Part #69 : Kok jadi petting
Sudah dua minggu ini kehidupanku berjalan normal-normal aja. Lancar-lancar aja. Tak ada gangguan supranatural apapun yang mengusikku ato orang-orang di sekitarku. Keempat inong yang tinggal di rumah Vivi kabarnya cukup kerasan berada di bawah naungan Vivi yang bisa mendidik dan merawat anak-anak bertubuh dewasa itu.
Kegiatan mereka sehari-hari tentu saja masih diseputaran rumah Vivi saja. Keempatnya diberi tugas yang berbeda dalam mengurus rumah. Cut Intan yang diberi tugas untuk membersihkan lantai dasar rumah. Itu tentunya menyapu, ngepel dan bersih-bersih perabot. Cut Cahya untuk yang lantai dua. Berikutnya adalah Cut Riska untuk mengurus pakaian; mencuci dan setrika seluruh pakaian penghuni rumah tentunya. Dan yang terakhir, Cut Masita diberi tanggung jawab untuk memasak dan urusan dapur.
Vivi sudah mulai menghadapi trauma yang berujung phobia pada api dirinya hingga di rumah ini mulai memiliki kompor walo masih berupa kompor listrik, pemasak air listrik, microwave. Itu sudah termasuk lompatan kemajuan karena sebelumnya benda-benda itu tak pernah ada di rumah ini. Dalam urusan dapur Cut Masita dan Vivi kadang-kadang bekerja sama. Tentunya diawasi si Benget yang ternyata lebih piawai dalam urusan dapur. Berbagai macam menu coba-coba udah mereka buat yang hasilnya tentu aja dimakan mereka sendiri. Sejauh ini belum ada yang diare karenanya yang artinya lumayan-lah.
“Lumayan…” komentarku merasakan sesendok nasi goreng dingin yang tersisa di piring Vivi. Ia memaksaku mencicipi masakan kolaborasinya dengan Cut Masita untuk menyiapkan sarapan ini. Aku singgah sebentar ke rumah Vivi sebelum berangkat kerja. Maksudnya hanya melihat bagaimana kabar mereka setelah beberapa hari ini.
“Vivi ambilin untuk bang Aseng, ya?” ia berseri-seri mendengar komentarku yang tak menjelekkan makanannya.
“Gak usah, Vi… Awak udah sarapan tadi… Ini cuma sebentar aja…” tolakku dengan cara mencegahnya pergi mengambil masakannya itu.
“Huu… Bang Aseng gak seru… Cobain makanan Vivi, dong? Dikit aja… Ya?” desaknya mencoba melepaskan tangannya yang kutahan. Ditarik-tariknya tangannya dengan paksa agar lepas. “Lepasin, bang…”
“Gak usah-la, Vivi… Awak pigi aja-la kalo gitu…” ancamku dengan pergi lebih cepat dari harusnya.
“Eh… Main ngancam…” ia mengendurkan tarikan tangannya. “OK…” ia duduk kembali ke hadapan piring sarapan kosongnya. “Tapi nanti malam harus petting…” ia menyipitkan matanya dengan senyum licik. Tawar menawarnya lebih pro dan semua lebih menguntungkan buatnya.
“Kok jadi petting?”
“Perjanjian satu pasal kita… Petting…” ia mengingatkanku dengan mengacungkan satu jari telunjuknya akan perjanjian satu pasal kami kalo aku boleh menitipkan keempat inong itu di pengawasannya dengan ganti kami akan sering-sering melakukan petting. Sejauh ini kami baru satu kali melakukannya dan sekarang ia menagihnya lagi. Kami terdiam untuk beberapa saat.
“Apa itu petting?” sekonyong-konyong si Cut Masita muncul dan kepo nanya arti petting. Tentu aja kami berdua jadi gelagapan di meja makan ini. Dari tadi kami hanya berdua aja di sini karena mereka sudah selesai sarapan duluan dan langsung mengerjakan bagian tugas masing-masing. Cut Masita yang bertugas di dapur dapat dengan mudah sampe kemari.
“Aa… Itu.. Apa, ya?” bingung Vivi malah melempar tanggung jawab padaku.
“Penting maksudnya… Bahasa apa itu petting…” asal aja aku berbunyi walo gak terlalu nyambung. Vivi mendelik-delikkan mata belonya padaku.
“Orang tadi Masita dengar petting, kok… bukan penting… Nanti malam harus petting… Gitu tadi yang Masita dengar dari dapur…” ulang Cut Masita apa yang sudah didengarnya makanya ia sangat kepo akan arti petting. Mata Vivi makin mendelik padaku.
“Nanti malam bang Aseng harus kuliah… Makanya penting…” jelas Vivi lalu mencubit tanganku sampe aku meringis.
“Tadi Masita dengar petting… bukan penting…” gerutunya.
“Eh… Udah jam segini… Awak berangkat kerja dulu… Takut telat…” aku buru-buru beranjak dari dudukku dan kubalikkan posisi kursi ke bawah meja kembali. Cut Masita mendekat dan bermaksud salim padaku, kebiasaannya kalo ketemu diriku. Ah… Manis sekali dirimu. “Vivi gak ikut salim?” tawarku karena ia tak kunjung bangkit dari duduknya. Ia hanya menggeleng.
“Nanti malam kuliah… Penting!” sergahnya pura-pura cuek. Padahal melontarkan kalimat terenkripsi penuh arti.
Di depan aku bertemu Cut Intan dan ia menyalim tanganku juga. Ia tersenyum lebar melambaikan tangan saat aku menjalankan mobil meninggalkan rumah Vivi. Aku lupa nanya pada Vivi mau petting dimana? Di hotel ato di rumahnya aja. Tapi di rumah gak mungkin, ada begitu banyak orang di sana. Ada keempat inong itu, ada baby sitter pengasuh Nirmala. Si Benget biasanya pulang tak menentu. Kalo kerjaannya banyak ia bisa pulang sampe tengah malam. Kalo senggang sore biasanya sudah sampe rumah.
Dua minggu dalam masa tenang begini, hari-hariku biasanya biasanya kulalui dengan biasa aja. Kuliah malam sehabis kerja. Sehabis kuliah lalu melaksanakan janji temu, kalo tidak dengan Mayumi-chan ya dengan pasutri Julio dan Amei. Terkadang di hotel, terkadang juga di rumah mereka dengan terlebih dulu makan ato sekedar nongkrong.
Memang sebenarnya nanti malam jadwalku kebetulan kosong yang harusnya bertemu dengan pasangan Julio dan Amei, mereka membatalkan pertemuan kami setelah pertemuan threesome terakhir kami beberapa hari lalu karena ada undangan pernikahan mendadak. Undangan kok mendadak. Tapi dengan demikian aku malah bisa menunaikan perjanjianku dengan Vivi yang dimintanya nanti malam. Mengenai tempat dan waktunya, nanti akan didiskusikan lebih lanjut dengannya.
Bagaimana dengan Farah dan Dea? Apa kabar kedua binor keturunan Arab dan Aceh semok itu. Setelah terakhir sempat threesome FFM dengan keduanya lalu menyambangi kediaman Basri di daerah Padang Bulan dan berakhir dengan terbasminya dua hantu Burong Tujoh; Mutee dan Tabek. Lalu aku terpisah dengan mereka berdua karena aku dibawa kabur oleh anggota Burong Tujoh ketiga; Nenek Te-tek ke hutan belantara gunung Leuser. Mereka tentunya bingung sekali mendapati aku yang kelelahan, hilang begitu saja dari jok belakang mobil Farah dengan cara misterius.
Setelah semua mereda, aku sempatkan bertemu dengan Farah tanpa Dea karena binor si Fahrul itu terbang ke Kuala Lumpur menyusul suaminya untuk program hamil mereka. Berduaan aja dengan Farah di rumahnya tentu aja berakhir kami bobok bareng memacu birahi. Binor si Hussein kugagahi beberapa ronde saat itu sampe ia puas kelelahan seperti sesi awal kami memulai ini semua. Aku hanya tinggal menunggu kabar baik saja dari mereka berdua tentang kondisi rahim mereka bentar-bentar lagi. Kalo masih sempat bertemu untuk secelup dua, kuanggap bonus aja.
Yang masih intensif kubina liang kawinnya adalah binor pak Ferdi, Mayumi-chan dan binor si Julio, Amei yang cantik. Bentar-bentar lagi juga aku akan mendapat kabar kehamilan kedua binor itu. Kalo Mayu-chan sampe hamil, itu positif anakku karena pak Ferdi steril akibat vasektominya. Sedang kalo Amei masih fifty-fifty karena selama threesome bersama pasutri itu, Julio selalu CIM, ngecrot di mulut istrinya aja. Aku malah yang kerap mengisi liang kawinnya dengan sperma kentalku. Entah kalo hanya mereka berdua saja, Julio ngecrot di dalam, who know.
“Kaaak… Udah ya, kak?” panggilku. Aku sedang berjongkok di samping meja kerjanya. Sedang mengelus-elus perutnya yang lebih besar akhir-akhir ini akibat hamil ini. “Awak masih banyak kerjaan ni, kak… Masak cuma disuruh ngelus-ngelus perut kakak aja…” kataku bete sekaligus pegel tau. Ini udah hampir 15 menit ini aku begini. Cuma ngelus-ngelus.
“Hhh…” cuma itu jawaban dirinya cuek dan terus bekerja. Ia sedang mengetik sesuatu di laptop-nya yang pastinya berupa rangkaian laporan ato follow-up rekap laporan dari beberapa bagian. Lalu ia membaca-baca lembaran hasil print yang baru diserahkan Tiwi. Si asisten yang gak tau kerja itu tertawa cekikikan di mejanya melihat aku yang diperlakukan semena-mena begitu. Mau kulempar printer aja rasanya itu binik orang.
O-iya. Waktu itu si Tiwi ini baru aja nikah ya kan, gaes. Ada sempat kusinggung di halaman berapa gitu dia ngasih undangan nikahnya. Kami sempat meledek dia yang baru masuk kembali setelah seminggu liburan bulan madu ceritanya padahal cuma liburan ke Danau Toba aja dua hari, selebihnya cuma kelonan di kamar. Alhasil untuk beberapa hari ia jadi bahan bully sekantor karena jokes pengantin baru silih berganti merundung dirinya. Tak terkecuali aku sendiri. Sindiran mesum kayak, “Sakit, ya? Kok jalannya agak ngangkang gitu?” semacam itu.
Balik lagi soal si kakak Sandra yang maunya aku di sampingnya, hanya mengelus-ngelus perutnya. Dari berdiri lalu jongkok dan sekarang duduk selonjoran di lantai kek bocah merajuk minta jajan. “Kaak? Kak Sandra…”
“Udah lu diem aja disitu… Perut wa mendingan kalo lu yang ngelus-ngelus… Diam aja disitu…” kata kak Sandra gak perduli dan tetap bekerja seperti biasa. Untung aja ada Tiwi di situ, kalo enggak, udah kuperkosa nih panlok bunting.
“Capek-loh tanganku, kak… Gantian sama Tiwi-laa…” tawarku. Si Tiwi di sana manyun mulutnya maju. Bawaannya pasti dah mau kabur aja tuh anak takut kena giliran disuruh ngelus-ngelus perut kak Sandra. “Lagian kerjaan awak masih banyak nih, kak… Laporan bahan baku baru aja masuk tadi… Udah mau digabung sama laporan minggu lalu…”
“Bentar… 15 menit lagi…” katanya setelah melirik jam tangan mungil di pergelangan tangannya dan lanjut kerja lagi. Benar aja, si Tiwi langsung ngacir keluar ruangan melarikan diri dan kak Sandra membiarkannya kabur karena itu orang memang gak ada fungsinya yang krusial-krusial amat. Aku hanya bisa menunduk dan melaksanakan niat awalku.
Kutarik rok panjang longgar yang mulai rajin dikenakannya akhir-akhir ini, dari bagian bawah dan jariku langsung menemukan gundukan cepet-nya yang masih terbungkus celana dalam. Aku mulai membelai-belai gundukan kemaluannya sekalian tetap mengelus perutnya. “Seeng… Wa masih mau kerja-loh ini… Bukan mau ngentot mulu…” katanya tapi tak berusaha mencegah tanganku.
“Seengaknya awak gak bosan duduk gak jelas kek gini terus, kak…”
“Wa gak bisa kerja kalo perut wa mules-mules terus… Ini kan hasil kerjaan lu makanya perut wa mules gini… Tanggung jawab lu buat nenangin perut wa…” katanya berusaha memasukkan logis pikirannya padaku. Hukum sebab akibat. “Perut wa bisa adem kalo udah lu elus-elus begitu… Cuma tangan lu doang… Wa udah coba beberapa orang… Tangan Tiwi udah, tangan Dani udah… Tangan Amek juga udah… Yang lain-lain juga udah… Tapi cuma tangan lu doang yang ampuh… Karena lu yang buat kali, ya?” katanya.
“Mungkin sih, kak… Tapi sehari-harinya gimana, kak?… Apa kakak udah bahagia?” tanyaku tak lagi membelai kemaluannya, hanya mengelus perutnya. “Ko Amek masih lebih sering di Singapur, ya?” lanjutku. Setauku suaminya awal-awal aja senang sekali mengetahui kak Sandra hamil sampe bela-belain datang walo harus transit beberapa kali berganti pesawat dari kota ke kota. Tapi akhir-akhir ini mulai cuek lagi.
“Wa hepi-hepi aja… Wa gak mikirin lagi si Amek itu maunya apa… Pokoknya ia sudah commitment untuk membiayai hidup wa dan anak ini… Konsentrasi wa saat ini cuma dua… kerja buat ngajarin lu orang… sama buat anak dalam perut wa ini… Gak ada yang lainnya…” jawabnya lumayan datar. Obrolan kami terhenti karena pintu terbuka dan kepala Tiwi nongol di sana.
“Ci… udah datang…” ujarnya masih di balik pintu.
“Suruh masuk kemari aja…” sahutnya lalu berusaha membereskan pakaiannya yang agak berantakan karena elusan tanganku. Kepala Tiwi lenyap dari balik pintu untuk menjemput seseorang yang dipersilahkan masuk itu. “Lu berdiri, Seng… Dia udah datang…”
Malas-malasan aku berdiri karena udah terlanjur lama duduk selonjoran disitu. Sudah datang orangnya. Kek mana sih orangnya ini? Dan pintu terbuka sekali lagi dan dua orang masuk. Yang pertama tentu saja si hijaber Tiwi dan satu lagi adalah seorang perempuan yang aduhai semoknya. Tiwi senyum mesem-mesem melihat mimik mukaku yang hampir ngences ngeliat casing mahluk indah yang sekarang berdiri di depan meja kerja kak Sandra. Tapi cepat-cepat kuperbaiki sikapku. Profesional, bro. Mau ditaruh dimana marwah posisi wakil Factory Manager kalo mukaku mesum kek gitu.
“Ci Sandra…” ia mengulurkan tangannya dan menyalami kak Sandra yang berdiri menyambut cewek uwuw ini.
“Selamat datang di pabrik ini… Udah gede aja ya, you…” sapa kak Sandra ramah. Mereka sudah saling kenal sebelumnya, beda denganku. Pernah dulu ngeliat cewe ini beberapa kali tapi hanya sepintas lalu. “Kenalin ini wakil wa… Namanya Nasrul… Tapi panggilannya Aseng… Kenalin, Seng…” ia menyodorkanku padanya.
“Aseng…”
“Lisa…” katanya memperkenalkan dirinya. Tangannya halus dan hangat. “Jadi saya di bagian apa nih, ci Sandra?” tanya Lisa balik lagi ke kak Sandra.
“Nah… Karena you buta sama sekali tentang bisnis pabrik kita ini… Wa mau you ikut sama yang udah berkarat di hampir semua bidang… Si Aseng ini orangnya… Dia pernah kerja di lapangan jadi bagian buruh pabriknya… Pernah jadi operator mesin… Pernah jadi bagian Quality Control… Bisa jadi pawang ular… Dia juga pinter mijet… Bisa macam-macam dia… He hehehehe… Makanya dia wa angkat jadi wakil wa di Factory Manager ini… Pokoknya dia orang yang bisa diandelin…” kata kak Sandra mendelegasikan tugas tambahan padaku, yaitu untuk memberi training pada cewek uhuy nan bohai ini tentang tugas-tugas yang akan diembannya. “Hanya saja dia ini masih kuliah… Kuliah malam… Jadi kalo you perlu lembur… you lembur aja untuk menyelesaikan kerjaan you orang…”
Lisa manggut-manggut paham akan tugasnya.
Siapa orang ini? Namanya Lisa Natalia. Itu nama yang tertera di KTP dan paspornya. Nama Tionghoa-nya aku tak tau persis. Tapi yang pasti dia adalah anak ketiga dari pemilik perusahaan ini; pak Asui. Setelah abang dan kakak yang ada di atasnya meninggal dunia, berarti sekarang ia anak tertua. Ia masih punya adik satu lagi yang masih duduk di bangku sekolah setara SMA di Singapura sana. Selaiknya orang kaya yang punya uang banyak, semua anak-anak pak Asui kuliah di luar negri. Seperti anak pertama yang di Inggris, kedua di Amerika, si Lisa ini kuliah di Australia. Sebenarnya ia sudah tamat beberapa tahun lalu tetapi tidak kunjung balik ke tanah air karena sudah menikah dan suaminya bekerja di sana. Jadi ia menetap di sana untuk beberapa lama. Entah bagaimana SSI bapaknya sampe ia jadi mau balik lagi ke Indonesia dan bekerja di sini.
“Selamat bekerja ya, Lisa…” kata kak Sandra menuntaskan briefing singkatnya.
“Kamsia, ci…” kata Lisa lalu berlalu dari ruangan kak Sandra karena sekarang mengikutiku. Meja, kursi dan komputernya sudah disiapkan persis di depanku dalam satu cubicle agar saat ia mulai bekerja hari ini, ia bisa langsung bekerja. Setidaknya kupikir aku bisa mendelegasikan sebagian pekerjaanku yang segunung padanya saat ia sudah bisa mengerti dengan beberapa tugas dan tanggung jawab yang kumiliki. Kak Sandra spesifik memberitahuku sebelum nih cewek mulai, kalo aku tidak usah memperdulikan status anak bos yang disandangnya karena pak Asui sendiri juga mau ia diperlakukan seperti karyawan-karyawan lainnya. Jadi kalo mau bekerja ya harus sungguh-sungguh bekerja.
Setelah meletakkan tas dan beberapa barang bawaannya, Lisa kubawa keliling kantor dan juga lapangan. Sebenarnya hanya ke balkon tempat kak Sandra biasa memantau langsung keadaan pabrik. Memperkenalkannya pada beberapa bagian yang pengawasannya langsung di bawahku. Jadi ceritanya Lisa ini jadi wakil dari wakil Factory Manager. Aku gak terlalu ambil pusing sebenarnya dengan skenario yang sudah disiapkan kak Sandra kalo ia berencana menjadikanku sebagai suksesor-nya kelak saat ia resign nanti. Kalo benar bisa terjadi demikian, ya bagus. Kalo enggak-pun aku gak terlalu ambil pusing. Karena sepertinya skenario itu sudah terbaca oleh pak Asui sebagai pemilik sekaligus komisaris utama perusahaan ini. Ia meng-counter skenario suksesi kak Sandra dengan memasukkan anaknya sendiri. Minimal saat kak Sandra mengambil cuti melahirkan kelak, pak Asui sudah punya kuku yang mencengkram lewat anaknya ini.
Sedekat apapun kak Sandra dengan keluarga pemilik perusahaan ini, se-berprestasi gemilang apapun kak Sandra selama memegang jabatan Factory Manager selama ini yang memang terbukti mampu menaikkan pamor dan keuntungan perusahaan, tetap saja ia seorang karyawan saja di mata para pemilik modal yang kebetulan bersaudara. Tentunya mereka akan lebih mudah menempatkan para sanak keluarganya untuk menduduki jabatan penting di perusahaan ini walo kurang kredibel sama sekali. Seperti halnya pak Bustami yang sekarang menjadi direktur, hanya direktur boneka yang tak tau menau tentang bisnis manufaktur yang perusahaan ini geluti. Hanya sekedar tanda tangan sana, ACC sini, OK sini dan silahkan situ.
Aku sudah membaca, kelak bila kak Sandra benar resign setelah melahirkan nanti, Lisa inilah yang bakalan menggantikannya. Ini skenario paling logis. Makanya ia dipaksakan masuk dan belajar semaksimal mungkin selama tenggang waktu itu. Tetapi itu semua tentu saja bukan pekerjaan mudah. Aku saja yang sudah bertahun-tahun berada di bawah kak Sandra masih sangat jauh mengejar ketertinggalanku darinya. Makanya ia memaksaku untuk kuliah lagi. Realistis sih sebenarnya. Aku gak mau ngoyo kali berharap bisa menduduki jabatan Factory Manager itu…
Untuk apa jabatan itu sebenarnya? Mengharapkan gaji yang lebih tinggi daripada yang kudapatkan sekarang di jabatan wakil Factory Manager begini? Uang yang jauh lebih besar kudapatkan dengan mudah dari SPBU milikku. Walopun aku sebenarnya juga merupakan direktur boneka di sana. Tetapi sebagai pemilik satu-satunya SPBU itu, gelontoran uang keuntungan yang terbesar tentunya mengalir kepada rekening perusahaanku. Belum lagi dari gaji yang kuterima sebagai direktur PT tersebut. Itu kalo besaran gaji yang menjadi patokan. Trus patokan apa lagi? Bukannya bekerja itu tujuannya mendapatkan gaji tersebut? Benar, itu tujuan paling utamanya dan satu-satunya motif aku bertahan selama ini. Untuk menafkahi anak istriku agar hidup berkecukupan, agar dapat makan layak, agar punya hunian yang layak, agar punya pendidikan yang layak. Pokoknya masa depan yang lebih baik daripada apa yang sudah pernah kukecap.
Jadi intinya, mau nanti jadi Factory Manager ato enggak ato malah tetap begini aja, aku gak terlalu ambil pusing. Pokoknya bekerja aja sebaik mungkin. Kuliah pada waktunya. Bersenang-senang dengan binor bila memungkinkan. Dan membantai iblis kalo ada yang mengganggu. Mau apa lagi yang bisa kulakukan?
“… setelah bahan baku ini diproses selama beberapa waktu itu… bahan-bahan pendukung juga harus ready ditambahkan secara berkala…” ulang Lisa pada beberapa langkah SOP bagian produksi yang kuminta ia ulangi setelah dihapalnya. Ia ternyata cukup cerdas dan cepat menangkap apa-apa yang sudah kuberitau padanya. Ia lalu mengulangi beberapa bagian lain walopun masih dalam artian umum saja yang berupa kata-kata. Selanjutnya ia harus melihat secara langsung semua proses yang sudah dihapalnya dengan konkrit dan itu artinya ia harus berlama-lama berada di lapangan, bersama karyawan-karyawan pabrik yang bisa dibilang bermacam ragam aromanya.
“Siap?”
“Harus siap…” jawabnya tersenyum kecut dan matanya tinggal segaris.
“Bagus… Ayok!” aku lalu maju ke medan perang dikawal oleh seorang perempuan cantik bahenol yang baru saja mulai kerja di perusahaan ini. Lisa kubekali dengan helm safety kuning dan juga sepatu safety. Ia memilih sendiri sepatu safety berlapis plat besi yang pas di kakinya. Tak lama kami sudah melenggang di pelataran pabrik ini untuk melakukan tur pengenalan padanya. Jadilah perempuan cantik berkemeja putih lengan panjang, celana panjang hitam di atas mata kaki, memakai helm safety, sepatu safety dan menenteng buku catatan jalan di sampingku.
Aku mengarahkan tur kami dari lini awal produksi, lanjut ke tahap berikutnya dan seterus-seterusnya semua kami arungi. Jadi hulu ke hilir proses produksi kami jalani dengan aku memberi deskripsi singkat tentang nama mesin, spesifikasi umumnya, jumlah operator yang bekerja di sana, berapa kapasitas per jam-nya, setelah proses produksi itu lalu dioper ke bagian mana, apa yang kemudian dilakukan. Hal-hal semacam itu.
Melihat mahluk cantik dan bahenol sekelas Lisa ini tentu saja jadi angin surga bagi pada penghuni pabrik yang didominasi kaum Adam yang selalu kepanasan. Kayak ada manis-manisnya gitu mungkin, ya? Lisa berjalan berpindah-pindah dari satu lokasi ke lokasi lain dengan tekunnya. Sesekali ia mencatat dengan teliti. Beberapa kali ia juga merekam menggunakan kamera HP-nya. Saat ia tertinggal ketika mencatat dan ia menyusulku aku jadi paham kenapa selalu ada mata-mata jalang yang memperhatikan gerakannya.
“Boink-boink-boink…” gelayut getaran geliat gundukan gunung menjulang di dadanya dengan indahnya berguncang-guncang saat ia berjalan. Padahal itu semua tidak ia sengaja. Tuhan menganugrahinya sepasang buntelan susu yang ekstra besar tentu saja untuk menyenangkan suaminya, untuk menyusui anak-anaknya. BUKAN UNTUK MATAMU! PAOK!
Para operator muka mesum itu mengacungkan dua jempol mereka padaku, berterima kasih sudah membawakan mereka tontonan gratis di hari sepanas ini. Hari ini memang sangat panas. Atap tinggi bergelombang yang dipasangi ventilator rotary tiap jarak beberapa meter tak sanggup menyejukkan bagian dalam pabrik. Bagi para operator dan aku sendiri, hal itu biasa aja, berpanas-panasan di area pabrik. Tapi tentu tidak bagi Lisa yang sebentar saja sudah bercucuran keringat.
Berkali-kali ia melepas helm safety-nya untuk mengusap peluh yang mengucur dari bagian kepalanya. Helm itu juga digunakannya sebagai kipas bergantian dengan buku catatan yang dibawanya. Tak lama aku tau hal lain yang membuat mata-mata mesum di sekitarku semakin melotot dan meneguk ludah. Mungkin juga ada kontol-kontol ngaceng di antara pemilik mata melotot dan mulut dower yang ngences bleber melihat cetakan melekat kulit basah oleh keringat di kemeja putih lengan panjang Lisa. Tali strap bra-nya juga jadi terlihat membayang di bahan pakaian yang basah itu saat aku perhatikan bagian belakang punggungnya. Ia bermandikan keringat.
Tentu saja. Ia belum pernah ada di situasi seperti ini sebelumnya. Anak orang kaya mana mungkin main panas-panasan seperti kami rakyat jelata ini. Kulitnya putih bersinar cenderung pucat. Putih bersih berkilau glowing perawatan prima. Kalo terkena mataharipun itu karena disengaja saat berlibur di daerah pantai yang tentunya terproteksi sun-block dan sejenisnya. Ato malah liburannya ke daerah bersalju.
Panas yang bukan main seperti ini membuat keringatnya bercucuran. Apakah ini penyiksaan baginya? Penyiksaan bagi orang kaya yang terbiasa hidup enak dan harus terjun ke realita kerja di lingkungan industri. He hehehe… Aku gak bermaksud begitu padanya. Gak ada maksud untuk menyiksa mahluk cantik nan rapuh ini sedemikian kejam. Tapi itu yang harus kulakukan sebagai seorang wakil Factory Manager yang ingin berbagi kenikmatan hidup berpeluh-peluh di teriknya area pabrik yang panasnya gak ketulungan.
Apalagi saat ia berbalik. Waduuh! Ngecap erat tuh semua bemper montok lagi masif di bahan basah kain pakaian putihnya. Padahal ia sudah memakai yang terbaik, yang ternyaman, yang paling menyerap keringat. Tapi masih aja tak mampu melindungi tubuhnya dari… dari mata jelalatanku. Mangkanya itu gunung jadi boink-boink bergelayutan manja. Cup bra yang terlihat membayang karena keadaan basah begini, terlihat sangat tak memadai menampung dua muatan berat. Kecil dan mungil. Tak sebanding ukuran cup-nya dengan beban yang harus disangganya.
Disengajakah masalah pakaian ini? Apakah ia sudah membayangkan hal ini akan terjadi? Seberapa siap ia untuk pergi bekerja? Aku tak akan bisa menyalahkan kalo ini adalah pekerjaan pertama yang pernah ia masuki. Tentunya ia akan dengan mudah menemukan pekerjaan, ia bisa memilih salah satu dari beberapa bidang usaha yang dimiliki pak Asui. Tetapi ia sampe di sini. Berpanas-panasan, berpeluh-peluhan sampe bagian tubuhnya nyeplak sedemikian indah. Memberi fan-service aduhai bagi mata kaum lelaki mata keranjang sepertiku dan beberapa pasang mata lainnya di sekitarku.
“Duuh… Panas ya, bang…” keluhnya mengipas-ngipas bagian atas dadanya dengan lembaran buku. Ia melebarkan sebelah kerahnya agar angin semilir masuk mendinginkan bagian dalam kemejanya. “Selalu panas begini, ya?”
“Ya… Tapi bagi yang biasa sih… biasa-biasa aja segini…” kataku curi-curi liat nyeplak bra yang menempel ketat di bagian depan dadanya yang membusung. Tekukan pinggiran bra cup kecil itu jelas membayang berwarna gelap di balik kemejanya. Ia bolak balik menghapus peluh yang mengucur dari dahi dan lehernya. Tetapi ia tak dapat mengelap yang meluncur turun di sekujur tubuhnya. Air peluh yang basah membayang di sekujur tubuhnya yang montok.
“Gak tau deh apa Lisa bakalan terbiasa dengan panas begini…” ia terus kipas-kipas. Gak mau terus membuatnya terus menderita, segera kuajak ia kembali ke office. Ngadem. Sepanjang jalan menuju balik ke kantor lagi kami hanya berbincang-bincang ringan berdampingan. Masih bisa menikmati getar-getar gundukan payudaranya saat ia berjalan. Entah apa ia paham kalo aku bisa melihat guncangan indah itu. Mungkin besok-besok ia akan memakai bra yang lebih memadai dari pada yang dikenakannya hari ini.
“Ci Sandra itu sudah hamil berapa bulan, bang Aseng?” tanyanya tiba-tiba saat kami akan mencapai kantor.
“Sekitar 4 bulan kalo gak salah, Lisa…” jawabku mempersilahkannya naik tangga besi yang menghubungkan tempat ini ke bangunan kantor.
“Lama juga berarti dia hamilnya, ya? Dari Lisa masih sekolah dulu… kuliah, tamat dan akhirnya Lisa married… baru ia hamil…” kata Lisa berbalik sebentar saat menaiki tangga sempit ini. Padahal aku baru mau menikmati megal-megol bokongnya saat menaiki tangga yang harus bergantian dilalui ini.
“Baru ini rezekinya, Lis…” jawabku sekenanya. Ia lanjut menaiki tangga dengan geol pantat aduhainya.
“Berarti Lisa yang baru dua tahun belum ada apa-apanya ya…” lanjutnya saat tiba di balkon tempat biasanya melihat keseluruhan pabrik. Dua tahun belum ada apa-apanya? Belum punya anak juga si Lisa ini?
“Dua tahun?” ulangku. “Kak Sandra sembilan tahun kalo gak salah…” kataku lagi. “Kek yang awak bilang tadi… rezekinya baru dapat setelah sembilan tahun berusaha… Mungkin nanti Lisa lebih cepat…” kulewati dia dan menuju pintu yang memasuki bangunan office. Aku jadi kepikiran, apakah anak ketiga pak Asui ini juga terjerat perangkap siluman monyet yang mengaku dewa itu. Siluman sialan itu sudah mengincar-incar dua anak pak Asui yang tersisa. Apakah ini bagian dari kejahatannya? Padahal aku sudah memusnahkannya sampai tak bersisa.
Duduk berhadapan lagi di cubicle kami, aku memberinya beberapa laporan untuk di-input ke komputer menggunakan contoh data yang sudah ada. Ia tak banyak bertanya karena sudah familiar dengan sistemnya dan tak lama ia sudah tenggelam dalam pekerjaannya, sebagaimana juga aku. Sesekali ia bertanya tentang beberapa hal minor dan kuberikan beberapa lembaran data yang perlu menjadi referensinya. Ia belajar dengan cepat. Tidak salah orang tuanya menyekolahkannya jauh-jauh sampe ke Australia segala. Pak Asui memang mempersiapkan semua anak-anaknya untuk terjun ke bisnis semua keknya. Apalagi dasarnya ia adalah perempuan yang cerdas.
Tak lama bunyi sirene pemberitahuan jam makan siang berbunyi. Lisa agak gelagapan mendengar suara bising yang mungkin asing di telinganya. “WIU WIU WIU WIU WIU WIU!”
“Apa itu, bang?” kagetnya. Badannya tegak. Mata bulat yang tidak sipitnya berkerjab-kerjab heran.
“Jam istirahat, Lis… Jam makan siang…” jawabku terus bekerja meng-input beberapa angka yang masih harus masuk ke deretan data ini. Ini kegiatan rutinku sehari-hari. Banyak memakan waktu tetapi dengan begitu kami bisa melihat progres pergerakan lini produksi.
“Makan siangnya dimana, bang? Bang Aseng makan dimana?” tanyanya sambil memegangi HP miliknya. Ia menerima pesan dan membalasnya dengan cepat.
“Kalo awak sih biasanya makan di sini aja… Nanti ada OB yang nganterin…” jawabku terus menginput data.
“Makan di luar, yuk?” ajaknya tetiba. Aku kontan menghentikan ketukan jariku di tuts keyboard dan memandang wajahnya yang oval proporsional.
“Di luar?”
“Ya di luar…” ulangnya pasti. “Biar kita lebih akrab lagi, bang Aseng… Kita akan sering-sering bekerja sama-loh…” katanya meyakinkanku.
“Di dekat-dekat sini gak ada makanan yang pantes buat Lisa-loh… Yang ada lumayan jauh… dan kita bisa terlambat baliknya…” kataku memberi alasan agar ia berpikir ulang.
“Ya… yang dekat-dekat aja… Lisa biasa kok makan yang biasa-biasa aja… Bakso… Mie ayam… Nasi goreng… Soto… Gitu… Apa aja… Lisa gak seperti itu-loh, bang Aseng…” katanya membantah kalo makanan itu gak pantas buatnya. Ia enggak orang kaya yang kek gitu. “Mau, yah? Lisa yang traktir, deh…”
“Ayok-la…” kataku setuju lalu bangkit. Tapi aku singgah ke pantry dulu biar sang OB yang biasa menyuplai makanan buatku gak bingung aku tidak ada di tempat saat ia mengantar nanti.
Tak lama kami sudah keluar pabrik mengendarai mobil Lisa. Camry itu meluncur mulus keluar dari Kawasan Industri ini menuruti arahanku karena ia buta sama sekali tentang lokasi kuliner di seputaran sini. Ia bersikeras kami mengendarai mobilnya dan ia yang tetap menyetir karena ini semua traktiran dia semua. Aku tinggal ngikut aja. OK… Sepertinya tipe-tipe perempuan yang dominan. Aku menunjukkan ia harus belok kemana untuk menuju lokasi tempat kami bakal makan siang ini.
“Jadi anak bang Aseng ada berapa?” tanyanya saat menunggu pesanan kami di warung yang lumayan rame siang ini. Tempat ini walo namanya warung tapi bentuknya udah mirip cafe ala-ala gitu. Cukup bersih dan rapi susunannya hingga gak malu-maluin kalo kuperkenalkan pada Lisa yang terbiasa hidup kaya. Siang ini sudah banyak yang makan di warung rasa cafe ini. Kebanyakan adalah para pekerja seperti kami juga.
“Dua… Yang paling besar cowok… Umurnya udah lima tahun… Bentar lagi masuk TK… Yang kedua cewek… Udah setahun lebih umurnya…” saat membicarakan anak-anak bisa selalu membuatku merasakan kebanggaan ini. Aku tak segan membagikan fotonya untuk dilihat Lisa dari HP-ku. Ia dengan antusias menerimanya.
“Ihh… Lucunya… Mirip bang Aseng semua, ya?” katanya scroll kanan-kiri untuk mempelototi anak-anakku yang tersimpan di galery fotoku. “Ini istri, bang Aseng?” ia menunjukkan layar HP-ku untuk memastikan foto perempuan yang dimaksudkannya. Aku mengangguk, itu memang istriku yang sudah ter-upgrade bodinya. “Wow… Istri bang Aseng seksi abis… Body goals-nya jadi banget… Ini nge-gym-nya berapa lama, bang?” ia geleng-geleng berdecak kagum akan tampilan orang rumahku yang ada di sana. Ia pasti mundur ke belakang ke koleksi foto beberapa waktu sebelumnya, sebelum body goals itu terjadi, saat masih berbodi original tanpa permak upgrade. Ia nge-zoom tampilan foto untuk melihat detail berkali-kali.
“Gak tau, Lis… Makan dulu… Keburu dingin…” kataku karena aku mulai menyeruput mie ayam milikku setelah terlebih dahulu menghirup kuahnya yang gurih. Ia masih mempelototi koleksi foto keluargaku. Tadi awalnya cuma nanya anak-anak, tetapi sekarang ia malah tertarik hanya pada foto-foto istriku.
“Ini Lisa harus kenalan sama istri bang Aseng kalau begini ceritanya… Ini parah abis, bang… Lisa aja tertarik banget ngeliat istri bang Aseng… Gimana kalo abang?… Tiap malam pasti dikelonin ini pastinya…” katanya gak pake direm-rem lagi. Ia seperti sedang menghadapi teman lama aja sambil membicarakan istriku. Kalo yang ngomong gini tuh sesama pria, udah pasti bonyok mukanya kena bogemku, hidungnya pasti pindah ke belakang kepala kubikin. Tapi ini yang ngomong perempuan juga, yang kalo boleh kunilai sebelas-dua belas-la bodinya.
“Ahh… Ada-ada aja-pun si Lisa ini… Emak-emak anak dua-loh itu…”
“Beneran ini, bang… Nanti kenalin, ya? Lisa pengen dengar tips-tips-nya biar dapat body goals kayak gini… Ini super duper amazing… Wow…” ia bolak-balik mempelototi foto istriku. Foto Rio dan Salwa tak diperdulikannya lagi sama sekali.
“Iya-iya… Itu makan dulu… Nanti abis waktu istirahat kita… Lisa belum makan sama sekali…” kataku menunjuk-nunjuk makanan pesanannya yang belum disentuh secuilpun. HP-ku diletakkan di samping piring makanannya, gak kunjung dibalikin. Saat layarnya meredup masuk ke penghematan batre, disentuhnya lagi agar kembali terang. Ia makan sambil geser kanan-kiri foto istriku. Banyakan liat fotonya dari pada makan.
“Beneran, yaa?”
“Iyaa…” jawabku setengah hati akan desakannya.
Ada-ada aja si Lisa satu ini. Takutnya si Lisa ini lesbong pulak sampe tertarik pada istriku sudah pada taraf ngebet gitu. Apa-la nanti kata orang rumahku kalo kukenalkan pada Lisa, mendapati perempuan itu sangat tertarik pada dirinya? Istriku tentu aja gak ada bibit-bibit suka sejenis. Yang ada malah nanti istriku yang gilo (geli) begitu tau tingkah Lisa nanti.
“Gimana anaknya?” tanya kak Sandra sore ini. Sebagian besar penghuni kantor udah pada pulang. Tadi sebelum aku beranjak masuk ke ruangan ini, kulihat Lisa sudah bersiap-siap pulang dengan mengumpulkan barang-barang miliknya. Kak Sandra masih melakukan sesuatu di balik layar laptopnya. Tentunya masih sibuk bekerja. Akhir-akhir ini kesehatannya makin membaik.
“Cepat tangkap sih anaknya, kak… Dia cerdas… pinter… Mudah memahami yang awak jelaskan… Lumayanlah…” jawabku.
“Cantik pastinya… Belum punya anak juga tuh… Bisa-lah lu prospek…” goda kak Sandra.
“Cibay-cibay… Kakak ni-pun… Tah hapa-hapa aja… Anak bos-pun awak disuruh ngembat… Gak cukup apa awak sama kakak sama Dani di sini?” kataku mengingatkannya akan dua skandalku di kantor ini, salah satunya dengan dirinya sendiri. “Apalagi keknya ni cewek… rada-rada lesbi gitu, kak?” kataku akhirnya memberitahunya hal ini. Aku banyak mendiskusikan hal-hal begini padanya dan ia cukup bisa diandalkan gak ember.
“Lesbi? Gak masuk radar lu kalau gitu, ya?” katanya sedikit antusias dengan menaikkan alisnya sedikit tapi terus mengetik menatap layar.
“Gak kek main lesbi-lesbian kakak sama Dani tapinya… Dia hanya sangat tertarik sama orang rumah awak, kak…” kalimat barusan baru bisa mengalihkan perhatiannya dari layar laptop dan melihat ke arahku yang duduk di hadapannya. Pandangannya lalu beralih ke arah pintu karena ada yang mengetuk dan membukanya. Padahal ia sudah akan mengatakan sesuatu yang urung diucapkannya.
“Bang Aseng? Belum pulang?” tanyanya ketika aku berputar untuk melihat siapa yang masih tertinggal di kantor sore-sore begini selain kami berdua. Untung kami gak melakukan hal yang aneh-aneh, kek ngentot misalnya. Tapi ini kok masih ada orang yang belum pulang? Ternyata Lisa.
“Eh? Kirain dah pulang…” kagetku tentu saja.
“Katanya tadi mau ngenalin Lisa ke istri bang Aseng… Lisa tungguin-loh dari tadi…” katanya masih tetap di ambang pintu tak kunjung masuk. Dia nungguin aku pulang untuk dikenalkan pada istriku. Niat kali nih orang. Ngebet lebih tepatnya.
“Ya, udah lu pulang sana, Seng… Dah sore, nih…” kata kak Sandra malah mengusirku. Padahal aku biasanya cabut dari pabrik menjelang Maghrib dan kemudian lanjut berangkat kuliah setelahnya. Dengan berat hati aku bangkit. Padahal maksud hati mau berlama-lama ngobrol dengan kak Sandra seperti yang selama ini kulakukan. Kami biasa membicarakan banyak hal dan sore ini harus terputus gara-gara ngebetnya Lisa.
“Ci… Pulang duluan, yaa?” permisinya lalu melambaikan tangannya pada kak Sandra yang dibalasnya dengan anggukan saja karena jari-jari tangannya masih melekat erat pada rangkaian tuts keyboard laptopnya.
Lisa mengekori mobilku untuk bisa tau rumahku ada dimana. Aku mengendarai Pajero ini tak terlalu laju agar aman dibuntuti walopun sebenarnya Lisa cukup mahir mengendarai mobil sedan mahal itu. Tak lama kami sudah memasuki kompleks perumahan yang kami tinggali untuk sementara menunggu rumah kami di Mabar selesai direnovasi. Camry-nya kusuruh parkir di depan basement aja agar nanti saat pulang mudah untuk keluar lagi.
Perempuan ini walo sudah lelah seharian tampak sangat bersemangat, sumringah bakalan bertemu istriku yang sangat dikaguminya walo hanya memuaskan netranya via tampilan di layar HP saja. Mencari mereka, istri dan kedua anakku sore begini agak sulit karena anak-anak random lokasi bermainnya. Kadang di tepi kolam, terkadang di salah satu kamar bermain, kadang malah di basement. Tapi tebakan pertamaku tepat mereka ada di kolam renang rendah kegemaran Rio. Batu-batu apung milik Banaspati geni yang sudah dinetralkan sudah beberapa waktu lalu kusingkirkan dengan kapur sirih made in dhewe. Hingga kolam ini sudah bisa diisi air kembali dan Rio bisa bermain lagi.
Salwa sedang disuapin makan oleh sang baby sitter-nya sedang istriku hanya duduk di kursi pantai, mengawasi Rio yang sedang bermain air ketika aku membawa Lisa kehadapannya. “Assalamu alaikum, ma…” sapaku.
“Waalaikum salam… Udah pulang, pa?” matanya langsung menangkap sosok Lisa yang mengekori keberadaanku. “Siapa, pa?” tanyanya setelah salim tanganku. Aku gak langsung menjawab pertanyaannya melainkan beranjak ke arah Salwa yang sedang lari-lari dikejar Tiara untuk disuapi. Kuciumi rambut lebatnya setelah kugendong. Ia menggeliat meronta mau berlari lagi.
“Teman kerja, ma… Katanya mau kenalan sama mama… Pengen tau rahasia body goals-nya keknya…” kataku asal ceplos aja membawa Salwa berkeliling pelataran kolam renang ini.
“Iya, mbak… Kenalin… nama saya Lisa… Saya sangat mengagumi perempuan seperti mbak ini…” katanya yang tangannya disambut istriku sebaik mungkin dengan menyebut namanya juga. Jabatan tangan keduanya tak langsung dilepas, ia tetap memegangnya untuk beberapa lama untuk memperhatikan sosok tubuh istriku yang berbungkus pakaian ketat dengan pandangan berbinar-binar seperti melihat hidangan makanan lezat saja layaknya. Sepertinya istriku baru pulang senam ato semacamnya. Kening Tiara aja sampe berkerut-kerut melihat ekspresi wow Lisa memelototi bodi semlohai istriku.
“Maa… Lisa ini anaknya pak Asui yang baru balik dari Australia itu-loh…” kataku memecah kebuntuan komunikasi akibat bengongnya Lisa menikmati lekuk tubuh istriku. Kalo yang melotot begini laki-laki aku mungkin maklum, tapi abis itu kutempeleng juga. Lah ini yang bengong itu perempuan juga! Apa ada desir-desir tertentu di dadanya? Apa ada pentil yang mengeras? Apa ada kacang itil yang tetiba gatal dan liang kawin yang basah gara-gara ia melihat secara live sosok istriku? Wajah cantik putihnya memang memerah saat ini. Apalagi bagian pipinya. Nafasnya pelan-pelan menjadi berat. Lalu ia beralih padaku seperti memendam sesuatu.
“Lisa kenapa?” tanya istriku heran dengan perubahan perempuan di hadapannya ini. Yang masih memegangi tangannya dengan sedikit remasan. “Lisa sakit?”
“Bang Aseng… Secepatnya Lisa akan minta cerai pada suamiku yang masih di Australi sana… Dan bang Aseng segera menikahi Lisa setelah itu… Lisa akan convert menjadi muslim bila perlu…”
Pernyataannya barusan tentu aja membuatku dan istri terhenyak kaget. Mulut kami berdua sama-sama menganga lebar. Ternyata Tiara juga sama kagetnya walo cuma kebetulan menguping. Hanya tiga orang yang tidak menganga kaget di sini, Salwa, Rio dan Lisa sendiri. Ini anak apa udah gila ya? Gak ada angin gak ada hujan mau minta cere sama lakiknya yang gak tau salahnya apa, terus minta dinikahi olehku setelah itu. Lah… Kami ketemunya aja baru hari ini. Dan kenapa aku harus menikahinya?
“Ini ada apa, Lisa? Kok minta awak nikahi?”
“Hanya ini caranya agar Lisa bisa selalu dekat dengan mbak ini…”
Wew weeew!
Bersambung