Part #54 : Amei

Api lawannya adalah air. Tapi tidak sama halnya kalo kobaran api Banaspati bertemu air. Api Banaspati tidak bisa dipadamkan dengan menggunakan air seperti yang terjadi pada kolam renang rendah yang airnya menguap menjadi kabut. Total ada tiga batu apung bulat yang tersisa bekas serangan Banaspati itu. Dua di dasar kolam dan satu di paving block.

Ketiga benda bulat itu masih luar biasa panas dan aku tidak mau menyentuhnya sama sekali dengan tangan kosong. Benda-benda itu harus dinetralkan dulu menggunakan kapur sirih. Tidak mungkin mendapatkan kapur sirih dalam jumlah sebanyak itu kecuali membuatnya sendiri. Pagi-pagi aku menyuruh Misnan mencari batu kapur atau kapur gamping dan menunggu dia kembali, kularang siapapun untuk mendekati area kolam karena masih sangat berbahaya. Kapur gamping itu lagi dihancurkan menjadi bubuk lalu harus direndam di dalam air selama seminggu.

“Pokoknya jangan ada yang mendekati kolam. Pintu ini tidak boleh dibuka sama sekali… Kasih tau semuanya juga area ini jadi daerah terlarang sampai nanti papa bersihkan… Ingat ya, ma?” kataku mewanti-wanti istriku. Ia mengangguk-angguk saat aku akan berangkat kerja. Aku masih harus menunggu kapur gamping itu direndam agar menjadi kapur sirih yang kubutuhkan untuk meredam panas batu apung yang berasal dari Banaspati itu. Kuulangi peringatanku sampe istriku bosan mendengar ocehan cerewetku.

Aku berkendara ke pabrik masih dengan kepala panas dan dongkol. Untung aja lewat jalan tol dan gak menghadapi kemacetan karena bisa-bisa aku meledak emosi karena rasa amarah ini gak tersalurkan.

“Alo, Julio? Keknya bahagia kali…” jawabku mengaktifkan speaker terus nyetir.

“Bahagia-lah, bang… Makasih nasihatnya tadi malam… Kami udah baikan…” jawabnya dengan nada ceria.

“Wah… Selamat-la, ya… Awak ikut senang kalo klen jadi baikan… Jadi gak kerja-la ceritanya ini? Mangkir kerja?” tebakku. Ia tertawa-tawa di seberang sana. Dari suaranya yang menggema bukan seperti di dalam mobil, lebih seperti gaung kamar. Harusnya jam segini ia seharusnya sudah OTW ke kerjaan seperti diriku. Tapi karena abis baikan setelah pertengkaran ato cekcok lama biasanya akan membuat hubungan tambah mesra dan panas.

“Tau aja, bang Aseng… Jangan bilang-bilang pak Ferdi nanti di kelas… Saya permisi sakit… Ha ha haha…” katanya tetap blak-blakan. Ada suara perempuan sayup-sayup di belakangnya. Itu pasti istrinya yang baru saja baikan sehabis rekonsiliasi pernikahan menuju yang lebih baik. “Mau berduaan aja dulu, bang… Makasih ya bang sekali lagi…” katanya lalu menutup hubungan telepon. Kepalaku setidaknya gak panas lagi setelah mendengar kabar baik dari Julio barusan. Setidaknya ada yang sedang berbahagia setelah aku pontang-panting tadi malam menghadapi Banaspati ganas itu. Aku tidak punya tersangka lain selain daripada selingkuhan istri Julio. Koreksi mantan selingkuhan istri Julio. Tidak harus pria itu langsung yang mengirim Banaspati, bisa dukun langganannya ato siapalah, tapi yang pasti masih sepengetahuannya.

Selesai telponan sama Julio, kembali HP-ku berdering. Ternyata ada di call-waiting dibelakangnya. Andini? Ngapain nih binor Siantar itu nelpon pagi-pagi? Udah bangun dia apa?

“Alo, bu Andini yang ayu tenan…” gombalku. Suasana hatiku mendadak adem mengingat binor satu ini.

“Bang Aseng jelek… ANDINI HAMIL!!” teriaknya. Suaranya melengking memenuhi ruang kabin Pajero ini. Kupingku sampe berdenging jadinya. “… siapa sih itu yang adek telpon?” ada suara laki-laki di latarnya. Karena suara speaker-phone aku bisa mendengarnya dengan jelas. Pasti itu suaminya, si Heri-Heri itu. “Ish… Sana dulu jauh-jauh… Bang Aseng… Andini hamil…” ia berbisik mengulanginya lagi.

“Iya dengar bu Andini ayu… Selamat ya? Semoga jabang bayi sama mamanya sehat selalu sampai lahiran nanti…” kataku standar memberinya selamat atas kehamilannya ini. Bertambah lagi satu di dalam daftar binor yang berhasil kuhamili. Sangat gembira tak terlukiskan mendengar kabar ini.

“Abang jauh-jauh dulu sana…” ia menyuruh suaminya jangan dekat-dekat dulu darinya karena ia masih mau membagi kebahagiaannya ini denganku lebih lama. “Kami lagi di klinik nih, bang…” bisiknya lagi. “Andini positif hamil… Andini senang kali… Makasih ya, bang… Andini akan menjaga anak ini baik-baik…” katanya mungkin berkaca-kaca di Siantar sana. Ada isakan bahagia juga. Aku turut berbahagia denganmu, binor ayuku.

Lama ia menelponku walo terus diganggu suaminya. Ia bergerak sana-sini karena terus diikuti suaminya yang curiga ia telponan dengan siapa. Pengalaman dirinya yang kerap menyelingkuhi istrinya membuatnya menjadi parno sendiri takut karma menimpa dirinya. Anda telat, kisanak. Binikmu udah kuentot berulang-ulang waktu kao sedang enak-enakan juga dengan janda—si Cyntia itu.

Menerima penelepon berikutnya untung aku sudah keluar dari gerbang tol dan kucari tempat aman untuk menepi. Perasaan udah kek penyiar radio jadinya aku yang ditelpon pendengar bolak-balik pengen ngirim salam-salam ke pendengar lain.

“Ya… alo, bu dosen Vivi?” jawabku masih duduk di belakang setir walo dalam keadaan terparkir di pinggir jalan. Lampu sein berkedip-kedip.

“Halo, bang Aseng… Vivi masih takut, bang Aseng… Bolak-balik Vivi kebangun kebawa mimpi kejadian tadi malam itu…” ujarnya di sana. Ia masih di rumahnya karena aku mendengar suara baby sitter-nya sedang bernyanyi kecil untuk Nirmala. Suara Benget juga kedengaran sedang mengajak bayi itu bercanda.

“Vivi masih trauma sama kebakaran itu, ya?” tebakku. Vivi menjadi yatim piatu karena kedua orang tuanya tewas dalam kebakaran. Ia yang sedang dalam masa persiapan pensi di sekolahnya mendapati rumahnya dalam keadaan rata dengan tanah saat pulang. Meninggalkannya sendiri sebatang kara saat ia masih kelas 2 SMA. Untung ia bisa mengurus dirinya sendiri hingga dewasa sekarang.

“Iya, bang Aseng… Tapi beneran gak apa-apa, bang?” tanyanya lagi.

“Gak pa-pa, bu Vivi… Banaspati itu udah awak habisi… Bu Vivi kan liat sendiri… Tidak ada yang perlu ditakutkan… Lagian setan api itu mengincar awak… bukan bu Vivi, kok…” kataku mencoba terus menenangkan kegelisahannya. Tapi yang namanya trauma memang sulit disembuhkan. Apalagi ini sudah sejak lama membekas di benaknya. Orang tuanya tewas dalam kebakaran yang mengenaskan. Sampai sekarang ia menjauhi apa-apa yang ada hubungannya dengan api. Kompor, korek api, rokok, kembang api, api asmara… yang dahulu pernah membara… semakin hangat bagai ciuman yang pertama… Apa mungkin dia gak pernah pacaran, menghindari api asmara? Aku gak sempat nanya itu.

“Tapi masih takut, bang…” katanya lagi hampir terisak. Memang kobaran api Banaspati tadi malam itu akan sangat mengerikan bahkan pada orang yang tak punya trauma pada api. Bayangan api berkobar-kobar itu pasti meninggalkan kesan yang sangat menakutkan. Kesan kematian yang telah merenggut kebahagiaannya. Merenggut keluarganya.

Ingin rasanya aku putar balik mobil ini dan menyambangi rumahnya lalu memeluknya, menenangkan kegelisahan dan ketakutannya. Tapi sementara ini hanya bisa kulakukan via suara saja. Berbagai kata-kata motivasi garing kulancarkan agar ia tenang dan melupakan pemandangan menakutkan itu. Jelas serangan tadi malam tidak lagi personal saja karena Banaspati itu juga sudah mengacak-acak emosional Vivi, teman sekaligus dosen sementaraku.

—————————————————————————-
Kelas agak sepi malam ini tanpa kehadiran Julio. Biasanya ia yang bikin heboh dengan pertanyaan bodoh ato candaan dewasa khas dirinya. Sampe kelas malam-pun di-skip untuk bersama istrinya lebih lama. Mungkin semacam bulan madu mendadak bagi mereka berdua.

“Katanya sakit gitu laporan personalia pabrik… Paling juga ngamar sama pacarnya…” kata pak Ferdi yang sengaja berbalik ke belakang menghadapku mengomentari absennya Julio. Pak Ferdi sudah demikian mengenal Julio sampai mengasumsikan demikian. “Ada jadwal sama Mayu-chan, pak Aseng?” ia lalu berbisik menanyakan ini. Padahal ia sudah tau seharusnya dari istri sirinya itu sendiri.

“Dua hari lagi, pak Ferdi…” jawabku lalu teralih pada getaran notifikasi pesan BBM yang barusan masuk. Dari Julio.

Julio: plg kul ketemu di kafe biasa kt nongkrong bisa pak?

Aseng: ada apa

Julio: ngobrol2 aja

Aseng: gk ngajak p ferdi n genk

Julio: gk usah kt2 aja

Aseng: ok abis kul ya

Julio: ok c u

Ah… Mungkin dia mau berterima kasih karena telah memberinya nasehat kemaren malam itu yang telah membuka mata hati dia dan istrinya yang selama ini hidup dalam ketidak jelasan mahligai rumah tangga yang carut marut. Bagus toh mereka sudah mau terbuka saling memaafkan, membuang ego dan mengakui kesalahan masing-masing. Kehidupan yang selama ini mereka jalani sepenuhnya salah dan ngawur. Masa saling perang siapa yang paling hebat selingkuhnya… Kehidupan perkawinan macam apa itu?

Perkuliahan berlanjut biasa aja seperti malam-malam sebelumnya. Hanya saja seperti yang kubilang tadi di atas, agak lebih sepi aja karena ketiadaan Julio–sang pembuat gaduh. Malam ini gak ada ajakan nongkrong di kafe selain ajakan Julio tadi dan masing-masing pulang ke rumahnya setelah saling mengucapkan sampai jumpa besok. Kukendarai Supra X 125-ku ke kafe yang biasa kami kunjungi beramai-ramai itu, tempatku janjian bertemu Julio. Kuparkir di bagian samping belakang kafe. Aku masuk dari pintu samping kafe dan langsung menuju meja yang sering kami duduki beramai-ramai tapi ternyata sedang sedang dipakai kelompok pengunjung lain. Aku memindai sekeliling ruangan kafe akan keberadaan Julio. Ada seseorang di ujung sana yang melambai-lambai padaku, disana dia rupanya.

“Bang Aseng… Sini… duduk sini, bang…” sambutnya padaku dan menepuk kursi kayu di sampingnya. Aku meletakkan tas milikku di bawah meja dan menarik kursi untuk duduk, aku melirik pada satu sosok yang duduk di couch yang rapat di dinding di depan kami berdua. “Kenalin, bang… ini istriku… Panggilannya Amei…” perempuan itu mengulurkan tangannya yang kusambut.

“Amei…”

Amei

“Aseng…” jawabku. Tangannya halus dan hangat.

“Kelas sepi-loh Julio tanpamu…” kataku berusaha hangat dan ramah padanya. Ia tertawa-tawa lepas seperti biasa.

“Bang Aseng kayak gak pernah bulan madu aja?” jawabnya enteng saja.

“Memang gak pernah, Julio… Waktu dulu awak menikah… ekonomi kami hanya pas-pasan… Rumah masih ngontrak… Gak mikirin bulan madu-la… Boro-boro bulan madu-laaah…” kataku berusaha membuatnya agak empati padaku. Aku yang dulu tidaklah seperti yang sekarang.

“Tapi sekarang udah lumayan kan, bang?” ia beralih menghadap padaku mengakrabkan diri. Ia memang cenderung cepat akrab akibat pembawaannya yang easy going dan ceria. Orang seperti ini banyak punya teman. Pembawa keceriaan saat berkumpul dan pusat keramaian kelompok.

“Lumayan…” jawabku pendek.

“Lumayanlah, bang… Rumah di kompleks XXX masak biasa-biasa aja…” katanya terdengar seperti menyindir tetapi tidak membuatku tersinggung. Hanya seperti tau lebih banyak daripada yang pernah kuberitau. Aku menaikkan alisku tanpa perlu bertanya verbal darimana ia tau itu? Apa dari pak Ferdi? Tapi sepertinya pria itu bukan tipikal orang yang ember…

“Gak sengaja taunya, bang… Amei ini rupanya kakak kelasnya asisten dosen itu loh… Si Vivi-Vivi itu… Tadi siang kami kebetulan ke rumahnya… Karena kayaknya bang Aseng sama Vivi itu saling kenal… kutanya-lah sama Vivi dimana kenalnya… Katanya tetangga di blok itu… Gitu…” jelasnya sendiri tanpa diminta. “Tapi bang Aseng kereta (motor) tiap hari ke kampus… Mobilnya ditinggal terus?” tanyanya pengen tau alasanku seperti itu. “Bang Aseng suka merendah nih kayaknya…”

“Kesan pertama awak di kelas udah kek gitu, Julio… Biar ajalah kek gitu…” jawabku taktis aja. “Gak usah dikasih tau yang lain…” kataku memintanya merahasiakan ini terus. “Jadi Amei kakak kelas Vivi waktu kuliah?” tanyaku malah beralih pada istrinya yang duduk di sana diam-diam bae. Dah pada ngopi belom? Ngevape dulu!

“Eh? Oh… Bukan… Kakak kelas waktu SMA dulu… Sewaktu dia kelas satu… saya udah kelas tiga…” jawabnya cepat menguasai diri.

“Jadi apa Amei tau tentang keluarganya yang kebakaran itu?” tanyaku.

“Tau, bang… Kami para alumni sempat melakukan penggalangan dana untuk membantunya… Tapi karena kebetulan tabungan keluarganya cukup… semua bantuan kami itu malah disalurkannya ke panti asuhan… Dia anak yang kuat… dan tangguh…” jelasnya. Wah… aku baru dengar tentang yang ini. Bahkan Benget gak mau cerita.

“Dia masih trauma sama api…” kataku menggantung.

“Trauma?” ulang Amei. Ia berpandangan dengan Julio sesaat. “Karena kebakaran itu?” Aku mengangguk. Ia menungguku melanjutkan penjelasanku tentang trauma yang kucetuskan tadi. “Trauma dengan api karena musibah itu…” ia mengambil kesimpulan sendiri. Ini salah satu kebiasaanku yang entah baik ato jelek. Aku selalu mengetes tingkat intelejensi dan daya nalar seseorang dengan memberi secuil informasi dan membiarkan ia mengembangkannya sendiri sesuai informasi yang ia punya dan ia ketahui. Dapat dinilai tingkat kemampuannya dalam menyimpulkan suatu info dari sana. “Jadi karena itu Vivi gak suka makanan panas… gak punya kompor gas… gak mau kumpul-kumpul barbekyu… Karena trauma api?” simpulnya. Kan? Cara yang cerdas, kan?

Aku mengangguk lagi. Amei melirik pada suaminya lagi. Sepertinya menyuruhnya menyampaikan sesuatu. Aku berpaling pada Julio karena gak enak juga ngeliatin binik orang yang aduhai kek Amei begini sementara lakiknya ada di sampingku.

“He he hehe… Iya… Gini, bang… Saya sama istri mau mengucapkan terima kasih atas nasehat abang semalam… Entah kenapa udah segitu banyak yang menasehati… memberi saran… Ada yang marah-marah bahkan… Gak ada satupun yang masuk ke kupingku… Sekalinya abang yang ngomong… kok rasanya nyess… gitu… Tersentuh istilahnya… Tergerak aku jadinya untuk memperbaiki hubungan kami ini… yang… yang kacau ini, bang… Amei juga begitu… Kami berdua mau mengucapkan terima kasih banyak, bang… Xiè-xiè…” keduanya kompak menyatukan kedua kepalan tangannya lalu digoyang-goyangkan kek lagi menyambut Imlek.

“Sie-sie?” aku ikut-ikutan melakukan hal yang sama dengan paoknya. “Maksudnya?”

“Makasih-loh, bang Aseng… Cuma makasih aja atas nasehatnya…” kata Julio menyederhanakan maksud mereka berdua tadi.

“Biasa-la itu… Kita harus saling nasehat menasehati… Kalo ada yang salah… yaa dikasih tau… Salah lu kek gini… Jangan begini… Lebih baik begitu… Julio kan teman awak… Sudah biasa itu…” kataku melambaikan tangan beberapa kali agar mereka tidak melebih-lebihkannya. Jangan sampe ada pulak hadiah yang akan diberikan mereka berdua padaku akibat terbukanya jalan rekonsiliasi damai mereka.

“Karena gini, bang Aseng… Omongan orang tua kami aja gak kami dengar untuk berbaikan… Tanya sama Amei… Dia pun sama juga… Tapi kenapa sekali bang Aseng yang ngomong… lewat telpon pula… kok bisa tergerak hatiku untuk berbaikan? Kan ajaib itu namanya…” kata Julio mengulangi penyebab ini semua. Amei juga mengangguk-angguk beberapa kali membenarkan.

“Aa… Ya udahlah… Traktir aja-la awak makan kalo gitu ceritanya…” kataku gak mau ambil pusing. Hidupku udah terlalu banyak keajaiban yang jauh lebih ajaib dari sekedar membuka hati sepasang suami istri yang lagi perang dingin. Menikahi istriku adalah keajaiban terbesar dalam hidupku, memegang rekor pertama yang belum terpecahkan sampai sekarang. Kedua, lahirnya malaikat-malaikat kecil buah cinta kami adalah dua keajaiban berikutnya. Ini belum terlalu ajaib buatku hingga hanya perlu dirayakan dengan traktiran makan aja.

“OK… Ha ha hahaha…” tangan Julio mengacung memanggil pelayan untuk memesan makanan…

“Gak sebanyak ini juga kalee…” rupanya ia sudah menyiapkan semuanya karena yang dipanggilnya ternyata bukan pencatat pesanan melainkan beberapa jenis menu makanan yang langsung tersaji, sudah dipesan sebelumnya. Julio dan Amei tertawa-tawa senang dengan kompaknya melihatku yang kelimpungan dengan makanan yang berlimpah seperti ini. “Awak makannya sikit-loh…”

“Makanlah, bang… Tadi katanya minta traktir makan…” geli Julio berhasil ngerjain aku. Masa sebanyak ini harus aku habiskan sendiri. Yang benar aja…

“Sarap kau, Julio… Masak kau suruh awak makan ini semua… Spaghetti satu bowl besar gini… Pizza satu loyang besar… Steak tenderloin double ini… Ayam goreng satu bucket… Emangnya perutku tong sampah bisa masuk semua ini?” geleng-geleng kepala aku melihat semua hidangan ini.

“Ha ha hahaha… Enggak-la, bang… Kami bantuin-la ngabisin ini semua…” katanya geli sendiri melihat mimik mukaku. Ia mengambil seiris pizza dari loyang dan menggigit ujung lancipnya. Amei juga melakukan hal yang sama, hanya saja cara makannya agak elegan dikit—diletakkan di piring dan dipotong pakai pisau dan garpu. Lega diriku.

“Abis ini abang aku traktir yang lain…”

“Hah? Apa traktir lagi? Liburan, ya?” tanyaku asal aja karena aku lagi mengunyah lembut potongan tenderloin ini. Entah kenapa pandanganku terpaku pada Amei yang sedang mengiris-iris potongan pizza-nya. Ia menatapku juga sambil tersenyum penuh arti.

“Abang bisa bergabung dengan kami tiga es…” kata Julio.

“Tiga es… Restoran es krim gitu, ya?” lalu memasukkan potongan kentang wedge yang sudah dicocol saus steak. Amei menunduk di depanku seperti malu-malu.

“Threesome, bang…” koreksi pria keturunan Tionghoa itu. Threesome… Terhenyak aku mendengarnya. Aku terdiam tapi tetap mengunyah kentang di mulutku hingga halus dan habis ditelan. Gluk. Pandangan mataku terpaku pada Amei lagi. Ini kan namanya lingkaran setan jadinya. Mereka memulai bencana rumah tangga mereka dari main trisam-trisam-an ini, kan? Sudah berbaikan kok malah dimulai lagi?

“Awak gak ngerti, Julio… Katanya klen berdua udah baikan-heh… Kenapa harus dimulai lagi dengan yang baru? Sama aja dengan memulai masalah baru ini namanya…” aku meletakkan pisau dan garpu yang kupakai untuk menyantap steak ini. Kuambil selembar tisu dan kubersihkan tepian mulutku. Kusedot jus jeruk sampe habis setengah.

“Maaf kalau abang tersinggung…”

“Diam dulu…” aku menyentuh lengannya untuk menghentikannya. “Kemarin malam abis kalian bicara untuk baikan… ada Banaspati yang menyerangku… Tau apa itu Banaspati?” cetusku kemudian. Baik Julio dan Amei menggeleng. Beda kebudayaan memang dan aku akan menjelaskannya. “Banaspati itu setan berbentuk kepala berapi besar yang biasa dikirim untuk menyerang dalam bentuk santet…” Julio bergidik kaget mendengar penjelasanku. Begitu juga dengan biniknya. Aku menggerak-gerakkan jariku di sekitar kepalaku untuk mengilustrasikan bentuk kobaran api setan sialan itu.

“Awak gak tau siapa yang mengirim Banaspati itu… Kira-kira ada yang tau?” tanyaku. “Tenang aja… Banaspati itu sudah kutebas…” aku bergantian menatap Julio dan Amei.

Amei mengangkat tangannya setinggi bahu. Ia menatap suaminya. “Apa si Surya, ya?” Kening Julio berkerut mendengar nama itu disebut istrinya.

“Siapa itu Surya?” tanyaku.

“Dia itu… ng…” ia melirik Amei sebentar, “… mantan Amei yang jadi partner threesome kami sebelumnya, bang… Rumahnya tadi malam kebakaran dan seluruh harta bendanya ludes… Anehnya tetangga sekitarnya tidak ada yang tau kejadian itu… Pagi-pagi rumahnya sudah habis begitu aja…” agak ragu Julio menceritakan ini karena kisahnya sangat absurd gak kira-kira.

“Benar begitu, Mei?” tanyaku. Apakah ia akan ragu juga.

“Iya, bang… Rumahnya ada di kompleks sebelah yang berbeda dengan kami… Kami baru dengar berita ini tadi sore… Kaget sekali kami mendengarnya… Kami sempetin melintas di depan rumahnya yang sudah hangus tinggal puing… Hanya dia yang tewas di dalam rumah sementara penghuni rumah lainnya tidur di luar pagar… Kan aneh…” kata Amei menceritakan kondisi mengenaskan yang menimpa pria bernama Surya itu. Aku tidak kaget mendengarnya. Itu hal biasa yang menimpa bagi para penganut ilmu sesat. Kalo berhasil akan gilang gemilang semu. Nah kalo gagal akan tragis gak masuk akal kek gini.

“Si Surya ini orang apa? Cina juga kek klen ato orang Jawa?” tanyaku pada Julio yang masih termangu-mangu membayangkan yang tidak-tidak.

“Dia ada keturunan Jawa juga, bang… Bapaknya turunan Cina gitu… ibunya Jawa tulen… Bentuknya ya kayak abang Aseng juga jadinya… Cina-Cina nanggung gitu…” jelas Julio tentang asal-usul pria bernama Surya ini.

“Mm… Gitu… Makanya kutanya… Foto di grup kemaren gak mungkin orang Jawa asli manuk’e padhang tenan… Putih kali kek Cina… Jadi… udah mati dia, ya?” tanyaku beralih pada Amei. Perempuan itu mengangguk-angguk yakin. “Angus jadi arang…” lirihku. “Amei gak sedih? Mantan gitu-loh…” ia menunduk malu-malu pertanda tak sedih ditinggal tragis oleh selingkuhan terindahnya selama beberapa bulan ini.

“Ada apa ini, bang? Apa Banaspati itu yang membakar rumah Surya?” tanya Julio penasaran.

“Bisa jadi… Tebakanku sih… begitu… Entah siapalah yang telah mengirim Banaspati itu padaku… Entah si Surya itu sendiri… entah kakek moyangnya… entah pulak ada dukun kepercayaannya… Saat kutebas Banaspati itu… teman-temannya pasti tak terima, dong… Dibalaslah pada si Surya itu… Kira-kira gitulah logika para setan-setan pukimak itu… Makanya kukasih tau sama klen berdua… jangan coba-coba maen begituan… ke dukun… orang pintar… apalah macam namanya… Jangan!” peringatku. Mereka ini orang yang kesekian kalinya kuingatkan agar jangan bersinggungan dengan dunia ini. Banyak ruginya daripada untungnya. Keduanya mengangguk-angguk paham dengan contoh yang sangat mengerikan sekali.

“Kenapa bang Aseng yang diserang Banaspati itu? Bukannya kami berdua?” tanya Amei rupanya masih pengen tau. Keduanya pandang-pandangan penuh arti. Takut dan lega bercampur jadi satu.

“Si Surya itu tidak rela melepas binikmu, Julio… Tapi juga tidak mau merebutnya darimu… Camkan itu… Ingat itu baik-baik… Ia hanya mau terus begini saja… meracuni keluargamu terus dan terus… Ia bisa menikmati binikmu tanpa harus memilikinya dengan memberimu kesempatan melakukan hal yang sama di luar sana… Ada orang yang menikmati kehidupan seperti itu—si Surya itu contohnya… Mungkin kau juga begitu, klen berdua…” paparku akan masalah mendasar pasutri ini. Walo sebenarnya adalah, Banaspati itu menyerangku adalah karena aku telah memberi mereka nasihat untuk berbaikan tetapi kedengarannya terlalu over confident menyatakan andilku itu. “Dan klen menawarkan hal itu lagi padaku…”

“Klen gak khawatir masalah ini berulang lagi? Awak melakukan hal yang sama pada binikmu, Julio? Padamu, Mei?” jelasku sepahit-pahitnya. Pandangan keduanya menatap permukaan meja yang masih dipenuhi makanan. Tapi mereka merenung. “Kalo di awaknya… enak-enak aja-nya… Bisa menyentuh binikmu yang cantik kek gini… Laki-laki manapun gak akan ada yang nolak-heh… Ayok-ayok aja… Klen sudah pikirkan matang-matang, apa?” menepuk bahunya.

“Itu karena Amei pake hati, bang Aseng… Amei membayangkan indahnya dulu saat pacaran dengan Surya… Mengenang-ngenang itu jadi terlena dan malah berujung selingkuh yang awalnya cuma bersenang-senang…” terang Amei mengakui kesalahannya. Dia yang menjadi kunci prahara rumah tangga keduanya takala ia mulai maen hati pada partner threesome mereka, seorang mantan pacarnya. “Itu menyalahi komitmen awal kami yang hanya untuk hepi-hepi… Amei mengaku salah di situ…”

“Aku salahnya membiarkan istriku terhanyut dalam hubungan gak bener itu, bang… Bukannya menegurnya… aku malah mencari pelampiasan dengan banyak perempuan lain…” kata Julio. Ini yang mereka diskusikan hingga berujung rekonsiliasi damai rujuk kembali. Ini mungkin berkat kebiasaan ceplas-ceplos Julio yang menular pada istrinya.

“Bagus… Bagus itu… Itu betol… Ini yang betol juga… Mulut awak ini manis sekali…” aku menunjuk-nunjuk bibir atasku yang sekseh abis. “Awak bisa sekali ngomong nyuruh klen baikan… Banaspati datang… Awak bisa membuat setan-setan berang sekali waktu kukompori… Kubante semua pake ini…” kuletakkan mandau Panglima Burung yang tiba-tiba muncul di genggaman tanganku. Kuletakkan begitu saja di atas meja, diantara piring, mangkuk, loyang, hotplate dan gelas. Terbelalak Julio dan Amei melihat senjata tajam berbilah panjang itu. Ini bukan pamer. Hanya peringatan keras.

“Karena inilah awak yang diserang Banaspati itu…” kutunjuk lagi bibir atasku. “Mulut manisku yang klen bilang ajaib tadi sangat menggangu mereka-mereka itu…” kuambil lagi mandau Panglima Burung dan menghilang raib tak berbekas. “Karena kukasih saran klen untuk baikan… Dia tidak suka itu…” nah… Sudah kusampaikan. “Kalo klen serius mau terus menjadikanku partner threesome klen… Kita buat perjanjian… Mau?” tawarku.

Keduanya saling pandang lagi tak paham dengan jalan pikiranku.

—————————————————————————-
“Apa yang membuat klen pengen ngerasain threesome ini awalnya? Gantian ceritanya…” tanyaku sebelum kubeberkan tiga pasal perjanjian yang akan kutawarkan pada mereka.

“Penasaran, bang… Laki-laki, bang… Biasa…” jawab Julio pertama kali. “Kayaknya keren aja maen sama dua cewek sekaligus… Itu kalau yang versi dua cewek satu cowok… Kalo versi dua cowok satu cewek… jujur awalnya aneh juga ngeliat kontol cowok lain… Kadang lebih gede lagi… Tapi seiring waktu ada masanya aku jadi tau apa yang disukai Amei… perlakuan yang gimana yang dia suka… Awalnya cemburu sudah pasti… Tapi jadinya sekarang tambah sayang…” Amei menutup mulutnya hendak tertawa senang mendengar pengakuan suaminya itu. Whatever…

Aku beralih pada giliran Amei.

“Awalnya gak mau, bang… Tapi Julio terus ngeracuni… Ada setengah tahun lebih dia ngeracun aku… Pake mutar-mutar pilem bokep trisam mulu… Beliin dildo sampe berapa biji… Dipakein semua ke Amei…” bisa juga dia terbuka begini. Aku membayangkan beberapa lubang potensial tubuhnya dijejali dildo sekaligus. Julio tersenyum simpul mengingat itu semua. “Ya, udahlah Amei akhirnya nyerah… Permulaannya yang versi dua cewek satu cowok dulu… Ngeri juga dimasukin laki-laki lain… Tapi marah juga ngeliat Julio niduri perempuan lain bergantian denganku… Amei jadi terpacu untuk berkompetisi menarik perhatian Julio… Mungkin itu salah satu sisi bagusnya…” ia mulai menunduk mengingat-ingat apa yang telah terjadi pada pikirannya yang sudah diracuni suami sablengnya ini karena walo dia puncak masalahnya tetapi tentu kontribusi Julio sangat besar sebagai pemicunya.

“Tapi mengingat satu versi kebalikannya kok jadi tertantang… dua cowok satu cewek… Kubayang-bayangkan sendiri… awalnya serem… tapi kok kayaknya enak juga… Coba ajalah… Masa dia aja yang boleh ngerasain dua… Aku juga boleh, dong?” ia melirikku dan kali ini lebih lama lalu menunduk lagi. “Julio nyari partner laki-laki dan ternyata menyenangkan… tapi sepertinya orangnya profesional gitu… seperti dibuat-buat gitu… Julio bilang orang itu memang pemain lama di bidang trisam ini… Gak heran kalo mainnya lebih jago daripada dia…” Amei menunjuk suaminya dengan anggukan dagu. “Dengan begitu membuka satu pertanyaan baru… Gimana kalo partner cowok itu adalah pilihanku sendiri?… Seseorang yang sreg di akunya? Cocok sesuai keinginanku…”

“Pikir punya pikir… Amat-mengamati sekitarku… Bisnisku kan panglong (bahan material bangunan) nih, bang… disekitar Amei kebanyakan buruh-buruh kasar sama pemborong bangunan… Paling banter kontraktor-kontraktor gitu… Amei gak selera yang begituan… Lalu teringat mantan waktu sekolah dulu… Waktu SMA dulu… Udah paling pas dengan dia… Amei ajuin ke Julio… Julio setuju mengingat latar belakang dan penampilan Surya ini, bang…”

“Ganteng orangnya, bang… Putih karena ada turunan Cina juga… berpendidikan, sopan… Kariernya juga bagus… Patenlah pokoknya, bang… Salahnya aku bukan homo aja, bang…” Julio menambahkan tentang gambaran si Surya ini lagi.

“Percobaan pertama… dia masih malu-malu karena belum pernah sebelumnya… Beda dengan kami yang sudah beberapa kali melakukan trisam ini… Tapi pada sesi-sesi berikutnya mulai membaik dan kami bertiga sama-sama menikmati kebersamaan itu… Beberapa kali kami bertemu berdua aja tanpa sepengetahuan Julio… beberapa kali dengan izin Julio juga sewaktu dia sibuk… Dari situ… benih-benih selingkuh itu dimulai, bang…” putus Amei mengakhiri kisahnya.

“Lalu Amei mulai main hati dengan si Surya ini… karena dia main tarik-ulur gitu, kan? Kadang cuek… kadang misterius… tiba-tiba merayu dan memberikan kejutan… tiba-tiba nongol aja di depan pintu saat gak disangka-sangka… lalu hilang berhari-hari gak ada kabar membuat penasaran…” tebakku. “Dulu waktu SMA dia gak begitu, kan?” Amei menggeleng. “Itu namanya jurus ular kadut…” tanganku meniru gerakan kepala ular kobra yang terkembang. “Shessshhh…” gerakan kepala ular bergerak kesana-kemari. Julio dan Amei tersenyum paham. “Keknya fans film AADC gitu, ya? He hehe…” kami tertawa-tawa bersama.

“Tapi itu belum menjawab pertanyaanku tadi… kenapa masih mau terus trisam? Belom kapok?” tanyaku lagi.

“Disamping enak bersenang-senang… deg-degan karena sensasinya… kami bisa tambah makin bersemangat, bang… Dalam segala hal, bang… Juga kami makin saling sayang…” kata Julio. Amei membenarkan dengan mengangguk-angguk kata-kata suaminya barusan. Kerjaan, bisnis dan lain-lainnya…

“Baguslah kalo begitu… Apalagi kalo klen berdua udah saling memaafkan… kalo bisa memaafkan semua kesalahan pasangan klen masing-masing tanpa syarat apapun… Memaafkan tapi tidak melupakan… Ingat! Jangan lupa kalo hal gelap ini pernah terjadi di rumah tangga klen berdua… Artinya jangan sampe terulang lagi… Misalnya awak masuk sebagai partner baru klen… ini terutama untuk Amei, nih… Jangan ada perasaan-perasaan lain… Gak boleh pake hati karena gak akan ada hubungan yang lebih dari ini semua… Kalo klen anggap ini sebagai ajang bersenang-senang memuaskan fantasi… cukup sampe segitu aja dan gak akan beranjak ke tahap selanjutnya yang lebih serius… Itu pasal pertama… Ingat pasal pertama… Klen harus setuju dengan tiga syarat pasalku ini… dan kita lanjut ato batal sama sekali…”

Mereka berdua berpandangan dan mengangguk paham. Mereka lebih paham bahasa tubuh pasangannya dan saling mengerti karena sudah beberapa tahun menikah.

“Pasal kedua… Ini mudah… Hanya mengenai kerahasiaan… Awak rasa klen pasti akan setuju seratus persen mengenai ini… Hubungan ini hanya kita bertiga yang tau… Jangan memberitau siapapun dalam bentuk apapun termasuk di-share dimanapun dalam format apapun… Sesimpel itu saja…”

“Yang terakhir, yang ketiga… Masa depan… Sesuai bentuk katanya… mengenai waktu… Kita bisa kapan saja menghentikan ini semua bila dirasa sudah cukup… Dan terus terang aja… awak gak suka pake kondom… Aku percaya klen berdua bersih… karena awak juga bersih… Siapa tau…. Siapa tau, ya… di masa depan karena hubungan kita bertiga ini nantinya ada kehamilan… Tentunya bila Amei hamil… itu akan menjadi anak klen berdua… Jangan mengaitkannya dengan awak karena ini pernikahan klen berdua… karena awak cuma… kalo di pilem-pilem cuma peran pembantu aja… figuran aja…” ulasku akan tiga pasal yang kusyaratkan pada mereka berdua.

“Sekarang terserah pada klen berdua kalo mau menerima tiga syaratku… Kalo klen setuju kita lanjutkan… Kalo tidak, kita lupakan ini semua dan tetap berteman baik saja… Silahkan kalo mau diskusi dulu…” kataku mempersilahkan mereka berunding dulu. Julio berpindah dari kursi kayunya di sampingku dan duduk di sofa di samping Amei. Berbisik lirih keduanya rapat berdiskusi. Apapun hasilnya aku gak terlalu berharap banyak. Tapi mengingat kondisi mereka, ketiga syaratku barusan gak ada satupun yang berat. Sepertinya mereka sudah menyepakati sesuatu.

“Deal, bang…” Julio mengulurkan tangannya padaku pertanda setuju mewakili pihak mereka berdua.

“Deal?” ulangku dan menyongsong tangannya. Kami berjabat tangan.

“Deal…” ia mengguncang tanganku dengan senyum lebar. Amei juga tersenyum lebar. Aku mengalihkan tanganku untuk menjabat tangan binor Julio ini. Ia tertawa tanpa suara saat tangan kami saling berguncang. Ada hal lain yang ikut bergoyang kala itu. Sepasang itu…

“Hmm… Awak tinggal menunggu waktu yang tepat aja, kan? Tapi tolong diberitau sebelumnya… takut waktunya bentrok dengan urusanku yang lain… Biasa… tanda tangan awak ini lumayan berharga-la untuk ngeluarin gaji orang…” kataku berusaha tetap beramah-ramah dengan pasutri ini yang telah berhasil membujukku untuk masuk dalam hubungan ganjil mereka. Ini yang kedua setelah pak Ferdi dan Mayumi walo ujung-ujungnya hanya Mayu-chan aja yang akhir-akhir ini berurusan denganku. Suaminya hanya senang berada di gelapnya bayangan, mengamati dari persembunyiannya. Menikmati perselingkuhan istri sirinya yang ia tau pasti jadwal kencannya.

“Malam ini tepat tidak, bang?” pinta Amei. Ia tidak malu-malu mengungkapkan itu walo tangan Julio sedang merangkul bahunya.

“Bukannya klen lagi bulan madu, ya?” ingatku pada kegiatan mereka seharian ini. Berduaan saja. Gak usah ditanya ngapain aja mereka saat berdua.

“Bang Aseng jadi figuran-lah di bulan madu kami ini… Jadi sutradaranya pun boleh…” pinta Julio juga.

“Yaa…” aku menunjuk-nunjuknya jenaka. “Cocok itu… Awak yang jadi sutradaranya…” ujarku mendapat ide yang lumayan gila ini.

“Sutradara pilem bokep…”

—————————————————————————-
“Camera… Rolling! Action!” seruku.

Amei

Pasutri itu mulai bergelut di atas ranjang kamar mereka. Dimulai dari saling memagut bibir dan berciuman dengan panas. Tangan-tangan Julio bergerak lincah meremas-remas toge, toket gede yang masih berbungkus baju bertali tipis di bahunya.

“Tangannya masuk…” perintahku sebagai seorang sutradara. “Remas-remas di dalam…” Julio patuh pada kata-kataku dan tangannya mudah masuk dan menemukan sebelah toge Amei dan langsung meremasnya. Binor itu menggeliat geli walo masih tetap berciuman. “Turunkan talinya…” aku hanya ingin melihat bentuk togenya tanpa penghalang apapun. Mereka gak bakalan menolak.

Seperti yang kuharapkan, toge bulat berbentuk sangat indah. Tidak gantung ngondoy walo bobotnya pasti sangat padat dan kenyal begitu dengan puting kemerahan berlingkaran besar. Amei sudah aktif menikmati seks sejak remajanya, tak heran payudaranya mencapai ukuran sedemikian. Julio tak jemu-jemu memilin puting menegang istrinya. “Ciumi kuping lalu leher…” lidah pria itu lalu melata ke arah yang kuinstruksikan. Amei mengerang-ngerang bersandar tangan di belakang. Julio menjilati cuping telinga Amei lalu mengecupi lehernya meninggalkan bekas kemerahan pudar. “Yak… Turun ke dada sekarang…”

Tangan Amei meremas-remas sprei ranjangnya saat Julio menyedot-nyedot toge kirinya sementara yang sebelah kanan diremas-remas. Matanya merem melek menengadah dengan erangan seksi. Dadanya membusung disodor-sodorkan ke muka Julio yang tak puas-puas menikmati kenyalnya toge milik istrinya sendiri. Gemas mungkin membayangkan ada pria lain yang pernah berbagi dengannya. Dan ada pihak pria baru lain yang sedang menonton dengan tonjolan celana yang mulai menggeliat bangun, terangsang.

Aku hanya duduk santai bersandar di sebuah sofa kecil dan menyaksikan pertunjukan live ini dari jarak yang cukup dekat untuk dapat memelototi setiap detail gerakan pasutri ini. “Hanya gunakan lidah… Berputar-putar…” instruksiku berikutnya. Julio menjulurkan lidahnya dan hanya menggunakan itu untuk menyisir bagian payudara Amei. Mulut Amei menganga penasaran karena lidah suaminya berputar-putar tak menyentuh putingnya sama sekali. Julio pandai memainkan emosi perempuan yang sedang birahi. “Pindah ke sebelahnya…” lidah Julio bergerak lagi ke toge satunya, berputar-putar tanpa sedikitpun menyentuh puting, membuat Amei kentang dan penasaran.

“Ahh… Ah… Iniih… Iniih… Ahh…”

“Satukan… Jepit rapat kedua teteknya!” aku memberi kode dengan tanganku bermaksud menggencet kedua toge Amei agar rapat menjepit. Julio cepat tanggap dan menuruti instruksiku. “Ketemukan pentilnya! Sikat!” Lidah Julio lalu dengan rakus mencucup kedua puting Amei yang bertemu akibat dijepitkannya bergencetan. Amei menganga lebar mulutnya merasakan kenikmatan ganda dari dua putingnya yang disedot bersamaan. Hanya perempuan dengan toket gede yang bisa dibeginikan.

“Ah ah ah ahh…” desah-desah Amei merasakan geli-geli enak di payudara togenya. Jilatan-jilatan intens juga terus dilancarkan Julio pada bagian puting Amei ditingkahi pijatan-pijatan di daging punel togenya. Lumer peyot-peyot kenyal sepasang toge itu dikremes-kremes lakiknya sendiri.

“Sekarang buka jeans Amei… Buka semuanya sekaligus…” kataku sebenarnya udah gak sabar. Aku sendiri udah mulai mengelus-elus Aseng junior yang udah setengah tegang di dalam celanaku. Julio dengan ahli melepas jeans ketat yang membungkus pinggul dan seluruh kaki Amei. Binor itu juga ikut kooperatif membantu lakiknya melepas celana panjangnya itu beserta celana dalam mungilnya sekalian. “Amei nungging… Julio jilati dari belakangnya…”

Tak perlu diberitau dua kali, binor itu lalu menungging dan Julio memposisikan dirinya di belakang Amei. Lidahnya lalu melata dengan lugas di sekitar bokong lebar nan putih bersih itu. Dijilat-jilatnya kulit mulus itu hingga mencapai lekukan dalam yang ada di bagian tengah persatuan dua tungkainya. Gundukan indah lembab yang terbelah dua saat Amei menungging dengan kaki rapat. “Ahh… Mm…” Julio menikmati bagian belakang tubuh istrinya dengan fantasinya sendiri. Entah apa yang sekarang dirasakan kedua orang ini mendapat arahan dariku saat ini. Disetir tiap tindakannya dalam bercinta dengan pasangan sendiri.

Karena kedua pasutri ini membelakangiku, aku bisa dengan leluasa membelai Aseng junior dan mengeluarkannya dari kandangnya yang menjadi sesak menyiksa. Ia sudah menegang keras dan kukocok pelan-pelan melihat lidah Julio merangsek masuk dan membasahi isi belahan kemaluan Amei. Merojok masuk ke liang kawinnya yang becek. Amei mendesah-desah keenakan menikmati permainan lidah dan jari Julio yang menusuk-nusuk liang kawinnya. “Masukin… Masukin-aahhh… Ahh… Uh… Umm…” Julio malah menambah jumlah jari dan menyiksa istrinya dengan lebih banyak jari yang menusuk dan mengorek-ngorek isi kemaluannya, padahal yang dipintanya adalah batang kemaluan Julio.

“Pakek kondom, Julio?” heranku melihat pria itu menyarungkan alat pengaman itu ke batang kemaluannya. Ia meratakan karet kontrasepsi itu ke bagian bawah kejantanannya yang ukurannya sebelas-dua belas denganku hingga hanya meninggalkan sedikit gulungan saja. Padahal aku sudah menegaskan pada mereka berdua aku gak akan pake, kok malah dia yang pake?

“Udah kebiasaan, bang… Gak pa-pa…” ia melambai tanda tak mengapa. Kebiasaan katanya. Dia selalu merasa wajib mengenakan kontrasepsi ini ketika menggauli pacar-pacar bahkan pada istrinya sendiri. Amei tak perduli apapun, yang penting dirinya segera ditusuk secepatnya. Pantatnya berayun-ayun menunggu aksi adegan bokep yang kusutradarai ini. Kakinya kini tidak rapat melainkan lebar mengangkangm, mengakomodir penetrasi yang akan memasuki tubuhnya kapan saja. “Terus gimana nih, bang… Boleh dimasukin, kan?” tanya Julio minta saran.

“Ya, udah… Masukin… Pelan-pelan aja dulu…” kataku meneguk ludah melihat kedutan tak sabar dari belahan kemaluan Amei yang memerah merekah agak bengkak pertanda sangat terangsang oleh proses ovulasinya yang terpicu syahwat malam ini. Julio naik ke atas ranjang dan memposisikan dirinya di belakang Amei yang menungging. Semakin rapat hingga ia bisa mengarahkan penis berbungkus kondomnya tepat ke belahan liang kawinnya yang menguak mengintip siap dicoblos pejantan. Julio mengoles-oles ujung penisnya hingga basah, mempermudah proses penetrasinya kemudian.

“Ahh…” erang Amei merasakan penis suaminya membelah kemaluannya dan menerobos masuk dan mulai bergerak pelan-pelan sesuai instruksiku. “Ah ah ahh ahh…” konstan gerakan Julio memompa Amei tetap di tempo yang tetap. Julio seorang pemain perempuan sejati, ia bisa menahan dirinya agar gak cepat-cepat ngecrot. Tekniknya lumayan jitu, dicabutnya penisnya dari liang kawin Amei begitu ia mulai merasakan geli-geli enak itu. Digesek-gesekkannya permukaan batang penisnya yang basah oleh cairan pelumas Amei di sekitar vagina perempuan itu untuk mengalihkan perhatiannya juga mengambil nafas break sebentar. “Aahh…” lalu dimasukkan kembali setelah dirasa cukup mencumbu bagian punggung perempuan itu ditambah perhatian pada bagian togenya yang menggantung berjuntai indah.

“Bagus… Pertahankan begitu… Amei… jangan ditahan-tahan kalo mau menjerit… Aww… Aww… Gitu… Jerit aja…” kataku memberi semangat pada sepasang pasutri ini terus agar semakin hot dan aku makin rajin menjamah Aseng junior-ku. Amei mengulum jarinya dan menoleh ke belakang padaku yang duduk bermain sendiri. Jari yang dikulumnya dijilat dan disedot dengan seksinya seolah itu adalah sebuah kemaluan lainnya. Matanya sayu dan mengundang. Pasti akan enak sekali berada di depan wajahnya dan menyodorkan Aseng junior yang tak akan mungkin bisa ditolaknya. Ia membayangkan sedang mengemut Aseng junior-ku. Matanya terpaku menatap kemaluanku sementara tubuhnya tergial-gial sodokan Julio yang memompanya dari belakang.

Ia memandangiku penuh nafsu dan beberapa kali memberikan pandangan nakal itu untuk segera bergabung dengan keduanya, melupakan permainan kecil yang kutawarkan. Tunggu, ya…

“Ahhh Ah ahh ahh…” Amei lalu mendapatkan orgasmenya dengan merebahkan kepalanya di permukaan kasur masih dengan pantat menjulang yang masih disodoki Julio perlahan. Tubuhnya berkejat-kejat sebentar lalu lemas.

“Sudah… Sekarang Amei berbaring… Gaya man on top…” ujarku meminta mereka ganti posisi. Julio melepas penis berkilat-kilat basahnya dari kelamin istrinya. Amei menjatuhkan dirinya lalu berguling berbaring di punggungnya. “Masih tahan, kan?” tanyaku pada Julio. Udah ada sekitar 5 menit lebih mereka bersenggama. Pria itu mengangkat dan menggeser tubuh istrinya agar tepat di depannya lagi.

“Lima menitan lagi-lah…” jawab Julio mendekatkan penisnya pada kemaluan Amei lagi dan meluncur masuk dengan mudah. Amei mengangkang lebar dengan kaki diganjal Julio pada bagian lipatan lututnya. Goyangan togenya dapat terlihat jelas di posisi ini, berayun-ayun, berputar-putar indah memerah oleh nafsu. Sodokan-sodokan bertenaga dilancarkan Julio menggasak istrinya sendiri. Penisnya menancap dalam dan mantap mengocok liang kawin yang sejatinya adalah hak miliknya sendiri. Terlalu sakral untuk dibagi dan dinikmati pejantan lain. Konstan dan teratur Julio mengaduk-aduk peranakan Amei, membuat perempuan itu menggeleng-geleng meremas-mengepalkan tangan.

“Lebih cepat, Julio… Keknya udah mau dapat lagi tuh Amei-nya…” instruksiku karena erangan dan mimik Amei makin kepayahan menahan kenikmatan persetubuhan ini. Kalo mereka bisa menikmatinya seperti ini kenapa mereka berdua merasa harus perlu meminta bantuan pada pihak ketiga? Aku masih belum ikut campur saja mereka sudah demikian menikmatinya. Apakah faktor kehadiranku ini juga ada kontribusinya?

“Lebih cepat lagi… Yak! Yaak! Cepat!” Julio memacu kocokannya demikian cepatnya hingga aku hanya melihat gerakan blur kecepatan RPM tingginya. Amei mengerang-ngerang merasakan gerakan cepat panas sodokan Julio. Keduanya mengerang bersamaan dan tiba-tiba Julio melepas penisnya dan melepas kondomnya buru-buru. Amei yang sudah tau kebiasaan suaminya hanya mengangakan mulutnya dan menampung kemaluan menegang merah keras yang segera berkedut-kedut dan menumpahkan semua isi pelurunya ke dalam mulutnya. Pria itu mengocok sebentar menguras semua muatannya berpindah tempat ke dalam istrinya.

“Arrhhh… Ah… Hahh!” erang Julio sangat terlihat puas membiarkan Amei menelan kemaluannya dan menyedot-nyedot apapun yang tersisa di penisnya. Semua muatan sperma barusan tanpa ragu sudah ditelannya habis. Pandanganku hanya terpaku pada bentangan kaki binor itu yang berkedut-kedut bergerak kanan-kiri. Pastinya ia belum sepenuhnya puas. Ia masih bisa bergerak dan bertingkah genit. Julio tak sesuai target kurang dari 5 menit sesumbarnya ia sudah ejakulasi. Biasa sih…

“Gantian, bang… Sekarang giliran bang Aseng-lah…” kata Julio yang memegangi penisnya yang lunglai, turun dari ranjang demi melihatku sedang swalayan sendiri dengan Aseng junior-ku. “Maen film-nya udahan, kan?”

“Bareng dong, Julio… Ini judulnya kan trisam?” kataku merasa gak enak aja memulai dengan cara ini.

Sudut mulutnya terbuka jenaka dan menunjuk-nunjuk kemaluannya sendiri. “Istirahat dulu… Perlu waktu… Kalo udah bisa… aku gabung…” ia duduk menggantikanku di sofa yang barusan kududuki menjadi sutradara tadi. Amei bangkit dan meminum segelas air yang ada di meja samping ranjang dengan nafas terengah-engah. Tapi matanya terpaku padaku yang sedang berusaha melepas semua pakaian yang melekat di tubuhku. Matanya tertangkapku sedang menatap Aseng junior-ku yang menjuntai dari sela bukaan restleting saat aku sedikit membungkuk berusaha melepas celana panjangku. Tunggu dulu…

Aku urung benar-benar melepas celanaku, kubiarkan saja menggantung. Aku belum pasti kalo Amei sudah benar-benar bersih dari apapun yang pernah menyerangku semalam; teman-teman Banaspati sialan itu. Kalo aku harus bertarung, setidaknya aku masih pake celana. Keknya sangat memalukan sekali kalo harus bertarung dalam keadaan telanjang bulat.

Merangkak naik masih bercelana walo Aseng junior menunjuk-nunjuk lurus sarang barunya, binor yang setuju lagi rela berbagi pria lain dengan suaminya dalam tajuk threesome ini. Agak kelewatan egois kalo aku harus langsung maen coblos aja melesakkan Aseng junior dalam-dalam di liang kawin basahnya. Mau dicipok dulu, mulutnya abis nelan sperma lakiknya, mau dioral cibay (vagina)-nya juga bekas digenjot walo terproteksi kondom tadi. Banyak maunya ya si Aseng ini…

Pilihan yang aman adalah pada togenya. Dari sentuhan awal aku bisa menilai apakah masih ada gangguan di diri binor ini dari pihak manapun yang mungkin masih penasaran ato ada berpengaruh padanya. Aku harus tetap hati-hati walo Aseng junior-si kontol, sudah tegang maksimal. Kujamah toge kirinya. Rasanya nyess… Kenyal dan lembut. Kulitnya yang putih bahkan sangat kontras dengan tanganku yang mulai gelap sering terpapar sinar matahari.

“Aahh… Enak, baaang?” ia menangkap tanganku yang meremas togenya. Ia membantuku meremas lebih keras. Mulutnya terbuka memainkan lidah minta dipuaskan dengan permainan mulutku. Kakinya dengan manja langsung menangkap memerangkapku dengan kaitan. “Ayo, bang… Amei udah gak tahan, bang…” nakal ucapannya lidah lidah menyapu bibirnya. Sudah kepalang tanggung. Kutindih tubuhnya walo masih bertopang dengan kedua siku. Dada kami saling bergencetan, muka kami rapat bertatapan, mulutnya bersedia untuk menyambutku.

“Cup cup cuup…” kami saling mengecup. Tak ada aroma sperma sedikitpun dari mulutnya sisa ronde dengan suaminya tadi. Pasti ia membersihkannya semua saat minum tadi dengan berkumur-kumur sekalian. Ia menjulurkan lidahnya dan langsung memasuki rongga mulutku. Langsung kesedot-sedot. Aseng junior kusodok-sodokkan untuk ngetes, tertumbuk pada pangkal pahanya yang halus licin. Mulut kami saling mengulum bibir bergantian, saling membelit lidah bergantian menyeruak masuk. “Shlkk… Slrpp… srpp…”

Amei memegangi belakang kepalaku sangat menikmati percumbuan mulut kami berdua. Aseng junior sudah menemukan targetnya dan sejauh ini tidak ada apa-apa yang terjadi menandakan tak ada gangguan yang kukhawatirkan. Tusukan-tusukan pelan kulakuan dan dengan mudah menemukan sasaran tembaknya, liang kawin basah yang sudah sempat dipanaskan pemilik hegemoni tubuhnya. “Buka semua, bang…” ujarnya diantara erang mengenai celana panjangku.

Masih tak melepas himpitanku, kulepaskan celanaku dengan lincah. Celana bahan semacam ini akan lebih mudah dilepaskan. Kutendang hingga jatuh ke lantai. Amei malah melepas cumbuan mulut kami dan mendorongku berbaring rebah bergantian. Julio yang menonton kami, duduk mengelus-elus penisnya dengan muka mupeng. Kemaluannya belum sepenuhnya bangkit, benar istirahat yang dibutuhkannya. Amei melepaskan sempak yang belum sempat kulepas tadi lalu dengan ganas menangkap Aseng junior yang mencuat tegang perkasa menunjuk langit. “Shllkk… Umm… Keras…” desah Amei tentang potensi Aseng junior yang dijilatnya panjang dari pangkal ke kepala.

Jilatan basah itu sangat membuat melenakan. Ia mengulanginya lagi sampai berkali-kali seolah sedang menjilat es krim yang sedang meleleh, tak ingin lelehannya jatuh percuma. Lalu ia menyedot bagian kepala Aseng junior dan mengulumnya beberapa saat. Ujung lidahnya kemudian bermain di lubang kencing yang sensitif sekali. Lidahnya rajin bergerak menyapu setiap tekstur permukaan Aseng junior mencari-cari bagian sensitif lainnya, terutama bagian bawah kepala. “Aahh… shllkk… Umm… Gantian atau masuk, bang?” ia memberiku opsi.

“Gantian…” jawabku. Udah kepalang tanggung begini dan aku belum sempat merasakan cibay binor satu ini. Paling nanti akan ada aroma latex-latex beraroma aja. Amei beringsut maju menaiki tubuhku. Dengan sengaja dan sangat nakal, ia menggesekkan belahan cibay-nya menggerus Aseng junior hingga tergencet. Masih terasa basah dan tebal merekah. Proses ovulasi masih berlangsung.

Mendesah-desah ia bergerak terus maju lalu menyodorkan cibay manis berbulu halus miliknya ke mulutku, membalas servis oralnya barusan. “Arrhhh… Ahh… Ahh… Oh-oh…” lidahku langsung beraksi lincah mempermainkan setiap mili permukaan kemaluan bengkaknya. Bibir dalam bergerinjalnya kusentil-sentil dengan sapuan pendek lalu beralih ke kacang itilnya yang terasa keras walo berukuran imut. Kukulik-kulik dengan ujung lidahku agak lama di sana membuat binor ini menggelinjang liar memegangi lehernya sendiri lalu menyedot ujung jari telunjuknya sendiri. Ia sangat mendambakan penis kedua saat ini dan itu dijawab suaminya dengan naik ke atas ranjang dan langsung menyodorkan kemaluannya ke mulut Amei. “Hlokk… klookk… glokhh…” Julio menggenjot mulut istrinya pelan-pelan.

Cibay Amei terus kunikmati dengan oral begini. Banjir cairan cinta menetes-netes dan tanpa penghalang masuk ke mulutku. Aku mempermainkan titik utama klitorisnya sampai aku yakin dapat membuat perempuan ini orgasme hanya dengan lidahku. “Hlokk.. ghlook… Uhuk… uhukk…” Amei terbatuk-batuk sehingga decitan cairan pelumas di liang kawinnya menyemprot kecil.

Ternyata Julio baru saja ngecrot lagi di mulut istrinya. “Ahh… Hah hahh… Fuck… Ahh… Yeah, fuck!” makinya menengadah puas. Ia bergerak turun dari atasku lagi, turun dari ranjang juga. “Entotin binikku, bang… Enak kali ngentotin dia…” pria itu kembali ke sofa kecil itu, beristirahat lagi. Amei yang kesusahan dengan mulutnya sedikit mundur dari mulutku dan duduk di atas dadaku.

“Balik… 69 kita…” kataku memintanya kembali menungging, hanya saja kali ini di atas tubuhku. Aseng junior perlu perhatian lagi sebentar setelah tadi sempat dicuekin di bagian tadi. Patuh ia berbalik hingga mukanya menghadap pada kegagahan Aseng junior yang mencuat tegang sedang aku menghadapi cibay-nya yang merekah lebar. Lidahku mencucup masuk membuatnya mengerang tertahan sumpalan Aseng junior di dalam mulutnya. Kukakukan lidah, lipat meruncing dan menusuk masuk ke liang kawinnya. Kugerakkan keluar masuk bak penis mini. Asin liang kawin beceknya membuatku semakin haus. Aseng junior terasa hangat kembali di dalam rongga mulutnya yang berlidah lincah dan pintar mengulek kontol. Selagi itu, mataku tertumbuk pada mekar bukaan anusnya yang terlihat longgar. Ternyata selama trisam dengan beberapa partner mereka, lubang apapun boleh dipake termasuk liang dubur ini. Ahh… Liar sekali kehidupan seks pasangan suami istri ini. Tapi itu artinya aku juga boleh mencoba lubang ini juga, toh?

“Maju pelan-pelan…” Amei patuh dan bergerak maju merangkak pelan. Aku menyaksikan dan menikmati dua lubang tersedia itu lalu menghentikan gerakannya saat posisi selangkanganku dan selangkangannya tepat sejajar dengan mencekal pinggulnya. Kutekan agar julang Aseng junior yang menunjuk tepat liang kawinnya berkenalan lebih akrab. Mudah saja masuk… “Sleeeb….”

“Ahhh…” kutekan hingga semua panjang Aseng junior amblas ke dalam liang kawinnya. Amei duduk di pangkuanku dan menggerak-gerakkan bokongnya pelan membiasakan batang kemaluanku mengganjal isi kemaluannya. Dan luar biasanya, jepitan liang kawin perempuan ini cukup ketat memijat-mijatku. Entah karena keras milikku berbeda dengan milik pria-pria yang pernah memasukinya, Amei sepertinya agak kaget dengan sumpalan yang memasuki sanubari peranakannya. “Keraaas… Padaat… Uhh…”

Sudah luar biasa Julio bisa bertahan hampir sepuluh menit menggenjot liang kawin biniknya tadi. Aku tanpa pengaturan nafas silatku tentu bentar-bentar lagi ngecrot tanpa ampun diulek kualitas prima liang kawin paten ini. Gerakan sederhana naik turun pelan Amei sungguh memabukkan. Ia juga mengerang sendiri melengkungkan punggungnya. Aku hanya bisa menikmati bagian belakang tubuh mulus putih bak pualamnya. Rambut panjang sepunggungnya bergerak seirama dengan gerakan mengangkang menduduki selangkanganku ini. “Aahh…. Oohhh… Enaaknya kontol… Ahh…” desahnya bernada kotor dan nakal. Seseorang yang kusadari sebagai Julio kembali naik kembali ke atas ranjang dan menghadap pada muka Amei.

Amei yang sedang menggoyang tubuhnya, meremas togenya sendiri langsung menyambut jejalan penis setengah tegang, kemerahan Julio. Amei mengganti gerakan naik turunnya, dengan gerakan berputar mengulek. Alamak! Kerasa dipelintir-pelintir Aseng junior di dalam liang kawin binor Tionghoa ini. Kepalanya yang kini bergerak maju mundur mengocok penis suaminya dengan penuh semangat dengan mulutnya, bermaksud menyenangkan kepala keluarganya ini. “Ahh…” erang Amei. Aku mengambil inisiatif bergerak sekarang, gerakan mengocok. Posisi berjongkok mengangkangnya lalu kusodoki dengan gempuran cepat-cepat setelah kutahan pantatnya ke atas sedikit.

Binor itu tak bisa konsentrasi menikmati kedua kenikmatan yang menderanya sekaligus; menikmati sodokan ritme cepat pendek-pendek Aseng junior dan menikmati sodokan penis suaminya di dalam mulut. Julio bergantian melihati paras cantik istrinya dan wajah menahan kenikmatanku. Bernafas dengan teratur walo tak kurang kelabakan oleh rasa nikmat yang mendera tubuhku. “Ummbhh… ummbh… ummbbhhhaaahh… Bbuubbb…” erang Amei tak tahan merasakan deraan nikmat yang sangat dahsyat yang menguasai tubuhnya.

“Aahh… Ahh… Ahh…” tubuhnya menegang kembali dan gerakannya sengaja melepaskan Aseng junior dari dalam liang kawinnya. Ia juga melepas penis Julio dari mulutnya hingga ia menumpukan wajahnya di perut suaminya, kemaluan suaminya bertengger mengacung tepat di samping pipinya. Nafasnya ngos-ngosan memburu berat habis menikmati kenikmatan barusan. “Enakhh… enaakkhh… Ah ahh… ahh…” erangnya menyuarakan rasa yang masih terkadang menyebabkan tremor tubuhnya, bergetar. Aku berdiri di atas lututku, membalik tubuhnya hingga ia berbaring saja di punggungnya dan kulebarkan kakinya, terserah Julio mau masuk kemana karena aku masih penasaran dengan rasa nikmat yang tadi telah kurasakan menjepit Aseng junior-ku. “Aahhsss…. Uhh…”

Aku gak perduli sama sekali dengan keberadaan Julio di situ karena ia kembali memasukkan penisnya pada mulut Amei yang saat ini tak kuperdulikan; aku hanya perlu cibay-nya. Genjot cepat kemudian setelah Aseng junior menusuk masuk ke dalam sarang barunya. “Plok plok plok!” suara tepukan selangkanganku dan kangkangan kakinya yang putih mulus terbentang lebar. “Plok plok plok!” Juga menikmati pergerakan berguncang-guncang toge mulusnya yang mulai menitikkan peluh berkilat-kilat. Suara tertahan tersumpal kontol juga sangat menambah nafsu, seorang perempuan cantik sedang terengah-engah karena digenjot oleh dua orang pria. Tidak bisa disebut tak berdaya karena ia menikmati situasi ini. Situasi yang bisa disebut memalukan kalo dalam kondisi normal, tapi kenormalan tidak berlaku saat ini sebab mereka yang menginginkannya.

Julio meremas-remas toge Amei sementara aku hanya cukup memegangi pahanya agar mengangkang lebar. Sempit liang kawin cibay perempuan ini terasa mengatup erat terutama di bagian mulutnya, Bisa diadu taraf menggigitnya dengan perawan yang baru dijebol ini. “Enak, bang Aseng… Sempit, kan?” tanya Julio memahami kesulitanku. “Memang begitu… Coba aja nanti cobain analnya… Beuh… Lebih paten…”

“Awak mau keluar nih… Gak pa-pa didalam, kan?” jawabku malah topik lain. Aku gak perduli apapun. Hanya ngecrot aja yang penting saat ini karena aku gak mau menahannya lagi.

“Ayo, bang… Keluarkan, baaang!” seru Amei bersemangat. “Yaah… Ahh… Ummbb…” cerocos Amei disumpal kontol lagi oleh Julio. Rasanya cocok aku ejakulasi sekarang sementara Julio sudah dua kali dan itu dibuang di mulut semua. Genjotan Aseng junior semakin cepat dan panas gesekan licin bergerinjal di liang sempit Amei sangat memabukkan dan bentar lagi. Bentar laaaagi…

“Uhh…” keluhku menekan erat perutku ke selangkangan Amei. “Crot croott crooottt!” sperma kentalku meluncur masuk tak tertahankan lagi. Selalu terasa nikmat sekali bisa memberi penanda kenikmatan ini di tiap-tiap perempuan cantik begini. Bibitku bisa memasuki tubuh cantiknya. Kelak akan ada bayi cantik yang akan lahir dari tubuh cantiknya, meminum susu dari toge cantiknya, menatap wajah cantiknya.

“Glokk… glok… umbb…” Julio rupanya juga mendapatkan ejakulasinya untuk ketiga kalinya malam ini. Ia sepertinya punya fetish tersendiri untuk CIM (Cum in Mouth). Padahal lahan miliknya ini sedang subur-suburnya untuk diencrotin di dalam rahim, malah senengnya di mulut. Gimana Amei bisa punya anak kalo ngentoti biniknya di cibay malah pake kondom. Aneh ini orang. Ah! Sukak ati kau-lah… Kalo kau tak mau, biar aku aku aja yang ngentoti cibay binikmu.

Bersambung

cewek sange
Perselingkuhan Ku Dengan Tante Yang Kesepian Bagian Dua
Tante girang hot
Tubuh Mulus Tante Girang Bikin Aku Teggang
gadia merintih
Kenikmatan Yang Di Berikan Erik
adik ipar
Bercinta Dengan Siska Adik Ipar Ku
Siti SPG cantik aku menikmati tubuhmu
hilang perawanku
Keperawananmu Membuktikan Cinta Sucimu
Foto Bugil Mahasiswi Memek Bertatto
tetangga hot
Ngentot dengan tetangga yang body nya oke banget
pijat plus
Menikmati pijatan yang membuat ku jadi terangsang
Ngentot Jilbab Alim Memek Merah Berlendir
Pembantu sange
Terpesona Dengan Pembantu Muda Yang Cantik Bagian Satu
tantehot
Perselingkuhan Ku Dengan Tante Yang Kesepian Bagian Satu
Nafsuku Terlampiaskan Kepada Keponakan Sendiri
cewek india
Ngentot cewek cantik dari india
cewe pantai parangtritis
Cerita sex di pantai parangtritis yang tak terlupakan
janda muda berjilbab
Bercinta Dengan Janda Muda Berjilbab