Part #62 : Mahluk ini keluar dari tubuh Vivi
Tak ada seorangpun yang paham mahluk apa yang sedang berdiri tegak di antara kami semua. Bahkan aku yang paling berpengalaman sekalipun tak tau apa-apa tentangnya. Ini disebut jin tak ada aura ato energi yang bisa diasosiasikan sebagai mahluk ghaib itu. Ini mahluk yang sama yang telah menghajar Tabek, hantu cicak raksasa itu sampe lumat paska pertarunganku dengan Mutee. Mahluk ini keluar dari tubuh Vivi. Seperti sebuah hubungan Menggala Suba yang bisa memerintahkan mahluk Menggala yang ada dalam perjanjiannya. Tapi tidak mungkin Vivi tau tentang Menggala.
“Ini apa, bang?” tanya Vivi.
“Kok kau pulak yang nanyak? Dia keluar dari badanmu… Barusan Vivi yang ngeluarin dia, kan?” bingungku pasti.
“Ishh… Bahasanya serem banget keluar dari tubuh Vivi… Kayak melahirkan aja Vivi ngeluarin mahluk segede ini…” ia juga bingung curi-curi pandang pada mahluk yang berdiri tegak tak bergeming seperti sebuah patung. Kami semua termasuk Farah dan Dea juga melakukan hal yang sama. Mahluk ini sangat ganjil walopun bentuknya utuh ada kepala, badan, sepasang tangan dan sepasang kaki. Tapi bentuknya yang ganjil yang membedakannya dengan bentuk manusia normal. Kasarnya ini memang bukan manusia.
“Ini bukan setan-setan itu ya kan, bang? Kok kami bisa ngeliat dengan jelas, ya?” tanya Farah. Ia, Dea dan Vivi mengangguk-angguk setuju. Kalo ini setan ato hantu tentu saja mereka tidak akan bisa melihatnya. Apalagi ini siang hari dan ruangan ini terang benderang. Hanya kalangan sepertiku ato orang tertentu dengan bakat indra keenam yang bisa melihat mahluk ghaib sejelas ini. Ini jelas bukan mahluk ghaib.
“Ini bukan setan ato hantu ato memedi ato apapun bahasanya… Awak sendiri-pun tak tau ini apa… Tapi cobak kita tanyain, ya? Kali aja dia mau ngejawabnya…” aku memberanikan diri tapi lirik-lirik pada kesiapan tangannya. Cakar di jari-jarinya sangat ampuh dan mumpuni menghajar Tabek sampe mampus. Tentu mudah saja ia menghajarku dengan cara yang sama. Aku berdiri tepat di depannya. Matanya sangat menganggu sekaligus mengintimidasi karena mencuat ke atas berwarna putih tanpa kornea dan tak bisa berkedip hingga tidak bisa diketahui ia sedang memandang ke arah mana. Ini harus aku yang bertanya karena yang lainnya tak ada yang berkompeten.
“Halo… Kamu ini siapa?” tanyaku dengan nada datar.
Ia tak bergeming. Tentu aja… Wong dia gak punya mulut pasti dia gak bisa ngomong dan menjawab pertanyaanku. Paok!
Aku melirik pada Vivi yang ada tepat di belakang mahluk berwarna abu-abu agak metalik ini, meminta pertimbangannya. “Vi… Cobak kau yang nanyak… Dia gak mau sama aku…” Vivi langsung menggeleng dan mengibaskan tangannya tanda tak mau berurusan dengan mahluk asing ini. Apa ini alien, ya?”
“Hiihh… Gak-lah, bang… Mana mungkin mau dia menjawab aku… Abang aja gak dijawabnya…” tolak Vivi.
“Tapi dia punyamu, Vi… Harusnya mau dia… Cobak aja… Kalo ada apa-apa nanti awak tolongin, kok… Cobak…” desakku. Vivi masih ragu-ragu. Ia berani menghadapi mahasiswa dan mahasiswi baru yang mungkin serem-serem bahkan yang senior seperti angkatanku, tapi perbandingannya menghadapi mahluk ini tentu sangat berbeda levelnya.
Vivi memiringkan kepalanya. “Kamu siapa?” suaranya sangat lirih dan halus karena ketakutan.
“Aku tak bernama… Masaku belum tiba… Harusnya belum saatnya aku hadir di dunia ini… Ini prematur…” jawabnya mengejutkan. Prematur? Kek bayi aja katanya prematur. Hei? Dia bisa ngomong? Dari mana asal suara itu? Mulutnya sama sekali gak gerak gitu, kan? Farah dan Dea yang melihatnya juga tak kurang heran. Tapi benar, ia mau menjawab pertanyaan dari Vivi.
“Prematur? Seharusnya kapan kamu hadirnya?” tanya Vivi masih dari belakang mahluk itu.
“Suatu saat di masa depan… Ada seseorang yang bisa memanggil kami semua di masa depan… Hadirnya diriku sekarang adalah anomali dirimu dengan pemicu tertentu yang memaksaku hadir… hingga aku bisa hadir di dunia ini secara prematur… Aku adalah inti dari dirimu… Aku akan bungkam dimulai dari sekarang…” lumayan panjang mahluk itu ngomong dan ia akan bungkam tak mau bicara lagi dimulai dari sekarang sampe nanti di masa depan orang itu memanggilnya. Wah… Apa ini?
Dan begitu saja mahluk berdiri diam tak bergerak sedikitpun layaknya sebuah patung.
“Dia gak mau ngomong lagi katanya, bang… Abang ngerti dia barusan ngomong apa? Vivi gak paham…” ia menatapku. Juga menatap Farah dan Dea bergantian. Kalo-kalo salah satu dua binor itu tau sesuatu ato paham yang baru dikatakan mahluk itu sebelum bungkamnya. Kami semua menggeleng tanda gak ada yang ngerti.
——————————————————————–
Keadaan tenang dan mahluk itu menghilang. Vivi mencoba memanggilnya lagi untuk memunculkannya dan patuh ia muncul secara instan di depan Vivi lalu tak lama menghilang lagi karena tak ada keperluan untuk menggunakan tenaganya. Menurut Vivi, ia membayangkan mahluk itu dan ngomong dalam hati saja agar dia datang, berkonsentrasi seperlunya—PUFF… dia muncul. Semudah itu.
“Jadi Vivi menyuruh-nyuruh mahluk itu untuk ngikutin awak kemana-mana?” tanyaku saat aku tinggal berdua saja dengannya. Farah dan Dea ke kamar ibu Basri untuk melihat perkembangan keadaan pria itu.
“Takut, yaa?” genitnya menjawil pipiku, menariknya sampe pipiku gembil lalu dilepasnya. “Dua cewek cantik itu?” ia memainkan alisnya naik turun menggodaku. “Trisam-trisaman sampe hampir pagi, kan? Enak, yaa?”
Mati kutu aku jadinya. Jadi selama ini aku sudah dimata-matai oleh mahluk tadi. Aku tak merasakan kehadirannya karena ia sama sekali tak punya hawa ato aura negatif yang jahat untuk dideteksi. Jadi selama aku menyetubuhi dua binor; Farah dan Dea, Vivi melihat semua kejadiannya. Dia bisa melihatnya dengan sangat jelas lewat mata mahluk itu yang entah bagaimana terhubung seperti CCTV ke penglihatan Vivi.
“Mangkanya, Vi… Vivi ngapai suka sama awak? Udah tau awak orang kek gini-pun masih ngotot aja terus suka samaku… Gak usah ya, Vi?… Vivi tau sendiri awak ini bejat begini… Besok-besok entah cewek mana lagi yang aku tiduri…” kataku malah menjelek-jelekkan diri sendiri. Aku sudah sering melakukan ini untuk membuatnya tak berselera lagi untuk minta dipacari. Dia sudah tau skandalku sebelumnya dengan Andini, Karina, Mayu-chan dan Amei. Ditambah lagi yang terbaru ini dengan Farah dan Dea, threesome FFM lagi. “Masak Vivi mau pacaran sama awak yang gak bisa ngasih harapan kek gini… Gak ada harapan-loh, Vi… ”
“Bang Aseng bener-bener gak peka ya sama perasaan Vivi? Vivi kalau udah suka ya tetap suka apapun yang abang lakukan di luar sana… Walaupun abang udah ada kakak… Walaupun udah punya dua anak dari kakak… Walaupun menghamili perempuan-perempuan itu… Vivi tetap suka… Gak mudah loh bang membuang perasaan kayak gini? Vivi gak pernah begini sebelumnya… Abang yang pertama…” ia menumpahkan semua isi hatinya. Kali ini ia benar-benar serius mengatakannya hingga aku bisa tau apa yang dirasakannya.
“Maafkan awak, Vi… Awak memang gak peka pada perasaanmu… Karena perasaan yang awak terima di hati ini hanya untuk kakakmu… Tidak untuk perempuan-perempuan itu… dan tidak untuk Vivi juga… Maafkan juga kalo ada perbuatan awak… kata-kata awak yang menyinggung… membuat Vivi terluka… Maafkan kalo ada apapun yang menyebabkan Vivi jadi punya perasaan begini sama awak… Awak minta maaf yaaaaang sedalam-dalamnya… Maaf awak gak bisa membalasnya…” walo pahit, aku tetap harus menyampaikannya. Tak lazim dilakukan perempuan untuk menyatakan perasaannya pada pria yang disukainya. Harusnya itu sebuah anugrah bagi sang pria. Tapi dalam kasusku itu sebuah bencana.
Bencana di bidang ini tetapi keuntungan di sisi lain. Karena tekad dan prinsipku ini aku bisa memecahkan pengaruh Mutee, si kuntilanak mesum berbaju merah itu. Kalo aku tak punya prinsip kuat akan janjiku yang hanya satu pada istriku, saat ini pastinya aku masih akan tenggelam dalam pengaruh kuntilanak merah itu. Bergabung menjadi korban seperti Basri dan banyak lainnya.
Ia menirukan gambaran sempurna perempuan yang kucintai; istriku. Bertubuh indah, bertambah cantik, kepribadian menawan. Gambaran wanita sempurna untukku. Tawarannya sangat menggiurkan bagiku dan untuk beberapa saat aku memang tenggelam di dalamnya. Tetapi ada yang tak bisa ditirukannya dari istriku; perasaan cintanya yang sudah sempurna. Aku tak perlu cinta picisan dari perempuan lain. Aku tak perlu rasa sayang dari perempuan manapun karena aku sudah sempurna dengan rasa sayang istriku. Itu sudah cukup.
Pada istriku, ia bisa mengurasku gila-gilaan kalo perlu. Tapi ia masih tau batas dan menjaga kesehatanku. Mutee dalam mode tiruan sempurna istriku tak memikirkan itu. Ia terus menguras dan menguras mungkin sampe nanti aku kering kerontang—hal yang sangat fatal. Hal yang tak mungkin dilakukan istriku. Dari sanalah aku tersadar dan menebas perut palsunya dengan mandau. Lalu membantainya kemudian. Agak terlambat memang. Tetapi lebih baik terlambat dari pada modyar jadi mayat.
Itu juga yang dilakukan Mutee pada Basri dan pria-pria lainnya. Membangun bentuk sempurna impian mereka dan menjerat para pria itu selamanya. Entah siapa perempuan itu bagi Basri, tapi Mutee sudah mengurasnya selama bertahun-tahun. Menguras energi hidupnya. Menikmati energi hidup dari banyak pria sekaligus. Setidaknya itu cukup menyenangkan walo terlalu berlebihan. Sirkuit otomatis yang menolak potensi selingkuh hati ini sekali lagi menjadi penyelamat leherku.
Vivi terdiam untuk beberapa lama. Ia berusaha keras untuk tidak menangis walo tak dapat ditahan air mata yang menggenang di kantung matanya, lalu jatuh di pipinya. Ingin rasanya menghapusnya tapi aku menahan tanganku dengan mengepal. Tanganku mengepal erat dengan buncahan perasaan yang bergulung-gulung di dalam dada bak sebuah badai taifun. Janji yang kuucap dulu, meredakan badai itu…
Hanya kau yang ada di hatiku’
“… gak akan berhenti, bang…” ia berkata lirih. “Vivi janji gak akan berhenti… Vivi gak akan berhenti sampe abang membuka sedikit aja hati abang buat Vivi… Sedikit aja… Itu sudah cukup… Vivi akan buktikan…” ia lalu bangkit dari duduknya dan berdiri di depanku. “Vivi pergi dulu… Masih ada urusan di kampus…” ditariknya tanganku dan salim. Loh pake salim sekarang? Sejak kapan?
Aku bengong ngeliat Vivi pamit untuk pergi ke kampusnya lagi. Ia balik dan berdiri di dekat pintu. “Hati-hati dengan anak Tembung itu, bang… Siapa nama baby sitter abang itu?… Tiara ya namanya? Hati-hati dengannya juga… Dia juga punya mata-mata…” malah ia memberi tambahan peringatan padaku. Tiara juga punya mata-mata? “Tapi mata-matanya Tiara beda dengan Vivi… Dahh…” ia langsung menghilang di balik pintu sebelum aku sempat memanggilnya lagi.
Tiara juga memata-mataiku? A-ah… Bikin pusing aja!
“Kenapa, bang? Bete banget?” Farah datang mendekat melihatku bersungut-sungut. Dea mengekor di belakangnya beserta ibu Basri. Aku hanya bisa cengengesan tak mampu menjelaskan. “Loh? Vivi tadi mana, bang? Udah pulang?” ia celingak-celinguk melihat kesekitar mencari gadis itu.
“Udah pulang… Baru aja… Katanya masih ada urusan di kampusnya… Tadi minta permisiin aja karena klen tadi masih di dalam…” aku bersandar di sofa berusaha mengumpulkan kembali semua energiku yang terkuras. Duduk di depan jendela begini, sinar matahari menghangatkan badanku dan sedikit demi sedikit mengisinya kembali. Udah kek tanaman aku berfotosintesis. Memang benar, sinar matahari lumayan berpengaruh memberiku tenaga.
“Nak Aseng… Ibu mau berterima kasih sudah membantu menolong anak ibu… Basri… Dia sudah sadar dan dapat mengenali ibu… Dia juga sudah tidak seperti orang gila lagi… Bisa mulai bicara lagi… Dia bahkan minta maaf pada nak Dea ini… atas segala dosa-dosanya di masa lalu… Terima kasih banyak, nak Aseng…” ibu tua itu menghaturkan banyak sekali rasa terima kasih mewakili anaknya karena Basri masih perlu banyak istirahat. Jauh lebih banyak dibandingkan aku yang hanya baru beberapa waktu saja diperangkap Mutee. Bandingkan dengannya yang sudah berlangsung bertahun-tahun.
Satu jam kemudian kami pemisi pulang dari rumah Basri di kawasan Padang Bulan ini dan aku yang masih agak lemes kembali duduk di belakang di mobil mewah Farah.
“Vivi itu siapa, bang?” tanya Dea. Padahal aku yang duduk di posisi ini sedang leyeh-leyeh hampir tertidur. Mataku melek malas-malasan.
“Tetangga dekat rumah, Dea… Udah kek sodara juga…” ingatku kalo istriku dan Vivi malah sudah mengangkat saudara malam itu.
“Gak takut nanti diaduin perempuan itu ke istri abang?” tanya Dea agak ragu-ragu. “Apalagi ia sangat perhatian dengan keadaan abang… Dea khawatir bang Aseng kenapa-kenapa dengan istri abang…” lanjutnya mengutarakan apa yang mengganjal di hatinya.
“Vivi anaknya asik kok… Gak ember sama sekali…” jawabku tak mau ember juga.
“Tapi kalo dari sikapnya tadi… kayaknya dia suka sama bang Aseng tuh… Keliatan banget khawatirnya… Malah dia yang duluan tau bang Aseng dalam kesulitan… Istri bang Aseng sama sekali gak tau, kan?” kata Farah melirikku berkali-kali dari spion tengah selagi nyetir. Tentu aja dia gak tau. Istriku taunya aku sedang molor di tempat tidur berbalut selimut abis keluyuran semalaman.
“Yaaa… Katanya sih begitu… Udah bolak-balik dia nembak awak…” kataku ngasal aja. Mungkin akan mengejutkan mengetahui kalo ada cewek yang duluan nembak cowok, bukan sebaliknya. Kaget tentunya kedua binor itu mendengarnya. Dea bahkan menutup mulutnya. Farah membuka mulut hendak tertawa tapi ditahannya. Mungkin hendak bilang ‘bucin’ ato apa gitu.
“Kan bang Aseng udah punya istri… Kok dia bisa-bisanya nembak bang Aseng? Kok bisa?” kata Dea sampai harus memutar posisi duduknya hingga bisa menghadap padaku. “Sengklek juga kepalanya, ya?” ujar Dea dengan intonasi lucu mengejek pilihan Vivi. Aku diam aja, merem.
“Mungkin udah kenak elus sekali… langsung termehek-mehek dia… Iya, bang? Jadi baper gitu dianya…” tebak Farah masih asyik nyetir aja. “Farah kalo abang masih kosong juga mau kalee… He he hehehehe…” candanya dan menghentikan kendaraannya di perhentian lampu merah.
“Gak pernah kuapa-apain dia… Masih perawan itu anak orang…” jawabku ngobrol sambil mata terpejam, bersandar di jok belakang empuk sedan dua pintu ini.
“Ahh… Masih perawan? Trus kok sampe segitunya dia, ya?” heran Dea juga ikut-ikutan. “Kayaknya dia bener-bener sayang sama abang, deh…”
“Udah-laaa… Awak mau istirahat dulu bentar-la? Ini mau kemana kita?” tanyaku masih merem. Kukeluarkan HP dari kantung celanaku agar posisiku agak leluasa dikit dan kuletakkan begitu saja di jok.
“Kita ke rumahku aja… Abang bisa istirahat dulu di sana… Nanti kalo abang udah baikan nanti Farah antar pu-swiiiissshhhh…” entah ngomong binor si Hussein itu dan udara mobil ini terasa tambah dingin aja. Kok jadi gak empuk lagi jok mobil ini?
PUKIMAK!! KOK AKU ADA DI ATAS POHON??!!
Gimana caranya aku sampe di puncak pohon ini? Ini pohon randu alias pohon kapuk yang sangat tinggi dengan batang besar dan cabang-cabangnya yang berjumlah banyak dengan buah kapuk merekah putih-putih. Dan lagipula, pohon ini ada di tengah belantara luas dengan kontur berbukit-bukit dan sangat lebat. Cuacanya sangat sejuk dengan langit biru cerah berawan putih bergumpal-gumpal. Ini bukan daerah kekuasaan seseorang karena ada matahari terlihat jelas.
Saat aku tertidur leyeh-leyeh di jok belakang mobil Farah, seseorang ato sesuatu memindahkanku ke atas pohon di hutan ini. Ini mirip dengan jurus Bayangan Bunga Bujur milik Iyon yang mampu menteleportasi dirinya kemanapun yang ia mau. Tapi apakah tadi aku mengalami teleportasi juga? Bukan hanya dipindahkan saja dengan cepat? Karena tadi terasa angin kencang yang berhembus di sekitar telingaku. Dan yang terpenting lagi, siapa yang melakukan ini padaku? Mengingat lawan terakhirku adalah para Burong Tujoh, apakah salah satu dari mereka yang menjadi pelakunya? Mengingat juga, dua anggota Burong Tujoh itu sudah binasa. Akan masuk akal kalo teman-temannya akan membalas padaku. Satu diantara sisa lima Burong Tujoh yang tersisa.
Gimana itu nanti itu dua orang binor; Farah dan Dea? Apa gak kelimpungan orang itu berdua karena aku menghilang begitu aja dari jok belakang mobil? Tidak ada jalan keluar lain dari mobil itu selain dua pintu di kiri kanan keduanya. Mana HP-ku ketinggalan lagi. Aku gak bisa ngehubungi siapa-siapa jadinya. Kalopun ada, aku ragu ada sinyal di sini. Duuh gimana ini, ya? Kimak memang yang melakukan ini semua.
Kutunggu-tunggu sampe sekitar 5 menit lebih, tak ada siapapun yang muncul. Hanya fauna liar hutan yang kadang melintas ato sekedar bersuara menampilkan eksistensinya. Kuputuskan untuk turun memanfaatkan cabang-cabangnya yang besar tetapi harus ekstra hati-hati pada duri-duri runcing yang tumbuh acak di permukaan batangnya. Pada cabang paling bawah, aku bergantungan untuk melompat turun. Ada jarak sekitar 3 meteran tinggi yang harus kuarungi, turun. Lompat ke bawah harusnya akan aman karena dasar tanah hutan penuh dengan daun kering yang akan menahan jatuhku. Apalagi aku akan memakai teknik melompat harimau. Harusnya aman walo tubuhku masih agak lemas.
“Hup!” aku bersalto untuk mengurangi benturan jatuh tubuhku sebelum menyentuh tanah. “Whooo…” secara tak terduga, tubuhku melesat lagi ke atas pohon kapuk randu dan balik lagi ke tempat semula aku bertengger tadi. Ada sesuatu yang membawaku naik kembali ke puncak pohon ini dengan sangat cepat lalu meletakkanku kembali di posisi awal. Aku mengikuti gerakan cepatnya zig zag menjauh dari pohon ke pohon lainnya dengan mata dan sosok itu berhenti sekitar jarak 20 meter jauhnya pada pohon kapuk randu lainnya.
“Jangan coba-coba turun dari pohon itu atau kujatuhkan tubuhmu dari sana sampai pecah batok kepalamu…” sontak aku memegangi kepala mendengar ancaman suara perempuan ini. Nadanya tegas dan dalam. Walo jauh aku bisa mendengarnya dengan jelas. Ini pasti salah satu dari tiga suara perempuan dari Burong Tujoh itu. Aku positif yakin dengan suaranya yang berpotensi menjadi pemimpin kelompok 7 hantu ini.
“Aku mau liat bagaimana kau melakukannya?” jawabku tak gentar malah menghunus mandau Panglima Burung-ku dan langsung saja melompat turun tak memperdulikan lagi ketinggian pohon kapuk randu ini. Mataku tetapi tetap mengawasi pergerakan mahluk itu. Aku pengen tau jenis apa dia. Walo aku terjatuh dengan cepat, tapi tak kutunjukkan rasa panik ato takut. Dia bergerak…
Masih bergerak zig zag ia memantulkan dirinya, memanfaatkan pohon-pohon sebagai pijakan dirinya agar segera mencapaiku. Gerakan lincah seperti ini, mungkin saja dari kalangan primata tapi aku belum pernah mendengar hantu monyet perempuan. Tapi aku akan segera tau begitu ia dalam jarak pandangku. Kusiapkan mandau untuk siap menebas begitu ia juga sudah dalam jarak serangku. Ia memantul terus mendekat hanya menimbulkan sedikit goyangan pada pohon yang dimanfaatkannya. Lalu ia terlihat jelas di depanku. Ia meluncur cepat hendak menyambarku dan mengembalikanku ke puncak pohon itu lagi.
Awalnya ia kukira ia sejenis burung dari lambaian dua buah benda berbentuk sayap yang berkibar-kibar mengepak yang tadi tidak begitu jelas terlihat. Ternyata bukan. Itu bukan sayap dan dia bukan jenis burung. Burung tidak perlu memantulkan tubuhnya dari pohon ke pohon karena ia hanya perlu meliuk-meliuk di antara vegetasi hutan. Karena dia adalah…
Wewe Gombel!
Dan kami berbenturan di udara. Hantu yang terkenal suka menculik anak-anak di waktu Maghrib ini mampu menahan sabetan mandau yang kuhantamkan ke kepalanya dengan kibasan pakaian panjang menutupi sebagian besar tubuh bawahnya. Kain itu cukup kuat menahan tajam mandau ini dan itu cukup untuk membuatku terdorong mundur ke arah batang pohon kapuk randu di belakangku. Aku dengan cepat ingat kalo ada duri-duri tajam di batangnya. Menggunakan bakiak Bulan Pencak aku menahan kakiku tertusuk duri-duri itu saat menahan tubuhku terbanting di sana. Menggunakan daya lontar rebound, aku meluncur lagi ke arah hantu perempuan itu.
Mengingat kalo ia bisa menangkis tajamnya sabetan mandau ini, bagaimana kalo berupa tusukan? Aku memegangi tangan kananku yang menggenggam gagang mandau yang lurus mengarah pada Wewe Gombel itu yang ternyata terdorong mundur juga sepertiku. Untuk mengantisipasi seranganku ia memutarkan tubuhnya menggunakan sepasang benda mirip sayap yang berat yang tumbuh dari dadanya. Bak kincir ia berputar.
Tusukan menikam yang kulakukan lagi-lagi gagal menembus hantu ini berkat putaran cepat tobrut yang dilakukannya untuk menangkis. Berkat itu aku terdorong mundur lagi ke arah pohon untuk kedua kalinya. Kupilih untuk tidak rebound lagi dengan menancapkan mandau ke batang pohon berduri itu dan mencecahkan kedua kakiku untuk melihat apa yang akan dilakukannya. Wewe gombel berkain panjang penutup kaki itu hinggap di dahan pohon terdekat. Aku bisa dengan jelas melihat bentuknya. Muka memanjangnya sangat jelek dan menakutkan dengan rambut awut-awutan panjang tak terurus tetapi fitur utama yang membuatnya mendapat nama terkenal itu yang menarik perhatianku pertama kali; juntaian sepasang buah dadanya.
Wewe Gombel dimana-mana terkenal karena punya payudara panjang menggantung seperti pepaya. Tetapi bagaimana ia menggunakan payudara itu sebagai senjata yang membuatku kaget disamping kain panjang cabik-cabik yang menutupi kakinya. “Kau kubawa ke hutan ini untuk kumangsa… Tetaplah di tempatmu… Di atas pohon…” serunya sambil bergerak pelan-pelan.
“Kau kira awak monyet kau suruh di atas pohon aja… Mati aja-la kau…” balasku.
Wajah panjangnya tak menunjukkan ekspresi apapun kumaki sedemikian kasar. Apalagi aku tak melihat gerakan mulutnya saat berbicara tadi. Mulut itu hanya menganga memamerkan gigi-geligi runcing taringnya. Tangannya yang lebih aktif bergerak-gerak. “Tidak mau? Coba liat apa kau masih bisa berkeras setelah ini…” ia menggerakkan jari-jari tangannya membuka lebar. Sebuah lubang terbentuk di batang pohon kapuk randu besar tempatku bertengger layaknya sebuah mulut.
“Whooaaa!!” lubang itu menyedotku masuk ke dalamnya dan aku langsung tenggelam meluncur di dalam sejenis terowongan sempit kayu yang ternyata ada di dalamnya. Sialnya mandauku terlepas untuk kugunakan untuk menghentikan luncuranku yang sangat cepat. Beberapa kali aku terbentur oleh cekungan dan belokan yang pasti sengaja dibuat begitu untuk mencegah usaha melepaskan diri saat jatuh begini. Permukaan terowongan ini juga licin karena getah alami pohon ini bercampur dengan kelembaban air.
Plung! Aku terlempar dari mulut terowongan itu dan memasuki sebuah gua bawah tanah langsung meluncur, mendarat di sebuah permukaan ruangan sempit yang dindingnya terbuat dari tanah. Anehnya permukaannya empuk dan kenyal. “Akkh…” Suara siapa itu? Itu harusnya suaraku yang kesakitan terlempar disini. “Eh… Uerueng agam baro… Agam rayek…” aku berbaring setelah terlempar di sini di atas beberapa tubuh anak manusia. Aku menghimpit mereka yang menjadi penampung jatuhnya tubuhku barusan. Dan dari tekstur kulit yang tersentuhku, semuanya berkulit lembut yang berarti ada perempuannya.
Koreksi semuanya perempuan!
“Alamak! Kok ada pulak manusia lain disini?” kagetku mundur-mundur menjauh ke arah jeruji kayu kalo-kalo mereka ternyata bukan manusia seperti yang kukira. Hanya samaran. Ada empat perempuan yang kalo ditilik dari bentuk tubuhnya remaja yang beranjak dewasa. Pakaian yang mereka kenakan sangat lusuh dan mulai lapuk. Dan dari bentuk, model dan coraknya semuanya pakaian kanak-kanak. Ada motif gambar Barbie, gambar boneka beruang, motif bunga-bunga rame dan yang pakaian berpita-pita yang meriah.
“Agam rayek?” sapa satu yang berpakaian motif beruang. Haduh pake bahasa ini lagi. Aku sikit-sikit bisa-la bahasa Batak karena sering berkawan dengan Kojek. Lumayan lancar ngomong Jawa karena lingkunganku. Sikit-sikit juga bisa bahasa Karo sama Hokkien. Tapi bahasa Aceh aku blas gak ngerti sama sekali. Gak pernah pulak ada temanku yang cukup akrab dari suku Aceh.
“Pake bahasa Indonesia bisa kelen? Jangan pake bahasa Aceh… Awak gak ngerti…” sergahku agak jengah. Ada satu ruangan sempit yang diterangi obor di luar sana. Lubang-lubang di langit-langit gua ini yang kebanyakan merupakan jalinan akar-akar pohon besar, memberikan pencahayaan tambahan dari terang hari di luar sana. Sialan tuh Wewe Gombel aku diperangkapnya memasuki gua tahanannya bersama korban-korbannya yang lain. Tapi keempat perempuan muda ini sepertinya sudah sangat lama ada disini. Pakaian mereka indikasinya. Ini pakaian yang mereka kenakan waktu kecil dahulu saat diculik dan dibawa kemari oleh si Wewe Gombel itu. Wewe Gombel memang terkenal suka menculik anak-anak dan menyembunyikannya dari orang tuanya. Sekian lama ia menyekap keempat anak-anak ini dari kecil hingga sekarang sebesar ini.
“Soe nan? Ee… Nama siapa?” coba yang bermotif Barbie.
“Namaku Aseng… Klen siapa? Udah berapa lama disini?” tanyaku balik. Terlalu cepat mungkin. Bahasa Aceh merupakan bahasa ibu mereka dan di daerah mereka lebih sering menggunakan bahasa ini untuk percakapan sehari-hari. Mungkin ingatan tentang pelajaran bahasa Indonesia mereka hanya sayup-sayup. Setidaknya mereka sempat mengenyam pendidikan dasar untuk sekedar belajar baca tulis. “Sudah… berapa lama… kalian… dikurung… disini?” ulangku campur-campur bahasa isyarat tangan ala Tarzan. Aku menunjuk-nunjuk ruangan sempit ini. Bagaimana mereka beraktifitas dan tumbuh di ruangan sesempit ini yang paling kutaksir berukuran 4×4 meter saja. Berlantai tanah keras dan dinding tanah keras juga.
“Su-dah lama…” jawab si Barbie lagi setelah lirik-lirikan dengan temannya. Ruangan mirip penjara ini dikekang oleh satu jeruji kokoh yang terbuat dari enam batang gelondongan kayu besar. Hanya ada celah-celah kecil berjarak 15 cm di antara jeruji kayu yang memungkinkanku mengintip keadaan gua di luar sana. Agak sulit melihat semua sudut gua dari satu sela saja. Bagaimana mereka bertahan hidup di tempat ini? Aku mencoba berdiri dan kepalaku membentur langit-langit tanah ruangan sempit ini. Ini lebih parah dari kandang. Tempat ini hanya bisa untuk duduk dan tiduran. Tidak bisa berdiri, maksimal hanya berlutut.
“Apa… ada… yang… lain?” tanyaku memandang keempatnya satu per satu. Sumpah gak enak kali ngomong pelan-pelan kek gini. Tapi terpaksa pulak aku jadinya. Keempat perempuan ini kalo dalam keadaan normal pastilah sangat cantik. Rata-rata berhidung mancung dan bertubuh cukup bongsor. Pakaian kesempitan mereka tak mampu menyembunyikan lekuk tubuh indah di balik busana lapuk itu. Apalagi bagian dada yang busung membesar tanda sudah melewati masa pubertas. Kemungkinan mereka diculik saat kelas 4-5 SD dulu. Umur mereka setidaknya sekarang 17-18 tahunan gitu. Bagaimana mereka memenuhi kebutuhan dasar mereka seperti makan dan minum? Apakah Wewe Gombel itu memberi makan mereka secara teratur. Banyak sekali yang ingin kutanyakan tetapi ada keterbatasan kosa kata.
“Hanya kamoe peuet hinoe… disini…” jawab si Barbie lagi menunjuk empat jarinya. Peuet itu empat. OK.
“Makan? Minum?” tanyaku lagi tentang hal yang membuatku penasaran. Sudah bertahun-tahun mereka disekap.
“Pajoh… Makan…” ia menunjuk di belakang temannya yang berpakaian pita-pita meriah. Ada sebuah besar nangka yang tercabik-cabik. Mereka memakan buah itu untuk mengganjal perut. Ada bekas beberapa kulit buah lainnya yang teronggok hampir busuk. “Jeb… Minum…” tunjuknya pada beberapa buah batok kelapa yang digunakan untuk menampung air yang menetes-netes dari atap. Gituuu… Walo tak layak, tapi mereka berhasil bertahan hidup selama ini dengan cara yang cukup menyedihkan. Hanya bergantung pada rasa kasihan si Wewe Gombel itu. Nah… Kalo yang ini?
“Pipis?” tanyaku lagi agak jorok dengan membuat gerakan air kencing yang jatuh ke tanah. “E’ek?” ini tidak tega kuperagakan tapi pastinya bahasa ini cukup universal di Nusantara ini karena aku curiganya ini adalah hutan yang sama dimana Basri pernah tersesat selama setahun itu. Entah bagaimana ia bisa lepas dari tempat semacam ini, mengembara sampai akhirnya ditemukan polisi hutan. Hutan belantara gunung Leuser.
Perempuan muda berpakaian sempit pita-pita meriah itu menunjuk tumpukan kayu yang ada di sudut ruangan. Beringsut-ingsut ia menuju ke sana dan menepikan beberapa kayu itu hingga memunculkan sebuah lubang di dasarnya. Cukup lebar dan dalam lubangnya dan terasa aroma pesing dan aroma tak mengenakkan lainnya. Disini mereka buang hajat. “Ada krueng hideh… Sungai…” tambahnya menunjuk lubang itu. Ada sungai di bawah lubang itu. Tapi aku percaya-percaya aja daripada harus membaui bekas buangan air kecil dan besar mereka demi melihat adanya sungai di bawah sana. Kemungkinan besar itu adalah sungai bawah tanah yang lazim ada di tempat subur seperti ini.
Aku lalu mencari-cari jalan aku masuk tadi. Sepertinya dari bagian atas yang entah gimana bisa dibuka ato dari sela jeruji kayu ini. “Aku tadi… masuk… lewat… mana?” ejaku lagi akan pertanyaanku dengan tambahan isyarat tangan juga. Mungkin aku bisa merusak jalan masuk itu untuk keluar dari sini. Aku menjaga pikiranku agar tidak panik. Ada beberapa cara agar aku bisa keluar dari tempat ini. Cara yang paling mudah adalah memanggil Iyon kemari dan keluar dari tempat jahanam ini dengan Bayang Bunga Bujur-nya. Tapi itu terlalu mudah tapi terlalu merepotkan Iyon juga. Aku sudah terlalu sering merepotkannya. Aku masih sanggup mengatasi ini.
Tiba-tiba keempat perempuan muda itu beringsut mundur ke arah dinding ruangan tanah ini dengan muka takut. Aku terlambat antisipasi karena aku yang membelakangi bagian jeruji kayu gelondongan ini sudah tertangkap. Pergelangan kedua tanganku ditarik sedemikian rupa ke arah belakang hingga sendiku bahuku lumayan nyeri. “AAAHHH!! SIAPA ITU??!! ANJ**NG!!” makiku karena kesakitan yang teramat sangat.
“Aaahhh… Nenek Te-tek!” jerit keempat perempuan muda itu saling berpelukan ketakutan pada apa yang sedang membekuk tanganku ini. Aku berusaha melepaskan tanganku tapi betotannya sangat kuat. Nenek Tetek? Tangannya terasa sangat besar dan kuat mencengkram pergelangan tanganku, menyatukannya lalu mengikat bersilang pada jeruji kayu. Tangan terikat kuat di belakang sangat tidak menguntungkan bagiku saat ini. Aku meronta-ronta ingin lepas.
“Ingat nan lon… Nenek Te-tek…” bisik Wewe Gombel itu dari belakang. Tanganku diikat oleh tali ato semacam akar-akar rotan yang sangat liat dan kuat. Sampe sakit mungkin lecet kucoba meronta melepaskannya dari membelengu tanganku. “Tak bisa lepas walo darah puteh-kah abes…” ejeknya di belakangku. Kimak memang setan bernama Te-tek ini. Abis Mutee, Tabek, sekarang muncul Te-tek. Kimak memang hantu-hantu ini!
“Burong Tujoh, KIMAK!! LEPASKAN TANGANKU!!” jeritku berusaha meronta melepaskan tanganku yang terbelenggu. Aku tak perduli apapun. Aku hanya mau tanganku segera lepas. Hanya kaki, sedikit badan dan kepalaku yang bisa bergerak sementara tanganku tak bergeming terikat erat.
“Hi hihihihihi… Aneuk inong… Awak droen buka semua baju uerueng agam nyoe… Leugat!!” sergahnya pada empat perempuan muda yang ketakutan setengah mati. “LEUGAT!!” teriak hantu Wewe Gombel bernama Nenek Te-tek ini. Keempatnya sangat ketakutan terlihat dari paras mereka yang menyedihkan. Tentu saja sudah bertahun-tahun mereka disekap oleh hantu durjana ini di tengah hutan dengan logistik minimal. Perintah Nenek Te-tek bagi mereka bak perintah Dewa bagi mereka, yang harus segera dilaksanakan. Tergopoh-gopoh keempatnya mendekat padaku. Dua orang memegangi kakiku. Luar biasanya tenaga mereka cukup kuat untuk menahan kakiku yang kalap menendang-nendang.
“Eeeh… Eh… Klen mau ngapain? Eh? Jangan! Jangan buka!” satu orang berusaha melepaskan celana yang kupakai, satu lainnya berusaha melepas baju kaos yang kupakai. Hanya bisa lewat leher saja karena tanganku terikat di belakang. Celanaku tak kunjung lepas dan kini dua orang menahan kakiku dengan mendudukinya. Kancingnya sudah lepas dan ditarik-tarik paksa sampe melorot. Mata keempat perempuan muda ini berkilat-kilat penuh semangat saat melakukan ini semua. Padahal tadinya tak kulihat semangat ini saat berbincang sebelumnya.
Pukimak si Nenek Te-tek ini memang. Apa dia mau menyuruh keempat perempuan muda ini memperkosaku? Apakah mereka ngerti dengan perbendaharaan kegiatan mesum itu? Selama ini mereka selalu disekap disini. Apakah ini bukan yang pertama kalinya? Bukan pertama kalinya Nenek Te-tek memasukkan laki-laki ke kurungan ini?
Cukup kasar dan brutal mereka memaksa melepaskan celanaku dan apalah dayaku. Cieleh… Apa dayaku? Di tangan empat perempuan muda yang sangat kasar juga bertenaga, mungkin karena takut juga terpaksa, celanaku bye-bye dari kakiku. Sekali betot, sempakku juga udah melorot. Dan kimaknya lagi, melihat isi bagian dada keempat perempuan muda yang bergoyang-goyang terbungkus pakaian sempit lapuk, nyeplak juga pentil-pentil menegang di bahan pakaian yang sebenarnya tak layak pakai lagi, lebih mirip rombeng, Aseng junior ngaceng.
“Seminggu sekali mereka kumandikan di krueng terdekat… Mereka tidak sebau itu…” bisik lirih si hantu Wewe Gombel itu tau perlawananku dan kondisi ngacengku. Tangannya menelusup masuk dari celah jeruji kayu, menjangkau jauh dan memegang ngacengnya si Aseng junior.
“Singkirkan tangan kotormu dari kontolku!!” makiku mulai panik. Masak mau digrepe-grepe hantu ini? Enggak kali-la! Mampos aja kau! Pinggulku kumiring-miringkan menjauh dari jangkauan Nenek Te-tek tetapi keempat perempuan muda itu berkomplot menahan tubuhku agar tak bisa menghindar. Tapak tangan kotor dan besar Wewe Gombel itu berhasil menangkap batang menegang Aseng junior. “Lepaskan! LEPASKAN!!” aku mulai panik ceritanya. Badanku menggeliat-geliat berusaha menjauh tapi tak bisa karena keempat perempuan muda itu menghimpit tubuhku dengan bobot tubuh bongsor mereka. “KIMAAAKK!! JANGAN KOCOK KONTOLKU!! WEWE GOMBEL PUKIMAKKK!! AWASS!!” aku terus meronta-ronta tak sudi disentuh hantu kurang ajar ini. Bahkan aku nekat hendak menggigit tangannya kalo kepalaku tak ditahan, dipiting salah satu perempuan muda ini.
“Tak sudi perempuan tua keriput seperti aku yang menyentuhmu? Bagaimana kalo mereka saja? Hi hihihihi…” tangannya melepas Aseng junior dan menunjuk pada satu perempuan yang berpakaian motif boneka beruang yang menduduki paha kananku. Dia menunduk dan membiarkan tangan hantu itu merengut pakaian lusuh sempit itu dari tubuhnya, lepas dari tubuhnya. Malu-malu dia menutupi gundukan besar payudaranya yang menggantung indah dengan tangannya. “Meumat… Prah jih…” katanya lirih.
Tanpa menunggu perintah lain, perempuan muda yang tak kutau namanya ini menggenggam Aseng junior-ku yang menegang keras. Dengan demikian tangannya yang sebelah lagi tak mampu menutupi payudaranya yang menggunung. Ia mulai mengocok Aseng junior melanjutkan pekerjaan Nenek Te-tek yang terhenti tadi. Tangannya cukup kasar tetapi tak memungkiri rasa nikmat yang kudapat dari gerakan mengocoknya. Tangan Wewe Gombel itu bergerak-gerak memberi instruksi dengan kibasan dan tunjukan jari saja. Ketiga perempuan temannya yang lain patuh melepas pakaian mereka juga. Mereka juga diperintah untuk tidak menutupi payudara mereka.
“Whooaa…” makin keras Aseng junior-ku jadinya mendapat pemandangan Harem aneh kek gini. Berdenyut-denyut keras ia karena empat perempuan muda ini bertubuh ciamik semua. Tubuh montok bongsor tanpa busana sehelaipun terpampang bebas di hadapanku walo tanpa pencahayaan yang memadai. Dikurung lama di dalam gua selama bertahun-tahun ternyata tak menyurutkan aura seksi dan cantik mereka sama sekali. Apalagi Nenek Te-tek tadi bilang ia rutin memandikan mereka seminggu sekali di krueng. Apa itu krueng? Sejenis sungai ato car wash? Kulit mereka lumayan kinclong juga ternyata di balik pakaian itu. Diet buah-buahan hutan menyebabkan mereka sesehat ini?
Dikurung dalam keadaan telanjang bareng empat perempuan telanjang lainnya begini harusnya jadi surga dunia bagi buaya darat sepertiku. Tapi ini kasusnya gawat karena ini semua paksaan hantu Wewe Gombel bernama Nenek Te-tek, anggota Burong Tujoh. Sejenis Shicibukai, tujuh hantu dari tanah rencong. Keempat perempuan muda cantik berambut panjang lebat yang telanjang bulat di hadapanku begini membuatku dalam dilema membingungkan. Apa yang harusnya kulakukan? Melarikan diri? Menikmati? Melawan? Apa?
Saat kalut, satu perempuan muda yang tadi memakai pakaian gambar Barbie itu mengulum mulutku setelah mendapat perintah. “Mooaahh…” ia juga mulai terbakar nafsu birahi. Aku bisa merasakan nafsu di gerakan mulut dan lidahnya. Ini pasti bukan yang pertama bagi mereka. Dari mana mereka tau soal yang begini-begini ini? Mereka dikurung bertahun-tahun lamanya jauh di dalam hutan, di bawah tanah. “Slluurrpp… Slkk… Aahh…” liar permainan mulut si Barbie memagut mulutku. Aku tak sempat komplain akan aroma mulutnya karena Aseng junior mulai kerasa enak.
Dari ekor mataku, aku bisa melihat kalo tiga perempuan lainnya sedang berebutan, berganti-gantian mengulum Aseng junior. Alamaaak! Bencana enak apa yang sedang menimpaku ini? Di dalam hutan, di perangkap hantu aja harus mendapat cobaan seperti ini. Merinding-rinding sekujur tubuhku merasakan nikmat yang tak terperi dari empat buah lidah yang melata di mulut dan kelaminku tanpa bisa kucegah. Seperti tiga ekor lintah gemuk, tiga lidah perempuan muda itu berseliweran di kepala, batang, dan peler Aseng junior. Rasanya udah kek di awang-awang jadinya. Kakiku hanya bisa mengangkang pasrah membiarkan mereka melecehkan Aseng junior.
Yang dilecehkan tentu aja bahagia bukan buatan mendapat perlakuan nikmat kek gini. Ia menegang dengan gembiranya. Sekujur penisku sudah basah kuyup oleh cairan ludah ketiga perempuan muda itu. Si Barbie tak puas-puas memagut mulutku. Lidahnya menyeruak masuk membelit-belit lidahku mengajaknya bergelut. Ludahnya menetes-netes tak terkendali.
“Enak bukaaan? Hi hihihihi… Tidak usah dilawan… Dinikmati saja… Mereka cukup terawat dan terpilih dari semua koleksi milikku… Mereka sengaja kusimpan selama ini tak tersentuh pengorbanan… hanya untuk menjerat lawan berat sepertimu yang senangnya dengan yang bening-bening… Kualitasnya tidak kalah dengan semua koleksi milikmu, kan? Boleh diadu… Hi hihihihihi…” bisik si Nenek Te-tek lagi. Aku tak mampu konsentrasi mencerna kata-katanya barusan karena si Barbie mulai menjejalkan payudara ranumnya ke mukaku. Mendusel-duselkannya hingga lumer meleleh. Hanya dicaplok yang kubisa…
“Jyaaahh… ” erang si Barbie mendapat serangan pembuka dariku. Lidahku liar bermain-main dengan puting imut di pucuk payudara gempal montok kenyal yang didesakkan ke mukaku. Barbie berlutut tegak memeluk kepalaku erat. Ia juga memaksakan tubuhnya ke tubuhku hingga aku bisa merasakan rambut rimbun yang ada di permukaan pubis kemaluannya. Tentunya mereka tak akan punya kesempatan untuk memangkas jembut hingga tumbuh lebat seperti ini. Barbie meremas-remas rambutku sambil mengerang-ngerang seksi.
“Meu’en-kan jih!” sergah tiba-tiba suara si Nenek Te-tek. Kimak-nya setan-setan ini pake bahasa ini trus. Bingung aku, woy!
“Aaauuhh…:” keluhku karena sesuatu liang basah nan sempit menjepit Aseng junior. Si Barbie menyingkir dari hadapanku, melepaskan payudara kenyalnya yang tadi jadi mainanku. Ternyata si pita meriah yang menjejalkan Aseng junior-ku ke dalam kemaluannya. Ia juga mengerang keenakan, menengadah. Aseng junior masuk amblas sampe dasar. Ujung kepala Aseng junior-ku membentur mulut rahimnya. Liang kawinnya yang bergerak-gerak ritmis memijat batang kemaluanku. Pergi Barbie, si pita meriah gantian memagut mulutku. Ia mengedut-ngedutkan otot kegelnya terus menerus dengan gerakan minimal, hanya goyang-goyang sedikit aja untuk membiasakan batang kemaluanku bercokol membentuk cetakan di liang kawinnya.
“Agam rayeeek… Bulut i lam? Aahh…” ia mulai menggerakkan pinggulnya naik turun dengan cukup bertenaga. Jepitan liang kawinnya sangat menggigit erat saat terjadi kocokan memompa. Terasa mulut kemaluannya monyong terikut pada batang penisku lalu melesak masuk lagi. Ketiga perempuan muda lainnya menyebar di sekitar kami. Apakah mereka menunggu giliran? Mampos aja aku harus meladeni mereka semua… “Aahh…” erang si pita meriah.
Makjang… Yahud kali goyangan si pita meriah ini. Dia soor sendiri bergoyang-goyang tak memikirkan apa yang sedang menimpaku saat ini. Aku menahan-nahan diriku agar jangan ejakulasi dulu. Takutnya nanti energi hidupku yang tadi udah dikuras Mutee, kini mendapat serangan yang tujuannya sama, menghisap energi hidupku. Pita meriah bergoyang sesuka hatinya untuk mendapatkan kenikmatannya sendiri. Memacu dirinya fokus menggesekkan bagian klitoris kemaluannya yang tergencet dengan cara lebih condong ke depan. Ia bahkan meremas-remas sendiri payudara montoknya, memilin-milin puting mungilnya.
“Ah ah ah ah…” desahnya berulang-ulang menikmati rangsangan hebat yang menggelitik tubuhnya hendak mencapai clitoral orgasm. “Ah ah ah ah…” goyangan maju mundur menekannya makin cepat dan bertenaga. Malah liar.
“Ah ah ah ahhss… Ahhh…” berkejat-kejat tubuhnya disiram deras nikmat orgasme. Berkedut-kedut keras liang kawinnya menggencet batang Aseng junior-ku. Remasan gemas dilakukannya pada payudaranya lebih keras. Mukanya yang ayu sangat seksi sekali sehabis orgasme. Si pita meriah melepas batang kemaluanku masih dalam keadaan membungkuk karena ketinggian ruang kurungan ini. Aseng junior mengacung keras mengangguk-angguk menantang lawan berikut.
Ketiga perempuan muda lainnya sama-sama sedang merangsang kemaluan berjembut lebat masing-masing. Seulas jari mengutik-ngutik nakal kacang itil masing-masing. Siapa yang maju giliran, nih? Apa nunggu perintah si Nenek Te-tek? Siapa aja pun boleh-la. Si Aseng junior udah meradang pengen mangsa lagi. Benar saja tangan Wewe Gombel itu muncul lagi dari samping leherku dan menunjuk si perempuan muda yang tadi dengan pakaian bergambar boneka beruang Teddy Bear.
Beringsut-ingsut ia maju mendekati pangkuanku. Ia menatapku tajam saat tambah rapat tubuh kami. Yang pertama kali dilakukannya adalah mengecup-ngecup bibirku tapi tidak sampe memagut. Hanya dipatuk-patuk sekilas. Lalu ia menjejalkan payudaranya ke mulutku. Mulutku langsung mendapatkan pentil tenggelamnya. Pentilnya terbenam di dalam aerolanya hingga terlihat imut sekali bentuknya. Selagi aku memainkan payudaranya dengan mulutku, Teddy Bear (TB) mengocok perlahan Aseng junior. Mungkin untuk menjaga rangsangan, ia tetap tegak keras.
Gesek-gesek ujung kepala Aseng junior yang dilakukannya dengan gerakan mengoles. Kepala Aseng junior kerasa menyentuh belahan lembab yang menggiurkan selagi aku tetap memainkan puting ndelep—reverse nipple-nya. Mulutnya mangap-mangap kek ikan kehabisan air merasakan geli-geli menyengat di kemaluannya. Ia makin gencar merangsang dirinya menggunakan Aseng junior-ku. Sesekali ia mencelupkan-celupkan kepala Aseng junior memasuki mulut kemaluannya. Memantapkan dirinya untuk ditembusi benda keras tegak menjulang milikku.
TB akhirnya mulai menurunkan tubuhnya dan mencoba memasukkan Aseng junior-ku pelan-pelan. Ia takut-takut memandang pada sosok di balik jeruji ini tetapi lebih berani menatapku. Pasti si Nenek Te-tek itu mengancamnya di belakang sana untuk segera mengurasku. Ragu-ragu ia membenamkan Aseng junior memasuki liang kawinnya yang super sempit. Mulut TB menganga dan matanya menyipit merasakan perih besar kemaluanku membelah dirinya. Walo basah tapi ini sangat sempit.
“A-aahh…” erangnya memejam kuat. Tubuhnya mengejan menekan.
“Enak, kan? Yang ini baru sekali dipakai… Membuatmu ingin cepat-cepat keluar… Benar, kan?” bisik Nenek Te-tek itu di belakangku. Baru sekali dipakai? Ada apa ini? Siapa yang memake perempuan-perempuan muda ini? Apa para hantu ini membuka rumah bordil dan dia sebagai muncikarinya? Si pita meriah tadi juga lumayan sempit tapi cukup memadai-la. Apa itu artinya pita meriah sudah melakukan ini beberapa kali?
Kremut-kremuuut… Liang kawin TB memeras-meras Aseng junior kuat sekali. Nafasnya yang ngos-ngosan berpacu dengan degup jantungnya yang bertalu-talu. Detak jantungnya yang kuat memompakan darah ke seluruh tubuhnya terutama daerah genitalnya, menyebabkan remasan-remasan kuat yang memeras Aseng junior. Akibatnya aku kelimpungan dengan sensasi hebat ini. Menyetubuhi perawan tak sehebat ini sensasinya karena kita para pria akan pelan dan lembut memperlakukannya. Tapi TB langsung melesakkan batang kemaluanku sampai kandas.
“Aaahh… Panyang… Teubai…” erangnya lirih entah ngomong apa. Tapi ia tak bergerak sama sekali. Remasan liang kawinnya seirama detak jantungnya yang tetap mencengkram erat. “Sakeet…” keluhnya.
“POH JIH!” bentak si Nenek Te-tek karena ia merasa tahanannya itu membangkang pada perintahnya. TB membuka matanya kaget dan sontak mulai menggerakkan tubuhnya naik turun mengabaikan rasa sakit yang menyerang sekujur tubuhnya. Rasanya pasti sangat perih karena aku bisa merasakan keengganannya. Aseng junior dijepit erat walo cukup basah tapi tak banyak. Ini persetubuhan yang kering.
Tak terbayangkan bagaimana penderitaan keempat perempuan ini. Sudah ketakutan bertahun-tahun disekap hantu selama ini. Harus mematuhi semua perintah Wewe Gombel itu sampe juga harus dilecehkan secara seksual oleh entah siapa. TB bergerak-gerak kaku tapi dengan demikian Aseng junior mulai terkocok sempurna di dalam liang kawinnya yang semakin licin. Rasa sempit menggigit liangnya adalah bonus utama senggama ini. Ia memejamkan matanya lagi dan menggigit bibir bawahnya. Semoga ia mulai merasakan nikmatnya persetubuhan terpaksa ini.
Diberanikannya dirinya untuk mendekatkan dadanya pada mulutku. Aku suka rela mencaplok dan merangsangnya sebaik mungkin. Agar kami sama-sama bisa melalui ini semua dengan baik. Lidahku bermain-main di puting terbenamnya itu. Kusedot-sedot agar aku mendapat bonus mencuatnya putingnya kala sangat terangsang. TB meletakkan kedua tangannya bertumpu di bahuku. Kemajuan lagi. Ia bergerak-gerak menopang di tubuhku.
“Aaahhh…” erang TB merasakan sentuhan intens senggama kami ini. Gesekan maksimal yang kami rasakan dari pertemuan kelamin ini sangat melenakan. TB mengerang berulang ulang apalagi payudaranya menjadi bulan-bulananku. Permukaan payudaranya, kiri dan kanan sudah becek oleh liurku. Gerakan TB makin luwes naik turun menunggangi selangkanganku. Aseng junior terbenam bahagia di dalam liang kawin super sempit yang mulai basah ini. “Ahh ahh ahh ahh…” Erangnya membahana di ruangan sempit ini. Payudara kenyalnya tetap dijejalkannya ke mukaku untuk kumainkan. Tangannya erat mencengkram bahu dan kadang rambutku.
Lalu diciuminya mulutku dan ia hanya menggeol-geolkan bokongnya mengulek Aseng junior berputar. Begini aja udah enak dan TB tau itu karena desahannya sangat terburu-buru seakan mengejar sesuatu. Tentunya mengejar kenikmatannya yang mungkin sudah di depan mata. Dikepitnya bibir bawahku dengan bibirnya saat ia mengerang panjang, menarik bibirku. “Aarrhhhh… Ah… Ah ahh ahhh…” bibirku lepas ia memeluk leherku dan membenamkan mukanya di samping kepalaku dengan hembusan nafas panas. Tubuhnya berkejat-kejat. Terutama isi liang kemaluannya yang terasa mengaduk-aduk batang Aseng junior.
“Nan lon… Riska… Cut Riska…” bisiknya lirih sekali. Ia memperkenalkan diri ternyata. Perempuan muda yang kujuluki TB ini ternyata bernama Cut Riska. “Aahh…” ia melepaskan persatuan kelamin kami. Terasa masih sangat sempit dan Aseng junior enggan berpisah darinya. Berdenyut-denyut Aseng junior saat Riska menjauh dariku. Lebat jembut di selangkangannya yang basah berkelebat sebentar di depan mataku. Aroma tubuhnya yang tajam masih menempel di hidung dan mulutku. Setidaknya aku sudah tau namanya. Ia berbisik pelan, mungkin takut ketahuan hantu itu.
“Tahan, eh? Sangat mengesankan… Tapi ini karena mereka semuanya masih hijau… Yang terbaik dari jenisnya… Tidak apa… Gata!” si Nenek Te-tek lalu menunjuk si Barbie. Perempuan muda itu agak kaget karena ia berada di belakang si pita meriah, bermaksud jadi yang terakhir saja setelah si motif bunga-bunga.
“Temanmu… si Mutee itu tadi baru aja mengurasku… sebelum dia dan Tabek mati… Jadi stok maniku sangat terbatas sekarang ini… Harap maklum kalo awak jadi lama, ya?” kataku belagak santuy di hadapan si Wewe Gombel biadab ini. Ia bermaksud menguras energi hidupku seperti yang sudah dilakukan kuntilanak merah, Mutee itu.
“Hi hihihihihi… Bukan begitu cara mainnya… Kami tidak sama… Caraku berbeda dengan setan sundal itu… Yang sukanya mengumpulkan jantan-jantan untuk memuaskan dahaganya… Aku hanya mau membunuhmu… Begitu manimu keluar… disitulah kematianmu-hi hihihihihi… Jadi mereka berempat ini kuperintahkan hanya untuk mengeluarkan manimu… untuk membunuhmu… Hi hihihihihi…” kekeh si Nenek Te-tek itu mengejutkan. Kaget aku tentunya mendengarkan pemaparannya barusan. Si Barbie sudah mengepaskan Aseng junior-ku untuk memasuki kemaluannya. Ia bolak-balik menunduk dan menatapku untuk memantapkan hatinya. Batang Aseng junior dipegangnya erat-erat dan diarahkannya ke belahan kemaluannya. Digigitinya bibir bawahnya dengan gugup. Mampoos aku! Begitu aku ngecrot di dara Aceh cantik ketiga ini, aku mati!
“Lon masih perawaan…” isaknya tak sanggup meneruskan.
Ba-ba-ba-ba-bah! Malah makin parah, bah! Masih perawan pulak inong cantik satu ini. Makin sempit-la jadinya tu barang. Makin kejepit, makin enak—makin bahagia si Aseng junior untuk ngecrot, makin cepat aku mati.
Aku tiba-tiba refleks menoleh ke arah perempuan muda keempat, yang tadi memakai baju lapuk motif bunga-bunga. Menurut si Nenek Te-tek, mereka berempat adalah stok terbaiknya. Si pita meriah tadi, sempit liang kawinnya bukan buatan. Si TB bernama asli Cut Riska malah lebih dahsyat lagi sempit liang kawinnya yang baru sekali dipake, yang berarti baru belah duren dengan entah siapa. Nah… Si Barbie ini malah masih perawan dan artinya si bunga cantik itu juga masih.
Wewe Gombel itu mengurutkan stok terbaiknya untuk membunuhku. Dia paham kalo aku bukan pemain baru dalam hubungan seks—mungkin dianggapnya pro. Menggunakan stok tawanan perempuan mudanya yang cantik-cantik begini, ia percaya diri bisa membunuhku dengan tekniknya yang aneh ini. Membunuhku kalo aku ngecrot! S&K-nya sangat unik tapi sangat pukimak kali. Sekalinya enak ngecrot abis ngentot, abis itu mati. Kan kimak kali namanya itu.
Aseng junior tiba-tiba membentur satu permukaan lembab yang sangat familiar. Ini daging kemaluan perempuan yang masih sangat segar. Si Barbie cantik ini menggigit bibirnya kala berusaha memasukkan kemaluanku ke miliknya sendiri. “Pelan-pelan… Pelan-pelan saja… Kalo bisa digesek-gesek aja dulu… Jangan pedulikan setan tua keriput itu… Pelan-pelan aja…” instruksiku coba membantunya. Pastinya ini tidak mudah baginya dan bagi siapa saja di ruang kurungan sempit ini. Ia memejamkan matanya erat-erat hanya mengarahkan Aseng junior-ku ke belahan kemaluannya yang berdenyut-denyut berkat debur jantungnya.
“Ahhh…” mulutnya menganga kala kepal Aseng junior mendesak masuk ke pintu liang kawinnya yang sempit terpaksa diseruduk.
“Pelan-pelan dorong… Siapa namamu… Inong cantik… siapa namamu?” tanyaku. Aku baru tau nama si Cut Riska saja.
“Masita… Cut Masita…” jawabnya takut-takut masih menunduk dalam. Ia sedikit melirikku.
“Namamu siapa? Yaa… kamu…” aku mengarahkan pandanganku pada si pita meriah yang duduk lemas setelah ronde pertama tadi. Cut Riska ada di sampingnya.
“Cut Cahya…” jawabnya pendek lalu menunduk sesekali melirik ke belakangku. Tentu saja ke arah si Wewe Gombel yang selalu ada di luar sana. Aku lalu beralih pada yang terakhir.
“Lon Cut Riska…” si TB itu ikut-ikutan memperkenalkan dirinya lagi. Aku hanya bisa tersenyum kecut aja padanya. Aku bermaksud bertanya pada yang terakhir yang memandangi teman-temannya bergantian.
“Kamu… siapa namamu?” tanyaku padanya.
“Nan lon Cut Intan…” jawabnya paham akan maksud pertanyaanku.
“Nama panggilanku Aseng… Aku dari kota… Jauh dari hutan ini… Aku sudah membasmi dua teman si Nenek Te-tek ini… Kalian jangan takut… Tenang saja…” kataku coba menenangkan mereka berempat dan sekaligus menenangkan diriku sendiri agar tidak panik akan situasi ini.
“Hi hihihihihihihi… Sesumbar gata, Ribak Sude!! Bagaimana kau bisa selamat dari ikatan erat tali ini? Sampai matipun tengkorakmu akan tertinggal di sini… Hi hihihihihihi…” suara si Nenek Te-tek itu terus saja menggangguku. Cut Masita benar-benar berhenti akibat sela yang kulakukan tadi. “DUEK JIH!!” tiba-tiba berteriak memerintah lagi. Cut Masita melonjak kaget karena Nenek Te-tek menekan bahunya kebawah…
“Aaaiiieeehhh… Haahh… haaa… Huuu huuu huuu… Sakeeet…” erangnya memilukan.
Alamak! Aseng junior-ku menembus kemaluannya dengan sekali hentakan tiba-tiba. Aku juga merasakan perih dan ngilu di sekitar penisku karena menerobos liang sempit yang agak kering ini. Terasa panas dan sangat menggigit. Berkedut-kedut hebat karena isakan tangis dan deburan jantungnya yang bertalu-talu. Aku membelah duren-nya. Kurusak perawannya.
“Hhuuu huuu huu… Sakeeet… Huu hhuuu…” isaknya karena perih yang melanda kemaluannya menyebar keseluruh tubuhnya. Ia meremas-remas bahuku kuat tak sadar untuk meredakan rasa perih yang dirasakannya.
“Usshh… usshh… Sakit, ya… Aduhh… SETAN PUKIMAAAKK!! MATI AJA KAAAU!!” seruku memaki hantu Wewe Gombel yang tertawa-tawa di belakangku. Ia melepas tangannya dari bahu Cut Masita. Inong Aceh ini masih tersedu-sedu tak berani bergerak dari posisi kemaluannya tertancap Aseng junior-ku. Setengah batang kemaluanku sudah sukses masuk memecah selaput sucinya dan setengahnya lagi melengkung di luar. Cut Masita menahan posisinya dengan lutut menumpu tubuhnya. Sesekali tubuhnya bergetar-getar karena tak kuasa menahan kedutan yang terjadi pada otot perutnya sendiri yang malah meremas-remas Aseng junior.
“Hi hihihihihihi…” tertawa-tawa setan pukimak itu membahana di tempat ini sampe merasuk ke dalam ruangan kurungan sempit kami ini. Ketiga perempuan muda lainnya itu meringkuk ketakutan saling peluk. Kimaknya lagi, bagi Aseng junior itu adalah pemandangan yang erotis. Empat perempuan muda yang mulus-mulus polos ada di depan mataku. Tiga sudah mencicipi jantannya Aseng junior dan dua diantaranya adalah perawan. “Deungo, nong… Neudue’i jih… Hi hihihihihihi…” perintahnya lagi.
Aseng junior terasa hangat. Ada sesuatu yang mengalir menetes dan itu kutebak adalah lelehan darah perawannya yang sudah kurobek. Meringis-ringis menahan sakit dan mulut menganga tak berani bersuara kesakitan. Cut Masita menggerak-gerakkan tubuhnya dengan kaku. Gerakannya ini mengacu pada apa yang pernah dilihatnya, yang telah dicontohkan Cut Cahya dan Cut Riska sebelumnya. Ia ditekan sedemikian rupa untuk melakukan hal semacam ini oleh si bangsat Nenek Te-tek itu.
Dalam situasi ini, entah siapa yang memperkosa dan siapa yang diperkosa? Bisa dikatakan kalo kami berdua diperkosa oleh keadaan yang memaksa kami. Dan pelaku utamanya adalah hantu Wewe Gombel ini. Korban utamanya tentu saja keempat perempuan muda malang ini yang mengalami berbagai siksaan fisik dan mental bertahun-tahun lama, disekap jauh di dalam hutan entah untuk tujuan apa tepatnya. Apakah Nenek Te-tek bekerja sendiri menyekap anak-anak ini? Pastinya sekapan semacam ini ada di tempat-tempat lain.
Aku sebagai korban penggembira saja sebenarnya. Kenapa gembira? Gimana gak gembira cobak? Aseng junior-ku ngaceng sengaceng-ngacengnya di dalam liang sempit yang mulai basah ini. Apa gak gembira itu namanya? Awas-awas aja kalo kao sampe ngecrot, Seng. Mati aku, kau pun mati jugak. Ingat itu!
Gerakan minimal tipis-tipis Cut Masita naik turun sukses memberi rangsangan pada tubuhnya sendiri hingga mulai mensekresikan cairan pelumas untuk melancarkan hubungan badan ini yang kurasakan mulai nikmat ini. Aseng junior bertambah dalam merangsek masuk menembusi liang kawinnya yang super sempit. Cut Masita sepenuhnya yang mengatur tempo seks ini. Mukanya masih meringis-ringis kesakitan tetapi mulai ada desahan dari mulutnya terkadang. Pertanda ia mulai terbit rasa nikmat di kelaminnya yang disodoki besar kontolku.
Gawat juga kalo aku cepat-cepat ngecrot kalo menikmati liang super duper sempit ini. Aku tidak boleh larut dalam kenikmatan yang luar biasa enak ini. Kenikmatan yang berbahaya. Payudara Cut Masita berguncang-guncang indah karena gerakannya. Salah! Jangan ngeliat ke situ! Aku harus mengalihkan perhatian. “Ah ah ah ah ah…” kimbek-la. Suara desahan Cut Masita seksi kali kala gerakan memompanya mulai menghentak bertenaga. “Nemat, pak Aseng… Ah ah ah ah…”
Sialan. Cut Masita malah menikmati seks pertamanya ini. Nekat ia malah menjejalkan payudaranya lagi pada mulutku seperti yang pernah dilakukannya sebelumnya. Ia semakin menikmati ini semua dan lidahku tak bisa berhenti memainkan puting imutnya yang menggodaku dengan kenyal kerasnya mengacung. “Ah ah ah ah ahhh…” semoga dengan ini ia bisa orgasme dan berhenti. “Ah ahh ahh ahh ahh…”
Desah dan erangan Cut Masita makin tambah seru karena aku menyambut hentakan tubuhnya dengan hentakan menyodok juga. Sehingga tubuh kami saling bentur. Ada suara tepukan perutku yang beradu dengan selangkangannya. Aseng junior terbenam dalam di sempit liang kawin inong Aceh yang sudah kuperawani ini. Liang kawinnya sudah sedemikian becek sebagaimana payudaranya yang juga basah oleh liurku. Aku menekuk menghentak ke atas tiap himpitan selangkangan Cut Masita dan gerakannya mulai tak teratur. Ia mulai tak sabaran karena mengejar sesuatu kenikmatan abstrak yang tiba-tiba mulai menitik di relung kelaminnya. Minta digaruk dan dipuaskan. Kenikmatan yang belum pernah ia tau dan ada di depan mata.
“Keu ie… Ie… Keu ie.. Aghh… Akh… akh…” sialan! Aku dipipisin anak ini setelah terlebih dahulu mencabut Aseng junior dari kemaluannya. Serr… serrr… seerrr… Malah squirt mengejutkan si Cut Masita ini. Kencing nikmatnya menyembur ke perutku. Ia seperti tak perduli. Ia berkejat-kejat sebentar setelah mendapat puncak orgasmenya dan berusaha memasukkan Aseng junior-ku lagi. “A-aah… ahh…” mulutnya menganga dengan muka memerah sange merasakan gesekan kepala Aseng junior yang berusaha memasuki liang kawin sempitnya.
“Cukop, nong! Gantoe! Gata!” henti si Nenek Te-tek mencegah Cut Masita memasukkan lagi kelaminku ke miliknya. Sebenarnya ia masih mau tapi ia segera ingat posisi dan kondisinya. Ia malah menikmati tragedi ini. Cut Masita mundur teratur dengan menutupi kemaluannya yang berjembut basah lembab. Jarinya ternyata mengelus. “Gata!!” Nenek Te-tek menunjuk inong terakhir, Cut Intan.
Ada noda darah di batang basah mengkilap Aseng junior dan itu juga yang dilihat Cut Intan, terakhir dari empat perempuan muda yang disiapkan hantu Wewe Gombel bernama Nenek Te-tek ini. Ia beringsut maju hanya menatap ke bawah dan yang tampak baginya hanyalah tegang keras berlendir Aseng junior-ku yang mengacung keras berdenyut-denyut. Aku mengatur nafasku sebaik-baiknya.
“Pasoe capomu, nong! Leugat!” hardik si Nenek Te-tek keras di belakangku. Tangannya mengacung-acung menunjuk pada Cut Intan memaksanya cepat. Tergopoh-gopoh ia merangkak mendekat padaku dan langsung nemplok di pangkuanku. Sekilas payudara empuknya menggores mukaku. Panik ia memposisikan dirinya senyaman mungkin di atas tubuhku. Tak akan mungkin nyaman dalam kondisi gawat seperti ini. Apalagi ia tau kalo proses deflower ini akan menyakitkan. Nenek Te-tek menaruh harapan tinggi padanya untuk berhasil membuatku ngecrot agar tujuannya berhasil; membunuhku. Dan parahnya, ia bisa menyuruh keempat dara Aceh yang cantik lagi lezat ini mengulangi giliran mereka dari awal kembali.
Bersambung