Part #59 : Dea Kesurupan

“Bang Aseng! Tolongin! Dea kesurupan!” teriak Farah lewat telpon. Suaranya panik dan ada suara geraman-geraman menyeramkan di balik suaranya.

Si Dea itu kesurupan? Kok bisa?

“Ya! Bentar!” aku langsung keluar kamar dan menuju ke kamar yang tadi mereka masuki. Beberapa pintu kamar tetangga mereka ada yang terbuka. Mungkin terganggu dengan keributan ato hanya kepo. Ada apa? Ada apa? Khas netizen warga +62. Kuketuk pintunya. “Farah?” Pintunya langsung dibuka Farah dari dalam dan aku segera masuk lalu menutupnya lagi biar gak diliatin orang-orang.

“Bang… Tolongin… Itu…” Farah panik dan menunjuk-nunjuk satu sosok di atas ranjang yang menggeram-geram dengan liarnya bak seekor macan betina. Dea yang tadinya tak kalah cantik dengan Farah terlihat menyeramkan walo ia hanya memakai pakaian dalam saja. Ia mencabik-cabik pakaian yang tadi dikenakannya hingga tinggal onggokan tak berbentuk. Kesurupan apa perempuan ini?

“Kenapa dia, Farah? Apa yang terjadi?” tanyaku berusaha tenang agar Farah juga bisa tenang menjelaskan situasinya.

“Tolongin sepupuku, bang Aseng… Gak tau kenapa… tiba-tiba dia jadi kayak gitu… Tadinya dia mau cepat-cepat balik ke kamar ini untuk meminum obatnya… Apa dia terlambat meminumnya?” seru Farah masih panik. Oo… Ternyata Dea ini saudara sepupunya. Minum obat? Obat apa yang kalo terlambat diminum membuat orangnya kesurupan kek gini?

“Cek cek ceek…Cek cek ceek… Cek cek ceek…” suara mengerikan keluar dari mulut Dea. Matanya melotot dan terus melihat ke atas. Aku mengikuti arah pandangannya yang terpaku ke langit-langit. Tidak ada apa-apa di atas sana. Ini hanya bentuk pengaruh setan yang sedang menginvasi tubuhnya. Tapi aku tidak merasa asing dengan jenis mahluk ghaib yang sedang merasuki perempuan yang kelihatan mengerikan saat ini.

“Kau siapa?” tanyaku mendekat tak gentar. Ia menggertak-gertak seolah akan menubrukku. Mulutnya mengangga memamerkan gigi yang rapi bersih tapi sedang berliur tak terkendali. Lidahnya bergerak-gerak.

Perempuan itu mengarahkan mukanya padaku tapi tidak pandangannya. “Ulon le limong…” pandangannya tetap ke atas. Suaranya serak seperti nenek-nenek tua yang menderita bronchitis.

“Hah?” entah bahasa apa yang dipake si setan borjong satu ini. Limong? Limo? Lima? “Dea ini orang mana sih, Farah? Aku gak ngerti bahasanya…” aku beralih sekelebat saja pada Farah yang masih berdiri rapat di pintu, bertanya pada saudaranya mungkin akan lebih jelas.

“Aceh… Dia orang Aceh, bang…” gugup Farah menjawabku karena ia ketakutan melihat saudaranya ini menjadi demikian menakutkannya. Aceh? Apakah maksudnya ‘limong’ itu lima? Trus ngapain ini setan harus pake bahasa Aceh trus?

“Inong nyoe nyangpo kamoe…” cerocosnya ntah hapa-hapa.

“WOY! KIMAK KAO, YA!!” makiku bosan dengan tingkah setan satu ini. ‘NGOMONG KAO BAGOS-BAGOS! SIAPA KAO?!” kutuding-tuding setan brengsek yang sudah berani bertingkah di depanku ini. Kepalanya berputar-putar yang kelihatan sangat tidak wajar dilakukan leher manusia. Ia turun dari atas ranjang seperti seekor hewan berkaki empat. Ia berjalan dengan empat kaki ke arah dinding seperti tak perduli dengan makianku barusan.

“Bang-bang… Ngapain dia, bang?” Farah tambah panik melihat saudaranya itu memanjat dinding seperti seekor cicak. Tangan dan kakinya menempel erat di dinding. Aku nggak heran melihat tingkah setan begini. Ini cuma pamer kekuatan dan kemampuan saja. Bagi orang awam itu pastinya sangat mengagumkan sekaligus mengerikan. Nempel di dinding kek Spiderman. Berusaha meyakinkan orang-orang kalo dia setan yang sakti lagi berbahaya.

“Agam nyoe… MATI!” hardiknya dengan mata melotot gak fokus. Ia mulai menyerangku dengan senjata utamanya yang panjang menjuntai.

Mendengar kata ‘mati’ barusan, bukannya menghindar aku malah bergerak maju dengan cepat, menangkap sejenis lidah panjang yang meluncur cepat dari mulut Dea. Ia membocorkan sendiri kekuatannya yang berperilaku seperti seekor cicak. Kugunakan tanganku sendiri sebagai umpan hingga melekat erat. Kutarik lidah yang awalnya dimaksudkannya untuk menyerangku. Tangan dan kakinya yang menempel erat di dinding sampai terlepas karena betotan kuatku. Terbelalak matanya mendapati tubuhnya lepas dan kubanting keras ke lantai padat. “GDEBUUK!!” tubuhnya membentur kuat. Mulutnya menganga kaget oleh rasa sakit yang menyengat tubuhnya. “ARRKK!!”

Kuinjak bagian leher Dea dan menarik kuat-kuat lidah panjang itu. Betotan kuat menyentakku melepaskan setan itu dari tubuh Dea. Perempuan itu tetap berbaring di lantai sementara setan berbentuk cicak raksasa itu kubanting ke arah dinding, lidahnya tak kunjung kulepas. Lidahnya berbelit dan merekat di tanganku juga saat kukeluarkan mandau Panglima Burung, setan cicak itu berusaha menempel lagi di dinding. “CLAAKK!!” mandauku menancap di bagian lehernya tembus hingga ke dinding. Ia sukses terpancang di dinding, menggelepar-gelepar.

Aku memandangi hasil karyaku dengan puas. Kuluapkan semua emosiku yang lagi kentang begini yang gagal menggumuli binor dengan membantai seekor setan cicak yang berani-beraninya petentengan (sok jago) di depanku. Lumayan buat foreplay, pikirku. Lidahnya yang panjang kuikat berupa simpul sepatu di bilah mandau. Kalo ia berani menariknya, dijamin bakal putus kena tajam mata mandau.

Ketika kuedarkan pandanganku ke sekitar, Dea masih berbaring di lantai di antara ranjang hotel dan dinding. Sedang Farah masih berdiri di dekat pintu, terpana dengan apa yang sedang kukerjakan. Tentu saja ia tidak bisa melihat setan cicak berukuran besar yang masih terpancang di dinding dengan mandau-ku itu. Pastinya ia bingung dengan gerakan-gerakan yang kulakukan seperti berkelahi dengan angin barusan.

“Setannya udah awak keluarin, Farah… Itu disitu…” tunjukku pada senjata tajam panjang yang menempel di dinding. Tentu saja Farah masih gak bisa melihatnya. “Coba liat Dea-nya dulu… Cek kondisinya?” pintaku padanya. Perempuan itu ragu-ragu bergerak karena ia sama sekali tidak tau kondisinya ato apa yang telah terjadi. Yang ia tau hanya tadi Dea terlihat serem kesurupan setan aja. “Gak pa-pa… Cek dulu…” Aku gak melepaskan pandanganku pada setan cicak itu. Ia masih menggelepar-gelepar ingin lepas dari mandau-ku yang menembus lehernya.

“Dea masih belum sadar, bang… Badannya menggigil… Panas… Badannya panas…” seru Farah setelah memeriksa Dea secara cepat. Sekilas kulihat memang tubuhnya yang setengah telanjang, pucat dan memerah di beberapa tempat. Aku mundur tapi tak melepaskan pandanganku pada lawan. Aku memegang keningnya. Panas! Begitu juga pipi dan lehernya. Apa yang sudah dilakukan setan cicak pukimak ini pada Dea?

Aku mendekat pada setan cicak yang menggantung menggenaskan di dinding terpancang mandau Panglima Burungku. Cicak raksasa seukuran biawak besar itu tidak berani gegabah bergerak karena takut lehernya putus. “Hei, borjong! Kau apakan perempuan itu? Kenapa dia jadi begitu?” geramku menginterogasinya dengan muka gusar dan bingung.

“Jeh racun lon…” ia kembali pake bahasa Aceh dan matanya kuhadiahi sebuah bogem mentah. “AKKKH!!”

“Sekali lagi kao pakek bahasa yang gak aku ngerti… abis kao kucincang! Pake bahasa Indonesia!” hardikku. Udah capek dan ribet aku dibuatnya, setan ini malah pake bahasa yang membingungkanku. Matanya yang baru kubogem berkedip-kedip kesakitan. Setan itu mahluk yang pintar, teman-teman. Contohnya dalam hal bahasa. Ia tau semua bahasa yang ada di muka bumi. Dimanapun ia berada, ia menyesuaikan dirinya termasuk menyesuaikan bahasa yang dipakai mangsanya. Misalnya pas satu kasus dia lagi di Amerika Serikat nih, dia pasti pake American English, disesuaikan juga lagi dialek daerahnya. Pas dia lagi di India, ganti lagi bahasa yang dipakainya. Ada acha-acha-nya gitu. Nah, setan yang mengaku nomor 5 ini memakai bahasa Aceh menyesuaikan dengan mangsanya yang bersuku Aceh.

“Jeh… Itu-itu racunku…” ia memakai bahasa Indonesia sekarang walo terbata-bata. Mungkin program bahasanya masih belum loading sempurna.

“Racun kau bilang? Racun cicak? Ada racun cicak?” tambah membingungkan. Setauku pada beberapa orang cicak itu hewan yang menjijikkan. Bangkainya sering dijadikan contoh najis bila terkena makanan saat pelajaran ngaji waktu ku kecil dulu. Guru ngajiku juga memberi contoh kalo membunuh cicak itu bisa berpahala. Pahala yang paling besar kalo sekali pukul langsung mati. Berkurang kalo lebih dari sekali pukul. Pulang ngaji, abis cicak satu gang kami bantai—ngalap pahala. Apakah karena dianggap berdosa, cicak mengembangkan racunnya sendiri.

“Racunku membuat inong (perempuan) itu panas di dalam tubuhnya… Lihat pangkal kakinya…”

“Pangkal kakinya?” ulangku lalu balik ke arah Dea dan Farah. Dea tubuhnya masih menggigil hebat. Farah memangku perempuan itu di kakinya.

“Kita bawa ke dokter, bang?” usul Farah yang khawatir dengan keadaan saudara sepupunya yang dalam keadaan sakit begini.

“Ini bukan penyakit medis, Farah… Dokter gak akan bisa mengobati penyakit supranatural seperti ini…” tolakku karena mungkin malah fatal melakukan usul Farah tadi. “Apa maksudmu pangkal kaki?” aku tereak lagi pada si setan cicak itu setelah memperhatikan kaki Dea yang aslinya mulus, kini putih pucat. Bagian perut sampai ke sebagian selangkangannya memerah. Lututnya juga merah sebagaimana dada dan lehernya. Hanya bagian-bagian tertentu saja yang memerah, lainnya pucat.

“Selangkangan perempuan itu…” jawab si setan cicak. Pandanganku langsung tertumbuk pada gundukan kemaluan Dea yang masih terbungkus celana dalam yang senada dengan bra-nya. Apa maksudnya?

“Farah… Maaf-maaf nih ya… Ada sesuatu yang terjadi di selangkangan sepupumu ini… Setan itu meninggalkan racun di sana…” kataku takut-takut segan jadinya. Makanya aku memberanikan diri menyatakan ini pada perwakilan keluarganya aja. Sukur-sukur ia mengizinkanku.

“Racun? Liat dong, bang? Nanti Dea kenapa-napa… Buruan, bang…” panik Farah. Ini susahnya berurusan dengan perempuan. Banyakan paniknya dari pada nolongnya. Aku beralih ke arah kakinya dan pelan-pelan kuloloskan celana dalam yang dipakai perempuan berdarah Aceh itu. Yang pertama kali tertangkap di mataku tentu saja rimbun jembutnya yang lebat tebal sebagaimana juga rambutnya yang panjang bergelombang. Benar dari pusar lalu menjalar ke sebagian besar kemaluannya memerah seperti matang. “Bang… sampe merah begitu… Itu racunnya ya, bang?” kaget Farah juga. Wajahnya sangat cemas.

Yang herannya, walo badannya panas begini tetapi ia sama sekali tidak berkeringat. Itu sangat berbahaya karena mekanisme perlindungan tubuh manusia saat kepanasan adalah mengeluarkan sekresi berupa keringat untuk mendinginkan suhu tubuh yang meningkat melewati batas wajarnya. Organ dalam tubuhnya yang sedang kepanasan bisa mengalami gagal fungsi karena panas abnormal ini.

“Farah… Ini bahaya nih… Panas begini Dea-nya sama sekali gak berkeringat… Bisa-bisa dia ngalami gagal jantung…” kataku mengungkap yang kutakutkan. Mata Farah membelalak besar, kaget tentunya.

“Iya-iya, bang… Ini aneh sekali… Trus itu kenapa, bang? Gak boleh dipegang ya, bang? Beracun di situnya, ya?” tanya Farah menunjuk kemaluan Dea yang terbuka lebar tanpa penutup kulepas dari kakinya. Ia berganti-ganti melihat ke arahku, muka Dea dan kewanitaannya. Aku memberinya kode untuk menunggu dulu. Aku akan menginterogasi setan cicak itu lebih jauh.

“Jangan berbelit-belit… Jawab yang jelas… Gimana cara mengeluarkan racunmu dari tubuh perempuan itu?” tanyaku datar agar suaraku jelas didengar oleh si borjong satu ini. Mata bulat kuningnya bergerak-gerak.

“Keluarkan secara paksa dari selangkangannya… Gata agam pasti tau caranya… Ha ha hahahaha…” ia malah mulai berani tertawa di hadapanku. Dah bosan idup keknya si pukimak satu ini. “PUUFF!!” secara ghaib seluruh tubuhnya menghilang dan hanya tertinggal satu ekor cicak buntung berukuran besar yang terpancang oleh mandau Panglima Burung-ku di dinding.

“Apa itu, bang?” suara Farah berteriak kaget. Ia menunjuk-nunjuk pada ekor cicak raksasa ini. Mukanya terlihat sangat horor.

“Ini ekor setan cicak yang sudah merasuki Dea tadi…” jawabku. Aku tidak khawatir karena Farah bisa melihat benda menjijikkan yang menggeliat-geliat ini, melainkan satu fakta baru bahwa setan cicak itu sudah berhasil melarikan diri dari perangkapku semenjak tadi. Ia mengalihkan perhatianku dengan menggantikan tubuhnya dengan mengorbankan ekornya, seperti yang lazim dilakukan cicak. Ia telah berhasil membuatku menganggap ekor putus itu adalah tubuh aslinya. Ia berhasil memperdayaku. “Kita harus mengeluarkan racun dari selangkangan Dea secara paksa, Farah…” aku jelalatan mencari sesuatu di kamar hotel ini.

“Caranya?”

“Apakah si Dea ini sudah menikah?” tanyaku setelah berhasil menemukan yang kucari. Tas tangan dan tas pakaian milik Dea.

Dea

“Sudah… Dia sudah menikah dua kali… Ini dengan suami keduanya sekarang… Barusan suaminya berangkat ke Malaysia untuk mengambil Master-nya… Kenapa, bang?”

“Bagus… Berarti Dea ini bukan gadis perawan… Kita harus mengeluarkan racun itu secara paksa dari kemaluan Dea… Harus cepat… Kalo tidak bisa fatal… Ini awak lagi nyari di tasnya mungkin dia ada nyimpen stok kondom barang sebiji aja… Mmm…” cetusku mengacak-acak tas milik Dea. Hanya ada make-up, obat-obatan pribadi, dompet. Kuperiksa dompetnya juga tapi tetap nihil.

“Dea gak bakal nyimpen kondom, bang… Dia lagi program hamil… Tiap weekend dia bakal terbang ke KL nyusul suaminya untuk program itu… Kondom untuk apa, bang? Kenapa harus ada kondom?” tanya Farah tentu saja penasaran. Aku berhenti mengacak-acak tas itu untuk mencari benda yang ternyata mustahil ada di perbendaharaan barang-barang Dea. “Ada satu nih… Stok lama ada di dompetku… Mungkin udah expired juga…” ia mengacungkan sebungkus karet pengaman itu. Itu sudah cukup.

Aku langsung menyobek sachet itu, mengeluarkan isinya, memasukkan dua jari tengah dan jari manis kananku ke dalam kondom itu. Jari-jariku berselimut kondom saat ini. Aku menggerak-gerakkan jariku seakan mengobel. “Awak akan merangsang kemaluan Dea untuk mengeluarkan racun setan cicak itu dari dalam vaginanya…” kataku yang sontak membuat Farah kaget. “Awak harus pake kondom ini untuk melindungi tangan awak sendiri karena kita sedang berurusan dengan racun disini… Takutnya awak pulak yang kena racun… Ato Farah aja yang ngelakuinnya?” tawarku menyodorkan kondom itu padanya.

Cepat-cepat ia menggeleng tanda enggan. “Abang aja… Bang Aseng aja… Cepat mulai, bang…”

Aku segera memposisikan diri di antara bukaan kakinya. Kakinya kulebarkan dan kutopangkan di atas pahaku. Kakinya terasa panas juga. Dan tanpa menunggu lama, aku berusaha menyentuh kemaluan Dea. Dengan jari-jariku kusibak lebat rimbun rambut pubis di pangkal kemaluan Dea. Jembut hanya ada lebat di bagian permukaan saja ternyata, di sisi bibir vaginanya tak ada rambut yang tumbuh sama sekali. Tak disangka, perempuan itu menggeliat di pangkuan Farah. “Mmm…” ini suara aslinya pertama kali terdengar.

“Basah… Becek…” komentarku tentang keadaan kemaluan Dea. Farah yang memperhatikan mimikku mengeryitkan keningnya. Jari-jariku yang berbungkus kondom sudah menyeruak masuk ke liang kawinnya. Terasa sangat panas, seperti mencelupkan tangan ke cangkir teh yang bersuhu 60 derajat Celcius. Untung masih terlindung kondom, kutahan-tahan selagi kobelan mulai kulakukan. Cairan pelumas yang ternyata membanjiri liang kawin Dea membantu gerakan masuk jariku.

“Uhhng… uuhh… Uhh… unnghh…” erang Dea mendesah-desah merasakan rangsangan di kemaluannya akibat kobelan tanganku yang bangga kukatakan dalam taraf pemain pro. Jari-jariku lincah menggelitik dinding atas liang kawinnya, ditingkahi dengan gerakan menusuk keluar masuk juga. Merangsangnya hingga orgasme adalah satu-satunya tujuanku saat ini. Saat ia mencapai puncak kenikmatan itu, kuharapkan racun yang ada di dalam tubuhnya bisa kupaksa keluar. “Uhhngg… uuhh… uuhngg…”

“Farah… bantuin juga… Remas-remas teteknya… Racunnya juga ada di situ… Liat? Merah, kan?” pintaku. Farah gelagapan awalnya tapi ia sigap mengupas bra Dea ke atas hingga payudaranya terpampang bebas. Bagian dada Dea juga merah parah seperti selangkangannya. “Remas-remas dorong ke arah bawah… Nanti semua racunnya akan keluar dari sini…” instruksiku. Putingnya kecil dan berwarna coklat tua diliputi aerola kecil juga lalu dibingkai bidang bulat montok yang seharusnya putih mulus.

Farah meremas-remas seperti sedang memeras santan kelapa. Diulen-ulennya susu Dea dengan telaten agar semua racun yang terkandung di sana luruh dan menuju selangkangannya. “Gini, bang?” ia menanyakan apakah pekerjaannya sudah benar. Aku hanya mengangguk karena aku sangat fokus, konsentrasi penuh pada gerakan mengobel dua jariku pada liang kawin Dea yang sangat panas. Apa jadinya kalo Aseng junior yang dipake untuk pekerjaan mulia ini? Bisa-bisa gosong dan cepat ngecrot dia di dalam sini. Sempit dan menggigit gini lagi…

Geliat tubuh Dea semakin semrawut. Ia semakin gelisah berbaring di lantai dingin ini. Kepalanya bergerak-gerak liar di pangkuan Farah. Kakinya mengait-ngait dan kadang menghentak mengejang. Kobelanku fokus menggelitik titik rangsang G-Spotnya. Farah juga semakin gencar menguleni payudara Dea. Tangannya lincah memainkan kenyal punel gundukan massa lemak dada sepupunya. Payudaranya sudah berkurang merah-merahnya, menjalar ke perut dan menyatu ke selangkangannya. Mata Farah fokus menatap pada kemaluan Dea yang masih kujejali dua jari, mengobelnya menggelitik cepat.

Aku harus siap-siap menghindar karena tanda-tanda Dea akan orgasme sudah terlihat. Kedutan terjadi berulang-ulang di dalam liang kawinnya yang semakin panas. Aku agak mengganti posisi dan berdiri mengangkangi Dea. Farah menatap kemaluan Dea dan aku bergantian. Sial… Ternyata Farah melihat gundukan yang terjadi di celanaku. Si Aseng junior bangkit dari tidurnya mendapat pemandangan vagina merah, becek yang menggiurkan. Bahaya, Seng! Bukan mainanmu itu…

Kubiarkan apa yang terjadi, terjadilah. Walo tangan dan jariku pegal, aku tetap mengocok vagina Dea dengan cepat. “Ini dia!” seruku tertahan setelah merasakan kedutan kuat menjepit jariku berulang-ulang. Memperingatkan Farah.

“Cruut… crruutt… ccreeshhhh…. seeerr…”

Awalnya ada semburan kecil beberapa kali, lalu mengalir cukup deras cairan sedikit kental keruh berwarna sedikit kekuningan. Menggenang di lantai. Ada aroma yang tidak enak dan sedikit amis. Dea berkejat-kejat beberapa kali menikmati orgasme yang tak disadarinya ini. Bergetar-getar pelan tubuh montoknya karena kenikmatan permainan tanganku barusan.

“Liat… Ini dia racunnya… Semoga ini udah semuanya…” kataku menunjuk cairan yang menggenang di lantai kamar hotel ini. Aku lalu membuang kondom bekas itu di tempat sampah, mengambil cabikan pakaian Dea sebagai kain pel untuk membersihkan racun di lantai lalu membuangnya di tempat sampah juga. Kemudian kuangkat tubuh lemah Dea ke tengah ranjang.

“Tubuhnya sudah tidak sepanas tadi, bang…” kata Farah mengecek suhu tubuh Dea dengan punggung tangannya. “Apa Dea sudah sembuh, bang?” tanya Farah bermaksud menyelimuti tubuh setengah telanjang sepupunya ini. Bra yang tadi dinaikkannya, dibalikkan ke posisi awal.

“Jangan diselimuti… Biar tubuhnya agak lebih dingin lagi… Kalo diselimuti nanti malah tambah panas lagi…” cegahku. “Kalo masalah sembuhnya… awak sendiri gak terlalu yakin… Mungkin masih ada racun yang tersisa di tubuhnya… Kita tinggal nunggu Dea siuman aja… Ada yang mau awak tanyakan…” kataku menunjuk sofa yang ada di dekat jendela sana untuk kami duduk selagi menunggu.

Aku mengambil dua buah air mineral botol dari dalam kulkas dan menyerahkan satu pada Farah yang duduk lemas. Aku duduk di sampingnya.

Farah

“Makasih ya, bang… Untung aja ada bang Aseng…” ujar Farah menepuk pahaku yang sedang menenggak air dingin menyegarkan. “Bang Aseng dukun, ya? Kok bisa memotong ekor setan cicak seperti itu?” tunjuknya pada potongan ekor cicak raksasa yang sudah diam terpancang di dinding.

“Ahh… Ada-ada aja-pun Farah… Masak ada dukun ganteng kek awak? Bisa-bisa awak-nya aja tuh…” merendah yang kulakukan. Kami berdua lalu tertawa bersama-sama mengingat pengalaman seru yang pastinya tak akan bisa dilupakan Farah seumur hidupnya. “Seru ya tadi?” tanyaku.

“Seru… kaget… takut… Nyampur semua jadi satu…”

“Tapi jadi ilang selera kita ya, kan?” ungkitku tentang apa yang seharusnya kami lakukan di hotel ini.

“Ah… ha ha hahahaha…” ia tertawa lagi. “Farah ngeliat muka bang Aseng di pantulan pintu lift… Sumpah itu lucu banget… Mukanya kayak bilang… Gatot! Ha ha hahaha…” ia menepuk-nepuk kakinya sendiri karena merasa geli mengingat itu semua.

“Iya… Waktu klen berdua rupanya saling kenal… memang itu yang awak rasa… Gatot! Ha ha hahahaha…” akur kami berdua sama-sama tertawa tentang topik yang sama. “Padahal udah sama-sama kepengen kali kita, ya…”

“Iyaa… Mm…”

Dan semuanya kemudian lancar mengalir saja karena kami sudah saling pagut bibir dan mulut. Bersandar di sofa, duduk berdampingan mulut kita terhubung erat. Lidah saling menggelitik lidah lawan. Bibir dikulum bergantian. Nafas memburu terengah-engah.

“Gak apa-apa disini aja, bang?” bisik Farah lirih dengan bibir basah.

“Dea gak ada yang jaga…” lirihku juga dengan tangan yang sudah mendarat di dada kenyalnya, kuremas-remas perlahan. “Jangan berisik mainnya… Ummph…” ia langsung mencaplok mulutku lagi, menekankan tubuhnya padaku, menindihku. Agresif juga binor satu ini. Jamahan tanganku kini berpindah ke bagian punggungnya, kuelus-elus kulit punggungnya yang mulus. Farah menghisap-hisap bibirku lalu lidahnya menyeruak masuk ke rongga mulutku dan membelit lidahku.

Selagi ia menguasai mulutku, ia melepaskan pakaian yang dikenakannya sendiri. Mulutnya menempel ke mulutku sembari ia sibuk melucuti crop top-nya lalu bra strapless-nya. Payudaranya tumpah ruah ke dadaku dan ia lebih bringas menguasai mulutku. Bertukar ludah dengan binor Arab ini sungguh brutal. Himpitan tubuhnya menerbitkan kembali rasa perih di bagian dadaku yang baru mulai pulih dari cidera. Tangannya ambideks melucuti kaos oblong yang kukenakan, mulai dari menggulungnya ke atas kemudian mengulum putingku.

“Ahh…” erangku yang geli campur sakit karena lidahnya menjilati puting sementara tangannya meremas bekas lukaku. Farah seperti bersemangat menikmati ekspresiku yang seperti kesakitan, padahal memang benar sakit. Malahan binor ini menggigiti dadaku lalu lidahnya menyentil-nyentil menyeimbangkan rasa, balance rasa sakit dan geli-enak. Matanya tajam memperhatikan ekspresi mukaku selagi mulutnya bergerak aktif. “Aahhss…”

Farah menemukan lingkaran beradius luas kebiruan yang mulai pudar bekas hantaman dua Banaspati di dadaku. Lidahnya menjilati bagian itu berkeliling yang ditingkahi dengan jepitan bibir seolah menggigit yang membuatku menganga perih tak bersuara. Ia seperti suka membuat pasangannya merasakan rasa perih ini. Menderita lebih tepatnya. Apakah benar begitu?

“Ahh… Udah keras begini…” goda Farah di depan dadaku sambil meremas Aseng junior yang sudah mengeras di dalam celanaku. Lidahnya masih memainkan putingku yang terkadang digigitnya sampe kemerahan. “Bang Aseng sepertinya liar juga, ya… Banyak luka-luka begini… Gak heran bisa melawan setan-setan seperti tadi… Apa ini bekas melawan setan juga, hmm?” jarinya digerakkannya di atas bekas luka di dadaku, dengan tekanan keras yang gak kira-kira.

“Akkhhh… Jangan keras-keras, Farah… Sakit…” keluhku hanya bisa berbaring menggeliat saja karena ia tetap menindihku. Aku gak mungkin balas menyakiti dirinya. Meremas sesuatu melewati batas misalnya.

“Sstt… Jangan berisik… Nanti Dea bangun… Diam aja dan nikmati…” lirihnya dengan senyum menang kala ia menarik celanaku sekaligus dengan celana dalamku. Ia tau benar anatomi pria hingga dengan mudah meloloskan pakaian terakhirku itu dari kakiku. “Mm… Nyaman, ya?” ia menggesekkan kedua payudara kenyal berukuran besarnya itu ke ngacungan Aseng junior-ku. “Mmm… mmm… Keras nih, bang Aseng… Biar gak besar-besar banget… Tapi keras…” pujinya terus menggesekkan Aseng junior-ku ke daging dadanya.

“Aahhhss… Jangan digigit terus, Farah… Itu bekas luka…” keluhku kesakitan bercampur rasa nyaman yang aneh berkat sentuhan kulit lembut sekujur tubuhnya juga kenyal payudaranya di Aseng junior-ku yang diselimutinya.

“Masa jagoan gini kesakitan, sih? Bang Aseng kayanya macho banget begini dengan baret-baret di tubuh… Mm… Jantan banget, deeh…” pujinya lalu menjilati bekas lukaku di dada lalu digigitnya lagi. Dah kek macan betina kurasa si Farah ini. Jagoan juga tetap ngerasa sakit, buk. Jilatannya berkisar di seputar dadaku sementara ia terus menguleni teteknya di Aseng junior-ku. Batang kemaluanku tegang setegang-tegangnya keras di antara himpitan daging kenyal itu.

Jari tangannya menjamah ke seluruh wajah, leher, tangan dan tubuhku. Rabaan tangannya sengaja menyentuh semua bekas luka-luka yang kupunya. Memang sudah mengering tapi kalo disentuh dan ditekan kuat ya sakit juga karena hanya bagian permukaannya saja yang sudah menyatu, bagian dalamnya masih proses penyembuhan. Besok libur, aku harus meditasi lebih lama lagi nih ceritanya untuk penyembuhan total.

Puas menyakiti luka-lukaku, ia kembali menikmati mulutku. Disedot dan dikulumnya mulutku dengan ganas hingga kami berlumuran ludah. Tanganku hanya bisa mencengkram dan meremas bagian bokongnya yang masih terbungkus celana panjangnya. Farah menggesek-gesekkan bahan celana bagian selangkangannya pada Aseng junior, memberiku rasa nikmat yang menyakitkan—tergesek bahan celana yang sedikit kasar. Tanpa sadar kadang aku meremas kuat bokongnya karena rasa tak nyaman yang aneh.

Binor satu ini lalu menjejalkan payudaranya pada mulutku dan langsung mengarahkan putingnya ke dalam mulutku. “Oohh…” erangnya karena aku langsung mengenyot pentilnya kuat-kuat. Sebelah payudaranya kuremas hingga jariku tenggelam lumer di daging empuknya. Aku tak bermaksud membalas menyakitinya tapi rasa sakit di Aseng junior membuatku secara tak sadar mengeluarkan tenaga berlebih. Gilanya ia juga menyukai itu. Ia mengerang-ngerang seksi. Selangkangannya berputar-putar menggesek kemaluanku yang makin meradang. Ini namanya memancing harimau yang sedang tidur.

Bergumul di atas sofa sementara ada perempuan lain yang sedang tak sadarkan diri di hadapan kami tak membuat pikiran kami berdua jadi lebih waras. Farah yang merasa sudah menguasaiku sepenuhnya dengan menghimpitku rapat, lupa kalo ia menyebutku sebagai jagoan. Kuputar dengan cepat tubuhnya masih di atas sofa hotel ini. Ia terkesiap dan tak mampu berbuat apa-apa kala posisi kami berganti—aku yang kini di posisi atas. Tangan-tangan nakalnya berusaha menggapai pada bekas luka di bahu dan tanganku. Kutepis, kusatukan ke bagian atas kepalanya dan sepasang payudaranya sekarang menjadi bulan-bulananku.

“Akhh… Ahh… Mmm… Ahh… Yaa…” erangnya berkejat-kejat kali kusedot kedua putingnya bergantian dengan kuat. Mulutku seperti vacuum sampe kempot menyedot pucuk payudaranya. Monyong-monyong teteknya kubuat karena sedotan kuatku sementara tangannya terkunci erat di atas kepalanya tak mampu memberi perlawanan. Entah ini memang caranya membuat cupang, tapi pucuk payudaranya kemerahan akibat sedotan kasarku. Tubuh semok seksinya menggeliat-geliat karena perutnya kugesek-kutusuk dengan keras Aseng junior-ku. “Buka-ummp…”

Mulutnya yang akan berkata-kata segera kusumpal. Lidahnya kusedot dan kukulum. Kugulati lidahnya mengajak bergumul. Ludahku dihisap-hisapnya dengan mulut terbuka. Sebelah tanganku yang tak menahan kedua tangannya, melucuti celana panjang yang dipakainya. Dari kancing, restleting dan menarik-narik pinggirannya agar merosot lolos pinggulnya. Farah bekerja sama dan menaikkan bokongnya agar celana panjang miliknya lepas dari kakinya. Celana berbahan denim skin tight begini ternyata butuh usaha ekstra untuk ditanggalkan. Celana dalamnya sedikit tertinggal dari celana itu dan akhirnya terbang bersamaan, membuat kami berdua sama-sama bugil bergumul di atas sofa.

Kusergap tubuhnya, membuat tubuh kami berdua bersatu padu tanpa penghalang. Farah membuka kakinya dan membiarkanku berada tepat di atas tubuhnya, menghimpit bersatu. Aku mengendus bagian ketiaknya lalu menjilatinya, membuat binor keturunan Arab ini menggeliat kegelian. Tumitnya digesek-gesekkannya di belakang pahaku. Kedua tangannya masih terkunci di atas kepalanya. Geliat-geliat tubuhnya membuat kedua kelamin kami kadang bersentuhan, saling berkenalan. Terasa lembab di belahan nikmat itu. Terasa jembut lebat seperti rimbun milik saudara sepupunya tadi; Dea. Aku sebaiknya menikmatinya dulu sebelum nanti ternoda spermaku.

Taktis aku turun dari sofa, masih menahan tangannya lalu mengarahkan Aseng junior ke mulutnya. Ia dengan senang hati menyambut dengan membuka mulutnya. Ia langsung menggelomoh menelannya. Aku tak berhenti sampe di situ, aku merebahkan diri menghimpit tubuhnya lagi dan mengarahkan kepalaku ke selangkangannya yang terbuka mengundang. “Ahhh…” erangnya begitu kuciumi permukaan vaginanya yang ditumbuhi rambut pubis yang lebat. Satu keluarga bersepupu ini perempuannya pada berjembut lebat begini. Yang satu blasteran Arab, satunya lagi Aceh.

Hanya saja Farah sampe ke pinggiran vaginanya masih ditumbuhi rambut-rambut juga yang sedikit pendek bekas sisa dicukur beberapa hari lalu. Lidahku bermain-main di bibir vaginanya yang putih kemerahan akibat syahwat menggelora malam ini. Liang vaginanya menganga becek sudah tak sabar menyambut pejantan memasukinya. Lidahku menerobos masuk dan merasakan rasa vagina binor yang sedang birahi ini. Vaginanya membengkak merekah pertanda sedang subur-suburnya. Cairan bening mengucur deras dari dalam liang kawinnya, menginisiasi pelepasan sel telur yang siap untuk dibuahi. Aku sudah tak sabar untuk menghamili binor satu ini sekarang juga.

Suara seruput mulutku di vagina Farah seirama dengan decap-decap mulutnya yang juga menelan Aseng junior di dalam mulutnya. Ia dengan mudah memasukkan seluruh batang kemaluanku mengingat mainannya selama ini pastinya lebih besar dan panjang dari milikku ini. Tapi masih unggul punyaku kemana-mana karena bisa menghamili punyamu, Hussein! “Ghlok ghlokk glokk ghlook…” aku mengentoti mulutnya dengan kecepatan sedang selagi ia meremas-remas pantatku dengan gemas. Lidahku menusuk masuk ke dalam liangnya dan mengentotinya juga di dua lubang berbeda.

Pantatnya menjulang terangkat berkali-kali membuat mukaku semakin terbenam di selangkangannya. Sepertinya ia tak lama lagi akan menapaki puncak kenikmatannya karena Farah hanya membuka mulutnya menerima genjotan Aseng junior-ku. Lidahku semakin sibuk menjajah vagina Farah yang basah kuyup cairan pelumasnya dan ludahku. Aku semakin menggila merasakan rasa dan aroma binor satu ini. Dengan jari kutusuk liang kawinnya dan kusedot-sedot kacang itilnya. Erangan Farah membahana tak memperdulikan penghuni resmi kamar hotel ini ada di depan kami. Ia hanya sesekali memperdulikan Aseng junior yang seharusnya diservisnya di mulut. Hanya demi kenikmatannya sendiri.

“Ah… ahhh… ahhh… Yaaa.. yaaa… BANG! Ahh…”

Berkejat-kejat tubuhnya saat kulepas kacang itilnya dari mulutku. Kutepuk-tepuk belahan vaginanya dengan jariku memberikan kenikmatan tambahan. Menggeliat-geliat seperti ular raksasa tubuhnya di depan mataku. Kedutan vaginanya sangat jelas mengucurkan cairan bening segar yang kujilati, membuatnya bergetar kembali. Aseng junior sudah tak diperdulikannya. Hanya mengacung tegang di samping pipinya. Aku turun dan ia tak melakukan apapun selain berbaring pasrah masih menikmati after taste kenikmatan orgasmenya.

Hanya nanar pandangannya kala aku menelusup masuk di antara bentangan kedua kakinya, mengatur posisnya dengan menarik-menarik pahanya hingga Aseng junior tepat ada di belahan kemaluannya yang masih berkedut-kedut becek. “Gak pake kondom ini ya, Farah?” Binor itu hanya mengangguk saja memperbolehkanku memasukinya walo masih kepayahan terengah-engah.

Sekedar hanya kugesek-gesek saja sampe perempuan ini benar-benar siap menerimaku di dalam tubuhnya. Kepala Aseng junior sudah kuyup oleh cairan kemaluan Farah. Kucelup sedikit-sedikit untuk merasakan jepitan mulut vaginanya. Menelusup dengan mudah karena becek. Kubersihkan mulutku dari sisa cairan kemaluannya dan beberapa helai jembut yang terikut. “Mm… mm…” desahnya merasakan sumpalan kepala Aseng junior yang menyodok-nyodok berusaha masuk.

“Mmm…” kusorongkan Aseng junior memasuki dirinya. Terasa gerinjal liang kawinnya langsung menjepit batang kemaluanku. Hanya setengah terbenam, kutarik lagi sampai terlepas dan kugesekkan batangku ke arah kacang itilnya. Gesek-gesek lalu masuk kembali. Terasa sangat nikmat dan hangat tapi kucabut lagi, kugesek-gesek kembali. “Ahh… Ahh…” begitu terus kuulang-ulang untuk memancing dirinya. Dan akhirnya ia memerangkapku di dalam liang kawinnya dengan mengapitkan kakinya ke pinggangku. Aku tak dapat melepas Aseng junior bahkan ia semakin dalam masuk terperosok jauh. Kami berdua mengerang dalam nikmat hangatnya persatuan kelamin yang erat terhubung.

Kandas menusuk hingga jembutku dan jembutnya bertemu. Kantong pelerku juga menyentuh permukaan bokongnya. “Aahhsss…” erangnya menahan tubuhku tetap menusuk dirinya. Farah menggerak-gerakkan isi bagian dalam liang kawinnya. Lebih tepatnya otot kegel-nya. Alamak! Batang Aseng junior seperti diremas-remas, diplintir-plintir di dalam sana. Aku merebahkan diri ke tubuhnya dan kami berciuman saling pagut mulut lagi. Kaki Farah menahanku tetap di posisi ini cukup lama, berlama-lama merasakan nikmat bersama akan bertemunya perdana kelamin kami. Kugerak-gerakkan minimal pinggulku hingga ada sedikit gerakan mengocok selagi kami masih saling menikmati mulut.

Farah juga tak kunjung melepas mulutku walo aku berusaha memberi jarak dengan menopangkan tubuhku dengan tumpuan tangan. Dipeganginya pipiku dan ia terus menikmati mulutku. Setidaknya sudah ada jarak dan aku bisa bergerak dengan bebas, aku bisa mulai memompanya. “Ehmm… mmh… mmhh… uhh…” Dinding liang kawin Farah ternyata masih memadai menjepit dengan bantuan otot kegel-nya yang memberikan remasan erat dengan mengkontraksikan otot-otot perutnya. Jadi mau sebesar apapun kejantanan pria yang memasukinya akan selalu bisa diakomodirnya. Lidahnya menjulur yang kusambut dengan sambutan ujung lidah saja yang saling menggelitik kala aku menggenjot tubuhnya.

“Auh auh auhh… Auh auh auhhh…” erangnya kala kusodokkan Aseng junior dengan tusukan 2-1 andalanku. Kakinya yang menahan pinggangku menjadi batas tusukan yang kulakukan. Dua kali tusukan pendek dan sekali tusukan dalam, selalu berhasil membuat perempuan manapun dalam daftar binorku bertekuk lutut termehek-mehek minta lagi dan lagi. “Auh auh auuhh… Auh auh auuhhh…”

Erangannya yang lumayan kuat sebenarnya cukup membuatku risau. Jangan-jangan nanti si Dea itu terbangun pulak karena berisik yang disebabkan sepupunya ini. Kalo dia minta gabung, bolehlah. Tapi kalo dia ngamuk-ngamuk gimana? Menghindari hal itu, kusumpal lagi mulut Farah agar tak terlalu berbunyi. Ia mengerang tertahan karena ia terlalu sibuk mempermainkan lidahnya yang bergulat dengan lidahku.

“Ahh ahh aaahhh… Bangghh… ahh ahh aaahh…” remasan kegelnya semakin frantic tak teratur pertanda ia tak dapat mengendalikan tubuhnya lebih jauh. Tangannya meremas-remas acak punggung dan lenganku. Permainan mulutku tak diperdulikannya lagi. Ia membiarkanku mengulum dan mempermainkan bibirnya. Ia asik sendiri dengan kenikmatan yang sedang bergulung-gulung hendak membuncah ke permukaan bentar-bentar lagi. Kulakukan sodokan satu-satu panjang. Menghujaminya dengan sodokan dalam-dalam memanfaatkan panjang Aseng junior-ku yang standar saja. Kepalanya terbanting kanan-kiri dan ia selalu menyambut sodokanku dengan hentakan tubuhnya juga. Menggelinjang liar dan akhirnya…

“Aaahhh…” pantatnya terangkat sesaat dengan Aseng junior terbenam dalam. Jepitan kegelnya mencengkram erat ritmis cepat pertanda ia mencapai puncak kenikmatannya lagi. Kembali tubuhnya berkejat-kejat liar seperti terkena epilepsi. Tangannya mengepal erat membetot bahan kulit sofa ini. Kusodok-sodok pelan dan kukecup-kecup pipinya. Mulutnya menganga mencari udara sebanyak-banyaknya. “Enaaak banget, bang…” lirihnya agak parau.

Kucabut Aseng junior dari liang kawinnya saat kami berciuman lagi agak lama, lalu kubisikkan agar ia agak berubah posisi. “Miring…”

Dengan bantuan tangan, aku mencoba mengarahkan Aseng junior-ku yang masih basah oleh sisa cairan pelumas Farah. Tubuh binor ini miring ke arah ranjang yang ditiduri Dea. Mudah saja Aseng junior menelusup masuk berkat licin dan becek liang senggama Farah. “Uuhh…” desahku merasakan himpitan ketat liang yang menjadi lebih sempit dari seharusnya. Aku suka sekali posisi ini, posisi miring. Membuatku cepat ejakulasi. Setidaknya aku harus mempraktekkan posisi ini sekali pada binor-binor koleksiku. Satu kaki Farah melintang dan aku mengangkangi satu kakinya saat Aseng junior menusuk masuk. Aku memperhatikan mimik wajah Arab Farah yang meringis merasakan sodokan dalamku. Aku memeluk pinggulnya hingga aku dapat mengkandaskan kemaluanku ke dalam liang kawinnya.

Sepasang payudara montoknya saling tumpang tindih di posisi miring ikut bergoyang-goyang terguncang akibat genjotanku. Rasa geli akibat gesekan prima dua kelamin kami sangat terasa nikmat saat ini. Bobot paha dan pinggulnya menambah tekanan taraf sempit liang vaginanya. Farah memejamkan mata menikmati semua senggama kami ini. Tangannya mencengkram pergelangan tanganku yang memeluk pinggulnya. “Ah ah ah ah…” erang Farah tiap tumbukan Aseng junior merangsek masuk ke dalam tubuhnya.

Kremut-kremut nikmat sudah terasa menggelitik. Kenikmatan sudah pasti di depan mata. Tidak bisa ditahan-tahan lagi dan tak perlu ditahan karena ini semua tujuan seks ini. Mencapai kenikmatan. Hamil hanyalah bonus plus-plusnya. Rasanya semakin menggelegak dan aku mempercepat sodokanku ditingkahi suara erangan Farah membuat ini semua menjadi semakin indah untuk disemprotkan.

“Faraaahh!! Akhhh… Ahh… ah…” kulesakkan dan kudiamkan Aseng junior yang bercokol dalam takala saluranku berkedut-kedut memompakan muatan kentalnya di saluran uterusnya. Menuju rahimnya, menyapa sel telur yang sudah dilepaskannya. Membanjiri peraduan bakal bayi itu dengan jutaan bibit subur terpercayaku. Farah juga mengerang-ngerang menikmati hangat spermaku yang mengisi perutnya. Mungkin ia juga mendapat ekstase itu karena ia berkejat-kejat juga. Aku hanya sedang menikmati apa yang menyelimuti tubuhku saat ini. Rasa nyaman setelah menyemprotkan sperma. Rasa lega sudah berhasil menggagahi binor Arab yang aduhai cantiknya ini. Tak kalah kok jantan lokal begini untuk memuaskannya.

Kubiarkan Aseng junior tetap bercokol dan aku menghibur diri dengan meremas-remas payudaranya. Kupermainkan pentil susunya sampai ia bergidik geli masih di posisi miringnya. “Bang!” lalu ia tercekat dan meremas pergelangan tanganku.

“Dea…”

——————————————————————–
Aku merasa deja vu. Aku pernah mengalami hal yang mirip seperti sebelumnya. Situasinya agak mirip-mirip dan kondisinya saja yang berbeda.

Ya… Saat itu kejadiannya di kamar hotel juga saat seminar dari satu instansi. Aku berdua bersama Dani di kamar hotel sehabis bersetubuh, mangkir dari seminar tersebut. Kak Sandra datang mengetuk minta jatahnya. Situasinya mirip dengan saat itu, selesai ngentot dengan kak Sandra, Dani memergoki kami berdua.

Kondisinya sekarang, Dea memergoki aku habis ngentot dengan Farah…

Dea duduk di atas ranjang masih hanya memakai bra saja. Selimut hotel bergulung di sekitar perutnya. Ia menatap tak percaya apa yang telah disaksikannya. Mulutnya terbuka dengan mata nanar melihat tubuh kami berdua yang telanjang bulat masih terkoneksi oleh bersatunya kelamin yang becek lengket oleh spermaku. Lampu kamar ini terang benderang jadi tidak ada alasan salah liat atopun salah paham.

Entah sejak kapan ia bangun?

“Dea…?” lirih Farah tapi cukup jelas didengar sepupunya.

“…” aku gak tau harus ngomong apa. Digerebek oleh perempuan yang vaginanya sudah kau obok-obok agak gimana gitu, ya?

“Aku kesurupan Burong Tujoh lagi, ya?” tanyanya malah membahas hal lain. Apa dia masih linglung? Apa itu Burong Tujoh? Burung Tujuh ato Tujuh Burung?

Farah mendorong tubuhku agar melepaskan dirinya. Byung! Aseng junior tercerabut dari sarang anyarnya masih berlumuran sperma kental. Dea memandangi kami dengan ekspresi yang entah menggambarkan apa. Tapi Farah mengutip celana dalamnya dan cepat-cepat memakainya lalu menghampiri sepupunya, duduk di belakang punggungnya. Membimbingnya untuk berbaring lagi ke ranjang lalu menutupi tubuhnya dengan selimut lagi.

Melihat Dea yang teralihkan dalam keadaannya yang kek gitu, aku mengutip semua pakaianku dan beranjak ke kamar mandi. Tapi posisinya tidak memungkinkan. Arah ke kamar mandi ada di sebelah pandangan mata Dea sehingga aku masih menutupi si junior-ku ngibrit ke kamar mandi. Bersih-bersih sekenanya, menenangkan Aseng junior yang masih belum puas sebab baru sekali aja ngecrot—memasukkannya kembali walo masih sedikit tegang. Selesai memakai semua pakaianku, aku keluar lagi.

Berdua mereka masih di posisi tadi. Farah yang hanya memakai celana dalam memeluk Dea yang hanya memakai bra dibalut selimut hotel. Farah sedang menenangkan Dea dengan berbisik-bisik, memeluknya dari belakang—memberinya rasa aman. Keduanya melihatku yang baru keluar dari kamar mandi, mendekat karena ada yang ingin kutanyakan.

“Siapa dia, Farah? Kudengar kau lagi ada masalah sama Hussein… suamimu…” mungkin Dea sudah penasaran dari tadi dan baru sekarang ia baru bisa menanyakan ini setelah kabut pikirannya mulai jelas balik ke kewarasannya. “Dan kalian baru aja… itu… berhubungan…” ragu-ragu ia mengatakannya. Ia sedikit berbalik dan berbisik, menutupi mulutnya dengan tangan agar aku tak melihat gerakan mulutnya.

“Dea nanya… kenapa kemaluannya juga kerasa basah?”

“Hei? Apaan sih, Farah?” kaget Dea sebab Farah membocorkan isi pertanyaan yang dibisikkannya tadi. Farah tertawa-tawa geli karena berhasil mengerjai sepupunya ini dengan memberitahuku soalan yang mungkin memalukan baginya.

“Namanya bang Aseng… Dia yang membuat kemaluanmu jadi basah begitu… Tapi bukan pakai yang ada di antara kakinya itu… Cuma pakai jarinya aja, kok…” terang Farah tentang kegiatan kami tadi untuk membebaskan Dea dari jeratan racun setan cicak tadi. Aku meringis ngenes karena sepertinya Farah gak mau menutup-nutupi apapun tentang kejadian eksorsisme tadi. Tapi ia cukup pintar malah berhasil menutupi skandal persetubuhan kami yang juga jelas-jelas seterang matahari.

“Dea malu, Farah…” binor sepupu Farah itu jadi sangat malu dan berbalik tak mau melihatku lagi hingga kedua perempuan itu kini berhadapan. “Gara-gara Burong Tujoh… Dea selalu dalam kesulitan besar…”

“Maaf, bu Dea… Burong Tujoh itu apa? Apa itu nama setan yang merasukimu tadi?” tanyaku tentu asing dengan nama setan itu. Apa itu masih dalam bahasa Aceh juga? Daerah yang sebenarnya dekat dari Provinsi-ku ini tapi aku belum pernah punya akses ke sana untuk sekedar mengenal bahasanya. Kalo diterka-terka dengan mudah Burong Tujoh itu burung yang berjumlah tujuh ekor. Apa artinya tujuh setan berbentuk burung. Gitu ya? Bisa-la nanti kuadu sama si Panglima Burung. Hebat mana tujuh burung dari Aceh ini dengan burung Enggang Kalimantan. Tapi tadi yang kuhadapi adalah setan cicak…

Dea melirikku sebentar ke belakang tapi ia balik menghadap Farah lagi.

“Bang Aseng ini tadi udah mengusir setan cicak itu darimu, Dea… Tuh liat… Ekornya masih nempel di situ… Liat?” tunjuk Farah pada mandau-ku yang memacak sebentuk ekor reptil besar di dinding kamar hotel. Dea harus berbalik lagi dan untuk melihat dengan jelas apa yang ditunjukkan Farah. Kurang jelas ia duduk dan menggunakan selimut untuk menutupi bagian dadanya yang terekspos hanya mengenakan bra. Matanya terbelalak melihat bukti ucapan Farah barusan. Ekor buntung itu masih menggantung tak bergerak ditancapi sebilah senjata tajam panjang.

“Setan cicak itu tadi juga sudah meracuni tubuhmu… Aku juga tadi ikut membantu bang Aseng mengeluarkan racun itu dari tubuhmu, Dea… Racun itu dikeluarkan lewat kemaluanmu… Makanya kau ngerasa basah kan di bawah sana?” Farah iseng menyingkap sedikit selimut yang menutupi dada Dea, untuk mengintip tempat keluarnya racun setan cicak tadi. “Tenang… Bang Aseng cuma make jari aja, kok… Gak make burungnya…” Ya-iya… Burungku cuma dipake ke kamu aja, Farah.

“Hu hu huuuuu…” malah jadi nangis ini binor membingungkan. Aku pandang-pandangan gak ngerti sama Farah. Farah cuma bisa menjengitkan bahunya tanda gak tau. Ia hanya bisa mengelus-elus rambut panjang tebal bergelombang sepupunya itu untuk sedikit mengurangi apapun yang sedang membuatnya kalut.

“Dea… Dea… Cerita apa yang sedang menimpamu ini? Aku ini sepupumu… Aku gak tau apa yang sudah menimpamu selama ini… Bang Aseng ini mungkin bisa menolongmu… Kalo setan itu ada tujuh… Satu dari tujuh-tujuhnya tadi sudah diusirnya…” kata Farah berusaha mengorek keterangan. Tentunya ia sangat ingin membantu sepupunya ini. Tentu sangat mengerikan kalo benaran ada tujuh setan yang benar-benar menghantui hidupnya.

“Bu-burong Tujoh itu hantu berjumlah tujuh, Farah… Mereka muncul secara bertahap… Burong sa, Burong dua, Burong lhe, Burong peut… Burong limong… nam trus sampai tujoh… Burong artinya hantu…” jelas Dea hanya pada Farah sembari menghitung jumlahnya.

“Berarti setan cicak tadi adalah Burong kelima…” tukasku. Kedua perempuan bersaudara itu beralih padaku. “Hantu kelima…” simpulku. Dea mengangguk membenarkan kesimpulanku. “Awak tadi hanya mengusir hantu kelima itu… Dia hantu yang licik dan pintar… Ia mengalihkan perhatian kita dengan mengorbankan ekornya… Ekor cicak bisa tumbuh lagi—ingat?” aku menunjuk pada trofi palsu berupa ekor cicak raksasa yang bisa tumbuh lagi. Kedua binor itu wajahnya bertambah horor mendengar penjelasanku.

“Apa yang sudah dilakukan hantu-hantu keroyokan ini padamu, Dea? Beraninya keroyokan gitu sama orang yang gak berdosa…” tanyaku. Tentunya ada motif tertentu dibalik kasus ini sehingga harus mengerahkan hantu secara gangbang kek gini.

“Apakah dikirim sama mantan suami pemalasmu itu, Dea? Dia kan selalu sesumbar gak terima Dea gugat cerai… Akan membalasmu… Dia juga bilang akan merusak rumah tanggamu… Buktinya sampe sekarang Dea belum juga bisa hamil… Jangan-jangan gara-gara Burong Tujoh ini?” cetus Farah main sambar aja.

“Kata orang-orang tua yang kami datangi juga begitu… Hikayat hantu Burong Tujoh sangat menakutkan di Aceh sana, bang… Tak banyak yang benar-benar bisa mengobati orang yang sudah terkena tulah Burong Tujoh ini… Selama ini kami hanya bisa menahannya… Tadi aku lupa melakukan pencegahannya… Mereka selalu muncul sehabis Dea berhubungan dengan suamiku…” ia lalu terdiam setelah mengatakan itu. Mungkin malu. Jadi sebelum suaminya berangkat ke Malaysia untuk kuliah lagi, perpisahan mereka lakukan dengan berhubungan suami istri. Wajar, sih.

Takut-takut ia berpaling padaku. “Apakah abang ini… dukun?”

Benci kali aku dianggap dukun. Aku hanya menggeleng menolak cap itu. “Awak bukan dukun, Dea… Cuma bisa-la dikit-dikit…” aku melangkah menuju mandau-ku yang masih memancang ekor cicak buntung itu. Kucabut dari tancapannya di dinding. Dengan ujung kaki kulepaskan ekor buntung itu yang masih menempel di mandau Panglima Burung. Tiba-tiba menyeruak bau busuk bangkai yang sangat bau sekali. Aku sontak mundur dan menutup hidungku karena baunya sangat menusuk hidung. Cahaya di sekitar kami meredup secara ghaib, seperti diserap oleh bau busuk yang bersumber dari ekor buntung itu. Ada beberapa siluet bayangan yang membayang di dinding entah dari sumber cahaya mana. Agaknya penyerapan terang ini adalah tujuannya.

Jumlah siluet bayangannya ada tujuh buah. Inikah mereka para Burong Tujoh secara lengkap. Bentuk-bentuk ganjil yang merepresentasikan wujud mereka kala bermanifestasi di dunia nyata. Wujud untuk menyebar teror di mayapada ini.

“Aneuk inong jeh punyoe kamoe… Dia punya kami… Hana seulamat dunia akherat…”

“BACOT PUKIMAK KLEN SEMUA!!” makiku karena kesal setan-setan itu ngomong nyampur-nyampur. “KLEN ITU LEBIH RENDAH DARI BINATANG! GAK USAK BANYAK KREAK SAMA AKU!! KELUAR KLEN SEMUA SINI!!” makiku terus gak perduli. “BUJANG INAM KLEN SEMUA!!”

“Ha ha hah hahahahah…” mereka tertawa bersama-sama dengan berbagai irama suara dan nada. Kalo orang awam tentunya akan sangat menakutkan. Contohnya dua binor di belakangku yang sudah kelimpungan ngumpet gak genah-genah. “Ada jagoan aneuk agam… Ha ha hah hahahahah…” kembali setan-setan pukimak yang beraninya keroyokan itu pada tertawa terbahak-bahak mengejek.

“Gak usah banyak bacot klen semua!! Keluar sini kalo berani… Kucincang klen semua!!” provokasiku menantang ketujuh hantu itu agar nongol di depanku. Pernah klen nengok orang nantangin hantu? Cuma jebolan Ribak Sude yang berani.

“Tak usah banyak sesumbar, aneuk agam… Kamoe tau siape gata… Ribak Sude… Kek kek kek kek… Gata paling panggil teman-teman gata jeh… Peunoh teumpat nyoe… Ha ha hah hahahahah…” kali ini hanya satu suara yang mewakili yang lainnya. Suaranya lelaki muda yang sedikit nge-bass suaranya.

“Apa tujuan klen rame-rame mengganggu perempuan ini? Klen disuruh ngapain? Membuatnya mandul?!” sergahku pada bayangan ke tujuh Burong itu. Mereka tak kunjung terpancing provokasiku.

“Pertanyaanmu tidak penting dijawab… Yang pasti hidupnya tidak akan bisa tenang selama-lamanya… Ha ha hah hahahahah…”

“Ahh… Klen cuma bisa disuruh-suruh… Kalo bayarannya pas, laksanakan… Dasar setan rendahan… Begitulah klen semua… Agenda klen semua kan dengan berbagai macam cara menjerumuskan manusia jadi kek klen juga… Kalo klen disuruh-suruh sama manusia… apa jadinya? Ya gak, sih?” kembali provokasiku mengemuka. Mempertentangkan mereka dengan prinsip dasar mereka kadang memancing ego tinggi hati mahluk yang terbuat dari api ini.

“Jangan samakan kami dengan mereka?”

“Jangan samakan? Apa bedanya? Udah banyak kali jenis kek klen ini yang udah kubante, biar tau kian klen ya? Semuanya hanya disuruh-suruh manusia aja… Dikasih menyan dikit, nurut… Dikasih minyak nyong-nyong dikit, nurut… Cuma nyarik makan klen ya, kan?” aku mondar-mandir. Sejauh ini aku sudah berhasil berkomunikasi dengan setidaknya 3 dari tujuh Burong Tujoh ini. Pertama si setan cicak, bersuara perempuan tua bronchitis. Kedua suara pria muda nge-bass. Dan yang ketiga adalah suara lelaki yang agak cempreng suaranya. Akan lebih baik kalo ketujuh-tujuhnya bersuara karena dari koor suara tadi, kalo tidak salah hanya 5 suara yang bercampur di sana. Dua lagi kebanyakan diam saja, memilih membisu.

“Jangan samakan kami…” ini suara keempat. Suara wanita. Kalo biasanya ini yang jadi kuntilanak yang suka nakut-nakutin orang ronda dengan terbang wara wiri di atas pohon. Suaranya melengking tinggi. Kalo yang gak kuat iman mendengarnya bisa terkencing-kencing di celana. “Hi hi hihihihi…”

“Neng kunti… Sama klen semua… Gak usah sok paling paten-la kalo cuma jadi setan yang mengganggu manusia yang gak tau apa-apa… Gak kuharap klen kasian sama orang ini… Udah berapa taun dia berharap punya anak… Klen halang-halangi terus… Rezeki orang klen halangi… Nyawa klen-pun bisa melayang jadinya…” kukibaskan mandau di tanganku ke angin kosong seolah membabat mereka sekaligus.

“Dia cuma memancing kita… Tidak usah diteruskan…” ada suara pelan. Suaranya perempuan lagi. Berarti suara kelima. Ada ketegasan yang sangat dalam di suaranya. Setan yang satu ini mempunyai potensi sebagai pemimpin mereka. “Ayo pergi…”

“Tunggu… Tunggu dulu… Jangan pergi dulu… Kita belum selesai…” seruku berusaha mengulur waktu. Berusaha mencari lebih banyak apa tujuan mereka merasuki Dea. Apa tugas utama mereka?

Kegelapan aneh yang tadi tiba-tiba menyeruak menelan sinar terang kembali balik normal kembali. Kamar ini menjadi terang benderang lagi. Bau busuk itu juga sudah menghilang. Gorden yang menutupi jendela kaca itu agak bergoyang dan kukejar kesana, berharap ada petunjuk. Kusibak gorden itu dan berusaha melihat lebih jelas pada pantulan imaji yang ada di sana. Siluet ketujuh mahluk astral itu berjalan beriringan. Satu yang sangat kukenali adalah bentuk cicak raksasa yang berjalan ganjil dengan ekor buntungnya mengiringi sosok-sosok lainnya. Para rekannya.

Udah kek gangster ketujuh Burong ini kurasa. Menyerang manusia dengan cara keroyokan.

“Bang Aseng?!” teriak suara Farah. Aku sontak langsung berbalik dan menghampiri mereka yang sedang ngumpet di balik ranjang. “Dea, bang… Dea?”

“Kenapa Dea? Astaga?” kagetku seketika saat melihat keadaan perempuan itu. Tubuhnya membiru, mulutnya berbusa dan sekujur tubuhnya kaku. Ia terbujur berkejat-kejat di atas lantai. “Iihh… Ini dingin…” saat kucoba menyentuh kulitnya. Ini kebalikan dengan keadaannya sebelumnya yang mengalami demam panas. Ini malah kedinginan.

Sialan para setan itu. Menyerang dari belakang saat aku lengah.

Aku mengangkat tubuhnya ke atas ranjang dibantu Farah. Tubuh kakunya sangat dingin mengkhawatirkan. “Bang… Gimana ini, bang?” khawatir Farah melihat kondisi Dea mulai memburuk lagi. Ia membantuku membungkus tubuhnya dengan selimut agar lebih hangat. Bisa-bisanya perempuan ini mengalami dua serangan beruntun dalam satu malam saja. Aku menggosok-gosok telapak tanganku sampai terasa panas dan kemudian menempelkannya di pipinya. Farah meniruku tapi tak ada yang berhasil.

Kami berpacu dengan waktu saat ini.

Melihat tubuh Farah yang nyaris bugil, hanya memakai celana dalam—aku mendapat ide. Kubuka semua pakaianku lagi. Farah memandangiku dengan heran saat semua pakaianku lepas. Aku lalu memeluk tubuh Dea. Aku ikut menggigil merasakan suhu dingin tubuh perempuan ini tapi kutahan-tahankan. Tanganku memeluk erat dari balik ketiaknya. Mukaku menempel di pipinya. Bermaksud menyalurkan panas tubuhku padanya untuk membantu menghangatkan tubuh Dea. Kalo terpaksa, aku akan minta bantuan Farah juga sekalian menambah panas tubuhnya.

“Bang Aseng… Kalo diewein mungkin bisa lebih panas tubuhnya, bang…” usul Farah.

WHAT??

Bersambung

Cerita ngentot dengan pacar baru yang masih lugu
abg sexy
Cerita ngentot kegadisan ku yang di renggut pakdhe ku sendiri
adik ipar
Bercinta Dengan Siska Adik Ipar Ku
Di perkosa
Gadis Montok Yang Di Perkosa Tuju Preman Terminal
Foto bugil ABG nungging pamer memek mulus
tetangga cantik
Nikmatya Memperkosa Gadis Lugu Tetanggaku
tante anak hyper
Menikmati tubuh tante hyper dan anak nya yang sexy
Cerita Dewasa Ngewe Di Ruangan Komputer Kampus
cantik
Cerita dewasa petualangan sex geng joni bagian 2
Ngentot mertua
Menikmati tubuh mulus ibu mertua bagian dua
Booking Cewek Bispak Spg Rokok Yang Cantik
Foto bugil anje viral bugil sambil colmek sampai muncrat
Bercinta Dengan Tante Rena
Pembantu hot
Menikmati pantat montok pembantu ibuku yang manis
wanita sexy
Maaf Kan Aku Suami Ku Tersayang
Bermain Dengan Kak Ipar Yang Semok