Part #68 : Dikocokin Panlok Amei

“Kalau disuruh milih… Amei lebih suka berdua begini aja sama bang Aseng-loh… Misua saya itu sangat pengertian, ya?” kata binor si Julio ini. Kami berdua sedang duduk bersandar di headboard ranjang hotel dengan menutup tubuh telanjang kami dengan selimut tebal dari terpaan hembusan pendingin ruangan.

Amei

“Iya… Sampe dia lebih milih kuliah daripada disini… Pengertian kali-lah…” jawabku sarkas. “Membiarkan istri secantik-seksi Amei ini ke tangan buaya darat kek awak ini… He hehehehe…” jawabku. Ada gundukan bergerak-gerak di hadapanku. Itu tangan Amei sedang mengocok-ngocok Aseng junior agar kembali bangkit kembali. Padahal kami udah dua ronde-loh saling pacu syahwat dan hasilnya cairan kental spermaku sudah bercokol di dalam kantung rahimnya..

Setelah hampir setengah hari bersama Aida, mengantarnya ke rumah sakit untuk bersalin, melumasi, melancarkan jalan lahirannya dengan kucuran sperma kentalku, memberinya semangat saat proses hidup dan mati itu, menyaksikan bayi cantik itu lahir, meng-adzan-kannya dan lalu menemaninya lagi sampe menjelang Maghrib—aku akhirnya bisa lepas dari itu semua karena mamaknya yang dari kampung sudah tiba. Ternyata ia tak menaiki angkutan umum, melainkan rame-rame dengan keluarganya yang lain menaiki kendaraan pribadi yang bisa lebih cepat. Lalu meluncur ke hotel ini, tempat janjianku dengan binor panlok; si Amei cantik ini.

“Sudah keras…” gelak pelan Amei merasakan Aseng junior sudah pulih kembali ke bentuk kekar tempurnya.

“Gimana gak keras… Ada panlok secantik Amei yang ngocokin… Hi hihihi…” balasku meremas gundukan besar kenyal togenya. Kudekatkan wajahku dan ia menyambut dengan membuka mulutnya. “Cupss… Mmb…” kami berpagutan sebentar saling serang menyerang bibir dan lidah.

“Enak ciuman sama bang Aseng… Waktu pertama kali itu… bang Aseng kek ngehindar-hindar gitu Amei rasa…” ketika mulut kami berpisah. Nyaman ngeliat wajah cantiknya.

“Gimana gak ngindar… si Julio dah nembak bolak balik di mulutmu… Jijik pulak aku ngerasain maninya dia pake mulutku… Emang awak cowok apaan?” jawabku jujur yang mungkin terasa lucu bagi Amei yang membuat binor cantik ini terkekeh geli. Remasan-remasan tangan kami tak berhenti. Aku meremas togenya, ia meremas Aseng junior.

“Oo… Gara-gara itu…” pahamnya mengangguk-angguk. “Iya, bang… Si Julio senengnya CIM gitu… Dari dulu kami pacaran dia terobsesinya nembak di mulut melulu…” jelasnya tentang kegemaran suaminya. CIM, Cum In Mouth alias ngecrot di mulut. Sensasinya memang sangat memabukkan tetapi hanya begitu aja sensasi nikmatnya saat ejakulasi. Padahal ada lahan yang lebih joss untuk diencrotin. Di liang cibay istrinya yang cantik seksi begitu tentunya.

“Sori-sori nih… Apa gara-gara itu Amei gak hamil-hamil? Sori-loh ini nanyanya begini…” tanyaku agak sungkan.

“Mungkin juga, bang… Karena bisa diitung berapa kali aja Julio membuang di dalam… Itu tadi… dia terobsesi hanya nembak di mulut…” kata Amei. Entah apa yang membuat Julio jadi seperti itu. Tapi yang namanya obsesi ya bisa macam-macam kan, ya? Nyiumin kaus kaki bekas juga kalo bisa membuatnya puas kita bisa apa? Sejauh ini ngecrot di mulut perempuan adalah hal yang membuatnya puas. Itu juga yang pasti dilakukannya pada pacar-pacarnya terdahulu saat prahara rumah tangga mereka kemarin.

“Tapi Amei nerima-nerima aja, kan? Walo segitunya mau si Julio itu?” kataku masih meremas-remas togenya terus. Luar biasa kenyal ini tetek binor. Gak bosan-bosan mengkremesnya.

“Pasrah sih sebenernya, bang… Amei gimana bisa hamil kalo nembaknya di mulut mulu… Kadang Amei akalin Julio pake WOT… Dia gak bisa ganti posisi dan nembak di dalam… Tapi cuma sekali-kali aja berhasil pake taktik itu… Seringnya malah Amei yang KO duluan…” kisahnya tentang kehidupan ranjang mereka berdua. Lucu tapi kok ngenes. Aku malah jadi teringat Vivi yang dengan lugunya mengira bisa hamil karena spermaku sedikit memasuki mulutnya.

“Dengan partner-partner trisam klian sebelumnya… apa mereka selalu pake kondom?… Si Surya itu?” tanyaku akan pengalamannya mereka sebelum aku.

“Ada beberapa yang pake ada yang tidak juga… Tapi pada gak berani nembak di dalam, bang… Badan Amei udah kayak lahan itu… lahan buangan aja…” katanya agak meringis mengingat itu semua. “Cuma bang Aseng aja yang terang-terangan berani begini… Julio gak keberatan sama sekali karena ia sebenarnya gak berani sama abang…”

“Gak berani macam mana? Cam apa kali awak…” patahku menafikan apa yang baru disampaikannya.

“Parang panjang yang abang keluarin waktu itu… Siapa yang bisa ngeluarin parang kayak gitu terus ilang lagi kayak sulap aja…” ia malah mengingatkan kejadian waktu perkenalanku dengan Amei di kafe itu. Memang aku memamerkan mandau Panglima Burung saat itu karena meluapkan kekesalanku saat itu yang telah diserang Banaspati geni setelah ngomong pada Julio untuk berbaikan dengan Amei. Yang dengan ajaib dituruti Julio. Tapi aku gak mendapat kesan kalo Julio takut padaku sama sekali. “Yaa… Julio gak pernah bilang sih, bang… Tapi Amei tau dia takut… Abang kan tau sendiri kalo dia ngomongnya suka blak-blakan… Itu sebenarnya hanya untuk menutupi kurang percaya dirinya aja…”

“Apa mungkin Julio… mandul, Mei?” malah itu kesimpulan yang kutarik. Kurang percaya diri. Menutupi kekurangannya.

“Mungkin juga, bang… Mungkin juga karena itu ia membuatnya seolah-olah ia punya obsesi untuk selalu CIM… padahal tak mampu menghamili Amei…” Julio mengkondisikan obsesinya itu sebagai penghalang untuk menghamili istrinya padahal ada masalah lain yang lebih mendasar. Kesuburan.

“Banyak juga ya masalah klian… Kalo awak bilang… biarin ajalah dia begitu… Laki-laki itu ego tinggi, Mei… Tau sendiri ya, kan? Gak usah diusik-usik… Nanti-nanti kalo klian maen berdua aja… usahakan dia nembak dalam lagi… Hamil Amei-la bentar-bentar lagi nih… Tunggu aja…” kataku sok yakin. Pede kali aku ngomong sesumbar kek gitu. Dah kek apa kali jadinya. Enggak-lah… Cuma nyenangin hati Amei aja-nya aku itu. Kalo masalah hamil-gak hamil itu masih hak prerogatif yang Kuasa.

“Haloo? Iya nih… Sama bang Aseng… Berapa? Udah dua kali-lah… Hi hihihi… Enak, dooong… Langsung kemari, kan? Kami tungguin, ya?” Amei mengangkat telepon dari suaminya. Sepertinya ia masih di kampus dan dalam perjalanan pulang. Ada jarak sekitar setengah jam sampe ia tiba kemari.

“Julio itu?” tanyaku melihatnya meletakkan HP-nya kembali ke meja kecil di samping ranjang. Ia hanya mengangguk, menyibakkan selimut ini menjadi terbuka. Amei bergerak ke arahku dan naik ke pangkuan. Dengan tangan ia mengarahkan Aseng junior memasuki dirinya sementara toge kenyalnya sudah menempel di mukaku yang segera kucaplok rakus.

“Aahhh… Uuuhh… Yaahhh…” erangnya begitu Aseng junior meluncur masuk dan membelah tubuhnya. Lancar berkat basah dan licin pertempuran sebelumnya. “Kita panaskan dulu sebelum Julio datang ya, bang? Uuuhhhh…” ia mulai menggerakkan tubuhnya. Berlatih untuk menguras isi kantong pelerku dan Julio nantinya. “Sekarang bang Aseng hamili Amei dulu… Yang banyaaak… Aahh!!”

——————————————————————–
“Loh? Kok udah mau pulang aja?” tanya Julio melihatku sudah berpakaian lagi sehabis bersih-bersih dari kamar mandi. Padahal ia baru aja sampe.

“Sori, bro… Ini orang rumahku dari tadi nelponin mulu dari tadi… Ngeganggu aja… He hehehe…” kataku menepuk bahunya. “Sori kita gak bisa trisam-trisaman malam ini… karena ini… Lain waktu kita buat jadwal lagi-la… OK?” kataku memberinya alasan. Padahal aku hanya ingin memberikan waktu lebih banyak bagi mereka berdua. Amei hanya bisa menatapku yang pergi meninggalkan mereka berdua di kamar hotel ini. Ia masih duduk bersandar di ranjang dengan selimut menutupi tubuh telanjangnya. Da-da da-da sebentar lalu aku segera cabut dari sana.

Hujan turun lagi malam ini tetapi karena aku bawa mobil jadi gak terlalu masalah. Aku jadi teringat kejadian dengan Banaspati banyu waktu hujan-hujanan waktu itu. Udah babak belur abis-abisan akibat tiga Banaspati itu disambung lagi dengan serbuan Burong Tujoh sampe aku melanglang buana ke hutan gunung Leuser. Gimana kabar keempat inong itu yang sedang dalam perjalanan menuju kemari?

“Samlekom abah? Udah sampe mana, bah?” sapaku pada abah Hasan. Gak pake lama ia langsung menjawab teleponku.

“Wa alaikum salam, Seng… Dah dekat nih, Seng… Ini lagi di… Ini di Binjai… Kami singgah dulu sebentar di sini… Anak-anak ini harus makan dulu… Nanti ana kabarin lagi kalo udah sampe Medan, ya?” jawabnya. Terdengar suara agak riuh di belakangnya.

“Mereka baik-baik aja, bah? Gak kenapa-kenapa, kan?” tanyaku agak khawatir akan keadaan mereka.

“Alhamdulilah baik… Pokoknya kita usahakan yang terbaik buat mereka… Antum juga harus benar-benar menjaga mereka… Yang menampung mereka ini bagaimana orangnya? Sudah siap?” tanya abah.

“Rumahnya udah disiapkan, bah… Mereka tinggal datang pokoknya…” kataku tentang kesiapan Vivi untuk menampung keempat penyintas mantan korban Nenek Te-tek. Tapi aku pasrah akan reaksi Vivi melihat bentuk postur empat anak-anak yang kumaksud ini. Tapi kami sudah menjalin perjanjian walo hanya satu pasal.

“Ana tidak khawatir tentang akomodasi mereka… asbab selama ini mereka biasa hidup prihatin… Yang ana tanyakan kesiapan orang itu… Sebab tidak mudah menghadapi masalah seperti ini… Dia ini teman antum?” tanya abah Hasan. Entah apakah beliau bisa membaca pikiranku dari jarak sejauh ini ato lewat media HP ini?

“Teman awak, bah… Rumahnya gak jauh dari rumah kami… Adik angkat istri awak juga… Dia juga yatim piatu, bah… Jadi sedikit banyak empati akan keadaan mereka berempat… Abah bisa menilainya kalo ketemu nanti…” paparku.

“Baiklah… Sampe jumpa kalo begitu… Gak mengapa kalau kami sampai di sana tengah malam, ya?”

“Gak pa-pa, bah…” jawabku masih menyetir di jam-jam sepi begini. Apalagi hujan masih mengguyur kota. Sambungan telepon terputus setelah ia mengucapkan terima kasih dan salam. Ini udah jam setengah sebelas. Aku gak bisa memprediksi apa yang akan terjadi nanti saat Vivi bertemu dengan Cut Cahya, Cut Masita, Cut Riska dan Cut Intan. Mereka yang kuperkenalkan sebagai anak-anak kok udah segede dan bongsor itu? Ini terjadi karena aku memainkan kata semantik ‘anak-anak yang disekap bertahun-tahun oleh hantu itu tengah hutan’. Bertahun-tahun kemudian tentunya mereka bukan anak-anak lagi. Sudah dewasa yang sepantaran dengan induk semangnya sendiri, Vivi. Hanya sosok mereka saja yang dewasa dan bongsor. Kepribadian mereka yang disekap tersembunyi, jarang berinteraksi dengan masyarakat, kurang pendidikan membuat mereka stagnan dengan kepribadian awal mereka. Anak-anak yang ketakutan akan teror hantu Wewe Gombel bertahun-tahun lamanya.

Rumah Vivi sudah selesai diperbaiki paska kerusakan yang disebabkan pertarunganku dengan tiga Banaspati waktu itu. Tukang yang dipekerjakan Benget lumayan cepat bekerja dan rumah mereka kembali pulih seperti sedia kala. Siap untuk menyambut empat penghuni barunya. Keempat inong.

“Dari mana aja seharian?” lirihnya hampir berbisik. Aku sudah nyampe rumah dan langsung ke kamar.

 

“Abis servis mobil… papa ke rumah kita yang di Mabar… Mamang itu ngasih tunjuk progres yang kita minta itu… Kamar-kamarnya udah siap… Kolamnya juga udah siap… Tinggal detail-detailnya aja…” jawabku merinci kegiatanku seharian ini. Kupeluk tubuhnya yang makin semlohai badai dari belakang. Kuciumi lehernya setelah menyibak untaian helai rambut pendeknya. Tanganku bebas menemukan payudaranya yang tak berpenyangga. Ia sudah bersiap tidur dari tadi.

“Abis itu?”

“O-iya… Pas papa pulang… Aida tetangga kita, nebeng mau ke rumah sakit… Gilak aja keluarganya gak ada satupun di rumah… Masak perempuan hamil besar gitu gak ada yang mendampingi… Papa yang nganterin ke rumah sakit… Sampe lahir-loh… Anaknya cewek…” lanjutku lagi. Semoga ia terkesan akan kegiatanku di masa libur ini.

“Oh… Abis itu?”

“Abis itu… ya nungguin mamaknya datang dari kampung baru papa bisa pulang… Kasian gak ada yang nemenin… Lakiknya aja gak bisa pulang karena sedang ada di proyek di daerah sana…” ia sepertinya kurang terkesan akan kisahku seharian ini.

“Oh… Papa yang ngadzanin juga, kan?” tebaknya masih di posisi semula, berbaring membelakangiku. Ia tak memperdulikan grepean tanganku di dadanya.

“Iya… Kok tau?”

“Tadi kan ceritanya gak ada orang di rumahnya… Cuma papa yang nganterin ke rumah sakit sampe Aida-nya melahirkan… Cuma papa-lah yang bisa adzan…” katanya. Aku udah dag-dig-dug seer menunggu jawabannya. Benar juga. Kirain apaan… “Trus ini ngapain? Mau lagi?” tanya istriku agak malas-malasan. Sepertinya ia sudah mengantuk.

“Ngantuk?” tanganku menjangkau pada titik rangsang yang jarang bisa ia tolak. Ia bisa basah dengan mudah kalo sudah disentuh pada bagian itu. “Yakin ngantuk?” bisikku menghembuskan nafas hangat ke telinganya. Jariku mengobel-ngobel jauh di bawah sana. Nafasnya mulai terasa berat. Tak lama aku bisa merasakan basah kelembaban kacang itilnya juga cairan yang mulai terbit membasahi kemaluannya.

“Seharian ini ngebantuin Vivi membereskan rumahnya… Ahh… Ada tamu yang mau datang… Vivi masih di sana… bareng si Bens… Lelah… Uhhmm…” tapi tak bisa memungkiri rasa enak yang berpusat pada bagian kemaluannya yang kugerayangi dengan nakal.

“Dengan bodi bohai kek gini… gimana papa membiarkan mama tidur dengan damai?” jariku makin gencar memainkan kacang itilnya. Sesekali merosot masuk dan mencolek liang kawinnya yang sudah becek. Secelup dua jariku mengambil cairan untuk semakin membasahi kacang itilnya yang mengeras. Istriku makin gelisah dan tubuhnya mulai hangat.

“Uuhhss… Papa udah apain badan mama hingga jadi kek gi-niiihh? Ahh…” bagian bawah tubuhnya menggeliat gelisah.

“Cuma digerepe-gerepe aja ini… Enak?”

“Buhh-khaann itu… Uhh… Kenapa bodi mama berubah tiba-tiba begini drastiiishh? Apa papa melakukan sesuatu di luar sana? Auuhh…” ia tak tahan dan membiarkan dirinya sendiri hanyut dalam rangsanganku. Ia tak lagi berbaring menyamping, sekarang ia terlentang dan membiarkan seluruh tubuhnya bebas kueksplor. Tanganku tetap menelusup masuk dari karet pinggang celana pendeknya dan baju tanpa lengannya kusibak ke atas, dimana gundukan besar payudaranya yang masih memproduksi ASi bagi Salwa itu terpampang jelas di depan mataku.

Jelas ia penasaran apa yang telah terjadi pada tubuhnya. Dari tubuh yang berisi penuh lemak paska melahirkan Salwa hampir setahun lalu, tubuhnya agak melar tentunya. Perawatan tubuh yang dilakukannya hanya tergolong biasa-biasa aja dan jarang berolah raga karena kesibukan mengurus rumah tangga. Hanya saat kami pindah ke kompleks ini saja ia sedikit longgar karena sudah ada para PRT yang mengerjakan itu semua. Tapi malah begitu, ia jadi tak punya kegiatan yang berarti. Tak ada kegiatan fisik sama sekali. Hanya sesekali ngurusin Salwa aja karena bergantian dengan baby sitter. Agak memulai olahraga beberapa bersama Vivi di gym tempat usahanya si Benget dan poof…

Bodinya bertransformasi dengan instan.

Ini tentunya adalah fantasi receh di kepalaku saja. Tak mengapa tubuhnya begitu. Aku tau diri tentunya. Ia jadi begitu karena ulahku yang sudah menghamili dan melahirkan anak-anakku. Itu konsekwensi dari melahirkan yang harus diterima para suami dari istrinya. Kalo cuma mengeluh tapi tak memberi fasilitas perawatan kan kimak namanya. Kasih dana lebih untuk perawatan. Ke salon kek, nge-gym kek, permak wajah kek ato apalah yang ia mau. Aku tentu akhir-akhir ini memberikan itu semua padanya. Duit tak masalah bagiku saat ini. Ia kubebaskan melakukan apa saja, beli apa saja, perawatan apa saja. Tapi dengan semua itu pun tak didapat hasil sedrastis ini.

Fantasi receh di kepalaku? Gimana kalo istriku punya body goals yang ideal seperti tubuh perempuan seumuran dirinya. Tubuh berisi, kencang padat, perut rata, pinggang sempit, toket gede menggunung, bokong padat meliuk. Yo hoho. Ideal sekalee ya, kan?

Beda. Beda waktu dirinya saat masih gadis dahulu. Dahulu ia seksi juga dengan tubuh gadis mudanya. Kalo enggak mana mungkin aku kepincut dan mati-matian mengejar dirinya walo seberat apapun. Tubuh wanita muda dan wanita matang tentu berbeda. Apalagi kategori MILF. Akan sangat menjadi nilai plus bila seorang perempuan yang sudah menjadi ibu punya body goals yang aduhai. Yang tak kalah kalo dibandingkan dengan perempuan-perempuan muda dari segi keseksian dan kesintalan tubuh.

Itu yang dimanfaatkan si Mutee pukimak kuntilanak merah itu. Ia tau persis nafsu para lelaki akan fantasi gila di kepala masing-masingnya. Saat mengincar diriku, ia menemukan fantasiku akan body goals sempurna tubuh istriku lalu mengaplikasikannya pada gambaran dirinya hingga aku terseret dalam jeratnya untuk beberapa saat. Ia berhasil beberapa kali menghisap energi tubuhku; nyedot spermaku. Untungnya berkat memoriku akan istriku juga aku bisa selamat dari jeratan mahluk laknat itu karena dia tidak akan menyakitiku sampe pada tahap yang sangat berbahaya.

Selesai membantai Mutee dan teman-temannya di kelompok Burong Tujoh versi Teuku Amareuk, body goals itu jadi permanen di tubuh istriku. Apakah itu tulah karena musnahnya Mutee dengan kemampuannya itu ato apa? Semacam kutukan? Semua ilmu kesaktian Mutee berpindah pada istriku? Menyebabkan aplikasi terakhir kemampuan menirukan fantasi targetnya melekat permanen pada objek fantasi itu sendiri. Kalo itu beneran seperti yang kuperkirakan ini, itu akan sangat hebat. Beberapa hari ini tak kudeteksi ada hal aneh di tubuhnya selain perubahan fisik drastis ini. Apakah aman kalo disebut anugrah sebab aku sudah menyingkirkan satu kejahatan yang menghantui umat manusia?

“Gak ada, ma… Tapi papa seneng kali… mama bodinya jadi kek gitar Spanyol semlohai gini… Makin soor awak jadinya… makin cinta awak…” gombalku di sela permainan lidahku pada puting mengerasnya. Jariku masih tetap mempermainkan kacang itilnya yang membuat dirinya gelisah. Geliat-geliat tubuhnya menandakan ia sudah sangat terangsang. Tangannya melepas celana pendek yang dikenakannya agar aku lebih leluasa menggerayangi kemaluannya.

“Banyak yang ngirihh… liat bodi mamaahh… aahh… Uhhm… Banyak yang nanyainnnhh… jughaa… Aahh…” gelinjangnya. Tangannya juga gerayangan dan menemukan Aseng junior yang menggembung di dalam celanaku. Dua hari aku udah maraton menggasak tubuh upgrade-nya ini. Sejak kembali dari hutan gunung Leuser itu, aku udah lupa sudah berapa kali menikmati tubuhnya. Aku menemukan surga baru di kamarku sendiri. Kusumpal mulutnya dan kami berciuman panas dan saling remas. Aku mengobel vaginanya dan istriku meremas-remas Aseng junior.

“Biar aja banyak yang ngiri… Istri siapa dulu…” kataku gombal saat ia mempreteli celanaku hingga lepas teronggok dilempar ke lantai. Aku melepas bajuku sendiri. “Aahh… Enaak, maa…” erangku saat mulutnya sudah mencaplok Aseng junior dan menyedot-nyedot rakus bagian kepalanya. Tangannya dengan lembut mengelus-elus bola pelerku. Ia tau persis bagaimana memperlakukannya karena cenderung ngilu kalo dimainkan berlebihan.

“Papa jadi tambah hot keknya, ya? Gara-gara ini semua?” pancingnya. Ia menekan-nekankan payudara kenyalnya pada keras Aseng junior. “Gara-gara ini?” ia menjejal-jejalkan ke masing-masing gundukan kenyal payudaranya. Lembut kenyal daging empuk itu sangat nikmat dibenturkan ke penis. Rasanya sangat nyaman. Rasanya paling the best pokoknya nih. Diputar-putarnya mengitari permukaan daging empuk dadanya yang membusung besar. Kepala Aseng junior kadang beradu dengan putingnya yang kaku. Lalu dijepit…

“Aahh…” aku refleks memompa payudaranya seakan mengentoti belahan dadanya. “Maaa… Enaak kaliii iniiihh… Ahh…” pinggulku maju mundur di jepitan payudaranya yang menelan keseluruhan batang penisku. Sisa ludahnya yang ada di sekujur batang Aseng junior membuat sensasi licin melancarkan gerakan maju mundurku. Ia menambahkan ludah baru. Terasa hangat meleleh dan merata di sekujur batang kemaluanku yang sudah mencapai taraf ereksi maksimalnya. Ia menjepitkan sepasang balon payudaranya dengan bantuan kepitan tangannya sementara mata kami saling tatap menyaksikan afeksi cinta yang menguar menjadi satu. Memperbaharui rasa yang sudah ada dan memperkuatnya. Aku memang butuh ini belakangan waktu terakhir.

Petualanganku dengan banyak wanita sekaligus tak dipungkiri bisa pelan-pelan mengikis asaku mempertahankan cinta padanya. Sehingga tak bisa tidak, aku membutuhkan ini karena aku hanya butuh ini darinya. Tidak dari yang lain. Seberapa indah dan menariknya sejumlah keindahan itu di luar sana.

“Yaaah… Ituuhh… Ya! Emmhh…” sekarang gantian aku yang melakukan oral pada vaginanya. Ia berbaring menelentang di ranjang ini sambil menggeliat-geliat seksi menikmati kemaluannya kuseruput pada bagian kacang itilnya yang sensitif. Kemudian lidahku menjilat-jilat rakus semua bagian belahan bergerinjal mirip tiram yang berwarna merah gelap ini. Kujilati setiap cairan yang keluar dari liang kawinnya seakan itu adalah minuman paling berharga. Tak boleh terlewat setetespun. Ia meraung-raung keenakan. Untungnya Salwa tak lagi tidur di kamar ini. Ia di kamarnya sendiri bersama sang baby sitter.

Tak lama, istriku sudah mendapatkan puncak orgasmenya dan menggelinjang menikmati sisa-sisa sengatan kenikmatan itu. Aku mempersiapkan diri dengan berada tepat di bukaan kakinya, bersedia untuk mencoblosnya. Ahh… Aku sangat menikmati penampilan baru istriku ini. Aku patut merasa beruntung mempunyai istri yang sempurna sepertinya. Baik hati dan juga seksi. Akunya aja yang kurang bersyukur…

“Aaauuhhh… paaa… Enaakkhhh-ahh…” Aseng junior terbenam dalam menerobos masuk dan langsung bercokol di sarang sahnya. Ini satu-satunya sarang tempat berlabuh Aseng junior yang legitimasi diakui bahkan oleh Republik Indonesia dan agama. Hanya di sini harusnya aku boleh berlabuh dan sumpah rasanya nikmat sekali. “Ummbb…” kupeluk tubuh sekal singsetnya dan mengajaknya berpagutan mulut kembali sementara Aseng junior masih bercokol diam. Aku sedang mencurahkan semua perasaan cintaku padanya seperti yang juga dibalaskannya padaku.

Puas berciuman, baru aku mulai menggerakkan Aseng junior memompa keluar masuk. Dan kami berdua sama-sama mengerang keenakan. Rasanya sangat tak terperi lagi nikmatnya. Kami berdua saling memacu nafsu yang dilambari cinta kental di dalamnya. Seks yang legal dilakukan sepasang suami istri di dalam rumah yang semoganya dalam keadaan damai. Aku bahkan meng-aminkan permohonanku sendiri. Seperti biasa, aku hanya bisa bertahan 15-20 menit saja sejak penetrasi dan aku sudah menyudahinya dengan semprotan deras spermaku setelah membuatnya orgasme terlebih dahulu menjelang aku ejakulasi.

Setelah istirahat, ia tau betul apa yang ia mau. Aseng junior sudah kembali mengeras, ia mengambil alih kendali dan menduduki selangkanganku dengan Aseng junior kembali menancap dalam di dalam liang kemaluannya. Ia mulai bergerak di gaya WOT ini. Ini posisi kegemarannya. Ia bisa mengendalikanku dan temponya sesuka hatinya. Ia bergerak-gerak naik turun, geal-geol, maju mundur sesuai dengan maunya apa aja. Sedapatnya ia mengejar kenikmatannya dan aku membebaskannya mau apa.

Aku dengan bebas bisa menggerayangi tubuh seksinya. Tanganku tak puas-puas mengelus dan meremas pinggul berisinya, pinggang langsingnya, payudara montoknya, paha padat dan tonjolan kacang itilnya yang sesekali mencuat terjepit. Erangan menikmatinya istriku akan percintaan kami membahana di kamar utama rumah gedong ini. Rumah yang sudah kami nikmati sebulan lebih ini. Tangannya menuntun tanganku meremasi dadanya. Kupermainkan pentilnya lalu gemas meremas lagi.

Tak lama ia orgasme kembali dan hanya bisa bergerak pelan berputar-putar dengan mata terpejam dan mulut menganga. Kutarik tubuhnya rebah ke arahku untuk mengambil alih gerakan. Sekarang giliranku untuk bergerak. Kami berciuman panas lagi untuk semakin memantapkan hubungan kelamin kami ini menjadi sebuah percintaan yang sangat berkesan. Kenapa aku sampe tega mengkhianati dirinya yang begini indah? Begini sempurna?

“Jyaaahh…” erangnya melepas ciuman kami saat Aseng junior kembali mengambil alih kendali dan bergerak cepat memompa vagina nikmatnya. Vagina yang sudah menjadi milikku sejak kami menikah lima tahun lalu. “Aaahhh, paahhh… Enaakhh, paahh… Ahhh…” erangnya merasakan sodokan cepat Aseng junior yang memacu syahwat kami berdua bersamaan. Tak ada yang perlu ditahan-tahan kalo sama-sama menikmatinya. Ini terlalu nikmat untuk ditahan. Tujuan utama ini semua adalah untuk mengejawantahkan perasaan cinta dalam bentuk bercinta seutuhnya.

Kami berdua mengerang puas dengan semburan spermaku kembali mengisi rahimnya yang dihalangi IUD, membuat bibit suburku yang sudah dua kali membuahinya, tak sanggup melakukan tugas utamanya. Kami belum siap untuk punya bayi lagi dalam waktu dekat ini sebab Salwa masih sangat kecil. Masih perlu banyak perhatian mamanya.

“Uhhmm… Mm… Ahh… Papa hot kali… Semangat 45 keknya… Kek biasa, sih sebenarnya… Tapi lebih hot… Gimana, sih? He hehehe…” gelaknya sambil mengecup-ngecup bibirku. Aku meremas-remas bokong semok sekalnya, merasakan kulit halusnya yang agak lembab.

“Ahh… Karena mama juga hot kali… Kek pengantin baru ya kita?”

“Iyaahh… I love you, papa…” kecupnya lagi agak lama.

“Hmm…”

“Jawab…”

“Love you too…”

——————————————————————–
Ia benar-benar kelelahan. Tak lama ia terlelap membiarkan sisa-sisa pergulatan kami begitu aja tanpa bersih-bersih dulu. Ia hanya memakai kembali pakaiannya dan hilang melayang ke alam mimpi.

Aku keluar kamar karena gak mau membuat kegaduhan dalam menjawab panggilan telepon ini. Ini nomernya abah Hasan. Mungkin ia sudah dekat dan ingin memastikan alamatku. Selama beberapa hari ini abah Hasan menginap di salah satu rumah kerabatnya di Aceh yang dijadikan tempat menampung keempat inong itu. Ia diberi pinjaman kendaraan ini berikut supirnya untuk mengantar mereka ke Medan. Aku hanya tau kerabat itu adalah keluarga salah satu dari sekian banyak istrinya.

“Halo, bah… Salamlekom…”

“Ah-ya, Seng… Wa alaikum salam… Udah dekat nih kami… Blok YY nomor berapa rumahmu tadi…556?” katanya di sana.

“Iya, bah… 556… Bentar awak keluar dulu…” cepat-cepat aku bergegas keluar rumah dan dari balkon aku melihat sebuah mobil berhenti yang lampu headlamp-nya masih menyala. Itu kemungkinan mobil abah Hasan dan keempat inong itu. Aku segera mendekati mobil itu. Ternyata benar itu mobilnya abah Hasan, terlihat ia duduk di depan di kursi penumpang, disopiri seorang pria yang tak kukenal. “Abah…” sapaku setelah cukup dekat.

“Ini rumah barumu, Seng?” tanya abah Hasan sambil memperhatikan rumahku yang pastinya kelihatan mentereng sekali di antara rumah-rumah mahal lainnya karena arsitekturnya yang memang mewah.

“Rumah sementara aja, bah… Rumah awak yang di Mabar sedang direnovasi… jadinya kami ngungsi dulu di sini…” jawabku malu-malu mengakuinya.

“Ah iyalah… Ini mau dibawa kemana mereka berempat? Di sini atau tempat lain?” tanya abah melirik ke belakang. Ke arah empat perempuan muda yang sekarang penampilannya lebih mendingan dari terakhir kali bertemu. Abah Hasan membersihkan dan memberi mereka pakaian yang layak.

“Tempatnya agak di depan lagi, bah… Ada beberapa rumah lagi… Biar awak tunjukkan arahnya…” kataku lalu membuka pintu belakang dan langsung bertemu Cut Masita dan Cut Cahya yang duduk di barisan tengah. Cut Riska dan Cut Intan di barisan belakang mobil SUV ini. “Hai semua…” sapaku sebelum benar-benar memasuki mobil. Wajah-wajah yang terlihat cerah walo sudah menempuh perjalanan jauh sebelum sampe kemari.

“Bang Aseng…” panggil mereka hampir serentak.

Dua yang ada di barisan tengah agak bergeser untuk memberiku duduk. Keempatnya tersenyum lebar melihat aku yang muncul lagi di hadapan mereka semua. Aku duduk di samping Cut Cahya yang langsung memepetkan tubuhnya padaku dan disusul yang lain. “E-eh? Jangan… Di depan, pak… Rumahnya di depan lagi…” aku langsung ingat kalo kami harus menuju rumah Vivi. Sang supir tau instruksiku dan menjalankan SUV ini lagi perlahan saja. Aku membiarkan mereka semua meluapkan semua rasa rindu yang mungkin ada dibalik lirikan jengah sang supir dan senyum simpul abah Hasan. “Ini rumahnya…” tunjukku pada rumah Vivi yang gerbangnya terbuka. Mobil Vivi bahkan masih diparkir di luar.

Sang supir inisiatif memasukkan mobilnya ke dalam halaman rumah dan tak lama para penghuni rumah keluar mendengar deru mesin mobil yang parkir di depan rumah. Vivi dan si Benget yang muncul keluar. Mereka sepertinya sudah menunggu-nunggu dari tadi kedatangan tamu yang datang malam ini setelah beres-beres rumah. Walo terlihat lelah, tetapi Vivi masih bersemangat.

“Ayo turun semuanya…” kataku pada keempat inong itu setelah abah Hasan terlihat turun terlebih dahulu dan langsung mendatangi Vivi dan Benget yang masih menunggu di depan pintu untuk menyambut mereka. Mereka berempat masih kikuk berada di tempat seperti ini dan kelihatan tidak terbiasa dengan perubahan drastis dalam hidup mereka.

“Mana anak-anaknya, bang?” mata Vivi mencari-cari akan keempat anak yang akan menjadi asuhannya mulai malam ini. Ia sudah berkenalan dengan abah Hasan. Wajah abah agak berubah mendengar pertanyaan Vivi barusan. Vivi segera mendapati malah empat perempuan muda bertubuh seukuran dirinya yang tak mungkin disebut anak-anak lagi. Ia masih berusaha mencari kalo-kalo empat anak itu ngumpet di belakang keempat perempuan sepantaran dirinya itu.

“Ini mereka semua, Vi… Ini Cut Masita… Ini Cut Cahya… Ini Cut Riska dan yang ini Cut Intan… Mereka yang kumaksudkan, Vi… Mereka anak-anak itu…” kataku terus terang. Berkerut-kerut kening Vivi mendengar penjelasanku. Pasti ia bingung sekali mendapati kalo anak-anak yang kubicarakan itu sekarang sudah sedemikian besar.

“Ah… Gimana, sih Vivi~~… Ayo masuk-masuk semuanya… Ini udah hampir tengah malam-loh… Masuk, pak…” Benget mengambil alih semua perhatian dan mempersilahkan kami semua masuk ke dalam rumah. Aku berjalan paling belakang dan Vivi menungguku sampe aku mendekat padanya. Ia langsung menarik tanganku dan menyeret ke bagian samping rumah yang gelap.

“Ini gimana ceritanya sih, bang Aseng? Katanya anak-anak… ini kok udah pada besar semua… Itu gak mungkin anak-anak lagi-lah, bang… Dah pada berjembut semua tuh pasti!” sengit Vivi yang kecewa apa yang dibenaknya tak sesuai dengan kenyataan.

“Maaf ya, Vi… Bukannya awak bermaksud mau menjebak Vivi… Tapi mereka memang diculik dan disekap Wewe Gombel itu waktu masih anak-anak… Bertahun-tahun mereka disekap di dalam hutan… di dalam gua bawah tanah… Bayangkan horor yang mereka alami selama belasan tahun di sekapan harus bertemu hantu itu tiap hari dan mendapat berbagai siksaan fisik dan mental… Sebagian dari mereka bahkan diperkosa untuk ritual sesat… Keadaan mental mereka saat ini itu masih anak-anak, Vi… Masih sangat terluka… Vivi liat bagaimana pembawaan mereka tadi?… Masih seperti orang-orang yang kebingungan, kan?… Masih tersesat dan ketakutan… Mereka masih sulit percaya pada orang lain…” kataku.

Air muka Vivi masih sengit dengan emosi. Ia merasa kubohongi pastinya. Nafasnya turun naik karena emosi yang sempat memuncak tadi. Kuharap ia mau mendengar penjelasanku barusan. Ia tak mau menatapku lagi. Pandangannya ke arah pintu dimana keempat inong itu telah masuk, memasuki rumahnya.

“Huufff…” Vivi menghembuskan nafas panjang walo wajahnya masih kesal. Ini menunjuk-nunjuk ke arahku tapi suaranya tak kunjung keluar. “Bener-bener ya abang Aseng… Vivi terpaksa harus membagi pakaian milik Vivi dulu untuk sementara…” katanya menghentakkan kakinya. “Heeerrhhh!!!” ia geram seakan ingin meremas mukaku dengan jari-jarinya. Tangannya memang udah diarahkan ke mukaku, tinggal hap!

Lah? Kok pakaian?

“Vivi tuh dah beli-beli pakaian anak-anak cewe umur 10 tahunan, bang! Trus untuk apa semua pakaian itu?! Bla bla bla bla…” Vivi mulai merepet kek lagi nge-rap membahas tentang hal-hal random mengenai pakaian anak-anak yang sudah disiapkannya untuk anak-anak baru yang akan menghuni rumahnya. Aku terbengong gak nyangka. Aku kirain ia bakalan marah karena aku sudah membohongi dirinya perihal umur anak-anak ini. Sudah menjebak kebaikan dirinya tentang anak-anak yatim piatu malah dapatnya manusia dewasa yang tampilannya jauh dari kata anak-anak yang manis.

Tapi sebuah rangkulan sederhana dariku mampu membungkam semua repetan bak brondongan senjata mesin itu. Ia diam klekep dan hanya bisa balas memeluk pinggangku. Kepalanya tenggelam di dadaku saat kurangkul. “Makasih ya, Vi… Mau menampung mereka… Awak terima kasih banyak-banyak… Mereka juga pasti akan sangat berterima kasih sekali sama Vivi…” kuelus-elus rambutnya dan kukecup ubun-ubunnya.

“Bang Aseng curang… Vivi kan tadi mau marah~~… Jadi gak marah lagi jadinya… Hu-uh…” malah digigitinya daging dadaku berlapis pakaian yang kukenakan. Aku hanya nerima sambil meringis. “Beneran itu mereka yang sudah disekap lama sama Wewe Gombel di tengah hutan?” tanyanya sedikit mendongak. Hanya matanya yang kelihatan dari benaman mukanya di dadaku.

“Mereka sudah sangat lama disekap… Mereka ingatnya sudah kelas IV SD saat diculik dulu… Itu kira-kira umur 10-an tahun… Sekarang ini mereka yaa… 22-23-an tahun gitu, kan? Sepantaran Vivi-la umurnya… Tapi karena gak pernah tau dunia luar selama itu… mereka gak tau apa-apa sekarang ini… Itu berarti mereka itu pemahamannya masih kanak-kanak, kan? Waktu pertama ketemu mereka itu masih pake baju terakhir yang mereka pake… Jadi kebayang baju anak-anak sempit lusuh yang udah lapuk…” kataku trus berusaha memberinya pengertian akan masalah yang sedang menimpa keempat perempuan muda itu.

“Iya-iya… Udah-ah… Yuk masuk… Mereka pastinya lelah…” kata Vivi mengakhiri sesi marahnya tak berkepanjangan. Padahal alasan marahnya aja udah lucu. Random kali marahnya gara-gara baju yang salah ukuran dan ujungnya harus meminjamkan baju miliknya nanti. Ia kembali menyeretku balik ke arah pintu lalu mendorongku masuk. Yang pertama kali terlihat adalah posisi duduk keempat inong itu di sofa. Duduk rapat-rapat satu sama lain dengan kakunya. Mereka sedang ditanya-tanyain sama si Benget.

“Mukakmu biasa aja-la, Bens… Takot orang ni liat mukakmu, tau kau?” sapaku pada pria kekar gemulai itu. “Kek mo kau makan orang ni kutengok…” aku duduk tak jauh dari abah Hasan yang ngantuk-ngantuk mengelus perut buncitnya. “Eh… He hehe… Cut-Cut semua capek-kah? Yang ini yang mukaknya ke carmod kurang modal ini namanya Benget… Panggilannya Benssss…” kataku mengenalkan si pria gemulai itu dengan ujung lidah sedikit menjulur.

“Mampos kali awak dibilang carmod (cari modal, botot, pemulung, tukang rongsok), bang Aseng… Gak sekalian awak abang bilang tukang gali kubur aja… Tega kali si abang ini… Sungguh tega dirimu teganya teganya teganya teganyaaa…” balas si Benget melawak yang berhasil membuat keempat inong itu tersenyum simpul walo tak sampe menjadi tawa.

“Sukak atimu… Nah itu si Benget… Yang ini yang punya rumah… Namanya Vivi… Udah salam klen?” kataku beralih ke si empunya rumah. Berbondong-bondong Cut Cahya, Cut Masita, Cut Riska dan Cut Intan mendatangi Vivi dan bersalaman sampe tahap salim.

“Eh… Eh… Kok?” kaget-kaget Vivi tangannya diciumi keempat perempuan cantik yang dipakaikan jilbab sederhana oleh kerabat abah Hasan yang sempat menampung mereka beberapa hari ini. Habis salim dengan Vivi mereka balik ke tempat mereka lagi buru-buru. “Nama saya Vivi… Tolong dikenalkan ulang dong nama-namanya?… Saya agak bingung yang mana Cut Cahya yang mana Cut siapa tadi?” pinta Vivi minta dikenalkan ulang secara semi resmi. Mimik muka Vivi memang agak bingung awalnya tapi ia segera menguasai diri setelah mulai paham situasi seperti yang sudah kujelaskan sebelumnya.

“Tolong perkenalkan lagi nama-nama kalian… Agak susah menghapal sekalian banyak nama…” kata abah Hasan mengerti masalah yang dihadapi sang tuan rumah ini.

Cut Cahya yang duduk paling kanan memperkenalkan ulang namanya. Vivi mengulang-ulang namanya. Lalu giliran Cut Masita yang juga diulang-ulang Vivi sambil menghapalkan wajah pemilik nama itu. Kemudian Cut Riska, Vivi mengulang dari awal agar tidak terbalik-balik dan diakhiri dengan perkenalan Cut Intan.

“Mm… Yang ini Cahya… Masita… Riska dan Intan… Ya-ya… Hanya tinggal ditambahi Cut aja, ya?” kata Vivi terus mengulang-ulang agar lebih familiar dengan nama keempat perempuan itu. “Ini rumah saya dan Benget… Harusnya ada satu lagi… Namanya Nirmala… Hanya saja Nirmala ini masih bayi… Masih ketinggalan di rumah bang Aseng bareng sama baby sitter-nya… Aa… pengasuhnya… gitu… He hehehe…” ternyata gugup juga Vivi menghadapi situasi kek gini. Menjadi asisten dosen yang sudah biasa berhadapan dengan orang banyak tak membuatnya jadi lebih luwes ternyata.

“Mulai sekarang kalian tinggal bersama dengan kami di rumah ini…” Vivi malah banyak memakai gerakan tangan. Apa dianggapnya mereka ini gak bisa dengar kali, ya? “Anggap ini sebagai rumah kalian sekarang… Saya akan berusaha sebaik mungkin membantu kalian agar bisa belajar… Mengejar ketertinggalan kalian selama ini…” kata Vivi.

“Memberikan mereka TV untuk belajar itu tidak baik… Memang banyak yang bisa dipelajari dari TV, Seng… Tapi nanti mereka malah kecanduan TV lagi…” kata abah Hasan menyadap ide yang tiba-tiba berdenting di kepalaku bak sebuah lampu pijar yang menyala. “Suruh aja mereka melakukan pekerjaan rumah… Diberi tanggung jawab membersihkan rumah… halaman, menyapu, ngepel, nyuci piring… Semacam itu…”

“Tapi mereka bukan ART, pak Hasan…” sanggah Vivi kurang setuju.

“Hanya memberi mereka karakter saja… Pendidikan mereka bisa dimulai dari pembentukan karakter… Itu tidak terasah selama ini… Yang ada di diri mereka sekarang ini hanyalah bertahan hidup sebaik-baiknya… Mereka bisa mulai belajar dengan tugas-tugas dasar rumah tangga… Pelan-pelan Vivi bisa mengajari mereka hal lain… Tentang akademis mungkin… Mereka ini putus sekolah yang bahkan tak tamat SD…”

“Vivi ini asisten dosen di kampus awak, abah Hasan… Pasti bisa sih si Vivi-nya…” sambungku tentang masalah akademis.

“Nah… bagus itu… Pilihanmu memang tepat, Seng… Saya juga mau mengucapkan terima kasih untuk nak Vivi yang telah mau menerima mereka berempat ini… Ini bukan pekerjaan mudah… tapi nak Vivi bisa minta bantuan juga sama si Aseng… kalo-kalo Vivi kerepotan masalah tenaga atau keuangan misalnya… Mereka berempat ini masih tanggung jawab dia juga sebenarnya…” beber abah Hasan.

“Siap, bah…” jawab kami berbarengan kompak.

Cut Intan sepertinya kasak-kusuk dengan temannya saling bisik. “Cut Intan mau nanya apa?” silahku baginya untuk menyampaikan uneg-unegnya. Ia terlihat ragu walo sudah diberi kesempatan. Cut Intan adalah satu-satunya dari mereka berempat yang masih perawan alias belum sempat kuapa-apain waktu di dalam penyekapan Nenek Te-tek. Entah bagaimana nanti reaksi Vivi saat mendengar penuturan mereka tentang hubunganku dengan keempatnya saat di hutan saat itu?

“Bu… ibu Vivi-”

“Jangan panggil ibu-lah… Panggil Vivi aja… Seumuran kita… Vivi aja…” potong Vivi yang merasa jengah disebut ibu-ibu oleh perempuan sebaya dengannya.

“Vivi istri bang Bensss… atau bang Aseng?” tanya jujur tapi lugu Cut Intan yang sebenarnya cukup pantas menjadi pertanyaan. Tentu mereka bertanya-tanya hubungan kami bertiga ini bagaimana. Vivi dan Benget yang rada-rada tinggal serumah bahkan ada bayi bernama Nirmala tetapi sedang ada di rumahku, yang jaraknya tak jauh. Tapi kenapa malah menerima permintaanku untuk menampung mereka untuk tinggal di rumah ini. Hubungan seperti itu yang tentu membuat Cut Intan bingung. Teman-temannya yang lain juga ikut mengangguk-angguk, setuju ingin tau jawaban pertanyaan mengganjal ini. Abah Hasan di lain pihak hanya tersenyum simpul karena sudah bisa membaca jawabannya, ruwet hubungan kami.

“Aa… Aa…” bingung Vivi untuk menjawabnya. Apa statusnya saat ini? Ia merasa tak perlu menjelaskannya pada siapapun bahkan pada Sri, sang baby sitter bayi adopsinya yang tinggal sehari-hari di rumah ini. Ia juga tak perlu menjelaskannya pada jiran tetangga bagaimana seorang perempuan bisa tiba-tiba punya bayi tanpa proses hamil apalagi entah kapan menikahnya. Tapi dihadapan pertanyaan salah satu dari empat perempuan lugu yang hendak dilindunginya, ia bergeming.

“Vivi bukan istri siapa-siapa… Pak Hasan… Si Bens ini bukan suami saya… Dia cuma teman karib saya… Kami juga bukan kumpul kebo di sini… Mengenai bayi bernama Nirmala yang sekarang ada di rumah bang Aseng itu juga bukan bayi kandung saya… Ia saya adopsi dari keluarganya yang tak sanggup membesarkannya… Saya rasa punya anak tanpa menikah itu bukan masalah… selama saya bisa memberinya semua kebutuhan yang ia perlukan… Bukan hanya materi… Saya juga tentunya mencurahkan semua kasih sayang padanya…” papar Vivi. Abah Hasan tak perlu diberitau, dia sudah tau duluan. Yang jadi masalah apakah keempat Cut itu paham penjelasan Vivi barusan karena pikiran mereka masih sangat sederhana dan kekanakan sehingga hal pertama yang mereka kepoin adalah status pernikahan induk semang mereka.

Keempatnya kasak kusuk lagi saling bersikutan membahas jawaban Vivi barusan dengan berbisik. Mereka lalu berganti-gantian menanyakan beberapa hal lain yang terlintas di benak lalu menumpahkannya. Vivi dengan sabar mencoba menjawab sebaik-baiknya. Benget kadang juga membantu menjawab dari sisinya. Setidaknya dengan demikian mereka bisa lebih dekat dan mengakrabkan diri. Apalagi kalo sampe mereka berempat menceritakan dengan detail apa yang terjadi di sekapan di gua bawah tanah di tengah rimba gunung Leuser itu. Apakah akan terjadi guncangan?

Aku memberitahu Vivi dan juga Benget kalo keempat Cut ini kemampuan berbahasa Indonesia-nya masih kurang. Masih sering bercampur dengan bahasa Aceh yang pasti akan membingungkan keduanya sehingga kalo berbicara sebaiknya pelan-pelan aja agar mereka paham. Vivi mulai untuk berkomunikasi sedikit-sedikit dengan mereka tapi karena ini sudah tengah malam akhirnya ia mempersilahkan mereka untuk istirahat saja di kamar yang sudah susah payah mereka persiapkan seharian ini. Lain halnya dengan abah Hasan dan supirnya aku persilahkan menginap di rumahku saja.

Kedatangan abah Hasan tidak kuberitahu pada istriku yang masih tertidur lelap. Aku hanya memberitahu pada ART agar menyiapkan kamar tamu untuk tidur abah Hasan dan supirnya. Kami lalu berpisah untuk sama-sama istirahat.

Pagi-pagi saat istriku bangun baru kuberitahu kalo ada abah Hasan yang berkunjung. Tentu istriku kenal betul dengan abah Hasan yang sudah kami anggap sebagai orang tua sendiri. Sarapan dan ngobrol di pagi ini. Abah Hasan sama sekali tidak menyinggung masalah keempat perempuan muda yang sudah diantarkannya ke rumah Vivi. Ia mengatakan hanya ada sedikit urusan di Medan dan berterimakasih sudah diperkenankan menginap di sini. Rencananya ia akan langsung balik lagi ke kotanya setelah diantar sang supir ke bandara.

Aku minta maaf padanya karena hari ini adalah hari aku sudah kembali bekerja dan tak bisa ikut mengantarnya ke bandara.

“Antum itu… Kayak sama siapa aja… Istri dan anak-anakmu kan bisa menemani abah sebelum berangkat… Antum berangkat aja kerja… Awas terlambat…” katanya meneduhkan. Aku salim tangannya untuk pamit dan berangkat kerja. Kerjaaa… Pasti banyak kerjaanku yang menumpuk setelah ditinggal beberapa hari ini.

Bersambung

Hanya Demi Nilai Aku Rela Digoyang Dosenku
Bu Lisa, Guru Praktek Ku Yang Sempurna
mama muda memek
Nikmatya Ngentot Ibu Muda Tetangga Ku
kakak sexy
Paling Nafsu Kalo Liat Kakak Ku Pakai Baju Yang Ketat-ketat
mama tiri
Mama tiri ku yang sangat dahsyat di ranjang
bispak cantik
Cerita ngentot dengan susi cewek bispak yang cantik
Perselingkuhanku dengan gadis pemandu karaoke yang tak akan pernah terlupakan
gadis suka ngentot sejak kecil
Kakak Kandungku Sendiri Yang Telah Mengajari Sex
Ternyata diperkosa itu tidak selamanya tidak enak
mahasiswi cantik
Mahasiswi cantik terkena hipnotis di entot di mobil
Cerita sexs birahi antara ibu dan anak
sex saat hujan
Hujan lebat yang menghanyutkan keperawanan ku juga
500 foto chika bandung saat masih perawan pertama kali jalan sama pacar
suster hot
Ceritaku waktu di mandiin suster cantik waktu di rawat di RS
Dhea , anak polos yang telah aku nodai
Aku Ketagihan Di Perkosa