Part #67 : Cut Masita, Cut Cahya, Cut Riska Dan Cut Intan

“Seng… Itu empat anak gadis kemaren mau digimanakan?” tanya abah Hasan lewat telepon.

“Abah udah coba cari sanak keluarganya?” tanyaku baru mau duduk di lantai atas rumahku untuk nyoba meditasi untuk memulihkan tubuhku habis petualangan di hutan Leuser waktu itu.

“Satupun gak ada yang ketemu jejaknya… Jadi dulu itu ada yang keluarganya membuka ladang di pinggiran hutan… yang namanya si Cut Masita… Ketika kami datangi ladang itu sudah menjadi perkampungan dan tak ada kabar lagi tentang keluarganya… Mungkin sudah pindah sejak dia hilang belasan tahun lalu… Abah cari lagi keluarga si Cut Intan… malah lebih tragis lagi… Keluarganya kata orang kampung situ sudah diusir karena mereka mengira anak ini sudah ditumbalkan keluarganya… Tak ada yang tau mereka pindah kemana… Keluarga Cut Cahya juga pindah karena kebakaran hutan sekitar tujuh tahun dan pindah entah kemana… Sama juga dengan keluarga si Cut Riska… direlokasi Dinas Kehutanan karena menggunakan lahan hutan milik negara… Mereka menolak ikut transmigrasi dan pindah juga entah kemana…”

“Intinya, Seng… mereka tidak punya sanak keluarga yang bisa ditelusuri lagi… Dan ke depannya, apa yang harus kita lakukan kepada mereka berikutnya?” papar abah Hasan. Aku paham kalo abah Hasan bingung apa yang harus dilakukan pada keempat Inong itu. Keempat perempuan muda itu sudah terlalu lama dikurung hantu jahanam, si Wewe Gombel bernama Nenek Te-tek di tengah hutan belantara Leuser. Memori seadanya selama mereka kecil, berinteraksi dengan masyarakat tidak bisa diandalkan. Keadaan mereka ketika masih kanak-kanak tidak bisa disamakan dengan keadaan mereka sekarang yang sudah dewasa, matang dan bongsor. Kalo di kampung-kampung di seputaran hutan asal mereka, seumuran mereka sudah lama menikah dan setidaknya sudah punya anak dua ato malah tiga. Tetapi tanpa keluarga tempat mereka kembali, hal itu sangat mustahil.

“Apa abah tidak punya tempat tinggal sementara untuk mereka? Tempat untuk mereka bersosialisasi sementara… bermasyarakat… Setidaknya tempat mereka untuk belajar untuk bisa mandiri dulu, bah? Kalo perlu biaya… nanti awak kirimin-la biaya bulanan mereka selama mereka belajar itu, bah…” tanyaku. Terus terang aku juga bingung.

“Bukan masalah biayanya, Seng… Kalo itupun abah bisa tanggulangi… Karena gini, Seng… Maaf-maaf, nih… Mereka itu antum yang nemuin, kan? Antum juga yang sempat make’… Maaf-maaf lagi, nih… Mereka itu jadi tanggung jawab antum karena antum juga yang membebaskan mereka dari hutan itu… Kalau antum lepas ke Dinas Sosial sih sebenarnya bisa tapi itu tidak elegan sama sekali…” ujar abah Hasan lagi.

“Iya sih, bah… Benar itu… Jadi seharusnya gimana, bah?” tanyaku minta petunjuk padanya gimana menaggulangi masalah ini.

“Antum sendiri yang pilih tempat tinggal mereka… Kalau abah bisa bantu, abah akan bantu… Asbab ini… maaf-maaf nih, Seng… di rumah abah udah terlalu banyak akhwat… perempuannya… Bini abah semua, sih memang… Tapi kalau mereka berempat lama-lama di sini gak enak sama bini-bini abah, Seng…” ia jujur mengutarakan apa yang menjadi masalahnya juga. Tentu akan sungkan sama istri-istri abah Hasan yang sudah banyak. Takutnya nanti mereka kira abah mau kawin lagi.

“Iya, bah… Aseng ngerti kok. bah… Makasih, bah…”

Jadi batal meditasi akunya. Gimana mau menenangkan fikiran kalo dibebankan masalah keempat perempuan muda yang kuselamatkan dari hutan gunung Leuser itu. Apa kujadikan simpanan aja? Udah kek deposito pulak jadinya. Tapi mau diletakkan dimana? Mereka harus mendapat hunian yang layak tetapi harus tetap dapat kupantau. Tapi mereka harus punya masa depan. Dapat bersosialisasi dan bermasyarakat. Kasihan nasib mereka. Takutnya mereka minder berada di tengah masyarakat sekarang dan berharap lebih baik mati saja di dalam hutan itu.

Itu yang jadi kepikiran saat abis enak-enakan petting dengan Vivi malam ini.

Vivi

“Kok mukanya gitu amat ya, bang? Nyesal ya?” tanya Vivi yang menangkap perubahan di wajahku yang mungkin terlihat murung banyak pikiran.

“Enggak, kok… Cuma lagi banyak pikiran aja, Vi?” jawabku mengacak-acak rambutnya dengan tanganku yang tak dijadikannya bantal.

“Mikirin apa coba? Mikirin kenapa kakak kok jadi bohay abis itu, ya?” tebaknya akan apa yang kupikirkan saat ini.

“Iya… Salah satunya itu… Padahal pagi awak liat abis mandi gak kek gitu bodinya… Eh… Ketemu pagi lagi udah berubah jadi gini-gini…” kataku sambil melekuk-lekukan tanganku membentuk siluet gitar Spanyol yang aduhai. “Gak mungkin kan kalo nge-gym sekali aja barengan Vivi bisa langsung jadi kek gitu?” lanjutku. Memang beberapa hari belakangan Vivi dan istriku jadi sering bareng ke gym dan salon yang menyatu di tempat usahanya si Benget. Tempatnya gak jauh di depan kompleks jadi mereka mudah mencapainya.

“Hi hi hihihi… Vivi pun kaget, bang… Saingan berat, nih—Vivi pikir… Kakak bodinya kayak emak-emak gitu aja abang cinta kali sampe nolak awak yang masih gadis… Eh… Ini jadi bohay abis kayak gitu… Minder Vivi jadinya, bang… Lah… Vivi ini begini karena belum turun mesin aja…” ngaku Vivi akan apa yang juga dirasakannya melihat perubahan istriku yang ajaib. “Itu pasti ada campur tangan abang, ya? Pake mejik-mejik gitu?” matanya menyipit karena menuduhku.

“Ish… Kalo awak yang buat kek gitu mana mungkin awak bingung kek gini? Ada-ada aja-pon kau, Vi? Mana ada ku-mejik-mejik kakakmu…” sanggahku. Apalah si Vivi ini. Dibilangnya aku yang ngebuat istriku jadi kek gitu. Kalo betulan ada ajian kek gitu dah dari dulu aku buka salon ketok magic sekalian. Mobil, motor sampe orangpun kuketok.

“Iya, sori… Bercanda Vivi, bang… Jangan marah, dong… Kalo marah nanti tititnya Vivi gigit, nih?” sahutnya nakal malah meremas Aseng junior yang sedang anteng di balik selimut yang menutupi tubuh kami berdua. Aku menjengit kaget.

“Waktu lawan salah satu Burong Tujoh itu… Kuntilanak Merah yang bernama Mutee kayaknya penyebab itu semua, Vi… Ia punya kemampuan yang bisa mengambil khayalan terindah dari lelaki mangsanya dan mengaplikasikannya ke tubuhnya untuk terus menerus mengambil energi hidupnya… Energi hidup itu berupa sperma… Jadi si Mutee ini menguras sperma awak sampe berkali-kali dengan menggunakan bentuk kakakmu yang bodinya jadi khayalan awak selama ini… Jujur aja awak pernah ngayal… ‘Gimana kalo bodimu kek gini, ya?’… Ternyata bayangan itu dimanfaatkan si kuntilanak jahanam itu… Untung aja awak bisa selamat dari sana dan membantai hantu pukimak itu…”

“Oo…”

“Iya abis itu baru hantu cicak muncul dan si Ameng membasminya… Ingat?” kataku mengingatkannya akan aksi mahluk asing miliknya itu.

“Jadi setelah abang menghabisi hantu itu… khayalan abang malah tetap melekat di kakak, gitu?” simpulnya lebih mengena. Ia malah abai pada masalah si hantu cicak yang sudah dibasmi mahluk miliknya. “Untung di abang, dong?”

“Iya-iya?… Apa betul kek gitu, ya?” gumamku masih bingung.

“Mana Vivi tau, bang… Vivi gak tau apa-apa tentang dunia abang yang serem-serem aneh-aneh itu… Apa kakak tau abang sering begini-begini, berantem sama hantu ini?” tanya Vivi kepo.

“Tau, kok… Tapi dia memilih untuk gak ambil pusing dan jarang nanya-nanya… Hanya sekedar tau aja…” jawabku. “Eng… ini… Gini, Vi… Gak tau apa Vivi mau nolongin ato tidak nanti… Ada beberapa korban hantu Burong Tujoh itu yang sekarang sedang terlunta-lunta nasibnya… Bisa dikatakan kalo mereka ini sekarang yatim piatu… Sama seperti Vivi dan Bens… Apa Vivi bisa menolong mereka?” kataku coba-coba aja. Mana tau Vivi berkenan, kan?

“Korban? Yatim piatu?” ulang Vivi. Aku mendapatkan perhatiannya. Bagus…

“Iya, Vi… Jadi ada sekumpulan anak-anak kecil yang diculik hantu Burong Tujoh itu dari kampung mereka di tepi hutan saat lengah bermain… Mereka disekap bertahun-tahun untuk berbagai ritual pengorbanan… Hanya tinggal empat saja tersisa dari sekian banyak awalnya…” kisahku singkat. “Kasihan mereka, Vi…”

“Kayak cerita Wewe Gombel itu, bang? Sering dengar kalo main sampe Maghrib awas nanti diculik Wewe Gombel…” tanggap Vivi rupanya tau juga tentang urband legend itu.

“Memang Wewe Gombel, Vi yang nyulik anak-anak itu… Kasian kali mereka, Vi… Disekap bertahun-tahun… Sekarang mereka tak punya sanak keluarga lagi… Waktu keluarganya dicari lagi ke tempat mereka dulu tinggal, sudah pindah semuanya tak terlacak lagi… Yatim piatu-la mereka berempat ini…” kataku tak membesar-besarkan tapi banyak mempersempit fakta.

“Dimana mereka sekarang, bang? Kasian sekali mereka… Bawa ke rumahku aja, bang… Bisa buat nemenin Nirmala nantinya…” Vivi jadi terharu mendengar penderitaan keempat korban yang kuceritakan padanya. Mendengar penderitaan anak-anak yang menjadi yatim piatu secara paksa membuat perasaan lembutnya tersentuh dan terpanggil untuk menolong mereka yang lemah.

“Beneran, Vi? Vivi mau menerima mereka? Waahh… Vivi baik hati sekali…” aku memeluknya erat-erat mengucapkan terima kasihku yang sebesar-besarnya. “Muah muah muaah… Vivi memang nomor satu-ah… Mereka pasti bakalan senang sekali mendengar ini… Nanti awak bantu-bantu juga biaya mereka, Vi… Vivi tenang aja…” kataku mengecup keningnya.

Vivi malah melongo. “Kenapa? O-iya… Rumahmu udah selesai renovasinya?”

“Udah sih, bang… Tapi agak curiga, nih… Anak-anak ini… empat orang… disekap bertahun-tahun…”

“Yaa… Namanya Cut Masita, Cut Cahya, Cut Riska sama Cut Intan… Nama-nama Aceh semua, Vi… Mereka saat ini sedang ditampung sementara di rumah teman… Bisa secepatnya awak bawa ke rumah Vivi, ya?” potongku cepat-cepat sebelum intelenjensia seorang asisten dosen Manajemen Bisnis-nya bekerja dan menebak kira-kira usia keempat anak itu yang beranjak dewasa sekarang.

“Hmm… Tau Vivi… Mereka boleh tinggal di rumah Vivi asal kita boleh begini lagi sering-sering… Deal?” sergahnya mengambil kesempatan dalam kesempitanku.

“E-eh? Sering-sering begini? Begini cem mana maksudnya?” aku berusaha berkelit.

“Petting ini-loh, bang Aseng… Gak suka, ya?” kerlingnya genit. “Kalo udah makin panas… abang boleh masuk sesukanya… Vivi rela, kok… Hi hihihi…” ia malah jadi seperti ini sekarang setelah merasakan nikmatnya dunia baru yang anyar ia reguk. Kok jadi takut ngliat versi Vivi yang seperti ini, ya? Ia menjadikan keempat Inong itu sebagai bargaining commodity agar aku selalu bisa dekat dengan dirinya. Waduh… Otak encernya mulai pelan-pelan bekerja menjebakku.

“Viii… Jangan gitu-la… Masak nolong demi kemanusiaan harus ada pamrihnya gitu-ih? Bahaya kalo sering-sering kek gini. Vi… Bisa-bisa Vivi jadi ketagihan… Maunya begituan mulu… Malas kuliah… Malas buat skripsi… Malas kerja… Malas cari duit…” kataku menakut-nakutinya dengan hal yang mengada-ngada. Tapi ada juga orang yang kek gitu kok.

“Biarin aja… Gara-gara bang Aseng ini…” jawabnya santuy gak merasa itu hal berat. “Tabunganku dah banyak… Kalo abis tinggal minta sama si Bens… Gini-gini Vivi CEO salonnya dia… Tenang aja… Nirmala sama anak-anak empat itu gak akan kelaparan…” ia memasang muka cool dan melipat tangannya sambil tetap berbaring di lenganku. “Eh… Deal, gak?” desaknya lagi ternyata masih ingat tawarannya tadi.

“Iya-la… Cuma petting aja!” kataku mengulurkan tangan. Hanya satu pasal.

“Iya… Cuma petting…” jawabnya menyambut tanganku. Agak susah salaman posisi berbaring bersisian begini. Tapi ini pengorbanan yang harus aku derita agar keempat perempuan itu dapat kesempatan yang lebih baik walo agak sedikit mengelabui Vivi. Kami berjabat tangan menyegel kesepakatan untuk petting secara reguler sebagai ganti ia menerima keempat anak-anak itu, dalam keadaan telanjang bulat di balik selimut. Vivi tersenyum puas.

“Rumahmu udah selesai beneran, Vi?”
——————————————————————–

Ini hari terakhir liburku. Keempat inong cantik itu dalam perjalanan dari Aceh menuju Medan melalui jalur darat. Diantarkan sendiri oleh abah Hasan menggunakan kenderaan beliau. Sekitar tengah malam atau besok pagi sampenya.

“Pak Aseng… Itu mobilnya kata ibu udah jadwal servis…” kata Misnan saat melihatku sedang meregangkan otot lenganku yang masih agak linu-linu dikit.

“O-iya… Makasih, Mis… Ya udah awak keluar dulu mau servis… Mumpung masih libur…” kataku lalu mengarah ke basement untuk mengeluarkan Pajero itu. Tak lama aku sudah di jalan menuju bengkel resmi tempat servis berkala mobil mahal boleh diberi kak Sandra ini. Aku menghitung-hitung apa jadwalku hari ini sampe malam. Hanya nanti malam saja aku ada janji untuk bertemu dengan pasutri Julio dan Amei untuk melanjutkan kegiatan threesome kami.

“Ya halo, mang? Ada apa, mang?” jawabku setelah mendapat panggilan dari kontraktor renovasi rumahku. Ternyata ada sesuatu yang ingin dibicarakannya langsung denganku. Aku menjanjikan akan ke sana dalam waktu 2-3 jam lagi selesai urusan mobil ini diservis. Ia akan menungguku. Mekanik di bengkel resmi sigap memeriksa mobilku dengan teliti. Bagian mesin, kaki-kakinya, kelistrikan, dingin AC, jumlah bautnya. Semuanya-la pokoknya dipelototinya sampe jengah mobil itu jadinya. Karena mobil mahal kali, ya?

Karina: ping!

Eh ada si binor bening ini ngeping. Aku cari tempat duduk yang nyaman untuk chatting dengan binor depan rumah ini. Walo tetanggaan sangat dekat, kami lebih intens ngobrol di aplikasi saja. Sesekali aja saling lambai di kejauhan.

Aseng: ping jg hehehe

Karina: eh langsung nyamber hehehe

Aseng: apa kabar bu? apa cerita?

Karina: pilih ini ya?

Disuruh pilih? Disuruh milih apa? Tetek kiri ato kanan? Dua-dua kalo bisa. Yo hohoho…

Kemudian masuk satu file gambar. Loading sebentar dan kemudian terbuka sebuah gambar, tepatnya sebuah file bergambar dua bayi lucu endut imut yang berbaring berdampingan. Dari pakaiannya yang satu cewek, yang satunya cowok.

Aseng: eh positif bu?

Karina: is org disuruh milih kok nanya positif aj

Aseng: yg mn aj boleh kok bu. bener positif bu?

Karina: klo sy milih yg cowo bg

Aseng: knp?

Karina: biar kuat ky papanya

Aseng: beneran positif ini!!

Berikutnya masuk sebuah foto ujung test pack yang menampilkan dua strip pink yang sangat tegas warnanya. Tak ada keraguan lagi kalo Karina benaran positif hamil. Aku turut bahagia untuknya.

Aseng: selamat y bu Karina. akhirnya harapannya terkabul jg

Tak sabar, bu Karina langsung meneleponku…

“Bang Aseeeeng…” jeritnya nyaring di kejauhan sana.

“Horeeee… Selamat ya, bu Karina… Akhirnya harapan dan impian ibu terkabul juga… Awak ikut-ikut senang mendengar ini… Beneran-loh…” kataku langsung nyerocos ikut bahagia untuknya.

“Apalagi saya, bang Aseng… Akhirnya ada bayi yang dipercaya untuk mengisi perut saya lagi… Ini semua berkat bang Aseng…”

“Bersyukur sama Tuhan, bu… Sama awak cukup makasih aja… Dia yang ngasih semua… Awak cuma perantara aja…” kataku berusaha bijak. “Banyak-banyak berdoa aja, bu… Makan-makanan bergizi… Apalagi bentar lagi udah resign, kan? Perbanyak istirahat… karena hamil muda itu masa yang rentan… Ah… Akhirnya ya, bu… Senang kali awak dengarnya…” kataku sangat bahagia untuknya dan calon anaknya di sana. Mudah-mudahan tak ada gangguan lagi pada Karina setelah segunung masalah yang menimpanya. Permulaan baru yang diinginkannya.

Cukup lama kami berbincang. Karina sebenarnya ada di kantornya tapi ditinggalkannya ruang kerjanya dan meninggalkan penggantinya yang sedang sibuk berkutat dengan limpahan pekerjaan yang akan diembannya begitu Karina resmi resign. Dirinya sangat lepas dan bisa tertawa-tawa tanpa beban. Setelah lepas dari Kuyang, masalah setelah liburan di Bahama, lalu vampir yang mengincarnya, Karina jadi lebih tegar dan menghadapi masalah dengan lebih matang. Semua masalah hidupnya sudah cukup berat, kesulitan kecil dihadapi dengan mudah. Ia hanya tinggal menghitung hari untuk segera lepas dari pekerjaan ini dan fokus untuk mengurus bayi di dalam perutnya saja. Prioritas paling utama.

——————————————————————–
Mobil selesai diservis dan aku langsung meluncur ke Mabar untuk menemui kontraktor di proyek renovasi rumahku. Dari aku memasuki gang ini, dari jauh sudah terlihat bangunan tinggi yang belum selesai seutuhnya itu. Renovasi yang prosesnya jadi melar diluar rencana awal. Entah apa yang akan dibicarakan si mamang-mamang kontraktor ini.

Turun dari mobil yang kulakukan pertama kali adalah berkeliling untuk meninjau progres pembangunan. Padahal sejatinya aku memeriksa keadaan rumah Yuli yang ada tepat di samping lahan rumahku. Jendela-jendelanya tertutup rapat, bahkan lampu teras depannya menyala di siang terik begini. Sepertinya mereka sudah pindah kembali ke kampung seperti yang diberitahunya waktu itu. All the best-la pokoknya buat Yuli dan suami beserta anak yang menyertai mereka.

Aku berputar dan masuk dari belakang ke dalam areal rumah. Material mentah masih banyak teronggok dimana-mana. Para tukang dan kenek masih sibuk dengan tugas mereka. Aku menaiki tangga beton yang masih disangga beberapa buah perancah besi untuk menuju lantai dua. Suara mamang itu ada di atas sedang memberi instruksi pada sang mandor. Ia segera melihatku yang naik kemari. Ternyata ia hendak membicarakan beberapa hal untuk memastikan saja karena ada beberapa revisi yang terjadi di tengah pembangunan yang harus membuat mereka memutar otak untuk merealisasikan keinginan kami. Rumah ini sedianya akan mempunyai 4 kamar tidur dengan asumsi kami akan punya anak 3 orang hingga nanti masing-masing mereka punya kamar sendiri plus kamar utama yang kepala keluarga tempati. Dan membengkak menjadi 6 kamar tidur. Itu maunya orang rumah…

Mengingat Rio yang senang sekali dengan kolam renang rendah di rumah yang kami tempati sekarang, istriku minta dibuatkan kolam renang kecil juga terserah mau dimana. Mau di belakang, di atas, terserah. Pokoknya ada kolam renangnya. Jadilah posisi kolam renang itu dibuat menggantung tanpa mengorek tanah melainkan menggantung diantara lantai dasar dan lantai dua, di belakang lahan sekali posisinya. Garasi yang merupakan tujuan awal renovasi ini harus bisa menampung dua mobil sekaligus. Dan pohon mangga Golek-ku gak boleh diganggu gugat. Titik.

Abis adzan Zuhur aku bertolak pergi lagi dari proyek itu. Perut lumayan terganjal karena makan gorengan bareng para tukang yang hepi kali ditraktir yang punya gawean rumah.

Loh-loh? Ngapain itu orang? Melambai-lambai menghentikan mobilku. Ia buru-buru membuka pintu belakang, melempar tas besar yang dibawanya sembarangan lalu memanjat naik. Aku membiarkannya masuk. Aku harusnya menolongnya naik. Ground clearance Pajero ini cukup tinggi untuk membuatnya susah naik memasuki kabin. Apalagi mengingat kondisinya yang memakai sarung.

“Bang Aseng… huff huff… Buruan, bang… huff huff… rumah sakit! Aida mau lahiran!”

Nah loh!

Aida

“U-udah tanggalnya, Da?” tanyaku bingung mau tancap gas gimana, bawa binor hamil besar mau melahirkan buru-buru. Pelan-pelan, tapi ini urusannya emergency. Ia duduk bersender di jok belakang berselonjor kaki mengangkang dan mengelus-elus perutnya. Ia menghembus-hembuskan nafas sesuai anjuran senam hamil yang sudah diikutinya. Aida tak kunjung menjawab pertanyaanku. Ia masih sibuk mengatur nafasnya.

Ini pun… kemana semua keluarganya? Kok bisa perempuan hamil besar udah dekat hari melahirkan dibiarkan sendirian di rumah? Lakiknya mana nih si Agus? Gak suami siaga kali kurasa pulak. Kerja pulak dibantenya waktu kek gini. Aturannya bisa dia permisi pulang untuk ngurusin biniknya dulu dalam masa emergency ini. Ah! Palak (kesal) pulak aku jadinya kek gini.

“Ke rumah sakit mana kita ini, Da?” tanyaku melongok ke spion depan. Aida masih huff huff huff aja dari tadi dan menunjuk sekenanya ke arah sana. Ada rumah sakit yang dekat dari Mabar sini. Pasti di situ maksudnya. Istriku pun melahirkan Rio dan Salwa di situ juga…

Aku melajukan mobilku hanya rata-rata 40 km per jam saja. Kecepatan sedang-la kurasa itu. Aku bolak-balik mengecek keadaan Aida lewat spion. Aku berusaha tidak panik walopun ini bukan binikku, tapi banyak sahamku dalam kehamilannya ini. Ia bernafas lebih teratur sekarang dengan mata terpejam Mungkin kontraksinya mereda sekarang.

“Untung bang Aseng lewat… Kalo enggak… entah siapa-lah yang nganterin Aida ke rumah sakit, bang…” katanya mulai berbicara. Keringat menetes di dahinya padahal AC kunyalakan cukup sejuk. Tapi bawaan perempuan hamil ya… gitu, gerah aja rasanya.

“Tadi kebetulan lagi ninjau rumah, Da… Kemana si Agus rupanya? Kok gak Siaga dia? Siap Antar Jaga?” tanyaku kembali kesal akan tak kesiapan suami kek suami si Aida ini. “Kok sendirian aja Aida di rumah? Untung gak kenapa-napa…” kataku cukup khawatir. Aku sudah dua kali menghadapi persalinan istriku dan itu momen-momen yang membuat jantung kembut (dag dig dug), biar tau klen. Setidaknya aku bisa mendampinginya walo tak bisa memindahkan rasa sakit yang mendera tubuhnya saat itu. Memberinya semangat dan dorongan. Ayo! Kamu bisa! Esmosi awak jadinya…

“Ginilah nasib Aida, bang… Si Agus lagi dikirim ke proyek di cabang daerah, bang… Mamak Aida baru aja berangkat dari kampung sana… Paling masih di jalan dia arah ke Medan… Malam paling sampeknya… Mertua Aida sakit-sakitan di kampung… Aida mungkin bentar-bentar lagi lahiran… Nasib kali Aida ya, bang… Bunting besar gini lakik jauh disana… Gak ada-la yang nemanin Aida… Sedih kali rasanya…” kata Aida duduk terpekur bersandar tak mau meratapi nasibnya. Ia berusaha berfikiran positif demi anak yang ada di dalam perutnya yang secara periodik memberikan tanda-tanda interval kontraksi yang semakin sering.

“Sabar ya, Da… Awak anterin Aida sampe rumah sakit… dengan selamat sentosa… Udah hampir dekat kita… Ini udah simpang Mabar… Pelan-pelan aja kita, ya? Sabar, Da… Ditahan dulu sampe rumah sakit…” kataku menyabar-nyabarkan hatinya. Memberikan setawar sedingin agar ia tak emosi yang tak baik untuk proses lahiran yang sehat. “Ini analisa dokter terakhir lahirnya normal ato gimana, Da?” tanyaku agar ia tetap fokus dan tidak berpikiran melantur.

“Normal, bang… Jadwalnya seharusnya besok, bang… Tapi kontraksinya terasa nyakitin sejak Subuh tadi… Jadi Aida paksakan keluar rumah naik apa aja, bang… Pokoknya sampe rumah sakit aja… huff huff huff…” kontraksinya mulai terasa lagi.

“OK OK… Terus bernafas begitu, yaa… Kita hampir nyampe ini… Itu udah nampak rumah sakitnya…” kataku melihat pucuk bangunan tinggi berwarna kehijauan yang merupakan bagian depan rumah sakit itu. Aku harus memutar mobil di simpang tiga karena rumah sakitnya ada di sebelah kanan. Kuarahkan mobil ini ke depan pintu UGD, seorang perawat pria sigap membawakan sebuah kursi roda, membantu Aida turun dari mobil dan membimbing Aida menaikinya. Begitu Aida sudah aman di tangan para tenaga kesehatan itu, aku memindahkan kendaraanku mencari tempat parkir lalu buru-buru mengejar Aida sambil membawa tas bawaannya.

Perawat pria tadi menunjukkan tempat Aida sedang diperiksa di balik kain tirai yang membatasi privasi proses pemeriksaan. Seorang bidan yang masih muda sedang menangani Aida. Seorang perawat lain sedang memeriksa tekanan darah. Begitu melihatku datang membawa tas besar ini, “Bapak suaminya ibu ini?” Waduh? Aku harus berperan sebagai suami pengganti nih ceritanya. Aku mengangguk-angguk pelan dengan bodoh.

“Iya dia suami saya…” lirih suara Aida yang malah menjawabkan pertanyaan barusan.

Karena aku diakui sebagai suami pasien, dengan santai bidan muda itu menyibak sarung yang dipakai Aida sebagai penutup tubuh bawahnya, melepas celana dalamnya dan memposisikan kedua kakinya mengangkang ditekuk untuk melakukan pemeriksaan bukaan berapa. Cekatan jarinya memasuki liang vagina Aida yang agak menganga lebar setelah dilumuri pelumas secukupnya. Selangkangannya memerah mirip daging matang di sekitar pangkal paha lalu menjalar hingga mencapai jembut kumis Hitler-nya. Dua jari bidan itu dimasukkan ke vagina Aida untuk mengetahui sudah bukaan berapa yang sudah dicapai jalan lahir binor ini.

“Ini anak pertama ya, bu?” tanya bidan itu yang jari tangan terbungkus glove nitrile-nya masih mengobok-obok vagina Aida. Ia juga beralih padaku. Kami berdua mengangguk-angguk membenarkan. “Nah… Hasil pemeriksaan saya tadi ini masih bukaan 3… Biasanya anak pertama itu memang begitu bapak-ibu… Namanya kontraksi palsu… Tetapi karena sudah mendekati jadwalnya… Besok ya harusnya, ya? Ibu baiknya menginap aja di sini… jadi kalau ada apa-apa bisa langsung kita tangani… Apalagi ibu dan bapak sudah persiapan bawa barang-barang…” katanya merunut tas gede yang kutenteng. Aku mengangguk-angguk pada Aida agar menurut saja apa kata bidan ini dan rawat inap saja daripada pulang tak ada orang di rumah. Setidaknya ada yang berkompeten mengurusnya di rumah sakit ini. Para bidan dan perawat maksudnya. Awak ini apalah? Cuma kang traktir gorengan.

Harus membereskan administrasi, masih dengan mengaku-ngaku sebagai suaminya Aida dan untungnya tak ada masalah berarti karena aku bawa-bawa beberapa lembar surat dan dokumen yang sudah disiapkan Aida lengkap untuk urusan administrasi ini. Apalagi KTP-nya si Agus hanya foto kopi buram yang tak jelas mukanya di kartu jaminan kesehatan dari perusahaannya. Tak lama kami diarahkan ke sebuah kamar perawatan di dekat ruang bersalin. Ini ruangan kelas dua yang memiliki dua ranjang pasien. Hanya saja ranjang pasien satunya masih kosong. Aku mengeluarkan isi tas Aida dan memasukkannya ke dalam lemari kecil.

“Aida ada perlu apa-apa lagi? Biar awak belikan di luar? Roti ato minuman gitu…” tawarku.

“Aida hanya perlu bang Aseng aja…” jawabnya masih dalam keadaan duduk di atas ranjang perawatan yang serba putih-putih untuk menonjolkan steril dan bersihnya. Perutnya yang buncit besar ditutupi sepenuhnya oleh sarung. Ia melempar celana dalam yang tadi dibuka bidan muda di ruang UGD bawah ke atas tas yang sudah kosong. Ia tersenyum penuh arti. “Bang Aseng gak bisa dibeli di luar sana… Hi hihi…”

“Iya iya… Awak temani-la Aida sampe mamakmu sampe kemari…” kataku agak-agak terpaksa. Tengah malam nanti baru mamaknya sampe Medan sini, kan? Mampos aja.

“Yee… Asik… Ditemani bang Aseng…” ia menggoyang kedua tangan terkepalnya di depan dadanya. “Dengar gak, dek? Dedek ditemani papa Aseng di sini… Nungguin dedek lahir…” ia lalu mengelus perutnya dan ngajak sang jabang bayi ngobrol. “Bergerak lagi, bang Aseng… Hi hihihihi… Dia senang papanya ada di sini…” menakjubkan melihat bayi di dalam kandungan karena aku jelas melihat gerakan di permukaan sarung itu. Gerakan tubuh mungilnya bisa kentara di kulit perut Aida.

“Ehh…” kagetku tak bisa mencegah aksi Aida berikutnya. Ia menarik bagian bawah sarung itu hingga seluruh perut buncitnya terlihat jelas. Besar dan mengkilap dengan garis gelap dari bawah pusar menuju kumis Hitler yang mendadak hilang lenyap itu. Pasti tadi disuruh cukur abis oleh sang bidan hingga plontos polos. Ada benjolan di permukaan perut itu yang kemungkinan besar tonjolan kaki sang jabang bayi yang sudah merasa sesak di dalam sana. Berputar-putar mencari jalan keluar untuk menuju alam bebas.

“Keliatan, kan?” katanya sembari mengelus-elus perut buncitnya. “Bentar-bentar lagi dedeknya bakalan lahir…” ia melirikku sesekali masih menatap takjub pada perutnya sendiri. Pada mahluk kecil yang tumbuh kembang di dalam rahimnya.

“Bang Aseng gak mau merasakan gerakannya?” tawarnya dan mengulurkan sebelah tangannya untukku mendekat. Kusambut tangannya dan aku merapat. Dibawanya tanganku menyentuh perutnya dan bayi bergerak lagi, merespon sentuhanku. “Dia karya bang Aseng… Hi hihihi…” aku tak bisa berkata apa-apa. Kalo benar ini anak yang berasal dari benihku, secara tak resmi ini adalah anak ketigaku setelah Rio dan Salwa. Aku makin tak bisa berkata apa-apa. Hanya bungkam membisu walo tanganku terus mengusap-usap perutnya dengan perasaan campur aduk.

Tentu aja aku teringat momen-momen sebelum Rio dan Salwa lahir. Saat itu cemas dan bahagia bercampur menjadi satu. Aku bingung perasaan apa yang kurasakan saat ini. Bahagia-nya ada. Cemas juga ada. Tetapi lebih banyak rasa kosong karena teringat perjanjian kami, terutama pasal tiga yang berbunyi kalo bayi ini adalah anak Aida dan suaminya; Agus. Ini bukan anakku walo berasal dari bibitku.

“Waktu abang ngurus administrasi tadi… Aida nanya ke bidannya… Gimana supaya proses lahirannya cepat? Katanya ada suntikan hormon untuk mempercepat interval kontraksi… Ada induksi juga… Tapi itu biasanya untuk cara terakhir kalo gak ada perkembangan… Bidannya malah ngasih saran supaya Aida ‘dikujungi’ suami aja supaya membuka jalan lahir si dedek… Kalo bisa ‘tembak’ di dalam…” kata dikunjungi dan tembak ia pake quote-unquote jari gitu. Rahasia umum sih sebenarnya.

“Tapi ini rumah sakit, Da… Masa begituan di sini?” tolakku mentah-mentah. Secara gak langsung Aida minta aku menyetubuhinya di rumah sakit ini. Gimana kalo kepergok para tenaga kesehatan sini?

“Yee… Orang itu saran bidannya sendiri, kok… Liat? Gak ada yang masuk kemari dari tadi, kan?” desak Aida membujukku agar mau ‘mengunjungi’ dirinya. Terakhir aku ‘mengunjunginya’ beberapa bulan lalu sebelum acara tujuh bulanannya. “Abang cek deh keluar… Beneran ini…” Ia terus mendesakku dan menyuruhkan melihat keadaan di luar sana.

Dengan berat hati aku menuju pintu dan mengecek keluar dengan melongokkan kepalaku. Bidan muda tadi sedang ada di station para perawat, lagi memberi membaca laporan. Ia mengangguk padaku dengan senyum penuh arti. Aku terpaksa membalas anggukan kepalanya barusan dengan kikuk dan paoknya. Bidan itu seperti memberiku kesempatan untuk melakukan ‘kunjungan kerja’ saat ini dengan senyumannya. Tidak pasti kalo memang sang bidan menyarankan ‘kunjungan” ini ato itu tadi cuma bualan Aida aja tapi itu sudah pengetahuan umum kalo sebelum lahiran yang secara normal memang disarankan untuk sering-sering melumasi jalan lahir sang jabang bayi dengan cara dientot. Dientot!

Aku balik lagi ke Aida dengan cengar-cengir. Aida tersenyum dikulum mengetahui aku mengunci pintu kamar rapat-rapat agar tak ada gangguan. “Gimana? Aman, kan?” katanya dengan riang. Aida melepas pakaian daster yang dikenakannya dan seperti yang kutebak ia tak memakai bra sama sekali. Payudaranya membengkak jauh lebih besar mengkilap bak balon gas dari terakhir kali kusetubuhi dirinya dengan aerola dan puting membesar berkali lipat. Warnanya juga semakin gelap cenderung coklat tua.

“Aida jadi jelek ya bang begini?… Endut… Bengkak sana-sini… Abang gak selera lagi?” kata Aida menguji kemauanku.

“Sebaliknya, Da… Ini seksi abis…” mataku nanar memandangi tubuh telanjangnya yang walopun secara aestetik jauh dari kata menarik tetapi ada keseksian tertentu. Ini seksi karena faktor kesuburan dirinya yang sedang hamil tua begini. Secara refleks ia merenggangkan kakinya, membukanya lebar untuk memamerkan selangkangan gemuknya yang sudah dibabat habis kumis Hitler-nya. Kemerahan pangkal pahanya membuat rona matang yang meradang minta segera dijamah.

Tak sadar aku malah meremas Aseng junior yang menggelembung di dalam sempakku. Aida melihat gerakan tanganku yang menyentuh kemaluan sendiri. Aida hanya memakai sarung yang berada di antara payudara bengkak dan perut buncit mengkilapnya. Aku semakin mendekat dan duduk di antara kakinya. Dan yang pertama kusentuh adalah payudara bengkaknya. Kulit putih Aida langsung meremang pori-porinya atas sentuhanku yang langsung meremas lembut. Kujepit aerola dan puting gemuk itu. Mataku menangkap titik putih yang menitik dari pucuk dan pinggiran putingnya. ASI-nya sudah mulai keluar walo tak banyak.

“Aaahhh…” erang Aida merasakan mulutku rakus mencaplok sebelah payudara bengkaknya. Putingnya yang besar terasa lebih manis oleh laktasi susunya. Tanganku memerah teteknya yang sebelah lagi. Ini sangat besar dari biasanya. Aku ingat betul ukuran dada Aida yang pas segenggaman tanganku dan kini tak dapat digenggam satu tapak tangan. Massa lemaknya bertambah membuatnya semok. “Mmhh… Ahhh…” erangnya seksi sekali. “Baang… Iseep yang kuat, baang… Oohh…” erangnya meremas-remas rambutku. Lalu turun ke leherku.

Aku berpindah-pindah payudara kanan dan kiri bergantian. Keduanya sejajar nikmat dan kenyal ukuran membengkaknya. Apalagi rasa manis ASI yang dihasilkannya. Bayinya kelak akan mendapat banyak limpahan ASI yang bergizi dari balon susu mamanya ini. Rangsangan yang hinggap ke otakku sangat intens sekali saat ini. Berada di tempat umum, hanya mengandalkan kunci sederhana pintu di kamar ruangan rawat inap rumah sakit, aku sedang mengenyoti tetek binor yang sedang hamil tua dengan ASI yang mengucur. Aseng junior-ku tak terbendung lagi mengacung keras di dalam celanaku. Terasa sesak hingga tak nyaman mengganggu.

Kulepas kancing celanaku dan sisanya dibantu Aida, garmen bawah yang kukenakan itu sudah teronggok di lantai. Aida meremas-remasnya dengan mendesah-desah kepedasan. “Aashhh… Ssshhh… Oohhsss… Keraaass… Uhhsss…” Jariku yang tak mendapat posisi serang mencari jalan ke bawah melewati sisi perut buncitnya dan langsung menemukan gundukan gemuk plontos. “Aauuhh…” erangnya saat kaitan jariku berhasil masuk menusuk. Gerinjal-gerinjal isi dalam liang kawinnya menyambut lesakan jariku. Basah dan hangat sekali.

Aida makin memeluk kepalaku tak mau melepaskan dari kenyal melenakan dua balon besar ini. Aku makin blingsatan merasakan kenyal lembut bersusu tetek yang sangat memabukkan ini sehingga aku ikut arus aja saat binor bunting besar ini menarik dan mengarahkan Aseng junior ke arah sarang lamanya ini. Hangat yang pertama kali kurasakan saat kepala Aseng junior menembus bibir kemaluan tebal kemerahan itu. Terbenam sempurna terselimuti daging bergerinjal di sepanjang basah permukaannya.

Binor ini menganga tak bersuara merasakan bagian dalam kemaluannya disodok batang pejal Aseng junior. Ahh… Aku sangat kangen sensasi liang kawin Aida ini. Begitupun juga dia sangat kangen lesakan keras batang penisku yang meluncur masuk hingga mentok. Tubuhnya gemetar karena bukaan uterus-nya bersamaan dengan terbukanya mulut rahimnya, bersiap untuk melahirkan.

Ia sekarang memeluk tubuhku erat dengan kedua kelamin saling bersatu padu dengan irama degub jantung yang bertalu-talu. Kedut-kedut liang kawin vagina Aida meremas-remas sekujur batang Aseng junior. Bagian kepalanya bahkan terjepit di mulut cerviks-nya. Menggeliat-geliat tubuhnya membuat Aseng junior serasa diperas di dalam gua kenikmatan ini. Padahal aku belum melakukan gerakan memompa sama sekali.

“Baangghh… Aida kangeen kalii, baanghh.. Kangeen beginiii, baanghh… Uhhh…” tak dinyana kami malah berciuman panas. Saling pagut mulut dan bibir. Aida meremas-remas lenganku sementara aku mengelus-elus punggungnya. Remasan liang kawinnya terhadap Aseng junior semakin menjadi-jadi. Aku harus hati-hati tidak menghimpit perutnya sehingga punggungku melengkung mencegah menyentuh perutnya. “Shllk… shlookk… shlokk… Hmm… Ahh…”

Lama kami berciuman dengan sangat panas. Lidah Aida menjelajah masuk ke dalam mulutku. Mengajak lidahku menari-nari erotis. Lalu saling kecup dan lumat sementara Aseng junior hanya terdiam. “Aaahhh… Mmm… Enak kali cipokan gitu sama papa Aseng… Dedeknya juga lebih tenang sekarang dijenguk papanya…” katanya saat pandangan kami sangat dekat. Ia mengelus-elus perutnya. Aku menjauhkan wajah kami karena tak ingin menekan perutnya lebih jauh dan aku mulai bergerak.

“Aahh… Enak, bang…” terasa ketat sekali vagina gemuk ini sekarang. Liang kawinnya mengatup erat dan pastinya sangat hangat. “Aahh… Ahh aahh… ahhh… Mmmhh…” sambut Aida dengan erangan pelan yang sangat indah sekali di telingaku. Pertemuan kelamin kami sangat indah. Teringat awal-awal skandal kami dimulai dari aku yang sering menggendong Salwa keliling gang. Aida memancing-mancingku untuk dengan memamerkan tubuhnya. Bahkan terang-terangan minta dihamili kemudian. Binor nomor satu dalam koleksi binor hamil yang bentar-bentar lagi bakalan melahirkan karya perdanaku.

Lalu disusul oleh rentetan beberapa binor lainnya sampe banyak sekali malah yang kemudian beneran ikut hamil berkat sangat suburnya bibit yang kuhasilkan. Mereka yang awalnya bermasalah, sulit untuk mendapatkan keturunan setelah kubantu dengan masalah supranaturalnya, kembali kondusif dan berhasil hamil. Hasil terakhir, Karina tadi sudah memberikan kabar terbaru dirinya akhirnya hamil.

Aku sangat terangsang sekali saat ini mengentoti binor yang sedang hamil besar begini. Visualnya sangat provokatif. Ini tampilan seorang perempuan seksi yang subur, hamil besar hampir melahirkan. Mungkin insting primitif-ku yang menyatakan perempuan seperti inilah yang paling sempurna; perempuan yang bisa hamil. Apalagi hamilnya akibat campur tanganku sendiri.

“Yaaahh… Ahh… Ahh…” erangnya sangat seksi. Aida yang menyenderkan punggungnya pada tumpukan beberapa bantal, mengangkangkan kakinya lebar-lebar mempersilahkanku masuk ‘mengunjunginya’. Aseng junior meradang kompak denganku. Ia sudah sangat keras seperti batang kayu. Merojok cepat ke dalam liang kawin Aida yang membara. “Baanngghh… Baaanghh… Kontraksi lagi…”

Alamak! Batang Aseng junior seperti di-blender di dalam liang kawinnya yang sedang berkontraksi. Pintu cerviks-nya membuka semakin lebar akibat stimulasi seksual ini. Ada benda tumpul yang sedang menyodok-nyodok untuk memperlebar jalan keluarnya sang jabang bayi yang dinanti-nanti. Aku gak tahan karena kontraksi keras ini. Mulutku menganga lebar dan kepalaku terasa ringan. Seluruh tubuhku menegang, lutut binor ini kugenggam erat untuk segera menyemburkannya. Gak kuaat!

“Crrooott croot crooott!”

Tubuhku terasa benar-benar nikmat saat ini. Muatan spermaku meluncur masuk melumasi semua jalan keluar si dedek bayi. Kusodok-sodok pelan, memberikan rasa nikmat tambahan, meratakan semua cairan kental itu di basah permukaan lorong vaginanya yang bakalan jadi jalur keluar mahluk baru penghuni dunia ini. Aida juga mengerang-ngerang masih dengan kaki mengangkang dan tetek serta perut besarnya. Kucabut perlahan Aseng junior dari dalam sarang gemuknya dan segera cairan kental itu meleleh keluar.

“Haah haah haah… Enak kali, bang…” pujinya sembari mengelus-elus perutnya.

“Masih kerasa sakit, gak?” tanyaku sambil membersihkan lelehan itu dengan bantuan tisu. Ini semprotan pertama hari ini jadi muatannya sangat banyak. Harap maklum aja.

“Masih… Tapi ada enaknya… Hihihihi…” jawabnya menyentuh tanganku untuk meyakinkanku bahwa ia baik-baik saja. Perbuatanku padanya barusan tidak berbahaya. Matanya melirik pada Aseng junior yang menjuntai-juntai. “Masih bisa lagi, bang? Biasanya kan sampe beberapa kali, ya?” lanjutnya sambil tersenyum lebar dan bangkit dari posisi bersandar bantalnya.

Dengan agak bersusah payah ia membalik tubuhnya hingga ia kini menungging di atas ranjang rumah sakit ini. Posisi ini tidak terlalu menekan perutnya dan seingatku Aida suka posisi doggy ini. Ia memamerkan bokongnya yang terlihat makin bohay aja dari sebelumnya. Apalagi belahan vaginanya yang agak membuka, becek oleh sperma dan cairan pelumasnya. Pemandangannya, beuuhh… Juara abis!

Tanganku tak bisa kutahan untuk meremas-remas bongkah montok pantatnya yang gempal kenyal. Menyebabkan Aseng junior membengkak keras kembali ke ukuran tempurnya. Agak berderit ranjang rumah sakit ini saat aku naik dan memposisikan tubuhku di antara tunggingan pantat Aida yang asoy geboy semlohay. Aseng junior segera menemukan posisi docking-nya di liang kawin Aida yang membara. “Aaahh… Uuuhhh…”

Aku tak dapat menghentikan diriku selain melakukan genjotan demi genjotan penuh pada liang vagina binor ini. Aku tak perduli lagi aku ada di mana. Erangan Aida yang keenakan kuanggap sebagai musik pengiring untuk merangsangku untuk segera mencapai kenikmatan lagi. Aku tergila-gila untuk segera ejakulasi lagi. Aida sangat suka menerima curahan spermaku di dalam dirinya. Ia terus menyemangatiku untuk menggenjot walo ia pastinya masih merasakan sakit kontraksi yang semakin rapat intervalnya.

Benar saja. Dalam semenit aku sudah merasakan dua kali kontraksi berulang di vaginanya. Rasanya sangat luar biasa. Aseng junior serasa dipijat-pijat. Kalah sensasi empot ayam yang fenomenal. Kalo pribadi yang lemah pasti sudah dari tadi ngecrot. Aku berusaha keras menikmatinya. “Auhh auhh.. auhh auuh…” Selangkangan Aida semakin memerah. Apalagi permukaan vaginanya membengkak sangat menggiurkan. Ini seks terbaik yang selalu kuincar. Sejauh ini aku hanya pernah menikmati ini saat kehamilan istriku dan aku beruntung merasakannya lagi di binor.

Goyang terus!

Tubuhku mengejang dan menyemprotkan semburan-semburan sperma nikmat lagi di dalam liang vagina Aida. Bokong gempal itu habis kuremas-remas gemas untuk meluapkan rasa nikmat luar biasa yang membuncah tinggi memberi ekstase lebih. Kepalaku terasa sangat enteng. Kugenjot-genjot pelan untuk merasakan nikmat tambahan akibat gesekan batang Aseng junior yang sedang sangat sensitif abis ejakulasi. Apalagi bagian kepalanya yang masih terjepit di sepanjang lorong vagina.

Aida juga ikut lemas dan membaringkan tubuhnya menyamping. Belahan vaginanya yang gemuk menggodaku kembali untuk melanjutkan ronde berikutnya. Padahal Aida masih ngos-ngosan merasakan kontraksi dan nikmat yang meraja bersama. Kuoles-oleskan kepala Aseng junior yang belum sepenuhnya pulih akibat ngecrot barusan, meratakan dan menguras lelehan sperma yang mengucur. Kubersihkan dengan tisu kembali

“Aaaahhh… Enaaak kalii, baang… Masih kuat, baangh?” erang Aida kala Aseng junior menyeruduk masuk kembali dan langsung kupompa di posisi menyamping begini. “Puas kali dedeknya ‘dikunjungi’ papanya hari ini… Aahh… Yaahh… Auhh… Mmm-ahh…” Aida memegangi perutnya, mengelus-elusnya menjaganya aman dari guncangan yang kusebabkan. Mengerang-ngerang seksi sambil meringis menyaksikan dan menikmati apa yang sedang kuperbuat pada tubuhnya. Ia menikmatinya. Sangat menikmatinya. Setelah ini, ia harus menunggu berbulan-bulan untuk bisa melakukan ini lagi. Biar ini menjadi kenangan indah baginya.

Lagi-lagi aku memuaskan diriku, menuntaskan hajatku pada tubuhnya yang sangat seksi di kondisi hamil begini. Sangat puas. Cukup kusudahi karena Aida sudah kepayahan. Ia perlu banyak tenaga untuk persiapan melahirkannya. Setelah kubersihkan sisaku, aku memakaikan kembali dasternya dan menurunkan sarung yang dikenakannya. Aku memberinya minum dan membiarkannya beristirahat.

——————————————————————–
“Ya, buu… Benar begitu… Ejankan dengan kuat… Lalu bernafas… Yaak… Truus… Lagi-lagi… Sudah kelihatan kepalanya, bu… Jangan lupa bernafas… OK… Satu kali ngejan yang kuat…” kegiatan dua ronde kami sekitar sejam yang lalu menampakkan hasil baik. Aida yang kudampingi sedang berada dalam posisi bersalin. Semoga lancar semuanya.

“Owee owee owee owee…”

“Sudah lahir, Da… Sudah lahir anakmu, Da…” kataku berbisik di samping kepalanya sambil terus menatap bayi mungil yang sangat putih berambut lebat itu masih lengkap dengan tali pusarnya yang masih menempel. “Bayinya perempuan, Da…” bisikku melihat sekilas kelamin bayi itu. Ia sangat cantik. Persis seperti keinginan Aida agar bayinya sama dengan Salwa, karena bayi ini mirip sekali dengan Salwa. Aku ingat betul kesamaan itu waktu anak keduaku itu lahir.

Bidan yang dibantu seorang asistennya sedang membereskan sisa persalinan ini dan membersihkan sang bayi. Memakaikan baju dan membedongnya. Sepanjang sudah berada di alam bebas begini, ia berteriak-teriak menangis terus. Mungkin kaget ia berada di alam yang sangat asing dan luas ini.

Selamat datang di dunia ini, nak.

“Makasih, bang Aseng…” bisik Aida setelah menyaksikanku meng-azan dan qomat masing-masing di telinga si dedek mungil yang berbobot dua koma tujuh kilo. Aku yang mendapat kehormatan melakukan ritual ini karena tak ada orang lain sore ini. Aida menitikkan air mata masih lemas paska-natal. “Makasih atas semuanya…” kukecup bibirnya agar ia tak berkata apa-apa lagi.

Bersambung

pembantu polos
Menikmati orgasme dengan pembantu yang polos
anak angkat nyusu pada ibu angkat
Anak angkat yang pengen nenen pada ibu angkat nya bagian satu
ibu mertua hot
Nikmatnya ngentot mama mertua saat istri ku tidur
dukun cabul cantik
Cerita hot kisah si dukun cabul bagian dua
Ibu guru bugil
Ngentot Ibu Guru Berjilbab Yang Masih Perawan
ngentot mama
Aku menikmati setiap kali bersetubuh dengan mama dan tante kandung ku sendiri
Istriku yang Soleha
Foto Seksi Jablay Memek Gundul
janda pembantuku
Desahan Kenikmatan Seorang Janda Pembantuku Bagian Satu
ibu ibu hot
Liburan ke Eropa bersama ibu ibu sosialita bagian satu
Foto toket gede pemandu lagu karaoke cantik
istri pak tr
Istri pak RT yang super sexy ketagihan dengan kontol ku
Cerita ngentot dengan pacar baru yang masih lugu
Foto Sex Cewek Mulus Memek Rapat
gadis hamil
Menikmati Vagina Sepupu Ku Yang Sedang Hamil
Foto Telanjang Siswi SMP Berseragam