisa berbaring di situ. Kubiarkan Cut Riska tetap berbaring lemas di tempatnya semula. Inong cantik itu segera bangkit dan naik ke atas ranjang. Yang pertama kali menarik perhatian mata jelalatanku tentu saja lebat jembutnya yang berkilauan basah. Tentunya sudah sangat terangsang melihat dua temannya kuentot tadi.
“Capo lon dijilat juga, ya?” saat ia berbaring pasrah di hadapanku, di samping Cut Riska yang masih belum kelar ngos-ngosan. Ia memegangi segitiga kemaluannya yang rimbun oleh rambut. Tidak sepanjang saat pertama kali bertemu. Mungkin mereka sudah belajar membersihkan tubuh dengan lebih baik sekarang. Vivi memberi banyak pengaruh baik pada mereka berempat. Tubuh mereka sekarang jauh lebih bersih dan lebih glowing. Jauh dibandingkan saat masih disekap di hutan kala itu.
“Masita mau dijilat juga ininya?” godaku menepiskan tangan yang menutupi kemaluannya. Aseng junior perlu istirahat sebentar jadi bisalah kugunakan waktu untuk foreplay dulu. Cut Masita menganguk-angguk membenarkan permintaannya. “Sebelum itu… Ini dulu… Cut Masita ikut aja, ya?” kataku mendekatkan wajahku ke wajahnya. Kukecup bibirnya. “Cup… cups…” Kuhimpit tubuh bongsornya hingga dada kami saling bertemu. Kurengkuh tubuhnya.
Cut Masita pasrah-pasrah aja kutindih begini karena mulut kami saling berpagutan bermain lidah. Ia dengan cepat belajar mengikuti yang kulakukan padanya. Tangannya mengelus-elus punggungku. Kakinya sudah melebar menyambut tubuhku. Aseng junior yang masih lemas bergesekan di lebat jembutnya. Rasanya sangat nyaman sekali merengkuh tubuh perempuan-perempuan muda ini. Payudaranya tak lupa kuremas-remas dan itu membuatnya mengerang di sela pagutan-memagut mulut.
“Jyaahh… Ahk…” erangnya saat payudaranya mulai kukecup lalu lidah mulai bermain dan ia semakin menggelinjang liar. Rambutku diacak-acak dijambak sesekali. Renggutan tangannya terasa sepadan dengan rasa kenyal yang bermain di dalam mulutku. Puting mengerasnya tak luput dari kulikan lidahku. Terkadang kugigit-gigit pelan juga membuat Cut Masita terbanting ke kanan kiri. Tubuhnya kadang melonjak-lonjak seiring rasa nikmat membuncah dari bagian dadanya. Erangan-erangannya membahana di dalam kamar ini. Cut Riska yang sudah kembali dari surga kenikmatannya juga ikut menonton.
“Haah… haah… haah…” Cut Masita berusaha mengatur nafasnya. Dadanya naik turun. Sekitar mulutnya basah oleh liur. Kupagut sebentar mulutnya lalu beringsut turun untuk menuruti request-nya tadi untuk menjilat capo-nya. Vagina dalam bahasa Aceh kekanakannya. Bentuk indah menggiurkan itu kembali masuk dalam bidang bidik mataku. Rambut jembut lebat yang dipotong pendek tak memberikan noda gelap di seputar bibir kemaluannya. Kusibak rimbun rambut pubis yang sudah dipotong pendek untuk menemukan lipatan masih sangat rapat. Isi bagian dalam basah segera terkuat menggairahkan. Kacang itilnya mengintip malu-malu di pucuk guratan lipatan bibir kecil yang juga menyembunyikan lubang kencing serta liang sempit luar biasa yang sudah kuperawani beberapa waktu lalu.
Kukecup perlahan sebagai sapaan awal. Kemudian lidahku menyusul merasakan rasa segar yang ditawarkannya. Basah permukaan kemaluannya terasa hangat, membuat lidahku semakin gencar bermain-main di sana. Ujung lidahku terus mengutik-utik kacang itilnya diakhiri sapuan panjang di liang kawinnya ke atas. Cut Masita kembali bergerak liar menikmati request yang dipintakannya tadi, untuk menjilati kemaluannya seperti yang sudah kuperagakan pada Cut Riska sebelumnya. Bibir kemaluannya kulebarkan agar lidah dan mulutku semakin maksimal menikmati vaginanya. Perawan yang sudah kurenggut darinya harusnya masih sangat-sangat sempit di kesempatan kedua ini. Aku sudah tak sabar lagi tetapi Cut Masita menahan kepalaku agar tetap bermain-main di selangkangannya.
Jariku kujejalkan masuk dan lidahku mengutik-ngutik kacang itilnya membuat inong cantik ini menggeliat, menggelinjang sangat liar. Beberapa kali ia berusaha bangkit merasakan jariku mengorek-ngorek bagian dalam liang kawinnya yang ekstra sempit. Jariku terjepit erat oleh katupan otot kegelnya yang bekerja otomatis. Aku menikmati desiran cairan bening yang mengucur meleleh dari liang kawinnya. Ahh… Rasanya gak bosan-bosan menikmati rasa ini. Tubuh Cut Masita bergetar-getar lagi pertanda ia mendapatkan kenikmatan itu lagi. Jariku semakin terjepit.
Kucabut jariku sekalian mengelap wajahku yang kembali belepotan cairan vagina yang terasa sangat manis saat ini. Cairan vagina yang sangat menggairahkan dari perempuan-perempuan muda yang pasrah mengharapkan kenikmatan dariku. Apakah ini eksploitasi ketidak tahuan mereka? PIkiran dangkal mereka yang bahkan mungkin tak tau konsekwensi dari ini semua bisa merubah diri mereka ke jenjang selanjutnya—seorang ibu. Mereka bisa hamil akibat permainan ena-ena ini. Itu yang harus kujaga sekarang.
Aku gak pernah nyetok kondom pulak! Cukup hati-hati aja supaya gak nembak di dalam, kurasa cukup untuk kali ini.
Cut Masita pasrah ketika kutempelkan Aseng junior ke rekahan terbuka kemaluannya yang basah kuyup. Mudah menelusupkan Aseng junior ke pintu liang kawinnya tetapi hanya sebatas itu saja karena selebihnya sepanjang liang ini masih sangat sempit. Untung Aseng junior dalam keadaan full tegang ketat dengan urat-urat kasar di sekujur batangnya. Kurebahkan tubuhku condong ke arahnya untuk memberikan rasa nyaman dahulu sebelum memaksakan kontolku menembusnya lagi. Penetrasi pertamaku dilakukan atas paksaan Wewe Gombel laknat itu, yang tujuan utamanya adalah membuatku ngecrot untuk membunuhku.
Kami dua meringis di antara saling pagut saat kelamin kami mulai bersatu padu. Ini bahkan lebih sempit dari Cut Cahya dan Cut Riska tadi. Berdenyut-denyut keenakan Aseng junior-ku di mulut liang kawin Cut Masita yang pelan-pelan kutembus. “Egghh…” erangnya memejamkan mata selagi bibirnya kukulum. Kusodok-sodok perlahan walo sepanjang liang itu sudah terlubrikasi sempurna. Tapi namanya juga masih sangat sempit, apa mau dikata. Harus diperlakukan dengan ekstra hati-hati.
Sodokan-sodokanku kulakukan hingga sudah mencapai setengah batangku terbenam di dalam liang kawin sempitnya. Cut Masita mengerang-ngerang seksi. Tapi ia sama sekali tak mau menunjukkan ekspresi kesakitan. Masa itu sudah berlalu dan ia hanya ingin menikmatinya malam ini bersamaku. Masa pedih itu sudah lewat di gua bawah tanah tempat sekapan bertahun-tahun. Menenangkannya kuciumi bibirnya sebaik mungkin, membuatnya merasa nyaman dan aman. Terkadang hanya rasa itu yang bisa membuat perempuan rileks.
Sodok tarik-sodok tarik berulang kulakukan dan sekarang sudah semakin lancar walo tak semua batang keras Aseng junior dapat meluncur masuk. “Drrttt drrrtt…” suara seperti sobek terasa saat Aseng junior meluncur sedikit lebih jauh, melonggarkan jalan baru menuju jangkauan penuh liangnya. Payudaranya kemudian menjadi alat memanjakannya. Bibir dan payudara montoknya menjadi bulan-bulananku sekaligus. Aseng junior terus merojok memompa keluar masuk semakin lancar. Remasanku pada payudara kenyalnya membuat Cut Masita semakin keenakan, terbuai dalam kenikmatan beberapa rangsangan hebat bersamaan.
Kaki Cut Masita semakin terbentang lebar pasrah apa saja yang kulakukan padanya. Kalo aku ngecrot sekalipun di dalam vaginanya, ia gak akan protes. Tapi itu lebih pada ketidak tahuannya. Lebih lagi ketidak tahuan mereka berempat. Mereka tak tau apa-apa tentang kehidupan orang dewasa yang rumit dan pelik. Seperti… tak banyak perempuan yang mau digilir beramai-ramai seperti ini. Mereka membentuk suatu ikatan yang bahkan lebih dari hubungan pertemanan bahkan persaudaraan, ini ikatan hidup dan mati.
Cut Riska yang menonton dari sebelah kiri kami, paska gilirannya, kutarik agar lebih merapatkan tubuh telanjangnya pada Cut Masita yang masih kusetubuhi. Cut Cahya juga yang beserta Cut Intan di sebelah kiri, di tepi ranjang kutarik juga menaiki ranjang. Tentu mereka berempat bingung apa mauku menumpuk mereka berdempetan seperti ini. Ini mungkin fantasi beberapa pria yang coba kurangkum, bagaimana rasanya menggauli seorang perempuan sekaligus menatap beberapa wajah cantik bersamaan.
Wajah sange Cut Masita yang menikmati kemaluannya kugenjot pelan-pelan, yang sekarang sudah tertanam dalam sepenuhnya oleh Aseng junior-ku, menjadi highlight utama pemandangan yang cepat menular pada ketiga temannya. Keempatnya sekarang sedang menatapku balik. Keempatnya sedang terangsang menikmati wajahku yang sedang keenakan menggenjot satu vagina sempit dengan genjotan pelan yang perlahan meningkat kecepatannya. Keempatnya mengangakan mulut berebut oksigen yang langka diperebutkan banyak orang sekaligus. Wajah-wajah sange yang masing-masing bersuara seksi seakan merasakan nikmat yang sama yang kami berdua rasakan akibat beradunya dua kelamin berbeda jenis.
Cut Intan memangku kepala Cut Masita yang sedang kugenjot menggapaikan tangannya untuk menyentuh mulutku. Aku membiarkannya menjejalkan jarinya ke mulutku yang kemudian kuhisap-hisap, membuatnya menganga. Dengan itu, yang lain juga ikut berusaha menyentuhku. Bahkan Cut Cahya memainkan pentil susuku. Cut Riska mengelus-elus perutku yang mengeras saat menggenjot dengan gemas. Kangkangan kaki Cut Masita makin lebar ditahan teman-temannya, memudahkanku semakin memompa tubuhnya. Cut Cahya membantuku merangsangnya dengan saling berciuman karena ekskalasi tensi semakin panas saja. Semuanya sudah mengerang-ngerang seksi berusaha mencari kepuasan sendiri lewat orang lain ato lewat fantasi keinginan sendiri.
“Banngghh… Capo-ku… Capoo-ku…” erang Cut Cahya yang mengobel-ngobel vaginanya sendiri. Pasti kemaluan perempuan muda ini sangat gatal pengen digaruk saat ini. Aku menarik tangan yang nganggur yang ternyata tangan Cut Intan untuk menusuk liang kawinnya. Jarinya masuk dengan mudah, bekerja sama dan menusuk-nusuk keluar masuk. Cut Cahya mengerang keenakan dan menggelinjang menikmatinya. Jari tanganku juga tak tinggal diam dan menelusup masuk dan mengacak-acak liang sempit Cut Riska yang rapat menggencet samping tubuh Cut Masita yang sedang kuentot ini.
Cut Masita sendiri sedang tenggelam di dada Cut Riska hingga aku bisa menciumi mulut Cut Intan yang menyambutku dengan suka cita. Aseng junior semakin menggila dan menggasak liang kawin perempuan tepat di hadapanku dengen kecepatan tinggi. Aku serasa menjadi gila merasakan rasa nikmat yang terperi saat ini yang merajai sekujur tubuhku. Menjajah tiap jengkal tubuhku. Mendera tiap serat tubuhku.
“Baaanngghh… Akhh… Ah ah ah…” perempuan yang sedang kugenjot itu menegangkan tubuhnya hingga bahkan Aseng junior-ku tercerabut dari jepitan menggigitnya. “Cyurr.. Seerr… serrr…” menyembur air bening squirt menyemprot deras hingga membentur perutku. “Ooohh… ohhh… oohhh…” erang Cut Masita gak sadar apa yang sedang terjadi pada tubuhnya yang baru aja pipis enak sangking menikmati seks keduanya ini. Ia sangat menikmatinya hingga dua kali ia bisa squirt begini. Raungan keenakan tubuhnya yang baru saja orgasme sampe terkencing-kencing membuat takjub ketiga temannya. Setidaknya giliran Cut Masita sudah selesai dan aku bisa beralih ke inong terakhir. Si perawan terakhir, Cut Intan.
Ia merebahkan tubuh telanjangnya tanpa malu-malu lagi, menggantikan tubuh lemas Cut Masita yang digulingkan kesamping. Ia ingin segera merasakan apa yang sudah dirasakan ketiga temannya. Tak ada rasa sungkan sama sekali dalam panas tensi tinggi reverse gangbang yang dimana aku menjadi objeknya. Keempat perempuan muda ini sedang memperkosaku. Dan gilak-nya, aku senang-senang aja diperkosa begini.
“Intan… Cut Intan… Ini bakalan sakit-loh…” seruku memperingatkannya. Aseng junior kucekik karena sudah sangat meradang mau masuk ke liang sempit kembali. Tak perduli lubang sempit milik siapa—pokoknya lobang!
Ia menggeleng sembari menggigit bibir bawahnya. Ia mengepaskan tubuhnya yang kini bersandar pada Cut Cahya yang duduk di belakangnya. Payudara sekal miliknya tanpa ragu diremas-remas temannya itu. Cut Cahya sendiri sedang tertawa cekikikan dengan Cut Riska mengomentari perbuatanku pada Aseng junior. Cut Masita menarik-narik kepala Aseng junior mengarahkannya ke bukaan menganga vagina Cut Intan yang masih sempit perawan. “Tidak apa-apa, bang… Intan mauu…” ia meyakinkanku kalo ia yang menginginkan ini.
Aku sadar, aku gak akan bisa tahan lama-lama kalo menjebol perawan sempit. Bisa-bisa aku ngecrot dalam proses belah duren nanti karena jantungku sudah sangat berpacu kencang. Kalo kupaksakan langsung cucuk, pasti langsung ngecrut juga karena nafsu sudah ada di ubun-ubun. Aseng junior dielus-eluskan ke lubang sempit Cut Intan tetapi aku masih menahannya. Rasanya sangat geli campur nikmat. Kalo ngikutin nafsu aja, udah pasti langsung kusodok. Apalagi Cut Masita menarik-narik batang Aseng junior-ku ke arah temannya terus.
“Sabar, yaa?” ujarku menenangkan mereka semua. “Ini nanti bakalan sakit… Kalian bantuin Intan, ya… biar dia agak tenang…” pintaku pada tiga teman-temannya. “Kalian boleh ciumin dia dulu… Remas-remas teteknya… Biar ini kujilati dulu… OK?” imbuhku menunjuk bagian vagina berjembut lebatnya. Rambut kemaluannya juga sudah dipotong pendek dan tak mengurangi keindahannya. Mereka semua mengangguk mengerti. Tangan Cut Cahya yang dari tadi sudah meremas payudara kanannya ditambah Cut Masita di kiri. Pipinya diciumi Cut Riska disertai rabaan pada bagian perut membuat perawan terakhir itu mengerang keenakan.
Dengan begini, aku bisa meredakan nafsuku untuk cooling down sebentar. Meredakan detak jantungku yang meledak meletup penuh nafsu. Aku langsung menubruk bagian selangkangan Cut Intan yang terbentang lebar di sandaran teman-temannya. Bibir kemaluannya langsung kukuak disibak lebar demi menemukan irisan segar vagina perawannya yang secara ajaib bisa bertahan sampe sekarang dan akhirnya jatuh ke hadapanku. Aku menunduk di hadapan mereka berempat dan menikmati kelezatan vagina sempit khas perawan ini di tengah bising erangan empat perempuan muda yang pasrah kuapakan saja.
Selagi mereka sedang bermain-main di antara sesamanya, aku menyiapkan Aseng junior agar siap siaga kapan saja untuk mencoblos. Ia tetap saja menegang keras bagai kayu, stand by. Mereka berempat tidak bisa dibandingkan dengan Vivi. Vivi melakukan ini semua dengan perasaan hendak memiliki diriku seutuhnya, hal yang tak bisa kukabulkan untuknya. Perasaan itu yang berbahaya untukku. Sedangkan mereka berempat ini hanyalah pelampiasan entah apa. Lebih pada ketidak tahuan. Keluguan semata, yang kurang ajarnya sangat kunikmati. Aku sama sekali gak khawatir pada mereka berempat akan menuntut hal yang lebih dalam waktu dekat ini. Makanya, daripada itu aku harus jaga-jaga jangan sampe menghamili mereka berempat. Cukup dinikmati saja sepuas-puasnya seiring dengan proses belajar mereka untuk kembali masuk masyarakat normal.
Mereka berempat mengerang-ngerang saling merangsang dalam bahasa ibu mereka bercampur dengan bahasa Indonesia juga. Desahan, jeritan kecil, erangan, mendesis, raungan manja dan macam-macam suara lain. Mulut dan lidahku terus bermain-main di vagina Cut Intan, mengecap kenikmatan sepuas-puasnya dari sana hingga akhirnya semua rangsangan yang diterimanya akhirnya membuatnya mencapai orgasme itu. “Aaah… Ahh… ahh… ah… Mmm… Uhh…”
Kuseka mulutku yang berlepotan cairan manis yang barusan mengucur keluar dari kemaluannya sambil mata tak kunjung lepas dari liang sempit yang terpampang bebas untuk segera dimasuki menggunakan Aseng junior-ku. Ia sudah meradang ingin segera masuk menembus dan kemudian menggila di dalam sana. Pastinya sangat nikmat dan ahhh… Payah cakap-la pokoknya.
Cut Intan masih mendesah-desah seperti kepedasan sambal yang ekstra pedas dikelilingi teman-teman terdekatnya yang selama bertahun-tahun ini selalu bersama. Kedua payudaranya masih diremas-remas oleh Cut Cahya dan Cut Riska. Cut Masita mengelus-elus pahanya. Aku mendekat dan merapatkan tubuh ke bukaan kakinya yang dilebarkan Cut Masita. Aseng junior menempel rekat hingga ujung kepalanya basah menyentuh bukaan sempit liang kawinnya yang hanya celah lubang kecil saja.
“Yaahh, baangg… Intan sekarang, baaang… Yaahh… Mmmm… Yaahh…” erang entah siapa dari antara mereka berempat. Aku tak terlalu memperhatikan siapa. Aku hanya mencoba mencoblos-cobloskan Aseng juniorku hendak membenamkan sedapat mungkin. Cut Intan menganga dengan kepala mendongak merasakan sumpalan benda pejal panjangku ini di kemaluannya yang pasti masih terasa enak abis orgasme barusan. Kucondongkan tubuhku ke arah mereka berempat, tentu aja untuk menyasar pada Cut Intan yang menjadi fokus dientot kali ini. Yang lainnya juga ikut bereraksi menyambutku.
Untuk membesarkan hati mereka, kucium bibir Cut Masita, Cut Cahya dan Cut Riska. Kemudian agak lebih lama pada Cut Intan dilambari remasan-remasan lebih lanjut pada payudaranya. Cut Intan menyambut mulutku dengan antusias, yang kemaluannya juga sedang berusaha kuterobos dengan sodokan-sodokan pelan. Bibirnya kusedot-sedot dengan sesekali kusodok agak lebih keras beberapa secara acak. Kepala Aseng junior sudah berhasil menelusup masuk yang sukses membuatnya menyeringai agak kesakitan tetapi mulut dan tanganku tak berhenti memberi rangsangan. Ketiga teman-temannya juga tetap mendukung dengan mengelus-elus tubuhnya, memberikan kata-kata penguat dan penyemangat.
Kupeluk tubuhnya rapat hingga dada kami saling himpit. “Ssstt… Cup-cup… Ahh… Enak tidak? Heeghh…” ujarku berusaha mengajaknya berbicara berbisik dan saat ia akan menjawab, Aseng junior menerobos masuk. “Ggrrtt… ggrrtt…” terasa ada robekan saat Aseng junior menelusup masuk semakin jauh ke dalam sanubari jalan kawinnya yang super sempit.
“Aahh…” terdengar suara tertahan inong perawan terakhir ini saat lapisan hymen-nya tembus terkoyak oleh ulah durjana Aseng junior yang suka cita gilang gemilang berhasil merobek kesuciannya. Kutenangkan ia dengan mengecup-ngecup kening dan pipinya. Matanya terpejam rapat dan kedua bibirnya dikulum menahankan rasa perih itu. Aku bisa merasakan perih itu karena Aseng junior sendiri dijepit erat sekali seperti diremas-remas sebuah katupan kuat.
“Ussh… usshh… usshh…” ketiga temannya juga berusaha menghiburnya karena mereka sudah pernah merasakan pengalam belah duren ini. Hanya dirinya yang mengalaminya lewat jalan yang lumayan normal karena ketiga temannya saat itu berada dibawah ancaman yang sangat mengerikan. Cut Intan melakukan prosesi ini atas keinginannya sendiri. Juga di tempat yang cukup layak dan nyaman.
Kudiamkan Aseng junior di dalam sana. Biasanya, agar liang yang baru saja ditembus ini terbiasa akan benda asing yang memasukinya. Membiasakan ada sesuatu yang menyumbat jalurnya. Apalagi rasa perih yang mungkin dirasakan mendera menyebabkan rasa pegal yang mengganjal. Payudaranya kemudian menjadi fokus stimulasiku. Putingnya kukenyot-kenyot, kusentil-sentil dengan lidah, apa saja agar ia merasakan nikmat kembali. Sesekali, Aseng junior kugerakkan untuk melihat reaksinya. Suara seret, seperti sobek itu beberapa kali masih terasa melalui tubuhnya yang menyatu denganku. Tubuh kami sudah sepenuhnya terhubung lewat jalinan kelamin.
Dorong-dorong terus dan tak terasa Aseng junior sudah mentok membelah dirinya. Perutku dan selangkangannya rapat bertemu. Mata membeliak beberapa kali dengan mulut terbuka masih menahankan perih. Sentuhan-sentuhan kami semua semoga memberinya rasa nyaman pereda secukupnya rasa perih yang masih terasa di kemaluannya yang tak perawan lagi. Pelan-pelan kutarik dan itu terasa sangat seret walo inong satu ini padahal sudah orgasme belum lama. Seret dan peret seorang perawan seharusnya dan sumpah luar biasa sekali sensasinya.
Ini sebenarnya yang kukhawatirkan. Rasa nikmat yang luar biasa ampun-ampunan, apalagi melihat ekspresi-ekspresi sange empat perempuan muda cantik sekaligus tepat di depan mataku. Lengkap keempat perempuan muda penyintas supranatural yang berhasil aku selamatkan dari kejamnya hutan belantara gunung Leuser, sudah aku gagahi. Mereka dengan pasrah dan rela menyerahkan tubuh mereka padaku. Bukan sebagai ucapan terima kasih. Juga bukan bayaran atas apa yang sudah kulakukan. Ini hanya saling bersenang-senang… Entahlah.
“Ah ah ah ah ah…” begitu erang yang mirip jeritan kecil Cut Intan merasakan sodokan memompa kecil yang kulakukan. Hanya sodokan kecil yang bisa kulakukan. Sesuai pengalaman diriku yang bejat ini, seiring waktu, liang sempit nan peret ini akan lancar pada waktunya. Tugasku hanyalah semakin merangsangnya hingga tubuhnya memerintahkan memproduksi lebih banyak lendir pelumas untuk mencegah liang kawin berharganya lecet ato malah terluka akibat melakukan salah satu fungsi utamanya.
Ketiga inong lainnya juga tak berhenti minta bagian kuluman mulutku. Sesekali juga payudara mereka mendapat perhatianku. Cut Masita bahkan menyodorkan dadanya untuk kukulum dan diekori oleh yang lainnya. Jariku nakal menelusup masuk mengobel-ngobel apa yang bisa dijangkaunya. Cut Riska menyodorkan selangkangannya. Jariku terbenam di liang sempitnya. Ini malam paling sibuk dalam hidupku. Aku harus meladeni empat perempuan sekaligus. Ini sudah impian harem yang menjadi kenyataan. Aku tidak perlu mencari jauh-jauh, mereka datang sendiri ke hadapanku dan memberiku hidangan yang sangat istimewa ini.
Cut Cahya yang sama sekali belum pernah merasakan oral mulutku lalu bangkit dan membiarkan Cut Intan berbaring tak bersandar lagi. Ia beringsut maju di atas tubuh Cut Intan dan mendekatkan selangkangannya padaku. Aku tau maunya dan tak lama kemudian ia sudah mengerang-ngerang karena kemaluannya menjadi bulan-bulanan mulutku. Sodokanku pada kemaluan sempit Cut Intan tak berhenti malah semakin gencar dan panjang. Vagina keempat perempuan muda ini dalam kekuasaanku dalam sekali kesempatan. Aseng junior menyodok kemaluan yang satu, dua memakai kobelan jari dan satu lagi menggunakan mulut.
“Aahh… ahh… aahh… ahh…” suara terindah selama bermain lendir adalah ini, suara empat perempuan sekaligus merintih-rintih akibat perbuatanku terdengar sangat merdu dan syahdu. Keempatnya mengerang-ngerang menggapai ke arahku dengan kepala terbanting kanan kiri ato menengadah. Liang kawin Cut Intan semakin licin sehingga sodokanku semakin lancar memompa walo masih tetap sempit menggigit. Aku bisa menikmati wajah cantik empat perempuan sekaligus mendesah-desah keenakan kemaluannya kupreteli sedemikian rupa.
Jariku mengait-ngait di dalam liang Cut Masita dan Cut Riska. Jariku berlepotan cairan lengket, terus mengorek-ngorek dua liang sempit itu. Mulut dan lidahku bermanuver liar di kemaluan Cut Cahya yang disodorkannya berdiri mengangkang, direnggutnya rambutku dengan gemas. Kacang itilnya menjadi pusat sedotanku ditingkahi sapuan lidah ke semua permukaan vaginanya.
“Baanngghh… Enaak, baanghh… Yaahh… Ahh… Ahhmm… Ssshhh…” erang Cut Cahya yang perdana merasakan di-oral kemaluannya olehku. Cut Masita dan Cut Riska tak mau kalah mengerang mengekspresikan rasa nikmat yang juga mendera tubuh keduanya. Keduanya menahan tanganku agar tetap mengobel liang kawin mereka seakan menemukan kenikmatan baru, level baru untuk mendapatkan kenikmatan dunia ini. Aku semakin menggila dan mengkaryakan semua onderdil tubuhku untuk memuaskan mereka semua sekaligus.
Sodokan-sodokan lancar kini kulakukan pada liang kawin Cut Intan yang menggelinjang blingsatan. Sepertinya ia barusan orgasme tanpa sempat kusadari. Hanya saja jepitan liang kawinnya terasa lebih sempit seperti baru dicoblos tadi. Aseng junior diremas-remas tapi mulut dan jariku tetap bergerak. Lidahku masih menjilat-jilat bibir kecil di dalam lipatan besar vagina Cut Cahya. Jari tengahku menelusuri liang sempit dan menjangkau ke ujung yang dapat diraihnya. Sementara pemiliknya kelojotan merasakan nikmat kemaluannya diobok-obok terus untuk titik rangsang.
Harus memuaskan empat objek seksual sekaligus ternyata bisa memecah konsentrasi hingga rangsangan yang kuperoleh malah berkurang yang berimbas aku bisa menahan agar Aseng junior gak buru-buru ngecrot dulu. Tapi walopun akan ngecrot-pun aku masih bisa sadar dan membuangnya di luar lagi seperti yang telah kulakukan pada saat giliran Cut Riska tadi.
“Sshhh… aahhh…. sshhh… aahh…” erangku sendiri merasakan nikmat di batang Aseng junior yang terendam dalam nikmat luar biasa di liang kawin sempit. Aku memfokuskan dan menikmatinya sembari tetap memainkan objek lain. Sodokan-sodokanku semakin cepat dan lancar. Liang kawinnya terasa sangat licin dan sempit. Aseng junior sangat tertekan walo lumayan becek. Rasa basah memberi sensasi tersendiri dan rasa enak, geli-geli enak itu terasa. “Ahhh… Ahhh…” erangku bersiap-siap dan pada waktunya langsung kucabut.
“Crooottt… croott… crottt!” spermaku lagi-lagi menyembur di atas perut perempuan cantik. Kental dan lumayan banyak. Kuperas-peras dengan menekan saluran di bawah batang Aseng junior, mengucurkan sisa kental berisi bibit subur terjamin yang sudah terbukti berhasil menghamili belasan binor sejauh ini. “Ahhh…” erangku puas melepaskan semua stimulasi pada tiga perempuan lain. Vagina basah Cut Cahya di depan hidungku, berkedut-kedut indah. Dua jari tengah becek habis mengorek liang kawin Cut Masita dan Cut Riska. Dan liang kawin Cut Intan yang becek dan masih berlubang kecil juga.
Aku duduk beristirahat dan berusaha membersihkan perut Cut Intan yang berselemak sperma kentalku. Keempat perempuan itu membaringkan diri berdampingan susun gembung (berdesakan rapat) di atas ranjang yang ternyata cukup untuk empat orang sekaligus. Keknya masih ada ruang untukku. Rasa nikmat habis ngecrot begini dengan pemandangan empat perempuan telanjang tepat di depan mataku, hasilnya sangatlah paripurna. Sempurna sekali. After taste rasa nikmat masih ada saat kubersihkan batang Aseng junior dengan tisu juga dan kutempatkan diriku di tengah mereka berempat.
Sentuhan kulit-kulit lembut mereka menyambutku berbaring berlima berdempetan sangat menyenangkan. Keempatnya kemudian cekikikan senang khas perempuan muda yang kompak akan sesuatu. “Huuhhh….” buang nafas panjang. “Enak, gak?”
“Enak, bang Aseeeng…” jawab mereka mirip koor lalu cekikikan lagi.
“Seneng, gak?”
“Senaaang, bang Aseeeng…” jawab mereka kembali koor diikuti cekikikan lagi.
“Apa rasanya cobak? Sakit, gak?” tanyaku pada Cut Intan yang tepat di kiriku. Disebelahnya lagi Cut Riska.
“Saket, baang… Tapi abes tu enak…” jawabnya lalu menutup mulutnya malu-malu. Aku menjawil hidung mancungnya.
“Enaaak…” ulang Cut Cahya di kananku dan disambut cekikikan lagi oleh Cut Masita disebelahnya.
“Tapi abang harus hati-hati…” aku ingin menjelaskan sesuatu pelan-pelan pada mereka berempat. “Kalo ini masuk kemari…” maksudku Aseng junior masuk ke capo mereka. “… abang akan mengeluarkan ini di luar capo kalian… Tidak akan di dalam capo…” pelan-pelan per kalimat kuucapkan agar mereka paham maksudku. “Kalo di dalam inong-inong peuet… empat… bisa-bisa hamil… Bunting…” lanjutku membuat setengah lingkaran di atas perutku.
“Cahya mau bunting…” ini anak malah mengacungkan tangan dengan riang kek bunting jalan-jalan tamasya aja. Eh… Malah diikuti yang lainnya mengungkapkan hal yang sama, mau bunting juga.
“Tunggu-tunggu… Bunting tidak semudah itu, inong-inongku… Pertama kalian tidak punya suami… Kedua keadaan kalian belum-lah stabil… Kalian belum bisa mengurus diri sendiri… apalagi nanti harus mengurusi bayi… Ketiga… masa depan kalian masihlah panjang… Jangan dulu dibebani anak…” jelasku sebaik mungkin agar mereka paham. Entah bakalan paham ato tidak penjelasanku ini.
“Bang Aseng aja jadi suami kami…” tukas salah satu dari mereka membuatku tak bisa ngomong lebih panjang lebar.
Bisa modyar aku kalo begini caranya. Masalah Vivi belum selesai dengan permintaannya, datang si Lisa sableng itu ditambah lagi keempat perempuan muda ini minta aku menjadi suami mereka. Auto langsung mati aku kalok kek gini ceritanya. Gak mati karena sumpahku, aku mati digorok orang rumahku.
——————————————————————–
Keluar dari kamar keempat inong itu, kepalaku agak pusing setelah harus menjelaskan beberapa hal pada mereka. Tingkat intelejensia mereka sebenarnya cukup bagus dan cepat tangkap. Mereka bisa paham hukum sebab-akibat yang kusampaikan. Seperti: jangan memberitahu Vivi; induk semang mereka berempat tentang hubungan yang sudah kami lakukan karena jadinya malah tidak enakan pada perawan satu itu karena ia juga mengharapkan posisi yang spesial dariku. Apalagi, apa jadinya kalo mereka sampai bunting. Badan menjadi semakin gemuk, melahirkan, menyusui, mengasuh anak. Semua itu perlu biaya yang banyak. Hal itu yang mereka tak miliki saat ini. Mereka harus lebih fokus pada pelajaran mereka agar bisa mengejar ketertinggalan mereka selama ini. Semua itu untuk mencapai hidup yang normal, beradab dan terhormat. Semua itu dapat mereka raih dengan cara belajar dengan segala fasilitas yang disediakan Vivi dan bantuan dariku juga.
Mereka berjanji akan tetap menyembunyikan hubungan kami dari Vivi, belajar yang giat, mencoba untuk tidak menjadi beban bagi orang lain. Aku juga berjanji akan mengunjungi mereka secara periodik seperti kesempatan kali ini. Rasanya sangat sayang kalo empat sebohai ini dibiarkan sia-sia tak terkentot, eh tersentuh.
Sebenarnya mereka minta diekse sekali lagi. Sekali lagi kalo dikali empat ya tetap empat kali ekse juga namanya. Kutak sanggup dan buru-buru keluar dari kamar indah penuh kenikmatan itu. Di depan pintu yang baru kututup, aku geleng-geleng kepala mengingat kegilaan nikmat yang baru saja aku alami bersama keempat inong itu. Seep kali-lah pokoknya!
Bagaimana keadaan Vivi? Apakah ia masih tidur? Aku mencoba mengintip lewat bukaan pintu kamarnya. Kurang lebar karena dari sudutku sekarang, ranjang perempuan itu tak terlihat, konon lagi keberadaan tubuh bugilnya yang terakhir kali kutinggalkan masih di atas ranjang. Aku melongokkan kepalaku melewati ambang pintu. Masih tak terlihat juga “Cari siapa, bang? Cari Vivi, ya?” Uih! Kaget aku. Wadaw-wadaw!
Di situ ia bersandar di dinding di balik pintu sambil memeriksa kebersihan kukunya. Vivi menutupi tubuh bugilnya menggunakan selimut seperti jubah panjang, membalut tubuhnya sekenanya. Ia hanya bergumam tak melihatku sama sekali.
“Enak, ya barusan… Langsung empat sekaligus… Sementara Vivi di sini cuma di-PHP terus… Abang lupa Vivi punya Ameng… Vivi liat semua…” katanya terus terang mencegah aku untuk berkelit. Ia tetap membersihkan kukunya. Berganti dari satu jari ke jari berikutnya.
“Maaf, Vi… Awak tetap gak bisa…”
Bersambung