Part #55 : Main Belakang Dengan Amei
“Masih bisa, bang?” tanya Julio melihat Aseng junior hanya mengendur sedikit aja dari kondisi tempur maksimalnya. Amei mengusap-usap sisa cairan kental yang menggenang di mulut liang kelaminnya. Dikorek-koreknya dengan ujung jarinya dan keknya gak abis-abis spermaku di dalam sana. Aku gak bisa protes melarangnya melakukan itu. Kau keluarkan-la itu, nanti kumasukkan lagi banyak-banyak biar bunting sekalian kau, Mei.
“Bisa…” jawabku asal aja hanya memperhatikan wajah Amei yang sedang mengecap-ngecap dan menelan sisa sperma suaminya. Malam ini fix aku gak akan menjamah mulutnya lagi, udah tiga ngecrot di situ si Julio-nya. Kukocok-kocok Aseng junior meratakan sisa sperma dan cairan pelumas Amei di sekujur batang kemaluanku. “Mintak satu kondom-mu…” kataku beralih pada Julio.
“Itu… Disitu…” ia menunjuk pada meja di samping ranjang. Ada beberapa sachet berisi karet pengaman itu di samping air minum milik Amei yang sudah tandas. “Aku ambil minuman dulu…” ia menunjuk keluar kamar dan cepat berlalu. Aku berbaring disamping Amei dan berusaha memakai karet itu pada Aseng junior.
“Kenapa dipake, bang? Abang katanya gak suka pake itu?” tanya Amei yang masih mengusap-usap cibay-nya yang becek beselemak.
“Awak mau nyobain pantatmu, Mei… Awak belum pernah nyoba sebelumnya… Itu…” agak segan kubilang kalo aku khawatir kenak tai. Kalo kenak setidaknya Aseng junior-ku terlindungi APK (Alat Pelindung Kontol).
“Oh… Bersih kok, bang…” kata Amei paham kekhawatiranku. “Tapi terserah abang, sih…” katanya bersiap-siap untuk menyambutku setelah melihat aku selesai membalut kelaminku dengan APK itu. “Gimana, bang?”
“Amei sukanya gimana kalo maen belakang?” tanyaku berusaha tak egois menanyakan preferensinya. Apalagi aku benar-benar tak berpengalaman kalo masalah anal meng-anal. Ia membalik badannya dan berbaling menelungkup memamerkan pantatnya yang membentuk bagus berlekuk-lekuk indah walo dalam keadaan tengkurap. Membentuk gundukan tebal dan membukit tinggi terbagi dua dengan ceruk dalam tempat liang nikmat itu berada.
“Enaknya begini, bang… Kerasa banget… Tapi agak susah masuknya… Abang coba dulu aja…” katanya sedikit berpaling dari bantalan tangannya yang menopang wajahnya di atas kasur. Ia melebarkan kakinya dan memamerkan belahan bokongnya yang akan kucoblos. Kuncup merekah lubang anal Amei terlihat masih sangat rapet dan peret walo sudah pernah ditembus beberapa kali. Entah oleh Julio sendiri ato partner-partner trisamnya. Menikmati satu lubang tambahan ini pasti akan sangat menggoda dicoba termasuk aku partner teranyar mereka. Tangan Amei lalu menjangkau ke belahan pantatnya, menggerakkannya lebih mencuat, ia menjawil belahan cibay-nya untuk seulas cairan sperma yang masih tersisa, memulas sekitar lubang anusnya lalu menusukkan jari ke dalam. Jarinya terbenam dengan mudah, dilubrikasi spermaku sendiri. “Tambah ludah biar lebih licin, bang…”
Aseng junior yang sudah menegang kembali ke ukuran siap tempurnya ketika aku memposisikan diri di atas kedua pahanya. Aseng junior langsung kesisipkan ke belahan pantatnya dan ujung kepalanya langsung merasakan lembab licin sperma yang sudah dibalurkan ke sekitar cincin anusnya. Rasanya sangat nyaman sekali bergesekan dengan kulit lembut dan kenyal belahan pantat Amei. Aku harus mencondongkan badanku agar sodokan-sodokanku dapat mencapai liang anusnya karena panjang Aseng junior bukannya panjang-panjang kali. Hanya standar 15 cm aja dan itu hanya cukup untuk memasukkan bagian kepala dan sedikit leher Aseng junior saja.
“Dikit lagi, bang… Ahh… Ummh…” desah Amei yang merasakan mulut lubang pembuangannya sudah disundul-sundul Aseng junior-ku yang mencoba menyeruak masuk. Amei makin menunggingkan pantatnya mencuat naik. Ternyata sesulit ini kalo mau ngerasain anal. Moga-moga aja rasanya seenak yang dikatakan orang-orang. Kusodok-sodok terus dan cincin anusnya mulai longgar merekah karena Amei juga merilekskan anusnya agar memudahkanku masuk. “Gini aja-lah, bang… Amei biar nungging dulu aja…” karena ia merasa nanggung juga karena kesulitanku memasuki analnya yang masih sempit. “Nanti kalo udah agak lama… Amei telungkup lagi…” ia bergerak dan menggunakan kedua lututnya menopang tubuhnya.
“Naaah… Dari tadi kek gininya…” kataku melihat anusnya lebih jelas di posisi ini tak tak terhalang oleh bongkah padat buah pantatnya. Cincin analnya juga lebih merekah terbuka, kemerahan bekas kusodok-sodok barusan tadi. Kutambah ludah untuk membasahi kepala Aseng junior yang sudah memerah menunggu gak sabar dibalik balutan karet kondom. Kugesek-gesek bagian kepala basah itu untuk menguak lebih lebar. Amei makin menunggingkan pantatnya. “Alamakjang!!”
“Aahhh… asshhh-ehhh…” Aseng junior berhasil meluncur masuk menembus gerinjal ketat penuh kerutan serupa sususan cincin pembentuk otot rectumnya. Walo belum masuk seluruhnya, aku terperangah akan sesak jepitan sangat menjepit liang anal Amei. “Ahh… Ahh…” desah Amei rupanya juga menikmati lesakan. “Sempit kan, baaang? Auhh…” apalagi saat perempuan itu mengapitkan ato mengkontraksikan otot analnya, Aseng junior seperti diremas dengan tangan rasanya.
Kuludahi lagi batang Aseng junior yang terbungkus kondom. Kubalurkan ke sekujur bagian yang belum masuk hingga berkumpul di bukaan sempit menggigit anal Amei. Sodok-sodok terus pelan hingga seluruh batang kemaluanku yang hanya seukuran 15 cm ini bisa amblas sepenuhnya di dalam liang anal Amei yang luar biasa sempit. Lebih sempit dari liang cibay-nya yang menggigit di ronde awal tadi. Kutarik pelan lalu dorong lagi. Amei sudah mengerang-ngerang keenakan merasakan gesekan yang sudah kami sebabkan di dalam saluran buang yang diklaimnya bersih. Dia sudah tak sabar untuk balik lagi ke posisi favoritnya itu, berbaring telungkup sembari dianal.
Kedua pahanya lalu kutarik dan ia rebah menelungkup masih dengan Aseng junior bercokol dalam di anusnya. Kedua kakinya kurapatkan dan kakiku melebar. “Aduh makjang… Sempit kali!!” umpatku tak sadar merasakan sesak yang kini dirasakan Aseng junior yang dijepit anus dan katupan kaki Amei. Rasanya sangat luar biasa sempit. Aku bisa ketagihan merasakan nikmat katupan sempit menjepit erat ini. Apalagi di dalam anus secara alami tidak memiliki lubrikasi karena peruntukannya memang tidak dirancang untuk ini, bukan untuk dientot pake junior pria.
“Baannghh… Yaahh… Yahh… Goyang, bang!” erang Amei histeris naik turun membenamkan mukanya di sprei ranjangnya.
Aku mulai menggerakkan pinggulku menusuk-tarik ke dalam bool anusnya. Perutku rapat merangsek belahan pantat tebalnya dan kedua tanganku bertumpu tepat di samping lengannya. Memanfaatkan pejal kenyal bokongnya, aku hanya mengentoti anus Amei pendek-pendek. Tapi rasanya sangat luar biasa. Sensasinya aneh tetapi katupannya juara. Aneh maksudku, tidak seperti liang kawin normal yang teksturnya sangat kukenali, tekstur dalam anus sangat berbeda karena memang peruntukannya yang berbeda. Permukaan liang rektum itu mulus dan benar-benar halus tetapi pintu masuknya sangat ketat menggigit. Tekstur halusnya membuai Aseng junior seperti memasuki sebuah lorong yang tanpa perlawanan membalut bentuk padatnya.
“Ah ah ah ah…” erang Amei terus menerus.
“Hemb… hemb… hemb…” erang tertahanku menikmati liang anal perdanaku ini. Tapi walo seenak ini, semenarik ini enaknya, aku masih lebih suka kalo harus ngecrot di dalam liang kawin. Amei yang mengerang-ngerang menikmati perlakuan anal dariku tak berdaya menolak ketika tubuhnya kubalik menelentang di posisi ngentot normal MOT. Kakinya kubentangkan lebar kuangkat ke atas untuk lebih mencuatkan analnya lagi. Sperma kental masih mengalir pelan dari dalam liang cibay-nya.
“Akhh… Ah ah ah ah…” Amei tak sempat protes apa-apa kala anusnya kembali kujejali dengan Aseng junior-ku lagi. Kakinya yang terbentang terangkat memungkinkanku untuk mencoblos anusnya dengan tusukan panjang dan bertenaga. “Ah ah ah ah ah…” Perut Amei yang agak menekuk menambah tekanan pada anusnya yang melengkung, menyebabkan Aseng junior menggerus maksimal lorong analnya. Ditambah lagi pucuk toge kanannya kucucup dan kusedot-sedot kuat hingga pipiku agak kempot. Tangan Amei yang sedianya ada di atas menggapai-gapai udara kosong, kini sedang meremas-remas rambutku sementara analnya terus kugenjot. Rasanya sangat nikmat sekali. Anal perdanaku ini aku hanya bisa bertahan segini aja.
Cabut cepat Aseng junior dari dalam anus Amei, kutarik kasar karet kondom yang membalut batang kemaluanku, ternyata ada juga aroma-aroma gak sedapnya ikut tertarik keluar. Tetapi rasa enak yang bergulung-gulung di ujung mengalahkannya dan langsung kujebloskan ke liang kawin cibay-nya yang ikut menganga becek, dengan mudah tanpa perlawanan apapun. “Byusshh…” kocok-kocok cepat sebentar dan, “Croott croot crooott!!” Aseng junior muntah kembali di dalam liang kawinnya untuk kedua kalinya malam ini.
“Auhh… Ah ah ahh…” luar biasa, Amei juga ngikut orgasme walo hanya sebentar kukocok cibay-nya. Apakah akumulasi kuentoti analnya tadi juga berpengaruh. Ah… Stimulasi nikmatnya sangat memabukkan. Kedut-kedut nikmat tubuhnya serasa memijat-mijat Aseng junior agar menguras semua cairan kental berisi penuh bibit suburku memasuki rahimnya. “Akh… ahh… Ha ha ha… Enak bangheet, bhaang…” erangnya menjilati bibirnya dan memijatinya togenya sendiri. Kusodok-sodok pelan sebentar lalu kucabut sama sekali. “Umm…” kusodorkan Aseng junior ke mulutnya yang haus akan kontol yang menegang. Dicaplok dan disedotnya dengan seksama walo masih ada sisa spermaku di sekujur batangnya. Ia tak menghiraukannya dan menikmatinya sepenuh jiwa.
Julio muncul dari sampingku dan menyodorkan kontolnya juga ke mulut istrinya. Ia mendesakkan miliknya agar juga mendapat perhatian Amei. Mau tak mau Aseng junior harus bersentuhan dengan milik Julio yang kelihatannya tak perduli sama sekali. Geli sentuhan lidah dan bibir basah Amei tersamar, bercampur dengan tersentuh kontol Julio. Gelik juga jadinya kenak punya laki-laki lain.
Ini resiko… Ini resiko… Itu yang terus berulang-ulang kukatakan pada diriku sendiri. Malam masih panjang dan sepertinya mereka berdua belum menunjukkan tanda-tanda akan usai melakukan ini semua.
“Enak bang pantatnya?” tanya Julio masih menjejalkan kemaluannya di dalam mulut istrinya. Amei memegangi kedua penis kami dan bergantian mengulumnya, menghisapnya dan menjilatinya. Kadang ujung penis kami dilagakannya dan dijilatinya bersamaan. Nakal binor panlok ini menggesek-gesekkan kepala penis kami berdua lalu mengulumnya sekaligus dengan gemas.
“Enak… Ini pertama untukku nyobain anal… Rupanya seenak ini… Sempit kali juga…” kataku memuji bool seret milik biniknya. Peyot-peyot penis kami berdua dibuatnya memasuki mulutnya, memaksa masuk dan disedotnya berbarengan memberi rasa ngilu dan sedap bersamaan. Julio bahkan menyodok-nyodok mulut istrinya hingga kulit batang kemaluan kami bergesekan di dalam rongga hangat mulut Amei menyebabkannya kelolotan kasihan. Julio menahan kepala Amei dan trus berusaha ngobrol denganku masih dengan biniknya yang kepayahan mengakomodir dua penis di dalam mulutnya.
“Memang sempit banget itu dua-duanya punya Amei… Semua yang nyobain bilang gitu, kok… Mau lagi, gak?” tawar Julio. Ia melepas penis miliknya dari mulut Amei hingga hanya Aseng junior-ku yang tertinggal di dalam mulutnya. “Mau anal ato cibay-nya lagi?”
“Ini aja…” aku menunjuk cibay Amei. Mata Amei melirik bergantian pada suaminya dan aku. Dilepasnya Aseng junior yang sudah bersih dari sperma dan dalam keadaan tegang sekali.
“Oh… Bang Aseng yang paling bawah aja… Kita sandwich Amei-nya bareng-bareng…” kata Julio batal memasang sebuah kondom baru. Amei tersenyum lebar dan membereskan rambutnya yang berantakan. Di-sandwich, ya? Amei bakalan dijepit di tengah-tengah kalo begitu. Aku mengikuti permainan mereka berdua dan berbaring senyamannya di ranjang ini. Amei melangkahkan kakinya ke atas pahaku dan duduk di dekat selangkanganku. Tangannya mengopyok-opyok Aseng junior perlahan merasakan keras dan tegangnya. “Masukin, Mei…” suruh Julio pada istrinya.
Perempuan itu menaikkan tubuhnya bertumpu di lututnya dan mengarahkan Aseng junior untuk memasuki liang kawinnya. Becek menggenang spermaku memudahkan jalanku memasuki cibay sempitnya. Tapi walopun begitu sempitnya tetap paling juara. Entah udah berapa jenis kontol yang udah memasuki tubuhnya tetapi masih saja sangat kerasa sempit menggigit liang kawin binor yang secara sengaja dibagi suaminya ini. “Aahhsss…. Mentok semua… Ohhnnn!!” menusuk dalam dan ia mendiamkannya. Amei lalu merebahkan tubuhnya maju, rapat ke arahku. Toge miliknya luruh jatuh di mulutku. Tanpa perlu dikomando kujilat dan sedot membuat tubuhnya bergetar-getar geli.
Julio bersiap-siap di belakang Amei dengan penisnya yang belum sepenuhnya tegang sempurna dan anehnya tak berkondom. Memasuki cibay istrinya ia memakai kondom, katanya kebiasaan. Dan ini kebalikannya akan memasuki lubang pantat malah gak pake kondom. Apa kebiasaan juga?
Amei yang menunduk rebah, tentu saja meninggalkan bokongnya mencuat membuka bekas kuhajar tadi. Pria itu sedang berusaha memasukkan penisnya ke anus istrinya. Berkali-kali ia meludahi tangannya dan membaluri kemaluannya sendiri lalu dicobanya menusuk masuk. Amei mendesis-desis seperti seekor ular merasakan anusnya didesak dimasuki kontol lain. Padahal Aseng junior sudah menyumpal sesak liang kawinnya. Walo berbeda saluran, liang kedua saluran ini berdekatan dan akan sangat menyesakkan bila dua-duanya harus terisi penuh. “Uahh… uaah uahh… Agghh… ahhh…” erang Amei meremas kain sprei yang makin kusut saja berkepal-kepal di tangannya.
“Sakit, Mei?” bisikku.
“Enaaak, bang… Ahh…” tubuhnya lalu perlahan berguncang-guncang pertanda Julio sudah berhasil memasukkan penisnya. Apalagi Aseng junior-ku sudah terasa sesak juga. Seperti ada sesuatu yang menekan dari bagian atas yang bergerak-gerak. Ternyata itu gerakan keluar masuk Julio yang meng-anal bool Amei. Tak perlu bergerak, Aseng junior-ku ikut bergerak memompa seirama mengikuti gerakan mengocok Julio di atas kami. Aku hanya perlu menikmatinya juga bermain dengan sepasang toge yang menjadi rezeki nomplok luruh di mukaku.
Aseng junior-ku yang dalam keadaan melengkung menusuk terbantu gerakan Julio di sempit tertekannya saat ini. Ini lebih sempit dari biasanya dan sukses membuat kami bertiga keenakan sekaligus kelimpungan dengan rasa nikmatnya. Gesekannya sangat optimal terasa. Julio mengerang-ngerang keras dan kutenggarai pria itu akan ejakulasi lagi. Berkat gerakannya aku tidak perlu susah payah mengocokkan kemaluanku di dalam cibay Amei. Sodokan cepatnya menggerakkan milikku bersamaan. Erangan pria itu semakin liar dan keras.
“Ahhh ahh ahhh…. Huhh…” terasa ada sedikit tekanan dan kedutan-kedutan yang terasa di atasku. Pasti Julio sudah ngecrot untuk keempat kalinya. Dan ketika kulirik ke meja yang ada sachet kondom, gelas minuman Amei, sekarang ada beberapa botol minuman energi. Mungkin itu yang menjadi andalannya untuk stamina kegiatan esek-eseknya malam ini. “Ahhh… Ha ha haha… Lanjut, bang Aseng…” seru Julio menggulingkan dirinya lepas dari interkoneksi kami bertiga hingga hanya tinggal aku dan Amei yang masih terhubung. Kulepaskan kekepanku pada kedua toge kenyalnya dan kutegakkan badannya, menyuruhnya untuk mulai bekerja.
“Heesshhh… Uhh… Dalem banget, bang…” erangnya merasakan sisa satu batang penis yang masih bercokol di dalam tubuhnya. Tangannya menelusup masing-masing ke cibay dan anusnya. Keduanya sama-sama mengobel dua lubang sempit miliknya yang sudah kunikmati malam ini.
“Ayo goyang, Amei… Nanti kalo capek… biar awak yang bantuin gantian…” pintaku. Kukedut-kedutkan batang Aseng junior dan tanganku menjamah sepasang toge miliknya langsung kuremas gemas. Mulut binor itu menganga keenakan lidahnya nakal menjilati bibirnya. Julio terduduk di lantai dengan penis lunglai merah padam. Muka dan dadanya juga merah padam seperti kepiting rebus. Keringatnya bercucuran kelelahan. Tanganku menekan ke atas sebagai bentuk perintah gak langsung. Ia mulai bergerak menggeol-geol dahulu lalu naik turun.
“Yaaahh… Ahhh ah ah ah… Ahhh…” erangnya membantu tanganku yang sedang memerah susu toge menggemaskannya. Ujung jariku menusuk-nusuk putingnya lalu dikulik-kulik meningkahi gerakan naik turunnya. Pantat tebal kenyalnya membal berulang-ulang di pahaku memancingku untuk membantu menusuk. “Auh… auh auhh auhh… Ahhh…” tiap Amei menghentakkan tubuhnya turun menelan Aseng junior-ku, kusambut dengan tusukan juga hentakannya terasa dobel berulang-ulang.
Kembali ia menyedot jarinya mendambakan kontol lain yang akan memasuki mulutnya yang nganggur. Sudah menjadi kebiasaan baginya untuk merasakan penis lain di dalam mulutnya, untuk disedot, dikulum dan dijilat hingga memuntahkan isi kental lezatnya. Itu sudah menjadi kebiasaan bagi Julio sendiri dan tak sanggup dilakukannya karena sepertinya pria itu sudah tepar hanya sanggup menonton mengelus-elus penisnya yang menciut menyedihkan. Julio sudah empat kali ejakulasi malam ini. Sepertinya ia terlalu bersemangat dan menghabiskan jatahnya. Ia menggeleng-geleng ketika saling kode dengan Amei untuk mengisi mulutnya dengan kemaluannya. Wah… Aku akan menguasainya sepanjang sisa malam ini kalo begitu…
“Aiihhh…” tubuh Amei mengejang untuk keberapa kalinya malam ini. Ia hendak rebah kembali ke arahku tetapi kutahan dengan tetap menguleni toge kenyal yang tak bosan-bosan kuremas bagai adonan kue. Tubuhnya lemas tetapi tertahan tetap tegak. Liang kawinnya mengkremes-kremes Aseng junior dengan kedutan-kedutan sisa orgasmenya. Sebagai gantinya aku yang bangkit dan memeluk tubuhnya dalam rengkuhan rapat. Togenya amblas gencet di dadaku. Aku akan bermaksud untuk menyampaikan maksudku untuk menghamilinya seperti yang sudah dua kali sudah kuencrotkan di dalam rahimnya malam ini. “Ah… ah… Umm…” geliatnya kala cuping telinganya kuemut. “Yaa…”
“Mau hamil, gak?” tanyaku berbisik.
“Mau-laa…” jawabnya lirih juga. Kepalanya kutahan agar tak bergerak menghadapku. Kusamarkan dengan tetap mencumbu telinganya.
“Ya-udah… Kalo gitu diam-diam aja… Awak nembak terus di cibay Amei, nih… Amei lagi subur-suburnya, kan?… Mudah-mudahan abis ini Amei bisa hamil…” bisikku terus dengan Aseng junior masih bercokol dalam dan mentok mengetuk mulut rahimnya yang berkedut-kedut menerima tawaranku.
“Ya-ya… Amei lagi subur, nih… Betul ya, bang…” ia memelukku erat. Terasa togenya lumer mau pecah tertekan himpitan dadaku. Aku berbaring lagi dan menarik tubuhnya rapat ke arahku. Kusiapkan posisi kakiku agar bisa bergerak leluasa saat menyodok cibay-nya dari posisi bawah berpelukan rapat begini. Kukecup bibirnya sedikit dan ternyata belum bersih dari aroma si Julio. Kubenamkan kepalaku di bahunya seperti kepala Amei yang terbenam di bahuku. Lutut kutekuk lebar dan aku mulai menggenjotkan Aseng junior yang masih terbenam. “Aiiihh…. Ah… Ah ah ah ah…” nyaring Amei mengerang-ngerang merasakan sodokan cepat bagai piston stelan mesin racing, keluar masuk cepat.
Tubuh Amei tergial-gial untuk rapat kupeluk di sodokan cepat untuk memancing keluarnya bibit subur spermaku keluar dan membuahi binor ini lagi. Ia mengerang-erang tiada henti merasakan entah enak entah sakit kecepatan tinggi yang kupaksakan ini. Sesekali aku berhenti dan tubuh Amei lunglai lemah. Paha dan lututku penuh dengan racun asam laktat, racun otot yang mengindikasikan kelelahan otot. Padat tebal bokong Amei kuremas-remas selama masa rehat itu dan kuciumi leher dan telinganya hingga ia bergidik geli. Kubalik tubuhnya dan ia pasrah lunglai seperti sebuah bintang. Bintang segi lima; kepala, dua tangan dan dua kaki yang lemas tak bertenaga, dilanda badai nikmat.
Dengan leluasa aku membuka kakinya lebar-lebar dan kutusukkan lagi Aseng junior, kembali mulai menggenjot lagi. Genjot-genjot dan tak lama kuganti lagi dengan posisi miring kesukaanku. Tubuhnya bergulir lemah tak berdaya ketika kumiringkan ke arah suaminya yang masih duduk ndeprok tak berdaya, lunglai juga di lantai dingin. Sementara hangat tubuh istrinya kukangkangi dengan bebas. “Aahh…” erangnya ketika Aseng junior menelusup masuk dari posisi menyamping ini. Bertambah sempit saja cibay Amei begini. Kusodok pelan-pelan tetapi dalam. Jembutku menggelitik paha dan selangkangan berambut halusnya.
Amei meringkuk menggigil merasakan nikmat gesekan maksimal persetubuhan posisi miring ini dan gerakanku juga semakin brutal dan tak teratur. Lututku terasa ngilu dan lemas ketika semprotan demi semprotan menyembur tanpa penghalang memasuki tubuh binor yang disaksikan suaminya kuentoti dan selalu kuencrotin di dalam cibay suburnya. Entah apakah Julio tau masa subur istrinya ini ato tidak. Pokoknya aku sudah diizinkan oleh pemiliknya dan kumanfaatkan itu sebaik mungkin. Itulah enaknya kalo mengentoti binor… Tak usah khawatir dengan yang namanya tanggung jawab.
Walo lemes tak bertenaga, Amei gak keberatan kugarap sekali lagi hingga total malam itu aku bisa memupuk rahimnya empat kali. Semoga pada kesempatan pertama, sesi pertama ini aku bisa benar-benar menghamilinya seperti yang sudah kucurigai selama ini. Buktinya Andini, praktis hanya dua hari kebersamaan kami. Tepatnya satu malaman dan satu harian di hari yang berbeda. Dan aku bisa berhasil menghamilinya. Kalo sang suami klaim itu adalah anaknya juga tidak mengapa. Tidak penting juga siapa bapaknya yang terpenting adalah kehamilannya. Dari sekian banyak binor dalam koleksiku terakhir kecuali Mayumi dan Amei ini, hanya tinggal Karina saja yang belum ketahuan hasilnya. Tapi aku pede mengatakan hanya tinggal menunggu kabar baik saja.
Aku belum beranjak dari depan rumah Julio dan Amei. Pintu pagarnya sudah ditutup rapat dan aku belum kunjung menyalakan mesin motorku. Langit malam sangat gelap dengan sedikit hembusan angin dingin. Penerangan di kompleks perumahan ini terang benderang di setiap beberapa meter secara teratur. Gawat juga kalo tiba-tiba hujan saat-saat begini. Rumahku masih sangat jauh dari sini. Mengandalkan mantel hujan juga kurang bisa menapis rasa dingin. Lebih baik bergegas daripada ketakutanku menjadi nyata.
Putar arah aku menuju keluar dari kompleks perumahan tempat tinggal pasutri yang sudah kupuaskan malam ini fantasi gilanya. Aku juga sudah memuaskan diriku sendiri. Mudah-mudahan fantasiku sendiri bisa terpenuhi dengan menghamili binor itu karena sepertinya sang suami enggan untuk melepaskan benihnya di rahim istrinya sendiri. Dapat dipastikan kalo hanya bibit milikku yang memasuki Amei malam ini. Entah kalo abis aku pulang ini, mereka bercinta lagi dan Julio ngecrot di dalam…
Yang kutakutkan menjadi nyata, hujan gerimis mulai turun dan bertambah deras semakin jauh kutempuh jarak. Lalu menjadi hujan yang semakin deras. Aku menepi di sebuah jalan kecil yang sepi untuk memakai mantel hujan yang selalu ada di dalam bagasiku, berteduh di deretan ruko-ruko tutup. Lagipula aku harus menyelamatkan buku dan diktat kuliahku. Kimak! Kemana mantel hujannya? Gak ada di dalam bagasi! Siapa yang ngeluarin, ya? Kimak-kimak!
Gimana, nih? Mana makin deras lagi hujannya. Angin kencang memperparah cuaca membawa guyuran air berderu-deru. Di kejauhan ada kilatan-kilatan petir juga yang sesekali menerangi langit gelap. Jaket yang kupakai ini tidak cukup untuk menahan hujan walo bentuk bahannya serupa parasut, celana panjangku akan tetap basah kuyup. Menunggu hingga hujan reda adalah pilihan terakhir karena hujan tidak bisa diprediksi kapan akan berakhir. Akan lebih baik kalo tadi hujan turun saat aku masih dalam dekapan hangat tubuh Amei. Aku jadi teringat lagi pada binor yang udah kusemprotkan sperma empat kali itu. Cantik dan bodi bahenolnya sungguh ngangenin, nenenin dan ngeng-ngengin… Ntah bahasa apa itu?
“BRUKK!!” sesuatu menubruk tubuhku dari arah jalanan. Alhasil aku juga mendorong motorku yang ada tepat di belakangku hingga menghantam dinding ruko. “Aww!! Aw…” aku mengaduh-ngaduh kesakitan terutama pada bagian punggungku yang membentur motor. Apa yang barusan menabrakku? Hanya ada sejumlah air yang menggenang di teras sempit ruko yang menjadi tempatku berteduh. “PUKISEK!!” makiku berang sekali. Body Supra X 125-ku pecah-pecah, stangnya baling (miring), sayap depan dan lampu utamanya pecah. Motor kesayanganku jadi begini. Kusayang-sayang dan kurawat dengan baik, malah rusak dengan cara seperti ini. Tak kuperdulikan sakit-sakit di sekujur badanku. Apa yang tadi sudah menabrakku?!
Jalanan sepi, tak ada yang menjawab pertanyaanku. Tak ada orang ato kendaraan yang melintas. Hanya ada suara hujan. Semua orang pasti sedang meringkuk di dalam rumah dan kamarnya masing-masing. Kalo punya pasangan pasti sedang kelonan. Kecuali suatu bentuk berputar-putar ganjil hampir transparan tepat di tengah jalan. Aku baru bisa menyadari keberadaannya setelah ada kilatan petir yang menerangi eksistensinya. Mirip sebuah angin puting beliung berukuran kecil dan hanya saja ia berupa air.
Pusaran air kecil? Ia berbentuk puting beliung karena bentuk dasar kerucut berputarnya yang bertumpu di jalanan aspal. Tetapi melihat kondisi genangan air hujan yang seperti tersedot ke bentuk pusaran air itu, pusaran air itu semakin besar saja. “O-o? Jangan-jangan…” gumamku tak percaya dengan apa yang kulihat saat ini. Aku hanya pernah dengar tentang benda ini dan aku harap aku salah tangkap…
“BRUUK!!” sebuah tembakan lain mengarah padaku dan karena aku sudah bersiap, aku bisa menghindarinya dengan bergulingan jumpalitan. Sialnya, kini aku harus berbasah-basahan di elemen utamanya, air. Karena saat ini aku berhadapan dengan Banaspati banyu!
Banaspati banyu? Banyu artinya air. Setan ini masyur di kalangan masyarakat Jawa dan tentu saja penamaannya juga mengikuti bahasa itu. Bukannya Banaspati itu kepala berapi yang terbang-terbang menyerang mangsa ato targetnya. Ada kekurangan di penamaan itu. Banaspati kepala api itu disebut sebagai Banaspati geni. Jenis ini yang sangat populer karena sering terlihat melayang dan terbang di atas pemukiman rumah ato hutan-hutan. Penampakannya akan sangat jelas dan vivid oleh masyarakat yang bahkan bukan korbannya kala bergerak. Hingga khalayak awam menganggap Banaspati hanyalah bentuk berapi itu saja. Itu persepsi salah walo tidak ngawur juga karena malah sebenarnya Banaspati ada tiga jenis kalo mau lebih jelas. Tiga jenis?
Banaspati geni, Banaspati banyu dan Banaspati tanah.
Tembakan air itu menghancurkan dan merompalkan dinding ruko tempatku berdiri tadi. Pecahan semen keras itu jatuh luruh menimpa motorku yang malang. Aku hampir menangis melihat motorku di sana tapi aku gak bisa lama-lama bersedih karena pusaran air bernama Banaspati banyu itu menembakkan air terkonsentrasi dipadatkan itu lagi padaku. Aku melompat salto, kadang harus kayang, split di udara, geal ke kanan geol ke kiri untuk menghindari hujanan tembakannya. Setan air itu memanfaatkan keunggulannya di daerah yang sangat banyak mengandung air ini. Dieksploitasinya keuntungannya ini untuk menyerangku. Ia bisa dengan mudah mendapatkan air pengganti massa tubuhnya yang ditembakkannya saat ia berbentuk bola air besar yang mengambang.
Sekujur badanku sudah basah kuyup akibat berhujan-hujanan kek bocah gak diurusin mamaknya. Bedanya aku masih berpakaian lengkap nan basah sehingga mengganggu pergerakanku. Bahan kain baju dan celanaku lengket merekat di kulitku, menahan tubuhku.
Waktu berlari menjauh darinya, kulepaskan jaket lalu kemeja lengan panjangku. Semua itu kucampakkan begitu saja hingga aku hanya bertelanjang dada, sedikit bebas walo derasnya hujan menghujani tubuhku dengan bulir-bulir besarnya. Saat bergerak cepat melawan arah hujan, hantaman bulir itu bagai terjangan puluhan butir peluru. Pandanganku pun ikut kabur karena prisma air dan pantulan lampu di sekitarku menimbulkan rana-rana berkelip jingga dan putih di sana-sini.
Sialan… Gimana aku menghadapi Banaspati tipe air ini yang senangnya menyerang dari jarak jauh begini? Banaspati geni kemarin untungnya main frontal hingga bisa kami bisa gelut abis-abisan main fisik. Kuat-kuatan siapa. Lebih jantan. Tipe ini sangat bertolak belakang sesuai dengan sifat dan caranya mencari mangsa. Banaspati banyu bertempat tinggal di sungai-sungai ato danau. Ia memangsa korbannya dengan cara menenggelamkannya tanpa ada bukti bahwa dialah pelakunya karena korban sering hanya dianggap sebagai korban tenggelam kehabisan nafas, padahal telah dilahap Banaspati banyu. Karena inilah keberadaan Banaspati banyu kurang diketahui dan tidak populer. Mereka sering jadi tidak tersentuh dan bersembunyi dibalik banyak ulah jahat mereka.
Yang pasti Banaspati banyu ini berhubungan dengan Banaspati geni kemarin. Tidak mungkin dua malam berturut-turut aku diserang oleh dua Banaspati berbeda kalo bukan karena alasan tertentu. Jangan-jangan nantinya akan menyusul Banaspati tipe ketiga kalo aku bisa melalui ini semua. Itu yang terlintas di otakku ketika kulompati sebuah tiang telepon bercat hitam hanya sebagai pijakan untuk melontarkanku mundur. Tiang besi itu ringsek melengkung terhantam kuatnya tembakan air itu. Banyak yang kukhawatirkan saat ini. Bagaimana kalo ada warga penghuni sepanjang jalan ini yang mengintip pertarunganku ini dan merekamnya. Walo ini bukan pertarungan antar Menggala, tapi aku bisa mengungkap jati diriku sebagai seorang pendekar Menggala. Itu bisa sangat berbahaya bagiku pribadi, bagi Ribak Sude dan lebih luas lagi bagi dunia Menggala.
Sejauh ini, secara sekilas hujan yang deras di tengah malam ini mengaburkan minat siapapun untuk keluar ato sekedar melintas. Lebih baik mendekam di hangatnya rumah bersama orang-orang terkasih. Sementara aku harus jatuh bangun menyelamatkan nyawaku yang hanya sehelai ini. Tak ada pilihan lain selain mengeluarkan semua arsenal persenjataanku; mandau Panglima Burung dan bakiak Bulan Pencak. Jangan sampai petir menambah elemen keuntungan bagi Banaspati banyu kimak ini.
Menghunus mandau, memberiku beberapa kali kesempatan untuk menyerang lalu berusaha mendekat. Tetapi ia secara curang mundur dan menembakkan rentetan tembakan untuk memperkecil ukuran bola airnya lalu menghisap air hujan dari permukaan jalan aspal kembali. Ia melakukan itu dengan sangat cepat dan saat ia kembali menembak ia melayang berbentuk bola air. Ia seperti sedang mengulur sesuatu dan aku takutnya ia sedang menunggu datangnya petir menyambangi daerah ini. Kalo itu terjadi, aku Tamat. The End. Fin. Adios. Isdet (*he’s dead), mani’nat, gotong peti mati sambil joget-joget.
Kutebas terus menerus tembakan air itu sambil terus berusaha mendekatinya dan ia terus berlaku curang dengan mundur menjauh selalu saat kulakukan niatku itu. Ia menungguku lengah dan menghajarku dengan satu serangan kuat lalu menghabisiku dengan membabi buta. Banaspati banyu kembali mengumpulkan air dalam jumlah banyak lalu membajiriku di jalan ini serupa air bah yang datang bergulung-gulung cepat. Aku yang kewalahan lalu masuk ke dalam gulungan air itu, terhanyut dan berputar-putar di dalamnya. Ia bermaksud menenggelamkanku di air ini. Mataku yang cukup awas melihat gerakannya yang melintas melewatiku. Kalang kabut aku harus menghindari beberapa penghalang yang ada di jalanan ini berupa mobil-mobil yang terparkir, tiang-tiang lampu jalanan, pagar besi rumah warga. Nafasku tercekat karena gak bisa bernafas di dalam air. Aku terseret arus sedemikian jauh.
Air hujan deras dikombinasikannya dengan air yang ada di dalam parit digunakannya untuk menenggelamkanku. Aku terbatuk-batuk di tepian jalan. Aku beruntung air dalam jumlah besar itu masuk ke dalam gorong-gorong di ujung jalan. Aku sudah sampe jauh kesini. Sialan! Aku masih memegang pedang Selatan andalanku; mandau Panglima Burung. Bakiak Bulan Pencak entah dimana…
“Kimak!” makiku bosan. Mandau Panglima Burung kusampirkan di bahu melintang belakang bahu dan aku berlari kencang setelah memanggil kembali sepasang alas kaki sakti-ku, memanfaatkan kekuatan bakiak Bulan Pencak. Pagar stainless steel rumah warga, dinding depan bangunan sebuah warung, kusen jendela atas ruko berlantai dua, billboard gadget toko HP termutakhir, dish parabola di puncak rumah menjadi pijakan kakiku saat ku membentuk gerakan memutar lebar sekaligus menghindari tiap berondongan tembakan air yang melubangi apapun yang dikenainya. Dia tidak bisa membanjiriku di ketinggian ini.
“Tap!” aku berada beberapa langkah di belakangnya dan ukurannya mengecil karena semua massa tubuhnya sudah ditembakkannya rombongan barusan dan ia harus menyedot air lagi dari lingkungannya. Aku berhasil memperpendek jarak dengannya. Semua usaha susah payah tadi hanya untuk jarak ini. Banaspati banyu itu dengan curang berusaha mundur menjauhiku mengetahui aku ada di belakangnya. Aku dapat melihat bentuk asli kepala yang ada dalam lapisan air yang membungkusnya. Berupa tengkorak kepala manusia. Gotcha!
Rahang tengkorak itu terbuka kala ia menembakkan air itu seolah-olah ia adalah mahluk hidup. Lalu menutup kala menghisap air membentuk pusaran air itu saat mundur. Kupotong arah gerakan mundurnya hingga aku ada di jalur evakuasinya lalu ia berusaha berbelok menghindari tebasan bertenaga dari mandau-ku. Ia terus berusaha melarikan diri dan terus kucegat arahnya.
Di tengah jalan yang agak cekung dengan banyak genangan air ia terhenti dan menyedot air hujan itu. Belum sempat ia menikmati sumber elemennya itu, aku menciptakan cipratan berbentuk seperti dinding air dengan sapuan kaki pada genangan air itu ditenagai bakiak Bulan Pencak. Mulut tengkorak itu terbuka padahal ia belum cukup mengumpulkan air pembentuk bola penyelimut tubuh cairnya. Ia berpaling mencariku, lalu berputar lagi dengan cepat terus mencari keberadaanku yang dikaburkan dinding air yang seharusnya menjadi elemen pendukung utamanya.
Gerakan menyeser di kasarnya jalan aspal harus kulakukan rendah hingga aku ada tepat di bawahnya. Ini adalah aplikasi salah satu jurus silat harimau Mandalo Rajo yang kerap menyerang dari bawah terhadap lawan yang percaya diri dengan ketinggiannya. Bapangka Mancibuak Bintang (Dari Dasar Mengintip Bintang). “Whooaaa!!” aku tiba-tiba muncul dari bawahnya dan menebaskan mandau Panglima Burung langsung pada tengkorak bersalut gumpalan air itu. “STAKK!!”
Tengkorak itu terlempar melesat tinggi karena hantaman mandau-ku. Bahkan ada cipratan yang terjadi meninggalkan air yang menyelubungi kepalanya. Tidak boleh dibiarkan lama-lama karena ia bisa mengumpulkan air lagi dari hujan yang terus turun dengan lebatnya. Sontekan tenaga lompat memanfaatkan bakiak Bulan Pencak melambungkan tubuhku menyusul kepala Banaspati banyu itu. Gempuran air hujan yang membentur kulit muka dan tubuhku sudah seperti berondongan peluru es dingin yang terasa panas-pedih ketika menghantam tubuh. Aku mengayunkan lagi mandau-ku untuk melakukan serangan pamungkas pada Banaspati banyu sialan itu. Putaran lebar.
Ada lapisan tipis cairan keruh yang menyaluti tubuh kepala tengkorak manusia yang rahangnya sudah rompal menggantung tak seimbang menggenaskan. Lapisan itu seperti kantung ketuban yang menyelimuti bayi saat masih ada di dalam kandungan. Ia menatapku pasrah tak mampu melindungi diri lagi walopun rinai hujan menerpa kepala berbentuk tengkoraknya.
“Pedang Selatan Mendapuk Telaga!” ayunan cepatku hanya unggul beberapa milidetik saja dari sambaran petir yang ditunggu-tunggunya. Lidah petir itu menyambar ruang kosong karena Banaspati banyu itu sudah terkena sabetan mandau-ku, terbanting ke teras kering sebuah ruko dengan bagian kepala rengkah berlubang lebar memanjang hampir membelah bentukannya.
Terhindar dari bahaya lain yang lebih mematikan, tersambar petir-aku buru-buru menepi mencari tempat aman yang terlindung. Celingak-celinguk aku menilai kondisi lalu lari-lari menjelang kepala tengkorak Banaspati banyu yang sekarat di tempat terakhirnya. Daerah kering tak berair pantangannya. Tengkorak kering itu bergerak-gerak gemeretak menunggu musnah tetapi aku tak bisa melihat bentuk sejatinya karena terlalu terang sinar artifisial teras ruko tutup ini. Dengan sabetan mandau kupecahkan bohlam terang itu hingga aku bisa melihat lebih jelas Banaspati banyu itu. Yang tersisa adalah pendar cahaya saja dari gelap malam dan lingkungan sekitar.
Lapisan serupa ketuban itu sudah rusak bagai lapisan film tipis yang sangat rentan sobek. Air itu masuk dan meracuni bagian kepalanya yang rompal, lubang menganga yang selayaknya berisi otak manusia. “JDARR!!” kilatan petir menerangi sekelebatan dan aku mendapat sekilas imej seseorang di balik bentuk tengkorak sekarat itu. Rahang rompalnya lalu berhenti bergerak, kaku dan diam. Wujudnya lalu hilang, mengabur.
Apa hubungannya dengan dua Banaspati yang berturut-turut menyerangku ini? Dua Banaspati kuat dari elemen api dan air yang saling bertolak belakang patuh pada perintahnya. Entah apakah akan ada Banaspati ketiga yang akan menyusul. Banaspati tergolong setan kelas tinggi karena bisa menggabungkan dua elemen di dalam tubuhnya. Banaspati geni elemen utamanya api dan bahan bakarnya adalah udara ato angin. Dengan udara ia mampu dan bisa memperbesar kobaran apinya. Banaspati banyu elemen dasarnya adalah air dan bisa bersinergi dengan petir untuk memperkuat tenaganya. Untung tadi dia belum sempat mencicipi petir. Kalo enggak, aku pasti udah gosong abis-abisan.
Tidak terlalu kupikirkan itu semua… Tapi kenapa dia harus menyerangku? Apa salahku padanya? Malahan aku sudah membantunya…
—————————————————————————-
Untungnya Supra X 125-ku masih bisa menyala walo dalam keadaan porak poranda. Untungnya tadi aku sempat memasukkan HP dan dompetku ke dalam bagasi saat mencari mantel hujan tadi hingga tidak basah kehujanan. Walo bodi motor pecah sana-sini, stang baling, lampu dan sayap depan pecah, aku tetap berusaha pulang dulu dengan pakaian basah kuyup.
“Drrtt… pshh…” bola lampu utama konslet dan putus sehingga aku tanpa penerangan lampu headlamp. Air masuk dan menyebabkan arus pendek dari pecahan berlubang kaca mika lampu utama. Kesialan tambahan itupun tak terlalu kupikirkan dan menggantinya dengan membiarkan lampu tanganku terus berkedip-kedip menandakan ada kendaraan yang sedang melaju di derasnya hujan ini agar gak diseruduk kendaraan lain yang satu-dua melintas di jalan raya.
Sampe rumah, aku masuk diam-diam. Tidak membangunkan siapapun. Bahkan motor Supra X 125 ringsek itu hanya kutinggalkan saja di depan pintu basement. Kukunci kembali pagar dan masuk bermaksud untuk mandi. Udara dingin karena hujan berkepanjangan ini tak kuperdulikan. Ini sangat berbahaya kalo dikonfrontir langsung tapi rasanya sangat personal karena hanya aku yang secara spesifik diserang berulang-ulang. Tidak boleh berlama-lama dan harus segera diselesaikan juga aku penasaran akan alasannya. Kenapa aku?
“Dok! Dok! Dok! Dok!… Dok! Dok! Dok! Dok!” kugedor pintu rumah itu keras-keras untuk menarik perhatian seisi rumah. Dengan sebuah payung aku mendatangi rumah ini. Aku tau ini sudah sangat larut malam dan sangat tak etis bertamu ke rumah orang pada jam segini. Untuk itu itu aku menutup hidung dan mulutku dengan kain syal dan menghunus mandau Panglima Burung sebagai jaga-jaga aja. “Dok! Dok! Dok! Dok!… Dok! Dok! Dok! Dok!” kuulangi menggedor pintu ini keras tak perduli kalo malah para tetangganya yang bangun.
Terdengar suara kasak-kusuk di dalam rumah. Suara alas kaki yang bergesekan dengan lantai dan ngedumel khas dirinya. Hanya pintu kayu itu yang terbuka sedikit dan ia membiarkan pintu teralis tetap tertutup agar bisa melihat siapa yang menggedor berisik jam-jam segini. Terdengar suara berisik di dalam rumah ini, membahana. Ada tangisan bayi. Ada tangisan perempuan yang meraung-raung. “Siapa, sih?” sewotnya bingung karena ia sepertinya juga sedang sangat repot.
“Mana Vivi?” geramku menarik kain penutup mukaku agar ia cepat mengenaliku. Pria bertubuh kekar tapi gemulai itu sontak kaget mendapat bentakanku tiba-tiba. Ia juga kaget melihatku menenteng-nenteng mandau panjang kek rampok yang menyatroni rumah korbannya.
“Bang Aseng~~, tolongin… Vivi… Vivi kesurupan…” muka sangat Benget terlihat menyedihkan karena ketakutan setengah mati. Suaranya juga tergagap takut. Tubuhnya gemetaran menunjuk-nunjuk ke lantai dua dimana teman akrabnya itu berada. Kesurupan? Lalu gimana dengan Nirmala dan baby sitter-nya?
“Nirmala dimana?” tanyaku tentang keadaan bayi itu. Takutnya ada apa-apa dengan bayi yang masih sangat rentan itu. Benget menunjuk ke kamar bawah yang pintunya terbuka. Perempuan muda yang kukenali sebagai baby sitter Nirmala melongok takut-takut dari balik pintu ke arah atas lantai dua dimana suara raungan suara terdengar. “Vivi-nya dimana?” Benget menoleh ke atas. Itu suara Vivi?
Kulepas sendal jepitku dan masuk ke dalam rumah buru-buru setelah Benget membuka pintu besi berteralis ini. Tubuhku tiba-tiba bergoyang keras seperti sedang mengalami gempa. Kakiku tak bisa membuatku berdiri tegak dengan benar dan kepalaku terasa pusing karena pusat keseimbanganku terganggu guncangan gempa ini. Perutku yang kosong sehabis pertarungan sebelumnya juga seperti masuk angin, dingin terasa mual sekaligus. Benget yang tak jauh ada di dekatku tentu saja bingung dengan apa yang menimpaku.
“Bens… Gempa, ya?” tanyaku akan guncangan hebat yang kini menimpaku. Ia menggeleng-geleng bingung. “Ini kenapa goyang-goyang semua rasanya… Palaku pusing… perutku mual… Hoekk…” mandau Panglima Burung jatuh berdenting-denting di atas lantai. Tubuhku limbung dan jatuh tersungkur tak bisa menjaga keseimbanganku. Kucoba untuk bangkit tapi rasanya sangat berat. Kepalaku seperti diganduli sebuah forklift 2 ton, perutku seperti mempunyai dinamo blender mandiri yang berputar-putar mengaduk isi perutku yang terasa kosong padahal sudah kenyang abis traktiran makan bareng Julio dan Amei tadi malam.
“Hoekk…” aku muntah. Herannya isi perutku tak ada sisa makanan sedikitpun. “Hoekk…” cairan kuning yang rasanya sangat pahit yang keluar dari perutku mengotori lantai. Kepalaku tambah pusing dengan getaran gila yang tidak masuk akal ini. Apa yang sedang terjadi? Pandanganku kabur dan bergoyang-goyang. Bayangan panik Benget ada beberapa imaji yang terlihat di depanku.
Kenapa hanya aku yang mengalami ini? Dia kok enggak?
Aku berusaha merangkak keluar dari rumah ini menuju pintu yang dekat denganku. Aku paling-paling baru melangkah masuk dua langkah ke rumah ini dan serangan goncangan gempa aneh ini terjadi. Gempa yang hanya aku sendiri saja yang merasakannya. Mencapai ambang pintu, kejadian menakutkan lainnya terjadi… Dari pagar yang berjarak enam meter jauhnya, terjadi rengkahan tanah menuju tepat ke arahku. Rekah cepat berderak-derak membelah paving block, lantai granit, memecah cepat terbelah dalam menuju kepadaku. Panik aku mundur lagi masuk ke dalam rumah walo kepala dan perutku rasanya sudah gak karu-karuan. Retakan di lantai menjalar cepat tepat di antara kakiku seperti mengejar kemanapun aku bergerak.
“Bang? Bang~~ kenapa, bang?” Benget yang heran melihat tingkahku berteriak-teriak memanggilku menambah bising dan ricuh. Ditambah tangisan bayi Nirmala, tangisan baby sitter muda itu dan raungan Vivi di lantai atas. Ia tentu tak tau harus berbuat apa. Aku yang diharapkannya bisa membantu mereka mengatasi masalah ini ternyata mengalami hal yang sama peliknya. Hal pelik yang tak kupaham apa.
Bersambung