Part #70 : Lisa Minta Dinikahi

“Bang Aseng… Secepatnya Lisa akan minta cerai pada suamiku yang masih di Australi sana… Dan bang Aseng segera menikahi Lisa setelah itu… Lisa akan convert menjadi muslim bila perlu…”

“Ini ada apa, Lisa? Kok minta awak nikahi?”

“Hanya ini caranya agar Lisa bisa selalu dekat dengan mbak ini…”

“Maksudnya?” tanya istriku.

Sebenarnya pernyataan panlok ini sudah sangat jelas maksudnya. Hanya saja istriku dan aku sendiri juga seperti tak percaya kalo ada orang yang akan mengatakan hal yang se-vivid ini. Lisa sudah jelas-jelas menunjukkan ketertarikannya pada istriku tanpa pura-pura sedikitpun.

“Ya… Hanya dengan cara ini Lisa bisa selalu dekat dengan mbak… dengan menjadi istri bang Aseng Lisa bisa selalu berada di dekat mbak… Lisa suka dengan mbak…” ia mengulanginya dan memberi penekanan kalo ia suka istriku. Tentu aja mata istriku membelalak lebar. Ia langsung beralih menatapku membagi rasa tak percaya itu.

——————————————————————–
“Tapi kalo suka kan gak harus dengan jalan seperti ini?” kata istriku jelas-jelas bingung kenapa hal seperti ini menimpanya. Disukai oleh sesama jenis. Kalo disukai lawan jenis ia bisa langsung reaktif. Kami saat ini ngobrol bertiga aja di ruang makan sekalian makan malam. Apalagi agak kurang pantas kalo didengar pihak lain seperti Tiara dan anak-anak.

“Semenjak melihat foto mbak di HP bang Aseng… Lisa langsung suka… Benar-benar suka, mbak… Bukan sekedar suka karena suka yang biasa-biasa itu… Kagum ato apalah itu… Suka untuk lebih dekat… Lebih dari dekat… Intim mungkin…” katanya lugas.

“Sebentar… Lisa suka sejenis? Lesbi?” kataku langsung tembak ke intinya aja. Ini namanya udah penyimpangan. Penyimpangan orientasi seksual. Terserah sih maunya apa. Tapi jangan ke binikku-la.

Ia menatapku untuk beberapa saat. Lalu beralih pada istriku kembali, menatapnya juga untuk beberapa saat. “Lisa sudah menikah-loh…” Pernyataan itu sama sekali tak menjawab pertanyaanku sebelumnya. Aku hanya nanya, apakah ia lesbi ato bukan. Itu saja. Tau aku kalo ia sudah menikah. Menikah dengan pria tentunya. Bukan dengan perempuan juga, kan?

“Dan kenapa Lisa malah suka ke istriku? Kenapa dengan mudahnya mau minta cerai ke suamimu hanya karena suka ke istriku?” tanyaku benar-benar tak paham seperti juga istriku yang tak paham jalan pikir perempuan ini.

Ia malah bangkit dari duduknya di seberang kami di meja makan ini. Ia mendekat padaku dan istriku yang duduk berdampingan. Ia meraih masing-masing satu tangan kami dan mengarahkannya ke dadanya. Terasa degub jantungnya yang berdebur kencang. “Terasa, kan… detak jantung Lisa?… Detaknya cepat… Berdebar-debar terus dari tadi… Lisa tak pernah merasakan ini sebelumnya selama Lisa hidup… Debar-debar yang terasa enak dan nikmat sekali rasanya…”

Aku dan istriku berpandangan. Itu seperti definisi orang yang lagi jatuh cinta.

“Lisa gak pernah merasakan debar-debar begini bahkan pada pacar-pacar Lisa sebelumnya… Bahkan pada saat suamiku melamarku… Kenapa saat Lisa melihat foto mbak… dan bertambah berdebar saat bertemu langsung dengan mbak… Jantung Lisa… Jantung Lisa berdebar-debar begini terus… Rasanya Lisa gak bisa hidup tanpa mbak…” paparnya terus menahan tangan kami berdua di dada kirinya. Ia menekankan tangan kami ke dadanya agar bisa merasakan debar yang dimaksudkannya. Memang tak bisa dipungkiri. Debar kencang semacam ini tak bisa dipalsukan kecuali pelakunya abis lari-lari ato setidaknya melakukan aktifitas fisik sebelumnya. Hanya saja aku bisa merasakan kenyal sebelah gundukan dada itu saat ini.

“Rasanya Lisa bahagia banget bertemu dengan mbak saat ini… Seneng banget… Lisa seperti menemukan kebahagian yang sudah lama Lisa cari-cari… Ternyata ada di mbak… Ini pertama kalinya, mbak… Tapi Lisa bukan lesbi…” tuntasnya melepas tangan kami berdua, berbalik dan kembali ke kursinya. Ia menunduk dengan mata terpejam.

Istriku tak berkata apa-apa selain memutar bola matanya lalu memberikan kode satu jari tangan miring di depan keningnya, kode orang senget (sableng). Aku setuju dengan pendapatnya tapi kami bisa apa dengan perempuan ini. Bagaimana dengan jantungnya yang terus berdebar? Akankah ia mendapat masalah kesehatan kalo terus-terusan dalam kondisi itu? Gagal jantung pulak nanti nih orang. Kasus awak jadinya nanti.

“… Lisa kira Lisa bakalan bahagia setelah menikah dengannya… Ternyata hanya kosong… Dia tidak jelek juga sebenarnya… Orangnya lurus-lurus aja hidupnya… Gak neko-neko… Pergi pagi pulang sore… Weekend jalan bersama… Liburan ke tempat-tempat yang menyenangkan… Dan baru ini Lisa tau sebabnya… Lisa tak merasakan debar-debar itu…”

“Jadi dengan menjadi istri bang Aseng… Lisa bisa selalu dekat dengan mbak secara legal… Muslim membolehkan suami memiliki istri lebih dari satu, kan? Biar saya jadi istri kedua… Izinkan saya mendapatkan kebahagiaan itu…” katanya menatap kami berdua penuh harap dikabulkan.

“Hei-hei… Sori, nih Lisa… Kalo kau mau membunuh suamiku bukan begitu caranya… Kau harus lebih dahulu melangkahi mayatku…” kata istriku langsung ngomong lebih terus terang. Baginya Lisa adalah tak lebih dari seorang pelakor. Apalagi ia tau persis kalo aku bakalan mati kalo kami mengabulkan permintaan gemblung kek gini. Tapi bagi Lisa yang tak tau duduk persoalan mendasarnya, tentu saja ia bingung dikatakan mau membunuh suami perempuan yang disukainya. Betul juga yang dikatakan istriku, aku baru teringat akan sumpahku itu. Gilak aja aku harus mati gara-gara perempuan miring kek gini ini.

“Udah capek kali aku dengar macam-macam modus pelakor mau ngerebut lakik orang… Tapi baru sekali ini kudengar ada taktik kek gini… Mantap kali acting-mu… Jempol!” ia bahkan salut dan mengacungkan satu jempolnya pada Lisa. Lalu jempol itu dibalik ke bawah. “Tapi jawabannya tidak…”

“Mbaaak?” melasnya mencondongkan tubuhnya ke arah istriku.

Ia hanya menggeleng. “Papa dah mau pergi kuliah, kan? Pergi aja dulu… Biar mama aja yang bicara dengannya… Biar dia puas-puasin berdebar-debar itu di dekatku…” Jyaah. Malah diusirnya pulak aku supaya pergi kuliah aja, meninggalkannya sendiri untuk menyelesaikan masalah yang kubawa ke rumah. Harusnya aku yang membereskan ini karena aku yang membawanya. Tapi dengan gagah berani dan yakin ia mau membereskannya untukku. Aku tau istriku itu orangnya gimana sehingga aku jadi gak sampe hati pada Lisa.

Setelah matanya mendelik-delik beberapa kali meyakinkanku, aku bangkit dan mengepalkan tangan teracung tanpa suara, ‘Semangat!’ padanya untuk menghadapi Lisa yang super ngebet. Aku lalu berangkat pergi untuk mencari kitab suci ke Barat. Ke kampus, ding.

Kuliah malam ini yang begini-gini aja terus gak ada yang sangat-sangat spesial. Hanya Julio sesekali yang memeriahkan suasana dengan kepribadiaannya yang ceria. Apalagi kebanyakan penghuni kelas ini adalah orang-orang dewasa yang sudah bekerja dan berkeluarga. Jadi bawaannya lebih serius menjalani kesehariannya. Untungnya karena mayoritas penghuni kelas ini adalah pekerja yang tak punya banyak waktu luang, kami sangat minim mendapat tugas. Kalopun ada, itu dipersiapkan dalam jangka panjang dan diberitahukan jauh-jauh hari ato diberi tengat waktu yang fleksibel. Yaa… Mana harus kerja, urusan rumah tangga, ditambah lagi tugas kuliah.

Vi2: jangan lupa

Aseng: jgn lupa apa?

Vi2: perjanjian kita. awas klo lupa

Alamak! Si Vivi nagih perjanjian tadi pagi ini lagi. Gigih juga tuh anak pengen petting lagi. Menjadikan keempat inong yang ia tampung di rumahnya sebagai alat tawar terbesarnya. Padahal udah kutawari ia uang bulanan sebagai pengganti biaya makanan, pakaian dan apapun yang pastinya tidak sedikit selama mereka dalam pengawasannya.

Aseng: iya ingat loh

Vi2: pulang kuliah langsung kemari ato?

Aseng: liat nnt aj

Vi2: ok c u di rumah

Wah… Harus memuaskan Vivi jadinya malam ini lagi. Inikah harga yang harus kubayarkan demi kemaslahatan keempat inong itu? Aku sama sekali belum cerita apa-apa tentang keempat inong itu pada istriku. Vivi juga gak ada cerita apa-apa sama sekali. Ia bermain dengan dengan sangat cantik menutupi semuanya. Tapi ia memainkan kartu yang dimilikinya juga dengan sangat cantik. Menggunakan keempat perempuan muda yang sebaya dengan dirinya itu sebagai alat yang membuat diriku jadi sedemikian intimnya dengan gadis perawan itu.

Intim walo hanya sebatas petting yang sangat panas karena pada kesempatan pertama kali kami melakukannya, kami berdua sudah dalam keadaan telanjang bulat di kamar hotel itu. Dan dari chatting kami barusan, Vivi menungguku di rumahnya. Dan itu artinya kami akan melakukan petting ini di kamarnya.

Kalo diingat-ingat, Vivi udah pasrah aja kalo aku menjebol kesuciannya. Ia rela menyerahkan semua tubuhnya padaku sebagaimana yang selalu disampaikannya agar aku mengambil dirinya sebagai kekasih. Kekasih gelap gitu mungkin. Kalo hanya sekedar teman tidur ato hanya bantuan untuk dihamili tanpa ada embel-embel perasaan yang bermain di dalamnya, aku masih bisa melewati sumpahku pada istriku dengan aman. Sumpahku yang berjanji padanya untuk tak ada yang lain di dalam hatiku, tidak bisa kupenuhi kalo aku menjadikan Vivi sebagai kekasih. Walopun cuma sekedar kekasih gelap seperti yang ia tawarkan.

Kenapa enggak sekedar pacaran aja, pura-pura pacaran-lah katakan. Pura-pura sayang-sayangan dengan Vivi padahal tak punya hati sedikitpun. Bukannya itu lebih baik? Dapat tubuhnya, sumpahku aman, semua senang, semua aman. Tapi untuk berapa lama? Untuk berapa lama aku bisa tahan dalam kepura-puraan itu? Apa lagi awak ini orangnya gampang sayang. Jiaaah. Mau gara-gara itu aku langsung mati? Itu namanya bodoh kali.

Bodoh mana sama dengan buat sumpah mati begitu?

Itu semua demi, coy… Demi pujaan hati. Bukan apa-apa ya, kan? Tau sendiri awak ini cemana ya, kan? Bejat-bejat kimak kek gini. Tau dia aku ini orangnya kek mana. Cem mana mau meyakinkan dirinya kalo aku bisa bertanggung jawab untuk masa depan kami berdua kalo aku sebejat ini? Apa enggak nanti di tengah jalan kami berdua bubar jalan. Mana ada perempuan mau ada dalam ketidak pastian semacam itu. Kalo ada itu adalah kebodohan yang hakiki. Dan siapa pulak yang mau sama perempuan bodoh semacam itu?

Sebejat-bejatnya diriku, tentu aja tetap mendambakan keluarga yang sakinah, mawadah warahmah. Tentu menginginkan keluarga yang damai, sejahtera dan aman. Teringat kalimat jargon template yang sering dipakai di kawinan ‘sakinah, mawadah warahmah’ ini aku jadi teringat kata-kata si Kojek waktu kawinannya dulu. Sangking seringnya bergaul denganku dan Iyon, saat diminta memberi kata-kata sambutan setelah selesai pemberkatan dirinya menikah di gereja HKBP di kampung Porsea sana, ia menggunakan kalimat template ini. Sontak aku dan Iyon yang nunggu di luar gereja guling-guling mendengar kata-katanya yang terdengar lewat pengeras suara. Katanya, sempat terdengar suara jangkrik di gereja itu setelah ia mengucapkannya. Istrinya juga membenarkan.

Owalah, Jek-Jek. Padahal kata-kata yang konon disadur dari Al Quran itu sebenarnya universal aja karena berdoa semoga kehidupan pernikahan mereka berdua akan damai tentram, cinta kasih atau harapan , dan kasih sayang di dalamnya. Tapi karena gak lazim aja sehingga menjadi aneh. Kojek membela diri karena ia bingung harus ngomong apa lagi.

Balik lagi masalah sumpah mati tadi, dengan aku memberi sumpah yang paripurna begitu kuat, istriku baru bisa menerimaku dengan segala kekuranganku. Apalagi kami sudah saling mengenal cukup lama. Jadi sudah saling paham karakter masing-masing. Dimana sisi kuat positif dan dimana sisi lemah negatifnya. Dan seterusnya hingga kami menikah dan sampai sekarang…

“Ada siapa aja di rumah?” tanyaku saat ia menyambutku di depan pintu. Vivi hanya memakai daster pendek selutut tak berlengan saat membukakan pintu. Supra X 125-ku kuparkir aja di teras tetapi gerbang pagar rumahnya sudah kugembok biar aman.

Vivi

“Ada semua di dalam… Cuma si Bens aja yang belum pulang…” jawab Vivi setelah melongok ke dalam. “Mereka berempat sedang belajar… Sri sedang menjaga Nirmala… Aman, deh…” katanya lalu meraih tanganku dan menyeretku sepanjang jalan menuju kamarnya yang ada di lantai dua rumah kompleks ini. Ada empat kamar di rumah ini, dua di atas dan dua di bawah. Kamar si Benget dan kamar bayi ada di bawah, kamar Vivi dan keempat inong di atas. Vivi terus menyeretku menaiki tangga dan tak lama sudah masuk ke kamarnya yang langsung dikunci rapat. Senyumnya lebar.

“Kita gak seharusnya melakukan ini, Vi…” kataku setelah menghembuskan nafas yang lebih mirip dengusan.

“Vivi jadi nakal banget ya, bang?” katanya yang berdiri tepat di depanku.

“Bange~~ttt…” sahutku mengikuti gaya bicara si Benget lalu menoyor keningnya dengan seujung jari. Ia gelak terkekeh.

“Ishh… Bang Aseng gak pantes banget ngomong kek gitu…” cetusnya maju semakin mendekat lalu memelukku tepat di pinggang. Ia lalu merapatkan kepalanya di dadaku. Tingginya yang hanya segitu membuatnya malah tambah imut. “Vivi kangen sama bang Aseng…”

“Ya udah… Vivi peluk awak aja terus kangen-kangenan… Gak usah pake petting-petting segala… Ya?” usulku. Karena ini sebenarnya kegiatan yang berbahaya. Aku gak bisa menjamin kalo aku bisa tahan lama-lama dari menembus kesucian Vivi. Aku ini hanya pria biasa aja. Pertahananku tidaklah begitu kuat. Imanku sangat tipis, nafsuku yang lebih besar karena dipunggawai oleh Aseng junior yang selalu mendambakan liang-liang sempit kepunyaan perempuan cantik. Ia tak pernah gagal dalam melaksanakan tugasnya.

“Bang Aseng gak suka petting sama Vivi?” sergahnya. Ia mencoba memakai senjata para perempuan yang mengkontradiksikan kata-kata. Menggunakan rasa bersalah para lelaki agar mau mengikuti apa mau kaumnya. Membuat para lelaki terjebak. Misalnya kujawab gak suka, ia akan menggunakan tubuhnya sebagai alasan. Iyalah, bodiku gak seksi, aku gak cantik, aku gak memuaskan abang. Kalo kujawab suka, trus kenapa kemarin bang Aseng gak masuk aja dan mengambil kesucianku? Dilema, kan?

“Awak lebih suka dipeluk begini aja…” ini mungkin jawaban yang lebih cerdas kurasa. Mengambil jawaban ketiga yang tak ada di opsi pilihan yang diberikannya. Mulutnya manyun dan jadi cemberut.

“Kalo cuma mau pelukan aja… setidaknya sun di sini, dong?” katanya menunjuk bibirnya yang terlihat lezat dan ranum sekali untuk dikecup. Ia kembali menebar umpan beracunnya. Agar aku terjerat. “Ayo…”

Aku menunduk dan ia menyambut dengan memejamkan matanya. Dasar anak perawan. Mau aja dikibulin. Aku bukannya mengecup bibirnya, hanya mengecup ubun-ubun kepalanya, lebih tepatnya batas tumbuh rambut di keningnya. “Cup…”

“I-ihh… bang Aseng, ihh…” ia menggeliatkan tubuhnya di himpitan tubuh kami berdua yang berdiri tegak di dekat pintu kamar ini, sambil menghentak-hentakkan kakinya. “Vivi minta di bibir bukan di jidat… Ulangi…” sergahnya manyun. Bibir bawahnya lebih maju dan pipinya menggembung imut. Ia tak segan-segan menempelkan gundukan menonjol payudaranya ke perutku.

“Vivi-Vivi… Itu yang awak gak bisa… Ciuman di bibir itu sangat intim bagi awak… Kalo gak ada perjanjian yang membatasi gak akan ada perasaan yang melebihi ini… awak gak berani… Awak gak berani baper…” ia tau lanjutan alasanku ini. Karena itu bisa membunuhku.

“Tapi Vivi mau… Terserah kalo bang Aseng gak baper… tapi Vivi pengen ngerasain dicium lagi… Ingat waktu di hotel itu… Itu first kiss Vivi… Sekarang Vivi mau lagi… Nyuu…” ia menyodorkan bibirnya lagi dengan mata terpejam.

“Dah…” aku menempelkan dua jariku yang baru kutempelkan dari bibirku sendiri ke bibirnya. Mata indahnya langsung membuka dan menyadari kalo hanya jariku yang menempel di bibirnya barusan ia kembali manyun. “Itu tadi udah-loh…”

“Gak aci (boleh) kayak gitu… Vivi mau kiss langsung gak pake perantara apa-apa… Hu-uh…” protesnya memukul-mukul dadaku gemas. “Ulangi lagi… Bang Aseng~~!” desaknya manja dan makin mengeratkan pelukannya agar aku gak bisa lari kemana-mana.

“Vivi apa bisa janji gak bakal baper-baperan, gak? Kalo gak bisa janji… awak gak mau…” jawabku gak kalah mendesak.

“Vivi kan maunya jadi pacar bang Aseng… Harus pake perasaan, dong… Biar bang Aseng juga suka sama Vivi…” jawabnya tak sungkan-sungkan lagi menekankan payudaranya ke perutku. Terasa sekali kenyal dadanya di balik daster tanpa lengan ini. Hanya saja ia masih mengenakan bra di dalam sana.

“Kalo Vivi pake perasaan… Baper-baperan… Sori, awak gak mau… Bahaya untuk awak…” sahutku langsung nyerah.

“Abang ini… Kayaknya dari kemarin itu ngehindar terus… Vivi kurang apa sih, bang?” ia makin cemberut. “Kenapa abang bisa nerima perempuan-perempuan itu?… Bahkan meniduri mereka dengan mudah… Kenapa Vivi tidak? Kenapa abang gak mau nerima Vivi… Vivi rela menyerahkan semuanya untuk abang… Vivi bahkan nerima keempat perempuan simpanan abang itu di rumah ini… Kenapa abang gak bisa ngerti perasaan Vivi, sih?” sekarang malah marah disertai merajuk.

Kuelus rambutnya untuk meredakan amarahnya. “Vivi yang cantik… Dengar, ya… Tentu awak menghindar… Siapa yang mau mati konyol begitu aja? Vivi gak ada kurangnya… Kelebihannya malah ada banyak… Vivi baik… pintar… cantik… pande masak… Tetapi itu semua bukan untuk awak ini… Awak udah punya kakakmu di sana… Ada Rio… Ada Salwa… Lalu kenapa awak bisa meniduri mereka… binik-binik orang itu… nerima mereka dengan mudah… Ini satu lagi alasannya,… karena awak ini bejat, Vi… Awak menebar benih dimana-mana tanpa harus bertanggung jawab karena mereka punya suami… Vivi dengar sendiri isi perjanjian awak dengan mereka-mereka itu… Juga yang penting lagi… tak ada hubungan yang lebih dari itu semua… Awak dapat enaknya… Mereka dapat anak yang lama mereka dambakan… Hanya saling tolong menolong… Tak ada perasaan yang melewati batas… Tak ada cinta-cintaan di sana… Tak ada sayang-sayangan… Tak ada romantis-romantisan kek orang pacaran…”

“Jadi kalo Vivi mengharapkan awak untuk sayang pada Vivi… cinta pada Vivi… pacaran dengan Vivi… Itu gak bisa awak kabulkan… Karena itu tidak akan mungkin terjadi… Nyawa tuh taruhannya… Tetapi kalo Vivi mau sama dengan perempuan-perempuan bersuami itu… Ayo silahkan… Kita buat perjanjian baru seperti mereka dan terima konsekwensinya… Hubungannya hanya sebatas saling tolong menolong, rahasia terbatas dua pihak dan bila Vivi hamil, Vivi tak bisa mengaitkannya pada awak… Kejam? Begitulah perjanjiannya…” paparku lumayan panjang lebar dengan nada sedatar mungkin yang kubisa tanpa bermaksud membuatnya tersinggung, tanpa emosi berlebih.

“Kalo Vivi minta cium di bibir bisa jamin gak baper… akan awak berikan… Tapi awak ragu Vivi bisa…” lanjutku pendek.

Ia terdiam.

“Bingung, ya?” sentuhku ke dagunya agar pandangan kami bisa bertemu lagi karena dari tadi ia terdiam dan hanya menatap kosong dadaku. “Awak minta maaf kalo awak udah membuat Vivi sampe baper begini… Apalagi udah meracuni Vivi lewat petting pertama di hotel itu… Sekali Vivi merasakan enaknya hubungan seksual walo hanya petting… Tubuh dan pikiran Vivi pasti akan ingat dan nagih terus kek narkoba… Saat ini perasaan ketagihan itu yang menguasai tubuh dan pikiran Vivi…” kukecup lagi rambutnya, posisi yang sama. Ia memejamkan matanya erat, meresapi rasa bibirku menyentuh rambutnya.

“Jangan terlalu dipikirin, ya… Dinikmati aja…” bisikku lalu mendorong tubuhnya menurut padaku. Tubuhnya tak melawan saat kurebahkan di atas ranjangnya. Di sini ia biasa tidur sendiri kala beristirahat. Wangi tubuhnya ada di ranjang ini. “Rileks… Jangan dilawan…” ujarku saat daster yang dikenakannya kuloloskan dari tubuhnya hingga kini ia hanya memakai bra dan celana dalam saja. Pakaian itu kujatuhkan begitu saja di lantai.

Vivi hanya melongo melihat perubahan situasi ini. “Jangan lupa bernafas… Yak… Begitu… Baguss…” lanjutku lalu membuka kemeja lengan panjang yang kukenakan hingga aku bertelanjang dada, masih bercelana panjang. Kucondongkan tubuhku ke depan hingga aku rapat ke arahnya dengan bertumpukan kedua tanganku. “Siap?”

“Pelan-pelan ya…”

“Gak awak gigit, kok…” sahutku hampir tertawa. Kek dah mau kuperawani aja nih cewek. Dan yang pertama kutuju adalah lehernya. Hembusan nafasku membuatnya bergidik oleh aliran udara hangat. Kukecup kulit lehernya yang langsung meremang memunculkan pori-pori. Bulu kuduknya berdiri seiring suara erangan kegeliannya. Nafasnya tiba-tiba berhenti saat bibirku bergeser di sepanjang lehernya. Hidungku terbenam di antara helai rambut lebatnya.

“Ahh…”

Lidahku mulai terjulur dikit membasahi dan mencicipi rasa lembut kulit lehernya. Vivi makin mengerang seksi akan rasa geli yang menjalar dari bagian lehernya. Bagi beberapa perempuan, leher adalah salah satu titik erotis. Entah bila Vivi disini juga titik itu. Aku menjilati lehernya pendek-pendek dan memalingkan wajahnya ke arah sebaliknya, mengekspos lehernya lebih terbuka. Lidahku melata seiring dengan tubuh Vivi yang mulai gelisah bergerak-gerak. Beberapa kali tubuhnya menegang menahankan luapan rasa nikmat yang masih berupa geli-geli enak itu. Suara erangannya masih irit-irit dan tertahan.

“Aahhnn…”

Erangannya lebih seksi sekarang saat telinganya kujilat. Ujung lidahku bermain-main disekitar telinganya. Bermain diseputar gerinjal lekukan cuping telinganya lalu mengulum gelambir berlubang tindik itu. Gerakan tubuhnya semakin gelisah semakin menjadi kala lidahku bermain dibalik daun telinganya. Tubuhnya bergoyang-goyang. Tangannya bahkan mencengkram pergelangan tanganku. Pipi kami saling bergesekan. Terasa pipinya yang halus mulus, hangat. “Aahh… Banng?”

Entah insting entah refleks entah cuma modus, ia berusaha menjangkau bibirku dengan bibirnya. Memanfaatkan jarak yang sedemikian dekat ini. Bibir kami berdua bersenggolan, bergesekan untuk beberapa detik saja. Kuanggap saja tidak sengaja dan aku menjauhkan wajahku dari wajahnya dengan mengincar bahunya. Vivi mengejar…

Aku menghindar dengan cara mengecupi lengannya. Tanganku bergerak mengarah pada strap bra-nya dan menariknya menjauhi bahu. Kedua strap itu kuloloskan dari tubuhnya sehingga bra yang melindungi sepasang payudaranya melonggar. Gunung kembar itu kemudian terpampang dengan sentosa begitu bra penangkupnya melonggarkan kungkungannya. Bra itu kini hanya nangkring di atas dadanya, di bawah leher. Kubenamkan mukaku di sana, kuhirup udara yang harum dari seputaran kulitnya yang lembut, mengandung kekenyalan hakiki. Vivi mengerang karena rasa nikmat yang tiba-tiba menyergapnya.

Mukaku kugesek-gesekkan di seputaran payudaranya dengan kecupan-kecupan kecil. Vivi makin kacau erangannya. Ia sangat menikmati sentuhan yang bermain di dadanya. Ini berarti rangsangan pertama di payudaranya sebab saat petting pertama waktu itu, aku sama sekali tak menjamah payudaranya. Hanya menikmati lewat pandangan aja. Dan ini benar-benar nikmat. Kenyal dan lembutnya nagih secara bersamaan. Itu juga yang dirasakan perawan satu ini. Geliat gelisah tubuhnya menggelinjang meliuk-liuk sangat menikmati perlakuanku pada sepasang gunung kembarnya.

“Ahh… ahh… auuhhh… mmhh…” erangnya dengan mata terpejam erat menikmati tiap sentuhanku. Padahal pucuk-pucuk dadanya belum kueksplor sama sekali. Putingnya sudah meremang tegang. Berubah warna dari coklat muda awalnya kini jadi lebih gelap tetapi lebih keras saat tersentuh gesekan bibirku. “Aaahhh…” jeritnya tertahan saat lidahku menyapu ringan, memberikan rasa dingin lidahku yang sedikit basah.

“Aahh…” ulangnya menjerit kecil saat kuulangi lagi sapuan lidah. Tubuhnya menggelinjang geli lebih lagi saat puting mungil itu kukulum dengan ujung bibirku. Pucuknya yang mencuat masuk ke dalam mulut lalu disentil pake lidah lagi. Alhasil punggungnya melengkung secara tak sadar mengejar kenikmatan yang baru sekali ini dirasakannya. Matanya membelalak kosong dengan mulut menganga. Tangannya meremas mencengkram lenganku dengan erat. Badannya menegang terutama pada bagian kakinya yang lurus segaris arah dengan tubuhnya. Apa gara-gara dua putingnya langsung distimulasi. Satu pake mulut dan yang satunya dipilin dengan jari.

Tubuhnya lemas tak berdaya. Walah… Dia udah orgasme duluan, toh?

Alhasil aku hanya mengecup-ngecup bagian tulang dadanya karena ternyata ia sangat sensitif di bagian gunung kembarnya hingga bisa memicu orgasme cepat. Ia hanya pasrah berbaring dengan tubuh lemas. Apapun yang kulakukan pada tubuhnya saat ini, ia tak akan menolak. Perempuan cantik yang hanya berpakaian dalam ini sudah sangat pasrah kuapakan saja. Kalo kuentot sekalipun, ia nerima aja. Aku beringsut turun, mengecupi bagian perutnya, lalu pusarnya. Tanganku sudah memegangi tepi celana dalamnya.

Tanpa perlawanan, Vivi membiarkanku meloloskan celana dalamnya. Segera terlihat kemaluan dengan rambut-rambut panjang jarang yang ujung-ujungnya mengarah ke belahan dua bibir vaginanya. Segera celana dalam itu tak lagi melindungi bagian bawah tubuh privatnya. Bagian tubuh yang berharganya sebagai seorang gadis perawan. Aku mengelus-elus pahanya sambil memuaskan mataku pada kemaluan indahnya, mengingatnya agar terpatri di otakku.

Dengan jempol, aku menguak bibir kemaluannya dan ketat labia mayora itu hanya bisa membuka sedikit saja di posisi ini. Aku harus melebarkan kedua kakinya untuk dapat akses penuh semua isi gua surga indah itu. Kemaluan yang hanya sempat kugesek-gesek saat petting sebelumnya menggunakan Aseng junior. Ini kesempatan untuk mencicipi rasanya. Vivi yang sepertinya sudah pulih dari orgasmenya tadi, agak sungkan membiarkanku melebarkan kakinya. Berat ia mengkangkangkan kakinya, sebuah hal yang sebenarnya sangat memalukan dan tabu. Tapi teringat akan keinginannya sendiri dan tak disangka ia sudah membentangkan kakinya dengan pasrah.

Berkat posisi kengkeng begini, aku bisa melihat dengan jelas isi jeroan onderdil vagina Vivi. Indah sekali perawan ini. Semuanya masih sangat orisinil lengkap dengan segelnya. Hanya aku yang pernah menjamah ini semua bahkan sempat melakukan petting untuk memacu nafsu menggunakan ini beberapa waktu lalu. Vivi memalingkan mukanya ke kanan, malu karena aku sedang memandangi organ privatnya dengan mata jalang. Apresiasi atas keindahan tubuhnya.

“Jangan diliatin gitu, bang… Vivi maluu…” bisiknya sembari menggigiti ujung kukunya.

“Gak usah malu… Vivi yang minta ini, kan?” sahutku lalu mendekatkan wajahku ke arah kemaluannya. Dari jarak yang sekian ini, aku sudah dapat menghidu aroma sisa orgasmenya tadi. Semakin kuat setelah semakin dekat. Vivi menganga kaget dan matanya membelalak melihatku menjulurkan lidah terarah pada belahan vaginanya yang terbuka lebar. Badannya kembali menegang, terasa dari pangkal pahanya yang kutahan agar tetap terbentang.

“Aaahh…” erangnya dengan menengadahkan kepalanya hingga ia menatap bagian belakang posisinya berbaring ini. Kembali tubuhnya bergetar. Lidahku sudah menjamah lipatan kemaluan Vivi. Rasanya sangat menyegarkan. Ada sedikit asam dan pahitnya, seperti halnya kehidupan yang juga ada manisnya. Lembab basah lipatan vaginanya sangat lembut dan bergerinjal. Lidahku menjelajah ke setiap penjuru bentuk seksi dambaan tiap pria ini. Gundukan tepi bibirnya lembut tak begitu tebal.

“Srruuppp…. sllrrruuupp…” kusedot-sedot kemaluannya dengan gemas.

“Aaaahhh…”

Kukilik-kilik kacang itil mungilnya. Belahan lembab yang semakin basah oleh liurku semakin memabukkan, mau disedot terus, dijilat dan dinikmati. Lidahku mencoba menyeruak masuk ke liang kawin sempitnya yang berupa lubang kecil nan sempit. Liang kawin yang masih perawan.

“Aahhh…”

Kujilat-jilat berulang kali. Kusedot-sedot tanpa jemu. Permukaan daging kemaluannya basah oleh ludahku dan aromanya menguar seksi. Merasuk memasuki rongga hidungku, memasuki medula oblongata, menjadi satu memori di dalam otakku. Paha punelnya kuremas-remas gemas selagi menikmati rasa enak empuk vagina perawan di hadapanku ini.

“Aaahhh…”

Vivi semakin meliuk-liuk tak karuan mendapat permainan oral mulut dan lidahku yang ‘memakan’ kemaluannya dengan ganas. Bagian bawah tubuhnya yang terkunci olehku tak dapat bergerak banyak. Lain soal bagian atas tubuhnya. Beberapa kali ia melengkungkan punggungnya, kepalanya terbanting kanan-kiri, tangannya mengais-ngais sprei ranjangnya sampe acak-acakan, meliuk kesana kemari, geliat liar seperti cacing kepanasan. Rambut panjangnya kusut masai seperti sapu ijuk sangkin jundetnya. Keringat bercucuran di sekujur tubuhnya. Sepertinya ia tadi orgasme kembali dan aku terus meng-oral vaginanya karena gemas tak dapat dicegahnya. Lidahku terus bermain lincah. Gemas akan perawan manja ini.

“Aaahhhhh… Ah ah ahh…”

Sejumlah cairan bening sedikit kental bertambah lagi di beceknya vagina Vivi pertanda ia baru saja mendapatkan kepuasan itu kembali. Pelan-pelan kucucup cairan nikmat penuh rasa dan aroma itu dengan sayang. Tanganku mengelus-elus pelan pahanya. Getar-getar gemetar tubuhnya masih terjadi sesekali saat jilatan panjang terakhir kulakukan untuk membersihkan kemaluannya sama sekali. Tapi masih saja lembab oleh kucuran berikutnya.

Kuseka mukaku dengan selimut yang terlipat berantakan di ujung ranjang berkat tendangan kakinya. Aroma Vivi ada di sekujur mukaku. Sekresi dari vaginanya sukses menempel di mukaku yang dengan ganas memakan kemaluannya. Tubuh Vivi terbujur lemas dengan tangan kaki terbuka. Kalo kucucukkan Aseng junior, pasrah-pasrah aja Vivi menerimaku dalam keadaan seperti ini. Aku ke kamar mandi yang ada di kamar ini untuk membersihkan mukaku lebih lanjut.

Ahh… Si Aseng junior… Kenapa kau? Minta jatah? Mau minta gesek-gesek ke vagina Vivi? Pengen ngecrot? Pengen enak juga? Nih, jatah! Kenak guyur air dingin kau, kan? Dah… Tidor sana!

Vivi masih di posisi tadi. Masih berbaring mengangkang menggairahkan begitu. Sepertinya ia tertidur akibat kelelahan. Kelelahan oleh deraan orgasme bertubi-tubi yang menghantam tubuhnya. Gak usah ditengok-tengok lagi, Seng. Nanti bangun lagi junior-mu, payah urusannya entar. Aku harus cepat-cepat keluar dari kamar ini sebelum ia bangun. Aku memakai kembali kemeja lengan panjangku yang gak terlalu kusut. Akal-akalanku aja agar tak ada aroma yang menempel di bahan pakaian ini saat bergumul tadi. Lebih sulit menghilangkan aroma asing di pakaian daripada kulit kalo kita tau taktiknya.

Bye-bye, Vivi… Mimpi yang indah. Tapi jangan mimpikan awak. Mimpi yang lain aja.

“E-eh?” kagetku karena ada tangan yang mendorong tubuhku saat beranjak keluar dari kamar Vivi. Ketika kutoleh cepat, Vivi masih di atas ranjangnya. Siapa ini? Dari tadi sudah ada di dalam kamar yang terkunci. Pintu lemari pakaian yang tepat di depan ranjang terbuka…

Sosok di belakangku ini terus mendorong tubuhku hingga benar-benar keluar dari kamar dan menutup pintu kamar Vivi. Lalu ia menarikku menjauhi kamar ini, menyeberang sepanjang ruangan luas yang merupakan ruangan santai dengan TV layar besar sebagai fitur utamanya, mencapai sebuah pintu kamar di seberangnya. Ada sebuah angka 4 yang merupakan goresan-goresan krayon yang cukup artistik di selembar kertas yang ditempel isolasi tiap sudutnya. Aku tak dapat mencegah tubuhku didorong masuk ke dalam kamar yang sudah terbuka lalu menutup kembali. Diblokir akses keluarku oleh pelaku pendorongku tadi.

“Dari mana…?” pertanyaan barusan yang dilontarkan terhenti saat ia menyadari ada sosok lain, sosok asing di dalam kamar yang mereka bagi berempat. Tiga Cut itu sedang merubungi sebuah meja rendah tempat mereka belajar bersama berhadapan. Ada Cut Intan, Cut Riska dan Cut Cahya. Berarti yang menyeretku ke kamar ini adalah Cut Masita. Ia sudah menyaksikan pergumulan petting-ku dengan Vivi barusan. Bersembunyi di dalam lemari pakaian di kamar Vivi. Waduh!

“Ketemu agam rayek!” seru Cut Masita yang di belakangku masih menghalangi pintu. Ada suara tepuk tangan kecil segala darinya. Mampos aku! Lepas dari mulut macan betina, masuk ke sarang empat buaya…

“Bang Aseng!” seru mereka girang sekali. Sontak mereka bertiga langsung bangkit dari posisi awal bersimpuh duduk di lantai sedang belajar dan langsung merubungiku seperti sekawanan semut menemukan sebutir gula. Padahal aku gak manis. Mereka berteriak-teriak gembira dan sangat terasa sekali aura senang juga girangnya. Seperti sedang meluapkan sesuatu. Tak ayal lagi tubuh ini menjadi pusat pelukan erat mereka beramai-ramai. Beuhh! Rasanya… La terkataken, pal. (Tak terbayangkan, bro)

4 Inong

Pernah kelen dipeluk, digencet dan diunyel-unyel sekaligus oleh empat perempuan bertubuh bongsor, sekel, bohay, semlohai kek keempat inong dara asli Aceh yang cantik-cantik begini? Inilah yang sedang menimpa diriku yang malang ini. Maksudnya yang sudah malang melintang di banyak liang sempit ini. Asli bingung, bro. Bingung harus gimana. Aku harus bersikap gimana? Aku harus berbuat apa? Aku harus bersikap seperti apa?

“Bang Aseng… Bang Aseng…” hanya itu yang kudengar dari mereka berempat. Keempatnya memelukku erat dengan wajah berusaha menempel kepada bagian tubuhku seperti sudah kangen berat. “Bang Aseng dari mana aja?” “Bang Aseng udah lama gak menemui kami…” “Bang Aseng masih mau bertemu dengan kami?” “Bang Aseng apa tidak rindu kami?” Itu beberapa pernyataan yang sempat kutangkap di antara kalimat lain yang kadang membingungkan karena masih bercampur bahassa daerah mereka.

Tentu aja faktor utama yang membuatku gelagapan adalah desakan dan dempetan kenyal gunung-gunung kenyal, empuk dan lembut yang menerpa beberapa bagian tubuhku bersamaan. Vivi sudah menyediakan pakaian yang memadai bagi mereka berempat. Tentunya yang terbaik ato setidaknya memadai untuk perempuan-perempuan dewasa bermental kekanakan seperti mereka. Tentunya mereka pasti sedang berusaha beradaptasi dengan penggunaan bra untuk menyangga payudara mereka yang bisa dibilang lumayan besar mengingat tubuh bongsor yang mereka miliki. Saat ini mereka tidak memakainya karena mungkin sudah diberi tips dan trik oleh Vivi untuk tidak perlu memakainya saat akan tidur. Mungkin sehabis belajar, mereka akan segera tidur. Sialnya bagiku, keadaan yang tanpa bra seperti saat ini yang sedang menggencet sekujur tubuhku.

Dikerubungi empat perempuan muda yang tak memakai bra!

Wow!

“Cut Cahya… Cut Intan… Cut Riska… Cut Masita… Apa kabar kalian semua?” tanyaku masih merem melek merasakan desakan empat pasang payudara di seputaran keliling tubuhku yang mereka peluk. Ini mungkin dirasakan Sultan yang punya beberapa harem sebagai koleksinya. Nyaman kali…

“Baik, bang Aseng…” “Sehat, bang Aseng…” “Baik, bang Aseng…” “Abang gimana?”

“Sehat juga awak… Bagus kalian sehat… Bagus-bagus… Lagi belajar, ya? Belajar apa?” tanyaku basa-basi berharap mereka mau melonggarkan pelukan maut mereka berempat. Hanya berharap dilonggarkan gak perlu dilepas. Aku menatap mereka satu persatu bergantian. Mereka saat ini sangat jauh berbeda penampilannya daripada saat di sekapan di gua bawah tanah di belantara hutan gunung Leuser beberapa waktu lalu. Kali ini lebih bersih, lebih berseri, lebih cukup makan, cukup perawatan, cukup mandi tapi masih tetap cantik.

Kamar yang besar ini harus dibagi mereka berempat. Vivi menyediakan mereka dua buah ranjang berukuran besar untuk masing-masing menampung dua orang. Sebuah lemari pakaian besar juga ada untuk menampung semua koleksi outfit mereka sehari-hari. Karena semua sudah dalam ukuran besar kamar besar ini menjadi lumayan sempit jadinya hingga mereka harus rela melakukan kegiatan belajar dengan cara lesehan di sebuah meja rendah.

“Vivi menyuruh kami belajar membaca lagi…” “Juga belajar berhitung…” “Belajar matematika…” “Menulis juga…”

“Yaa… Bagus… Kalian harus banyak belajar… Kerasan? Eh… Betah… Eh… Suka ada disini?” kataku hati-hati memilih kata. Mereka masih dalam tahap belajar jadi aku harus memilih kata yang mudah mereka pahami.

“Suka… Vivi baik…” Suka… Vivi pintar…” “Sangat suka di sini…” “Disini menyenangkan…”

“Sukurlah… Awak ikut gembira kalian suka ada disini… Kalian harus banyak-banyak belajar untuk mengejar ketertinggalan kalian…” kataku. Mereka terdiam. Mungkin tak paham makna kalimatku barusan. “Eng… Bisa gak… pelukannya dilepas? Awak gak bisa melihat kalian semua dengan leluasa…” ujarku memberi alasan. Terasa pelukan mereka satu per satu melonggar lalu sama sekali terlepas. “Fiuhh…”

Aku langsung ngibrit menuju meja persegi empat rendah yang mereka gunakan untuk belajar. Kuambil salah satu buku yang berisi pelajaran bahasa Indonesia untuk anak kelas IV SD. Mereka lalu duduk mengitariku di depan sisi meja yang tersisa. Tak perlu kupungkiri kalo aku senang melihat wajah-wajah ceria mereka berempat yang cantik berseri. Mereka sangat antusias menemukan diriku lagi di satu tempat tanpa harus berpura-pura lagi.

Walo mental mereka masih kekanak-kanakan, tapi mereka bisa memegang erat rahasia dengan teguh karena sampe sekarang tak ada selain pihak Ribak Sude dan lingkaran terdekatku yang tau masalah sebenarnya yang telah menimpa mereka berempat. Bahkan Vivi hanya tau kulit luarnya saja. Hanya sekedar tau kalo mereka sudah diculik saat masih kecil, disekap bertahun-tahun, dijadikan tumbal beberapa pihak durjana hingga akhirnya bisa diselamatkan keluar dari hutan itu dari pihak hantu Burong Tujoh.

Dan lebih dalam lagi, hanya kami berlima disini yang tau persis apa yang terjadi selama di dalam sekapan Nenek Te-tek. Dimana aku sempat menyetubuhi ketiga inong ini dan menyisakan Cut Intan saat Wewe Gombel laknat itu berencana untuk membunuhku begitu aku ejakulasi di salah satu dari mereka berempat. Itu pengalaman yang menegangkan sekaligus mengerikan. Bayangin abis ngecrot, mati! Apes kali ya, kan?

Ya… Mereka semua plus aku menyembunyikan fakta itu dari siapapun. Tapi aku menafikan abah Hasan karena ia bisa tau apapun. Tapi selain itu tak ada yang tau persisnya apa yang terjadi. Bahkan Iyon dan Kojek.

“Bang Aseng…” panggil mereka berempat dengan mata berkaca-kaca. Untuk sudah berapa malam mereka menangis seperti ini. Kuharap itu semua adalah tangisan bahagia sudah lepas dari marabahaya luar biasa berat untuk ditanggung. Mereka murni hanya memiliki satu sama lain. Bersama-sama mereka mengalami semua horor dan teror itu setiap saat setiap waktu. Ini saatnya masa bahagia yang harus mereka jelang.

“Kalian semua sudah aman…” kataku berganti-gantian menepuk kepala mereka tepat di ubun-ubun. “Ke depannya semoga kebahagiaanlah yang kalian semua dapatkan… Awak akan bantu pastikan itu semua…” Wajah-wajah mereka walo bercucuran air mata yakin dengan semua kata-kataku. Senyum-senyum mereka mengembang lebar. Senyum lebar dan menjadi tawa lalu berubah jadi kegembiraan.

“Baaang Aseeeng…” keempatnya langsung menyerbu, menerjangku sampe aku gelagapan. Aku terjengkang jatuh karena tubuh keempatnya menghimpitku di lantai. Menghujaniku dengan ciuman bertubi-tubi. Pipi, kening, mata, dagu dan bibirku berkali-kali mendapat tekanan sepasang bibir dari keempat inong bongsor cantik. Mereka saling bergelut untuk dapat kesempatan mencium bibirku yang mungkin poinnya lebih tinggi dibandingkan pipi yang luasnya lebih banyak dari seulas dua bibirku yang bermulut manis ini.

“Muah-muah-muah-muah…” keempat inong bernama awalan Cut itu berebutan untuk menciumi makin ganas. Bibirku jadi bulan-bulanan cumbuan. Terkadang bibirku mendapat kuluman. Terkadang lidah-lidah juga silih berganti menerobos masuk ke mulutku. Tanganku tak dibiarkan menganggur lama gak ada kerjaan. Diarahkan untuk menyentuh tubuh-tubuh mereka. Yang terjangkau olehku tentu saja dada-dada kenyal yang bergantungan bebas tak ber-bra. Alamak banyak sekali kerjaan untuk tanganku malam-malam begini. Segitu banyak susu yang minta diperah. Segitu banyak pentil susu yang minta dipilin.

Aseng junior-pun tak bisa dibiarkan damai dalam kurungannya. Sudah ada beberapa tangan yang berebutan hendak menyentuhnya. Berebutan terburu-buru hingga tak lama aku tak memakai celana lagi. Bagian bawah tubuh dan kakiku sudah terasa dingin. Lalu panas oleh sentuhan-sentuhan penuh nafsu yang terasa membakar. “Ahhkk…” erangku kaget. Kaget aku karena sebuah mulut langsung mencaplok Aseng junior dan langsung mengulumnya tanpa peringatan ato permisi. Langsung hap!

Selagi ada mulut yang bermain di mulutku, dari sela-sela wajah cantik yang menyerangku, dapat kulihat beberapa sosok yang berusaha melucuti pakaian mereka masing-masing. Yang sudah berhasil menelanjangi dirinya sendiri lalu bergantian menyerangku—menyerang mulutku.

“Tunggu-tunggu semuanya…” cegahku dengan nafas terengah-engah dengan cepatnya tempo semua ini terjadi. “Kita tidak boleh melakukan ini… Ini tidak benar… Kalian tidak boleh bertindak sejauh ini…” aku berhasil menarik perhatian mereka hingga menghentikan semua kegiatan gila ini. Kegiatan gila yang sempat kami lakukan di tengah hutan waktu itu. Tidak persis seperti ini kejadiannya, tetapi mirip-mirip suasananya. Kami berlima melakukan kegiatan seksual yang cukup gila.

“Bang Aseng tidak suka Cut Cahya?” tanya salah satu inong itu. Wajahnya mendadak sedih. Begitu juga dengan yang lain.

“Bukan-bukan… Bukan itu maksud awak… Kita hanya tidak boleh mengulangi ini lagi… Cukup atas perintah Nenek Te-tek aja kalian berempat patuh dan takut… Dia sudah kuhancurkan… Kalian semua melihatnya… Tak ada lagi yang memaksa kalian… Itu semua sudah berakhir… Jangan lagi…” kataku berusaha menutupi Aseng junior yang kimak-nya sudah ngacung. Apalagi di depan pemandangan empat inong ini yang sudah bertelanjang dada. Cut Cahya bahkan sudah telanjang bulat. Yang lainnya masih memakai celana dalam.

“Tapi ini bukan perintah siapa-siapa, bang… Cut Cahya hanya mau melakukannya dengan bang Aseng… Cut Cahya rindu sama bang Aseng…” sanggah Cut Cahya, inong pertama yang pertama kali bersetubuh denganku di hutan itu. Ia memegang pahaku menegaskan kata-katanya barusan, disertai gerakan mengelus.

“Vivi bilang… kami sudah besar… Rayek… Uereung rayek melakukan ini…” lanjutnya lagi. Pemaknaan kalimat tadi bukan seperti itu pelaksanaannya, nong.

“Bang Aseng tadi barusan sama Vivi… di kamarnya…” potong Cut Masita membuatku jadi mati kutu gak bisa mengelak. Mau kusangkal kalo kami cuma petting, gak bisa pulak. “Lon dengar abang bicara petting sama Vivi… Lon curiga… Lon sembunyi dalam lemari Vivi… Abang main-eh… dengan Vivi…” katanya dengan mengacung-acungkan jarinya tanda aku tak dapat berkelit.

“Ayo, bang Aseng… Bang Aseng tak rindu-kah sama Cut Cahya?” katanya lagi lalu beringsut naik ke pangkuanku. Paha kami saling bergesekan. Lembut kulit dan kenyal tubuhnya membangkitkan birahiku hingga menggebu-gebu. Apalagi pemandangan di sekitarku sudah sangat kurang ajar panas. Ada empat pasang payudara montok diumbar sembarangan. “Aahh…” desah Cut Cahya saat ia mendesakkan gunung dadanya ke mulutku. Pentilnya sukses memasuki mulutku dan otomatis menjadi bulan-bulanan mulutku. Ia memeluk kepalaku.

Gawat! Gawat ini kalo kejadiannya jadi begini liar. Aku sama sekali tak menyangka kalo mereka berempat selama ini memendam hasrat sebegitu dalamnya padaku. Memori yang sangat berkesan pada mereka berempat malah pada hubungan seksnya aja. Bukan pada momen penyelamatan mereka dari cengkraman hantu Burong Tujoh keparat itu.

Cut Cahya

Aseng junior terasa menggesek-gesek suatu belahan lembab di bawah tubuh Cut Cahya. Ia sendiri yang memegang dan mengarahkan batang penisku untuk memasukinya. Mulutnya sesekali membuka lebar saat ia menekankan kepala kenyal Aseng junior membelah kemaluannya sendiri. Ia bernafas berat berulang-ulang menahankan birahi kesumat yang membuat mukanya menjadi merah.

Ia menggigit bagian dalam pipinya saat perlahan ia menurunkan tubuhnya dan Aseng junior meluncur masuk menembus tubuhnya. Aseng junior meluncur masuk dan sukses bercokol di dalam tubuhnya. Terasa basah, sempit dan panas sekali. “Ahhh…” erangnya keras. Kemudian ia langsung memagut mulutku. Tubuh kami berdua bersatu di beberapa titik. Aseng junior menusuk dalam, ketat berpadu berdenyut kencang. Payudaranya tergencet tertekan erat di dadaku.

Kepalaku terasa sangatlah ringan saat ini. Aku tak bisa berpikir macam-macam. Hanya bisa menikmati saat Cut Cahya bergerak sesuka hatinya untuk membuat tubuhnya mereka enak dan nyaman dengan seks yang ternyata ia rindukan dariku. Ia bergerak naik turun, mengocok Aseng junior dengan menggunakan kelaminnya yang ditembus dalam. Hangat dan basah licin, membuatnya bisa bergerak dengan lancar keluar masuk. Aku meremas-remas kedua payudara bongsornya selagi kami terus berciuman.

“Baangghh… baangghh… Aahh… ah ah ah…” erangnya karena gerakan aktifnya yang naik turun mengopyok Aseng junior-ku menggunakan liang kawinnya. Rasanya sangat nikmat sekali. Ini bukan binik orang. Ia milikku seutuhnya. Ia hanya mau melakukan ini denganku seorang. Apalagi dengan ketiga temannya yang lain. Bisa kupastikan hal yang sama juga. Alamak… Ada empat perempuan muda yang cantik luar biasa rela kuapakan saja. Mungkin ini rasa bahagia dan nyaman para Sultan banyak duit dengan banyak selir pengisi harem-nya.

Ketiga teman Cut Cahya yang bergerombol di sekitar kami juga tak tinggal diam. Tangan-tangan mereka bergerilya melakukan sentuhan erotis. Mulutku sekali waktu dibajak oleh Cut Riska dan Cut Masita di kanan-kiriku. Saat itu terjadi, Cut Cahya lebih liar lagi menggerakkan tubuhnya memompa Aseng junior di dalam kemaluannya.

Kedua tanganku yang berkarya di dada Cut Cahya direlokasikan menuju payudara lain, dada Cut Riska dan Cut Masita tentunya. Tetapi aku punya keinginan lain dan bergerilya ke lokasi lainnya. Tiga inong ini sekarang sekarang menjerit-jerit seksi bersahut-sahutan karena jari-jariku berkelana ke bagian kemaluan mereka yang berambut lebat. Segera aku menemukan kacang itil mengeras dan belahan basah dengan liang kawin ekstra sempit di lokasi sakral tersembunyinya. Cut Riska hanya beberapa kali berhubungan seks sebelumnya, klaim si Nenek Te-tek baru saja belah duren. Sementara pada Cut Masita, akulah yang melakukan belah duren itu. Memberi kesan yang dalam padanya.

Jariku tentu saja kesulitan menusuk dua lubang lubang sempit milik dua perempuan muda ini. Keduanya meringis dan mendesah merasakan kobelan jariku mengutik-utik kemaluannya. Aku harus merangsangnya terus agar membuka jalan jariku menusuk hingga nanti giliran Aseng junior pada waktunya.

Cut Cahya masih saja menggila dengan gerakannya liarnya. Kadang ia mengganti gerakannya dengan gerakan maju mundur ato berputar-putar, geol-geol memabukkan bak penari dangdut profesional. Memulas Aseng junior di liang sempit miliknya. Ia meminta mulutku kembali yang sedang dinikmati Cut Masita. Mulut kami saling pagut kembali. Lidahnya kuajak bergelut dan ia mengikuti seperti pelajar yang patuh. Jari-jariku semakin becek dengan limpahan cairan pelumas kemaluan dua Cut yang sedang kukobel vaginanya.

Apa kabar Cut Intan? Satu-satunya perawan yang masih tersisa di antara mereka berempat. Ia ada di belakang Cut Cahya, duduk di atas kakinya, menggesek-gesekkan dadanya ke punggung temannya itu dan menggesek selangkangannya pada kakiku. Ia sama antusiasnya dengan ketiga temannya ini. Apakah ia sudah tau sakit dan perihnya proses belah duren itu? Nanti saja itu kupikirkan… Karena sebelum sampe ke dirinya, masih ada tiga temannya yang belum selesai kupuaskan.

Bersambung

gadis binal
Calon Pengantin Wanita Yang Berselingkuh Ayah Mertua Di Saat Resepsi Pernikahan
Menikmati Memek Mulus Tante Meli
Pembantu Tetangga Minta Di Ajarin ML Bagian Pertama
cantik
Cerita sex suami yang tak mampu memuaskan nafsu ku
karyawan indomart cantik putih mulus bugil
Foto ABG masih lugu tubuh putih mulus genit di ranjang
Di ajari Enak Enak Sama Tante Sendiri
pacar anak kampung
Cerita ML dengan pacar baru ku yang masih perawan waktu rumah nya sepi
Foto Selfie Abg Cabe2an Kampung
pembantu perawan
Cerita sex gara gara melihat daster bibi yang tersingkap
tante liar
Liar nya permainan tante yang cantik dan semok
tante montok
Hangat Nya Tubuh Mbak Nia
Foto bugil tante cantik susu gede sudah lama tidak ngentot
gadis telanjang
Menikmati keindahan tubuh mulus yang telanjang di sampingku
bokep teller bca
Bercinta Dengan Pegawai Bank Yang Masih Perawan Bagian Dua
tante hot
Tante Ratna Sang Rentenir Cantik