Part #57 : Gara-gara Vivi
“Ya udah… Kasian…” putus istriku.
Beriringan aku menggiring Vivi, Nirmala, baby sitter bernama Sri dan Benget membawa berbagai bawaan mereka menuju lantai dua bersama istriku. Di depan tangga aku menyerah dan memilih ngedeprok di sofa merebahkan tubuh yang pada sakit semua. Si Benget menemaniku.
“Beneran gak pa-pa kami di sini, bang? Ngerepotin, kan?” tanya Benget menanyakan ini kembali.
“Kalo orang rumahku bilang gak pa-pa ya artinya gak pa-pa, Bens… Kan kau duluan yang bawa Nirmala sama Sri kemari… Orang rumahku itu orangnya gak tegaan gitu… Pasti dia ngerasa kasian sama Nirmala dan repotnya ngurusin bayi sekecil itu… Kalo kau aja yaa… los (biarin)…” kataku menjelaskan. “Kau tengok aja… aku yang lakiknya luka-luka gini… dia ngurusin Vivi sama Nirmala duluan, kan?” kataku sambil mainan HP, mengirim beberapa pesan pemberitahuan. Permisi gak masuk kerja pada kak Sandra mengabarkan keadaanku yang babak belur begini.
“Luka-luka abang kan udah diobatin Vivi duluan…” kata si Benget. Memang sebelum meninggalkan rumah mereka yang berantakan, Vivi menyempatkan membersihkan, membubuhi obat dan membalut luka-luka di sekujur tubuhku. Rata semua bagian tubuhku terkena luka. Lebam, koyak, lecet, gores. Tidak ada yang harus dijahit ato patah hingga cukup memakai peralatan rumahan saja. Vivi melakukannya dengan senang hati karena secara kronologis dialah penyebab semua luka-luka ini.
“Vivi maunya… jadi pacar bang Aseng aja…” kejadian saat kami masih di dalam daerah kekuasaanku itu.
“Mana bisa, Vi… Awak kan udah punya istri… Bukan cuma pacar yang bisa awak putusin… Gak bisa-la, Vi…”
“Trus empat perempuan itu apa?” desaknya sengit.
“Cuma selingkuhan aja, Vi… Gak sampe dipacari… orang ada suaminya, kok… Udah segitu aja namanya… Nanti kena azab awak ngebicarainnya…” jawabku habis argumen.
“Ya udah Vivi juga jadi selingkuhan abang… Kok repot…” putusnya.
“Cari pacar normal napa, Vi… Sama si Bens misalnya?” kataku mencari alasan secepatnya.
“Trus kami jadi lesbi gitu…” Kimak! Si Benget dianggapnya perempuan juga walo casingnya pria macho begitu. “Malas-ah… Trus… Gimana kalo Vivi maunya cuma bang Aseng aja?… Sukanya cuma bang Aseng aja…”
“Jadi Vivi ngirim Banaspati itu karena cemburu sama awak…” simpulku.
“He he hehe… Iyalah… Abis abang nakal banget gitu… Segala binik orang juga diembat… Sori ya, bang… Abis abang gitu, sih…”
“Kenapa harus suka sama awak sih, Vi? Cari yang lain aja napa? Nanti Vivi bisa kenapa-kenapa-loh…” kutakut-takuti dia.
“Gak apa-apa…”
“Gak bisa-loh, Vi… Suer gak bisa…” aku bingung harus memberi alasan apa.
“Ya udah… Nanti kukasih tau aja sama kakak… tentang perempuan-perempuan itu… Apa-yah nanti katanya?” Lah? Mampos aja aku kalo dia mengadu pada istriku tentang keempat perempuan itu. “Kami kan lumayan akrab… Mungkin lama-lama nanti seperti istri tua dan istri muda… Ha ha hahaha…” Mampos aja!
Ada tiga kamar kosong di lantai atas sana dan dua kamar disiapkan untuk mereka semua. Istriku taunya kalo Vivi dan Benget itu suami istri seperti pengetahuan semua warga blok YY ini walo segitunya penampilan si bencong itu. Mereka hanya menyayangkan pilihan Vivi mempunyai suami dengan pembawaan seperti itu. Paling yang lebih heran adalah si baby sitter Sri, yang sehari-hari tinggal bersama mereka karena Vivi dan Benget tak tidur sekamar. Vivi lebih memilih tidur dengan bayinya Nirmala dan Sri sementara Benget tidur sendirian. Jadi dua kamar itu didiami Vivi, bayinya dan Sri di kamar satu dan Benget di kamar kedua sendirian sambil menunggu rumah mereka diperbaiki dari kerusakannya.
Kalo cuma menampung mereka semua di rumahku itu bukan masalah besar karena istriku sudah mengenal Vivi dan keluarga anehnya terlebih dahulu. Semenjak permasalahan dengan Kuyang tempo hari, Vivi kerap menyambangi kediaman kami sekedar menyapa, membawa makanan dan ngobrol-ngobrol bahkan saat aku tak ada di rumah. Apalagi saat kuceritakan kalo bayi Nirmala sempat diincar setan Kuyang ia tambah simpatik pada keluarga Vivi dan semakin akrab. Itu juga mungkin yang menjadi faktor kenapa istriku tak keberatan menampung mereka untuk sementara.
Yang menjadi masalah bagiku sendiri adalah keinginan hati Vivi untuk menjadi pacar selingkuhanku dengan ancaman pengetahuannya tentang skandalku dengan empat orang binor itu, yang salah satunya ia kenal orangnya; Amei. Dengan semua perempuan-perempuan itu statusnya adalah binor dengan suami jelas sah yang pastinya bisa dilimpahi tanggung jawab kalo mereka hamil akibat ulahku. Ada sih si Benget yang berperan sebagai suami boongan. Tapi mereka tak punya status hukum yang jelas, bahkan bisa dibilang kumpul kebo mengingat jenis kelamin Benget di KTP pastinya masih pria. Mereka tak pernah menikah yang membuat status asli Vivi saat ini masih gadis. Mungkin juga masih perawan. Karena menurut ceritanya setelah kebakaran yang ada sedikit menyerempet masalah gebetan yang menyebabkannya nekat pergi dari rumah untuk ke perkemahan itu, ia tak pernah dekat sama sekali dengan kaum Adam terutama masalah asmara.
Menjadi pacar seorang pria dewasa menikah sepertiku tak akan jauh-jauh dari yang namanya urusan ranjang. Ini yang kutakutkan. Aku jelas mau aja, laki-laki… buaya. Nah kalo dia yang mau, gimana? Kan akunya jadi enak… Ha ha hahaha.
“Maaf ya, Vi… Awak waktu cuma iseeeeeng aja… Iseng-loh, Vi… Cuma awak pegang sekali aja-nya… Sekali aja… Nyut! Langsung lari awak… Udah cuma sekali itu aja tok… Maaf-maaf mohon maaf yang sebanyak-banyaknya….” kataku sampe menyembah-nyembah tentang kasus aku meremas payudaranya saat ia mengantuk menunggu bu Karina datang meminta hadiah itu.
“Gak bisa… Bang Aseng harus bertanggung jawab… Itu sudah jadi prinsipku… Si Bens aja gak pernah berani pegang-pegang,.. Tubuhku ini cuma boleh dipegang oleh lelaki yang kusuka… Dan saat ini itu abang Aseng… He he hehe…” benar kata si Benget kalo cara pikir Vivi ini sangat sederhana tetapi keras memegang prinsipnya. Dan konsep anehnya ini adalah pria pertama yang menyentuh dirinya adalah orang yang berhak atas dirinya. Kalo itu kakek-kakek tua yang gak sengaja tersandung dan memegang teteknya saat terjerembab di depan dirinya? Gimana? Apa harus kakek tua yang menjadi pasangannya?
“Trus kakakmu (istriku) gimana?” aku mengkonfrontirnya dengan istriku.
“Kakak ya kakak… Vivi ya Vivi… Kenapa rupanya? Kakak ya tetap istri bang Aseng… Vivi saat ini pacar selingkuhan bang Aseng aja…” entah konsep apa yang dipakainya saat ini aku gak tau.
“Oo… Kalo gitu cuma status aja, ya? Tapi gak ngapa-ngapain?… Gak minta diajak jalan-jalan… Gak minta nonton… Gak minta ini itu…” entah ini maksudnya. Pacaran ala anak ABG yang cuma pacaran online dan jarang ketemu. Gak sampe sebulan putus karena alasan yang jelas.
“Kalo jalan-jalan Vivi bisa sama si Bens… Bisa nonton, makan, shopping, ke salon, nongkrong… Dia kan pasangan lesbi Vivi sejak dulu… Bisalah disayang-sayang sama abang sekali-kali, bang?… Kan pacar… Ya?” desaknya. Aku mengacak-acak rambutku yang mendadak sangat gatal lebih kepada karena kepalaku terasa kremut-kremut pusing atas apa yang menimpaku saat ini. Makin banyak aja masalah yang menimpaku.
“Ya-ya? Jadian kita, kan?” dibuatnya kek pacaran anak SMP.
—————————————————————————-
“Ini bukan kecelakaan lalu lintas, ma…” kataku saat istriku membersihkan ulang luka-luka ini di dalam kamar. Ia diam saja dan terus membersihkan luka-lukaku dengan alkohol pembersih. Lalu diolesinya obat luka. Segala macam plester yang dipasang Vivi dilepasnya karena luka itu hanya lecet-lecet yang mudah mengering. Hanya luka yang agak dalam yang ditutupinya dengan kain kasa lalu dibebat plester. Yang utama adalah di dahi dekat mulai tumbuhnya rambut, sekitar dada, di belakang punggung, semua buku jari tangan dan kakiku.
“Tau, pa… Ini masalah Menggala-Menggala-mu itu, kan?” tebak istriku dengan tepat karena ini bukan kejadian pertama kalinya ia harus merawat luka-lukaku. “Misnan udah mama suruh bawa Supra papa ke bengkel untuk diperbaiki… Satu dua hari mungkin udah selesai…” sambungnya agak dingin. Entah apakah dia sudah mencium gelagat aneh tentang Vivi ato cemana. Karena insting istriku biasanya sangat kuat.
“Ternyata… Vivi itu secara gak sadar punya tiga Banaspati yang ngikutin dia, ma…” kataku berusaha menjelaskan situasinya sedikit. Tapi ia menggeleng pertanda ia gak mau tau tentang masalah itu. Tak kulanjutkan cerita tentang Banaspati itu. Ia sama sekali gak mau tau menau masalah supranatural yang kucimpungi. Netranya hanya mau melihat tentang alam nyata dan lebih baik buta tentang alam ghaib. Ini prinsipnya juga.
“Mama tau Vivi itu suka sama papa, kok… Mama udah liat dari pertama kali dia datang kemari…” ia tak menatapku sama sekali mengatakan kalimat barusan. Ia hanya fokus pada luka-lukaku. “Bodoh aja kalo orang-orang pada percaya kalo bencong seperti itu bisa jadi lakiknya… Gak perlu sekolah tinggi juga awak dah paham…” ia mengoles obat luka pada lecet-lecet di tanganku. Ini bekas tergores kaca lemari hias rumah Vivi.
“Yang mama gak tau… apa papa juga suka sama dia?” ia berhenti sebentar, menatap mataku juga sebentar lalu meneruskan kegiatannya.
“Janjiku masih seperti yang dulu… hanya mama seorang…”
—————————————————————————-
“Lemes amat, bang Aseng?” sapa Vivi saat aku duduk meregangkan badan di teras depan rumah siang ini. Daerah kolam renang masih menjadi daerah terlarang karena batu apung bulat panas itu masih mengkontaminasi tempat itu. Anakku Rio uring-uringan karena gak bisa nyebur ke kolam kesukaannya. Apalagi air kolamnya juga kering. Kapur sirih belum selesai proses pembuatannya yang lumayan lama. Tiga buah batu apung bulat itu kukumpulkan di atas paving block karena kolam rendah itu takut rusak akibat radiasi panasnya.
“Masih sakit semua badanku, Vi…” orang rumahku membuatkan air rebusan jahe, sereh dan sedikit madu yang tinggal setengah gelas. Ia menarik sebuah kursi lainnya untuk duduk dekat denganku.
“Dibersihkan ulang sama kakak ya, bang?” katanya menjawil luka beroleskan obat luka berwarna coklat keemasan itu. Aku berusaha menepis tangannya yang gak steril. Gak lucu aja harus infeksi karena tangan isengnya yang abis megang apa. “Plesternya pada dicopotin semua… Karya indah untuk kekasih hatiku…” kutepis lagi tangannya.
“Dia udah tau-loh Vi… kalo Vivi suka sama awak…” kataku langsung terus terang. Matanya membelalak tak percaya.
“Bagus, dong? Abang minta seserahan berapa? Abang Aseng kan orang Padang… yang ngelamar yang perempuan, kan?” katanya malah nyeplos yang enggak-enggak.
“Gilak kao, Vi…”
“Bukannya kakak udah ngasih restu? Berarti udah lampu ijo, kan?” katanya berbinar-binar. Cam betol aja dibuatnya. “Aww!!” kusentil jidatnya pake tangan kiri.
“Sakit, bang… Dah gak cinta lagi nih kayaknya…” ia mengelus-elus jidatnya sendiri. “Apa itu? Satu?” tanyanya saat aku mengacungkan satu jariku padanya. Satu jari telunjuk kanan.
“Udah paham kan kenapa awak selalu membuat perjanjian-perjanjian itu?” tanyaku. Bagi Vivi yang sudah menyaksikan aku melakukan tiga kali perjanjian tiga pasal pada ketiga binor dan pasutri minus Mayu-chan, setidaknya Vivi yang merupakan mahasiswi pintar ini akan paham fungsinya. Ia mengangguk paham kurang lebihnya.
“Awak cuma punya satu perjanjian dengan kakakmu itu… Cuma satu pasal aja… Hanya dia yang ada di hatiku…” kataku terus mengacungkan jari telunjuk tanganku.
“Aww… co cwiiitt…” seru Vivi seperti meleleh mendengar isi perjanjian sakral yang dulu kuikrarkan pada istriku.
“Itu artinya kalo awak cuma punya satu istri, Vi… Gak ada kedua ketiga empat trussss…” tanganku berputar-putar ke hitungan seterusnya. Matanya mengikuti gerakan tanganku.
“Jadi Vivi cuma jadi pacar selingkuhan terus, dong?”
“Makanya Vivi cari cowok yang bener, dong? Apa mau si Bens awak tatar biar agak macho dikit? Biar gak melambai kali…” kataku terus mencomblangkannya dengan si Benget. Tapi ia hanya merengut.
“Udah makan?” tanyaku tak berminat membahas hal itu lagi.
“Udah… Tadi makan bareng Rio rebutan telor mata sapi… pake kecap…” jawabnya malas-malasan. Mereka berdua punya kesukaan yang sama akan telor mata sapi jadi bisa lumayan nyambung kalo ngobrol.
“Nirmala gak pa-pa?” tanyaku.
“Gak pa-pa… Tadi masih tidur di kamar… Masih dijagain si Sri…” jawabnya lagi malas-malasan.
“Udah mulai nyari tukang untuk memperbaiki rumahmu?” tanyaku. Komunikasi kami kek pasangan yang lagi marahan aja jadinya. Dingin dan kaku. Padahal sebelum masalah ini mengemuka, kami bisa ngobrol seperti teman biasa aja. Perasaan Vivi membuat relasi kami menjadi aneh begini. Aku bisa bercanda-canda seperti biasa dan ia menanggapinya dengan candaan juga. Di kampus juga ia biasa aja saat menjadi dosen sementara.
“Itu urusannya si Bens… Vivi gak ngerti begituan… mantan tukang…” kata Vivi masih kaku seperti itu.
“Si Bens mantan tukang bangunan?” tanyaku baru tau. Dari bodinya sih cocok.
“Bukan… maksudnya abang… Mantan tukang selingkuh…” lanjutnya. Mantan tukang selingkuh? “Abang gak boleh lagi selingkuh-selingkuh dari kakak… Awas aja kalo ketauan sama Vivi lagi…” ia mengancamku dengan menunjuk hidungku. Dia udah gak punya Banaspati yang bisa disuruhnya mengikutiku, memata-matai kegiatanku. Pake apa dia nanti?
“Tapi selingkuh sama Vivi boleh?” kataku mempertentangkannya. Dia sendiri yang memproklamirkan diri sebagai pacar selingkuhanku. Kalo dilarang selingkuh dari istriku berarti dia juga termasuk, kan?
“Gak… Kita dah putus…” ia langsung berdiri dari duduknya dan pergi meninggalkanku. Awalnya langkahnya tegar dan cepat lalu melambat kemudian sama sekali berhenti. Ia berbalik. “Kok gak dikejar, sih? I-ih…” kesalnya menghentak-hentakkan kakinya malah balik lagi. Duduk di kursi tadi dengan muka semakin merengut masam.
“Duh… Jadi jelek…” ejekku.
“Plak!” ringan tangan ia memukul lenganku. “ADUH, MAAAK!!” jeritku. Aku mengaduh-aduh karena berasa sangat sakit pukulannya yang tepat mengenai luka diperban di lenganku yang ketutupan lengan baju. Aku meniup-niup luka itu sangking terasa pedihnya. Vivi panik melihatku kesakitan begitu dan berlutut mendekat melihat bekas lukaku itu.
“Maaf-maaf, bang… Gak sengaja, bang…” mukanya memelas minta maaf. Perban kain kasa putih itu perlahan menitik merah melebar pertanda darahnya keluar lagi. Kubuka perban itu dan benar aja sepertinya luka yang mulai menutup itu akibat jalinan tautan sel fibrinogen, rusak tautannya dan berdarah lagi. Kutiup-tiup untuk mengurangi rasa perih yang tiba-tiba terasa lagi. Tanpa banyak pikir Vivi malah menggunakan kain pakaiannya untuk menutupi luka itu. Ditekannya agar darah berhenti mengalir. Anak pramuka… Sesekali ia melihat progres pendarahannya. Dan entah dari mana idenya, malah dikecupnya pelan lukaku itu.
Lalu meniup-niup bersamaku terlihat bibirnya maju membentuk lubang kecil. Yang ditangkap netraku malah hal lain. Sebagian besar belahan payudaranya yang terkuak lebar karena ia menarik bagian atas kaos V-neck dan menggunakannya untuk menyeka lukaku. Aduh, maaak! Bulat nian… Itu kenapa beha kok kekecilan kurang bahan gitu, ya? Hampir seluruh permukaan daging montoknya kelihatan berkilat di daerah gelap di dalam pakaiannya. Dalam keadaan sedikit menggantung, hanya bagian pucuk indah yang terkena sensor behanya. Gundukan besarnya terlihat…
“Matanya gak usah jelatan juga…”
“Huff…fuhh… fuuhhh…” aku meniup-niup bekas lukaku bersama Vivi menjauhkan pandangan mataku dari TKP indah itu.
“Oo… Paham Vivi sekarang…” ia menarik tangan dan kain bajunya yang menekan bekas lukaku. “Paham-paham… Gitu rupanya…” Apa yang dimaksud cewek satu ini? “Abang cuma mau selingkuh sama istri-istri orang karena bisa diginiin, kan?” katanya menggesek lengan dekat lukaku yang berdarah itu. Pandangan mataku melirik pada lokasi jarinya yang menggesek itu. Kalo kesenggol luka pasti akan sakit. “Kalo sampe hamil pun gak apa-apa… Hmm gitu ceritanya…”
“Ntah ngomong hapaaa-la kau, Vi…” elakku mencoba ngeles berkelit.
“Memang Vivi masih gadis, bang… Tapi Vivi udah dewasa-loh… Abang kalo mau gitu Vivi ladeni, kok… Ayuk?” tantangnya.
“Gak-ah… Sakit…” kataku ngeles lagi.
“Buka perawan beneran sakit, bang?” dengan bego ia menjulurkan kepalanya maju dan bertanya dengan nada lugu.
“Bukan buka perawannya yang sakit… Badan awak ini sakit semua, tau?!” hardikku yang membuatnya cengengesan lucu. Perempuan yang katanya gadis dewasa masih perawan cantik seperti ini bisa jadi sedemikian lucu begini sampe taraf menggemaskan.
“Ya, ha ha hahaha… Gara-gara Vivi ya, bang… Ha ha hahaha…” ia terus duduk di lantai dan tertawa. Tak diperdulikannya bajunya yang bernoda darahku. Tapi aku melihat hal lain, guncangan dadanya. Ha ha hahaha.
—————————————————————————-
Menyembuhkan luka fisik lebih lama dari pada menyembuhkan luka dalam untukku. Walo secara praktek menyembuhkan luka dalam di daerah kekuasaanku juga akan memakan waktu lama kalo kujalani tahap demi tahapnya. Setidaknya saat aku sudah selesai, ketidak sesuaian waktu memotong waktu sangat banyak. Berhari-hari di daerah itu, hanya hitungan detik saja di dunia nyata.
Dengan begitu kuakali dengan beristirahat dan meditasi. Meditasinya tidak bisa daerah supranatural juga. Jadi aku harus melakukannya di dunia nyata karena cedera dan lukaku di tubuh fisik. Seperti rumah-rumah lain di kompleks ini, ada lantai dak beton yang kerap dibuat untuk menjemur pakaian. Untungnya ART yang bertugas cuci-gosok lebih senang menjemur pakaian di lantai bawah. Di bawah sana ada sedikit lahan yang dijadikannya tempat menjemur pakaian. Jadi di sinilah aku sedang melakukan meditasi. Panas-panasan bertelanjang dada.
Kuatur nafasku setenang dan seteratur mungkin. Tarik nafas lewat hidung, buang nafas dari mulut. Menutup semua panca indraku dan hanya fokus pada nafas dan detak jantung yang seirama. Menyebarkan energi lini penyembuh. Menyerap energi murni dari alam, panas matahari, segar udara. Semua energi yang terkumpul dimaksudkan untuk memperbaiki sel-sel yang rusak, luka-luka terbuka, lebam dan goresan terkoyak. Perban dan plester kubuka semuanya untuk merasakan langsung sentuhan alam.
Bercelana pendek aku duduk bersila menantang matahari dengan tubuh penuh luka. Tubuhku terasa hangat oleh balutan energi murni yang kuserap dari alam. Lumayanlah suasana perumahan yang lengang begini. Akan lebih baik lagi kalo di hutan atau pegunungan. Udaranya lebih bersih dan jernih. Aliran energi alam deras membanjiri tubuhku dengan nyaman. Permukaan tubuhku terasa hangat oleh pembentukan sel-sel baru mengganti kerusakan yang telah terjadi. Cekit-cekit gitu rasanya di beberapa titik luka. Karena ini bukan yang pertama kalinya bagiku, jadi kubiarkan saja semua sensasi menggelitik itu.
“Fuuhh…” setelah kurasa cukup kulepaskan pengaturan nafas dan mulai bernafas normal kembali. Ini harus dilakukan secara bertahap tidak bisa langsung instan. Lagi pula aku gak masuk kerja dua hari untuk istirahat memulihkan diri. Gak lucu juga nanti masuk kerja lagi dan gak ada bekas luka sama sekali.
Kulakukan peregangan otot dan sendi yang tadi terasa pegal dan sakit-sakit. Sudah sangat berkurang rasa sakitnya saat kucoba menggerakkan semua bagian tubuhku. Luka-luka gores sudah mengering dan kalo dirawat dengan telaten tidak akan meninggalkan bekas. Diraba sekalipun sudah tidak terasa sakit. Yang masih terasa sakit adalah beberapa luka lebam dan luka besar di sekujur tubuh. Kububuhi obat luka lagi tapi tanpa perban. Aku lalu turun dari lantai dak atas bermaksud ke kamar untuk membersihkan tubuhku yang berkeringat.
Di depan rumah aku ketemu Misnan yang sedang memangkas dahan-dahan pohon kamboja. “Pak… Kreta bapak kemungkinan besok siapnya…” katanya tentang Supra X-ku saat kuhampiri dirinya. Lalu ia merinci apa-apa aja yang yang perlu diganti lalu harganya plus ongkos juga.
“Ya udah… Duitnya besok aja, ya… Pinjam dulu kretamu… Awak mau keluar bentar…” pintaku. Ia sepertinya agak kaget karena aku mau pinjam motor miliknya.
“Kreta saya jelek, pak… Masak bapak mau pake kreta butut gitu?” katanya lagi masih segan.
“Ya gak pa-pa… Idop kan kretamu? Tadi awak mau make punya orang rumah… Tapi keknya lagi dipake juga… Yang ada tinggal kretamu aja… Pinjam kuncinya… Nanti awak isi lagi-la minyaknya…” desakku.
“He he hehe… Gak ada kuncinya, pak… Tinggal buka saluran minyaknya aja… engkol (kick starter)… langsung idop dia, pak…” jelas Misnan tentang keadaan motornya. Aku langsung paham maksudnya.
“Oo… Iya… Kreta galas (segala macam urusan di kebun), ya… Awak pinjam dulu, ya?” aku langsung masuk ke basement. Ia menyimpan harta karunnya itu di bagian belakang basement dekat kamar-kamar para ART yang sedang kosong ditinggal kerja. Jarang-jarang aku sampe kemari. Hanya saat pertama diperkenalkan agen perumahan dulu aku blusukan sampe kemari. Ada sebuah pintu besi yang menuju ke lahan tempat menjemur pakaian yang kuceritakan tadi. Ada sebuah dipan panjang di dekat tumpukan kardus sisa. Agaknya di sini mereka ngumpul-ngumpul bercengkrama di saat senggang mereka. Para ART dan satu baby sitter, terkadang Misnan juga.
Kuengkol motor galas itu dan benar saja langsung menyala setelah tuas bahan bakarnya diputar ke posisi on. Suaranya nyaring karena knalpotnya udah dibelah. Motor ini hanya tinggal rangka, mesin, rantai, shock breaker dan roda-roda saja serta pendukung utamanya. Yang penting masih bisa dikendarai. Misnan menunggu di depan pagar untuk membukakannya untukku. Aku melambai permisi lagi padanya.
Berkendara tanpa helm siang menjelang sore gini asik juga kadang. Merasakan semilir angin yang mengelus rambut, menerpa wajah, menelusup masuk ke dalam pakaian membuat sejuk. Teringat dulu waktu masih muda tartig (tarik tiga) dengan kedua sobatku sepulang sekolah dengan motor milik bapaknya Iyon yang terkadang bisa dipakainya berangkat sekolah. Satpam kompleks bengong melihatku mengendarai motor Misnan karena biasanya aku lewat pos itu kalo gak pake Supra ya Pajero.
Keliling-keliling sampe keluar kompleks, lah aku malah sudah memasuki daerah Mabar lewat Pasar IV. Dari sini sudah cukup dekat ke daerah rumahku di sana. Timbang gak ada kerjaan, sekalian aja aku menjenguk perkembangan renovasi rumahku. Sudah sejauh mana perkembangannya. Masih ada gundukan pasir dan material bangunan lain yang menumpuk di halaman rumahku. Beberapa pekerja masih sibuk dengan tugasnya masing-masing. Keknya si kontraktornya gak ada di tempat sehingga aku hanya tanya-tanya sekenanya dengan tukang yang ada.
Jadinya rumah ini malah hampir bisa dikatakan dibangun lagi dari awal karena saat analisa awal ada masalah konstruksi mendasar yang salah saat membangun rumahku dulu. Pondasinya tidak kuat kalo harus dipaksakan menahan beban bangunan yang baru ini. Sewaktu masih berbentuk rumah lama, masih memadai tetapi tidak untuk yang sekarang ini. Tiang-tiang beton baru sudah berdiri. Dinding bata juga sudah keliling hanya belum diplaster. Aku yang hanya bercelana pendek selutut dan kaos oblong udah mirip aja sama para pekerja di sini sehingga para tetanggaku yang seliweran gak mengenaliku.
“Drrrt… drrrt… drrrt…” ada notifikasi masuk di HP-ku yang kubuat silent.
Yuli: bg Aseng gt ya gk pernah kemari lg
Ternyata pesan dari Yuli. Rumah kontrakannya yang tepat di samping proyek renovasi rumahku membuatnya bisa secara gak sengaja memergokiku yang sedang berada di sini.
Aseng: lagi sibuk bu Yuli ini lg libur kerja jd bisa liat2 bentar
Yuli: sombong skrg
Aseng: ish gk la bu
Yuli: kemarilah
Aseng: aman?
Yuli: aman lewat biasa
Waduh… Ada undangan dari stok lama nih yang jarang digarap ulang. Apalagi 38DD-nya pasti ngangenin. Dalam masa hamil muda begini apa tambah gede ya? Aku melipir menjauh dari para tukang pura-pura keliling ngeliat kondisi dinding luar. Pegang-pegang kualitas pengerjaan renovasi rumahku dan saat kondisi aman, aku menyusup masuk ke pintu belakang rumah kontrakan bu Yuli yang sudah tidak dikunci. Beliau sudah ada di bagian dapur menunggu menyambutku.
“Bang Aseng… Kangen…” ia langsung memelukku erat. Wadooww!! Bukan karena tekanan masif melon super-nya tapi karena pelukan tangannya mengenai spot yang tepat di punggungku yang masih terasa sakit. Ia sadar ketidak nyamananku. “Eh… Kenapa, bang?” ia langsung melepas pelukannya.
“Punggung awak… ada yang luka…” jawabku jujur aja sambil meringis. Salahku sendiri sih. Maen setuju aja masuk ke rumah binor dalam keadaan begini menuruti maunya Aseng junior yang udah kangen hangat sarangnya.
“Eh… Iya… Ini juga luka… Bang Aseng kenapa? Kecelakaan?” mimiknya langsung khawatir melihat bekas luka di kepalaku yang dapat dilihatnya jelas. Takut-takut ia akan menyentuhnya karena memang gak kuperban. “Sakit, bang?”
“Iya… Tadi malam… Makanya gak masuk kerja dulu…” jawabku mencegahnya menyentuh luka itu. “Yuli apa kabar?” berusaha mengalihkannya dari luka-luka ini. “Dedek bayinya sehat?” tanyaku agak menunduk untuk melihat perutnya tapi malah terhalang oleh melon supernya. Keknya tambah gede aja.
“Awak sehat-sehat gitulah, bang… Tau sendiri kan kalo umur segini baru bisa hamil… Apalagi dedeknya masih muda banget, nih…” katanya mengelus-elus perutnya yang terbungkus daster tanpa lengan panjang yang hanya sebatas lutut. “Dedeknya tapi sehat, bang… Awak pokoknya senang kali bisa mengandung dedek ini, bang… Makasih banyak-banyak, bang…” katanya dengan wajah berseri-serinya.
“Bagus-la kalo begitu… Awak juga senang jadinya… bisa membantu Yuli… sama bang Suradi… Bang Suradi-nya mana? Kerja luar?” tanyaku. Gak usah ditanya juga harusnya kalo biniknya berani mengundangku masuk ke rumah ini dari belakang. Pastinya sedang nyupir sampe keluar kota tentunya.
“Kami bakalan pindah, bang…” tiba-tiba ia agak mewek. “Orang tuanya bang Suradi nyuruh kami ke rumah keluarganya di kampung sana… Bang Suradi mau disuruh ngurus kebon mereka aja di kampung gak usah nyupir lagi… Mereka sepertinya senang sekali bakalan punya cucu dari bang Suradi…” ia menunduk mengatakan itu semua.
“Bagus, kan? Kok Yuli jadi sedih?” kataku mengelus-elus rambutnya. “Kan untuk itu tujuan utama Yuli pengen hamil… Memberikan anak untuk bang Suradi dan cucu untuk mertua… Jangan sedih, dong?” hiburku dan tanganku menangkap dagunya.
“Tapi nanti gak bisa ketemu bang Aseng lagi-lah… Bang Aseng juga gak bisa liat dedek bayinya nanti… Kampung kami jauh dari sini, bang…” sesalnya. Air mata menetes di pipinya. Air mata berlinang tanda ia benar-benar kepikiran ini.
“Hush… ushh… Gak boleh begitu, Yuli… Ini anak bang Suradi, kan? Awak gak pa-pa… Yuli gak boleh sedih-sedih begitu… Nanti dedek bayinya juga ikut sedih-loh… Nanti kirim aja fotonya… Kan awak tetap bisa liat… Gak pa-pa…” kataku lalu mengecup keningnya sebagai penyemangat.
“Uuung… Ini, doong?” tunjuknya di bibirnya yang dimajukan. Ngapa jadi pada manja gini, ya?
Aku agak menunduk karena ia lebih pendek dariku dan kukecup bibirnya sedikit lama dengan lumatan ala kadarnya. “Cups… Dah… Dedek bayinya juga…” aku lalu berjongkok dan menyentuh perutnya yang belum begitu kentara gendutnya. Kuusap-usap perutnya dari luar dasternya. Yuli inisiatif mengangkat bagian bawah daster itu hingga perutnya terlihat jelas di depanku. Ia tersenyum lebar. “Cup… cup…cup…” kukecup perutnya yang lebih besar tiga kali. “Sehat-sehat ya, deek…” elusku kemudian menambah.
“Huuhh… Pengen kelonan sama bang Aseng… Tapi sama dokternya, dikasih tau gak boleh masuk dulu… Katanya dedek masih terlalu muda… Huuh…” gerutu Yuli lalu memelukku rapat-rapat dan membenamkan pipinya di dadaku. “Gak bisa nyerpis papa Aseng deh jadinya…”
“Gak pa-pa, Yuli… Bisa begini aja awak dah senang, kok… Apalagi tau dedek bayinya sehat… tambah senang awak…” jawabku ngeles mengelus-elus rambutnya. Kalo disuruh kelonan siang-siang gini alamat sakit semua badanku abis itu. Tapi ia tak menyerah karena tangannya langsung mencaplok Aseng junior yang tidur-tidur ayam di kandangnya. “Yuull?”
“Awak isepin aja, yaaa? Kangen ini…” bujuknya malah merogohkan tangannya memasuki celana selututku dan langsung menemukan juniorku.
“Aa… Gak usah lama-lama, yaa? Udah sore…” kataku. Ini seharusnya udah jam 4 gitu.
“Tenang aja… Yuk…” diseretnya aku memasuki kamar yang kerap kami gunakan kala bergumul birahi. Ada banyak kardus-kardus yang berisi berbagai barang yang ditumpuk di sini. Sepertinya kepindahan yang diceritakan Yuli tadi sudah semakin dekat. Ia membentangkan kasur tipis itu di tengah kamar. “Jangan berisik… Pelan-pelan… Anakku sedang tidur di sebelah…” bisiknya sembari melepaskan daster yang dikenakannya hingga hanya terlihat pakaian dalam sempit miliknya. Tak lama ia melepas bra sempit itu dan melompat keluarlah melon super 38DD yang sudah sesak minta keluar. Celana dalamnya tak dilepas. Ia memberiku kode untuk berbaring di kasur tipis.
Dengan mudah Yuli melepas celana selututku beserta sempaknya sekaligus dan Aseng junior sudah mengacung belum begitu tegang. Mata Yuli berbinar gembira melihat juniorku yang sudah berhasil menghamilinya. Tangannya dengan cepat menggenggam dan otomatis mengopyok-opyoknya dengan gemas. “Aahh… Yuli kangen ini…” ia menciumi permukaan batang Aseng junior dengan seksama. Menghidu aroma kejantananku yang menguar keras. Ia sama sekali tidak jijik membaui aromanya yang sedikit tajam karena kegiatanku seharian ini. Aku sama sekali belum sempat membersihkannya. Tak lama lidahnya menari-nari menelusuri tekstur keras Aseng junior yang sudah licin basah oleh liurnya.
“Gllokkhh… gllookk… glookkhh… Hmm… Ahhsss…” ia memasukkan Aseng junior kedalam mulutnya dan menyedot-nyedotnya dengan rakus. Tangannya terus mengocok bagian pangkal penisku simultan dengan mulutnya yang bekerja dengan rajin. Payudara 38DD terasa lembut menekan-nekan pahaku. Digesek-gesekkannya hingga terasa puting besarnya menggerus kulit pahaku. Terus mulut dan lidahnya bermain lincah. Rasanya sangat nyaman dan hangat sekali mendapat servis dari Yuli sore-sore begini. Aku hanya bisa mengelus-elus rambut dan bahu telanjangnya sambil mengerang-ngerang sepelan mungkin. Nikmat nian. Aku teringat proses awal pergumulan kami di penginapan itu. Ia membayarku 100 juta untuk menghamilinya yang dibagi dua kali pembayaran. 50% dibayar dimuka saat aku mulai menyetubuhinya dan sisanya setelah ada kabar baik kehamilannya.
“Aauuhh…” erangku kala ia menjilat dan mengulum kedua bola pelerku. Badanku merinding jadinya mendapat jilatan hangat di bola-bola berisi bibit suburku. Tangannya terus mengocok cepat, memancing isi penghuni peler itu untuk segera keluar. “Aahh… Uuh…” erangku sangat menikmati. Aku tak menahan apapun. Kalo cepat keluarpun tak mengapa. Yuli lalu fokus hanya di bagian kepala Aseng junior saja. Lidahnya menyentil-nyentil lubang kencingku lalu mengulumnya kuat.
Yuli memberikan sejumlah banyak ludah pada permukaan Aseng junior dan diratakannya. Lalu terasa kenyal daging montok 38DD kemudian mengambil alih. Yuli menjepitkan payudara masifnya untuk mengocok Aseng junior-ku. Aku mengerang keenakan merasakan lembut dan kenyal yang lumer melenakan. Rasa nikmat dari licin ludahnya dijepitan sepasang gunung 38DD membuatku hanya bisa pasrah mengangkang, membiarkan Yuli melakukan apapun sesukanya. Lalu ia kembali mengocok menggunakan tangan saja, mungkin khawatir berlama-lama menekan perutnya yang tertekan.
“Tek tek tek tekk…” suara kocokan batang basahku dengan cepat. Yuli menyedot kepala Aseng junior, lidahnya menyapu cepat berulang, tangannya mengopyok cepat, aku mengerang gelisah, Yuli mengerang mendukungku dengan tatapan bahagia… “Akh…”
“Spuurtt… spuuurtt… spurrrtt…” semburan spermaku memasuki rongga mulutnya. Tak ragu sama sekali ia mengenyot-ngenyot kepala Aseng junior, menguras semua yang tersisa. Tampak beberapa kali ia meneguk pertanda spermaku di telannya. Pelan-pelan tangannya mengocok pangkal penisku dengan perasan sedikit kuat untuk menguras semuanya keluar sempurna ke dalam mulutnya.
Yuli memamerkan sisa spermaku yang masih menempel di lidahnya. Lalu dengan sekali tegukan ia menelannya sampai tandas. Aku masih ngos-ngosan menggapai pada gunung 38DD-nya. Dengan patuh ia beringsut ke sampingku dan menyodorkan payudaranya padaku. “Mmmbbhh…” mukaku langsung tenggelam dan lumer di kelembutan, kekenyalan daging kualitas super seukuran 38DD ini. Bertambah usia kehamilannya, ukurannya akan semakin bertambah karena sekarang aja sepertinya bra-nya sudah sedemikian sempit dari yang kuingat pas menangkup.
Kekenyot-kenyot, kuremas-remas. Putingnya mengeras menggemaskan, pas diemut di mulut. Bayimu nanti akan puas menikmati ASI dari payudara mamanya ini. Yuli membiarkanku menikmati payudaranya sepuas-puasku karena ia masih menguleni Aseng junior di tangannya. Pastinya ia sangat ingin sekali memasukkan Aseng junior-ku ke apem mlenuknya yang sudah becek. Ia sengaja tak membuka celana dalamnya karena kalo sekalinya dibuka, pasti akan terjadi penetrasi. Enak sih pastinya. Tetapi bisa berbahaya karena kehamilan trimester awalnya ini masih rentan sesuai anjuran dokternya. Apalagi kalo aku yang ngentoti binor ini, minimal sekali dua kali dia bisa kubuat orgasme. Kontraksi orgasme ini yang kadang berbahaya.
“Makasih ya, Yuli… Enak…” kataku lalu bangkit dan duduk. Yuli duduk di pangkuanku. Aku masih meremas-remas 38DD yang ngangenin. Dalam koleksi binorku, memang ini tetek terbesar di antara semua. “Udahan kangennya?” menatap matanya.
“Apem Yuli kremut-kremut pengen dimasuki… tapi gak boleh… Mana bisa udah kangennya kalo kek gini… Yuli bakalan kangen trus sama abang…” ia lalu memelukku lagi. Ia lalu terisak sedih.
“Ehh… Gak boleh sedih gitu, Yuli… Ini demi dedek bayinya kan? Yuli harus kuat… Semangat!” kataku berusaha memberinya kekuatan sebagai orang yang sudah menghamilinya. Semoga kata-kataku ini bisa didengarkan dan dicamkannya. Ia mengangguk-angguk walo masih terlihat sedih. “Besarkan dia menjadi anak yang sehat dan bahagia… Awak akan selalu mendoakan kalian semoga selalu sehat dan sentosa…”
—————————————————————————-
Menyamarkan diri, aku bergabung lagi dengan para tukang yang sedang beres-beres membersihkan sisa pekerjaan mereka sore ini. Ada yang sudah ganti pakaian dan ada yang sedang duduk di pojokan menikmati gorengan dan rokok. Eh… Ada yang menarik-narik bajuku.
“Ya… Apa?” tanyaku pada seorang anak menarik ujung bajuku itu. Anak ini lebih tua dari Rio, teman bermainnya rame-rame. Kukira ia akan menanyakan tentang Rio yang gak pernah keliatan lagi.
“Dipanggil ituh…” tunjuknya jauh ke belakang sana. Aku melongokkan kepala untuk melihat siapa yang dimaksud anak kecil ini yang memanggilku, pake ngutus anak kecil segala. Nun sampai jauh disana, jalanan gang ini sepi. Hanya ada satu sosok yang berdiri di depan bangunan rumahnya. “… bu Ipa…” langsung anak itu ngibrit lari menjauh setelah menjejali mulutnya dengan sebuah lolipop. Binor itu berdiri di depan kede/warung yang menyatu dengan rumahnya sambil nyapu-nyapu jalanan dengan sapu lidi. Bekas jajanan anak-anak yang beli di kede-nya banyak berserakan di sana.
Waduh…
“Sombong ya sekarang… Katanya cuma renovasi… Abis-abisan tuh keknya renovasinya…” kata Iva masih membersihkan bagian depan kede miliknya dari sampah yang berserakan.
“Gak-la, Pa… Pondasinya rupanya gak kokoh… Jadi daripada-daripada… harus dibenerin dari dasar… Sori yaa… Gak ngabar-ngabarin sekian lama…” kataku mencoba berbaik-baik aja. Eh… Iva-nya malah masuk ke dalam kede.
“Sini…”
Dibalik etalase kecilnya, ia memanggilku supaya masuk ke bagian dalam kede. Begitu aku masuk, ia mengintip ke luar, ke arah jalan gang yang lengang. Ia lalu menutup pintu besi kede-nya rapat-rapat. Wah… Aku masuk ke dalam sarang apa ini? Dibilang sarang perawan, binik orang. Sarang enak-la namanya.
“Mbbhh…” begitu berbalik, ia langsung aja menyerangku dengan cumbuan mulut bertubi-tubi. Sampai dipepetnya tubuhku ke araha jajanan yang digantung berjuntai-juntai di dinding kede-nya. Ia tak memperdulikan beberapa rencengnya jatuh berderai-derai, lebih mementingkan rasa kangen yang kurasakan menggebu-gebu, terasa jelas dari dengusan nafas memburu.
“Aseng beib jahat… Ipa kalo kangen gimana?” katanya disamping pipiku berbisik setelah melepas bibirnya dari mulutku. Mulutku terasa basah oleh liur cumbuannya barusan. Ia memposisikan kedua tanganku untuk memeluk dirinya. Tangannya sendiri bertaut erat di punggungku. Sedikit lagi akan menyentuh bagian punggungku yang sakit.
“Masa kangen sama lakik orang, bu Ipa? Gak boleh-laa…” jawabku lirih. Sela pintu besi penutup kede-nya walo rapat, masih membiaskan sinar dari luar yang sedikit menerangi ruangan ini. Disini, diantara berbagai barang-barang dagangan warungnya, ada banyak memori indah pergumulan kami berdua. Aku mengurai rambut yang jatuh di depan matanya.
“Tapi Ipa kangen~~… Aseng beib menghilang lama kali… Renovasinya lama lagi tuh…” mukanya menyembul dari pertemuan tubuh kami. “Dedek bebinya juga kangen papanya nih~~…” ia melebarkan jarak antara kami berdua untuk menunjukkan perutnya yang memang lebih buncit dari biasanya karena tubuh langsingnya, kain bagian bawah tanktop-nya dinaikkan. “Tiap hari nanya~~… Papa Aseng mana, ma? Papa Aseng mana? Tuh~~… Iih…” ia menampilkan muka manjanya lagi dengan mulut merot sana merot sini penuh ekspresi menggemaskan.
“Masa dedek bebinya bisa ngomong gitu? Mengada-ngada, nih…” ujarku lalu beringsut turun menunduk dan berjongkok di depan perutnya. “Orang dedek bebinya aja bobok gini, kok…” imbuhku setelah mengecupi lalu pura-pura mendengarkan perutnya. Kuelus-elus perutnya dengan lembut. Ia memandangiku dengan penuh perasaan yang tak ingin kuingat-ingat. “Mamanya aja paling yang kangeeen?”
“I-ihh~~…” Iva menghentak-hentakkan kakinya pelan saat ku memegang kedua buah bokongnya dan sedikit meremasnya. Ia memakai tanktop dan boxer yang hanya setengah pahanya. Karet boxer-nya membalut ketat di bawah perutnya. “Aseng beib apa gak kangen?” desaknya. Gini kalo ngadepin bumil. Dilema antara harus menyenangkan hatinya ato menjaga hatinya. Beda? Membuatnya senang dan membuatnya bahagia tentu berbeda. Membuatnya senang bisa dengan mengelus-ngelus perutnya, membiarkannya mencumbui mulutku untuk kali ini saja. Membuatnya bahagia berarti membiarkannya memilikiku—hal yang mustahil.
“Kangen-loh… Iya, kangen… Hup…” kubopong dirinya kek foto-foto pre-wed itu. Tangan menahan punggung dan lipatan lututnya. Walo kerasa sakit seluruh tubuhku, kupaksakan diriku menggendongnya. Memberinya rasa senang itu. “Ada siapa di dalam rumah?” tanyaku sebelum lebih jauh bertindak.
“Gak ada siapa-siapa… Toni mancing… Ara pergi sama budenya… Ipa aja sendirian trus di rumah tiap hari…” jawabnya dengan mulut manyun.
“Awak nenenin sebentar, ya?” benar itu tulisannya. Bukan typo. Sumringah wajah Iva mendengar kata vulgarku barusan. Dari chat kami sebelumnya, aku juga tau kalo Iva juga disarankan untuk menjaga baik-baik kandungan mudanya. Mengurangi kunjungan hubungan suami istri, bahasa halus dokternya. Kadang menyenangkan hati seorang perempuan itu hanya perlu dinenenin, dikenyot-kenyot sampe puas. Ia hanya perlu itu saat ini. Kugendong tubuhnya ke kamarnya lalu kubaringkan pelan-pelan ke peraduannya. Walo udah sering kugumuli, perlakuanku ini tak kurang membuatnya tersipu-sipu malu begitu.
Tanktop-nya kugulung ke atas pelan-pelan untuk menampilkan bagian dadanya yang berbungkus bra ketat. Kubiarkan dadanya yang membusung naik turun untuk sementara ini karena aku mengelus-elus perutnya. Kuajak ngobrol janin yang masih sangat muda di dalam perutnya dengan elusan-elusan berputar. Kukecup-kecup juga. Semua perbuatanku itu tak luput sedetikpun dari pengamatan Iva. Ia tersenyum-senyum melihatku yang sedang berkomunikasi dengan mahluk imut di dalam rahimnya. Aku tau ia sangat bahagia. Bahagia akhirnya ada kehidupan yang berkembang pesat di dalam perutnya. Yang sudah lama dinanti-nantikannya sampe harus pake pancingan mengambil anak dari saudaranya sendiri. “Dedek baik-baik ya sama mama Ipa… Mamanya dijagain… Jangan nakal sama mama… Awas kalo nakal… nanti nenennya diambil kek gini… Kek gini, nih… Nyuumm…”
“Ahh… Hi hi hihi…” geli Iva kala branya kusingkap dan langsung kukulum bagian pentilnya yang kini mulai gelap membesar dari biasanya. Mempersiapkan kelenjar-kelenjar mammary-nya untuk memproduksi ASI pada masanya nanti. Memperlebar aerola sempitnya hingga mempertebal putingnya agar memudahkan bayi menyedot air kehidupan darinya nanti. Kali ini aku dulu yang menikmatinya. Iva mengelus-elus kepalaku bak menyusui bayi raksasa yang tak kunjung disapih. Jempolnya pelan-pelan mengelilingi luka yang ada di atas keningku, di batas rambut terakhir tumbuh. Ia tak menanyakan asal luka itu tetapi berusaha meredakan rasa perihnya dengan mengelusnya berputar.
Puas dengan satu sisi, aku berpindah ke sisi satunya. Iva berbaring nyaman menikmati perlakuanku pada kedua bukit manjanya yang kian membesar. Tangannya terus mengelus-elus rambutku selagi aku mengenyot dan meremas. Sesekali ia mengerang lembut dengan mulut menganga. Lalu mendesah-desah dengan pinggul bergoyang. “Udah basah, bang… Tapi masih belum boleh dipake~~…” gerutunya lucu dengan mulut manyun. Kedua bukit manjanya kuremas-remas.
“Sabar ya, Ipa cantik… Ini demi anak ini, loh… Yang sabar… Dinikmati aja masa-masanya… Masih sering mual-mual, enggak?” tanyaku mengecup bibirnya tipis saja.
“Seringnya sih pagi-pagi, beib… Senengnya makan yang asem-asem gitu… Sama kangen Aseng beib terus… Lewat rumah beib… tukang dekil mulu yang keliatan di sana… Untung ada anak-anak tadi yang bilang nyeplos kalo papa Rio ada di sana waktu dia beli jajan… Ipa seneng kali dengernya…” ujarnya. Kududukkan tubuhnya lalu aku memposisikan diri di belakangnya dan membiarkannya bersandar padaku. Kuciumi aroma rambutnya sementara tanganku mengelus-elus perutnya.
Cuddling seperti ini sebenarnya sangat intim dan personal sekali. Tapi setidaknya ini yang bisa kulakukan untuk membesarkan hatinya, menyenangkan hatinya tanpa bisa membahagiakannya lebih jauh.
—————————————————————————-
Berat hati sebenarnya Iva melepasku pergi dari kamarnya, dari rumahnya, dari jangkauannya. Tapi ada orang yang mengetuk-ngetuk pintu besi kede-nya untuk membeli sesuatu sehingga aku keluar dari pintu belakang setelah sebelumnya mengambil sendal jepitku yang kutinggal di kede. Ini memang rute pelarianku kalo menyambangi rumah Iva malam-malam. Tapi ini masih sore dan lumayan terang sehingga aku ekstra hati-hati jangan kelihatan tetangga kanan kiri.
Lewat slalom berliku-liku menghindari jemuran pakaian yang sudah kering belum pada diangkat akhirnya aku sampai pada tempat ini. Sayup-sayup aku mendengar suara hoek-hoek orang muntah gitu. Gak enak juga kalo sampe ngeliat itu tapi asalnya dari belakang rumah Pipit. Aku celingak-celinguk melihat sikon baik-baik. Bagian belakang rumah-rumah ini semua pada tutup pintu. Aman-la.
“Kenapa, Pit? sapaku kasual.
“Bang Aseng?” ia tercekat kaget menutup mulutnya. Matanya agak berair akibat muntah barusan. Masih dengan mata basah, ia memindai keadaan sekelilingnya, menarikku cepat dan menutup pintu.
“Hushh… hushh…” pelan kuelus rambut tebalnya untuk menenangkannya. Ia membenamkan wajahnya di dadaku. Ia meremas erat bagian punggung baju yang kupakai ini. Meluapkan semua perasaan yang mungkin ada di dalam dadanya. Walo dalam keadaan begini, aku sebenarnya takut-takut gimana gitu. Gimana kalo lakiknya, si Imran ada di rumah? Kalo diajak gelut aku berani sesumbar gak akan kalah darinya, tapi implikasinya pasti melebar kemana-mana.
“Abang kemana aja, sih?” suara terbenam dadaku keluar dari mulutnya.
“Kami ngungsi dulu, Pit untuk sementara… Rumahnya lagi direnovasi abis-abisan gitu…” jawabku. Ini pasti dia sudah tau. Bukan itu sebenarnya yang ditanyakannya.
“Pipit nungguin bang Aseng datang… Bang Aseng gak datang-datang… Bang Aseng udah bosen ya ama Pipit?” ia masih membenamkan mukanya di dadaku. Rasa perih di dadaku muncul lagi ditekan begini. Aku hanya bisa nyengir menahannya. Hangat pelukannya sangat erat hingga membuatku lupa akan bahaya yang mungkin datang dari keberadaan suaminya. Mungkin belum pulang. Dari posisi kami sekarang ini, aku bisa melihat ke arah garasi yang pintu penghubungnya terbuka, tidak ada mobil di sana.
“Bosen gimana? Gak bosen-loh, Pit… Awak hanya sibuk… Lagipula Pipit kan lagi hamil begini…” alasanku gak membuat perasaannya lebih sakit menambah penderitaan seorang bumil yang sangat sensitif perasaannya. Pengalaman dengan orang rumahku sendiri begitu. Pengalaman yang sedang berbicara saat ini.
“Pipit tambah endut ya sekarang?” tanyanya. Setauku ia hanya manja ketika di ranjang. Tapi saat ini ia menampilkan sisi itu dengan berpakaian lengkap. “Jadinya Pipit jadi elek, yo?”
“Wis-wis… Opo yang elek?… Wong ayu gini… kok elek…” kupegangi kedua pipinya. Kedua jempolku mengusap air mata dari bawah horizon matanya. Lalu kuciumi kedua matanya yang otomatis terpejam menikmatinya. “Muah-muah…” lalu keningnya. “Yo, wis… Ojo nangis-nangis lagi… Nanti si kecil juga sedih kalo mamanya sedih-sedih terus… Ya?” dan kututup dengan patukan kecil di bibir.
Senyum terkembang pada wajahnya. Matanya masih basah tetapi lebih baik keadaannya sekarang.
“Pipit seneng ketemu bang Aseng lagi…” ia membenamkan wajahnya lagi di dadaku dengan mood yang lebih baik sekarang. Senyumnya lebar. Kuhirup aroma rambutnya yang wangi. “Gak puas cuma chatting… Enakan begini… Hmm…” ia mendusel-duselkan wajahnya di dadaku yang terasa perih. Tapi kubiarkan ia menyamankan dirinya.
“Bentar lagi jadi mama Pipit… Harusnya lebih seneng lagi, kan?” kataku mengingatkannya. Kepalaku lebih rajin mengelus-elus ubun-ubunnya. “Dijaga yang baik si kecil ini… Rajin minum vitaminnya… Gak boleh capek-capek… Ikutin semua kata dokternya… Yah?” kecupku lagi di pucuk kepalanya.
“Iya, bang… Bang Aseng badannya luka-luka begini semua… Baret-baret gini…” sadarnya melihat garis-garis lebih terang dari warna kulitku. Luka tergores itu sudah sepenuhnya mengering berkat meditasiku tadi siang. Sisa kulit itu di beberapa bagian sudah mengelupas menonjolkan lapisan kulit baru. Ditariknya tanganku lalu diciuminya bekas luka itu. Lembut bibirnya menyentuh halus. “Bang Aseng jadi macho abis begini…”
“Ada-ada aja Pipit ini… Cobel-cobel gitu kok dibilang macho… Macam choro-iya?” gelakku. Kami sama-sama tertawa.
Agak lama aku di dalam rumah Pipit. Saat ia mengetahui luka lebam di punggungku, ia menawarkan untuk mengoleskan ramuan yang ia ketahui untuk mengurangi rasa sakit itu. Setelah menunggu sebentar ia membaluri beberapa titik lebam itu dengan param yang terasa hangat itu. Rasanya cukup nyaman lebih karena Pipit telaten melakukannya. Setelah selesai membaluri lukaku, ia kembali lendotan memeluk lenganku yang tak terluka.
“Bang Aseng mau nyapa si kecil, gak?” tawarnya.
“Boleh…” aku langsung berjongkok untuk menghadapi perutnya.
“Loh… kok?” mukanya bingung melihatku berjongkok. Ia agaknya akan menelanjangi dirinya sendiri. Pipit sudah akan melepaskan celana pendeknya. Tangannya sudah di tepi karet. “Nyapanya kemari, kan?” pegangnya pada selangkangannya sendiri. “Udah lama…” Keknya ada miskomunikasi nih. Maksud menyapa si kecil baginya adalah junior-ku menemui si kecil langsung di dalam perutnya. Tempat yang sudah kusemprotkan bahan bakar utama pembentukan si keci ini. Bagiku, menyapa adalah betul-betul menyapa secara verbal, berkomunikasi langsung. Getaran suaraku setidaknya akan sampai padanya.
“Eits… Pipit? Kan gak boleh kata dokternya… Awak juga gak tega-la… maen masuk-masuk aja… Apa Imran juga udah masuk?” tanyaku masih berjongkok di depannya. Pipit urung meloloskan celana pendeknya.
“Belum, bang… Abis Pipit pengeeen~~…” manjanya muncul lagi.
“Sabar ya, mama Pipit… Mama Pipit harus sabar… Demi si kecil imut ini… Pasti nanti dia secantik mamanya… Biar dia sehat… tumbuh besar… pinter dan kuat!” kataku menyingkap sendiri kaos longgar yang dikenakannya, mengusap-ngusap perutnya yang lebih berisi sekarang lalu mengecup beberapa kali.
“Biar kuat kayak papa Aseng… Hi hi hihi…”
—————————————————————————-
Aku harus cepat-cepat pulang nih karena kereta galas punya si Misnan ini harus kukembalikan padanya untuk alat transportnya pulang. Sampe di rumah udah sore menjelang Maghrib dan Misnan langsung pulang. Aku masuk rumah dan aku menemukan istriku dan Vivi sedang di ruang makan sedang menyantap sesuatu.
“Disuruh istirahat itu ya istirahat, paa… Lagi luka-luka gitu kok masih keluyuran aja… Gimana, sih?” repet istriku sambil menyendokkan makanan itu ke mulutnya.
“Itu tadi papa ke Mabar… ngeliat progres renovasi rumah, ma…” jawabku. Vivi tersenyum-senyum penuh arti. Mungkin karena aku sedang direpeti istriku ini. Mana mungkin kan dia tau apa yang sudah kubuat seharian ini? Udah gak ada lagi Banaspati yang bisa disuruh-suruhnya untuk memata-matai aku. Tapi ia tetap mempertahankan senyum itu. Lalu saat istriku hanya fokus menghadap padaku, ia membuat gestur dua jari; telunjuk dan tengah seolah ditujukan ke matanya lalu kemudian ke arahku sebagai tanda ‘aku liat apa yang kau perbuat’. Apa maksudnya? Apa itu hanya gertakannya saja? Ato dia benar-benar bisa meliat apa yang sudah kuperbuat tadi?
“Makan apa?” tanyaku tak menggubris celotehan merepetnya.
“Mau? Bubur kacang ijo… Vivi yang masak…” tawarnya. Aku mengangguk. Lumayan buat mengganjal perut.
Dengan ligat, Vivi bangkit, mengambil sebuah mangkok baru, mengambilkan bubur itu lalu menghidangkannya padaku lengkap dengan sendok dan segelas air putih hangat.
“Enak…” kataku saat mulai suapan pertama.
“… Jadi apa yang membuat Vivi suka sama lakikku ini?” Alamak! Pertanyaan macam apa itu? Jadi selama tadi di sini, mereka sudah membicarakan masalah ini? Aku jadi jiper mendengar pertanyaan semacam ini dari istriku yang ditujukan ke Vivi. “Awak tau dia luar dalam… Awak gak tau kerjanya apa aja di luar sana… Tapi dia gak akan mau merayu perempuan macam Vivi… Apa kira-kira?” aku terdiam. Tanganku berhenti mengaduk bubur kacang ijo ini. Tapi anehnya Vivi sepertinya santai-santai aja, tenang dan sepertinya punya jawaban yang sudah disiapkan.
Aku gak takut ngelihat hantu paling seram sekalipun. Aku gak gentar menghadapi lawan sekuat siapapun. Aku gak keder melewati rintangan sesulit apapun. Tapi dingin sebeku es mengalir di tulang belakangku saat kudengar soalan sedemikian pedasnya. Saat ini aku merinding hampir gemetar.
Bersambung