Part #56 : Vivi

Mau pasrah dan terima aja tubuhku tenggelam di dalam rekahan lantai dan bumi yang terbelah rasanya kok sangat mengenaskan. Aku berguling menjauh dengan tenaga terakhirku, rekahan berderak itu ikut berbelok. Ini sangat tidak wajar.

Tapi ini apa? Aku tau ini serangan supranatural karena sangat tidak wajar kalo rekahan bumi ini terjadi di dalam rumah tetapi rumah ini sama sekali tidak rubuh. Goncangan yang kuanggap gempa sampai 10 skala Richter begini kenapa hanya aku sendiri tok yang ngerasain? Si Benget kok anteng-anteng aja gak pusing ato tergoncang. Apa perbedaanku dengannya?

Ia memakai alas kaki sendal fluffy berbulu tebal itu sedang aku tidak. “Kimak! Kenak lagi aku…” gumamku sadar. Bakiak Bulan Pencak!

Kujejakkan kakiku di atas lantai ini dengan beralaskan senjata andalanku yang sering diremehkan lawan. Goncangan gempa hebat tadi kontan berhenti, rengkahan lantai dan bumi juga berhenti di ujung terakhirnya. Kuusap ujung mulutku dari sisa cairan asam lambungku yang naik akibat mual. Nafasku masih Senin-Kamis, tersengal-sengal. Benget memandangiku yang duduk bersedeku di lantai, agak lega karena aku tak lagi kepayahan akan apapun yang telah menimpaku ini. Bising tangisan Nirmala dan raungan dari lantai dua masih terdengar. Kuraih mandau Panglima Burung yang tadi sempat terlepas dari tanganku dan tergeletak begitu saja di atas lantai. Dengan bantuan tumpuan mandau aku berusaha berdiri.

“Keluar kau! Banaspati lindu…” kuhunuskan ujung mandau ini ke ambang pintu yang dalam pandangan mataku menjadi alur menjalarnya rekahan lantai dalam sampai ke bumi yang tadi mengejarku dengan brutal. Beberapa saat kemudian, sebuah bola berwarna coklat kehitaman bertekstur tanah melompat keluar dari rekahan tanah imajiner itu dan mendarat di lantai, berputar-putar sebentar lalu berhenti. Luruhlah tekstur tanah itu dan menampilkan sosok kepala seorang wanita yang sangat tua berambut putih kusut masai. Keriput menghiasi seluruh wajahnya dengan banyak flek-flek hitam. Cemong-cemong lumpur mengering ada di sekujur wajahnya yang pucat menakutkan.

Kupaksakan tubuhku yang lemas untuk berdiri dan menghadapi Banaspati lindu yang kini terang-terangan hadir di depanku. Apa itu Banaspati lindu? Lindu itu artinya gempa. Masih bahasa Jawa sesuai dengan asal muasal setan ini sering muncul. Banaspati lindu ini juga disebut Banaspati bumi ato juga tanah liat karena memang habitatnya adalah tanah sebagai elemen utamanya. Ia memang sering menyerang korban-korbannya dengan gempa seperti tadi. Biasanya di hutan, para penjelajah hutan yang berkelana tanpa alas kaki yang sangat rentan akan serangannya. Setan ini senangnya menghisap darah korbannya yang lengah tak beralas kaki di dalam hutan. Begitu tadi aku memakai alas kaki, serangannya terhenti. Karena itu ia tidak bisa menyerang Benget dan baby sitter muda itu karena hubungannya ke bumi terputus oleh alas kaki yang mereka kenakan. Berlainan dengan Banaspati geni yang malah menyerang orang yang memakai alas kaki untuk meningkatkan kekuatan ketakutan apinya.

“Hurk… hoek…” masih ada sisa rasa mual di perutku. “Bens… bawa Nirmala sama baby sitter-nya keluar lewat pintu belakang…” perintahku pada pria kekar tapi gemulai itu.

“Vivi gimana, bang? Dia masih di atas~~…” panik Benget yang jelas-jelas melihat penampakan kepala nenek-nenek yang tiba-tiba muncul di ambang pintu utama rumah ini. “Itu-itu apa, bang? Hi-ihh…” ia bergidik ketakutan menunjuk-nunjuk kepala Banaspati yang tergeletak begitu aja di atas lantai maju mundur dengan kaki rapat seperti menahan pipis.

“Gak usah banyak tanyak! Cepat bawa mereka keluar!… Nanti awak urus Vivi…” kataku tak melepaskan pandanganku pada wujud Banaspati lindu yang matanya jelalatan dengan lidah panjang menjulurnya. Benget mengangguk patuh tak bertanya lagi. Ia segera berlari ke kamar Nirmala dan menyeret baby sitter muda, membawa Nirmala keluar dan mengarahkan mereka menuju pintu belakang. Aku tak bisa memikirkan korelasi antara Banaspati-Banaspati yang muncul ini dengan Vivi. Apa hubungan mereka dengan VIvi? Kenapa ada tiga jenis Banaspati lengkap, muncul dan berkaitan dengan tetanggaku ini? Dari Banaspati geni, Banaspati banyu dan Banaspati lindu saat sekarang ini.

Banaspati lindu tak sedetikpun melepas fokusnya menatapku. Ia menggeser kepalanya sedikit-sedikit agar tetap sejajar dengan arahku. “Roarkk…” mulutnya menganga dan lidahnya menjulur. Dari balik rambut kusutnya muncul semacam pasir dan tanah yang dengan cepat berkumpul, menggumpal, menumpuk, dan menjadi bola yang membalut kembali kepala itu. Berdesing bola tanah itu berputar cepat pada sumbu sisi tubuhnya lalu, “SWINGGG!” meluncur cepat, bergerak dengan tidak wajar seperti sebuah roda yang lepas kendali tetapi tepat mengarah padaku.

Aku terlambat mengantisipasi gerakan cepat meluncurnya dan hantamannya telak menghantam dadaku. “BUGH!” terjengkang aku terdorong hantaman kuat Banaspati lindu yang berputar bak roda. Padat massa tanahnya terasa sangat keras. Licin lantai granit rumah Vivi dan Benget membuatku meluncur tergelincir sampai hampir membentur dinding ujung ruangan ini. Untung mandau Panglima Burung tidak terlepas dari tanganku. Mataku berkunang-kunang apalagi dadaku terasa sakit. Aku langsung sigap lagi gak mau dihajar lagi dan benar saja ia berdesing cepat dan menghantam dinding di belakangku karena aku berhasil berkelit di detik-detik akhir.

Bergulingan dengan tubuh lemas akibat muntah. Juga sudah dikuras akibat pertarunganku sebelumnya dengan Banaspati banyu. Apalagi lebih sebelumnya beberapa ronde ngentoti binor Julio. Kekuatan bakiak Bulan Pencak yang membantuku melangkah dengan mantap. Dengannya aku bisa memperkuat langkah kuda-kuda dasar yang sudah kupelajari sedari dulu. Bekas hantaman berputar cepat Banaspati lindu ini membuat rengkahan di dinding dan lantai ato apapun yang terkena hantamannya. Alhasil rumah milik Vivi ini jadi berantakan, porak poranda berlubang-lubang akibat serangan Banaspati lindu yang meleset.

Gaya bertarung seperti ini sebenarnya sangat sesuai denganku, seperti pertarunganku dengan Banaspati geni kemarin malam. Hanya saja staminaku sudah habis dan aku begitu ceroboh terbawa emosi langsung menyambangi tempat ini tanpa persiapan matang. Poding dulu, kek…

Jadinya aku bertarung seperti orang mabuk yang lebih banyak menghindar dan mengelak. Mengandalkan kelincahan dan keuntungan kekuatan bakiak Bulan Pencak. Seperti saat ini, Banaspati lindu itu berputar cepat di atas lantai, berdesing-desing seperti gerinda yang sedang mengikis bebatuan suara bisingnya lalu meluncur lagi menyerangku. Aku sudah bersiap-siap menghindar lagi dan kalo beruntung bisa mengayunkan mandau-ku untuk menyerangnya. Dadaku masih terasa sakit bekas hantaman pembukaannya tadi. Nyeri dan terasa panas menyesakkan jalan nafas. Ia kembali mengincar bagian dadaku hingga aku berkelit ke samping dan mengayunkan mandau Panglima Burung yang kini terasa lumayan berat saat ini.

“BOUF! BOUF! BOUF!” dengan cerdik Banaspati lindu itu melepaskan beberapa butir batuan padat saat melewatiku. Lengan dan punggungku terkena hantaman batu keras yang ditembakkannya, batu ketiga meleset dan menghantam lantai. Banaspati itu menabrakkan dirinya membuat lubang baru di dinding dan memantul lagi ke arahku. Gawat kalo ia melakukan taktik yang sama lagi. Setan tanah ini menjadi gabungan Banaspati geni yang bertarung jarak dekat dan Banaspati banyu yang bertarung jarak jauh—dia bertarung dengan baik di kedua jarak. Mampus aku.

Aku menghindar sejauh mungkin dari sambaran setan tanah itu dan memapas apapun yang ditembakkannya padaku. Lengan kanan dan punggungku yang terkena tembakan tadi memar biru-biru gitu sangking kerasnya batu kerikil yang ditembakkannya. Lontaran tembakan yang ditambah gerakan memutarnya menambah daya gedornya menyerangku. Aku mengaduh-aduh kesakitan di beberapa bagian tubuhku yang sudah terkena tembakan. Pandangan mataku juga mengabur oleh keringat yang bercucuran. Kukucek mataku, kok merah? Ternyata darah. Pantesan jidatku terasa perih ternyata terkena tembakan batu itu juga.

Hanya mental pendekar Menggala yang sudah malang melintang lama di ranah pertarungan yang membuatku dapat tetap berdiri tegak saat ini. Determinasi berbagai latihan bela diri dan akhir-akhir ini lebih fokus ke silat harimau Mandalo Rajo memberiku stamina tambahan. Kalo tak sanggup berdiri tegak, rebahlah di tanah layaknya seekor harimau. Mental pantang menyerah…

“Mandalo Rajo…” gumamku lirih. Ini potensi tersembunyi yang patut digunakan saat-saat genting seperti ini. Dimana stamina dan tenagaku sudah terkuras habis, rasa sakit menggelayuti seluruh tubuhku. Ibarat bensin, dari indikasi full di speedometer yang tersisa sekarang sudah di garis merah mendekati kandas. Cakar-cakar ghaib itu menusuk keluar, mencuat dari sela buku jari dan kakiku. Kuabaikan rasa sakitnya saat darah mengucur keluar menembus daging dan kulit fisik mentahku. Menambah rasa sakit saat ini menjadi rasa nikmat yang aneh. Ada rasa tenang yang sangat asing saat melihat desing berputar cepat bola Banaspati lindu meluncur cepat lalu menembakkan batu-batu kerikil yang sangat cepat lagi keras itu. Mandau Panglima Burung kusimpan sementara.

Tubuhku berjumpalitan layaknya seekor harimau beneran dengan insting hewan buasnya yang bergerak liat menghindari beberapa tembakan sekaligus. Dan, “PLAK!!” sebuah tamparan menggunakan cakar di tanganku berlawanan arah dengan arah putarannya membuat Banaspati lindu itu limbung di udara. Bingung akan apa yang telah terjadi pada gerakan cepatnya. Dalam keadaan itu, sebuah tamparan lain kulakukan ke arah sebaliknya. Ia berusaha membela diri dengan menembakkan batu-batu kerikilnya secara membabi buta. Ia hanya bisa menembakkan batu-batu dari permukaan berputarnya saja sedang aku yang berada di sisi sumbunya tak terekspos serangan itu. Untung dalam keadaan tenang seperti sekarang, aku bisa menemukan fakta itu dan memanfaatkannya. Jadi ia hanya sia-sia saja menembakkan batu-batu kerikil itu kalo sudah tau bidang tembaknya. Batu-batu itu kalo kena akan terasa sakit sekali juga pedas di tempat terkenanya.

“Hyaat…” aku berjumpalitan dengan tenaga seminimal mungkin mengincar salah satu dari dua titik kelemahannya, menghindari tembakan-tembakan penasarannya. Aku menyeser di lantai menunduk rapat lalu melompat melenting tinggi di antara tembakan berhamburan tak tentu target. Dengan cakar tajam di tanganku yang berdarah-darah, kutarik bola yang terasa semakin mengecil itu ke arah yang kuincar sedari tadi; salah satu sisi sumbu berputarnya yang ada di kanan dan kiri. Ini titik keseimbangannya dan juga bagian tubuhnya yang paling lemah, bagian telinga. Dengan cengkraman tangan yang dilambari kekuatan jurus Mandalo Rajo, kuhancurkan tanah, pasir dan batu pelindung bola itu hingga tembus dan aku dapat mencengkram bagian telinga kepala nenek-nenek tua keriput berambut kusut masai itu.

“Rrraarrkk rrarrkkhh rraarrhrrkk!” suaranya meronta-ronta kesakitan karena kuku tajam cakar ghaib harimauku ini menancap di kepalanya tanpa ampun. Rambut-rambut masai-nya bergerak-gerak seperti sekumpulan ular kecil mengeluarkan pasir dan batuan kecil berusaha menutup lubang yang kubuat untuk mencengkram bagian telinganya. Malahan tanganku yang dibalutnya seperti terasimilasi namun dengan cepat gagal dan rontok semua pasir dan batuan itu karena tanganku tentunya benda asing baginya. Mandau Panglima Burung kembali siap kuhunuskan. Siap kutusukkan pada Banaspati lindu yang sudah membuatku semaput sedemikian rupa.

Tidak perlu pake jurus macam-macam untuk menusuk Banaspati lindu yang dalam keadaan tidak berdaya semacam ini. Mandau-ku menusuk kepala jadi-jadian manifestasi bentuk Banaspati lindu berelemen tanah yang mengambil bentuk kepala perempuan tua sebagai perwujudan Mother-Earth. Menggelepar kepala Banaspati lindu yang mendapat tusukan di bagian pelipisnya menembus sisi satunya, lalu kutarik melintang ke arah matanya dan kulempar ke udara dan kutebas untuk sentuhan akhir, membelahnya menjadi dua. Hanya tersisa serpihan tanah dan pasir yang berjatuhan ke lantai rumah.

Kutarik pengerahan Mandalo Rajo hingga kuku berupa cakar ghaib itu masuk kembali ke dalam buku tanganku, meninggalkan luka sobek yang baru terasa sakit dan pedih. Luka yang berdarah-darah. Badanku baru terasa lemas kembali karena berkurangnya pancaran semburan Lini kala menggunakan Mandalo Rajo barusan. Vivi masih ada di atas walo aku tak mendengar suara erangannya lagi. Baru sekarang aku bisa berfikir lebih jernih. Perutku lapar dan tubuhku seluruhnya sakit. Seluruh sendi-sendi terasa pegal dan linu sekali. Luka-luka lebam bekas tembakan batu Banaspati apalagi luka sobek berdarah-darah akibat mencuatnya cakar Mandalo Rajo di tangan dan kakiku.

Vivi harus bisa menunggu… Ato aku tak bisa menyelamatkannya sama sekali. Aku malah menuju dapur rumah ini. Di atas meja makan ada seplastik roti tawar yang sedang terbuka. Ada potongan roti yang sudah dioles selai srikaya juga. Sebelumnya ada yang sedang mengganjal perut di sini lalu terinterupsi akan kericuhan ini. Kugasak tanpa pikir panjang roti yang tersedia tanpa pikir panjang. Yang penting perutku terisi dengan cepat. Walo makanku sedikit, tapi kalo perut kosong sampe taraf melilit begini susah juga untuk berkonsentrasi dan berfikir jernih. Roti tawar tanpa selai-pun kukunyah-kunyah yang penting perutku terganjal dengan cepat. Nyangkut di leher karena seret kutenggak saja air putih dari teko.

Gak enak kali makan terpaksa kek gini. Apalagi makanan hambar bernama roti tawar yang gak sempat kububuhi selai tiap lapisnya. Kenyangnya gak enak. Tapi jadilah. Yang penting perutku gak melilit lagi. Walo belum sempat terkonversi menjadi energi, hanya memberi rasa lega di perut yang terganjal gak kelaparan, aku keluar dari dapur menuju ruangan tengah tempat dimana tangga menuju lantai dua berada. Kakiku masih sedikit lemas ketika melangkah kesana dan mencoba menaiki tangga. Kenapa tangga ini basah? Ada aliran air dari lantai atas ketika kuperhatikan asal air yang membasahi tangga.

Lalu horor baru terjadi, dari lantai atas terlihat sebuah semburan besar seperti air bandang yang berasal dari sana. Mengapa ada sumber air yang sangat besar di atas sana? Panik dan sibuk menyelamatkan diri yang kemudian menjadi prioritas utamaku. “BYUUURRR!!!” seperti sebuah aliran sungai yang sedang banjir terjangan air yang membanjiri tempat ini. Aku sempat bergulung-gulung di dalam aliran derasnya. Aku sempat mengalami ini tadi saat menghadapi Banaspati banyu di jalanan sebelumnya, kenapa aku mengalami ini lagi? Apakah ada Banaspati banyu lagi?

Basah kuyup aku bangkit lagi setelah sempat jatuh berguling-guling dari pertengahan tangga. Lantai tergenang air yang mengalir keluar ke arah pintu. Sebuah bola air turun dari lantai dua, pusaran airnya berputar-putar mengelilingi sebuah kepala berbentuk tengkorak. Benar itu Banaspati banyu lagi. Hampir terpeleset aku untuk berdiri lagi, bersiap-siap menghadapi Banaspati banyu lagi. Gila aja aku harus ngehadapi dua Banaspati banyu dan satu Banaspati lindu. “BRAAAKK!!!” sesuatu menjebol langit-langit rumah dan turun berputar dengan cepat. Kimak! Itu Banaspati lindu lagi!

Dan seolah melengkapi dan menggenapkan semua kegelisahan, kesusahanku saat sebuah kobaran api turut turun dari lantai dua, menyusuri tangga itu dengan gejolak membaranya. Ya, man-teman. Itu Banaspati geni melengkapi set trio Banaspati.

“Cam betol aja klen semua keluar maen keroyokan kek gini?” gerutuku lemas melihat tiga jenis Banaspati berbeda kini sedang wara-wiri di sekitarku. Banaspati geni mengobarkan apinya seperti rambut terbakar. Banaspati banyu berputar-putar normal dengan ukuran besar air yang ada di dalam bolanya, kemudian ia menghisap air yang tersisa di lantai. Banaspati lindu memantul-mantul di dinding berdesing cepat di sekitarku. Aku mengeluarkan mandau Panglima Burung dan bakiak Bulan Pencak dengan dilema. Menggunakan alas kaki akan memperkuat serangan Banaspati geni. Gak pake alas kaki aku terkena serangan gempa dari Banaspati lindu. Lalu direpotkan oleh tembakan air Banaspati banyu juga banjir bandangnya apalagi tembakan batu kerikil Banaspati lindu tidak bisa diremehkan sama sekali.

Sudut mataku menangkap gerakan baru dari tangga lantai atas. Ada seseorang yang melangkah turun. Itu Vivi!

“VIVI?!” teriak suara di belakangku. Itu suara si Benget. Dia masih disini? Dia memang teman sejati bagi Vivi. Di saat berbahaya seperti ini ia masih setia menunggu temannya yang sedang dalam keadaan susah seperti ini.

“Jangan masuk, Bens… Tetap di situ… Disini masih berbahaya!” cegahku melihatnya akan memasuki rumah kembali.

“Awas, bang Aseng!!” Benget berteriak menunjuk-nunjuk ke arah belakangku. Terasa ada lesakan cepat menyambarkan. Aku menjatuhkan diri kebelakang menghindari serangan yang terasa panas berkobarnya. Tak salah lagi itu Banaspati geni yang bergerak cepat dengan tambahan elemen anginnya yang memanfaatkan kelengahan dan alas kaki yang kupakai. Tiba di lantai terkena sapuan semburan air kencang hingga aku bergulung-gulung di permukaan lantai hingga menghantam dinding yang memisahkan ruangan ini ke dapur. Kekuatan air tidak bisa diremehkan hingga dinding itu jebol dan aku ikut tersedot ke dalamnya. Aku berpegangan pada retakan dinding, menahan diriku.

Susah payah aku berusaha berdiri dengan badan basah kuyup dan mimpi buruk itu terjadi lagi-goncangan hebat itu menyerang tubuhku. Berguncang-guncang. Kepalaku seperti punya per, berputar-putar. Isi perutku diaduk-aduk. Ternyata saat banjir air Banaspati banyu tadi, bakiak Bulan Pencak-ku lepas sehingga serangan utama Banaspati lindu telak menghantamku. “AKKHH!!” sebuah hantaman telak menghajar dadaku tepat di bekas hantaman Banaspati lindu sebelumnya. Kali ini adalah serangan Banaspati geni.

Tubuhku terbanting keras terjengkang dan menubruk sebuah lemari hias yang ada sudut ruangan yang sudah ringsek sebelumnya. Isi lemari ini celakanya sangat-sangat berbahaya karena berupa barang-barang pecah belah, piring dan gelas kristal, kesenangan para ibu rumah tangga untuk menghias rumahnya. “Aw aw aw…” keluhku karena luka-luka yang kualami karena harus bertarung di area domestik. Bertarung di dalam rumah memang tidak dianjurkan. Pertama karena keterbatasan ruang gerak. Kedua karena banyak barang berbahaya di dalamnya. Ketiga karena rumah itu bisa hancur berantakan.

“Vivi… Berhenti!” lalu melompat menjauh sebisanya karena Banaspati lindu menyerbu menyambar deras lagi. Sisa pecahan kaca-kaca benda pecah belah masih ada yang menempel di tubuhku. Bekas hantaman Banaspati geni membuat bekas hangus terbakar pada bagian depan dadaku. Aku mengamati dan harus menghindari semua serangan yang terus menerus menerjangku bertubi-tubi. Vivi mengibas-ngibaskan kedua tangannya seperti konduktor orkestra yang mengatur suara dan tempo permainan musik ansembelnya. Rambut panjangnya berkibar-kibar akibat luapan energi miliknya saat ia mengerahkan ketiga Banaspati ini. Ia menatapku tajam dan kedua tangannya bergerak-gerak.

Gerakan tangannya diikuti patuh oleh ketiga Banaspati itu. Banaspati geni menyambar bersamaan dengan Banaspati lindu membentuk persilangan dan aku tepat berada di tengah silang itu selagi kakiku yang memakai bakiak Bulan Pencak tak tahan dengan licin permukaan lantai yang dibanjiri Banaspati banyu. Serangan kombinasi itu membuatku menjadi bulan-bulanan terus-menerus. “Vivi… Kenapa ini, Vivi? Kenapa kau melakukan ini padaku? Apa salahku?” teriakku lemah saat terhuyung-huyung habis terjengkang barusan menjebol sisi bekas rengkahan dinding berlubang ke dapur.

“Vivi… Vivi udah, Vi… Stop Vivi…” Benget masih ada di balik pintu utama. Ia masih di sana. Muka sangarnya lucu bermandikan air mata dan ingus. Sempat-sempatnya aku menertawakan itu, padahal badanku sakit semua kek gini. Vivi sumber semua Banaspati ini. Ketiga Banaspati dengan mudah dikendalikannya. Apakah ia melakukan ini dengan sadar? Mata Vivi agak berbeda. Pandangannya penuh dengan kebencian. Kenapa ia harus benci padaku? Apa yang sudah kulakukan padanya? Tapi ia tidak menyerang Benget sama sekali. Cuma aku aja.

“Bens! Kemari!” panggilku pada pria kekar tetapi gemulai itu. Ini taktik untung-untungan aja. Untung-untung berhasil. Ragu-ragu dia akan bergerak masuk karena rasa takut masih menguasai dirinya tentu saja melihat ada tiga mahluk ghaib menakutkan yang sudah memporak porandakan rumah yang selama di tempatinya. Tapi walopun begitu rasa setia kawannya yang kental pada sobatnya, Vivi, mengalahkan rasa takutnya itu. “Sini kau, cepat!” geramku agak kesal karena ia lambat sekali bergeraknya. Badan besarnya gemetar melihat tiga benda itu mengambang dan berputar-putar siap menyerangnya. Apalagi melihat isi inti pusaran mahluk itu menyeramkan. Ada yang berupa kakek tua, nenek keriput dan tengkorak. Kutarik tangannya agar lebih merapat padaku.

“Itu-itu apa, bang?” takut-takut ia gak berani menunjuk. Ia mengumpetkan tubuh besarnya yang gak bisa terlindung oleh tubuhku.

“Kemana Nirmala sama baby sitter-nya kau tarok (letak)?” tanyaku lebih khawatir keadaan bayi itu daripada si bencong satu ini.

“Di rumah abang…” jawabnya cepat.

“Kok di rumahku pulak?!” kagetku tapi gak bisa lama-lama.

“Jadi dimana lagi?” tentu ia bingung mau kemana mengungsikan kedua orang yang tak tau apa-apa itu. Ke tetangga sebelah rumah pastinya akan heboh kalo mereka tau ada hal begini yang terjadi di dalam rumah. Tapi sudah seheboh ini memang tak ada orang yang datang kepo satupun. Padahal masyarakat kita terkenal suka nonton sumber keributan. Ada kecelakaan pada nonton gak bantuin. Ada kebakaran pada nonton gak pada nyiram. Ada kebanjiran pada nonton gak pada nguras. Sekalinya ada biduan kinclong semua pada berebut nyawer.

“Ya udahlah… Ini Vivi kenapa, Bens? Kok jadi gini dia?” tanyaku. Ketiga Banaspati itu hanya berputar-putar mengelilingi kami. Tak sekalipun menyerang. Vivi hanya menatap padaku dan Benget bergantian.

“Gara-gara abang Aseng-la… Ish…” jawabnya cepat.

“Kok gara-gara aku pulak?” hampir aku menjerit dan langsung kutahan suaraku agar tak meninggi. “Kok gara-gara aku, Bens? Udah kuapain klen rupanya?” suaraku kurendahkan agar tak membuat Vivi bertambah marah. Pandanganku masih mengawasi ketiga Banaspati itu.

“Abang udah grepe-grepe Vivi hari itu, kan?” ketus Benget.

“Hah?”

“Iya… Abang udah megangin teteknya Vivi hari itu, kan? Waktu bu Karina itu datang e-e… mau minta hadiahnya itu… yang pagi-pagi kami masih ngantuk abis begadang ngejagain Nirmala itu… Iya, kan?” kata Benget mengingatkanku. Gara-gara itu? Hanya gara-gara itu? Ternyata Vivi tidak sepenuhnya tidur saat itu. Dia tau siapa sebenarnya yang meremas payudaranya. Padahal aku aja udah lupa rasanya. Pokoknya kenyal lembut gitu aja. Aku menyamarkannya dengan mengkambing hitamkan Benget dengan menjatuhkan tangan pria itu ke pangkuan Vivi dan aku langsung ngibrit menjauh.

“Hah? Kok dia tau? Klen berdua kan lagi tidur gitu…” tanyaku gak abis pikir.

“Akupun juga gak tau itu, bang… Katanya bola-bola itu yang ngasih tau dia…” jawab Benget dengan sengit.

Para Banaspati ini yang memberitau Vivi? “Apa kau pernah melihat bola-bola ini sebelumnya, Bens?” Si Benget menggeleng-geleng cepat sampe bibir tebalnya berkibar-kibar. Para Banaspati ini hanya menampakkan dirinya pada saat-saat tertentu saja. Saat Vivi marah misalnya. Kenapa marahnya Vivi yang malah menyasar padaku? Kalo saat kuremas teteknya, okelah dia tau kejadian itu setelahnya tetapi tidak ada Banaspati yang menyerangku setelah itu. Banaspati geni mulai menyerangku kemarin malam lalu Banaspati banyu baru beberapa jam lalu kemudian Banaspati lindu barusan tadi. Dimana letak marahnya? Dan kenapa saat menghadapi Kuyang waktu itu tidak muncul?

“Dia marah sama aku, Bens?” aku gak ngerti. “… karena teteknya udah kugrepe?” prosesor otakku gak sanggup mengkalkulasi masalah ini.

“Vivi itu fikirannya sangat sederhana kali, bang… Belom pernah dia disentuh laki-laki… Belom pernah dia pacaran… Abang yang pertama kali menyentuhnya~~” papar Benget dengan cara ngomongnya yang mendayu-dayu. Bah! Karna itu? Alasan marah macam apa itu? Karna cuma digrepe sekali aja sampe segini marahnya.

“Kau kan pernah juga pasti…” semprotku.

“Aku gak dianggapnya laki-laki, bang~~… Sama kami~~” jawabnya malah lucu-lucu kimak.

“Udah tukar-tukaran beha klen?” ulangku tambah nyemprot si bencong pukimak ini. Ia cuma cengar-cengir.

“Ayok… Maju kita… Kalo ada kau… gak mau nyerang si-Vivi-nya…” kataku menariknya agar maju mendekat pada Vivi yang ada di pertengahan bidang tangga yang ada dua bagian.

“Ish… Abang ini gak peka kali awak rasa juga… Kek gitu kali jadi cowok?… Benciiii akyuu…” Bug! Bug! Bug! Dipukulnya punggungku yang sakit beberapa kali. Kimak! Sakit kali, mak!

“KIMAK kau, bencong! Punggungku udah luka-luka gini kau pukulin kuat-kuat pulak… Aduuh…” mengaduh-ngaduh-la aku jadinya merasakan punggungku yang makin berdenyut-denyui sakit. Bencong-bencong. Walo perasaannya kek cewek tapi bodinya tetap aja lelaki kekar. Mukul ya tetap sakit. Mau kubalas cemana… Tambah ngamuk pulak nanti Vivi ngeliat temannya dijahatin.

“Sori-sori, bang… Abis gemes akyuu… Vivi itu suka sama bang Aseng~~… Tau gak, siiih?” katanya mengejutkan. “Gak peka kali, siiih…”

Tatapan mata itu. Itu bukan tatapan mata benci. Bukan juga tatapan kemarahan. Hanya… Apa cocoknya sebutan untuk menamakan perasaan ini? Ungkapan kesal yang tak tau harus bagaimana mengungkapkannya. Campuran putus asa, bingung, kangen, marah, kesal, gemes dan entah apa lagi. Tentu Vivi bingung dengan perasaannya saat ini. Dengan adanya kemampuannya ini ia malah mengeluarkan berturut-turut tiga bentuk Banaspati padaku.

“Hati-hati, bang~~” kutinggalkan Benget yang kaget aku meninggalkannya. Aku mengacungkan tangan tanda jangan mengikutiku. Kurilekskan semua otot-ototku agar tak ada kesan segresif yang meng-agitasi Vivi untuk menyerangku lagi. Kuabaikan semua rasa sakit yang terasa meremuk redamkan sekujur tubuhku. Aku berhasil menginjak anak tangga pertama saat ketiga Banaspati itu berseliweran mengancam di sekitarku. Kulangkahkan kembali menapak naik. Pelan-pelan aku naik sambil terus menatap Vivi. Air mata menetes dari matanya ke pipi mulusnya. Maafkan aku, Vivi… Aku tidak tau.

“Vi? Benarkah itu?” tanyaku dengan lirih ketika aku sudah setengah jalan di hadapannya. “Vivi?”

Tangisnya pecah.

Cepat aku berlari padanya. Menyongsong…

“Hu hu huhuhu… hiks… hu hu huhuhu…”

Kubiarkan ia menangis sepuas-puasnya di pelukanku. Ketiga Banaspati miliknya berputar-putar di sekeliling kami. Dipukul-pukulnya dadaku beberapa kali. Walo sakit tapi kutahan aja. Gak usah malu ato segan sama Benget karena ini sudah bukan di rumah mereka yang udah hancur lebur melainkan di daerah kekuasaan hutan kecilku. Vivi belum menyadari perbedaan lokasi ini karena ia masih tenggelam dengan buncahan rasa yang gak karu-karuan membekap jiwanya yang kalut.

Kuelus-elus rambutnya seperti sedang menina bobo-kan anak kecil yang sedang ngambek gak dikasih naik odong-odong seribu per lagu. Suara tangisnya semakin pelan dan lirih. Tapi masih tersedu-sedu. “Bang Aseng jahat…” ia menggebuk dadaku pelan dengan bagian bawah kepalan tangannya.

“Ya, awak memang jahat…”

“Bang Aseng jelek…” gebuknya sekali lagi.

“Ya, awak memang jelek… Idup lagi…”

“I-ih… Bang Aseng nakal!” ia menambahkan sebuah cubitan. Aduh mak! Itu bekas kebakar sama ketubruk dua kali sama Banaspati lindu dan geni. Rasanya muyeng sampe ke ubun-ubun berkunang-kunang. Aku tutup mulut saat ia menggigit daging di bawah tulang belikatku karena ia memang membenamkan mukanya di dadaku. Serangan atas fisikku di dunia nyata kebawa sakitnya sampe kemari di dunia spiritual ini karena dilakukan oleh entitas supranatural.

“I-ya… hiks… awak memang nakal… Sakit…” keluhku gak tahan. Ia mendorong pelukanku membuat ada jarak antara tubuh kami berdua. Entah dia baru sadar kalo tubuhku sedang terluka. Tubuh jiwaku ini memang tidak menampakkan luka tapi pakaianku yang compang-camping harusnya bisa mewakili apa yang telah terjadi padaku. Bagian dada berlubang besar dengan bagian tepi yang hangus. Lalu lubang-lubang kecil bekas tembakan batu kecil Banaspati lindu.

“Sakit?” ia melayangkan pandangannya pada wajahku yang sakitnya minta ampun. Tapi ia tak kunjung menemukan luka apapun. Ia meraba-raba dada dan lenganku. Aku mengaduh-ngaduh kesakitan akibat sentuhannya. Lalu ia tiba-tiba mengalihkan pandangannya pada situasi di sekitarnya. Pada tiga Banaspati yang mengelilingi kami, mengambang mengancam. Bahkan si burung Enggang Panglima Burung juga terbang mengitari kami berjaga-jaga karena ia merasakan energi negatif dari tiga setan jahat berjuluk Banaspati itu. Mata Vivi mengernyit mengamati tempat ini. “Kita ini dimana, bang?” ia melihat kanan kiri. “Trus… ini-ini apa, bang? Vivi takut…”

“Ini tempat aman… Jangan takut… Bola-bola elemen ini namanya Banaspati… Yang ini Banaspati geni… Api!” tunjukku pada kepala kakek tua yang kepalanya terbakar membara. “Ini Banaspati banyu… Air…” tunjukku kemudian pada gumpalan air berisi tengkorak manusia. “Dan ini Banaspati lindu… Tanah…” terakhir pada bulatan tanah yang memantul-mantulkan dirinya untuk bergerak mengelilingi kami.

“Banaspati itu apa? Bentuknya serem-serem gitu… Cuma kepala… Serem, bang…” bisik Vivi masih melirik pada ketiga Banaspati itu. Kalo pertanyaannya kek gitu, jadi selama ini ia tidak tau apa mahluk-mahluk yang ada di kekuasaannya ini. Ia seorang pemilik Banaspati yang tak sadar akan kepemilikannya. Aku sudah menghadapi beberapa kasus seperti ini. Pertama Pipit dengan siluman pohon Beringinnya, lalu Miranda dengan Panglima Burung yang sementara ini berpindah padaku.

“Mereka ini punyamu-loh, Vi…” jawabku. Alisnya menaut rapat dengan tatapan tak percaya. Sumpe lo? Gitu. Dan tiba-tiba ia menutup mulutnya seperti teringat akan beberapa hal yang sangat penting. Horor di matanya. “Kenapa? Kenapa, Vi?”

“Vivi liat semua… Vivi udah liat semuanya…”

“Apa yang Vivi liat?” tentu aku jadi penasaran apa yang sudah dilihatnya. Ia menatapku tajam. Matanya bergerak-gerak menatap mataku balik. Berkernyit-kernyit keningnya seolah tak percaya apa yang telah dilihatnya.

“Ada seorang laki-laki… Ganteng… Putih… Bukan bang Aseng…” ia menggeleng. “… ada asap-asap gitu… di sebuah kamar gelap… Ia memanggil kakek kepala api ini dari Vivi dan mengirimnya pada bang Aseng… Itu-itu api yang sama yang Vivi liat waktu Vivi pulang semalam, bang… Abang memotong kepala api itu…” ia shock dengan ucapannya sendiri berdasarkan yang sudah dilihatnya. Ia bisa tau ada yang telah memanfaatkan Banaspati geni miliknya.

“Trus…?” desakku. Apa alasannya mengirim Banaspati banyu itu saat hujan-hujan tadi. “Banaspati banyu ini…” tunjukku pada gumpalan air berinti tengkorak kepala.

“Vivi… Vivi bisa ngeliat bang Aseng dengan kak Amei dan suaminya di kamar itu… Melakukan itu…” ia menunduk malu dengan perkataannya.

PLAK! Mampos aja aku! Vivi bisa ngeliat semuanya dengan mata para Banaspati-nya. Darurat militer! Darurat sipil! Darurat! DARURAT!! GAWAT!!!

“Juga dengan yang lain-lain juga…” sambungnya. Aku pingsan dengan mulut berbusa… *kidding

—————————————————————————-
Jadi dari sejak ia mulai punya perasaan suka padaku, secara gak sadar ia mengirimkan Banaspati tak berwujud alias tak berelemen untuk mengikutiku kemana-mana dan melihat semuanya melalui mata jin itu. Jin yang tak punya niat jahat ini tentu saja tak terdeteksi olehku karena secara normal mereka/jin ada di mana-mana. Mana kutau kalo ada satu jin yang selalu memata-matai kegiatanku. Itu artinya dia telah mengikutiku… sejak aku menggauli Andini, mungkin kak Sandra dan Dani beberapa kali, lalu bu Karina, Mayumi-chan dan Amei… Mampos gilak!

“Vivi liat semua? Ng… Itu… itu… Ng…” kugesekkan tanganku pada pahaku sendiri. “… gini’in perempuan-perempuan itu?” tanyaku malu-malu meong dengan kode ngentot ala Medan itu.

“Liat…” jawabnya lebih malu-malu kucing lagi.

“Liat semua?” pastiku lagi.

“Ish… Gak usah diulang-ulang-ih…” jawabnya kheki tambah menunduk dalam.

“Vivi diam-diam aja, ya? Rahasia soalnya…” kataku lalu agak terlonjak keget karena Vivi tiba-tiba menegakkan kepalanya lagi. “Kenapa?”

“Laki-laki tadi… Yang memanggil Banaspati api ini dari Vivi untuk nyerang bang Aseng… Rumahnya terbakar!… Hanya dia yang mati di dalam rumahnya!” ingat Vivi akan si Surya-Surya itu. Kejadian yang ganjil karena dari beberapa penghuni rumah hanya dia yang tewas sedang yang lainnya tertidur pulas di luar pagar rumah tak mengetahui dahsyatnya api menghanguskan kediaman mereka.

“Namanya Surya… Dia mengirim Banaspati geni ini untuk mencelakai awak, Vi… Karena mencampuri urusannya dengan Julio dan Amei…” jelasku. Masalah ini tidak termasuk dalam perjanjianku dengan pasutri itu jadi masih aman untuk dibicarakan. Walopun affair-ku sudah bocor pada Vivi, sebisa mungkin aku akan menjauhkannya dari topik pembahasan kami berdua.

“Jadi… jadi rumah Vivi dulu… Banaspati punya Vivi juga yang membakarnya?” mukanya berubah pucat lagi lalu shock berat berujung pada tangisan pilu lagi.

—————————————————————————-
Makan waktu lama untuk menenangkan Vivi dan menghiburnya agar memaafkan dirinya sendiri, berdamai dengan kealpaan dirinya. Itu bukan murni kemauannya. Orang normal tidak akan bisa mengirim Banaspati geni, setan api untuk membakar rumah tanpa diketahui siapapun. Kalo kebakaran normal, satu dua orang tetangga pasti akan sadar dan menyalakan tanda bahaya memperingatkan orang ramai, membangunkan penghuni rumah dan tentunya tidak perlu ada korban jiwa.

Kejadian yang mirip dialami orang tua Vivi dan Surya ato juga korban-korban lain sejenis. Prilaku culas dari individu-individu bersifat jahat yang selalu mementingkan egonya. Saat kejadian itu, Vivi yang merupakan anak semata wayang orang tuanya tak diberi izin untuk melakukan camping Pramuka walo hanya di pelataran halaman sekolah. Ia terus mendesak karena ada seorang cowok gebetannya yang juga ikut acara itu. Tetap tak diberi izin, tengah malam ia nekat keluar dijemput sang gebetan dan bermalam di tenda sekolah. Orang tuanya sadar dan menelponnya mengatakan akan segera menjemput Vivi. Kutenggarai, di saat itulah kali pertama ia secara tak sadar menggunakan kekuatan Banaspati geni. Mengirimnya ke rumahnya sendiri dan membakar rumah itu sebelum mereka berangkat menjemput dirinya karena kedua orang tuanya tak kunjung tiba ke sekolah. Pagi-pagi ia pulang dan mendapati rumahnya sudah rata dengan tanah.

Butuh waktu berhari-hari untuk menenangkannya. Kalo hitungan waktu normal mungkin akan setara dengan tiga hari. Tiga hari itu juga aku harus menahankan rasa sakit di tubuhku ini, melihat ketiga Banaspati itu bersileweran di sekitarku. Panglima Burung mondar-mandir terbang hilir mudik bersiaga. Selama itu juga bawaannya nangis mulu aja. Terdiam bentar lalu nangis lagi. Aku kerjanya cuma bisa mengelus-elus kepalanya untuk menenangkannya, memberi kata-kata pendingin hati dan kepalanya. Tidur kalo capek lalu cuap-cuap lagi membualkan kata-kata motivasi penyemangat.

“Bang… Vivi kok gak lapar-lapar ya disini?” tanyanya pada satu ketika. Aku sontak bangun dari tidur leyeh-leyehku di rerumputan halus ini. “Padahal ini rasanya udah berhari-hari disini… Udah lamaaaa banget rasanya… Tapi kok gak lapar-lapar… Vivi kangen makan nasi anget pake telor mata sapi sama kecap…” katanya aneh. Ingatnya malah telor ceplok pake kecap. “Ini tempat apa sih, bang? Kok gak malam-malam?” baru nyadar dia. Mungkin terlalu lelah berduka. Apakah ia sudah berdamai dengan dirinya sendiri? Memang tak ada gunanya juga terus berduka atas apa yang sudah terlanjur terjadi.

“Gak ada malam di sini, Vi… Orang ini bukan tempat betulan… Cuma tempat khayalan aja…” jawabku ngasal. “Kenapa? Kangen makan?” Vivi mengangguk dengan bodoh. “Trus… ini tiga-tiga bola ini mau kita apakan?” tanyaku tentang ketiga Banaspati yang terus mengitari kami tanpa henti.

“Kenapa mereka mengelilingi kita, bang?” tanya Vivi.

“Mereka ini mengikutimu, Vi… Muncul lagi walo udah awak ancurin… Ketiga Banaspati ini mengikuti perintahmu… Mereka milikmu…” simpulku mengulangi apa yang sudah kusampaikan beberapa hari lalu. Vivi beralih padaku, menatapku dengan mata menyipit tak percaya kata-kataku barusan. Aku mengangguk-angguk meyakinkannya.

“Itu artinya Vivi yang menyuruh mereka membakar rumah Vivi sendiri?… Membakar rumah si Surya itu?… Menyerang bang Aseng berkali-kali?” ujarnya berusaha menerima keadaannya ini.

“Secara tidak langsung… Iya!” jawabku. Ia menatapku tajam. “Mereka hanya mengikuti perintahmu yang berupa kemarahan… Apa yang hanya merupakan percikan kemarahan… ‘Mati aja kalian semua!’ misalnya… ‘Mati aja kau, bang!’ ‘Mampus-la kau, bang!’… Semacam itu, Vi… Walo itu cuma kepikiran sekilas-sekilas… Bagi mereka itu sudah cukup menjadi perintah…” kataku menunjuk ketiga Banaspati itu.

“Jadi Vivi ini orang yang jahat banget ya, bang?” kata Vivi. “Bahkan orang tua Vivi sendiri mati karena kemarahan Vivi sendiri…” lalu ia terdiam.

“Kalo dipikir dangkal… ya Vivi jahat… Tapi hampir semua orang pasti punya amarah seperti itu… Awak aja sering kek gitu… Tapi bedanya di kami… orang-orang lain gak punya Banaspati yang ngikut apapun yang Vivi pikirkan… Yang harus dicari tau… dari mana Banaspati-Banaspati ini datangnya? Kenapa mereka mengikuti Vivi? Karena Banaspati adalah jin jahat yang biasanya punya keinginan sendiri… Kenapa mereka bisa mematuhi Vivi sampe segini ini?” kataku.

“Kenapa kalian mengikuti Vivi?” tanya Vivi asal aja pada salah satu Banaspati yang melintas di depan matanya, Banaspati lindu. Dua Banaspati lain datang merapat dan membentuk barisan. Geni, banyu dan lindu. Cukup aneh juga melihat ketiga setan berelemen ini berbaris teratur begitu.

“Tuan putri adalah majikan kami…” jawab mereka bersamaan seperti sebuah koor dengan nada yang berirama. Suara kakek dan nenek tua bercampur dengan suara serak tengkorak. Cukup mengherankan mendengar jawaban ketiga Banaspati ini atas pertanyaan Vivi barusan. Majikan kata mereka?

“Vivi tidak pernah minta menjadi majikan kalian… Kita mahluk yang berbeda… Vivi cuma manusia biasa… Kenapa?” tanya Vivi lagi.

“Tuan putri pernah meneduhi nyala apiku saat hujan deras…” kata si Banaspati geni. “Padahal saat itu tuan putri juga sedang basah kedinginan…”

“Tuan putri pernah menambahkan air pada wadahku yang hampir kering…” kata si Banaspati banyu. “Padahal tuan putri sedang kehausan…”

“Tuan putri pernah memberi pasir pantai yang sangat enak rasanya…” kata si Banaspati lindu. “Padahal itu koleksi pasir kesayangan tuan putri…”

“Vivi gak ingat itu semua… Hiks… hiks… Tapi terima kasih…” Vivi menitikkan air mata lagi. Aku tau pasti ia merasakan kehangatan di dalam dadanya mendengar ucapan tulus ketiga jin jahat yang membalas budi padanya. Mungkin itu semua kejadian di masa kecilnya. Anak kecil cenderung melakukan hal-hal baik yang disalah artikan oleh tiga jin elemen ini.

“Kami yang berterima kasih, tuan Putri…” koor ketiganya lagi.

“Tapi kenapa kalian masih mau disuruh orang lain selain tuan putri kalian ini?” tanyaku gak sabaran.

Mereka diam saja tak kunjung menjawab pertanyaanku barusan. Apa mereka hanya mau bicara pada Vivi, ya? “Vi… tanyain yang tadi…”

“Jawab yang tadi…” kata Vivi memberi perintah.

“Tuan putri majikan kami… tapi kami tidak terikat padanya karena kami masih harus mencari makan di luar…”

“… Karena terkadang kami mendapat tugas dari kerajaan kami… Ato juga dari kalangan manusia…”

“Seperti manusia bernama Surya itu dan banyak manusia lainnya lagi…” bergantian mereka menyambung kalimat-kalimat itu.

“Karena kalian belum mengikat perjanjian apapun dengan Vivi?” sambungku. Ini hal yang biasa dilakukan para jin untuk melekatkan diri mereka pada individu tertentu. Dengan begitu ia mendapatkan kehidupan yang lebih mudah karena menjalin kerjasama dengan Menggala-nya. Dengan berbagai konsekwensinya. Aku menanyakan itu ke Vivi agar meneruskannya pada ketiga Banaspati itu.

“Itu akan memberatkan tuan putri kami… Cukup begini saja…”

“Terima kasih… Terima kasih para Banaspati… karena sudah menemaniku selama ini…” Vivi malah menunduk takzim pada ketiga Banaspati menyeramkan itu. Bukan menyembah tetapi hanya mengucapkan terima kasih yang tulus walo mengingat apapun yang sudah mereka lakukan selama ini lebih banyak merugikan Vivi daripada menguntungkan. Para Banaspati ini juga cukup pengertian dengan tidak menuntut perjanjian mengikat yang menurut mereka akan memberatkan junjungan mereka.

“Ini akan menjadi perintah langsung pertama dan terakhirku pada kalian bertiga…” mengejutkan. Ini sangat mengejutkan. Vivi mampu menyiapkan ini dalam waktu sesingkat ini. Pertama dan terakhir? Dari mana ia tau hal semacam ini? Ketiga Banaspati itu mendengarkan dengan seksama. Walo bagaimanapun, ini adalah perintah yang mutlak mereka jalankan.

“Vivi membebaskan kalian bertiga dari diriku untuk selama-lamanya… Vivi merelakan kalian untuk melakukan apapun yang kalian mau tanpa terkait apapun dengan Vivi mulai saat ini… Kita tidak lagi saling berhubungan… Sekali lagi terima kasih banyak… ” kembali ia menunduk. Ketiga Banaspati itu juga menunduk patuh.

“Laksanakan, tuan putri… Selamat tinggal…” ketiganya mundur pelan-pelan lalu menghilang.

Aku memandangi ketiganya sampai benar-benar hilang dan keluar dari dalam daerah kekuasaanku. Aku juga berjanji pada diriku sendiri kalo gak akan menahan diri kalo bertemu mereka di kesempatan lain. Pastinya mereka menyimpan dendam tersendiri padaku. Aku paham sekali perangai mahluk-mahluk jahat semacam mereka bertiga. Untung mereka melekatkan diri pada Vivi hingga masih bisa bertahan hidup pada pertarungan awalku yang menjamin nyawa mereka. Kalo tidak pastinya mereka pasti sudah habis, musnah.

—————————————————————————-
“Apakah cara itu benar, bang?” tanya Vivi.

“Benar… Tidak baik menahan mereka lama-lama… Mereka itu jin jahat golongan hitam… Tidak ada untung ato kebaikan mempunyai mereka… Cara Vivi tadi sangat sempurna… Tidak ada yang dirugikan… Mereka tidak tersinggung dan pergi dengan baik-baik tanpa menuntut apapun… Karena biasanya mereka akan berulah yang macam-macam… Minta syarat inilah… itulah… Alasannya sebagai salam ato tanda perpisahan… Ini sudah yang paling benar…” kataku.

“Apakah bang Aseng akan memburu mereka?” tanya Vivi cukup mengejutkan. Vivi ternyata punya banyak kejutan yang tak terkira.

“Tidak… Tapi kalo mereka berulah di depanku… aku gak segan-segan membasmi mereka…”

“Ish… Bang Aseng serem…” gidik Vivi melihatku menghunus mandau Panglima Burung yang kupegang di tangan kananku. Dan tiba-tiba ia menggosok-gosok telapak tangannya dengan muka licik. Ada apa? Apa ini bagian kejutan tak terkiranya lagi. “Ini tentang rahasia-rahasia nakal bang Aseng… Ada yang mau dibicarakan?” alisnya naik turun. Tapak tangannya masih digosok-gosok dengan jahat.

“A-aa… Gak ada… Gak ada yang bisa dibicarakan, Vi… Ha ha haha…” elakku tertawa masam. Ia menghitung empat jarinya pelan-pelan. Apa itu artinya ia melihatku meniduri empat perempuan? Diulang-ulangnya berkali-kali menghitung empat jarinya dengan senyum jahat. “Vi… Jangan gitu-laa… Vivi udah liat semuanya kan? Yaa… udahlah…”

“Satu… dua… tiga… empat… Mmm… Enak, yaa? Wow…” ia memandang langit dan mengetuk-ngetuk dagunya dengan keempat jarinya. Sialan! Ini berarti dia melihat aku bersama Andini, Karina, Mayu-chan dan Amei.

“Nanti awak bisa celaka, Vi… Ada perjanjian di sana, Vi… Kalo awak membicarakannya denganmu… ada balasan entah apa ke awak, Vi… Ini perjanjian yang sakral… Sangat sakral… Berbahaya untuk diingkari… Vivi liat bagian perjanjiannya, kan?” sekalian aja pasal dua perjanjianku kujadikan tameng keselamatanku sendiri. Dilarang membicarakan hubungan itu dengan pihak lain atas alasan apapun. Sebenarnya aku hanya membuat tiga perjanjian tiga perempuan itu; Andini, Karina dan Amei. Sementara dengan Mayu-chan sama sekali tanpa perjanjian, murni bersenang-senang.

“Oo… Perjanjian itu kuncinya… Oo… Paham-paham…” ia menunjuk-nunjuk padaku seperti seorang terpidana di pengadilan yang bentar-bentar lagi jadi terpenjara… Eh?

“Vivi diam-diam aja… Nanti awak traktir, deh… Kita kan temen…” kataku merayunya. Memanfaatkan mulutku yang katanya manis ini.

“Vivi gak mau jadi temen bang Aseng-ih… Males aja jadi temen tukang selingkuh kek bang Aseng…” elaknya emoh.

“Lah… Traktir mau?” tawarku abis akal.

“Vivi maunya… jadi pacar bang Aseng aja…” Gubrak! Ambyar, deh…

dukun cabul
Cerita sex menikmati cumbuan dukun yang menyembuhkan penyakitku
pembantu polos
Menikmati orgasme dengan pembantu yang polos
nabilah jkt46 sexy bugil ciuman
Ngentot Gadis Sma Cantik Dan Binal
500 foto chika bandung bugil telanjang di hotel sambil ngangkang
Cerita Dewasa Ngintip Tante Lilis Sedang Colmek
Foto bugil gadis asia cantik putih toket bulat putih bersih
tante galak
Tante Ku Sekaligus Guru Sexs Ku
Ngentot dengan mahasiswi cantik di kost
gadis kena obat perangsang
Memberi obat perangsang pada mahasiswi cantik yang betamu ke rumah
Foto Tante Cantik Kesepian Ngangkang Sange
Perselingkuhanku dengan gadis pemandu karaoke yang tak akan pernah terlupakan
Foto Telanjang Gadis Bilyard Diatas Meja
ngentot mama
Aku menikmati setiap kali bersetubuh dengan mama dan tante kandung ku sendiri
melayani Nafsu Bejat ipar
Melayani Nafsu Bejat Ketiga Ipar Ku Sendiri
Cerita dewasa menjadi penikmat istri orang
Foto Bugil Jilbab Telanjang Bulat Dalam Mobil