Part #60 : Ngewe Dea Saat Kesurupan

“Bang Aseng… Kalo diewein mungkin bisa lebih panas tubuhnya, bang…” usul Farah untuk menghangatkan tubuh dingin Dea yang menggigil mengkhawatirkan.

“Yang benar aja, Farah… Dia ini lagi dikerjain setan-setan itu… Masa diewein, sih? Ada-ada aja-pun kau…” entah setan yang nomor berapa yang menyebabkan Dea menjadi kedinginan hebat seperti ini. Kalo mereka konsisten sesuai urutan kemunculannya, ini berarti yang nomor enam; Burong nam. Tapi apakah ini berupa racun juga?

“Ngewe kan bisa buat panas, bang… Cobain aja… Gak ada jalan lain… Nanti Farah bantuin juga…” tukas Farah memaksakan argumennya.

“Iya panas… Tapi itu gak pantas dilakukan, Farah… Nanti Dea menganggap awak nyari kesempatan aja untuk melecehkan dia… Gak-la, Farah… Ngeri awak…” tolakku tapi tetap memeluknya. Tubuh dinginnya tak kunjung menghangat dengan transfer panas tubuh ke tubuh ini.

“Nanti biar Farah yang ngasih pengertian ke Dea… Ini emergency… Lagipula burung abang dah naek gitu, kok…” desak Farah terus. Ia mengintip pertemuan tubuh kami berdua. Dengan tak nyamannya, aku menghimpit tubuh Dea tetapi pertemuan tubuh ini malah menyebabkan ekses lain. Kimak si Aseng junior ini, bisa-bisanya dia bangun dan setuju dengan usulan gila Farah.

“Tapi…”

“Udah, bang… Gak ada waktu lagi…” Farah tambah mendesakku dan aku tau itu benar. Tidak ada banyak waktu lagi. Kami berpacu dengan waktu. Bentar-bentar lagi Dea bisa mendapat Hipothermia.

“Bener, yaa… Nanti jelasin sama Dea nanti, yaa?” aku bangkit dari memeluk tubuh dinginnya. Aseng junior sudah ngaceng aja. Entah karena bersentuhan dengan kulit terbuka Dea ato karena kedinginan ia berusaha menghangatkan diri ato malah ia tau ada mangsa baru setelah tadi baru sekali beraksi. Kaki-kaki kaku Dea kulebarkan. Pahanya yang awalnya putih kini pucat membiru hampir seperti mayat yang sudah dingin. Kuraba bagian vaginanya, jembut lebatnya berubah kasar seperti ada kristal es yang terbentuk di permukaannya.

“Dingin kali, Farah… Cairan vaginanya yang tadi jadi kristal es…” cetusku memberitau sepupunya yang terus mengawasi. Farah mempreteli bra yang masih dipakai Dea hingga binor itu total telanjang bulat di hadapan kami. Farah mencoba menyentuh kemaluan sepupunya itu.

“Iya, bang… Apa ini racun lagi?” tanyanya lalu meludahi jari-jari tangannya lalu membalurkannya ke vagina Dea. Kemudian digosok-gosoknya kemaluan perempuan yang sedang tak sadarkan diri itu.

“Awak gak tau… Gak ada kondom lagi, ya?” pastiku karena kondom terakhir milik Farah tadi-pun mungkin sudah expired. “Nanti hamil pulak dia kubikin…” aku mengocok Aseng junior pelan-pelan agar ia tegak maksimal, memudahkanku mempenetrasinya nanti. Mudah-mudahan ini bukan kerjaan racun lagi.

“Gak usah mikirin itu dulu, bang… Ewe aja dulu… Kalo hamil, ya udah aja sekalian… Ini udah basah… Abang udah bisa masuk… Cobain dulu…” sanggah Farah agar aku gak ragu-ragu. Gimana aku gak ragu, ini semua tanpa persetujuan Dea. Lain cerita dengan Farah tadi karena semua atas persetujuan dan kemauannya sendiri. Farah malah meremas-remas payudara Dea seperti yang ia lakukan saat memecah racun setan cicak tadi. Tapi cara itu dapat menghangatkan tubuh Dea juga. Ia menguleni lemak kenyal di dada Dea dengan penuh perasaan, seperti ia sedang meremas payudaranya sendiri.

Kutempelkan kepala Aseng junior di bukaan vagina Dea yang lembab bekas dirangsang Farah tadi. Masih dingin tapi tak bisa menolak benda tumpulku ini dari memasuki dirinya. Tak ada kehangatan sama sekali di dalam liang kawin yang lumayan sempit itu hingga bisa disamakan dengan sedang ngentoti debog pisang. Seret sudah pasti karena ia sama sekali tidak terangsang. Aku khawatir gesekan yang terjadi akan melukai kami berdua dan untuk itu aku melakukannya benar-benar perlahan dan telaten. Ekstra telaten. Tiap senti merangsek masuk seperti gesekan antara dua bahan tekstil yang bertekstur berbeda yang hendak digabungkan menjadi satu busana yang padan. Itu akan sangat sulit.

“Seret kali ini… Takut lecet…” lirihku pasti dengan muka yang pasti jelek kali. Aku minta pertimbangan pada Farah.

“Keluarin dulu…” buru-buru Farah mendorong tubuhku. Ia langsung menunduk dan mengulum Aseng junior tanpa aba-aba… Ia membalurkan sedemikian banyak liurnya pada batang kemaluanku hingga terasa becek sekali menetes-netes. Sentuhan akhir ia meludahi tangannya dan membasahi vagina Dea dengan menjejalkan tangannya. “Coba lagi…”

Tak ada nafsu sama sekali saat ini. Yang ada hanya ketegangan aneh untuk menyelamatkan Dea dari suhu tubuh abnormalnya ini. Dan kimaknya lagi Aseng junior-ku bisa ngaceng dengan keras. Hanya ini yang membuatku percaya diri saat sekarang kutusukkan lagi kemaluanku ke liang kawin Dea yang lumayan basah oleh ludah Farah. Aseng junior-ku membawakan kehangatan pada liang kawin Dea bak membawa ransum pengobatan untuk memanaskan tubuhnya. Farah memeluk tubuh Dea dengan menggesek-gesekkan payudaranya ke dada sepupunya itu.

Di mata orang yang tak faham sikon-nya, pasti ini sudah dicap sebagai threesome FFM. Memang sejatinya ini FFM. Tetapi threesome yang tak lazim karena tujuannya adalah untuk memberi kehangatan pada tubuh Dea yang dingin secara tidak wajar. Seperti sedang menyetubuhi mayat, aku menggenjotkan Aseng junior ke vagina Dea yang diam membeku. Farah meniup-niupkan udara panas dari mulutnya ke leher dan telinga Dea. Ia juga meremas-remas lengan sepupunya itu sambil berbisik memanggil-manggilnya dengan sabar dan tanpa jemu. Sesekali ia berpaling padaku untuk melihat progres usahaku menghangatkan tubuh Dea dengan cara menyetubuhinya. Aku menggeleng tak yakin karena gerakanku masih terbatas.

Aku hanya bisa bergerak pelan-pelan dan hati-hati. Ludah yang tadi dibalurkan Farah sudah mengering di dalam liang kawinnya. Farah lalu menyuruhku untuk melakukan body contact lagi yang artinya aku rapat memeluk dan menyetubuhinya. Kuturuti maunya. Pelan-pelan saja aku memompakan Aseng junior di liang dingin ini. Rasanya sangat aneh tapi kuabaikan. Selagi Aseng junior masih bisa ngaceng, aku harus terus berjuang.

“Deaa… Deaa bangun, Deaa…” panggil Farah dan menggosok-gosok telapak tangannya yang dingin. Aku improvisasi dan mengulum bibirnya yang mengatup dingin. Lidahku berusaha menyeruak masuk ditingkahi dengan jilatan-jilatan membasahi bibirnya. Tanganku sesekali meremas payudaranya yang ukurannya mungkin sedikit lebih kecil dari milik Farah. Tetapi tetap kenyal walo dingin bak mayat.

“Ada gerakan, bang… Ia menggerakkan tangannya…” seru Farah senang. Ia menghapus titik air mata di sudut matanya yang lembab. Ia sedang menggenggam tangan Dea.

“Iya… Awak juga merasakannya… Ada gerenyam dikit…” setujuku. Ada gerakan kontraksi di liang kawinnya. Aku makin semangat menggenjotkan Aseng junior untuk mengentoti binor ini. Gerakan lembut keluar masuk kulakukan dan aku sudah merasakan kelembaban di dalam liang kawin Dea. Aku semakin merapatkan dekapanku. Kepalaku kubenamkan di lehernya untuk menghembuskan nafas hangat. Pucat kulitnya mulai meremang kemerahan kembali ke warna aslinya yang putih segar.

Persetubuhan aneh ini mulai mendapat bentuknya bagiku pribadi karena mulai terasa enak dan nikmatnya gesekan kelamin kami seperti seharusnya sebuah senggama yang kutau. Rasa nikmat akibat gesekan kelamin, sentuhan kepala penis yang menerobos liang sempit terjepit, licin menggelitik liang vagina yang mencengkram lawan mainnya. “Abi… Mmm… Abi…” Dea mulai meracau.

Farah menggantikanku memeluk tubuh Dea yang mulai menghangat. Saat kupegang kedua pahanya, juga sudah menghangat. Giliran Farah kini yang merangsang tubuh bagian atas Dea untuk mengembalikannya ke suhu normal amannya. Ia memeluk, mengadu payudara mereka berdua dan mengelus-elus rambut Dea. Menunggu sampai perempuan itu siuman dengan sempurna. Aku tidak berhenti menggenjotnya pelan-pelan. Tetapi liang kawinnya sudah basah terlubrikasi dengan sempurna dan panasnya sudah pas. Bahkan ada suara berkecipak yang sangat seksi sekali.

“Mm… Farah?” aku mendengar gumamannya pertanda ia sudah sepenuhnya sadar dan mengenali wajah sepupunya yang ada tepat di hadapannya. “Hssshhtt… ahh… Kok enak? Kita lagi ngapain?” tanyanya linglung. “Farji (vagina)-ku kenapa terasa enak?”

“Ssstt… Tidak apa-apa… Masih terasa dingin tidak?” tanya Farah menghalangi pandangan Dea akan aku yang ada di belakangnya. Kabut-kabut keadaan abnormal dirinya barusan masih membuatnya bingung. Aku yang jadi bingung sendiri jadinya. Ini mau gimana kelanjutannya? Dilanjutkan sampe aku nembak ato apa? Kalo berhenti sekarang, kentang kali rasanya.

“Aaauuhhh… Enak farji-ku, Farah… Sedikit dingin… Tapi enaaak… Farji-ku dimasuki burung yang besaaar…ah… Ini mimpi?” erangnya malah berusaha mengkedut-kedutkan liang kawinnya yang lumayan sempit. Ia malah beranggapan ini mimpi. Aku harus cepat-cepat menyelesaikan ini. Kugenjot semakin cepat tubuh Dea.

“Yaa… Ini mimpi, Dea… Liat… Aku cium kamu, ya… Muahh…” seperti adegan lesbi, keduanya lalu berciuman dengan bayang-bayang mimpi bagi Dea. Entah apa yang sedang dipikirkan Farah hingga mau melakukan ini semua. Apakah ia terbawa suasana? Menyaksikan adegan itu, membuatku semakin bersemangat. Melihat keduanya saling pagut, saling remas dan saling rangsang.

“Akhh…” aku berhenti bergerak dan membiarkan semua muatanku meluncur masuk ke dalam liang kawinnya. Berkedut-kedut pompaan spermaku memasuki rahim Dea. Mampos! Cepat-cepat aku mencabut Aseng junior dari sana. Walo masih ada rasa nikmat yang tersisa tapi aku merutuki kebodohanku sendiri. Aku kebawa suasana yang diciptakan Farah dan Dea. Terlihat lelehan sperma kental putih keluar menetes dari bukaan vagina Dea. Kedua binor itu masih terus melakukan kegiatan lesbi-lesbian mereka.

“Farji-ku enak sekali, Farah… Seperti ada yang telah membuahiku… Ahh… Ah…” matanya nanar memandang sekitarnya setelah tubuhnya abis berkejat pelan barusan dan sialnya ia menangkap kelebatan diriku yang berusaha menjauh. “Dia? Itu orang yang tadi, kan? Bang Aseng…” sial! Dia sudah sadar dan mengenaliku kembali.

“Dea-Dea… Dengar… Barusan Dea diserang Burong Tujoh itu lagi… Badanmu dingin sekali kaya es… Seluruh tubuhmu kaku dan membiru karena Burong Tujoh itu… Tapi sempat terasa dingin, kan?” kata Farah mencoba mengalihkan perhatiannya untuk memberiku waktu untuk menyelamatkan diri. Memakai pakaianku kembali adalah yang utama.

“Burong Tujoh?” ia lalu terdiam mengingat semuanya. “Kita melihat bayangan hantu-hantu itu di sana…” ia menunjuk dinding dimana bayangan ketujuh hantu itu memantul saat berkomunikasi denganku. “Kau juga melihatnya kan, Farah? Mereka sangat menakutkan…”

“Ya… aku melihatnya…”

“Maafkan aku…” aku tiba-tiba hadir di antara mereka. Dea kelabakan menutupi seluruh tubuhnya yang telanjang walo sebagian dihimpit Farah. Sementara Farah tenang-tenang aja. Farah berusaha menenangkannya dengan membisikkan sesuatu. Beneran aku mau minta maaf.

——————————————————————–
“Jadi begitu, Dea… Sekali lagi awak mau minta maaf yang sebesar-besarnya… Awak sangat khilaf…” aku menyampaikan permintaan maafku karena sudah lancang menyetubuhi dan melakukan cream-pie pada kemaluannya. Aku sudah ngecrot di liang kawinnya. Aku tidak menyalahkan adegan lesbi Farah dan Dea yang membuatku lepas kendali. Tujuan awalnya hanya menghangatkan—memanaskan suhu tubuh Dea yang turun drastis kembali ke taraf aman. Aku kebablasan dan melakukan cream-pie. Harusnya kalo mau tuntas, aku bisa mencabut dan ejakulasi di target lain.

Dea menatapku dan Farah bergantian dengan pandangan yang masih bingung. Sementara Farah melirikku penuh arti seolah mau mengatakan ‘Tadi harusnya ngecrot ke aku aja, bang. Lumayan nambah kesempatan hamil.’ Benar juga. Tadi Farah kan udah nungging-nungging gitu saat bercumbu dengan Dea. Kenapa gak kepikiran, ya?

“Benar itu, Dea… Farah kok tadi yang ngusulkan cara ini… Ini salah Farah juga sih… Tapi tadi itu itungannya darurat… Emergency, Dea… Tubuhmu dingin banget kaya es… Kami bingung harus bagaimana… AC central kamar ini gak bisa disetel ke panas lagi… Jadi cuma cara ini yang tersedia…” Farah menambahkan pembelaanku. Kami bertiga sudah memakai pakaian lagi. Agak gimana gitu rasanya kalo ngobrol sambil telanjang-telanjangan. Naek pulak nanti si Aseng junior-ku lagi.

“Makasih… untuk kalian berdua…” loh? Malah berterimakasih si Dea-nya. “Sebenarnya aku udah sangat putus asa dengan keadaanku ini… Dikit-dikit kesurupan… Bentar-bentar kemasukan setan… Udah gak terhitung lagi kami mendatangi orang pintar… tengku dan dukun untuk mengusir Burong Tujoh ini dari badanku… Berbagai doa-doa dan ritual sudah kulakukan… tapi tak ada satupun yang benar-benar bisa membuat hantu-hantu ini pergi…” ia memandang kami berdua bergantian. “Apakah yang tadi kulihat… ketujuh hantu itu benar-benar sudah pergi?” tanyanya dengan nada harapan. Bahkan Farah juga beralih padaku.

“Sepertinya tidak… Setan-setan berjuluk Burong Tujoh itu hanya pergi sementara aja… Sayangnya begitu… Mereka mahluk licik yang pendendam dan penuh dengan tipu daya… Dea… Sekali awak minta maaf atas kelancangan awak tadi… Awak udah menyetubuhi Dea dan… nembak—ejakulasi di dalam kemaluan Dea… Ada kemungkinan nanti Dea bakalan hamil… karena entah kenapa awak ini sangat-sangat subur kali…” aku menyatukan tanganku meminta maaf untuk yang keberapa kalinya.

“Hamil?” ulangnya dengan mimik wajah kaget yang dengan cepat berubah menjadi gembira. “Bang Aseng bilang Dea bisa hamil karena bang Aseng?” sergahnya agak maju dari posisi duduknya. Benar aja dia bahkan berdiri mendekat. “Dea beneran bisa hamil, bang?”

“Aaa… Itu kemungkinan, Dea… Apa Dea ada kesulitan untuk hamil?” tanyaku agak jengah juga didesak demikian rupa oleh binor yang sudah kusetubuhi dengan cara yang gak wajar ini. Kalo benar memang binor ini ada kendala medis yang tak memungkinkannya hamil, sesubur apapun aku jadi gak ada artinya.

“Dari dua pernikahannya… Dea belum bisa hamil, bang…” Farah menambahkan ini. Dea mengangguk membenarkan.

“… dan dukun-dukun itu membenarkan kecurigaan kalian kalo suami pertamamu itu yang sudah mengirim Burong Tujoh ini karena sakit hati… Begitu?” tebakku akan jalan cerita kisah hidup tragis Dea. Dea mengangguk lagi dengan yakin. “Tapi dari dia, maksud awak dari suami pertamamu itu-pun Dea gak bisa hamil juga, kan?” sepertinya ada kasus salah tuduh nih. Su’udzon.

Wajah Dea seperti mengatakan, ‘Iya-ya. Dari awal pernikahanku, aku juga gak kunjung hamil…’

“Sejak kapan Dea mulai kesurupan Burong Tujoh ini?” untuk memperkuat argumenku.

“Mulai dari Dea kuliah, bang Aseng… Tapi waktu itu bukan Burong Tujoh… Hanya kuntilanak aja…” jawabnya.

“Ya… Itu maksud awak… Diantara tujuh hantu Burong Tujoh itu tadi ada kuntilanak-nya juga… Dia pasti yang membawa teman-temannya keroyokan memasuki Dea…” kataku. Kuntilanak yang kumaksud adalah satu suara setan perempuan yang sempat berkomunikasi denganku tadi saling tegang urat leher.

“Jadi gara-gara itu? Gara-gara hipnotis itu?” lamunnya ngomong sendiri.

“Hipnotis apa?” potong Farah. “Dea pernah dihipnotis?” wajahnya berubah khawatir lagi. Apa ada aksi kriminalitas yang sempat menimpa Dea di masa lalu? Sering kejadian para pelaku tindak kejahatan dengan modus operandi menghipnotis korban-korbannya untuk menguasai hartanya. Setelah dikuras hartanya, ia melenggang pergi.

“Pernah Farah… Waktu kuliah dulu di *** (salah satu Universitas Negri di Medan)… Ada seorang teman yang mencoba mempraktekkan kepandaiannya menghipnotis… Dia menghipnotis Dea… di depan teman-teman lainnya…” Dea menceritakan kisah masa lalunya. Setelah proses hipnotis yang tujuan awalnya hanya untuk lucu-lucuan seperti yang ada di TV ternyata ada hal lain yang terjadi bahkan setelah hipnotis itu dinetralkan ato dikembalikan seperti sedia kala. Sang penghipnotis ini ternyata punya maksud lain padanya. Ia menurut saja ketika dibawa ke kamar kos pria itu dan melakukan hubungan suami istri tanpa bisa ia tolak. Dea yang gadis baik-baik tak perawan lagi. Teman kuliah bejat ini ternyata juga sering melakukan hal ini pada gadis-gadis pilihannya yang lain. Selama beberapa hari Dea menjadi budak seks pria itu dan pikiran Dea selalu kosong selama itu. Selama pikiran kosong, Dea merasa berada di alam lain. Selama beberapa hari Dea berkelana di alam asing itu dan telah mengalami berbagai pengalaman supranatural yang tidak bisa ia ingat dengan pasti karena tentu saja bingung. Dea kembali ke pikiran warasnya setelah beberapa hari kemudian dan dimulailah rangkaian kesurupan itu. Kesurupannya masih dalam taraf ringan.

Dea yang tak lagi perawan tentu saja bingung saat pernikahannya beberapa tahun kemudian. Kapan ia melakukan hubungan seks yang tak pernah diingatnya. Sang suami yang kebetulan banyak ulah menjadikan hal ini alasan baginya untuk bertingkah. Tak pantas rasanya menceritakan ulah suami pertama Dea ini karena bahkan Farah sendiri sebagai sepupunya geram kalo mengingat hal tersebut. Singkat cerita mereka bercerai dan dimulailah babak baru kesurupan Dea dengan label yang menyeramkan; Burong Tujoh. Keluarga Dea menuduh mantan suaminya yang mengirim Burong Tujoh ini.

Burong Tujoh dalam urban legend masyarakat Aceh menempati hikayat seram tertinggi. Biasanya menyerang anak-anak dan perempuan. Jumlahnya selalunya tujuh hantu seperti yang menyerang Dea ini. Korban-korbannya sering menderita sakit dan ada juga yang sampe menuju kematian. Pengobatannya dilakukan oleh dukun-dukun tradisional dengan doa dan obat-obatan tertentu. Dea tentu saja sudah ikhtiar dengan semua metode pengobatan itu dan tak menemui titik terang. Dea mendapat dukungan baru dari suami keduanya.

“Jadi gini… Selama Dea dihipnotis itu… kuntilanak itu sudah mendiami tubuhmu, Dea… Ia selalu ada di tubuhmu… Itu bahayanya kalo maen hipnotis-hipnotisan ini… Karena yang dimainkan itu adalah bagian dari jiwa… Entah teknik apa yang dilakukan laki-laki borjong itu untuk menghipnotis Dea, kita anggap saja itu masa lalu… Nanti kita bahas mengenai dia… Kita fokus ke hantu-hantu ini dulu… Awak sedikit-sedikit paham cara pikir setan dan hantu ini… Cuma jin-nya mereka ini… Jin jahat tentunya karena ada juga jin yang baik… Tentu para jin ini alamnya berbeda dengan kita manusia… Nah para jin jahat ini mencari cara untuk mengganggu kita manusia dengan berbagai tujuan… Ada yang pengen eksis di dunia kita… Ada yang ingin dapat pengakuan di dunianya sebagai jin sakti… Ada juga yang cuma iseng… Macam-macam sifat mereka… kek kita juga, manusia…” terpekur kedua binor cantik ini mendengarkan penjelasanku.

“Mereka tentunya pintar dan banyak akalnya… Tentu mereka tau tentang ketakutan mayoritas suku Aceh tentang Burong Tujoh… Si kuntilanak pertama ini lalu mencari teman-teman jin jahat yang satu visi dengannya… Entah apa kesepakatan mereka bertujuh untuk kompak tetapi yang jelas mereka bersama-sama mendiami tubuhmu… Jadi awak gak terlalu perduli sebenarnya siapa yang sudah mengirim Burong Tujoh ini karena tanpa disuruhpun mereka sudah ada di tubuhmu, Dea… Jadi lebih baik tidak su’udzon (buruk sangka) dengan mantan suamimu itu… Fokus saja untuk kesembuhanmu…” tuntasku.

“Whoa… bang… Tadi katanya bang Aseng bukan dukun… Tapi omongan abang kok kek dukun beneran?”

“Kimak-la, Farah… Jangan panggil aku dukun-ah… Jijik kali aku dengarnya… Awak cuma buruh pabrik kok dibilang dukun… Ish…” tolakku.

“Jadi penyebab Dea susah mendapat keturunan ini juga karena hantu-hantu itu, bang?” tanya Dea pelan-pelan mengatur kalimatnya agar tak terlalu vulgar. “Karena Dea dan suami saat ini dalam program kehamilan dari klinik di Kuala Lumpur, bang… Akhir minggu ini Dea bakal ke sana untuk kelanjutan program itu… Jadi sia-sia, dong?” ingatnya.

“Bang Aseng bisa buatin jimat penangkalnya, gak? Supaya Burong Tujoh itu tidak mengganggu…” sambar Farah makin merasa terlibat dalam masalah sepupunya ini.

“Gak ada itu yang namanya jimat penangkal setan… Itu cuma omong kosong dukun aja untuk nyarik duit… Lagipula itu musyrik juga kan… pake jimat-jimat gitu… Awak aja gak punya jimat-jimat kek gitu…” kataku menunjukkan kedua tanganku, dibolak-balik. Biasanya dijadikan gelang, cincin ato kalung ato bentuk lainnya. “Masalah yang tadi Dea tanyak… soal susah dapat keturunan tadi… yaah… gitulah… Setan-setan ato jin itu sukak kali makan sperma laki-laki… Tiap ada sperma yang masuk ke badan Dea… rebutan itu pasti mereka kek dapat sembako gratis… Jadi cemana Dea bisa hamil kalo semua sperma suamimu dimakan mereka selama ini…”

“Tapi tadi barusan… punya abang gak dimakan mereka, kan? Walau mereka cuma pergi sementara aja…” sambar Farah dengan nada antusias.

“Kemungkinan besar iya… Dea gak punya masalah lain kan?” jawabku ditambah nanya lagi pada Dea.

“Seharusnya Dea sehat, bang… Makanya kami ikhtiar program kehamilan ini nyoba di luar negri aja… Ini juga dalam masa subur Dea seharusnya…” jawabnya lalu tiba-tiba menunduk teringat sesuatu. “Kalau begitu… Ada kemungkinan bang Aseng sudah membuahi sel telur Dea?”

“Trus kenapa kalo bang Aseng membuahi sel telurmu, Dea? Apa suamimu selama ini pernah berhasil? Harusnya kau bersyukur, Dea…” potong Farah. Ternyata selama ini Farah selalu menjadi pendukungku. Ia menjadi buzzer diriku agar tidak dimentahkan Dea setiap ia ragu. “Fahrul selama menikahimu… belum pernah sekalipun ia berhasil melakukannya… Ini kesempatan bagus untukmu hamil, Dea… Apalagi tadi siang sebelum Fahrul berangkat ke KL… pasti kalian berhubungan dulu, kan? Semua spermanya pasti sudah dimakan hantu-hantu itu…” benar juga argumen Farah. Aku gak sampe ingat ke situ.

“Walaupun bukan anak dari Fahrul?” ia kembali ragu. Nama suaminya Fahrul ternyata.

“Coba pikirkan… Metode yang digunakan klinik kesuburuan di Kuala Lumpur itu cuma memperbesar kesempatan kalian berdua untuk mendapatkan keturunan, kan? Tapi apa jaminannya? Dengan bang Aseng malah pasti hamil lagi?” Farah malah jadi ngotot segininya.

“Jangan gitu-ah, Farah… Malu kali awak jadinya… Ntah dah kek apa kali awak dibuatnya…” malu sendiri aku jadinya disanjung-sanjung sedemikian rupa oleh Farah tentang kualitasku dalam prospek menghamili binor. “Gini aja Dea… Sebagai permintaan maaf awak yang benar-benar tulus… awak akan nolongin Dea untuk mengusir semua Burong Tujoh itu… Soal hamil ato enggaknya Dea setelah khilaf awak tadi… kita serahkan saja pada takdir Tuhan… Cuma Dia yang berkuasa yang menentukan segalanya… Dea bisa melanjutkan program kehamilan itu dengan suamimu setelah Burong Tujoh ini kita singkirkan… Setuju…” aku memutuskan ini agar tidak memancing Farah ngomong macam-macam lebih jauh daripada perjanjian yang sudah kami sepakati. Kadang saat terlalu bersemangat, mulut bisa tergelincir dan membocorkan informasi penting. Dea tak kunjung menjawab.

Setelah itu aku bertatapan secara rahasia dengan Farah. Semoga ia tau apa yang kumaksud.

“Eh… Permisi dulu bentar… Ke toilet dulu…” Farah ternyata langsung paham sinyal-sinyal yang kukirimkan padanya bahwa aku ingin berdua untuk sementara waktu dengan Dea.

Dea kaget saat aku mengulurkan tanganku padanya mengajak bersalaman. “Apa ini, bang?”

“Ada perjanjian yang awak mau buat dengan Dea tentang usaha awak nolonginmu ini… Ada tiga pasal… Tiga-tiganya tidak memberatkan, kok… Tenang saja…” jawabku tetap mengulurkan tangan padanya. Disambutnya tanganku dan kami berjabat tangan.

“Yang pertama tentang hubungan kerja sama kita ini… Hubungan ini tujuan utamanya adalah mengusir semua Burong Tujoh dari tubuh Dea… Hubungan ini tidak akan berkembang menjadi sesuatu yang personal yang melibatkan perasaan atopun hati sama sekali… Hanya murni tolong menolong saja… Itu yang pertama…” kueratkan jabat tangan kami dengan sedikit meremas. Dea mengangguk perlahan masih menatapku agak malu.

“Yang kedua tentang kerahasiaan… Hanya kita berdua yang perlu tau tentang isi perjanjian ini… Tidak boleh memberitahu, membocorkan atopun membicarakan isi perjanjian ini atas dasar apapun… Cukup kita berdua saja yang tau rahasia ini… Bahkan tidak Farah sekalipun… Yang kedua…” kuremas pelan lagi tangannya yang dibalasnya dengan anggukan paham.

“Yang ketiga tentang masa depan… Bila khilaf awak tadi berbuah menjadi anak… dia adalah anak Dea dan suamimu… Dea tidak boleh menyangkutkannya dengan awak atas dasar apapun… Apalagi tujuan utama kerjasama ini adalah untuk mengusir semua Burong Tujoh itu dari tubuhmu… jadi segala macam cara akan awak upayakan untuk itu… Ini yang ketiga dan terakhir…” kuguncang jabat tangan kami disertai remasan juga. Dea mengangguk paham. “Setuju?”

“Setuju, bang…” jawabnya lebih mantap.

“Bagus…” kami berdua sama-sama tersenyum.

“Kenapa? Kenapa kalian berdua… kek lebih akrab gitu jadinya… Pada senyum-senyum…” tanya Farah yang baru saja keluar dari toilet sambil membereskan pakaiannya.

“Itu tadi… Dea hanya aja setuju apa yang ditawarkan bang Aseng tadi itu-loh… untuk ngusir semua Burong Tujoh itu tadi…” kata Dea soal tawaranku sebelumnya.

“Ooh… Itu? Bang Aseng benar-benar bisa mengusir hantu-hantu itu? Ada tujuh-loh jumlahnya… Banyak tuh…” Farah gak menyinggung sama sekali tentang hal lain karena ia sendiri punya perjanjian denganku untuk kehamilannya. “Bang Aseng dukun apa pendekar, sih jadinya? Kok bisa berantem-berantem gitu sama setan?” binor satu ini malah mepet-mepet duduknya denganku di sofa yang kududuki bareng Dea juga. Kerasa pinggul lebar padatnya mendesakku hingga aku harus bergeser.

“Bisa kelahi aja dikit-dikit, Farah… Gak jago sih… tapi bisalah…” jawabku merendah aja.

Farah

“Jadi sebelumnya kalian udah saling mengenal, ya? Di lift tadi kok pake pura-pura asing gitu?” tanya Dea. “Ketauan sama Dea ceritanya nih… Kepergok trus pura-pura gak kenal gituuu…” ia malah menggoda kami berdua. “Waktu Dea pingsan abis kesurupan trus ambil kesempatan, kan? Cie ciee…” godanya terus. Aura Dea sekarang sudah sangat berbeda. Ada semangat yang baru yang muncul di dalam dirinya saat ini. Semoga itu semangat yang akan terus dipertahankannya mengingat masalah demi masalah yang selalu merundungnya.

“Eleh… Dea juga udah dapat jatah, kan?” Farah balas mengolok-olok sepupunya itu. “Yuk, bang Aseng… Cabut dulu bentar…” tanpa ragu Farah menyelipkan tangannya di ketiakku, menggamit tanganku—menggandengku.

“Eh… Mau kemana?” kaget Dea kala melihat kami berdua berdiri hendak meninggalkannya. “Trus Dea ditinggalin disini sendirian? Farah tega-ihh…” ia berdiri juga. Mimik mukanya jadi lucu karena bingung harus bagaimana. Mau ngikut tapi takut hanya jadi pengganggu. Tetap di sini takut kesurupan sendirian.

“Aku ada buka kamar juga di sana… Sebenarnya Dea hanya ngalang-ngalangin kami… Tau, gak?” ia terus menarikku di gandengannya menuju pintu bermaksud keluar.

“Farah? Jangan kek gitu-la… Kasian Dea digara-garain terus… Nangis nanti dia-loh…” cegahku agak menahan seretan tubuh montoknya yang mengarahkanku keluar kamar. Kami berhenti di depan pintu. “Loh?” Dea malah ikut-ikutan memegang tanganku. Gak sampe digandeng, sih memang tapi dah kek si Poltak raja minyak kurasa jadinya aku dengan dua cewek cantik di kanan kiriku.

“Ikuut… Gak berani sendirian di sini…” katanya lucu dengan memajukan bibirnya dimanja-manjain. Farah melanjutkan niatnya, membuka pintu dan menarikku keluar dari kamar ini. Dea ikut terseret denganku dan terpaksa ikut juga keluar sepanjang lorong lantai hotel ini masih memegangi tanganku. Dah jadi raja minyak betulan jadinya aku dengan dua binor bahenol mendampingiku. Moga-moga gak ada tetangga penghuni kamar yang kepo ngintip dan mengabadikan momen ini. Bisa mati BK (plat kendaraan bermotor Sumatera Utara)-ku.

Momen sampe ke kamar yang sempat kusinggahi sebentar tadi terasa sangat lama karena kedua binor ini entah ngapain selama perjalanan menuju tempat ini melakukan perang urat syaraf. Gak mungkin mereka sedang memperebutkanku karena aku gak pantas diperebutkan. Tapi kejadiannya mirip seperti itu karena keduanya malah menggandeng tanganku jadinya dengan erat, hingga aku bisa merasakan kenyal payudara keduanya menekan lenganku yang mendadak kaku. Dea yang paling drastis perubahannya. Entah dari mana ia mendapat keberanian itu hingga ia menjadi agak binal. Apa meniru tingkah Farah?

Memasukkan kunci jadi terasa nyaman menyenangkan karena aku dengan leluasa bisa menyenggol-nyenggol payudara Dea yang menggandengku di sebelah kanan. Buru-buru aku masuk ke dalam dan memasukkan kedua binor itu juga ke dalamnya sekaligus agar tak menjadi masalah di belakang hari. Kututup pintu rapat-rapat. “Kok jadi gini sih, Farah—umph…” bersandar di pintu memepetku, binor si Hussein ini menyerang bibirku dengan ganas. Tangan kananku yang masih digandeng Dea, pelan-pelan dilepasnya karena kaget melihat kenekatan sepupunya itu.

Hanya bisa melotot yang bisa kutujukan pada Dea, minta tolong ato bertanya padanya tanpa kata ‘Ini sepupumu kok agresif kali? Tolongin napa?”. Aku menggapai-gapai pada Dea minta tolong diselamatkan.

“Farah gak cukup cuma sekali, bang Aseng… Lagi ya?” bisiknya lirih di sela serangan mulutnya yang ganas mencaplok mulutku. Disedot-sedotnya bibirku, lidahnya menjulur masuk dan menyapu mulut dan lidahku berdecap-decap. Tangannya meremas-remas batang kemaluanku yang menggeliat terangsang. “Ahhss… Mmm… Sudah keras…” tanpa permisi tangannya menyelinap masuk dengan lancar dan langsung menggenggam Aseng junior yang menggeliat bangun. Lidahnya terus bermain di mulutku. Aku hanya bisa memandang Dea yang berdiri kikuk tak jauh.

Dea bingung mau tetap di sini dan menyaksikan ini ato kembali ke kamarnya dan beresiko dalam bahaya sendirian. Ia menggigiti bibir bawahnya bingung harus apa.

Dea

“Faraahh… Ah…” erangku karena binor agresif ini menyingkap bajuku dan menggigit putingku tanpa peringatan. Apalagi jari-jari nakalnya meremas kembali bekas luka yang belum sembuh benar di dadaku. Lidahnya berganti-ganti menjilat dan mempermainkan dadaku dengan mata memperhatikan berbagai ekspresi yang tercetak di mukaku akibat prilakunya. Kadang aku hanya bisa menganga kala ia menggigit lalu menarik daging otot dadaku yang luka. Rasanya perih dan sedikit enak bercampur jadi satu dengan anehnya. Kadang aku hanya bisa nyengir kala lidahnya menjentik-jentik cepat putingku. Dengan gerakan cepat dan lancar ia meloloskan kaosku hingga lepas dari badanku. Dilemparkannya sembarangan entah kemana karena ia mendesakkan badannya yang berdada montok pada dadaku. Ia menggigiti leherku. “Jangan dicupang…”

Lidahnya melata berpindah ke telingaku dan tangannya lancar mempreteli celana yang kupakai hingga jatuh melorot. Gembungan celana dalamku akibat tonjolan Aseng junior pasti akan terlihat jelas oleh Dea yang menunduk tak percaya apa yang telah dilakukan Farah. Dengan bantuan kaki, ia menekan celanaku yang masih berada di dekat lututku hingga mencapai mata kaki. Aku hanya memakai celana dalam saat ini. Malu rasanya ditonton perempuan lain yang tak terlibat dalam paduan nafsu yang digagas Farah ini.

Dea sepertinya sudah menetapkan hatinya untuk menjauh dari kami ketika jari-jari tangan Farah menelusup melewati karet waist-band sempakku untuk melepas busana terakhirku. Tapi tangannya disergap, dicegah untuk pergi. Ia ditarik sepupunya mendekat dengan sedikit paksaan tenaga hingga terbetot merapat. Matanya terbelalak takala Farah beralih menyerang mulutnya. Binor si Hussein ini memperlakukan bibir Dea sebagaimana aku tadi, tak berkurang ganas. Kedua tangannya merangkul tubuhku dan tubuh Dea sekaligus hingga kami berpelukan rapat.

“Uhhgg…” desah Dea yang bibirnya disedot-sedot Farah dengan ganasnya. Tak dinyana, dibelakang sana ia meremas punggungku. Tangannya melata menggerayangi kulit punggungku. “Ahh… Farah…” tangan Farah yang memerangkap kami berdua dipelukannya tak membuatnya kehilangan akal untuk merangsang Dea lebih jauh. Ia menggesek-gesekkan payudaranya sendiri pada payudara Dea. Suasana begini tak pelak lagi membuat kami bertiga menjadi panas. Sebagai sesama tiga manusia dewasa yang aktif secara seksual, tak bisa dipungkiri lagi kalo kami semua sudah terangsang.

“Umm… Dea… Enak? Tadi kau udah ngerasain ini sebenarnya… Hanya saja kau tidak begitu sadar tadi… Kita ulangi lagi, ya?” Farah berusaha mempengaruhi Dea terus menerus untuk menikmati apa saja yang sedang terjadi di sini. Tak menahan-nahan. Farah tak perlu menahan tubuh Dea lagi karena ia kini meremas-remas dada sepupunya itu dengan gemas selagi mulut keduanya bertaut erat. Dea juga membalas ciumannya. Aku hanya bisa menyaksikan kejadian itu dari jarak yang sangat dekat. Bagaimana lidah-lidah basah itu saling bertaut. “Uhhmm… Bibirmu manis, Dea…”

“Bibirmu juga enak, Farah…” bergantian mereka memegang kendali arah pergumulan mulut. Saling kulum bibir, saling sapu lidah, saling sedot. “Bang Aseng nganggur?” liriknya padaku yang masih menikmati tontonan menarik ini. Farah tak sepenuhnya membiarkan tubuhku menganggur karena menekan-nekankan pinggulnya padaku hingga bagian itu menyentuh gembungan Aseng junior-ku yang menekan keras, tertekan di dalam sempak. Farah lalu meraih tanganku dan memberinya pekerjaan, meremas dadanya. Kenyal daging empuknya serasa sangat lembut lumer di tanganku.

“Giliran bang Aseng sekarang, Dea…” ia mengarahkan pipi Dea ke arahku. Dea yang sudah dalam masa terangsang begini tanpa pikir panjang mencaplok mulutku dan langsung mempermainkannya. Bibir atas dan bawahku dipermainkannya bergantian. Disedot dan dikulumnya. Lidahnya juga leluasa masuk ke rongga mulutku dan mencari, membelit lidahku. Desahannya terdengar sangat seksi. Satu tanganku berpindah ke payudaranya hingga kedua binor ini kuremas-remas sekaligus.

“Ahh… Umm…” Dea menjadi sangat liar dengan membuka kancing pakaian yang dikenakannya. Ia sudah sangat hanyut dalam permainan ini hingga nekat membukanya di depan mataku, memamerkan tubuhnya yang sebelumnya malu-malu terlihat. Dengan cepat pakaian dan bra-nya lepas membuatnya bertelanjang dada. Apa yang dilakukan Farah? Binor keturunan Arab itu merosot turun dan kini berjongkok di bawah kami. Ia sedang membelai-belai tonjolan Aseng junior yang sudah terasa sakit tertekan di dalam sangkarnya yang sempit.

Payudara Dea rapat tergencet padaku saat kami berciuman lagi. Dada kami yang sama-sama telanjang saling himpit. Tubuhnya terasa hangat normal kebalikan dari apa yang sudah dideritanya beberapa waktu lalu. Panas kepanasan dan dingin menggigit tulang. Di sela saling pagut, kuremas payudaranya dan kupilin putingnya yang sudah menegang keras. Di bawah sana, Farah sudah berhadapan langsung dengan Aseng junior yang menantang wajahnya. Dengan enteng ia menelan bagian kepalanya dan mengenyotnya dengan sedotan kuat. Bagian pelerku dipijatnya dengan lembut memberi rasa geli yang nyaman. Selagi memainkan Aseng junior, sadar kalo Dea sudah bertelanjang dada—ia juga melakukan hal yang sama.

Sambil menggelomoh Aseng junior, ia melepaskan crop top lalu bra miliknya. Dengan menungging-nungging ia kemudian membuka celana panjangnya hingga ia bertelanjang bulat dengan berani, masih bergumul bersandar di pintu hotel. “Aahhss… Humm… Shhlkk…” ia mengerang-ngerang sendiri merangsang tubuhnya dengan meraba-raba dada dan pahanya. Ia juga meremas-remas bokong Dea yang ada di dekatnya. Ditarik-tariknya pakaian yang masih menempel di tubuh saudaranya itu.

“Farahh… Jangann… Uuhh…” cegah Dea menahan celana panjang yang dikenakannya agar tidak melorot ditarik paksa Farah. Sebelah bokong putihnya sudah terekspos sinar lampu kamar hingga berkilauan. Farah yang kesetanan menikmati Aseng junior-ku di mulutnya menggaruk apapun yang bisa dijangkaunya. Mulutnya mengerang karena sebelah payudaranya mendarat telak di dalam mulutku. Putingnya menjadi bulan-bulanan sedotan mulutku. Lidahku bergetar-getar cepat menggelitikinya. Tanganku juga ikut bermain, menyeimbangkan apa yang sedang dilakukan mulutku. Pilin-pilin dan sentil ditingkahi remasan, memperparah bobolnya pertahanan Dea.

Rela-tak rela ia menyerah pada garukan tangan Farah yang berhasil melepaskan celana panjang jenis legging yang dikenakannya beserta celana dalamnya sekaligus. Farah mengocok Aseng junior-ku dan meremas-remas sebelah bokong Dea yang tebal dan kenyal. “Aahh… Uuhmm… Dea…” ia menekan dan mendesakkan tubuh montok sepupunya itu lebih merapat padaku. Dipermainkannya Aseng junior dengan menggesek-gesek pada permukaan lebat penuh jembut kemaluan Dea. Tentu saja binor ini menggelinjang kegelian bibir kemaluannya ditoel-toel sebatang kontol begitu.

“Faaraahh… Uhhh… Nakal ya, kamu… Aaahh… Geelii…” desahnya mulai binal saat terasa kepala Aseng junior terselip dan menggelitik bagian kacang itilnya yang terasa mengeras. “Faaraahh!! Aahh… Baang… Farah nakal bangeeet… Uuhhh…” Farah mengadu tubuh kami berdua seperti boneka aja layaknya. Dibentur-benturkan tubuh kami berdua, melaga kelamin kami yang berdenyut minta pelampiasan. Sekali waktu ia mengulum Aseng junior, melumurinya dengan sejumlah ludah lalu menggesekkannya lagi ke belahan vagina Dea. Binor yang payudaranya sedang kunikmati ini semakin gila blingsatan. Kakinya mulai naik terangkat memberi akses lebih, lalu mengait pasrah.

Aku beralih mencumbu mulutnya lagi selagi kakinya yang terangkat, mengait di pinggangku kupegang erat kala kucoba mengarahkan Aseng junior memasukinya. Dea pasrah saja dan mengerang mendesah keenakan. Terima apapun yang kini menimpanya. Ia tak dapat menolak apapun yang kini tengah terjadi di kamar yang diinisiasi sepupunya sendiri.

“Ahh yaaa…” erangnya kala liang kawinnya yang sudah becek berkat dirangsang aku dan Farah terus menerus kusumpal dengan keras mengacung Aseng junior. Astaga… Betapa sempitnya liang kawin binor Aceh satu ini. Berdenyut-denyut memijit. “Bang… Baangg… Ahh…” ia memeluk tubuhku erat-erat kala kulesakkan Aseng junior dalam-dalam di posisi berdiri begini. Kutekan erat tubuhnya hingga tubuh kami erat bersatu secara harafiah berkat unifikasi kelamin. Bergetar-getar tubuhnya padahal hanya coblosan awal. Kakinya terasa lemas hingga aku menambah topangan memegangi bagian bokongnya.

Tak tau apa-apa ia saat tubuhnya kudorong ke arah ranjang. Farah mengekori kami dengan girang. Ia bertepuk tangan melihat keberhasilannya telah menjerumuskan sepupu cantiknya ke dalam pelukanku. Kurebahkan tubuh lemasnya di atas ranjang sementara aku berdiri di tepi, masih di lantai. Kaki indahnya menjuntai pasrah mengangkang akibat tekanan tubuhku yang membelahnya.

Kusibak jembut lebatnya untuk melihat indah pemandangan momen bercokolnya Aseng junior dalam liang kawinnya. Bibir kemaluannya tergencet tersibak kesamping memberi jalan batang kerasku menembusnya. Nanar matanya menatap langit-langit kamar yang terang. Pandangan matanya menangkap wajahku dan Farah yang tersenyum lebar. Farah duduk di sampingnya dengan meremas-remas nakal payudaranya. “Aahhh… Farahhh… Naaakal… Iiihh… Ahh… ah ah ah ah…” erangnya karena aku mulai menggenjot tubuhnya pelan-pelan. Ia mengerang tiap sodokan pendekku.

Luar biasa liang kawin Dea saat normal begini, tak bisa dibandingkan saat tak sadarkan diri waktu membeku tadi. Ini sangat jauh berbeda. Berdenyut-denyut enak memijit secara ritmis batang Aseng junior memberi sensasi yang sangat memabukkan. Ia melakukan ini secara tak sadar karena detak jantungnya yang bertalu-talu, memberi sentuhan tambahan di nadi yang ada di sekitar lingkar kemaluannya. “Ah ah ah ah ah ah…”

Visual menyetubuhi seorang binor bernama Dea ini sangat indah. Ia bereaksi tiap sodokan yang kulakukan. Kepalanya menggeleng kanan kiri. Wajahnya ekspresif menampakkan jujur apa yang dirasakannya. Suara erangannya desah mendayu-dayu merayu. Payudaranya berguncang-guncang naik turun berputar. Lemak tubuhnya bergetar-getar lembut tiap hentakanku. Liang kawinnya mencengkram menggigit memijit. “Ah ah ah ah ah ah…”

“Ayo, bang… Ewein trus Dea, bang… Yaahh… Mmm… Yaahh…” Farah menambah panas suasana persenggamaan yang digagasnya ini. Sesekali ia menjamah tubuh Dea ato meremas payudaranya. Dea memejamkan matanya menikmati tiap sodokan yang kulakukan dan liang kawinnya bertambah basah pertanda ia semakin terangsang. Bentar-bentar lagi pasti akan orgasme dari tanda tubuhnya yang makin gelisah. Padahal belum sampe lima menit dirinya kugenjot.

“Jyaahh…” benar saja, perutnya sedikit terangkat. Aseng junior digenggam kencang di dalam liang kawinnya. Berkejat-kejat tubuhnya seperti kembali sedang kesurupan hantu Burong Tujoh itu. Dipijat-pijat ritmis batang Aseng junior dan kalo tak kukendalikan diriku dengan teknik pernafasan, pasti aku akan mengekor orgasmenya dengan ejakulasi sangking nikmatnya.

Kuelus-elus permukaan kemaluannya yang ditumbuhi jembut lebat saat Farah turun dari ranjang dan memelukku dari belakang—memberiku rasa nyaman untuk rela melepas binor yang baru saja orgasme ini. Farah melepaskan silaturahmi kelamin kami, ia membantuku mencabutkannya. Ada untaian benang cairan tipis yang menghubungkan aku dan Dea yang akhirnya putus di hentakan tangan Farah yang meratakan cairan lengket pelumas Dea. Akibat orgasme barusan, Dea kembali mematangkan sel telurnya, siap untuk dibuahi di masa suburnya ini. “Giliranku ya, bang…”

Buru-buru Farah membaringkan dirinya tepat disamping Dea yang masih terkulai lemas dengan kaki terbuka lebar dan vagina menganga becek. Masih ada kedutan di liang kemaluannya. Nafasnya masih ngos-ngosan menyebabkan dadanya naik turun menggemaskan. Farah melebarkan kakinya terbentang, membasahi jarinya dengan ludah dan membalurkannya lalu menggesek-gesekannya di belahan kemaluannya sendiri.

Yang tertangkap di netraku malah rambut-rambut lebat pendek yang tumbuh di pinggiran bibir kemaluan Farah. Rimbun menjelajah jauh bahkan sampai mengitari sekitar anusnya. Lebat kalipun jembut binor Arab satu ini, kalah aku aku dibikinnya, bah. Farah mendesah-desah tak sabar untuk segera dicoblos, menantiku yang sedang mengatur nafas yang dikamuflasekan dengan mengocok pelan Aseng junior. “Hhhssss… baaangghh… Uhh… Cepetan, bang…” ujarnya binal menggeol-geolkan pantatnya gak sabar.

Kugesekkan bagian kepala ke kacang itilnya untuk meratakan cairan pelumas yang berguna untuk melancarkan perjalanan masuk Aseng junior bentar lagi. Targetku sudah terlihat jelas, liang kawin Farah sudah sedikit menganga akibat bentangan kakinya yang lebar terbuka. Kucelup-celupkan untuk mencoba kesiapan liang itu. Terasa hangat dan basah lagi mengatup saat ujung kepala Aseng junior terbenam. Rasa geli enak yang sangat familiar. “Uuhhh… Aahh… Yaaahhh… Itu diaaa… Ahh…” desah Farah merasakan lesakan Aseng junior yang tergelincir masuk menelusup dalam di kepitan hangat liang kawinnya yang sudah sering dikawinin pentol Arab. Aku beruntung masih sanggup memuaskannya dengan ukuran standar kejantanan Indonesia-ku ini.

“Ahh… ahh… ahh… ahh…” desahnya kala masih perlahan saja kuayunkan pantatku memompa liang kawinnya. Garukan ujung kepala Aseng junior cukup lumayan terasa di dalam lorong liang kawinnya. Farah lumayan menggelinjang merasakan gatal-gatal geli di dalam liang kawinnya yang haus akan kejantanan ini kugaruk dengan Aseng junior yang mulai meningkatkan intensitas sodokannya. RPM mulai meningkat. Sodokan mulai bertambah cepat dan ditambah dengan variasi sudut tusukan yang mengambil sisi kiri tubuhnya.

Berkat teknik tambahan ini, garukan Aseng junior semakin bertambah kerasa sebagai kompensasi panjang dan diameter kejantananku yang kurang dari yang biasa menyapanya. Luas cakupanku bertambah dan itu membuat Farah menjadi menggelinjang menggila. Keedanan akan rasa nikmat yang menyodok-nyodok isi liang kawinnya. Dea yang ada di sampingnya tersadar akan gelisah gerakan sepupunya yang mendapat giliran setelahnya. Ia memandangi ekspresi mesum yang tampak di wajah peranakan Arab sepupunya itu dengan rasa takjub. Jeritan dan erangan lepas perempuan itu sungguh menggugah selera. Selera untuk terus mengentotinya—mengewe dirinya, meminjam istilah Farah.

“Bang Aseeenghhh… Ahh… Auuhh… Mmmbb… Yaahh… Itu-itu… Ahh…” Farah makin menggila. Tubuhnya berguling ke kanan kiri secara liar. Pinggulnya harus kupegangi agar liang kawin nikmatnya tidak kemana-mana, masih kupake ini. “Deaa… Enaak, Deaa…. Ahhh… Banghh Aseeengg… Uuhh…” ia mengerang tak jelas siapa yang diajaknya bicara karena ia hanya sedang menikmati ekstase yang mendera tubuhnya. Dea iseng merangsangnya, membalas dengan menjawil-jawil payudaranya yang berguncang-guncang awalnya. Lalu berlanjut pada remasan.

“”Enak tadi, Dea?” sapaku disela-sela genjotan gencarku pada liang kawin Farah. Aku memeluk sebelah paha Farah yang menempel di pinggul Dea yang kakinya masih terbuka.

Dea tersenyum lebar masih malu-malu ternyata. Tangannya masih sibuk membalas payudara Farah. Apa bakalan masih malu kalo kuginiin? “Aahh… Baanggss… Uhhss…” dengan jari, kujejali vagina merekah yang terbentang di hadapanku. Aku sekaligus mengentoti dua binor. Satu pake Aseng junior, satunya harus pake jari dulu. Farah dan Dea kini saling erang sahut menyahut. Bahkan dengan garang, kutambahkan jari sehingga dua jari yang menyodoki liang kawinnya yang kembali ritmis memijat.

Mendapat kenikmatan bersama-sama, dua binor tak dapat menahan diri untuk menjangkau sesuatu untuk dicium dan itu membuat keduanya saling pagut dan remas. Pemandangan ini sangat spektakuler. Dua binor bersepupu menggelinjang keenakan di hadapanku dengan kaki lebar mengangkang. Satu disodoki batang kemaluan Aseng junior-ku dan yang satunya menikmati pompaan dua jariku di masing-masing kemaluan.

“Aauuhh… aahh… ahh…” berkejat-kejat tubuh Farah mendapat kenikmatan orgasmenya. Jariku yang lebih fleksibel juga membuat Dea juga menyusul sepupunya. Dua binor itu menggelepar seperti ayam potong meregang nyawa menggapai kenikmatan dunianya. Aku mencabut Aseng junior-ku buru-buru agar tak terpengaruh. Kucekik pangkal penisku sendiri agar jangan ejakulasi dulu. Kuatur nafasku baik-baik untuk meredakan syahwatku yang menggebu-gebu.

Duo binor bersaudara itu berbaring pasrah dengan kaki lebar terbentang dengan dua liang kawin yang menggiurkan. Masing-masing dengan keistimewaannya tersendiri, dengan jembut yang sama lebatnya. Kedua kecantikan yang berdasarkan ras keduanya yang memberikan cita rasa yang khas. Aku sudah dapat menguasai nafasku hingga jantung ini tidak berdegub terlalu kencang lagi. Aliran darahku juga sudah berjalan normal lagi. Tingkat ereksiku masih maksimal karena syahwatku masih terjaga.

Mengelus-elus lutut kedua binor yang masih mengerang-ngerang keenakan akibat orgasme yang hampir berbarengan. “Udahan, baaang?” tanya Farah yang masih belum puas keknya. Aku menggeleng dengan menunjukkan Aseng junior yang masih dalam betotan tanganku.

“Giliran Dea lagi ya sekarang…” sahutku bergeser sedikit ke samping ke arah Dea. Mulutnya terbuka akan mengatakan sesuatu tapi tak jadi. Ia malah melebarkan kakinya untuk menyambutku. Lembab permukaan vaginanya menyambutku dengan suka cita. Farah menatapku ingin protes tapi gak terucap karena dirinyalah penggagas ide threesome FFM ini. Tentunya ia membagi diriku secara adil dengan Farah.

“Awak masuk lagi ya, Dea…” permisiku sebelum mulai mengarahkan Aseng junior ke belahan vaginanya yang menyambutku dengan bentuk merekah penuh birahi. Di dalam rahimnya sudah menuggu sel telur yang dimatangkan orgasme-orgasme sebelumnya. Aku hanya fokus menatap bidikan Aseng junior dan aku tau Dea menatapku dalam-dalam dengan menggigit bibir bawahnya.

“Aahh…” erangnya begitu Aseng junior meluncur masuk dengan bebasnya. Menerjang masuk dengan gagah berani kelelep di lingkungan basah lagi panas itu. Berpetualang menyerang lawan tarungnya, menelusuri dungeon penuh gelora dengan musuh akhir yang harus diserbu dengan serangan pamungkas tembakan jutaan peluru sperma. “Ah ah ah ah ah ah…” erang Dea menerima sodokanku dengan ekspresi aslinya. Matanya terpejam, tangan berkait di antara dadanya seperti sedang berdoa. Payudaranya berguncang-guncang indah tiap lesakan memompaku.

“Farah pake tangan aja, ya?” usulku seperti yang sebelumnya kulakukan pada Dea.

“Gini aja, bang…” Farah malah berguling mendekati Dea, menghimpitnya dengan bokong teracung searah dengan gerakan memompaku pada liang kawin Dea. Pinter nih si Farah improvisasi. Keindahan pantatnya yang bulat dengan pinggul penuh terpampang jelas. Kakinya menekuk dan menahan kaki Dea agar terbuka lebih lebar. Perutku membentur-bentur bagian bokong padatnya seolah aku sedang mengentoti keduanya sekaligus. “Bisa ganti-gantian, bang…”

Benar juga. Rekahan vagina Farah bisa dengan mudah dicoblos di posisi ini. Hanya saja aku harus sedikit berjinjit ato menekan turun bokongnya agar sejajar dengan tinggi posisi Aseng junior. Sementara ini, aku hanya meremas-remas pantat sekalnya dan menikmati pemandangan jembut lebat yang tumbuh sampe ke belahan pantat Farah. Dengan jari, kumain-mainkan bibir kemaluan binor si Hussein keparat itu buka tutup. Lubang liang kawinnya mengerling genit minta pelampiasan segera.

Farah yang berhadapan, menghimpit Dea kembali bergulat lidah dengan sepupunya itu. Melihat perempuan melakukan ini masih dalam toleransiku. Pria masih suka melihat adegan lesbi dari pada gay, tul gak? Keduanya mengerang dan mendesah. Dea dengan liang kawinnya kusodok-sodok menghentak dengan Aseng junior sementara Farah dengan jejalan jariku.

Kira-kira cukup dengan liang sempit Dea, kucabut dan segera kuarahkan memasuki Farah. Binor itu mengerang panjang merasakan sumpalan kejantananku memasukinya. Tekanan posisi doggy style berbeda dengan posisi konvensional missionary. Posisi tunggingan pantatnya memberi tekanan berbeda tiap beda sudut kemiringannya. Kali ini sodokanku banyak menekan bagian ususnya yang mungkin juga menggerus prostatnya. Memberi sensasi berbeda. Geli-geli nyeri gimanaaa, gitu.

Apa yang didapat binor si Fahrul di keadaan ini? Hanya Farah yang dapat mengakses dirinya karena posisi ini menutup jalanku menyentuh dirinya. Dea harus berpuas diri menikmati sentuhan sepupunya yang lebih banyak menikmati enak yang dirasanya dari pada merangsang dirinya. Dea lebih pasif. Seharusnya ia berinisiatif merangsang Farah dahulu agar mendapat rangsangan balik mengisi kekosongan menunggu gilirannya kembali.

Aseng junior-ku terus menggedor-gedor liang kawin Farah dengan perutku menepuk-nepuk pantat tebalnya bersuara tepukan ‘plok-plok-plok’. Sesekali Farah mengajak Dea berciuman lalu lepas karena mengerang menikmati penisku yang menusuk miring ke samping. Menggesek banyak dinding kemaluannya fokus ke satu sisi saja yang terbukti bisa membuatnya puas. Cukup! Aku balik ke Dea begitu Aseng junior kucabut dari liang kawin perempuan keturunan Arab itu. Farah mengerang-ngerang belum merasa puas walo ada getar-getar sedikit di tubuhnya.

“Cuusshh…” Aseng junior meluncur masuk lagi memasuki liang kawin binor si Fahrul ini. Semoga program hamil versiku ini dapat berhasil sebelum program hamil mahal yang akan mereka jalani akhir pekan nanti di Kuala Lumpur. Dea mengerang ditambah himpitan tubuh Farah. Ada dua pasang payudara montok saling himpit dan rangsang di depan sana tapi aku sudah cukup menikmati dua liang kawin yang tersaji bebas di hadapanku mau yang mana yang dipake. Bebas.

Tapi aku ada rencana sendiri… Mereka berdua pasti suka. Dan rencanaku itu akan memasuki masa matangnya sebentar-bentar lagi. Udah ada terasa geli-geli enak tanda akan ejakulasi. Rasa nikmat di kepala Aseng junior. Gelegak sperma matang yang tak sabar menyerbu memasuki rahim menjerit-jerit minta tanda afirmasi menyerang.

“Dea! Deaa!! Akh… Croot croot croott…” tiga kali semprotan penuh sperma kental menyembur kencang memasuki lorong kemaluan binor berdarah Aceh itu lalu kutahan sejadi-jadinya rasa nikmat itu. Kucabut langsung kupindah ke liang kawin Farah. “Croott croott croott…” bersambung semburan spermaku memasuki liang kawin Farah juga. Sekali entot dua binor disemprot.

“Ahh ahh ahh…” kedua binor mengerang menerima semburan panas spermaku yang memenuhi rahimnya. Tak sebanyak yang seharusnya tapi mereka harus rela berbagi. Bahagia kali si Aseng junior dapat ngecrot di dua binor sekaligus. Binor kualitas super yang dengan sukarela dirinya dimasuki si durjana Aseng junior ini. Kuoles-oles kemaluanku berganti-ganti antara dua bukaan indah berselemak sperma itu. Sesekali kutusuk lagi berganti-ganti, membuat rasa merinding geli yang sangat nikmat sampe ke ubun-ubun. Cara ini pernah kulakukan pada saat threesome FFM-ku terdahulu dengan kak Sandra dan Dani di kamar hotel saat seminar dulu. Dari sana keduanya malah cinlok lesbong.

“Apa ini, bang?” tanya Farah saat kuletakkan sebuah bantal masing-masing mengganjal pantat mereka berdua. Dea berganti-ganti menatap aku dan Farah hendak menanyakan hal yang sama. Kupaskan posisi bantal-bantal itu agar tepat mengganjal spermaku menggenang dahulu di rahim keduanya untuk bekerja optimal—membuahi sel telur yang sedang matang sempurna di dalam rahim.

“Biasanya kek gini kubikin biar cepat hamil… Biar gak cepat keluar dulu… Tahan bentar, ya?” jawabku. “Ahh…” kurebahkan tubuh penatku di ranjang di samping Dea. Tubuhku yang belum prima benar dari luka-luka paska tarung dengan para Banaspati itu harus kerja keras begini menghadapi dua binor dalam FFM.

Dea menatapku dalam posisi masih berbaring. Ada sesuatu yang diharapkannya. “Bang Aseng… Di tengah sini, dong… Biar bisa sayang-sayangan bentar…” seru Farah menyuarakan keinginannya. Mungkin itu juga yang ingin diutarakan Dea lewat tatapannya barusan. Farah menepuk-nepuk ruang kosong di antara dirinya dan Dea untukku golek-golek manja. Di situ? Enak sih… Tapi kalo sayang-sayangan akan sangat intim. Apa lupa mereka berdua kalo dalam hubungan ini tidak boleh ada baper-baperan?

“Sayang-sayangan biasa aja, ya? Gak pakek cinta-cintaan… Kata nenek itu berbahaya…” ujarku mengingatkan keduanya akan perjanjian yang kami buat masing-masing akan pasal pertama ini. Ada senyum dikulum di bibir keduanya karena masing-masing merasa punya rahasia manis tersendiri padahal identik isinya. Kurebahkan tubuhku di antara keduanya. Rasanya nyaman bersentuhan kulit dengan kedua binor ini. Farah kembali iseng meremas-remas kulit dadaku yang luka. “Sakit, Farah… Parah nih orang…” kataku mengaduh.

“Ini bekas luka semua, bang?” sadar Dea pada lengan dan dadaku yang baru disadarinya saat tidak bersenggama begini.

“Jagoan memang kek gitu, Dea… Luka abis berantem semua itu… Macho, kan?” kata Farah tak kunjung berhenti menyakiti lukaku. Kutepis tangannya yang nakal. Ia pindah menjamah Aseng junior jadinya. Mending di sana.

“Iya… Macho… Bisa berantem sama hantu lagi… Macho abis…” kagum Dea dengan suara pelan malu-malu. “Sering berantem sama hantu kalau begitu ya, bang Aseng?” tanyanya penasaran karena aku sesumbar akan menolongnya menghadang para Burong Tujoh itu. Tanpa sadar tangannya mengelus-elus lenganku yang baret-baret bekas luka.

“Gak sering, sih… Pernah-la beberapa kali… Don trai dis et hom… Its beri beri denjeras…” kelakarku agar ia lebih luwes karena kami akan lebih sering interaksi ke depannya karena janjiku itu. Ia tertawa terkikik menutup mulutnya dengan imut. Gundukan payudaranya berguncang sedikit karenanya. Farah kemudian bermanja-manja memeluk dan mengocok-ngocok Aseng junior. Mungkin ia berharap aku bisa ngaceng lagi. Tentu saja bisa, ladies…

Bersambung

Ngentot Istri Orang Di Kereta Api
Booking Cewek Bispak Spg Rokok Yang Cantik
abg sexy
Cerita ngentot kegadisan ku yang di renggut pakdhe ku sendiri
hamil muda
Cerita dewasa menikmati tubuh wanita yang sedang hamil muda
mertua hot
Gairah sexs membara mertuaku tersayang
Bermain Dengan Kak Ipar Yang Semok
Janda hot telanjang
Desahan Kenikmatan Seorang Janda Pembantuku Bagian Dua
pacar alim dan lugu
Cerita ngajakin ML pacar yang alim dan lugu
ibu guru muda
Cerita hot terbaru ngentot dengan ibu guru sexy
mama muda hot
Memuaskan nafsu Siska yang gak pernah puas dengan suaminya sendiri
Terpaksa Menikahi Gadis Berjilbab Yang Masih SMA
Foto mahasiswi cantik foto bugil setelah cukur jembut
mama muda memek
Nikmatya Ngentot Ibu Muda Tetangga Ku
tante cantik
Ngentot Dengan Calon Mempelai Yang Ganteng
karyawan indomart cantik putih mulus bugil
pertemuan jadi sex
Kisah yang tak akan pernah terlupakan , pengalaman pertama dengan teman adik sendiri