Part #63 : 4 Inong Cantik

Sekarang adalah giliran Cut Intan. Inong/dara terakhir di sekapan si hantu Wewe Gombel Nenek Te-tek di dalam gua bawah hutan terpencil gunung Leuser ini. Wajahnya tegang saat ada di depan mataku walo tak pucat cenderung bersemu merah. Posisinya yang tepat di depanku membuatku berganti-gantian menatap wajah cantiknya dan mancung payudaranya yang hanya berjarak beberapa senti aja dari hidungku.

Cut Intan bertopang di lututnya di atas pangkuanku. Aseng junior mengacung keras tepat mengarah pada kemaluannya yang pastinya merekah lembab sebab sudah menyaksikan tiga ronde persenggamaanku dengan tiga temannya. Aku tak tau apa yang sedang ada di pikirannya. Apakah ia takut dan berharap ini tak terjadi ato malah ia kepengen merasakan ini semua setelah menyaksikan teman-temannya?

“Leugat, nong! Leugat!” seru si Nenek Te-tek tak sabar agar Cut Intan mempercepat apapun yang sedang diulur-ulur gadis ini. Berkali-kali ia mengepaskan posisi lututnya yang ada di samping pinggangku. Dicobanya turun sedikit dan ujung lembut kenyal Aseng junior menyentuh bongkah pantatnya, ia terkaget dan naik lagi. “Leugat!” tangan Wewe Gombel itu menyeruak dan menjambak rambut perempuan muda yang sedang ketakutan ini.

“Ampoon, nek… Ampoon!! Sakeet…” jerit Cut Intan kesakitan rambutnya direnggut kasar begitu. Aku menggigit tangannya yang tepat di samping pipiku. Kugigit sejadi-jadinya. Kraak!

“KURANG AJAAARR!!” makin murka hantu bertetek panjang melambai-lambai ini akan seranganku barusan. “AAKKHH!!” ia kesakitan merasakan gigitan kuat yang bersarang di lengannya yang menjambak rambut Cut Intan. Prinsipku kalo rambutnya gak dilepas, gigitanku juga tidak lepas. Jadi Pitbull-pun jadi… Menjerit-jerit dua perempuan beda spesies itu merasakan sakit bersamaan. Tubuh Cut Intan tentu menegang.

“Mllbb… mllbb… (Lepaskan rambutnya!)” erangku dengan mulut penuh daging hantu keriput yang rasanya tak enak sama sekali ini. Tau diri, si Wewe Gombel akhirnya melepaskan renggutan tangannya dari rambut Cut Intan dan aku juga melepaskan gigitanku pada lengannya. Aku langsung meludah-ludah mengenyahkan rasa yang tersisa di dalam mulutku. “Cuuh… cuuhh… Whoekkk… Pait kali kau, hantu jelek!!” umpatku. Lalu terasa ada getaran. Getaran apa ini? Gempa? Cut Intan juga merasakan hal yang sama. Ia refleks menengadah memandang langit-langit kurungan tanah ini. Memang bergetar.

“Aaahh!!… Ahhh!!” malah ketiga perempuan muda itu; Cut Cahya, Cut Riska dan Cut Masita yang menjerit-jerit panik. Hampir bersamaan aku dan Cut Intan menoleh pada apa yang membuat mereka bertiga menjerit histeris. Mereka buru-buru mengarah pada kami berdua menjauh dari mimpi buruk yang mengejar mereka. Sebuah lubang membesar longsor bermula dari lubang yang menjadi tempat mereka membuang hajat. Lubang yang bermuara pada sungai bawah tanah itu semakin membesar dan menelan hampir sebagian besar lantai ruang kurungan ini. Kecepatan longsornya sangat cepat dan kepanikan juga melandaku. Aku bisa tersedot dan masuk ke dalam longsoran itu.

Longsor terus membesar dan meluas. Keempat perempuan muda ini hanya bisa menjerit-jerit memeluk jeruji kayu besar yang menghalangi jalan selamat mereka. “Ada apa? Kenapa kalian menjerit-jerit seperti akan disembelih?”

“Nenek!! Lungsooorr!!” jerit mereka bersamaan.

“WOY, LEPASIN KAMI, WOOY!!” aku juga ikut teriak-teriak karena aku masih terikat erat di kayu gelondongan kuat ini. Beberapa detik lagi semua lantai ini akan hilang, luruh longsor ke arah sungai bawah tanah yang ada tepat di bawah ruang sekapan ini. “WEWE GOMBEL KIMAAKK!! LEPASKAN AKU!!” makiku lagi berulang-ulang. Si hantu bangsat itu tak melakukan apa-apa.

Aku gak sempat mikir yang macam-macam. Seperti; longsor ini disengaja sama si Wewe Gombel pukimak ini. Longsor ya longsor aja. Tanah lantainya segera longsor memasuki lubang yang semakin membesar. Keempat perempuan itu memeluk jeruji kayu sambil teriak-teriak agar dibebaskan dari tempat ini segera dan itu semua sudah terlambat!

4 Inong

Longsoran tempat ini luruh membawa material berupa tanah, batu, pasir, kayu, apa saja yang ada di atasnya. Lubang besar menganga menelan kami berlima memasuki lorong pendek yang bercampur lumpur, tanah, bebatuan untuk beberapa saat lalu nyebur dengan spektakuler di sungai bawah tanah yang luar biasa dingin sekali air mengalirnya. Arusnya tidak terlalu deras tetapi lorong gua sungai sangat sempit. Bebatuan padas bertonjolan berbahaya di mana-mana. Keempat perempuan megap-megap berusaha mengapung, mencuatkan kepalanya di atas permukaan air. Mencari udara untuk nafas yang sangat berharga. Mereka sepertinya tak ada yang pande berenang. Aku bisa berenang tapi kemampuanku itu gak berguna karena aku sendiri sedang kelelep terbalik tetap terikat di jeruji kayu yang ikut longsoran ini.

“Afuufffhhh… afffuuffhh… afffuuffhh…” aku merasa sangat sial sekali saat ini. Terikat di kayu ini tetapi berada dibagian bawah. Kelelep aku jadinya meregang nyawa. Beberapa teguk air tertelan dan juga masuk hidung. “Fuaaahhh!!” aku menarik nafas lega saat golondongan kayu ini berbalik dan aku menghadap atas sekarang. Ternyata Cut Masita yang membalik kayu yang membelengguku ini. Ia memegangi erat-erat kayu yang mengapung dengan baik di arus sungai dingin ini. Ia menggapai dan memanggil-manggil teman-temannya yang lain untuk berusaha merapat. Menjadikan kayu ini sebagai pelampung darurat.

Setelah berusaha sekuat tenaga mereka semua akhirnya bisa berkumpul di satu tempat, kayu jeruji yang masih membelengguku erat. Mereka berempat menggigil kedinginan apalagi dalam keadaan telanjang bulat seperti ini. Aku hampir mirip sebenarnya. Celanaku entah dimana, hanya sempakku yang masih menggantung di mata kaki kananku dan baju kaosku masih menggulung di belakang leherku. “Kalian gak apa-apa?” tanyaku khawatir pada keempat perempuan muda malang ini. Kesulitan dan masalah silih berganti menimpa mereka. Tetapi setidaknya kami sudah lepas dari Wewe Gombel itu sementara ini.

Mereka berempat saling pandang dan tak bisa dibantah kalo mereka tersenyum senang bisa lepas dari tempat itu. Walo menggigil hebat. Senyum mereka kian melebar saat gua sungai ini semakin melebar dan langit-langitnya semakin tinggi. Pilar-pilar cahaya menembus bebatuan memberi penerangan yang memadai. Berenang seadanya mereka mengarahkan kayu pelampung darurat yang diganduli lima manusia sekaligus ini ketepian. Arus di sini agak melemah dan kami berhasil mencapai tepi sungai ke semacam ceruk sempit penuh bebatuan. Mereka menyeret kayu ini ke atas bebatuan yang banyak berserakan dengan susah payah. Karena beban kayu ini juga berat tubuhku.

Jatuh dari tempat penyekapan yang selama ini mengurung mereka dengan cara seperti tadi tak pelak juga menyebabkan luka-luka. Beberapa bagian tubuh mereka terluka. Bagian kening Cut Intan masih mengeluarkan darah walo sudah dibersihkan air sungai. Yang lain juga mengalami hal yang sama berupa lecet-lecet dan lebam. Tapi tak usah perdulikan aku.

Aku masih tak berdaya berbaring bersandar di kayu gelondongan ini dan mencoba memahami apa yang sedang mereka diskusikan. Sepertinya mereka mempertimbangkan cara untuk memutus tali yang mengikat tanganku. Cut Cahya berinisiatif mencari batu yang pinggirannya tajam yang akan digunakannya sebagai kapak. Dicobanya untuk memotong tali itu berkali-kali. Awalnya dengan cara mengiris lalu kemudian mencacah karena tak ada perkembangan signifikan. Cut Masita juga mencobanya dengan batu pipih tajam yang ditemukannya.

“Plung!”

Sebuah batu besar terjatuh dari atas langit-langit gua di dekat dinding ke dalam aliran sungai bawah tanah ini. Pilar cahaya terang tambah menerangi gua ini. Lalu tertutup lagi oleh sosok mengintip dari atas sana. Gawat! Itu si Nenek Te-tek! Yang benar aja. Baru sebentar kami lepas darinya, ini sudah tertangkap lagi. Cepat ia memasuki lubang itu dan tak lama ia turun ke arah kami dengan muka seram panjang tanpa ekspresinya itu. Yang menjadi highlight utama Wewe Gombel ini masih tetap teteknya yang panjang menggantung keriput sampai ke tengah pahanya.

Sontak saja kejadian ini membuat keempat perempuan muda itu kehilangan harapan lagi. Mereka menjerit-jerit ketakutan saat didatangi si Nenek Te-tek dan digiring ke satu sudut agar tidak berbuat macam-macam. Teror bertahun-tahun akan membuat mereka patuh dengan submisif-nya. Patuh. Berjongkok tanpa busana mereka bergerombol di dekat dinding gua yang dingin dan lembab. Si Nenek Te-tek beralih padaku. No-no-no-no way! Jangan sampe aku malah diperkosa hantu ini jadinya.

Aku yang dalam keadaan begini, telanjang dengan penis bebas, sangat rentan akan serangan seksual. Terikat erat pulak lagi pada kayu gelondongan kuat ini. “Sudah kubilang kau tak akan bisa melepas tali ini… Ini tali khusus… Sangat kuat…” katanya. Ada nada senang di suaranya bisa menemukanku kembali. Dengan kaki ia menggulingkan posisi kayu ini agar aku ada dihadapannya. Tanganku tergencet erat tertimpa kayu ke bebatuan“Mereka tak dapat kuharapkan lagi untuk bisa mengeluarkan air manimu… Aku harus turun tangan langsung… Hi hihihihihi…” Mimpi buruk lagi. Yang kutakutkan benar-benar terjadi.

Ia menggerakkan tangannya di atas Aseng junior tanpa menyentuh. Jarinya bergerak-gerak seolah sedang memberikan jampi-jampi pada kemaluanku. Dan ajaibnya, Aseng junior benar-benar bangkit lagi setelah tadi ciut abis dingin-dinginan di air sungai bawah tanah. Naik-naik, menegang, keras, menegang dan sampe ngaceng sempurna. Rasa hangatnya sangat nyata walo caranya tak lazim. “Hi hihihihihi… Kau tak suka kusentuh… Aku tak akan menyentuhmu… Aku hanya akan menghisapnya dari jarak segini…” ia lalu duduk dengan santai di kayu gelondongan ini, tepat di depan selangkanganku. Jarinya masih bergerak-gerak menjaga ereksi Aseng junior-ku. Kerasa?”

Memang ada rasa geli-geli aneh di sekujur batang Aseng junior yang tak dapat kujelaskan. Biasanya begini kalo ada rangsangan yang langsung menyentuh bagian-bagian tertentunya. Nenek Te-tek memandangi mukaku dan Aseng junior bergantian. Rasa geli enaknya semakin nikmat menjalar ke seluruh tubuhku memberi rasa hangat. Gimana caranya menghisapku? Apa ada sesuatu di tapak tangannya? Bukan… Ada sesuatu di mulutnya yang berdagu panjang. Mulut lebar bergigi-gigi runcing itu tak pernah bergerak, tetapi sekarang iya.

Bukaan mulut itu semakin melebar dan luas secara tak wajar berkat panjang dagunya, memperlihatkan bagian dalam mulut itu. Ternyata ada wajah lain di dalam mulut itu yang berarti bentuk muka lonjong kek lontong itu merupakan topeng yang melindungi wajah aslinya. Ada hidung dan mulut manusia normal disana. Dari paras yang terlihat seperti wanita berumur 30-40 tahun saja layaknya. Mulutnya membuka seperti sedang menyedot. Apakah ini yang dimaksudnya dengan menyedot energi hidupku itu? Ia menyedotnya dari Aseng junior-ku!

“Akkhh…” aku mulai menggeliat keenakan. Aseng junior menegang keras berdenyut-denyut seolah ada mulut tak terlihat yang sedang mengulum dan menyedot batangnya. Rasanya sangat nikmat. Pantatku sampe mencuat naik berkali-kali ingin cepat-cepat dipuaskan lewat sebuah puncak ejakulasi. Tidak! Jangan sampe ngecrot! Aku bisa mati! Jangan sampe ngecrot pokoknya. Aku harus bertahan. Aku harus menahannya… Ini gak bener… Aku harus melawannya. Tapi ini terlalu nikmat. Belum pernah aku merasakan nikmat di-fellatio senikmat ini. Walopun ini disepong secara ghaib, tanpa menyentuh. Dan dilakukan oleh hantu Wewe Gombel pulak, tuh!

Tanganku yang terikat menggenggam batu yang menekan tanganku. Kalo bisa batu ini akan kuhantamkan ke kepala si Nenek Te-tek ini biar kepalanya hancur sekalian. Aduuuh… Aku gak kuat lagi.

Nenek Te-tek terus menghisap dengan gerakan mulut dan jari-jari tangannya. Aku hanya bisa menjerit-jerit untuk mengalihkan pikiranku dari rasa nikmat yang bisa menyemburkan rasa nyaman ejakulasi terakhirku di dunia ini.

“AAAHHH!! BANGSAAATT KAO NENEK PEOOOTTT!! KIMAAAKKK!!! BEREEENTIII!! STOOOPPP!!! AAAHHH!!! OOOAHHH!! BANGSAATTT!!!” kulontarkan semua kata-kata kotor dalam perbendaharaanku untuk menghinakan mahluk terkutuk itu. Ia tak perduli dan terus menyedotku dari jarak jauh.

“Pletakk!!” sesuatu menghantam pelipis Wewe Gombel ini. Tak pelak lagi itu mengganggu proses penghisapan energi hidupku. Kepala miring ke samping karena hantaman benda yang ternyata sebuah batu segenggaman tangan. Ada noda darah di sana. Dan itu asalnya dari tangan Cut Intan yang juga berdarah. Nenek Te-tek mulai murka karena mereka mulai berani melawan. Dari sisi dinding gua, mereka masing-masing memegang sebuah batu di dua tangan mereka.

“Patengon!” makinya murka.

“Lempar!” seru komando Cut Intan yang sudah berhasil mengenai si Nenek Te-tek sebelumnya. Hujanan batu mengarah pada hantu Wewe Gombel itu. Dari sekian banyak yang menyerangnya, hanya satu yang berhasil menghantam bagian bahunya dengan telak. Yang lainnya hanya tembus melalui tubuhnya. Ia bergerak makin meradang. Kenapa hanya batu tertentu yang bisa mengenai hantu pukimak ini? Kenapa yang lain tidak? Batu pertama itu dilemparkan oleh Cut Intan dan batu berikutnya yang kena juga dari lemparannya juga. Kedua batu itu ada noda darahnya. Darah Cut Intan. Darah yang masih perawan! Darah perawan yang bisa mengenainya.

“WOOY! BATUNYA OLESKAN DARAH CUT INTAN!!” teriakku sekuat-kuatnya. Meneriakkan apa yang kubisa saat ini.

Awalnya mereka kebingungan apa yang kuteriakkan. Tapi mereka cepat paham dan mengolesi batu yang akan dilempar dengan darah yang berasal dari luka-luka Cut Intan. Hujan batu-batu kali ini berhasil merajam si Wewe Gombel laknat. Telak bebatuan menghantam tubuh dan kepalanya. Ia sempoyongan mendapat serangan bertubi-tubi. Ia tak sanggup menjauh karena tenaganya seperti terkunci oleh sesuatu kekuatan aneh. Kemungkinan juga dari efek darah perawan Cut Intan. Bak melempar jumrah dalam ritual Haji, keempat perempuan muda melempari setan laknat itu sampe kepayahan. Hanya bisa menjerit-jerit pilu kesakitan yang teramat sangat. Mereka sekarang mendekat dan melampiaskan amarah mereka. Meluapkan emosi yang selama ini terpendam. Dendam membara sudah diperdaya selama bertahun-tahun. Batu yang telah dipakai menghantam hantu itu, dipungut lalu dihantamkan kembali. Amunisi yang tak akan berakhir.

Mereka tak boleh tenggelam dalam perasaan itu. Itu berbahaya! Aku harus menghentikan ini. “AWASSS!! MINGGIRRR!!”

Aku berlari beberapa langkah memanggul kayu gelondongan berat ini di punggungku, lalu melompat. Tenagaku sedikit bertambah berkat bakiak Bulan Pencak di kedua kakiku. Ini tenaga pamungkasku. Keempat perempuan muda itu menepi memberiku jalan saat kusarangkan jurus terkuat memakai bakiak remeh ini. Nenek Te-tek meringkuk di bebatuan sungai. Kukerahkan semua Lini yang tersisa untuk serangan ini.

“GUGUR GLUGUR!!”

Terjadi cekungan seperti kawah beradius dua meter akibat tekanan jurus memakai jurus Gugur Glugur ini. Bebatuan keras yang membentuk lantai bebatuan sungai rengkah menjadi serpihan kecil. Nenek Te-tek hanya mengeluh pelan. “Ugghh…”

“BRAAKKKK!!!” hantu laknat itu juga hancur menjadi serpihan kecil, memudar dan hilang. Burong Tujoh ketiga musnah.

Aku jatuh terguling akibat berat kayu gelondongan mantan jeruji kurungan ini. Tenagaku habis lagi…

——————————————————————–
Ketika siuman kembali. Yang pertama kali tampak olehku adalah pilar cahaya yang lemah dari atap gua. Sepertinya sudah semakin sore. Aku juga sudah lepas dari belenggu kayu gelondongan besar lagi berat itu. Entah bagaimana caranya mereka melepaskan aku dari benda laknat itu.

Mereka berempat sedang di tepian sungai sedang melakukan sesuatu. Bajuku sudah dibalikkan ke posisi awalnya tapi bawahannya aku hanya memakai sempak. Setidaknya masih lebih baik dari pada mereka yang kehilangan pakaian satu-satunya mereka. Mereka berteriak-teriak girang menunjuk sesuatu di aliran sungai. Cut Cahya dengan sebatang ranting kayu menggapai dan menariknya ke tepian. Itu celanaku. Cut Cahya membersihkannya dengan teliti agar tak ada pasir ato tanah yang menempel.

Ternyata dari tadi mereka mengutip beberapa benda yang terhanyut bekas ruangan sempit kurungan mereka. Mereka berhasil mengumpulkan kembali pakaian-pakaian mereka dan menjemurnya seadanya di bebatuan. Hanya ada tiga pakaian plus celana milikku. “Jih ka jaga…” sadar Cut Masita ketika ia menoleh untuk memeriksa keadaanku. Aku hanya mengacungkan tangan aja dan mengangguk kecil.

Masih dengan malu-malu, mereka memakai kembali pakaian milik masing-masing walopun dalam keadaan basah kecuali Cut Cahya yang tak menemukan miliknya. Ia ngumpet di belakang tubuh teman-temannya. Tapi bagaimanapun mau ditutupi, pakaian kekecilan dan sempit tak layak pakai tanpa bawahan tak dapat menutupi bagian vital mereka kelihatan terekspos jelas. Dulunya mungkin ada celana panjang, rok ato apapun yang menjadi bawahan plus celana dalam. Seiring waktu, bawahan itu tak dapat dipakai lagi mengingat perkembangan drastis tubuh mereka. Hanya baju saja yang masih dapat mereka manfaatkan sampe sekarang walo sudah sangat sempit dan tak layak pakai.

“Ka jaga, bang Aseng?” tanya Cut Intan yang paling depan. Yang lainnya tersenyum-senyum menutup mulut agak geli dengan keadaan ini. Terutama tentang Cut Cahya yang tak berpakaian sama sekali. Yang berpakaian-pun menarik bagian bawah baju itu agar menutupi pucuk segitiga kemaluan yang berjembut lebat-lebat itu. Ditarik bawah yang atas terkuak, kelihatan belahan dada montok.

Kubuka bajuku dan kuserahkan pada Cut Intan. “Kasih ke Cut Cahya aja…” kataku jengah juga. Aku kan laki-laki. Gak pa-pa dong telanjang dada. Takutnya nanti aku ngacengan terus harus ngeliat tetek Cut Cahya plus jembut lebatnya. Bukan apa-apa, coy. Gak ada tenaga sama sekali. Cepat-cepat Cut Cahya memakai baju milikku dan pakaian itu cukup panjang untuk menutupi selangkangannya. Ia tersenyum lebar pertanda terima kasihnya. Teman-temannya merengut merutuki keberuntungan temannya itu mendapat baju baru.

Hanya bisa menikmati sore di tempat yang dingin ini, kami hanya duduk-duduk saja dan berusaha ngobrol. Aku mengamati dinding-dinding curam, membuat rencana bagaimana aku bisa keluar dari tempat ini bersama mereka dan kembali ke peradaban lagi. “Bisa… pakai… bahasa Indonesia… aja? Aku gak ngerti…” ucapku pelan-pelan ditambah isyarat tangan juga. Mereka mengangguk-angguk setuju. Duduk beramai-ramai untuk berbagi panas tubuh. Apalagi pakaian yang kami kenakan ini masih basah. Bisa-bisa kami minimal kenak pilek abis ini. Meminta pertolongan juga tidak bisa karena aku sudah tak punya kekuatan untuk itu.

Pertolongan yang paling mudah saat ini adalah memanggil Iyon. Tapi prosesi pemanggilan tanpa bantuan telepon itu melainkan semacam proses memanggil bantuan Menggala Suba, yang memerlukan tenaga Lini yang cukup besar. Tenaga Lini yang dialokasikan tiap memanggil salah satu dari sahabatku itu; Iyon ato Kojek akan memakan 1/4 total tenagaku. Dan saat ini, itu adalah hal yang mustahil karena aku sama sekali tak punya energi Lini lagi. Lebih baik aku memupuk kembali tenaga Lini-ku ato berusaha sendiri dengan tenaga fisik yang pas-pasan.

Dari cerita mereka berempat yang campur aduk bahasa Aceh dan bahasa Indonesia, aku mendapat info kalo mereka berasal dari desa-desa yang berbeda di sekitar hutan gunung Leuser ini. Rata-rata diculik ketika berumur 9-10 tahun saat di bangku kelas 4 SD. Mereka semua diculik oleh Nenek Te-tek sendiri. Awalnya mereka ada banyak, mencapai puluhan orang anak laki-laki dan perempuan yang dikumpulkan dalam kurungan yang lebih besar. Satu persatu diambil, kadang dua ato tiga diambil sekaligus. Bisik-bisik antar mereka tersebar rumor kalo mereka dipakai untuk kepentingan pengorbanan manusia. Dibunuh untuk tujuan-tujuan tertentu. Selalu hidup dalam ketakutan kapan akan mendapat giliran diambil untuk dikorbankan.

Tak pernah ada yang kembali setelah diambil. Hilang dalam kegelapan hutan yang lebat dan angker. Bertahun-tahun mereka jalani begitu dengan tambahan anak yang datang dan pergi, tak pernah kembali. Nenek Te-tek sepertinya mengganti pola kerjanya. Ia mulai hanya menangkap anak perempuan. Aku beranggapan disanalah ia mulai spesialisasi pada pengumpulan gadis perawan. Anak-anak lelaki dihabiskan dari inventorinya sampe 0% dan menimbun gadis remaja. Pernah dalam satu tempat ia memasukkan 15 gadis remaja, berdesakan dalam ruangan sempit. Satu persatu diambil juga dan menghilang kembali.

Babak baru dimulai tak lama yang lalu. Nenek Te-tek mulai kedatangan manusia di tempat yang jauh di tengah belantara ini. Dua gadis remaja itu diambil sekaligus dari kurungan dan diperkosa di depan mata mereka lalu dibunuh kemudian dengan keji oleh orang itu. Meninggalkan trauma mendalam. Asumsiku itu adalah seseorang yang sedang menuntut ilmu hitam yang sangat berbahaya hingga tega melakukan hal yang sangat mengerikan semacam itu. Tak lama datanglah orang-orang semacam itu lagi dan melakukan hal-hal yang serupa, lagi dan lagi. Para dukun golongan hitam pastinya.

Tinggallah mereka berempat. Cut Cahya dan Cut Riska beruntung tak mendapatkan opsi dibunuh setelah diperkosa. Hanya darah perawan mereka saja yang diperlukan orang-orang culas itu. Meninggalkan Cut Masita dan Cut Intan yang tetap perawan sampe bertemu denganku. Perawan Cut Masita akhirnya jebol olehku dan pamungkas Cut Intan yang darah perawan murninya mampu menetralkan Nenek Te-tek. Sebuah ironi.

“Apakah kalian mau pulang?” tanyaku pada mereka berempat yang mulai terkantuk-kantuk di tempat yang mulai gelap. Hanya sinar bulan yang samar-samar memberi cahaya kebiruan pudarnya. Ini malam pertamaku bersama mereka di tempat asing ini.

“Lapar…” jawab gak nyambung Cut Masita. Yang lain juga kompak menyuarakan hal yang sama.

“Kruukk krrrukkk…” perutku juga berbunyi. Terakhir aku makan waktu sarapan tadi pagi dan ini sudah malam. Tenaga dan energiku sudah terkuras habis akibat dikuras Mutee tadi siang, bertarung sebentar dengan Nenek Te-tek, bertahan dari gempuran dari tiga perempuan muda ini, mempertahankan nyawa yang cuma selembar dan akhirnya membasmi Wewe Gombel, anggota ketiga Burong Tujoh. “Sama… Lapar juga…”

Mereka berempat menatapku memelas minta solusi. Di kurungan hantu Wewe Gombel itu walo sedikit, masih ada sedikit makanan untuk mengganjal perut mereka. Aku bukan orang yang manja akan kesusahan yang sedang kualami, tetapi tubuhku sangat lemah saat ini dan mereka sangat bergantung padaku dalam waktu yang bersamaan. Mereka juga tak cakap berada di alam liar karena sehari-harinya hanya dikurung menunggu nasib. Di gua gelap ini mustahil untuk mencari makanan. Hanya batu melulu dan air yang ada. Menangkap ikan di dalam air bukan pilihan yang benar tanpa peralatan karena sungainya cukup dalam ditambah lagi dengan keadaan yang temaram gelap. Ikan cenderung keluar ke permukaan saat ada cahaya.

Memanjat batu-batuan di dinding gua yang setinggi belasan meter ini lalu keluar dari lubang yang telah dibuat Nenek Te-tek adalah satu-satunya cara. Lalu petualangan mencari makan kemudian dimulai. Untuk makan saja butuh perjuangan yang demikian berat. Tapi begitulah hidup, harus berjuang kalo tak mau diseleksi alam.

Dimana Vivi dengan mahluk yang selalu memata-mataiku itu? Apakah mahluk aneh itu tak dapat menemukan jejakku? Tapi tak perlu disesali. Mungkin Vivi agak kesal dan marah padaku. Tapi Farah dan Dea punya HP-ku. Mereka pasti akan menghubungi Vivi untuk minta bantuan lalu asisten dosen itu pasti langsung menyuruh mahluk aneh itu mencariku. Dari Medan ke hutan Leuser ini cukup jauh dan hutan yang harus dijelajahinya cukup luas, di dalam tanah lagi. Pasti akan memakan waktu. Hanya pikiran itu yang menjadi penyemangatku. Aku akan mempermudah pencariannya dengan berada di tempat terbuka untuk ditemukan.

Memanjat pelan-pelan dan hati-hati pada bebatuan gua yang licin oleh lumut dan ganggang. Memilah rute yang paling aman dengan tangan kaki telanjang. Berkali-kali aku terpeleset dan berhenti untuk mengumpulkan nafas dan tenaga. Lagi-lagi mental seorang petarung silat harimau Mandalo Rajo yang membantu diriku terus maju. Sedikit keberuntungan dan tentunya Rahmat yang Maha Kuasa juga yang membuatku mencapai lubang di permukaan ini. Dengan sisa energi yang ada di tiap sel mitokondria-ku, aku menarik tubuh yang terasa sangat berat ini melewati lubang yang pas satu tubuh lalu terkapar lelah ampun-ampunan di atas vegetasi hutan yang menyergapku. Lebat dan liar.

Aroma alam liar dan kebebasan ada di hutan ini. Aku hanya bisa tertawa lebar dan menangis sekaligus. Tuhan… CobaanMu berat sekali ya, Rabb.

Tau apa yang kutemukan di hutan ini. Durian. Ini hutan Durian yang sedang ranum-ranumnya. Beberapa hewan juga sedang menikmatii lezatnya buah ini yang telah jatuh matang. Seekor harimau juga terlihat membawa sebuah durian berukuran besar di moncongnya, akan dinikmatinya di tempat yang tak akan diganggu mahluk lain. Beberapa babi hutan juga berebutan raja buah ini. Kukumpulkan beberapa buah dan kutancapkan mandau Panglima Burung di depanku. Datang kemari klen kalo berani menggangguku. Kugasak dua buah sampe tandas, mengenyangkan perutku dan menghangatkan tubuhku berkat kandungan lemak tak jenuhnya. Mereka di bawah sana juga harusnya sedang menikmati buah-buahan paling terkenal di Nusantara ini. Ada kegilaan yang tak terbantahkan bagi masyarakat +62 akan durian. Ini durian terenak yang pernah kumakan. Penyelamat dan penyambung hidupku.

——————————————————————–
“Bangun pelan-pelan…” kataku membekap mulut Cut Intan yang mencari kehangatan dengan memeluk tubuhku. Matanya terbelalak kaget tapi tak bisa bersuara. “Kita sedang diincar hantu lain…” peringatku dengan suara selirih mungkin. Hantu itu ada di sekitar kami, mengawasi menunggu saat yang tepat untuk menyerang. Ini sudah lewat tengah malam. “Bangunkan yang lain… Kalo kusuruh lari… Kalian lari ke arah pohon itu… Para hantu tidak suka aroma getah pohon itu… Apapun yang terjadi… kalian tetap di sana sampe terang… Dengar?” kataku. Cut Intan mengangguk-angguk paham. Ia lalu membangunkan teman-temannya dan menunggu instruksiku selanjutnya.

Kami semua, aku dan keempat perempuan muda sudah berada di luar gua bawah tanah itu saat ini beberapa jam lalu. Dengan beberapa cara dan metode aku berhasil mengeluarkan mereka. Pake kayu galah panjang, pake tali rotan, pake apa saja yang bisa digunakan. Dan yang paling penting tentunya tenaga beserta usaha mereka sendiri. Kelelahan, kami tidur di alam terbuka yang dingin tetapi terasa sangat merdeka bagi mereka berempat. Aku yang menjadi sumber penghangat mereka. Aku lebih memilih untuk tidak menyalakan api karena banyak pertimbangan. Aku lebih memilih untuk tetap terjaga dan menjaga mereka langsung. Benar saja, aku merasakan mata jahat yang mengawasi kami…

Aku berdiri dan menghunus mandau andalanku. Bakiak Bulan Pencak akan kusiapkan juga kalo perlu. Tiga pedang daun lain dari daun durian juga sudah kusiapkan. Sudah saatnya aku punya pohon durian di daerah kekuasaanku. Kopian pohon dari hutan ini sudah sangat memadai. Bentuk terima kasihku juga pada hutan gunung Leuser.

Hantu itu bisa menyerangku dari arah mana saja di tempat ini. Karena itu aku berdiri di tempat yang terbuka agar bisa bertarung dengan leluasa. Aku berputar perlahan dan menajamkan semua indra dan refleks-ku. Hutan tiba-tiba sangat sunyi. Bahkan suara jangkrik dan serangga malam lainnya berhentik berderik ikut mencekam suasana yang pekat oleh kengerian liarnya hutan yang didiami banyak mahluk jahat ini.

Ayo keluarlah cepat… Kemon… Ayo keluar… Siapapun kau.

Dari belakangku terdengar desiran sesuatu menerjangku. Segera kusabetkan mandau Panglima Burung ini. Benda itu segera terbelah dua! Sebuah durian berukuran besar. Dari kananku, serangan sebenarnya sudah sangat dekat akan menghantamku.

“SRRRAPP!!” belenggu membelut tubuhnya berupa rantai berduri dengan cepat. Ia kaget membelalakkan matanya yang berjumlah banyak di kepalanya. Ia sangat kaget karena serangan mendadak yang sudah direncanakannya dengan matang bisa gagal oleh tipuan lain. “D-BUUMM!!” tubuh beratnya jatuh berdebum di tanah berumput liar.

Tak sampai disitu rasa kagetnya karena berikutnya yang kulakukan adalah mencincang semua kaki-kaki serangga yang panjang berjumlah delapan buah itu dengan empat buah pedang sekaligus. Menghapus semua alat geraknya. Ya ini adalah sejenis siluman laba-laba dengan delapan kaki yang penuh bulu lebat. Ini jenis Tarantula dengan tubuh cenderung besar dengan racun ringan sampai menengah. Tubuh humanoid serta serangganya terbelenggu oleh rantai berduri, membelit sepasang tangannya agar tak bisa macam-macam. Ujung pangkal rantai itu tentu saja dipegang oleh sahabatku. Siapa lagi kalo bukan Iyon.

Aku sudah berkomplot tentu dengannya untuk menangkap hantu keempat ini dengan mengumpankan diriku sendiri. Ia akan masuk dengan jurus Bayangan Bunga Bujur-nya dan menangkap hantu laba-laba ini dengan senjata cambuk berbentuk rantai berdurinya ini. Senjata ini ampuh untuk melumpuhkan hantu, setan maupun siluman apalagi kalo cuma orang. “Gotcha!” katanya mendekat terus membetot ketegangan rantai yang dipegangnya agar tetap membelenggu erat.

Iyon sudah kuhubungi tetapi tidak di alam nyata. Pertama-tama aku masuk ke alam daerah kekuasaanku dan memanggil Iyon agar tak ketahuan lawan. Aku yang sudah merasakan incaran hantu baru di sekitarku lalu mengatur taktik ini dengannya. Iyon yang sudah sering bekerja sama denganku tentu tidak kesulitan mengeksekusi rencana ini dan terbukti benar, kami berhasil menangkap laba-laba ini dengan gemilang.

“Buat dirimu berguna… dan bicaralah yang penting saja…” kataku menghunus mandau-ku ke arah lehernya. “Begitu omonganmu gak penting… kepalamu lepas dari lehermu…” ancamku. Ini bukan ancaman kosong. Aku gak akan segan membasmi hantu semacam dia. Berkurang satu pengganggu yang mengancam umat manusia akan lebih baik.

“Ini hampir sama kayak zombie siluman laba-laba tempo hari ya kan, Seng?” ingat Iyon akan pertarungan kami dengan siluman monyet yang mengaku Dewa waktu itu. Ia memperalat satu siluman lain yang sudah dibunuhnya menjadi zombie untuk bertarung baginya. Siluman laba-laba betina merah yang memakan semua sperma yang memasuki tubuh kak Sandra. Membuatnya dari muda sudah mandul alias tak subur.

“Yang itu betina… Ini jantan… Beda jenis juga… Yang ini jenis Tarantula… Yang kemaren itu jenis Black Widow… Super beracun…” jelasku padanya. Kami berdiri berseberangan membahas jenis hantu yang sekarang tak berdaya di tanah dengan leher ditodong mandau tajam. “Kau jangan diam aja… Ngomong! Plak!!” kukeplak kepalanya dengan sisi pipih mandau lalu balik lagi menodong lehernya. Ia menjengit kaget.

“Kalian tidak akan selamat dari kami…” sahutnya mengancam. Mukanya bercarut seperti mengejek kami berdua. Suara cempreng ini persis sama seperti yang kudengar saat bersama dengan Dea waktu itu. Hantu alias siluman Tarantula ini ternyata.

“Trus…”

“Burong Tujoh selalu menang dari siapapun… Kalian akan musnah… Kami akan melenyapkan kalian, Ribak Sude…” sambungan ancamannya mengemuka lagi. Aku menunggu lanjutannya. Iyon menggelengkan kepalanya.

“Trus apalagi? Itu bukan info penting! Dari dulu kami udah sering dengar itu… Itu info basi, tau?! Namamu siapa? Aku udah membasmi Mutee, Tabek dan Nenek Te-tek…”

“Ada yang namanya nenek tetek?” Iyon hampir tergelak mendengar nama aneh itu.

“Wewe Gombel, Yon…” aku memperagakan berat tetek di dada kiriku dengan tangkupan tangan. Iyon lalu paham dengan mulut membentuk huruf O besar tanda paham apa yang kumaksud. “Mulai dari namamu dan nama tiga temanmu yang tersisa di kelompok Burong Tujoh ini… Jangan sampe kesabaranku abis…” aku makin menggesek sisi tajam ini di lehernya. Kepalanya mendongak tapi ia tak bergeming.

“Demi Burong Tujoh!! KREEAAAKKKK!!!” tiba-tiba Tarantula itu menembakkan sejenis bola benang kepadaku dari mulutnya yang berhasil kuelakkan. Aku yang kaget tak sengaja memapas lehernya hingga kepalanya menggelinding. Kojek juga mundur dan menarik rantai berdurinya hingga tubuh serangga itu hancur remuk berderai, berkeping-keping. Pudar dan hilang.

“Kamikaze, ya?” gumamku.

“Kukira dia mau teriak ‘Hail Hydra!’ gitu…” sahut Iyon saat kami menyaksikan tubuh Tarantula itu menghilang sama sekali. Iyon dan dark comedy-nya. “Dia tadi itu teriak kreak (sok jago)… Mungkin namanya si Kreak, Seng…” Apa urusan para hantu ini dengan kami hingga rela mengorbankan satu anggotanya yang berharga. “Organisasi mereka cukup solid dan loyal… Mereka gak mau membocorkan informasi anggota lainnya…” simpulnya selagi menyimpan senjata cambuk rantai berduri itu.

“Tidak semua… Aku dapat bocoran satu nama mereka dari keceplosan anggotanya sendiri…” ingatku. Aku tau nama Tabek dari Mutee. Mungkin dia hanya agak ember sampe memberitau namanya sendiri juga pada korbannya, tapi itu sebuah kerugian bagi mereka sendiri. “Bagaimanapun sudah empat dari tujuh hantu ini yang sudah musnah… Tersisa tiga lagi kalo begitu… Sori kalo awak melibatkanmu lagi, Yon…”

“Gak bisa gitu, Seng… Dia jelas-jelas bilang Ribak Sude… Jadi itu bukan urusan pribadimu sendiri lagi… Kalo kau berhasil mereka apa-apain… berarti berikutnya giliran kami, bukan?” kata pemimpin gak resmi kelompok trio kami ini. “Mereka sisa tiga… kita juga tiga… Pas, kan?” ia mengepalkan tinju tangannya dan memukulkan ke tapak tangannya sendiri dengan gemas. “Kita akan membuat tantangan terbuka pada mereka bertiga… Apa tadi namanya Buwong Puyoh?”

“Burong Tujoh… Bahasa Aceh… Artinya Hantu Tujuh…” jawabku. Ini seperti di masa lalu. Kami membuat tantangan terbuka terhadap kelompok lain yang jelas-jelas cari masalah dengan kami bertiga. Ini mengenai harga diri dan nama baik kelompok kami. Di kalangan golongan terang nama kami sering menjadi incaran golongan gelap. Lawan jangan dicari tapi kalo ditantang jangan lari.

“OK… Burong Tujoh…” Iyon menyiapkan dirinya. Tangannya bersilang di depan perutnya dengan tinju mengepal. Ia mengerahkan Lini untuk melakukan komunikasi universal pada siapa saja yang berkepentingan akan tantangan terbuka yang akan disampaikannya. Dimana saja pihak itu berada akan mendengarkan tantangan ini. Ia lalu menengadah ke langit sebagai media perluasan komunikasi ini.

“Dengarkan, wahai Burong Tujoh… Dimanapun kalian berada… Aku mewakili Ribak Sude, menantang kalian dalam pertarungan terbuka… Aku tunggu di tempat ini segera… Kalau kalian punya kehormatan… kalian akan datang kemari dengan segera… Kita selesaikan urusan kita secepatnya!” tuntas Iyon akan pengumuman tantangan terbuka Ribak Sude terhadap kelompok Burong Tujoh. Seluruh semesta supranatural dan ghaib akan mendengar lantang suara itu. Semua yang berkiprah di dunia ini akan menangkap pesan itu. Siapapun yang punya kemampuan akan memahami urgensi kepentingan ini.

Iyon melepaskan nafas panjang menuntaskan komunikasi universal itu. Ia menggeretakkan lehernya. Jari-jari tangannya. Lalu menghilang sebentar kemudian balik lagi dengan cepat membawa satu paket yang kurang dari trio Ribak Sude, Kojek.

Kami sudah lengkap bertiga. Kojek sudah mendengar pengumuman itu dan paham apa yang sedang menimpa kelompok kecil kami ini. Aku segera menjelaskan pada mereka pangkal masalah sampai aku terdampar di hutan ini. Bagaimana aku diincar kelompok Burong Tujoh yang banyak berpusat di seputaran hutan gunung Leuser ini. Serangan bertubi-tubi mereka padaku yang tentunya bertujuan untuk membunuhku. Untungnya sejauh ini aku masih bisa bertahan hidup walo cukup babak belur dihajar terus-menerus beberapa hari ini. Ini memasuki hari ketiga.

Empat perempuan itu juga kuperkenalkan pada kedua sahabatku ini sebagai contoh korban salah satu anggota Burong Tujoh yang berhasil bertahan hidup di hutan ini. Iyon dan Kojek geleng-geleng kepala geram akan kiprah kelompok bejat ini yang tiap anggotanya menebar teror. Manusia yang selalu mereka rugikan sebagai bahan eksploitasi mereka. Iyon bersedia mengantar keempat perempuan muda itu kembali ke kampung halaman mereka tapi masalahnya mereka tak tau letak kampung mereka sendiri. Apakah keluarga mereka masih ada di sana karena sudah hampir belasan tahun mereka hilang. Iyon tetap berjanji akan mengusahakannya tetapi setelah urusan dengan kelompok Burong Tujoh ini selesai.

Tak lama, hutan ini mulai penuh dengan berbagai macam kalangan. Tentunya dari golongan manusia dan jin yang merasa berkepentingan dengan duel ini. Sudah lama tidak ada tantangan terbuka disebar luaskan secara umum begini. Yang merasa bosan tak ada kerjaan pastinya akan melakukan berbagai cara agar bisa sampe di sini tepat waktu sebelum pertarungan sebenarnya dimulai. Segala macam orang mulai bermunculan. Para dukun, pendekar Menggala, orang-orang sakti, para praktisi Indigo, pengamat supranatural, semuanya ada. Segala macam jin tentunya nongol. Dari yang paling biasa bentuknya sampe yang fenomenal bentuk maupun ukurannya. Ada yang memancangkan beberapa obor untuk menerangi sudut-sudut bidang kosong lapangan hutan yang otomatis sebagai arena pertarungan kami nanti. Seperti ada panitia yang sengaja menyiapkan ini semua.

“Kayak turnamen dulu, ya?” kata Kojek teringat masa muda kami dulu. Turnamen bela diri gila yang sampe sekarang kami masih belum percaya bisa selamat hidup-hidup dari sana. Saat turnamen itu berlangsung, suasananya jauh lebih meriah dari ini karena tempat itu berubah menjadi kota dadakan tempat menampung para peserta dan penonton yang jumlahnya sangat banyak. Sejak itu, tak pernah diadakan lagi turnamen semacam itu. Mungkin karena ini banyak yang antusias mendengar tantangan terbuka yang diwakilkan Iyon barusan. Rindu akan suasana waktu itu. Aku yakin dari wajah-wajah lama ini, banyak yang kangen masa itu.

“Kemaruk kali kurasa orang-orang ini… Cuma tiga lawan tiga aja kok sampe rame kali kayak gini jadinya…” kata Iyon memperhatikan sosok-sosok yang berseliweran mengelilingi arena ini untuk mendapatkan vista terbaik pertarungan nanti. Beberapa menyemangati kami dan banyak juga yang menyumpahi kami.

“Jangan lupa kau, Yon… Turnamen waktu itu mulanya ya gara-gara tantangan terbuka semacam ini juga, kan?” aku mengingatkannya kembali akan kejadian waktu itu. Iyon manggut-manggut ingat kejadian itu. “Gara-gara kita juga-nya… Kita yang masih ijo disuruh bertarung ngelawan kelas berat kek mereka-mereka ini…” tunjukku pada segerombolan raksasa setinggi 3 meter yang melintas. Mereka hanya melirik dan mendengus pada kami.

“Eh… Bos… Malam, bos?” sapa Iyon tiba-tiba pada dua orang pria yang menghampiri kami. Mereka bertampang yang mirip identik. Perbedaan paras mereka hanya pada tatanan gaya rambut saja.

“Bas-bos… bas-bos… Kalo udah seperti ini… sama kita semua…” ia keberatan dipanggil bos sama bawahannya sendiri. Benar, beliau adalah Buana Suryawan. Satu dari dua pucuk pimpinan grup Bhumi Surya Chandra Awan. Ia datang bersama kembarannya Ron Suryawan yang langsung memeluk Kojek gaya bro-hug yang akrab. Mereka datang full power sudah memakai zirah kebesaran mereka yang berpendar cahaya mistis itu. Apalagi pedang-pedang yang disampirkan di pundak menambah kesan gagah keduanya. Pendekar pilih tanding dengan julukan pendekar 6 Agung. Tapi siapa sangka mereka juga pengusaha sukses sekelas konglomerat.

“Naik apa tadi kemari tadi, bos?… Sori saya gak bisa nganter langsung kemari…” kata Iyon yang terbiasa menyupiri Buana kemana-mana sebagai supir pribadinya. “Dari tadi udah langsung gelut sama si Aseng ini…” katanya tak bisa menghilangkan kesopanannya sebagai pegawai bosnya yang sangat dermawan untuk keluarganya.

“Kami tadi mutar disitu… Wuusshh… Liat rame-rame di bawah sini kami jadi turun di belakang sana…” tunjuk Ron pada beberapa arah. Tentu saja. Aku tadi sudah menebak naga yang melintasi langit malam di bukit sebelah sana sebagai naga milik pria kembar ini. Double Dragon. “Rame, ya?… Tapi masih kalah rame dengan yang dulu…” ujarnya tentu juga masih ingat dengan turnamen yang tadi kami bicarakan sebelum mereka tiba. Karena mereka berdua juga ikut terlibat dalam kejadian itu. Saat itu kekuatan mereka belum sedahsyat sekarang. Masa-masa yang pantas untuk dikenang. Kumpul-kumpul begini bisa jadi nostalgia yang baik bagi kami.

“Apa tadi itu? Burong Tujoh? Bahasa apa itu?” tanya Buana pada Iyon lagi. “Orang lagi enak-enak tidur… ada suara lantang menantang terbuka Burong Tujoh… Suaranya suara si Iyon, nih… Makanya kami langsung bergegas kemari…” kata Buana lagi. Memang kami mengganggu banyak orang. Belum sempat Iyon menjawab soalan barusan, datang satu lagi orang yang sudah terganggu akan pengumuman Ribak Sude tadi. Ia mendarat dari melompat-lompat jarak jauhnya dan langsung berdiri tegak di depan kami sambil menggeleng-geleng.

“Abah?” berbarengan kami menyapanya lalu berebutan untuk salim menyalaminya. Bagi kami, ia sosok ayah yang mengayomi kami. Ia menyalami kami satu-satu dan menepuk pundak kami yang membungkuk mencium tangannya. Abah Hasan juga datang karena pasti mendengar pengumuman Iyon tadi dan merasa terusik hingga harus datang kemari juga.

“Burong Tujoh mana yang kalian tantang ini?” tanyanya pada kami bertiga dengan muka ketat. Iyon dan Kojek langsung menunjuk padaku dengan gestur menuduh. Iyon pake mengangguk-angguk lagi memperberat tuduhannya kalo aku biang kerok semua ini. “Ada banyak Burong Tujoh yang beroperasi di Nangroe Aceh Darussalam ini… Banyak yang cuma kroco… banyak yang palsu… Tapi jangan sampe kalian berurusan dengan Burong Tujoh si Teuku Amareuk…” kami bertiga terdiam. Apalagi aku. Aku tidak mengenal nama itu. Ada banyak Burong Tujoh di sini? Waduh? Apakah nanti yang bakal datang adalah kelompok yang tepat? Bukan salah sasaran…

“Aseng, bah Hasan… yang tau nama-nama anggota Burong Tujoh ini… Dia sudah memusnahkan empat anggotanya…” kata Iyon membuka suara. Semua mata lalu berpusat padaku.

“Awak gak tau nama Teuku Amareuk, bah Hasan… Yang awak tau Tabek, Mutee, Nenek Te-tek dan mungkin Kreak…” pada nama terakhir aku beralih pada Iyon untuk mengkonfirmasi nama itu lagi. Lagi-lagi dia hampir tertawa akan nama Nenek Te-tek. “Gak ada nama Teuku Amareuk…”

“BURONG TUJOH MEMASUKI GELANGGANG!!” seru suara dari kejauhan. Kerumunan masa menyibakkan diri, memberi jalan untuk pihak yang terkait untuk memasuki daerah pertarungan yang sudah kami tentukan ini. Seolah mengambil jalan yang berasal dari kalangannya, mereka muncul dari barisan para golongan hitam. Dari kelebatan cahaya obor dan pendar cahaya bulan, hanya ada dua sosok datang memenuhi tantangan kami. Seharusnya mereka bertiga, kan? Kemana yang satu lagi?

“Ribak Sude… dengar… Yang paling depan itu yang namanya Teuku Amareuk yang abah maksudkan tadi… Mahluk paling berbahaya se tanah rencong ini…” abah Hasan memberi peringatan keras pada kami bertiga. Amaran abah Hasan patut kami pertimbangkan karena ia tentu lebih tau seluk beluk tanah rencong ini karena ia punya darah daerah sini juga. Sontak kami bertiga memperhatikan sosok itu. Ia setinggi 2 meteran, memakai jubah panjang sampai terseret di kakinya. Ada semacam sepasang tanduk di kepalanya. Hanya saja tanduk itu bergerak-gerak skeletal. Kami belum bisa melihat wajahnya dengan jelas karena jarak yang lumayan jauh. Sosok satu lagi yang masih misterius, lebih tinggi dan tubuhnya lebih berisi daripada Teuku Amereuk.

“Teuku Amareuk selalu merekrut hantu, siluman ato setan untuk bergabung dengan kelompoknya ini dan menyebar teror ke masyarakat. Selagi Teuku Amareuk masih ada dia akan terus merekrut anggota baru untuk menggantikan yang sudah musnah sehingga Burong Tujoh bentukannya akan selalu ada dan ada lagi karena akarnya tidak dicabut… Jika anggota-anggotanya kalian musnahkan, ia akan dengan mudah mencari anggota baru… Si Teuku Amareuk inilah yang harus dimusnahkan… Paham?” kata abah Hasan sangat serius sekali akan pemaparannya ini.

Mahluk paling berbahaya se tanah rencong…

Bersambung

gadis kost
Permainan Sexs Liar Dua Gadis Teman Kost Ku
cewek india
Ngentot cewek cantik dari india
gadis hamil
Menikmati Vagina Sepupu Ku Yang Sedang Hamil
500 foto chika bandung memek sempit pecah perawan di foto pacar
ibu ibu hot
Liburan ke Eropa bersama ibu ibu sosialita bagian satu
Foto model bugil cewek cina yang cantik dan putih
Cewek cantik perawan sexy
Teman Kampusku Pemuas Nafsuku
Istriku yang Soleha
Wanita Panggilan Pelanggan Setia Ku Bagian Dua
500 foto chika bandung bugil di luar kamar hotel jembut lebat
Pembantu sebelah rumah yang menggoda birahiku
SPG Cantik
Bercinta Dengan SPG Cantik Yang Masih Perawan
gadis lihat bokep
Ngentot dua gadis manis yang terangsang karena melihat bokep
cantik
Cerita sex suami yang tak mampu memuaskan nafsu ku
rekan kerja
Menikmati Lubang Surga Rekan Kerja Ku
Tante Sange Sodok Memek Pake Guling