Part #66 : Aku punya banyak stok calon bayi untuk didonorkan hari ini
“Motto… motto, kudasaaai… Kyaahhh… Ikku… Ikkuuu… Kyaahh… Ah!… Ahh…” hanya menjerit-jerit seksi bak bintang JAV yang bisa keluar dari mulut manis Mayumi. Tubuh telanjangnya berkejat-kejat di pelukanku. Tangannya meremas lenganku saat liang kawinnya berkedut-kedut mencengkram Aseng junior-ku yang tertanama dalam di depan pintu rahimnya yang membuka.
“Ahh… Sugoi-ne…” dadanya yang kembang kempis memuji permainanku. Beberapa mata gadget sedang menyaksikan permainan kami berdua di kamar hotel ini. Mayu-chan meletakkan beberapa buah kamera tersembunyi di beberapa sudut kamar untuk menyajikan pertempuran ini secara live pada suami sablengnya itu. Entah dimana pria gerot itu sedang ngocok sambil nonton biniknya kuentoti.
Kakinya kuangkat saat ia mulai pulih dari orgasmenya lalu kuletakkan di bahuku dan mulai kugenjot kembali. Tusukan 2-1 andalanku kembali kuperagakan. Mayu-chan kembali mengerang-ngerang merdu cenderung berisik. Suaranya malah membuatku semakin terpacu. Jepitan erat kemaluannya mencengkram erat dan tambah kueratkan dengan memindahkan kakinya ke samping kanan hingga tubuhnya miring.
“Aaarrgghhh…” sungguh luar biasa efeknya. Aseng junior terjepit erat oleh bobot pinggulnya. Tumbukan perutku membentur-bentur lekukan bokongnya yang bulat halus. Membal-membal menggila karena aku sedang memacu kenikmatanku sendiri. Aku sangat suka sensasi ejakulasi saat menggenjot vagina di posisi ini. Membuat lutut lemas dan tubuh bergetar hebat. Aku ketagihan posisi miring ini.
“S-aahh… Ah! Aahh…” semburan demi semburan deras meluncur kencang mengisi rahimnya yang selalunya ditembaki peluru kosong oleh suami mandulnya lewat vasektomi. Berbuih-buih sisa pergulatan kami. Meluber sisa spermaku yang tak tertampung di dalam liang kawin dan rahimnya. Rahim mungilnya kebanjiran spermaku yang sudah beberapa hari ini mengendap tak tersalur.
Aku punya banyak stok calon bayi untuk didonorkan hari ini.
Mayumi pasrah bokongnya kuganjal dengan bantal. Kakinya masih mengangkang lebar dengan liang kerang Nippon-nya berselemak sperma kentalku. Oppai-nya kuremas dan mulutnya kupagut gemas, menikmati binor asal Jepang ini. Ia memejamkan matanya menikmati semua perlakuanku padanya malam ini. Tangannya mengapai pada Aseng junior dan mengocoknya perlahan. Lidah kami saling bertaut dan memuaskan. Saling pagut dan sedot bibir dan lidah untuk beberapa lama.
Aseng junior sudah mengeras ke ukuran tempurnya kembali dan kini saatnya untuk melanjutkan ke ronde berikutnya…
——————————————————————–
“Cekrek-cekrek-cekrek!” Mayumi beberapa kali mengambil foto wefie kebersamaannya denganku sehabis asyik masyuk tiga ronde barusan. Aku membongkar muatan spermaku pada binor Nippon ini sepuas-puasnya. Mayumi tanpa ragu-ragu memelukku erat dan mengambil foto itu berulang-ulang dengan beberapa pose. Dua jarinya pertanda V-nya yang selalu ada khas Jepang-nya.
Ia menjejalkan oppai-nya ke mulutku lalu mengambil foto lagi dengan riangnya. Ia tersenyum bahagia sekali melakukan ini semua setelah seks yang menggebu-gebu barusan. Padahal kerang Jepang-nya masih meleleh oleh banjir sperma kentalku. Terakhir ia mengajakku berpagutan mulut dengan mesranya kembali dengan kilatan-kilatan lampu flash HP-nya. Aku paham apa yang sedang dilakukannya. Ini adalah dokumentasi perselingkuhannya denganku yang akan disetorkannya pada pak Ferdi, suami sablengnya itu. Foto jarak dekat begini pasti akan mempunyai efek yang berbeda dari video candid.
“Kapan-ne kita kutumu ragi, Aseng-san? Saya suka-u tidur dengan Aseng-san… Ano… puas…” saat kami cuddling setelah sesi foto berakhir. Kupeluk tubuh indah lembutnya dari belakang. Aseng junior-ku yang istirahat menyundul belahan bokongnya. Tanganku menyilang di perutnya dan satu tanganku meremas perlahan oppai-nya. Aku menciumi rahangnya.
“Tiap dua hari saja kita ketemunya, Mayu-chan… Awak juga selalu puas tidur dengan Mayu…” jawabku mengelus-elus kenyal oppai-nya.
“Setiap hari tidaku bisa-ka?” desaknya jujur. Ia memegangi punggung tanganku yang menyentuh dadanya.
“Ah ha hahahaha… Gak bisa-la, Mayu-chan… Saya juga ada banyak kegiatan lain… Kasi kesempatan dong untuk pak Ferdi untuk memuaskanmu…” kataku.
“Ferdi-kun tiap maram seraru tidur dengan saya… Agaru Mayu rekas hamiru… Aseng-san harus tidur dengan saya tiap maram… Saya suda tidaku sabaru untuku hamiru…” katanya lalu berbalik dan menghadap padaku face to face. Matanya yang indah berkerjab-kerjab seperti mata anak kucing yang minta disayang dan dielus. Padahal teteknya yang kenyal sedang gencet di dadaku. “Aparagi Aseng-san dan saya suda membuat-to perjanjian tiga pasaru tadi, kan?”
“Ah ha hahahaha… Mayu-chan ada-ada aja, ya?” aku mengabulkan permintaannya. Aku mengelus-elus ubun-ubun kepalanya. Wajahnya membingkaikan senyum lebar yang manis sekali. Padahal sebenarnya karena aku punya jadwal dengan binor yang lain pula. Tepatnya dengan pasangan pasutri Julio dan Amei. Malam ini di hotel ini, besok aku ketemuan pasangan itu di hotel lain. Lalu ketemu Mayu malam berikutnya.
“Ha-i… Junior Aseng-san masih mau ragi?” tanggapnya merasakan Aseng junior-ku yang dengan kurang ajarnya berani ngaceng lagi dan menyundul perut rata Mayumi. Binor ekspatriat ini girang sekali merasakan gairahku pada tubuhnya yang very-very entotable. Ia dengan suka cita melebarkan kakinya dan mengarahkan si-nakal itu memasukinya lagi. Boleh-la sekali lagi.
Benar rasanya tak adil juga kalo Mayumi tidak diberi tanggung jawab yang serupa untuk menjaga hubungan ini dengan perjanjian tiga pasal-ku. Dia bisa paham dengan jelas dan mengerti semua fungsinya dengan baik. Masih dengan fokus pada hubungan yang tak akan menuju hubungan pribadi yang intim ato personal mengenai asmara, rahasia dan tentu saja masalah anak yang mungkin akan mengemuka misal dia beneran hamil.
——————————————————————–
Keluar dari pintu kamar yang sudah menjadi saksi bisu pergumulan beberapa rondeku dengan Mayumi, aku merenggangkan semua otot-ototku di depan pintu. Koridor hotel ini sangat lengang. Ada belasan pintu-pintu kamar di kanan kiri koridor yang menuju lift di ujung sana dan tangga darurat di bagian tengah. Ini udah jam setengah sebelas malam. Dari sore ngentot baru siap jam segini. Hasil nambah libur kerja dua hari lagi plus gak kuliah juga kuhabiskan dengan ngentotin binor. Ahh… Puas sekali malam ini. Abis ini pulang langsung tidur nyenyak.
Enak-la kau junior… Masuk ke cewek Jepang cantik kek gitu. Perempuan dewasa yang minta dihamili memang sangat binal. Bisa dibilang nagih tros maunya tiap hari disiram biar cepat jadi mblendung. Masuk ke cewek Jepang yang pasrah mengangkang diencrotin sesuka hati. Aku meluruskan posisi si Aseng junior yang gak lempeng di dalam sangkarnya. Masih terasa enak dan nikmatnya binor barusan…
“E-ehh… Aduhh…” ada seseorang yang tiba-tiba menarikku memasuki pintu kamar yang terbuka dengan cepat lalu menutup kembali dengan sama cepatnya. “Loh-loooh… Ehh… Uhh…” sosok yang biasanya lembut dan kalem itu dengan cepat menyeretku dan menjatuhkan tubuhku ke tengah ranjang hotel ini, langsung menghimpitku. Menduduki tubuhku agar aku tak bisa kemana-mana. “A-a… Ada apa ini?”
“Maaf kalau aku nekat begini, bang…”
“Ada apa ini? Apa maksudnya semua ini?” aku masih belum paham apa yang sedang menimpaku. Tetapi berat tubuhnya yang sebenarnya hanya ringan saja, menduduki tubuhku. Mengunciku agar tak dapat lari kemana-mana. Membuatku menjadi miliknya. Ia hanya memakai pakaian dalam dengan sangat nekatnya. Ia baru saja melepas gaun pendek itu hingga ia tinggal memakai pakaian dalam saja yang berwarna senada. Rambut panjangnya tergerai di belakang punggungnya.
Kami hanya saling bertatapan karena ia tak melakukan gerakan lanjutan.
“Kenapa harus begini caranya?”
“Aku tak tau lagi harus bagaimana, bang… Aku tak tau… Hanya ini opsi yang tersedia…” jawabnya. Ia menahan tangis.
“Jangan, Vi… Lebih baik jangan… Cara ini salah…”
“Tapi bang Aseng sangat suka melakukan ini… hiks… Kenapa tidak aku coba? Aku sudah melihat abang dengan banyak perempuan-perempuan itu… Bahkan sebelumnya abang baru aja dengan perempuan cantik itu di kamar sebelah… Kenapa tidak kucoba? hiks… Katakan kenapa tidak kucoba saja cara ini?” suaranya parau melontarkan kalimat-kalimat penuh emosi ini. Vivi menggunakan mahluk asingnya itu untuk mengikuti kegiatanku malam ini, membuka kamar tepat di samping kamarku asyik masyuk bersama Mayumi dan menyeretku masuk kemari begitu aku lewat.
“Masalahnya bukan Vivi… Bukan karena Vivi tidak cantik ato kurang pinter ato apa… Bukan itu, Vi… Awak gak bisa menerima cinta perempuan lain di hidup awak… Awak tak memendam perasaan apa-apa sama perempuan-perempuan itu… Awak sudah bersumpah… Awak sudah berjanji… Hanya ada satu perempuan dalam hidup awak… dan itu istri awak… Kakakmu, Vi… Kakak angkatmu itu…” kataku masih berbaring dan dihimpitnya.
“Vivi tau awak siapa, kan? Hidup sebagai sebagai seorang pendekar Menggala ini banyak mengandung perjanjian-perjanjian yang harus dipenuhi… yang harus ditepati… Saat itu… untuk meyakinkannya menerima awak sebagi Imam hidupnya… tau janji apa yang awak berikan padanya? Janji yang gak akan awak berikan pada perempuan lain… Awak akan mati kalo menerima cinta lain di hati ini… Apa itu yang Vivi mau?”
Vivi tercekat dan menutup mulutnya dengan tangan.
“Yaa… Itu satu-satunya perjanjian hidup mati yang awak buat dalam hidup ini… Dalam dunia awak yang keras ini… janji seperti itu harus ditepati… Coba-coba melanggar nyawa awak melayang… Mangkanya… awak dari awal-awal sudah minta maaf banyak-banyak… Maaf awak gak bisa menerima Vivi karena taruhannya adalah nyawa, Vi… Anakku masih kecil-kecil… Ini demi mer…”
“Sudah! Sudah… Huu huu huuu…” malah jadi mewek dia. Matanya dipejamkan rapat dengan menutup mulutnya dengan dua tangan. Ia menangis tersedu-sedu sampe berlinangan air mata. Bahunya berguncang-guncang karena isakan pelannya. Mukanya memerah menumpahkan semua emosi kecewanya. Emosi tak kesampaiannya. Hasratnya yang tak akan bisa kubalas sampe kapanpun. Yang terbalas karena akibatnya nyawa melayang.
Yah. Memang itulah yang sebenarnya. Janji bukan hanya sekedar janji. Janji yang dibuat atas jaminan nyawaku sendiri.
“Hu huhuhuhuhu… hiks huhuhuhuhu…” ia masih menangis tersedu-sedu menutupi wajahnya. Aku gak berani melihat selain bagian wajahnya karena bagian lainnya bisa dipastikan sangat indah.
Aish… Bulet-bulet… Menul-menul… Mulus-mulus… Padet-padet… Ahh… kinclong bener… Mata, Seng! Jaga matamu!
Dasar buaya. Sambil menunggu Vivi reda menangis kenapa tak menikmati pemandangannya. Kulitnya mulus bersih tanpa noda seperti yang selama ini kubayangkan. Mulus kinclong adem kek keramik lantai mushola. Tubuh mungilnya tersedu-sedu masih menangis entah kapan akan berhenti. Dua tangannya yang erat menutupi wajahnya menekan sepasang bukit kembarnya yang berkembang menjadi gunung yang sangat indah. Keknya sangat kenyal dan padat. Badan Vivi tidak tinggi tetapi bentuk tubuhnya indah proporsional. Gunungan dadanya bulat mempesona, membusung padat. Buktinya tangannya sampe harus digencetkan ke dadanya untuk menutupi wajahnya dengan sempurna. Perutnya rata gak endut tapi gak ketat juga karena lubang pusarnya membulat. Pahanya mulus, padat dan punel membentang mengangkang di atas perutku. Dan terakhir tapi yang paling utama adalah gundukan yang tersembunyi di balik celana dalam berwarna senada dengan bra, merah maroon.
Aish… Indah nian dirimu, Vivi. Tapi walopun seindah ini, aku tak mungkin juga mengikuti apa maumu. Keinginanmu adalah akhir bagiku. Hal yang mustahil bagiku. Keputusannya sudah final tidak bisa diganggu gugat. Gak akan ada kemungkinan sampe tingkat Kasasi segala.
Grek grek grek. No no no! Tangan nakal! Tangan nakal! Gak boleh megang-megang! Ngapain mau ngeraba-raba paha mulus itu? Mau cari mati, heh? Kan masih mau megang… Belum kepegang, kok. Jangan coba-coba!
“Bodoh…”
“Eh… He hehehe… Vivi? Udahan nangisnya? Ini nih… Ada nyamuk tadi mau gigit tanganku… Untung kepukul… He hehehe…” kataku cengengesan menutupi kebodohanku barusan yang ngomong sendiri walo dalam hati. Vivi menyilangkan tangannya di depan dada untuk menutupi gundukan besar yang tentunya akan sangat sulit untuk disembunyikan begitu. Apalagi dalam keadaan hanya memakai pakaian dalam begini. Gimana kabar perutnya bahkan celana dalamnya?
“Bang Aseng bodoh! Sruuutt… Hufft… Bodoh!” umpatnya berulang-ulang sembari membersihkan mata, pipi dan hidungnya yang meler. “Hu huhuhu… Ngapain sih musti pake janji serem kek gitu? Kenapa gak janji yang biasa-biasa aja, sih?” ia menyeka sisa air mata dari pipinya. “Trus Vivi gimana ini? Vivi harus apa? hiks…”
“Lupakan awak… Cari yang lain… Mudah diucapkan… Susah dikerjakan…” jawabku enteng aja karena memang mudah diucapkan. Itu masalah Vivi untuk mengerjakannya. Aku melipat tanganku di atas dada. Lumayan bisa nyenggol lututnya dikit. Hihihi…
“Bukan yang itu, hu-uh… Itu juga Vivi tau… Ini-loh…” ia menunjuk badannya sendiri. Kenapa rupanya?
“Tinggal turun aja… Pake lagi bajumu… Berat juga lama-lama… Eits! Jangan marah dulu… Bukannya awak mau bilang Vivi itu endut… Tapi ini perut-loh yang Vivi duduki… Weteng… Isinya usus sama jeroan-jeroan lain…” tunjukku pada perutku sendiri, dong. Tepat di depan gundukan montok celana dalamnya tapi.
“Gak mau! Perempuan-perempuan itu abang biarin duduk begini sampe lama juga abang enak-enak aja…” katanya dengan mulut manyun.
“Duduknya bukan di perut juga, non… Agak bawahan dikit… Dan itupun kondisinya beda… Kondisinya enak-enakan… Lagi ngeseks… Lah… Ini namanya Full Mount… Vivi tinggal gebukin aja muka awak sampe KO… Ground and Pound… Puk puk puk puk!” kataku memperagakan memukuli mukaku membabi buta.
“Eh… Salah, ya? Di sini?” ia beringsut mundur dan tepat menduduki si Aseng junior.
“Aahh-duhh… Du-du-duh… Atit, non…”
“Napa, sih?” sengitnya. Tak ada jejak kesedihan di wajahnya lagi. Saat-saat begini ia bisa bercanda lagi.
“Aduh… Inventaris masa depan awak diduduki… Atit…”
“Tangannya dikondisikan-lah… Main pegang aja…” ia menepis kedua tanganku yang menjamah pinggulnya. Pantesan enak, empuk-empuk gimana… Mukanya manyun dengan bibir dimonyongkan. Aku jadi hampir tertawa melihat mimiknya. Tangannya lupa untuk menutupi dadanya lagi. Sadar, ia langsung menyilangkan kedua tangannya dengan mata menyipit kesal. Mataku turun ke arah pusarnya. Satu tangannya melintang turun ke pusar sampe ke depan celana dalamnya.
“Dasar perawan…” ejekku.
“Abang ambil aja perawanku… Aku rela, kok…”
“Gak usah bercanda kek gitu, Vi… Gak lucu…”
“Vivi gak bercanda, bang. Serius ini Vivi…” katanya mencoba meyakinkanku. Aku menggeleng-geleng.
“Bukannya tadi awak udah bilang lupakan awak dan cari yang lain… Gimana awak bisa menyerahkan Vivi pada yang lebih baik di luaran sana kalo Vivi sudah tak suci lagi akibat ulah awak?” kataku menolak ide gila itu mentah-mentah. “Eh?”
“Vivi gak peduli, bang… Nih…” aku gak bisa mencegahnya sama sekali saat ia melepas kaitan bra yang ada di depan itu hingga gunung kembar indah berbentuk bulat sempurna ginuk-ginuk itu melompat bebas dan tumpah ruah di hadapanku. “Boing-boing!”
Ini cam mana ceritanya ya, kan? Tadi ditutup-tutup pake tangan bersilang sekarang malah diumbar kek gini. Mana bagus kali bentuknya. Alamakjang… Bulat indah dengan pucuk pentil imut berwarna coklat muda berlingkaran mungil juga. Pentil itu sedang mencuat saat ini. Antusias, gugup atokah terangsang? Payudara perawan yang tak pernah disentuh durjana manapun. Perawan kinyis-kinyis…
“Vi… Jangan kek gini-la, Vi… Gak mungkin-la awak merusak adek awak sendiri…” elakku tapi sulit melepaskan pandanganku dari sepasang gunung kembar itu. Ada magnet yang sangat kuat menarik mataku ke sana terus. Mukanya mulai memerah. Tangannya ragu-ragu akan menutupi aset berharganya itu ato tidak.
“Elehhh…. Jangan-jangan… Ini kok nyundul?” tunjuknya pada bagian pinggangku.
“Ituuuuu, kan karena Vivi dudukin kek gitu… Haa-ha… Pake digoyang-goyang lagi? Gimana gak nyundul dia…” ngeles. Kimak ini si Aseng junior. Pakek ngaceng pulak dia merasakan belahan pantat Vivi yang mendudukinya. Gak ada-nya si Vivi pake goyang-goyang kali. Cuma aku aja yang udah terlalu hapal dengan anatomi tubuh perempuan seksi kek gini. Kek ada sensor si kimak Aseng junior bisa mendeteksi barang bagus. Pake nempel pulak dia, kan? Makin keras jadinya. Apalagi pemandangan indah dua gunung kembar. Gak perlu aku jauh-jauh ke Brastagi (semacam daerah Puncak kalo di daerah Medan) kalo mau nengok gunung, di depan mataku langsung ada dua gunung menjulang besar, indah bestari.
“Makin nyundul ini… Iihh… Awas ini!” risih Vivi karena tonjolan Aseng junior yang tepat berada di belahan bawah pantat dan tembem kemaluannya. Bergerak-gerak akibat kontraksi yang pastinya akan menggelitik titik vitalnya. Gerakan-gerakan risihnya malah makin merangsang si Aseng junior. Menggesek-gesek erotis. Vivi yang masih hijau pasti tak tau itu.
“Makanya jangan diduduki, non… Itu ibarat ular… ganas kalo matok… Ngomong-ngomong… bagus, tuh…” kataku mencoba menggoda kesungguhan hatinya. Apa benar-benar semua yang dikatakannya tadi? Apa benaran rela? Aku menunjuk bagian dadanya dengan gerakan daguku. Bibir bawahku kugerak-gerakkan mesum.
Hidungnya mengernyit lucu tapi ia menutupi kedua gunung kembarnya dengan kedua lengannya. “Ngapain dibuka kalo ditutup juga?” godaku lagi. Ditutup deh pemandangan gunungnya. Aku melipat tanganku di depan dada lagi. Tapi Vivi bukan tipe cewek yang suka tertantang kalo disindir begitu. Ia hanya cemberut mengerucutkan bibirnya.
“Gak kok… Orang ini mau dibuka begini…” ngelesnya mengupas tali strap bra yang masih menggantung di bahunya. Tapi tangannya masih bersilang di depan dadanya, menutupi sepasang gunung indah itu. Sisi-sisi yang tak tertutup cukup membuatku penasaran untuk melihat bentuk utuhnya lagi. Berganti-ganti ia melepaskan tali itu dari kedua lengannya hingga bra itu lepas dari tubuh mungil padat merayapnya. Wajahnya tambah merah seperti tomat.
“Vivi yakin mau melakukan ini semua? Heh? Kalo awak ngambil perawan Vivi-pun awak tetap gak bisa memenuhi keinginan Vivi itu… Sekali gak bisa ya tetap gak bisa… Merdekaa!!” seruku udah kek orang stress. Udah ntah hapa-hapa aja yang kubilangin dari tadi.
“Bang Aseng jahat! Masa Vivi dah telanjang pasrah gini-pun… masih gak mau nerima juga… Jahat!” desaknya terus dan memukul tanganku yang bersidekap di dada. Alamak! Sekilas sebelah dadanya terlihat utuh saat tangannya berayun memukul tadi. Ia melotot menyadari kesalahannya.
“Kan tadi udah awak bukak semua kartu awak, Vi… Bisa mati awak, Vi kalo awak ikuti maunya Vivi… Haahh… Biar tau Vivi… Itu tadi betul-betul-loh… Bukan bongak (bual) awak aja…
“Pasti boong tuh… Mana ada orang pake janji-janji… sumpah-sumpah mati betulan mati kalo gak ditepati… Pasti boong aja nih, bang Aseng…” ia masih tak percaya dan menggembungkan pipinya. Ntah cemana lagi aku akan menjelaskannya pada ini anak satu? Apa perlu aku…
“Apa perlu awak mati dulu baru Vivi percaya?” jawabku pasrah. Aku hanya menengadah menatap langit-langit kamar. “Vivi nyuruh mahluk asing tak bernama itu ngikuti awak sampe ke hotel ini dan buka kamar pas di samping awak yang sedang enak-enakan ini…”
“Namanya Ameng…”
“Nyuruh Ameng ngikutin awak kemari… Itu dia yang bilang namanya Ameng itu ato Vivi asal-asalan aja ngasih namanya?” tanyaku malah belok.
“Baru aja Vivi namain…”
“Ooh… Gitu… Vivi nyuruh Ameng ngikutin awak… bla bla bla bla blaa… Trus buka baju begini-pun tidak ada gunanya, Vi… Kecuali Vivi tega membuat anak-anakku jadi Yatim dan kakakmu jadi janda… Ini misal, yaa? Awak terima-la Vivi… jadi pacar awak-la dulu… Ingat ini misal… Trus awak langsung tewas gitu aja… Misalnya kenak serangan jantung mendadak gitu… Ato ada sniper di luar sana yang nembak kepala awak… Boom…” kukeplak kepalaku sendiri. “Apa Vivi gak jadi merasa bersalah gitu? O-iya… Ternyata sumpah bang Aseng itu benar-benar jadi kenyataan… Awak sangat menyesal semua jadi begini… Tapi udah terlambat… awak udah jadi mayat… Apa yang akan Vivi katakan pada kakakmu?” aku ngomong panjang lebar beginipun ada kemungkinan Vivi masih belum mau percaya.
Ia terdiam sejenak. Ia sedang mengkalkulasi sesuatu di dalam otak. Seorang mahasiswi pinter, asisten dosen di bidang manajemen ini tidak perlu dipertanyakan intelejensia dan kemampuan analisanya.
“Sebagian besar cerita bang Aseng tentang janji dan sumpah itu boongan…”
“Duh, Vivi… Apa itu Banaspati itu boongan? Apa daerah kekuasaan awak berbentuk taman di daerah ghaib itu boongan? Apa si Ameng itu boongan? Apa hantu cicak bernama Tabek itu boongan? Apa itu semua rekayasa awak aja? Khayalan? Vivi mengalami itu semua dan itu nyata… Kenapa memahami janji mati awak itu dianggap boongan juga? Keras kepala-pun ada batasnya, Vi… Kakakmu itu perempuan paling keras kepala yang pernah awak temui… Tapi kau malah lebih keras kepala lagi…” ujarku tak habis pikir.
“Ya… I’m such an ignorant fool, ya?” jawabnya sambil menggigit bibir bawahnya erat-erat.
“Untung cantik…”
“Makasih…” ia memiringkan kepalanya.
“Turunlah dan pake lagi semua bajumu… Vivi bisa masuk angin…” kataku membujuknya lagi. Tapi itu hanya harapan kosong. “Vivi pantas mendapatkan yang jauuuuh lebih baik dari awak yang gak seberapa ini… Turun, ya?”
“Enggak akan turun sebelum bang Aseng menerima Vivi…” putusnya secara sepihak dan itu sangat mengerikan. Apalagi Aseng junior sudah sangat keras tergencet oleh belahan pantat dan kemaluan perempuan muda ini. Usianya sudah sangat matang untuk dipetik dan harusnya ia menyadari potensi seksualnya. Gerakan-gerakan tak sadarnya makin membuat Aseng junior meradang. “Setidaknya kalau bang Aseng mau mengambil keperawananku… aku akan menyerahkannya dengan senang hati…”
“Gak!” kujawab tegas dengan cepat. “Itu artinya awak merusak dirimu, Vi… Awak sayang sama Vivi tapi sayang karena awak anggap Vivi sebagai adik… Adik awak jauh di Surabaya sana sekarang… ikut lakiknya yang kapten kapal… Sayang awak pada Vivi hampir sama kek awak sayang sama dia… Kami cuma beda setahun aja… Tapi manjanya hampir sama kek Vivi gini… Jahilnya juga… Kan gak mungkin awak ngerusak adik awak sendiri…” kataku terus berusaha meluluhkan hatinya untuk mengurungkan niatnya. Pake nyerahkan perawan segala. Berat itu…
Bibirnya rapat mengerucut tanda kesal. Kedua tangan yang memeluk dadanya dilepas begitu aja. Sepasang gunung kembar sejahtera jaya itu berlompatan boing-boing memenuhi pandangan mata 120 derajatku. Apakah dia akan nekat lagi? Ia bangkit dan kali ini bertumpu pada kedua lututnya. Bagus… dia bergerak akan turun. Ternyata bukan… Di posisi begini, sekarang aku bisa melihat dengan jelas bagian segitiga ketat celana dalamnya. Celana dalam mini itu sangat seksi dan menawan. Aku dapat mengetahui bentuk gundukan kemaluannya sedekat ini.
“Vivi udah kepalang basah begini, bang… Tidak ada jalan kembali lagi…”
Aku terpelongo melihat gerakannya yang super nekat. Jempolnya menelisip sisi samping tali celana dalam mini berwarna maroon itu dan perlahan memerosotkannya ke bawah. Mataku hanya terpaku pada bagian segitiga yang perlahan mulai tersibak, terlepas dari menutupi selangkangan putih mulus itu. Meluncur pelan sampai ke bagian pangkal pahanya. Aku dapat melihat rambut-rambut panjang tetapi jarang yang menghiasi gundukan indah kemaluannya yang bibir belahannya sangat indah sekali. Rapat dan imut.
“Jantung Vivi berdegub kencang sekali, bang… Dadaku sakit jadinya… Ini sangat memalukan tapi ini semua Vivi lakukan hanya untuk bang Aseng… Vivi tak pernah begini sebelumnya… Hanya demi bang Aseng… Tidakkah ini berarti apa-apa?” bisiknya lirih. Wajahnya tambah memerah seperti kepiting rebus.
“Vi… Vivi… Hentikan, Vi… Ini sudah terlalu jauh… Ini sudah keterlaluan…”
“Keterlaluan hot ya, bang?” potongnya. Ia kembali duduk ke posisinya, menduduki selangkanganku. Amboi. Rancak bana iko-ma. Coitu bana padusi ciek ko… Ba’a ka den buek lai ko? Mampos! Sampe keluar bahasa ibuku. Beuh… Makin meradang si Aseng junior diduduki bokong telanjang Vivi. Gundukan tebal di balik celanaku makin menggila. Paja karengkang ko lai lah manggaliek bangun de’e. Ba’a ka membueknya lalok lai? Indak ka masuak je nyo-a.
Aduuhh maaak… Bertambah lagi tantangannya. Perlahan ia menarik satu sisi celana dalam itu lepas dari kakinya dengan posisi mengangkang. Visualnya bertambah-tambah ganas. Aku meremas rambutku gemas. Aku bisa melihat belahan vaginanya yang rapat sedikit merekah membuka khas gadis perawan yang hanya menggunakan kelaminnya hanya untuk kencing dan menstruasi teratur. Vagina subur nan sangat lezat.
Berkali-kali aku menahan nafas lalu sesak nafas sendiri karena aku perlu semua oksigen itu untuk menyegarkan otakku yang tiba-tiba kram. Apalagi saat celana dalam mini itu lepas sama sekali dari kaki mulus Vivi. Ia duduk telanjang bulat di atas selangkanganku, di atas tubuhku yang masih berpakaian lengkap, duduk agak mengangkang terpaksa dikarenakan posisi yang dipilihnya. Rambut-rambut jembut jarang tetapi panjang menghias indah, semua ujungnya mengerucut ke arah bibir rapat kemaluannya yang menyembunyikan surga indah dunia itu. Membentuk alur yang menegaskan bentuk lekukan belahan rapat vertikal ke bawah tak terlalu tebal dan tak tipis juga. Semuanya sangat pas dan disana keindahannya.
“Bang Aseng…” ia memanggilku dengan sangat lembut sekali. Kukira ia akan mendekap gunung kembarnya lagi karena Vivi sekarang memeluk perutnya, menopangkan sepasang massa lemak payudara itu pada tangannya. Kedua balon kenyal padat itu semakin menggunung indah, mencuat membusung. Aahh… Kenapa kau menyiksaku begini, Vi? Apa yang harus kulakukan?
“Aku rela, bang… Vivi udah terlalu jatuh begini… Udah kepalang basah… Vivi sudah merendah segininya pun abang tetap gak mau?”
“Awak mau, Vi… Mau kalipun… Tapi abis ini awak mati gimana?” aku hanya menatap matanya yang kembali sembab. Vivi sudah terlalu banyak melihat affair-ku. Ia sudah melihatku berganti-ganti wanita. Pengalamannya itu tentu meracuni pikirannya. Yang dia tau dan anggap jalan satu-satunya adalah menyerahkan tubuhnya padaku seutuhnya, seperti para binor itu telah menyerahkan tubuhnya padaku. Ia pasti beranggapan kalo ini satu-satunya jalan yang tepat.
Vivi dan para binor itu adalah dua hal yang sangat berbeda. Penyerahan tubuh Vivi dan para binor itu memberikan dampak yang berbeda. Jelas tentu aku akan merusak dua pihak ini. Tetapi kerusakan yang kuberikan pada Vivi berbeda dengan kerusakan pada para binor itu. Kerusakan permanen tanpa status di diri Vivi tentunya akan berakibat berbeda. Yang pertama adalah’ tidak lain dan tidak bukan adalah keperawanannya. Itu yang utama. Yang kedua tentu saja adalah masa depannya. Dia akan terus mengingat ini seumur hidupnya. Aku takut ia akan susah move on karena alasanku tak dapat menerima dirinya—karena gak mau mati.
“Vivi gak seharusnya melakukan ini semua… Awak gak pantas menerima ini semua… Dan-dan awakpun gak mau merusak Vivi… Serahkanlah dirimu pada pria yang nantinya sangat tepat… Dia pasti ada di luar sana…” kataku menunjuk-nunjuk ke arah pintu.
Ia hanya menggeleng lemah. “Bang Aseng bodoh… Gak peka…” ia menunduk. Air matanya mengalir di pipinya lagi.
Aishh… Maaak? O-Mamaaaak? Kok kek gini kali masalahku, maaak? Aku hanya bisa membentangkan tanganku. Aku memang sengaja membodohkan diri saat ini. Sengaja menumpulkan perasaanku. Kalo aku sepintar itu, aku terima aja Vivi dan menjadikannya simpananku. Masalah hati itu urusan belakangan. Sampe berapa lama Vivi tahan dengan kondisi itu? Kalo dia sudah bosan ato aku yang bosan, tinggal bubar jalan. Kalo aku sepeka itu, aku tentunya paham kalo hati tak akan mungkin semudah itu berpaling dan beralih pada hati yang lain. Yang mungkin lebih leluasa untuk diraih. Bukan yang banyak handicap dan masalah sepertiku.
“Vi? Vivi… Jangan, Vi?” cegahku. Ia menepis tanganku yang berusaha mencegahnya menanggalkan kaos polo yang kupakai. Aku tak sanggup menahan gerakan tangannya dan tau-tau aku udah bertelanjang dada aja.
“Jangan membuatku semakin malu, bang…” desisnya. Ia meraih kedua tanganku dengan kedua tangannya. Jari-jarinya menelusup di antara jari-jariku. Jari kami saling taut. Selama melakukan itu perlahan-lahan, terasa getar-getar tubuhnya. Tentu ia belum pernah melakukan hal seperti ini sebelumnya. Ini mungkin insting saja ato referensi dari media tertentu, film romantis ato malah bokep?
Tubuhnya kemudian menunduk ke arahku. Ia berusaha menatapku yang terpaksa kubalas tatap. Tangan kami yang bertautan kini ada di samping kepalaku sejajar pundak. Tubuhnya semakin dekat dan matanya semakin sayu menatapku. Ia semakin nekat. Aku bisa melihat bayanganku sendiri di matanya. Nafasnya terasa hangat menerpaku. Dari tangannya yang erat bertaut denganku, aku bisa merasakan denyut nadinya yang berpacu kencang. Vivi sangat gugup saat ini dan benar… aku seharusnya tak mempermalukannya dengan sebuah penolakan. Ia sudah merendahkan dirinya ke tahap ini, membuang harga dirinya. Apa yang terjadi kalo penolakan yang kuberikan?
“Ahh…”
Vivi mendesah. Bibir indahnya membuka sedikit dan aku dapat merasakan hembusan nafas desahan itu. Yang pertama kali mencapaiku adalah tumpahan sepasang gunung itu di dadaku. Putingnya yang keras terasa bergesekan di kulit dadaku. Kenyal payudaranya terasa sangat lembut sekali dan putingnya sudah menegang kaku. Vivi sudah sangat terangsang. Apa yang lebih berbahaya daripada perawan yang terangsang? Aseng junior-kah jawabannya?
Gerakan pinggulnya juga sudah tak beraturan. Pasti sudah terpercik lembab basah di belahan kemaluannya yang masih terkatup rapat. Kakinya mengatup rapat mengepit sisi pinggangku dan ia mendesakkan bokongnya ke selangkanganku. Matanya terpejam dan memajukan bibirnya. Gawat! Ditekan oleh tetek lembut nan kenyal, dipancang oleh tautan tangan erat menggenggam, didesak oleh himpitan nafsu, dikepit oleh tungkai padat dan hendak disegel oleh lumatan bibir basah.
“Mpff… mmhh…”
Bibir Vivi nan lembut mendarat tersentuh pelan di bibirku sekilas saja—lalu berpisah. Matanya terbuka lagi dan menatapku sayu.
“Itu ciuman pertamaku… dan bang Aseng yang pertama itu…”
Whaaa… Sudah sebongsor dan se-fenomenal ini bentukannya, itu ciuman pertamanya? Alangkah beruntung dan sialnya diriku saat ini, ladies and gentlemen.
“Apakah ada perjanjian yang ingin abang buat denganku sebelumnya? Abang selalu melakukan itu sebelum… ‘gituin’ perempuan-perempuan itu…” katanya lirih tepat di depanku sambil memindai ekspresi mataku, mencari kejujuran. Perjanjian? Kenapa Vivi malah berharap aku membuat perjanjian itu dengannya? Apa ia ingin dirinya seperti para binor itu?
“Perjanjian apa?”
“Abang selalu begitu… mengajukan perjanjian tiga pasal itu pada mereka… Bahkan pada kakak juga, kan?” jelasnya. Ia ingin berada pada tataran yang sama dengan para perempuan yang mampir di hidupku. Setara dengan mereka. Mendapatkan perjanjian dariku… Karena sebelum kejadian ini, di kamar hotel tepat di sebelah, aku baru saja membuat perjanjian tiga pasal dengan Mayumi. Dan sialnya Vivi melihat itu semua. Melengkapi semua perjanjian yang pernah kubuat dengan binor-binor itu.
Perjanjian itu dilihat Vivi melalui Ameng, mahluk asing miliknya itu. Itu semakin membuat Vivi yakin kalo ini memang caraku melegalkan semua hubungan yang sewajarnya terlarang. Tapi dua pihak yang saling menolong membuat perjanjian ini untuk membuatnya sedikit lebih aman dengan bantuan tiga pasal di dalamnya. Fitur aman malah ada di ketiga pasalnya karena semua pasal-pasal itu saling berkaitan satu sama lain. Hubungan selingkuh yang tak akan jadi lebih jauh dikunci dengan tak boleh membocorkan ke pihak lain di pasal kedua lalu bila ekses yang terjadi akibat hubungan kebablasan ini menjadi bayi, itu adalah anak pihak wanita dan suaminya.
“Tapi abang jangan coba-coba membuat perjanjian yang membuat Vivi menjauh dari abang Aseng… Vivi gak akan terima perjanjian begitu…” lanjutnya malah memberi ultimatum agar aku tak menyiapkan perjanjian yang merugikan niatnya.
“Apa Vivi ingat isi pasal-pasal di tiap perjanjianku itu?” tanyaku. Wajah kami sangat dekat hingga aku hanya perlu bicara pelan saja, setengah berbisik.
“Ada bayi di sana… Vivi tidak keberatan hamil anak bang Aseng… Nirmala aja Vivi rawat… Apalagi ini lahir dari perut Vivi sendiri… Buah cinta kita…” jawabnya. Hembusan nafasnya tiap kalimat terucap terasa harum di hidungku.
“Dan tak ada cinta disana, Vi… Tidak ada cinta sama sekali yang bekerja di sana… Aku hanya membantu mereka hamil… dan awak mendapatkan kenikmatan saja… Hanya itu saja dan tak lebih sedikitpun… Jadi kalo Vivi mengharapkan hatiku… Itu salah besar… Karena itu tidak akan terjadi…”
Matanya terus menatapku. Dekat sekali.
“… awak gak bisa mencintaimu…”
“Tak mengapa… Berikan saja perjanjian itu ke Vivi…” sambarnya getir. Ia mengharapkan aku memberinya perjanjian tiga pasal itu seperti yang sudah-sudah pada beberapa binor yang pernah disaksikannya lewat mata penghubung ajaibnya.
“Baik kalo itu yang Vivi inginkan… Dengar… Ini pasal pertama, Vi… Hubungan kita tidak akan jauh-jauh dari hubungan yang saling tolong menolong… Tidak akan ada romansa di dalamnya… Tidak akan hubungan pacaran, cinta-cintaan ato apapun yang menjurus ke sana…” kataku. Vivi sudah tak lagi merapatkan tubuhnya tetapi masih menindih tubuhku tak mau lepas.
“Hiks hiks hikss… Kalo pasal pertamanya aja sudah begitu… Vivi dan abang gak akan bisa menyatu, dong… Hiks hiks hiks…” tanggap Vivi menghapus air mata yang menetes deras lagi. “Pasal ini yang paling gak bisa Vivi terima…”
“Itu isi pasal pertama… Kalo Vivi tak bisa terima pasal pertama ini… tak ada gunanya awak teruskan ke pasal berikutnya…” ini pasal yang dianggapnya merugikan niatnya untuk bersamaku. “Awak selalu mengajukan pasal ini pada mereka semua… Juga pada Vivi sekarang…”
Ia menangis semakin tersedu-sedu di pangkuanku yang masih berbaring. Aku harus tetap tega.
“Apa jawabannya, Vi? Setuju tidak? Kalo setuju awak lanjutkan ke pasal kedua…” desakku.
“Hu huu huu hu huu…” ia bertambah terisak-isak sesengukan menangis. “Ganti napa pasal pertamanya, bang?… Hu huuu hu huu… Kalau begitu Vivi gak akan bisa mencintai abang sepenuhnya…” ia malah memintaku merevisi pasal pertama yang krusial itu. Pasal penjaga utamaku saat ini.
“Vivi tau semua perjanjianku… Pasal yang sama dengan mereka… Vivi yang meminta ini… sudah awak berikan… Terima ato batal…” aku sudah terlalu tega saat ini untuk menghempaskan harapannya. Menafikan keinginannya. Perasaanku sendiri tak mungkin kupermainkan. Apalagi membohongi perempuan muda yang indah dan cantik ini. Ini juga menjaga dirinya dari kesia-siaan ini.
“Tapi Vivi akhirnya tetap gak bisa bersama bang Aseng… Apa gunanya semua itu? Trus nanti pasal kedua Vivi gak boleh memberitau siapapun tentang hubungan kita… Tidak si Bens… Nirmala nanti… Bahkan kelak anak kita… Untuk apa? Untuk apa, bang?” cetusnya penuh emosi. Wajahnya sembab oleh air mata yang deras membasahi mata dan pipi.
“Makanya lupakan semua keinginan Vivi itu… Kita tak bisa bersama… Itu yang sudah kuputuskan waktu itu saat melamarnya… Keputusan seorang laki-laki yang benar-benar serius ingin menjadikan perempuan itu pasangan seutuhnya… Hormati keputusanku itu, Vi…”
“Hu huu huu huu huu hu huu…” ia membenamkan mukanya di dadaku dengan menghenyakkannya. Sebentar saja air matanya terasa membasahi dadaku. Guncangan tubuhnya yang terisak-isak. Sedih memang. Tapi apa mau dikata. Aku tak ada perasaan yang mellow saat ini tapi tak pelak kalo aku terenyuh juga dengan kepedihan rasa sedihnya saat ini.
“Sudah-sudah, Vi… Sudah…” kataku mengelus rambutnya yang panjang. Kuelus-elus untuk meredakan kegalauan hatinya yang sedang meluap-luap karena keinginannya yang tak sampe. Tak jadi kenyataan seperti yang diharapkannya. “Maaf awak gak bisa menyanggupi keinginananmu, Vi… Maaf… Ini tak akan bisa menggantikannya tapi hanya ini yang permintaan maaf ini yang bisa awak tawarkan padamu, Vi…” ia terus sesengukan menangis tak henti-henti sementara aku terus mengelus rambutnya yang halus.
“Setidaknya… hiks… berikan aku sedikit aja, bang… hiks…”
“Cup…” kukecup ubun-ubunnya. “Awak gak bisa merusak Vivi tapi ada yang bisa kita lakukan untuk itu…” tanganku lalu turun ke bawah, jauh ke bawah ke arah celanaku sendiri. Tak kuperdulikan saat tersentuh dan menyenggol paha mulus licinnya. Pakaian terakhir yang kupakai malah kulepaskan. Gak mau merusak, masa Aseng junior yang ganas dilepas ke alam bebas?
“Bang?” tanya Vivi bingung tentunya. Bagus aku sudah mendapat perhatiannya.
“Kita petting…”
——————————————————————–
“Aahh…” desah Vivi dengan wajah merah sekali. Nafsu sudah benar-benar membakar tubuhnya. Pucuk-pucuk gunung kembarnya memerah dengan puting mencuat tegang. Ia bergerak tergesa-gesa menggerakkan tubuhnya maju mundur, menggeol-geolkan pinggangnya ke depan belakang untuk mengocok Aseng junior yang terjepit, tertindih belahan vaginanya sendiri.
“Ahh… ahh… Baanghh… Enaak, baangghh…” tangan kami berdua kembali bertaut erat selisip jari jemari. Bertumpu pada tanganku yang menahan ritme cepat yang dilakukan Vivi, aku tetap berbaring merasakan nikmat yang luar biasa dari perawan cantik di atas tubuhku ini. Kok bisa masih perawan?
Yaa… Aku gak perlu penetrasi. Memasukkan Aseng junior ke dalam tubuhnya tentu saja bakal merusak ucapanku yang gak mau merusaknya. Merusak kesuciannya tentu. Kok paok kali kau dikasih perawan sok nolak? Enak, tuh! Pasti legit menggigit. Tau pasti enak, legit menggigit. Tapi prinsipku tentu lebih penting dari cuma sekedar enak-enak aja yang gak bertanggung jawab.
“Yaahh… Trus begitu, Vi… Ahh… Enak, kaan? Trus aja begitu maju mundur… Uhh…” gelisahku merasakan Aseng junior yang rebah terjepit rapat ke perutku sendiri sedang digencet menggunakan belahan dan isi bergerinjal yang ada di dalam kemaluan Vivi. Becek dan basah yang berasal dari pelumas yang merembes keluar dari liang cinta perempuan muda cantik ini melancarkan gerakan maju mundurnya. Keras klitoris di puncak belahan vagina menggelitik bagian bawah Aseng junior-ku yang sensitif. Dari ujung lubang kencingku sendiri sudah banjir cairan pre-cum yang membasahi perutku juga. Aseng junior pasti sudah gak sabar aja udah mau masuk, menjebol pertahanan terakhir Vivi yang hanya berjarak beberapa senti aja dari pangkal kemaluanku.
Vivi terus dengan semangat menggerakkan tubuhnya, menggesekkan kemaluannya pada sepanjang Aseng junior yang membengkak keras nyut-nyutan. Ini adalah alternatif teraman yang bisa kutawarkan padanya. Dan sejauh ini Vivi cukup menyukainya. Tubuhnya maju mundur dengan cepat menggesek dengan basah. Enak sekali. Ini versi lanjutan dari sekedar ngocok, coli, swalayan ato apapun nama sebutannya. Karena dua pihak akan merasakan nikmat yang setara. Tingkat ekstrem lanjutannya tentu aja ke tahap penetrasi—yang dalam kasus ini tak dapat kulakukan.
Perempuan cantik yang sedang mengejar kenikmatannya dari gerakan tubuhnya memejamkan mata dan mendesah-desah hebat. Seumur-umur, ini adalah pengalam seksual pertamanya. Mungkin ia sudah bersiap lahir batin untuk kuentot, tapi ini sudah memadai tanpa merusak masa depannya kelak bersama pasangannya nanti.
Cantik sekali Vivi dalam keadaan begini. Wajah merah sangenya sangat merangsang sekali. Aseng junior-ku berdenyut-denyut gak karuan mendapat sensasi yang sebenarnya nanggung ini karena stimulasi yang didapatnya tak sempurna. Hanya sebagian permukaannya saja yang terkena gesekan vagina panas Vivi. Bagian kepala dan bagian sebaliknya tak tersentuh. Aku hanya bisa memanjakan mataku dengan memuas-muaskan pandangan pada gerakan gunung kembarnya yang bergoyang-goyang intens.
“Ahh ahh ahh ahh ahhss ahhss… Baaanghh ahhh… ahh… Enak banget, baanghh…” ia bergerak brutal makin cepat. Vivi mengejar sesuatu yang belum pernah dirasakannya sebelumnya. Insting yang bekerja. Jalinan jarinya mencengkram erat. Himpitan tubuhnya makin erat dan tubuhnya mulai mengejan dan menegang. Otot kakinya mengetat. Tangannya mencengkram erat punggung tanganku. Kukunya terbenam di kulitku.
“Hyaaahh… Ah… Ah… Ahhh… Baaanghhh…” berkejat-kejat tubuhnya meliuk-liuk di atas Aseng junior-ku yang semakin digilasnya erat. Tangan kami bertaut erat dan kepala mendongak dengan mulut menganga lebar. Kakinya mengapit erat pinggulku. Bergetar-getar tak terkendali. Tubuh Vivi merinding merasakan puncak kenikmatan orgasme itu. Sejenak ada semburan tambahan cairan yang menambah licin pertemuan menggesek kelamin kami. Vivi tak bergerak lagi karena tubuhnya lemas untuk beberapa saat.
“Ahh… Lemes, bang…” keluhnya di samping pipiku. Aku menciumi keningnya yang berkeringat. “Lemes banget… tapi enak banget juga…” bisiknya berhembus di hidungku. Ia menciumi pipiku tergesa-gesa.
“Udah puas, kan?” kataku menciumi keningnya lagi. Cup cup cup… tapi asin. Tangan kami masih bertaut. Ia menolak melepas tanganku.
“Hosh hosh hosh… Bang Aseng harusnya juga keluar, kan?” jawabnya. “Bentar dulu… Vivi istirahat dulu… hosh hos… Nanti Vivi bikin keluar, deh…” katanya pengertian. Eh? Tau dia cara bikin aku keluar?
“Gak usah, Vi… Kita udahin aja…”
“Enggak… Pokoknya bang Aseng harus keluar juga…” ia melonjak bangun entah tenaga dari mana. Padahal badannya harusnya masih lemas akibat orgasme barusan. Tangan kami yang bertaut erat dicengkramnya tambah kencang menahan di posisiku tetap berbaring. Ia memposisikan bokongnya kembali tepat di atas Aseng junior-ku. Gesekan-gesekan yang terjadi karena gerakan amatirnya sangat mengguncang iman karena basah kelaminnya sangat lengket di kemaluanku yang tegang keras bagai kayu.
“Shlk shlok shlek…”
Baru sekali ngerasain petting aja, Vivi udah sok ngerasa paling jago sedunia. Malah Aseng junior menelusup hendak mencoblos liang kawinnya. Mulutnya menganga kesakitan. Cuma gesek-gesek aja tentu beda dengan penetrasi menembus selaput tipis itu, neng. Wajahnya meringis-ringis. Kepala gundul Aseng junior mendesak-desak belahan kemaluannya. Menggesek berkali-kali karena ia bangun tegak berdiri, tak lagi rebah di perutku.
“Eh ehh e-eh?” kaget Vivi karena aku dengan cepat membalik keadaan saat ia lengah dan mengurangi tekanan tubuhnya pada pinggulku. Tindihannya melemah dan aku membalik posisi hingga ia kini yang kutindih dengan kaki mengangkang lebar. Tangan kami masih terpaut kaitan jari bersilangan. Aku sebenarnya bisa melakukan ini dari tadi tapi harus dengan paksaan dan kekerasan. Untung saja kesempatan ini segera datang di saat ia lengah. Kakinya membentang lebar dan kuganjal dengan lenganku sendiri di belakang lipatan lututnya. “Bang? Pelan-pelan… ya?”
“Nggak-loh, Vi… Awak gak akan melakukan itu… Awak masih gak akan merusak Vivi… Segini aja sudah cukup, kok…” kataku bermaksud melepas tanganku dari kakinya tetapi tangannya masih tetap menahan tanganku. Dengan sentakan kasar seharusnya bisa lepas tapi aku memilih untuk tidak melakukan itu. “Tapi kalo Vivi mau awak keluar juga… masih bisa tetap petting kita, kok… Nikmati aja, ya?”
“Aahh…” erangnya saat kuletakkan batang Aseng junior mendekati belahan vaginanya yang membentang basah. “Uuhsss… Aahh…” erangnya berulang kala aku mulai menggerakkan pinggulku maju mundur di belahan itu berulang. Aku masih menggesek-gesekkan Aseng junior di belahan vaginanya, tak sampe melakukan penetrasi. Gerakan maju-mundurku sudah identik dengan gerakan ngeseks walo tak sampe memasuki liang vaginanya, hanya cukup menggesek gerinjal-gerinjal daging sensitif yang membentuk indah vagina Vivi. Intensitas gerakan ini lebih padat karena kepala Aseng junior berkesempatan mendapat andil tergesek sampe ke pangkal di mana kantong pelerku bergantung. “Yaaah… Aahh… Auhhh… Ah…”
Gerakan yang kulakukan panjang-panjang walo posisi kami sangat rapat sekali. Aku juga bisa dengan mudah bisa melihat gerakan berguncang kedua gunung kembarnya yang padat meliuk-liuk karena sodokan menggesekku. Berulang-ulang cairan pre-cum-ku melumasi kacang itil Vivi yang menegang keras. Secara anatomi kedua organ ini identik dan saling beradu keduanya sangat serasi di kasus petting ini. Padahal kalo aku mau, aku hanya tinggal mengganti sedikit saja sudut tusukan dan amblaslah Aseng junior menembus masuk lubang sempit berselaput tipis itu. Pemiliknya-pun tak keberatan tapi aku menahannya. Cukup segini saja…
Digesek sedemikian rupa, Vivi sangat menikmatinya. Ia sangat menghayati perbuatan kami berdua ini. Ia memejamkan matanya dan menggeleng kanan kiri. Mulutnya selalu terbuka menyuarakan desahannya. Ingin rasanya aku memagut dan membungkam mulutnya. Berbagi liur dan merasakan manis mulutnya. Tapi aku tak mau membuatnya semakin baper walo sejatinya melakukan petting ini malah ajang yang lebih mem-baper-in lagi. Gimana sih, Seng?
Setidaknya setelah aku keluar, Vivi akan puas. Menyamakan skor.
Jadi tujuanku saat ini adalah merangsang diriku semaksimal mungkin agar bisa ejakulasi secepat mungkin dengan bantuan visual dan rasa darinya. Licin cairan kental hangat dari kemaluan Vivi sangat merangsang. Apalagi suara-suara becek itu sangat mesum sekali menambah rangsangan audio. Tak terperi rangsangan rasa yang menggelitik sekujur batang Aseng junior. Apalagi erangan dan desahan Vivi sungguh mengaburkan logika. Pinggangku terus memompa maju mundur, muka belakang, menggesekkan batang Aseng junior ke belahan terbuka vagina gadis cantik ini.
“Baanghh… Enaak, baangghh… Maauu lagghi… Ahh…” erangnya hampir mendapat kenikmatan dahsyat itu lagi. Menular padaku, aku juga sudah mulai merasakan geli-geli nikmat di bawah sana. “Aah… ahh… ah…” Vivi dahulu yang mencapainya yang tetap kugesek karena aku mengejar milikku juga. Selama itu, aku merasakan getaran-getaran tubuhnya yang terus tergesek anatomi sensitifnya. Dan tibalah…
“Ah… Croott… croott… crooot…” kusemprotkan beberapa kali tembakan semburan sperma kentalku ke arah perutnya. Walo tak banyak karena aku sudah beberapa ronde mengurasnya ke liang kawin Mayumi sebelumnya, tapi tetap aja ada yang nyiprat ke arah payudaranya dan dagunya sangkin kencangnya.
“Aahh…”
Vivi melunakkan genggaman tautan tangan kami berdua hingga aku bisa melepas persatuan kami. Kakinya jatuh lemas di kasur hotel yang awut-awutan. Dadanya kembang kempis naik-turun mengambil nafas sehabis orgasme barusan. Aku menjauhkan Aseng junior dari vaginanya sejauh-jauhnya. Jangan sampe ada droplet yang memasuki kemaluannya karena aku sadar diri kalo bibitku sangat kuat. Salah-salah Vivi bisa hamil dalam keadaan perawan kalo aku gak hati-hati.
Dalam keadaan lemas begitu, tangannya aktif mencari-cari titik basah yang hinggap di dadanya, menyapunya lalu membaui aromanya. Lalu mendapat titik lain di dagunya yang memang benaran nyiprat sampe sana. Ujung lidahnya juga keluar. Apa ia bermaksud mencicipi rasanya?
“Ada yang masuk mulut, bang? Vivi bakalan hamil gak, ya?”
Heh??
Bersambung