Part #61 : Mutee
Pagi itu aku direpeti orang rumahku lagi karena dalam masa istirahat liburanku aku pulang menjelang pagi lagi. Kek bocah yang bersalah memecahkan guci keramik mamak yang paling berharga, ngalah-ngalahin keramik Dinasti Ming, aku duduk diam aja menerima semprotan repetan dirinya.
“Orang lagi sakit kok keluyuran sampe pagi kek gini… Mentang-mentang hari ini masih libur… Itu perginya tadi sama siapa? Dijemput Iyon? Ato si Kojek?” cecarnya terus.
“Sama Iyon…” jawabku pendek. Maafkan daku sobat. Aku memalsukan namamu dalam skandalku ini. Pasti di sana dia lagi batuk-batuk ato bersin-bersin namanya kucatut begini.
“Itu lagi teman-temanmu itu… Gak tau temannya lagi sakit diajak keluyuran terus… Ngebahas apa klen rupanya?” tanyanya mencecarku dengan pertanyaan menjebak. Kalo saja dia diberitau Vivi aku pergi dengan siapa tadi malam, bukan ini yang ditanya pasti. Pasti akan lebih pedas pertanyaannya. Padahal mata masih sepet minta ditidurkan, masih aja diberondong dengan berbagai macam pertanyaan. Suaranya menggema di dalam kamar ini. Ia berani bersuara keras begini karena Salwa tidak ada di sini. Salwa sudah punya kamar sendiri. Hanya saja box tidurnya masih ada di kamar ini kalo sesekali ia rewel dan minta sama mamanya. Dari temaram lampu kamar aku bisa melihat kedip-kedip lampu baby-monitor yang berwarna merah kecil-kecil.
Panjang kali lebar kali tinggi aku direpetinya. Sampe di ruang makan, repetannya tak kunjung berhenti. Vivi yang berani duduk di situ mengejekku. Ngata-ngatain aku ‘Mampus!’ tanpa suara. Hanya bibirnya aja yang bergerak. Ia pura-pura sarapan lagi kala istriku menghadap padanya.
“Ini mau kuliah ato ngajar, Vi?’ tanya istriku melihat penampilan Vivi yang modis.
“Dua-duanya, kak… Kuliahnya cuma nyetor bab skripsi aja untuk diperiksa dosen pembimbing Vivi… Agak siangan dikit ada ngajar kelas juga…” jawabnya sambil menyuapkan potongan telor mata sapi yang dilumuri kecap miliknya. Istriku manggut-manggut paham. “Bang Aseng nanti malam belum mulai masuk kuliah, ya?” lagumu, Vi… Pertanyaan basa-basimu itu… Basi!
Aku hanya menggeleng malas menjawabnya karena mataku benar-benar ngantuk. Bisalah tidur dulu sepukul. Zzz…
——————————————————————–
Jam sepuluh pagi aku sudah melarikan diri dari rumah. Kubungkus bantal guling dengan selimut seolah-olah aku yang sedang berbaring di sana. Memanfaatkan kebiasaan istriku yang jarang-jarang mau tidur siang hingga ia juga masuk kamar. Kalo ia sengaja ngecek kamar pasti dikiranya aku masih tidur karena kebanyakan begadang. Cihuy… Paten gak taktiknya?
Hari ini aku akan melakukan investigasi masalah Burong Tujoh yang menghantui hari-hari Dea selama bertahun-tahun ini. Bagaimana cara melacak keberadaan hantu? Dimana mereka nonkrongnya? Bagaimana cara membasmi mereka? Ada trik tersendiri…
“Apa Dea masih tau pria itu… teman kuliah Dea itu… yang telah menghipnotis Dea sampe jadi begini? Kalo bisa alamatnya juga…” tanyaku sementara mukaku mendusel-dusel payudaranya yang berkeringat abis kugenjot abis-abisan malam itu. Farah sendiri terkapar entah pingsan ato tidur binor satu itu. Binor Arab itu menggila kala disentuh dan keknya kehabisan energi. Suara dengkur halusnya terdengar jelas. Kemaluannya berlumuran spermaku, sebagaimana juga dengan Dea.
“Oo… Dia? Namanya Basri… Dia orang Medan sini, bang… Rumahnya kalau gak salah di daerah Padang Bulan… dekat kampus… Dari kabar alumni-alumni yang lain… mereka bilang dia masih tinggal di situ, bang…” ingat Dea sambil mengelus-elus rambutku yang juga basah oleh keringat. Kedekatan kami jadi sangat intim begini hingga bisa ngobrol dalam keadaan telanjang bulat. Aku menarik selimut agar mereka berdua gak terlalu kedinginan.
“Padang Bulan… Kita bisa mulai dari dia…” ujarku di sela remasan gemasku pada payudara montoknya yang telah tertutup selimut.
“Apa si Basri ini yang mengirim Burong Tujoh itu, bang?” tebaknya. Dea sepertinya tak mendendam lagi pada pria itu walo sudah sedemikian parah orang itu melecehkan dirinya. Memperkosa dan memperbudak dirinya untuk beberapa lama. Kondisi cacat dirinya sebagai seorang wanita suci juga menyebabkan dirinya bermasalah di kehidupan berumah tangga. “Dia bukan orang Aceh…”
“Setan-setan ini hanya memanfaatkan keadaan untuk berkomplot menjadi Burong Tujoh ini untuk memfitnah sana-sini… Keluargamu menuduh mantan suamimu yang mengirimnya… Dukun-dukun itu juga memperparah ghibah klen, kan? Ku kasih tau si Basri… Dea juga mulai mencurigai orang itu yang mengirim Burong Tujoh ini, kan? Kek gitulah cara kerja setan-setan ini memperdaya manusia… Dari yang kecil-kecil sampe yang parahpun bisa mereka kerjakan…” jelasku. Berhadapan langsung dengan Dea dan ngobrol dengannya jadi sangat lancar setelah kami saling tau luar dalam. Berbincang seperti suami istri yang sudah tahunan menikah tanpa batas.
“Gini jalan ceritanya kalo menurut hematku… Si Basri menghipnotis Dea untuk lucu-lucuan aja saat itu… Padahal dibalik itu ia punya motif terselubung… untuk menjadikan Dea budak seksnya selama beberapa hari… Yang tidak si Basri ini tau… jiwa Dea tertinggal di dunia ghaib selama ia memperbudak ragamu untuk digarapnya berhari-hari… Selama itu ada kuntilanak ini yang mengisi ragamu… Jadi sebenarnya si Basri itu memperkosa dan menyetubuhi kuntilanak itu… Paham situasinya?” kataku memulai teoriku. Dea manggut-manggut. Jadi Dea kurang begitu mendendam pada Basri karena ia sama sekali tak mendapat kesan apapun tentang semua kejadian keji yang menimpa dirinya. Padahal itu adalah hal yang sangat mengerikan kalo terjadi dalam keadaan normal.
“Entah bagaimana… selama bersama-sama dengan kuntilanak yang mengisi tubuhmu… kuntilanak ini memendam perasaan tersendiri pada si Basri ini… Baper-la kita bilang… Si kunti ini suka pada Basri… Ia terus membayang-bayangi Basri sampe sekarang… Jadi kalo kita menemukan kuntilanak ini pada Basri… kita juga akan menemukan sisa enam anggota Burong Tujoh lainnya… Mungkin juga tujuh setan itu ada padanya… Itu malah lebih bagus… Setidak-tidaknya, jejak…” lanjutku akan paparan teoriku.
“Apa bang Aseng yakin bisa menghadapi semua hantu itu sendirian? Burong Tujoh itu terkenal sangat berbahaya-loh, bang…” khawatir Dea akan janjiku padanya yang membuatnya ragu.
“Gak pa-pa… Bisa kok… Asal cocok aja… apa aja awak lakuin, kok…” kataku sambil memainkan apa yang bisa kupilin.
“Ishh… Gak capek-capek, ya? Masih mau lagi? Kemaruk nih kayaknya…” jawab Dea meremas sesuatu milikku dibawah sana.
“Namanya juga enak… Siapa yang bisa nolak Dea yang begini bentuknya…” kataku makin memainkan pilinan.
“Memang gimana bentuk Dea? Orang aneh kayak gini… Sering kesurupan lagi… Nggak banget…” ujarnya merendah. Tapi aku malah menindihnya dan membuatnya menikmati suguhan hangat menuju panas lagi. Ia tertawa-tawa menanggapi gimana gemasnya aku pada dirinya.
Itu cerita tadi malam karena saat ini aku sedang menunggu di sisi jalan perumahan, menunggu jemputanku. Nah itu dia mobil jemputanku nongol. Sedan Lexus putih itu mengedipkan lampu tangan dan menepi. Mobil mewah berpintu dua itu berhenti di depanku, tempat kami janjian ketemu. Pintu penumpang terbuka dan Dea duduk di situ dan kulongok siapa yang nyetir, ternyata Farah. Trus aku duduknya gimana?
“Kenapa, bang Aseng? Kok mukanya aneh gitu? Bingung duduknya? Di belakang masih bisa, kok…” kata Farah yang menjulurkan kepalanya melewati badan Dea. Dea keluar dari kokpit mobil, menarik tuas hingga joknya terdorong ke depan memberi jalan aku untuk masuk ke bagian belakang. Pasti sempit nih… Loh? Dasar ndeso. Dibelakang ternyata tempat duduk lagi. Kenapa tadi malam aku gak meratiin, ya? Aku hanya bisa cengengesan karena benar-benar gak tau. Kirain mobil sport dua pintu begini tempat duduknya cuma dua tok. Kurang piknik aku…
“Ke Padang Bulan kita, kan?” tanya Farah yang mengendarai mobilnya dengan kaca mata hitam lebar yang terlihat sangat pas di wajah dan hidung mancungnya. Udah kek bule brunette dia berpenampilan begini. Mobil meluncur keluar dari kompleks perumahan ini.
“Iya… Kita ke rumah si Basri itu… Nanti Dea yang nunjukin arah rumahnya…” kata Dea menjawab pertanyaan itu karena aku sama sekali tak tau apa-apa soal tujuan kami ini. Aku hanya tau kami harus menuju ke Basri. “Udah siap, bang?”
“Ya… Let’s go!” kataku mengepalkan tangan walo ada rasa gugup sedikit. Itu biasa dan kututupi sebisa mungkin agar tidak ketauan kedua binor ini. Keduanya berseru ‘Let’s go!’ juga tertular semangatku. Mobil melaju tak bisa terlalu kencang karena sebentar-bentar ketemu lampu merah. Apalagi kemacetan jalan. Jalanan Medan makin lama makin bertambah macet. Kuprediksi dalam situasi ini, dari jalan Cemara menuju Padang Bulan bisa jadi satu jam lebih perjalanan.
Ngobrol-ngobrol sepanjang perjalanan dan tak terasa kami sudah mencapai daerah Padang Bulan yang dekat dengan daerah kampus Universitas Negri ternama di kota ini. Lanjut terus dan Dea konsentrasi ke jalan untuk menemukan alamat rumah Basri yang ia miliki. Dea mengarahkan Farah untuk memasuki sebuah jalan kecil di kanan, telusur sebentar lalu berhenti di depan sebuah rumah. Kanan kiri tempat ini penuh dengan tempat kos karena dekat dengan kampus sehingga suasananya agak rame oleh orang yang lalu lalang. Dea dan Farah turun dan aku menyusul paling belakang.
Dea mengetuk pintu rumah itu dan mengucap salam. Agak lama kami menunggu dan mengulang salam serta ketukan sampe pintu rumah ini terbuka. Seorang ibu yang sudah berumur dengan pandangan curiga menatap kami bertiga. Ia ngumpet di balik pintu yang tak terbuka lebar. “Cari siapa?” ketus ia bertanya.
“Saya dulu teman kuliahnya Basri, bu… Basrinya ada?” jawab Dea dengan sesopan mungkin.
“Kenapa kalian mencari Basri?… Dia tidak mau ketemu siapapun…” kembali ia berujar ketus dan hendak menutup pintu yang segera kutahan dengan mengganjal pake kaki.
“Anak ibu sering kesurupan kuntilanak, kan?” sergahku tembak langsung aja. Aku merasakan keberadaan kuntilanak itu ada di seputaran rumah ini. Aura gelap menyedihkannya sangat kuat disini. Wajah tua lelah penuh keriputnya terperangah mendengar ucapanku. Tapi ia tetap berusaha merapatkan pintu. “Ibu gak mau anak ibu sembuh?” ia berhenti menekan pintu ini mendengar ucapanku barusan.
“Basri pasti menderita selama ini…” kataku mendorong pintu itu dan ia tidak lagi menahannya. Pastinya keluarga ini sudah putus asa akan apa yang telah menimpa Basri. Aku memberi kode pada Farah dan Dea untuk menggiring sang ibu tua ini masuk. Dengan lembut kedua perempuan itu memapah ibu tersebut masuk ke bagian dalam rumah.
Aura rumah ini sangat suram dan dingin mencekam. Ini aura yang disebabkan oleh terlalu lamanya didiami mahluk ghaib yang bersifat mengganggu kalo keberatan disebut destruktif. Destruktif pada mental penghuninya hingga merusak cita dan citranya akan kehidupan sosial. Orang-orang di rumah ini menjadi anti sosial akibat masalah yang mereka derita. Yang jelas menguasai tempat ini adalah kuntilanak yang sempat kudengar suaranya. Khas tertawa-tawa yang bisa membuat orang awam terkencing-kencing.
Farah dan Dea menggiring si ibu tua itu ke ruang tamu dan duduk di tempat yang susah payah diurus sang ibu sendirian saja. Kenapa aku yakin kalo rumah sebesar ini diurus oleh perempuan tua ini sendirian. Di dekat pintu ada rak sepatu dan semuanya dalam keadaan kosong kecuali sepasang sepatu wanita yang kuyakin milik perempuan tua ini. Lalu foto-foto lama berdebu yang digantung di dinding. Semuanya merupakan foto lama dan aku melihat susunan keluarga lengkap penghuni rumah ini. Ayah dan ibu dan tiga orang anaknya. Seorang pemuda yang gagah yang kuyakin sebagai orang yang bernama Basri ini dalam balutan pakaian wisuda dan dua saudara perempuannya yang lebih muda. Kita anggap sang ayah sudah tiada, lalu dimana kedua saudarinya sekarang? Meninggalkan ibunya tinggal sendiri dengan abang mereka dalam keadaan seperti ini. Kenapa aku sangat yakin kalo Basri sedang dalam masalah? Setidaknya adalah masalah kesehatan yang digerogoti si kuntilanak keparat itu.
Aku duduk dan mendengarkan cerita ibu tua tentang petaka yang menimpa keluarganya. Basri sudah mereka anggap sebagai pemuda pintar yang punya banyak skill. Saat kuliah bahkan ia sudah menghasilkan income sendiri dari kemampuannya dalam bidang hipnotis. Ia kerap tampil menjadi penghibur di event-event korporasi, tempat hiburan dan lain sebagainya. Saat itu bidang hiburan yang mengusung hipnotis sangat digandrungi masyarakat. Lalu suatu hari Basri mulai berubah. Ia kerap bengong ato ngomong sendiri dengan pandangan kosong. Sering melamun dan banyak mengurung diri di kamarnya. Ia mulai meninggalkan dunia glamor hiburannya dan tenggelam dalam kekosongan yang sangat pekat itu.
Mengurung diri di kamar sampai berhari-hari dan tak mau bekerja lagi. Hanya di kamar. Keluarganya mulai resah dan mendatangkan berbagai orang untuk menyembuhkan gangguan Basri. Orang-orang sini lazim menyebutnya sebagai terkena pulung/polong ato dengan kata lain sedang terpikat dengan pesona dunia lain, dunia ghaib. Puncaknya adalah Basri menghilang dari kamarnya yang terkunci selama setahun lebih. Bukan buatan bingung keluarganya mencari keberadaan pemuda yang semakin jauh dari kata waras. Bagaimana ia bisa kabur dari kamar terkunci itu? Berbagai upaya dilakukan keluarga ini untuk menemukannya kembali. Sempat terlontar kemungkinan perdagangan organ manusia ato malah ditangkap ketertiban umum dan dimasukkan Rumah Sakit Jiwa entah dimana.
Setahun kemudian, polisi hutan dengan tidak terduga menemukan Basri yang hidup liar di belantara hutan perbatasan Sumatera Utara dan Nangroe Aceh Darussalam. Hutan yang masih merupakan hutan konservasi Taman Nasional Gunung Leuser di sepanjang Bukit Barisan. Basri sudah diberi titel sebagai orang dengan gangguan mental. Bagaimana bisa orang yang biasa berada di kota besar berkelana setahun lebih dalam hutan? Apa yang dilakukannya? Dengan apa ia bertahan hidup? Para paranormal tentu saja punya jawabannya. Dibilang-la dibawa mahluk halus ke dunianya. Dibawa jin ke kerajaannya. Menikah dengan jin perempuan dan tak diperbolehkan pulang sebelum waktunya. Macam-macam. Bahkan ada dukun yang sesumbar kalo kembalinya Basri adalah berkat kesaktiannya. Bante kelen-la situ…
Seorang pria malang dengan tubuh kurus, putih, kumis dan jenggot tak terurus. Hanya memakai celana pendek dan singlet kumal duduk mencangkung di sudut ruangan menatap kosong langit-langit kamar. Hanya ada kasur busa tipis tempatnya tidur yang berbau pesing. Ada beberapa noda merah menghitam di dinding yang kotor, bekas dari luka-luka berdarah yang ada di sekujur tubuhnya. Akibat dari tantrum yang sesekali menyeruak. Kami bersamaan memandang arahnya menatap.
“Dia suka sekali memandang ke atas situ… Katanya istrinya ada disana… Namanya Mutee… Sejak dari hutan itu… Basri jadi bisa bahasa Aceh… Padahal kami orang Jawa…” kata si ibu tua itu yang sebenarnya agak rasis, awak yang orang Padang bisa ngomong Inggris sikit-sikit napa rupanya, ia tak habis pikir kenapa ini bisa menimpa anaknya. Kedua anak perempuannya antara tak sudi dan tak sanggup mengurus abangnya, menjadikan alasan menikah menjadi alat untuk menjauh dari sini. Menjauh dari petaka ini.
Kalo ditilik lebih jauh mengenai Burong Tujoh yang sering menyerang anak-anak dan wanita, berarti kasus Basri ini pengecualian karena menyerang pria. Ini karena aku melihat jejak ketujuh hantu Burong Tujoh itu ada di sini. Hanya saja yang terlihat jelas saat ini adalah si kuntilanak berbaju merah yang berdiri terbalik di langit-langit sambil membelai-belai kepala Basri dengan tangannya yang memanjang tak wajar. Untung saja cuma aku dan mungkin Basri yang bisa melihatnya karena kuntilanak itu tertawa-tawa nyaring sambil menatapku dengan muka seramnya. Kuntilanak itu meracau kata-kata kotor yang bahkan di forum esek-esek ini mungkin lebih baik disensor.
Walo mimik Basri kosong, tetapi di dalam hatinya ia sebenarnya menjerit dan menangis. Ia ingin lepas dari jerat kuntilanak berbaju merah yang telah menjadikannya suami lewat pernikahan tak lazim dua dunia yang berbeda. Kuntilanak itu sepertinya ingin memamerkan sesuatu padaku karena ia yakin kalo aku gak akan melakukan sesuatu karena kami masih rame-rame memantau keadaan Basri. Ibu tua itu masih menceritakan beberapa kisah yang mungkin mengganjal hatinya. Kuntilanak berpakaian merah itu turun dari langit-langit dengan melayang, mendekati Basri. Tangannya lancang merogoh ke arah kemaluan pria malang itu. Terlihat gembungan celana pendeknya bergerak-gerak. Hanya aku yang melihat ini semua. Basri meringis.
Tak cukup hanya sampai disitu perlakuan kuntilanak itu yang merancap kemaluan Basri, ia juga menyepong! Pernah klen liat kuntilanak melecehkan manusia? Ini yang sedang kusaksikan dan kupastikan ini bukan yang pertama kalinya. Basri hanya bisa meringis-ringis merasakan kemaluannya yang sedang disedot kuntilanak itu dan tak lama sepertinya ia selesai. Kuntilanak kurang ajar itu meneguk semua sperma pria itu dengan lidahnya yang menjulur-julur mengejekku. Aku tak bisa berbuat banyak selain hanya menyaksikan karena khawatir aksiku diketahui ibu tua orang tua Basri ini. Harusnya aku bisa membantai kuntilanak binal ini sekarang juga. Tanganku sudah gatal dan ia tau itu.
Basri hanya bisa bersandar trus dengan tubuh lemas. Gimana gak lemas cobak? Tiap waktu tiap saat tubuhnya dieksploitasi setan jahanam itu berulang-ulang tanpa bisa ia cegah ato sekedar menolak. Kuntilanak ini menguras semua energi hidup pria ini selama bertahun-tahun ini. Tidak hanya di sini, ia dan kelompoknya juga melakukan hal yang sama pada Dea dan pastinya pada yang lain juga. Aku akan coba berdialog dengan kuntilanak merah ini. Mana tau ia mau merespon pertanyaanku.
“Mutee… Namamu Mutee, kan?” tanyaku. Tentu saja pertanyaan ini tidak akan bisa didengar orang awam. Hanya orang-orang yang punya kemampuan sepertiku yang bisa melakukan ini. Kuntilanak itu bereaksi.
“Kau tau namaku?” jawabnya dengan menjulur-julurkan lidahnya. Ia masih sibuk menikmati rasa enak energi hidup Basri di mulutnya. Tangannya bergerak ke arah leher Basri dan membelai-belainya. Rambutnya yang agak gondrong akan terlihat bergerak kalo ada yang memperhatikannya. Farah dan Dea masih asik mendengarkan cerita derita ibu tua itu dengan simpati dan empati dalam, tidak memperhatikan kejadian ini. “Hi hi hihihihihi…”
“Begitulah… Pria ini memberitau ibunya kalo kau bernama Mutee… Kalian asalnya dari hutan Leuser?” tanyaku. Kutahan-tahan diriku agar tidak menyebabkan provokasi demi informasi penting. Tampilan yang tampak di mata bathinku ini akan terlihat berbeda bagi orang lain ato bahkan pada Basri. Entah visual apa yang melekat di kepala Basri dari dulu sampe sekarang. Para setan ini bisa dengan mudah mempersepsikan tampilannya sesuai dengan bayang netra pihak yang memandangnya. Bagiku, setan wanita binal bersuara tawa hihihi adalah kuntilanak.
“Kami ada di mana-mana… Kau sudah memotong ekor Tabek… Dia sangat gusar sekali… Kau mengganggu urusannya dengan perempuan muda itu…” ujar Mutee. Jadi hantu cicak beracun panas itu namanya Tabek. Dengan begini aku sudah tau nama dua dari tujuh hantu Burong ini. Bagiku setan yang menempel di dinding adalah setan cicak kalo boleh sedikit kukupas tentang tampilan setan cicak bernama Tabek itu. Apalagi ia mempunyai ekor yang sangat dibanggakannya. “Hi hi hihihihihi…”
“Ya… Kalo Tabek masih penasaran… bisa kami ketemu lagi untuk lebih akrab lain waktu… Jadi sampe kapan kau dengan pria malang ini? Sampe energi hidupnya abis?” tanyaku bertanya lebih jauh lagi karena sepertinya ia ingin pamer lebih jauh lagi. Tangannya kembali merangsang tegak milik Basri dan ia menarik bagian rok panjang pakaian merah yang dikenakannya hingga satu bagian pantatnya yang berwarna pucat itu kelihatan.
“Hi hi hihihihihi…” Mutee seperti tak memperdulikanku dan mulai melakukan WOT dengan paksa pada selangkangan Basri. Pria itu seperti sedang hanya menggerak-gerakkan badannya seperti sedang menikmati ritme musik hayalan bagi orang awam padahal sejatinya ia sedang diperkosa oleh sosok mahluk astral yang tersohor akan nama kuntilanak. Waah… Berapa kali dalam sehari semalam kuntilanak ini memperkosa Basri dan sudah berlangsung berapa tahun? Gimana gak kurus layu kerempeng ini orang dibuatnya? “Hi hi hihihihihi…”
Terus tertawa-tawa khas kuntilanak itu yang keluar dari mulutnya. Ketiga perempuan yang menyertaiku di ruangan ini mulai merasakan aura yang tak nyaman. Mereka mulai gelisah dan menunjukkan gelagat ingin cepat-cepat pergi dari tempat ini. Kuntilanak berpakaian merah itu makin gencar mengguncangkan tubuhnya memperkosa Basri dan tak lama pria itu mencapai batas pertahanannya, jebol lagi. Energi hidupnya lagi-lagi disedot melalui kemaluan kuntilanak itu. Makin lemas pria itu duduk bersandar, termangu tak mampu berbuat banyak. Air mata yang meleleh ke pipinya bahkan dijilati si kuntilanak jahanam itu dengan kikik tawa menyebalkannya.
Farah menyentuh bahuku mengajakku untuk turun lagi ke lantai bawah karena mereka akan turun lagi dan melanjutkan pembicaraan di bawah saja. “Aku disini dulu… Kalian duluan aja…” bisikku agar tak terdengar ibu tua itu. Farah mengangguk. Dea dan ibu pemilik rumah sudah menuruni tangga duluan sedang aku memilih tinggal. “Mutee… Aku beri peringatan… Segera tinggalkan orang ini ato kau bisa binasa…” ujarku pada mahluk ghaib itu begitu tak ada lagi orang ada di kamar ini kecuali aku, Basri dan si kuntilanak merah, Mutee.
“Hi hi hihihihihi…” ia malah tertawa-tawa seperti tak perduli. Ia menyedot-nyedot apa yang masih tersisa dari benda di antara kaki Basri. “Kenapa? Kau mau memaksaku dengan benda itu?” tanpa melihat padaku ia meremehkan mandau Panglima Burung yang kugenggam di tangan kanan. Aku sudah mengantisipasi responnya ini. Mereka sangat keras kepala dan tak mau meninggalkan mangsanya sampe mati. “Aku sudah menikah dengannya… Kau tak bisa memisahkan kami begitu saja…”
“Maut yang akan memisahkan kalian berdua…” ancamku lagi dan bersiap menggunakan mandau ini.
“Yaa… Maut untuknya…” dengan licik kuntilanak merah itu mengulurkan tangannya ke leher Basri dan mencekik sejadi-jadinya hingga birat tertekan bagian vital itu oleh kuku-kuku runcingnya. Ia hendak menjadikan Basri sanderanya untuk mengancamku. Kalo si Mutee ini benar-benar melakukan apa yang diancamkannya, sudah pasti Basri akan segera mati karena cekikannya. “Hi hi hihihihihi…”
“Whoo… woo… Tahan bentar… Kau mau membunuh suamimu sendiri… Jangan gegabah!” seruku mundur. “Kau akan dilaknat sumpah pernikahanmu kalo kau sampe membunuhnya…” seruku mengingatkannya. “Kau juga akan mati kalo dia mati… Itu sumpah kalian kan? Sehidup semati?” tanyaku akan apa yang mungkin mereka ikrarkan saat Basri dibawa ke hutan gunung Leuser ketika itu.
“Hi hi hihihihihi… Itu kalo semua suamiku mati… Pecundang ini hanya satu dari sekian banyak suamiku… Energi hidupnya juga sudah tinggal sedikit… Kehilangan pecundang satu ini tidak akan membunuhku… Aku tinggal mencari yang baru… Yang mau terjerat pesonaku… Hi hi hihihihihi…” Bah! Banyak katanya suaminya? Berarti ada banyak korban-korban lain disamping Basri yang tersebar dimana-mana. Kejahatan kuntilanak merah ini sungguh sangat meresahkan.
“Jangan macam-macam, Mutee… Kalo kau mencelakakan si Basri ini… kau juga tak akan selamat… Aku pastikan itu!!” ancamku lagi. Kuntilanak ini tapi bukanlah pemain baru dalam dunia supranatural ancamanku tidak begitu dianggapnya karena ia tak perduli dengan nyawa Basri. Senyum memuakkan di wajah seram setan berbentuk perempuan yang kerap menghantui masyarakat Nusantara.
“Kita barter…” ia semakin mengetatkan cekikannya pada leher Basri hingga pria kurus itu cengap-cengap bernafas tercekik jalan nafasnya. Kalo terserah padaku, aku akan pilih mengakhiri penderitaannya selama bertahun-tahun ini karena keadaannya sudah mengenaskan. “Pecundang ini digantikan denganmu… Bagaimana?” ia makin mempererat cekikannya hingga Basri terlihat makin sekarat. “Hi hi hihihihihi… Tubuhnya digantikan tubuhmu? Kau tertarik?” Dan terjadi sesuatu pada penampilan kuntilanak berpakaian merah itu. Ia berubah wujud. Wujud yang sangat menawan. Memanjakan mata dan memuaskan hati. Wajahnya, rambutnya, tangannya, tubuhnya, payudaranya, kaki-kakinya. Ahh…
“Hi hi hihihihihi… Kemarilah… Kau menginginkanku… Benar, kan?” dengan bentukannya yang sangat aduhai, ia membiusku. Memanggilku untuk menghampirinya. Tangannya terulur melambai-lambai agar aku mendekat. Tubuhnya yang seksi menjadi magnet tersendiri yang sangat memabukkan bagiku. Ia tak lagi memperdulikan Basri. Ia sudah melepas pria itu dan beralih padaku. Tubuhnya memanggilku mendekat. Tawanya sekarang terdengar manja menggoda serta wajar mempesona. Ahh… Betapa cantiknya dirimu…
Kupagut ganas mulut berbibir indah itu dengan rakusnya. Ia membalasku dengan intensitas yang sama. Aku sudah lupa apapun saat ini. Yang ada adalah hanyalah perempuan cantik nan seksi ini sajalah yang terpenting di dunia ini. Kami bergumul dengan tak sabarnya saling melucuti pakaian. Saling sentuh dan belai. Saling remas dan rangsang. Rangsangan maksimal yang pernah kurasakan.
Tanganku tak bosan-bosannya meremas sepasang payudara montok berukuran besar yang padat rupawan. Urat-urat halus kehijauan membayang di payudara padat itu saat tanganku mencengkram dan ia mendesah seksi karenanya. Tangannya juga tak kalah merangsang kemaluanku. Diremas-remas dan dikocoknya penisku hingga menegang keras bagai batang kayu. Aku sangat tak sabar untuk segera tenggelam dalam kenikmatan tubuhnya. Menusuknya dengan batang penis kerasku, membuatnya mengerang menjerit oleh gesekan di gua kenikmatan yang pastinya sangat luar biasa istimewa berkat pesonanya yang luar biasa indah. Memainkan payudara dan putingnya tempatku melampiakannya. Ia menjerit-jerit nakal.
Perempuan ini menggelinjang menikmati permainan mulut dan lidahku di payudara montoknya. Gemas aku menyatukan pucuk payudaranya dan menjilatinya sekaligus, mengakibatkannya bergetar-getar oleh rasa nikmat itu. Tanganku menjangkau dan menemukan kelembaban nikmat di antara kakinya. Gundukan lembut berbelah dengan rambut-rambut jarang yang terawat rapi. Basah ketika jariku memasuki ruang garba indah itu. Hangat sekaligus menggigit. Ia makin menggila meremas-remas penisku yang sudah tegang luar biasa. Digesek-gesekkannya penisku pada kemaluannya dengan kaki membentang lebar. Ia juga sudah tak sabar merasakan kejantananku memasukinya. Ia mendesah-desah mengerang merasakan gesekan kepala penisku mengoles permukaan luar kelaminnya yang sudah basah kuyup tak sabar dikawini.
Kuseruduk lubang kemaluannya sekaligus mencumbu mulutnya lagi. Ia mengaduh saat penisku menerobos dan masuk melesak tanpa ampun hingga kandas. Ia sangat menginginkannya ditandai lancarnya aku dapat mencapai dasar terdalamnya. Liang kemaluannya sangat pas dengan milikku seolah kelamin kami memang diciptakan untuk bersama selama-lamanya. Kami berpelukan dan bergulingan dengan syahdu. Kelamin bersatu padu menjadi satu kesatuan kompak yang tiada bandingannya lagi. Ini sangat indah.
Berpagutan mesra, aku mulai menggerakkan penisku keluar masuk yang disambutnya dengan gemulai menyambut berputar. Membuat kami sama-sama mendesah kenikmatan. Rasa geli dan enak bercampur menjadi satu harmoni yang sangat indah rasanya. Aku jadi ketagihan oleh rasa nikmat yang dihasilkan dari hubungan dengannya yang juga indah. Bergulingan kami di tempat yang tak kuperdulikan lagi ada dimana. Yang kuperdulikan adalah terus menikmati ini lagi dan lagi. Terus menerus menikmati indah tubuhnya yang juga menikmati hal yang sama dariku.
“Ahhh… Trus, maaaasss… Ahhh… Aahhh… Yaaahh… Yaahhh… Begituuu… Yaaa trusss… Uuuhhh…” erang perempuan cantik ini.
“Akuu… akuu mau… keluaaaar… bentar laaagi…” cekat suaraku penuh sesak.
“Yaaa… Lepassskaann… Ahhh…. Lepassskaann ajaaa…” ia pasrah aja menerima desakanku yang bertubi-tubi kencang menggenjotnya. Ia menyukai ini. Ia mengharapkanku memuaskannya. Ia mencintaiku.
“Akkhhhh… Ahh… Crooot crooot crooottt!!” plong sekali rasanya melepaskan muatan besar yang menyembur dari kejantananku dan mengisi relung-relung kemaluan perempuan cantik yang sangat indah ini. Tubuh kami rapat saling peluk erat menikmati tiap serpih-serpih kenikmatan yang ada mengapung di awang-awang surga dunia ini. Perempuan ini mendesah-desah keenakan karena ia juga mendapatkan kenikmatan puncaknya sebagaimana aku barusan. Kami bergumul lagi dan lagi saling berpelukan bercumbu mulut dengan kelamin yang tetap bersatu. Tak rela berpisah sedetikpun. Hanya mau lagi dan lagi.
Kugenjot lagi tubuhnya karena kemaluanku sudah siap kembali untuk bertarung dengan gegap lagi. Gesekan-gesekan nikmat kembali terjadi dan kami terus melakukannya dengan penuh syahwat yang membara. Perempuan cantik ini dengan rela membiarkanku menikmati tubuhnya karena ia menyukainya dan memang mengharapkan ini semua terjadi. Ia rela diperlakukan apa saja.
Siapa wanita cantik ini? Kenapa ia begitu indah? Kenapa ia begitu menawan hati? Kenapa aku merasa sangat dengan dekat dengannya? Familiar dengan wajahnya hingga nyaman bersenggama dengannya? Dengan aroma tubuhnya, bentuk tubuhnya, ukuran payudaranya, nikmat liang kemaluannya, kenyal bibirnya saat kukulum. Semuanya terasa pas dan benar hingga aku tak merasakan was-was sedikitpun. Aku merasa ia hanya milikku.
Beberapa kali ia mengambil kendali hubungan badan indah ini dengan penuh semangatnya. Ia tak membiarkanku memikirkan hal-hal lain begitu disadarinya aku sedang melamunkan tentang indah dirinya. Goyangannya mengguncang duniaku. Membuatku blingsatan dalam indahnya rasa nikmat yang menguasai sekujur tubuhku. Mengisi tiap-tiap relung indra perasa dan perabaku. Memberi rasa senang dan gembira selalu. Aku budah kenikmatan saat ini dibawah kendalinya.
Aahhh… Andaikan aku bisa begini selamanya. Alangkah indahnya dunia ini. Alangkah damai dan syahdunya. Maukah ia berbagi hidup denganku dan menjalani hari-hari bahagia begini untuk selama-lamanya. Sudikah dia?
Tak dibiarkannya aku memikirkan hal-hal lain. Dilakukannya trik hebat yang membuatku melolong dalam kenikmatan sejati. Disedotnya kemaluanku yang masih berlumuran sperma tanpa rasa sungkan sedikitpun. Dijilatinya memberiku rasa nikmat yang tak terperi. Tak kunjung berhenti ia memanjakanku dan menstimulasiku berulang-ulang hingga aku mau lagi dan lagi bergumul dengannya. Kutindih tubuh indahnya dengan sodokan-sodokan penuh tenaga dan tak lama benih-benihku tertumpah ruah lagi di dalam tubuhnya yang dengan suka cita menerimaku.
Akankah ia mau menjadi pendamping hidupku? Akan selalu kubahagiakan dirinya. Kumanjakan kemauannya melebihi limpahan suka cita seorang putri raja. Kuberikan segala yang kubisa dan kupunya. Kujadikan dia perempuan yang paling bahagia di muka dunia fana.
“Dindaaa… Maukah kamu mendampingikuuu—aahh…” ia memasukkan penisku yang sudah menegang keras lagi ke dalam kemaluannya yang sungguh nikmat mempesona. Diguncangkannya lagi duniaku dengan penuh semangat yang membuatku kembali terbang ke awang-awang. Tak sekalipun dia membiarkanku berpikir ini akan berakhir. Ini terlalu indah untuk berakhir. Tak pantas berakhir. Aku ingin begini selamanya.
“Kenapa, kandaku… Tak cukupkah semua ini untukmu? Hingga harus begini?” tertatih-tatih perempuan cantik itu menjauhiku dengan serta merta memegangi perutnya.
“Maafkan aku… Hidupku tak sesempurna itu…” tubuhku sangat-sangatlah lemas. Kakiku bergoyang bergetar-getar seperti tak punya tenaga yang tersisa. Dengan benda yang menjadi andalanku ini kutopang diriku agar tetap berdiri walopun sangat limbung. Seperti mabuk kecubung rasanya isi kepalaku. Dunia seperti terdistorsi bergoyang-goyang, petat petot sana sini, peyang mencot kanan kiri. Ini bukan pusing biasa.
“Dinda tak pantas untuk kanda? Tega nian kau, kanda…” perutnya penuh dengan noda merah itu. Mengucur deras dari bukaan luka menganga di perutnya. Merah darah yang banjir membasahi tubuhnya sendiri bekas tebasan mandau Panglima Burung yang tak sengaja terpegang saat kami bergulingan bergumul nikmat tadi. Kepalaku masih belum bisa memproses apa yang telah terjadi. Tetapi yang pasti ada sesuatu yang sangat salah disini. Kenapa aku menaruh harapan yang sangat tinggi pada perempuan yang sangat kukenal ini?
Aku mengenal fisiknya luar dalam sampai semua lipatan tubuhnya kuhapal tetapi tidak kepribadiannya yang sangat asing. Kepribadian ini terlalu ideal. Itu hanya cocok ada khasanah hayalan seorang pemimpi tanpa tau realita. Rasa cinta dan suka ada pada taraf yang berbeda. Aku suka hanya pada tubuhnya yang mampu memberiku semua rasa nikmat dan senang. Tapi aku hanya perlu cinta dari satu perempuan. Aku sudah mendapatkan itu semua dan aku tak perlu tambahan lainnya.
“Kau bisa menyerupai siapapun yang kau inginkan… Kau bisa meniru siapapun di dunia ini… Tapi kau tak bisa meniru perasaannya…” ujarku masih dengan tubuh lemas. Entah udah berapa kali aku ejakulasi, membuang energi hidupku pada betina durjana satu ini. Koreksi, kuntilanak merah durjana satu ini. Ia bersandar di dinding kamar dengan susah payah. Mulutnya mangap-mangap mencari energi. “Salah kalo kau kira meniru dirinya… Lalu meningkatkan semua penampilannya hingga make over habis-habisan begitu membuatku terperdaya…” aku berusaha maju berjalan tertatih untuk mendekat.
“Wujudnya jadi sangat indah… Kuakui itu benar… Itu kalo dia melakukan poles sana-sini… Sedot lemak, koreksi ini itu… Proses abis-abisan… Kau pasti tak tau apa pengorbanannya untuk melahirkan dua anak-anakku? Kau tak akan tau… Mutee… Tapi terima kasih… Kau memberi gambaran itu… Itu tadi bahkan lebih keren dari Photoshop…” kata-kataku yang tak sedikitpun berisi kemarahan. Tapi mahluk jahat ini tidak boleh dibiarkan melanglang buana lama-lama di permukaan bumi ini. Ia hanya akan menebar kerusakan dan kesedihan dimana-mana.
“JANGAAANNN!! Akh!” Tebasan mandau Panglima Burung tak dapat ia elakkan menebas dirinya. Aku bahkan sampai tersungkur jatuh setelah menyarangkan serangan mematikan yang membelah tubuhnya hingga hancur berkeping-keping. Kakiku gagal menahan bobot tubuhku sama sekali. Setidaknya satu dari tujuh Burong Tujoh bernama Mutee itu musnah sekarang.
“Itu harga yang kau dapat karena berani-berani membajak khayalanku akan tubuh sempurna istriku…” bisikku sendiri entah pada siapa. Harusnya pada diriku sendiri.
“Cek cek ceek…Cek cek ceek… Cek cek ceek…” mukaku tiba-tiba mengetat lagi akan horor baru. Suara itu sangat kukenal. Hantu cicak raksasa bernama Tabek itu terdengar menggema di dalam kamar ini. Kucari-cari asal suaranya. Genggamanku pada mandau yang tadi mengendur, kuketatkan kembali. Kugenggam erat-erat, siap menebas lagi. Tapi genggamanku lemah. Energiku terkuras banyak.
“Sayang sekali Mutee harus tumbang di tanganmu… Tapi kejayaan aku berpihak padaku kali ini… Tabek si hantu cicak berekor dua…” cetus suara perempuan tua parau oleh Bronchitis. Cicak raksasa itu menempel di langit-langit kamar bak seekor biawak berwarna abu-abu kehijauan. Benar! Dia punya dua ekor. Satu cabang ekornya putus—yang sudah kupotong kemarin malam.
Aku dalam masalah besar sekarang. Ia ada tepat di atasku. Dia bisa dengan mudah menyerangku saat ini. Aku harus memanggil bantuan. Semoga saja sempat! Kulindungi kepalaku dengan tangan dan mandau bersilang. “BHUUGGG!!!” suara hantaman keras terjadi dan aku berharap rasa sakitnya hanya sebentar saja. “BRAAKKK!” tapi kemudian terdengar suara benturan sosok tubuh yang membentur dinding. Lalu, “AAKKHHH!!!”
“JANGAN GANGGU DIA!!” ada satu suara asing terdengar. Dengan tenaga yang tersisa, aku mencoba mencari sumber suara kegaduhan yang gagal menyakitiku. Aku hanya dapat melihat bentuk tubuh yang merupakan sisa tubuh Tabek si hantu cicak raksasa, terbujur lunglai jatuh dari dinding. Bagian kepalanya tak berbentuk utuh, remuk redam—retak seribu. Di depannya ada sesosok asing berdiri. Diakah yang telah menghajar Tabek hingga sedemikian rupa? Sosoknya kurus tinggi. Kepalanya berbentuk segitiga dengan sudut lancip seperti telinga kucing. Jari-jarinya hanya ada tiga buah di tiap tangannya, berujung lancip dan runcing. Mahluk apa ini? Kenapa aku tak merasakan aura jin ato apapun darinya? Sebagai gantinya malah ada aura aneh yang sangat asing. Aku belum pernah tau ada mahluk seperti ini sebelumnya…
Aku tak mampu berpikir apa-apa lagi kecuali pingsan. Yang kudengar hanya sayup-sayup suara ringtone HP-ku berbunyi nyaring berulang-ulang…
——————————————————————–
“Bang Aseng… Minum ini dulu…” seseorang berusaha mencekoki mulutku dengan sebuah sendok berisi cairan hangat. Teh manis. Diulanginya lagi. Kerasa segar dan nyaman di mulutku. Ia lalu membantuku untuk duduk untuk menenggak teh manis itu langsung dari wadahnya. Setidaknya perutku sudah terasa hangat. Cairan manis bersukrosa alami ini memberi energi instan pada tubuhku yang lemas.
Yang membantuku minum teh manis ini ternyata Dea. Tapi Farah juga tak jauh. Ia memijat-mijat kakiku dengan muka lega aku sudah siuman. Aku duduk teronggok di atas sofa masih cukup lemas di ruang tamu rumah Basri. Apa kabarnya orang itu?
“Basri gimana?” tanyaku lirih. Kepalaku masih terasa sakit.
“Dia sudah lumayan sehat, bang… Dia di kamar ibunya… Ibunya sedang merawat dirinya… Dia sudah sadar sekarang… Abang sudah berhasil menyingkirkan kuntilanak itu…” kata Dea.
“Juga sama si Tabek sekalian…” tambahku pelan berupa bisikan.
“Tabek? Siapa itu Tabek?” tanya Farah yang merapat padaku untuk memijat bahuku. Pijatannya terasa enak bertenaga. Tapi jangan keras-keras. Badanku masih sakit semua. Ia mengerti gestur tubuhku yang kesakitan. Dikuranginya tenaga pijatannya jadi lebih lembut.
“Hantu cicak di Dea kemarin…” jawabku susah payah dengan kalimat itu karena kepalaku berdenyut seperti ada beberapa kumbang sedang menggerek tempurung kepalaku. “Auhh…” Farah mengalihkan pijatannya pada kepalaku, terutama bagian pelipis.
“Kami dengar suara gedebag-gedebug di atas… Kami semua ketakutan, bang… Ibu Basri juga… Kami pikir bang Aseng berkelahi dengan Basri yang sedang kesurupan… Waktu suaranya berhenti kami menemukan abang terbaring lemas di lantai tak berpakaian… Si Basri kelihatan linglung tetapi ia sadar dan mengenali ibunya… Abang lalu kami bawa turun kemari…” papar Dea tentang apa yang telah mereka saksikan. Aku tak berpakaian? Ah… karena ‘pergumulan’ itu pastinya.
“Kalian melihat mahluk berkepala kucing itu juga?” tanyaku penasaran. Mahluk tinggi kurus bersudut kepala runcing lancip seperti telinga kucing dengan tiga jari runcing di tiap tangannya. Apakah dia bagian dari Burong Tujoh juga? Lalu kenapa dia menyerang Tabek sampe hancur? Apakah ada pertikaian hingga menyebabkan perpecahan di Burong Tujoh? Tapi aku tak merasakan aura jahat dari mahluk itu sama sekali. Mahluk apa dia gerangan? Dea dan Farah menggeleng-geleng tanda tidak tau. Farah mengulurkan HP milikku.
“Dari tadi itu bunyi terus… Berulang-ulang… Awalnya gak mau Farah angkat… Tapi itu bukan istri bang Aseng… karena di phone book abang namanya ditulis ‘orang rumah’… Yang nelpon bolak-balik itu namanya Vivi… Farah angkatlah pelan-pelan… Dia tau abang sedang dalam masalah… Dia memaksa untuk tau kita ini sedang ada dimana… Dengan terpaksa dikasi tau, bang… Gak apa apa, ya?” takut-takut Farah menjelaskan perihal masalah ini. Tentunya ia juga bingung bagaimana mengatasi masalah ini. Si Vivi… Dia tau aku dalam masalah?
“Triingg triiingg triiiingg…” teleponku berbunyi lagi dari si Vivi. “Halo, Vi?”
“Halo? Bang Aseng udah sadar?” semburnya di seberang sana demi mendengar suaraku sendiri. “Syukurlah… Vivi udah ada di depan rumah… Tolong bukain pintu…” katanya berapi-api tapi langsung ditutup lagi.
“Tolong bukain pintunya… Dia udah nyampe…” tunjukku lemah ke arah pintu pada siapa aja. Farah yang duluan bergerak sigap dan menuju pintu untuk membukakannya untuk Vivi. Pintu terdorong cepat dan gadis mahasiswi itu menghambur buru-buru begitu ia melihat keberadaanku yang duduk teronggok bersila di atas sofa.
“Bang Aseng? Bang Aseng gak apa-apa, kan? Apa ada yang luka? Mana yang sakit? Kita ke rumah sakit ya? Vivi anterin sekarang juga…” ia meraba-raba tangan dan kaki serta tubuhku untuk melihat reaksiku atas sentuhannya. Ia berjongkok di depanku dengan wajah panik. Sepanjang jalan ia pasti ngebut untuk segera sampe kemari. Sampe segini ni anak khawatir akan keadaanku. “Bang… Gak apa-apa, kan?” desaknya.
“Awak gak pa-pa, Vi… Cuma agak lemes aja dikit… Istirahat sama makan juga pasti baikan lagi…” jawabku masih tetap lemes tapi kupaksakan senyum padanya. Vivi sepertinya hanya memperdulikanku tapi tidak pada yang lainnya padahal disini ada dua perempuan lain di ruangan ini dan bahkan gak nanya ini rumah siapa.
“Betul apa yang dibilangin kakak… Abang itu harus istirahat dulu… Abis babak belur begitu masih aja keluyuran terus… Berantem-berantem lagi… Untung ada Vivi, kan?” katanya sembari mencoba menyingkap lengan bajuku, mengintip bekas luka yang pernah dipukulnya waktu itu sampe berdarah lagi.
“Untung ada Vivi? Apa Vivi yang mengirim mahluk berkepala kucing itu?” kagetku langsung mengambil kesimpulan ini. Mahluk kurus berkepala telinga kucing itu kiriman Vivi?
“Kepala kucing? Mahluk apa?” ia sendiri bingung dengan pertanyaanku. Farah dan Dea menyimak pembicaraan kami. Baru sekarang ia melihat sekitarnya dan menemukan duo binor itu ada di sekitar kami. Ia mengangguk dengan senyum kecil dipaksakan lalu beralih lagi padaku. “Apa dengan bantuan penglihatan mahluk itu… Vivi jadi bisa ngikutin bang Aseng kemana-mana?” ia malah balik nanya.
“Vivi benar-benar bisa melihatku dari kejauhan?” tanyaku.
“Iya, bang… Hanya saja sekarang ini… penglihatan Vivi jauh lebih terang dan jelas seperti sedang melihat langsung… Beda waktu kemaren pake Banaspati itu… Agak samar dan kabur…” jawabnya.
“Tapi itu mahluk apa? Awak gak pernah tau ada mahluk seperti itu… Bukan jin ato setan ato apapun… Itu yang awak herankan…”
Mahluk itu berdiri lagi di depan kami. Matanya putih tanpa kornea dan tak memiliki mulut di wajahnya. Kulitnya berwarna abu-abu muda sedikit berkilat. Tentu saja kami semua terbelalak menganga kaget termasuk Vivi sendiri. Mahluk apa ini?
Bersambung